Anda di halaman 1dari 3

Misteri Makam Sawunggalih

Setiap orang yang berziarah ke makam Sawunggalih Notonegoro di Desa Semawung


Daleman, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworwjo selalu bertanya-tanya. Yang mana
makam Sawunggalih sebenarnya ? Karena, dari sekian jirat makam di kompleks pemakaman
keluarga besar Sawunggalih itu ternyata tak satu pun tertera nama Sawunggalih Notonegoro.
Padahal dalam cungkup itu terdapat makam Sang Guru, isteri, dua putra kembarnya, ajudan
dan ajudan isterinya. Dari sekian jirat makam itu, ada dua nama wanita. Lalu, siapa nama
wanita satunya ? Mungkinkah nama isteri keduanya ?

“ Bukan. Eyang Sawunggalih hanya mempunyai seorang isteri. Sebagai seorang ulama
besar yang melawan Kompeni Belanda, beliau ingin memberi contoh yang baik kepada
ummatnya. Tidak mau berpoligami. Agar makam ini tidak disalahtafsirkan atau disalahgunakan
para peziarah dikemudian hari, beliau minta agar jirat makamnya disamarkan dengan nama
perempuan. Yang jelas, jirat makam asli Eyang Sawunggalih yang letaknya dekat dengan jirat
makam guru ngajinya, Kyai Haji Abdul Fatah Al-Faqih. Yang pakai kerudung itulah makam
Eyang Sawunggalih yang benar,” tutur Haryadi, kuncen makam tersebut..

Haryadi menambahkan, makam cucu Kyai Haji Abdullah Al-Faqih berada di Lampung.
Bahkan di jirat makam putra lelaki kembarnya juga disamarkan, namanya Raden Mas Nursiyah,
meninggal dunia ketika masih bayi dan Raden Mas Nursijah. Disampingnya, makam ajudan
(pengawal) isteri Eyang Sawunggalih bernama Nyai Pandansari. Sedangkan nama pengawal
Sawunggalih sendiri tidak disebutkan namanya.

“ Tetapi, ia merupakan abdi kinasih Eyang Sawunggalih. Sehingga, dia diberi tanah dan
diberi wewenang menjadi guru cikal bakal Desa Sidoarum (Sedarum). Namanya pun hingga saat
ini masih misteri dan masih dirahasiakan. Saya sendiri diweling (dipesan) oleh kakek dan ayah
saya almarhum agar tidak sekali-kali menyebutkan namanya. Karena itu, pesan tersebut saya
pegang teguh sampai sekarang. Takut kualat,” kata Haryadi.

Isteri Sawunggalih Notonegoro bernama Gusti Bendoro Raden Ayu Werdaningsih, putri
dari salah seorang selir Sri Sultan Hamengku Buwono II. Soal penyamaran nama Sawunggalih
dengan memakai nama perempuan tersebut, konon sudah disyahkan dengan surat yang
ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono atau dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Makam Sawunggalih Notonegoro, kini sudah dibangun permanen oleh seorang pengusaha kaya
dari Kesultanan Cirebon pada 1991 yang sering berziarah ke makam tersebut. Batu marmer
makam, didatangkan dari Itali.

Guru silat dari Tiongkok

Tepat berada di depan pintu cungkup, ada sebuah makam mantan Panglima Besar
Sawunggalih asli dari Tanah Jawa. Tetapi namanya hingga sekarang pun masih misteri. Ia
populer disebut Mbah Letnan. mBah Letnan, mempunyai pusaka yang paling disegani berbentuk
sorban (ikat kepala) dan permadani. Di jirat makam itu tertera makam Panglima Besar. Bersama
Panglima Besar itu pula, Sawunggalih Notonegoro yang waktu mudanya bernama Joko Guthul
berhasil menaklukkan Adipati Banyumas, Sawunggalih Kadhalpedhot. Atas keberhasilannya itu,
nama Sawunggalih ditambah dengan Notonegoro. Lengkapnya Sawunggalih Notonegoro. Selain
punya guru ngaji yang linuwih, Sawunggalih juga punya guru silat berasal dari Tiongkok (Cina)
bernama Sa Ma Wong.

Di kawasan Kedu Selatan, Sawunggalih Notonegoro alias Joko Guthul bukan hanya
disegani karena memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian yang ngedap-edapi, tetapi ia juga
disegani karena dikenal sebagai pendekar silat. Berkat gemblengan pendekar silat Sa Ma Wong
dari Tiongkok itu pula, ia disegani kawan dan lawan. Berkat jasa-jasanya itu, setelah meninggal
dunia, nama Sa Ma Wong lalu diabadikan menjadi nama Desa Samawong ( Semawung )
Daleman sampai saat ini.

Oleh karena itu, disekitar desa itu banyak ditemukan WNI keturunan Cina, yang notabene
merupakan anak cucu dan buyut dari Sa Ma Wong. Makamnya, tak jauh dari cungkup makam
Sawunggalih. Kini makam itu dipenuhi oleh pundhung (rumah rayap) hampir menyentuh atap
cungkup. Para peziarah berkeyakinan, tanah pundhung itu membawa barokah. Sehingga, mereka
selalu mengambil tanah pundhung itu untuk bekal ke rumah masing-masing.

Haryadi mengaku, sudah paham sejarah perjuangan Sawunggalih sejak masih masa
kanak-kanak dari kakek dan ayahnya. Rupanya, ia sudah diplot untuk menggantikan mereka
sebagai kuncen Makam Sawunggalih. Di dampingi Pak Siswoyo (56), mereka dengan setia
melayani para peziarah. Apalagi pada bulan Ruwah (Sa’ban) sampai Idul Fitri nanti, biasanya
kebanjiran peziarah.

Eyang Singoproyo

Baik Haryadi maupun Siswoyo mengemukakan, yang cikal bakal makam tersebut atau
orang pertama yang dimakamkan di kompleks pemakaman ini adalah Eyang Singoproyo. Sama
halnya dengan Mbah Jinem, makam Eyang Singoproyo pun hingga sekarang tidak mau dipugar.
Entah sudah berapa kali makam itu mau dipugar, tetapi selalu gagal. Karena, saat pemugaran
dimulai, selalu muncul kejadian-kejadian aneh. Kalau tidak hujan deras disertai geledek sabung-
menyabung, tiba-tiba dilanda angin rebut, sampai merobohkan bangunan cungkup.

Siapa sebenarnya Eyang Singoproyo, sampai sekarang juga masih misteri. Baik Haryadi
maupun Siswoyo tidak berani menyebutkan siapa Eyang Singoproyo sebenarnya. Yang mereka
tahu, ia merupakan tokoh masyarakat yang sangat disegani pada zamannya. Khususnya pada
zaman penjajahan Belanda dahulu. Beliau adalah tokoh masyarakat yang paling disegani
kolonial Belanda. Tokoh pergerakan bawah tanah atau gerilyawan paling ditakuti bersama
Tumenggung Cokromenggolo, Komandan Pasukan Lombok Abang dari Keraton Mataram,
sebagai cikal bakal Ketawangrejo yang juga populer dengan sebutan Kyai Selikur. Disebut Kyai
Selikur, karena dalam bergerilya ia selalu berpindah-pindah dan berganti nama sebanyak 21 kali
(selikur) sebelum tertangkap di Cilacap dan di eksekusi di Pantai Ketawang beberapa hari
menjelang Hari Raya Idul Fitri.

“ Saya hanya meneruskan dan mengetahuinya dari para pepunden (sesepuh) terdahulu
bahwa orang pertama yang dimakamkan di sini adalah Eyang Singoproyo. Selebihnya, siapa
sebenarnya Eyang Singoproyo, saya tidak tahu. Begitu pula Eyang Sawunggalih. Yang kami tahu
sampai sekarang, beliau sebagai pepunden (sesepuh) masyarakat Kutoarjo dan sekitarnya.
Sebagai tokoh masyarakat yang gigih melawan penjajahan Belanda pada zamannya. Sebelum
Eyang Sawunggalih Notonegoro,” tutur Siswoyo dan Haryadi. ***

Anda mungkin juga menyukai