“ Sudah tak terhitung berapa jumlah para tokoh supranatural yang berusaha menyedot
berbagai pusaka di sekitar pohon tangkil. Tetapi sebagian hanya mendapatkan batu-batu mustika.
Belum pernah ada yang mendapatkan keris atau benda-benda bertuah lainnya,” tutur Pak Amad
Mirun (82 ) dari Desa Duduwetan.
Pak Amad Mirun, salah seorang sesepuh di desa itu, konon masih keponakan dari
almarhum Mbah Glondong Muhammad Ukur. Dia juga termasuk salah seorang yang mengerti
petung ( semacam supranatural ), sehingga sering diminta pertolongan masyarakat dalam
menentukan hari dan pasaran baik untuk melakukan hajatan. Itu sebabnya, pada hari-hari dan
bulan baik, tamu Pak Amat Mirun cukup banyak datang dari berbagai daerah.
Konon, di dalam pohon tangkil itu, terdapat komboran jaran atau tempat minum kuda-
kuda Tumenggung Cokromenggolo. Sebab, konon ketika Tumenggung Cokromenggolo
bergerilya dan berpindah-pindah, kuda-kuda piaraannya itu dirawat pembantunya bernama
Kijang Kewuh, yang kemudian hari terkenal dengan sebutan Kyai Poleng. Tentang asal muasal
nama Kyai Poleng itu sendiri, mempunyai sejarah panjang seperti pernah diceritakan almarhum
Mbah Glondong Muhammad Ukur sebelum beliau wafat dahulu.
Pohon tangkil itu, semula tumbuh subur dipinggir komboran kuda sehingga dipelihara
Tumenggung Cokromenggolo. Di bawah pohon tangkil itu pula Tumenggung Cokromenggolo
melakukan seleksi terhadap kuda-kudanya yang gagah berani dan memiliki pamor sebagai
tunggangannya saat melakukan gerilya melawan Belanda secara berpindah-pindah. Di bawah
pohon tangkil itu pula dia sering bersemedi dan menjamasi pusaka-pusakanya. Termasuk
memandikan ayam jagonya yang berbulu awu-awu langit ( langit abu-abu ).
Pak Amad Mirun sendiri tidak tahu pasti apa nama keris Tumenggung Cokromenggolo
yang menjelma musang putih dan terus diburu para tokoh supranatural itu. Karena, konon pula,
musang atau luwak putih itu bertuah. Jika dapat tertangkap dan kembali berubah rupa menjadi
keris, konon memiliki keampuhan ngedap-edapi ( luar biasa ). Keris itu pula yang tak pernah
lepas dari pinggangnya saat bergerilya. Dalam bergerilya, Tumenggung Cokromenggolo
menyamar sambil adu jago dan selalu berganti nama. Karena warna bulu ayam jagonya
berwarna awu-awu langit, mengilhami Tumenggung Cokromenggolo untuk member nama
sebuah desa, Awu-awu Langit namanya. Letaknya, sekitar dua kilometer sebelah selatan terminal
bus Ketawangrejo.
Ajian Rawarontek
Keangkeran pohon tangkil dan nuansa mistis pohon berusia ratusan tahun ini menjadi
tetenger ( simbul ) dari Babad Ketawang yang diprakarsai Tumenggung Cokromenggolo. Di
bawah pohon yang terletak di pertigaan jalan yang memisahkan wilayah Desa Duduwetan
sampai Kutoarjo yang menjadi kekuasaan Tumenggung Cokromenggolo dan Dudukulon sampai
perbatasan Ciamis yang menjadi kekuasaan Kyai Poleng alias Kijang Kewuh, masih
dimanfaatkan masyarakat untuk menggelar upacara nyadran Suran ( Peringatan 1 Suro ) dengan
memotong sapi atau kerbau. Di bawah pohon tangkil itu pula, kepala sapi atau kerbau itu dikubur
sebagai asung dahar kepada makhluk halus penunggu pohon tangkil itu.
Agar upacara nyadran atau peringatan 1 Suro berjalan lancar, masyarakat sekitarnya
membuat sesaji. Isinya beraneka ragam. Ada sekitar 21 jenis sesaji. Selain jajan pasar, panggang
ayam, kembang setaman, rokok klembak menyan, candu, kopi manis-kopi pahit, the manis-the
pahit, kinangan, salah satunya adalah cendol darah dalam takir. Isinya, darah ayam atau sapi
yang menjadi korban dalam acara tersebut yang diberi santan. Kalau seandainya salah satu syarat
sesaji itu tidak ada, salah-salah bisza mengakibatkan kesurupan pada masyarakat sekitarnya.
“ Sesaji semacam itu juga dilakukan manakala masyarakat menggelar hajatan mantu atau
sunatan. Kalau tidak, masyarakat akan menanggung akibatnya. Agar hal itu tak terjadi, sesaji
semacam itu tak pernah kami tinggalkan,” kata Pak Amad Mirun.
“ Saya sendiri ketika berada di bawah pohon tangkil itu, terasa sekjali aroma mistisnya.
Kendati di siang hari, tiba-tiba bulu kuduk saya merinding. Seolah ada hawa aneh yang tiba-tiba
menerba kulit saya. Begitu pula ketika melihat orang berburu kalong di pohon tangkil, saya
heran. Kenapa ratusan kalong yang bergantung di ranting pohon tangkil itu seolah tak mempan
dibedil ?” kata Prasetyo (32) sambil bergaya di samping pohon tangkil.
Ia juga mengamati akar-akar pohon tangkil yang menyembul ke permukaan tanah. Dari
akar-akar yang menyembul itu pun dinilai memiliki aroma mistis. Karena akar-akar itu
menyerupai arca. Ada yang berbentuk kepala kuda, kepala ular, keris, menyerupai monyet dan
sebagainya.
“ Tak jauh dari pohon tangkil, ada rumah tua peninggalan Den Sum. Rumah itu, di
keempat sakanya terdapat tanduk rusa yang usianya sudah ratusan tahun. Hampir setara dengan
usia pohon tangkil. Bahkan di areal kebon itu, terdapat pohon kelapa bercabang 12 dan empat.
Ada pula kamar khusus yang menyimpan berbagai keris dan tombak bertuah peninggalan
pemiliknya yang kini dirawat Mas Suroso, salah seorang cucu buyut Den Sum,” tambah
Prasetyo.