Anda di halaman 1dari 28

Napak Tilas Peninggalan Budaya adalah sebuah komunitas yang bertujuan mengenalkan aspek kesejarahan dari peninggalanpeninggalan yang

ada di Bogor, di mana rasanya masih kurang digali dan dipublikasikan. Jika pun ada hanya menjadi konsumsi segelintir orang.

Untuk itu, melalui komunitas napak tilas ini, kami mengajak siapa pun peminat sejarah untuk bersama-sama mengunjungi tempat-tempat itu, sekaligus melakukan dokumentasi, serta mendalami sisi sejarahnya dengan pendekatan ilmiah. Berikut adalah tulisan-tulisan para peserta Napak Tilas ke-6 yang diselenggarakan pada Minggu, 13 Nopember 2011

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 2

Perjalanan ke Masa Lalu oleh: Yanuarita Puji Hastuti Colek-colek Iswanti Ajah Deh. Itu modal saya saat mengikuti napak tilas Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak. Genit betul ya kesannya. Tapi daripada ketinggalan informasi, mending berani malu deh. Tiga tahun belajar di Kota Bogor sepertinya tidak membuat saya mahir berbahasa Sunda. Benar-benar memalukan! Kalau tidak salah, sejak kelas 4 SD saya sudah mendapat pelajaran bahasa Sunda. Waktu itu pengajarnya Pak Sulaeman. Berhubung orang tua berasal dari wilayah Banyumas, Jawa Tengah, pelajaran bahasa Sunda terasa sulit sekali. Tak ada yang bisa mengajari saya di rumah. Bertanya pada tetangga menjadi salah satu cara saya menyelesaikan PR pelajaran itu. Saya tidak mau menyalahkan otak saya. Pasti pengajaran waktu itu yang tidak sistematis dan kurang menyenangkan yang jadi penyebabnya. Untung saja ada pelajaran menulis aksara Sunda. Ponten sepuluh hampir selalu saya dapat. Jadilah angka yang tak terlalu jelek di rapor. Tiga tahun bersekolah di SMA Negeri 1 Bogor, sekolah favorit waktu itu, tidak juga membuat saya pintar berbahasa Sunda. Paling-paling kata yang saya ingat cuma aing, sia, ceunah, sieun, ... apa lagi ya? Seingat saya, teman-teman waktu itu jarang berbicara memakai bahasa Sunda. Apa karena saya, dan beberapa teman lain, berasal dari luar Kota Bogor ya? Malah mereka mengikuti kami dengan menggunakan kata gue dan elu.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 3

Kecuali kendala bahasa, perjalanan hari itu luar biasa menyenangkan. Teman-teman baru yang sok akrab, wajahwajah yang menyejukkan, peluh yang membanjiri seluruh tubuh yang tentunya membuat badan terasa bugar, pemandangan yang indah, dan tentunya pengetahuan baru. Kok baru? Sebenarnya semua yang kami lihat di lereng Gunung Salak itu adalah pelajaran sekolah dulu. Entah kenapa pelajaran sejarah dulu sangat membosankan bagi saya. Ibu guru cuma membaca buku teks sejarah yang kami pun memilikinya. Buat apa lagi beliau membacakannya untuk kami? Tidak ada pengetahuan selain yang ada di buku teks. Saat ulangan, kami hanya disuruh menceritakan kembali isi buku pelajaran itu. Waduh! Coba dulu kami diajak melihat situs-situs seperti perjalanan kami kemarin, tentu pelajaran menjadi menyenangkan. Dulu ibu guru hanya memberi tahu yang namanya menhir, dolmen, punden berundak, dll tanpa pernah menunjukkan bagaimana rupanya. Kami hanya disuruh menghafalkan definisi dari benda -benda itu. Kami juga hanya disuruh menghafalkan tahun kejadian, tokoh-tokoh, dan tempatnya tanpa pernah menceritakan kejadian di balik sejarah itu, padahal bagian itulah yang menarik. Bapak menjadi orang pertama yang membuat saya sedikit tertarik pada sejarah karena mampu menceritakan sisi lain teks di buku pelajaran sejarah. Sayangnya, itu terjadi saat saya sudah tidak lagi perlu menentukan jurusan di perguruan tinggi. Puncak perjalanan kami ada di situs Cibalay yang konon sering disalahpahami sebaga Arca Domas. Saya sebut

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 4

puncak karena setelah itu jalan terus menurun. Saya mencoba menerawang ke masa lalu karena menurut narasumber, sepertinya dulu wilayah tersebut merupakan permukiman penduduk. Hal itu ditandai dengan adanya situssitus tersebut. Seperti sekarang ini, di mana-mana bertebaran masjid, saat itu pun bertebaran tempat sembahyang mereka berupa batu-batu berundak dan batu tegak. Saya berandaiandai, seribu tahun lagi (kalau belum kiamat) mungkin mesjidmesjid yang berdiri sekarang menjadi situs bersejarah dan dikunjungi orang-orang seperti yang kami lakukan tempo hari.

Berpose di puncak - Photo by Hadi Darajat

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 5

Mendadak Megalitik oleh: Utami Utar Beberapa hari yang lalu saya diajak sahabat saya, WKF, mengikuti acara napak tilas yang diselenggarakan Komunitas Napak Tilas yang memiliki slogan Nyukcruk galur mapay laratan dalam ekspedisi bertajuk Napak Tilas VI: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak. Dan seperti sebuah kebetulan, ajakan ini datang tatkala saya absen jalan pagi dan senam selama beberapa minggu. Hitung-hitung rapel olah raga. Karena menemui beberapa kendala kecil, kami terlambat sampai di tempat. Tali backpack masuk ke rantai motor dan beberapa acara pernikahan menyebabkan kami terhenti dan mencari jalan alternatif. Kami bertemu di meeting point yang sudah disepakati, di halaman Tenjolaya Park. Ketika kami sampai, acara pengarahan dan berdoa sudah hampir selesai. Setelah briefing, rombongan yang terdiri dari teman-teman dari komunitas Napak Tilas, perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Bogor, dan dari Balai Pelestarian Peninggalan Prasejarah memulai perjalanan. Ada beberapa situs megalitik di lereng Gunung Salak, namun kerana terbatasnya waktu tak semuanya kami kunjungi. Situssitus ini sebagian besar berupa menhir, yang oleh masyarakat sekitar disebut batu tangtung. Sedangkan lingkungan situs itu sendiri terkenal dengan sebutan kuburan si kabayan, justru karena mereka tidak jelas tahu ada apa di area ini. Situs pertama adalah Punden Pasir Manggis I. Dari halaman Tenjolaya Park kami menyusuri jalan setapak dalam arti yang sebenarnya. Bahkan untuk berjalanpun kami harus

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 6

menyilangkan kaki secara bergantian. Dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga jam ini ada tempat pemberhentian, yang terletak di tengah hutan pinus, untuk beristirahat sejenak. Punden Pasir Manggis I menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang. Situs ini berupa punden berundak tiga, berukuran 53 meter dan menghadap ke utara. Di sini terdapat sekitar 14 menhir berbagai ukuran. Di sebelah bawah Punden Pasir Manggis I terdapat Punden Pasir Manggis II. Karena letaknya sebelum Punden Pasir Manggis I, Punden Pasir Manggis II sering diasumsikan sebagai teras Punden Pasir Manggis I. Punden ini hanya terdiri dari satu tingkat, dengan batu penyusun yang sudah hilang dan menhir tinggal dua buah. Dari situs pertama kami berjalan menyusuri jalan setapak yang relatif lebih lebar dibanding jalan yang kami tempuh sebelumnya. Namun, karena hujan mengguyur Bogor dan sekitarnya pada malam sebelumnya, jalan setapak yang tertutupi daun-daun kering ini cukup berbahaya. Bahkan, beberapa di antara kami sempat terpeleset. Komplek Batu Bergores, atau Batu Gores, terletak di lereng yang cukup terjal. di tempat ini juga terdapat banyak menhir berbagai ukuran. Di sekitar tempat ini juga terdapat mata air yang sangat jernih. Situs selanjutnya adalah situs Cibalai. Masyarakat sering salah kaprah dengan menyebutnya sebagai komplek Arca Domas. Sebenarnya, komplek Arca Domas terletak di desa Sukamanah, kecamatan Megamendung kabupaten Bogor.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 7

Domas berasal dari bahasa Sunda kuno, dua omas. Omas sendiri artinya empat ratus. Jadi konon, di tempat ini terdapat sekitar 800 arca. Padahal, setelah diinventarisir, hanya terdapat sekitar 100 arca. Sedangkan di tempat ini, sama seklai tidak ditemukan arca. Situs Cibalai menempati area yang cukup luas dan merupakan punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utama berada di undakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya. Situs ini pertama kali dilaporkan oleh de Wilde (1830), Junghuhn (1844), Muler (1856) dan terakhir oleh NJ Krom dalam Rapporten Oudheidkundige (1914). Dibanding situs-situs lain, situs Cibalai merupakan situs yang paling populer dans ering dikunjungi masyarakat. Bahkan wakil gubernur Jawa Barat saat ini juga sempat meninjau lokasi ini. Namun sayang, dari semua yang datang ke tempat ini tak semuanya memiliki niat yang sejalan dengan aspek pemeliharaan benda cagar budaya (BCB). Pada tahun 2008 sekelompok orang membuat prasasti palsu yang ditempatkan di situs ini. Situs terakhir terletak di samping rumah penduduk, terdiri dari punden berundak dan beberapa batu menhir di atasnya, yang disebut Endong Kasang. Untuk menghindarkannya dari tangan -tangan yang tidak beranggungjawab, situs ini (dan situs Cibalai) dikelilingi dengan kawat berduri. Perjalanan kami kali ini berakhir di sini. Ditemani hujan besar dengan petir yang menggelegar dan angin kencang kami kembali ke Bogor. Jas hujan yang kami pakai tak lagi mampu melindungi kami dari air hujan. Tapi badan yang menggigil

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 8

kedinginan sedikit terhangatkan oleh semangkuk tongseng ayam yang sengaja kami cari sebelum kami tiba di rumah. Perjalanan ini ibarat penyegaran jiwa dan raga. Badan saya segar karena bersentuhan dengan aroma gunung dan jiwa sayapun melihat sesuatu yang sebelumnya hanya pernah saya baca dari buku sejarah, menhir!

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 9

Jejak Megalitik di Gunung Salak Bogor oleh: Rudy Hartono Natanegara Dalam acara napak tilas ke 6 yang diadakan oleh group napak tilas dan didukung oleh majalah basa sunda 'balebat', kita disuguhkan oleh satu peradaban megalitik (masa batu besar) yang berusia sekitar 5000 tahun, menurut penelitian yang telah ada.

lokasi berada di gunung salak, berada di kecamatan tenjolaya, kabupaten Bogor, tempatnya berdekatan dengan tempat pariswisata "curug luhur"

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 10

Jika kita lihat plang diluar kita akan melihat petunjuk "situs arca domas" bahasa yang diartikan terdapat 800 arca (bahasa buhun/sunda kolot), padahal tidak pernah ditemukan arca disitu, yang ada adalah barisan bebatuan yang tertata, serta kompleks situs berbagai bentuk menhir. Menurut catatan dari pihak kolonial belanda, situs cibalay ini dilaporkan pertama kali oleh De Wilde(1830), kemudian Junghuhn (1844) lalu Muller (1856) dan yang terakhir oleh N.J. Krom dalam "rapporten Oudheidkundigde Dienst" tahun 1914.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 11

Untuk sampai ke lokasi ke komplek situs cibalay, kita melewati jalan aspal dengan kualitas sederhana sepanjang sekitar 2 km, kemudian berjalan kaki mendaki sekitar 30-50 menit (2-3km). situs punden pasirmanggis I berada di areal sempit dan diapit oleh 3 jurang, punden berundak 3 berukuran 5 X 3 meter ini menghadap utara, sekitar 14 batu nangtung (menhir)berbagai ukuran terdapat disana. lalu kesebelah bawahnya kita temukan punden pasir manggis II, teras yang sudah tidak utuh lagi, dan batu-batu penyusunnya telah hilang, yang tersisa hanya sebagian dan beserta batu tangtung sebanyak 2 buah. Hal itu mungkin terjadi karena gunung salak pernah meletus sekitar tahun 1600-an, yang khabarnya memporakporanda-kan kota batavia.

Perjalanan selanjutnya kita ke situs di bawahnya, disinipun terdapat barisan batu yang tertata rapih dan banyak batu tangtung. situs yang paling besar terdapat dibawahnya, yaitu situs

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 12

cibalay, menurut pak Inochi (budayawan bogor dan salah seorang dosen di beberapa universitas), situs ini beliau teliti sekitar tahun 1974 dengan perjalanan sekitar 2 hari, karena rapatnya pepohonan saat itu yang menjadi cirinya adalah sebuah pohon menyan (saat ini masih ada).

Beliau sampaikan bahwa keberadaan situs ini lebih tua dari masa kerajaan sunda lama, maupun pengaruh hindu budha atau yang lain, karena setelah diteliti dari batuannya berumur sekitar 5000 tahun, sebelum ada suku-suku seperti sekarang, sunda, madura, dan lainnya.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 13

kita berharap kedepan, melalui kegiatan ini menjadi inisiasi dan perencanaan pengelolaan sejarah dan peninggalan budaya secara terpadu, komunitas "napak Tilas" mengusulkan untuk dibentuk kelompok kerja untuk menyusun draft kegiatan dalam 20 tahun yang terbagi dalam rencana pengelolaan terpadu lintas departemen , sehingga bisa disinergikan kepada bidang yang ada dalam pemerintahan semisal dinas budpar, taman nasional gn salak, departemen pendidikan, LSM, DPRD, para ahli sejarah, ilmuwan, sehingga kita memiliki sebuah grand design pengelolaan. mungkin bisa salah satunya membuat "guiding book" yang bisa menjadi literatur pemerhati sejarah dan budaya di dunia.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 14

kita menyaksikan peradaban yang berkembang saat itu, mungkin bisa menjadi satu motivasi buat kita untuk membentuk "nation character building" serta pengembangan yang memberikan manfaat lebih kepada masyarakat sekkitarnya dengan pemberdayaan program yang direncanakan. kita berharap banyak.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 15

Situs Cibalay: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak oleh: Kang Dadi Tea

Memulai Perjalanan Pagi, 13 November 2011, langit Bogor cerah-sejuk-berawan. Biasanya, di bulan-bulan penghujan, cuaca seperti ini berakhir dengan hujan di sore harinya. Hari ini, saya dan komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya akan mengunjungi Situs Punden Berundak Cibalay atau dikenal juga dengan nama Citus Arca Domas Cibalay. Situs ini terletak di Kampung Cibalay, Desa Tapos, Kec. Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 16

Untuk sampai ke Situs Cibalay, kita dapat menggunakan dua rute yang berbeda. Rute pertama: Bogor-Ciapus-Curug LuhurTerminal Faten. Rute kedua: Bogor-Darmaga-CiampeaCinangneng-Terminal Faten. Setelah bertemu di depan BTM (Bogor Trade Mall) dengan beberapa teman yang sama-sama akan berangkat bernapak tilas, akhirnya saya memutuskan tetap bersepeda motor menuju tempat tujuan, sedangkan keenam rekan saya berangkat dengan menggunakan angkot. Ketika hampir sampai di tujuan, saya bertemu dengan Kang Hendra (pupuhu Napak Tilas) dan Kang Isak (juru pelihara Museum Pasir Angin) di sebuah warung. Setelah berbincang sejenak, saya dan Kang Hendra akhirnya berboncengan menuju vila milik mantan gubernur DKI Jakarta, Soetiyoso, sedangkan Kang Isak menyusul kemudian.

Briefing....

Satu demi satu peserta napak tilas berdatangan di depan Vila Soetiyoso. Setelah semuanya berkumpul, Kang Hendra

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 17

melakukan pengarahan seputar situs yang akan dikunjungi, jalan yang akan dilalui, dan tata tertib selama kunjungan.

Ngaleut....

Akhirnya perjalanan dimulai melalui jalan setapak di tanah milik Jenderal (Purn) Wiranto hingga batas wilayah Perhutani. Jalanan yang dilalui berupa jalan setapak agak legok yang hanya bisa dilalui oleh satu orang secara beriringan. Jalanan yang agak menanjak cukup membuat napas beberapa orang agak tersengal-sengal. Sesekali ada yang berhenti dan menarik napas panjang kemudian melanjutkan perjalanan. Situs Pasir Manggis

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 18

Setelah berjalan ngaleut kurang lebih 2 km, kami tiba di Situs Punden Pasir Manggis I dan II. Kedua situs ini terletak di lereng Gunung Salak, menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang, berukuran 5x3 meter, dan orientasinya menghadap ke utara. Tidak kurang 14 menhir berbagai ukuran terdapat di atas ketiga undakannya. Adapun Punden Pasir Manggis II terletak agak ke bawah dari Punden Pasir Manggis I. Punden yang terdiri atas hanya satu teras ini tampak sudah tidak utuh lagi. Banyak batu penyusunnya yang sudah hilang. Batu menhirnya pun tinggal dua buah. Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan menuju Situs Cibalay dengan melewati jalan setapak terjal-menurun. Rapatnya pepohonan membuat perjalanan agak tersendat. Disebabkan curam dan licinnya jalan yang dilalui, satu-dua rekan kami beberapa kali terpeleset dan jatuh. Satu rekan kami terpaksa nyeker karena tali sandalnya terlepas. Setelah melewati jalan yang cukup datar, akhirnya kami sampai di Situs Cibalay atau yang dikenal selama ini dengan nama Situs Megalitik Arca Domas. Situs Cibalay

Situs Cibalay berupa bukit.

Di Tanah Sunda terdapat tiga tempat yang dikenal dengan menggunakan nama Arca Domas: Arca Domas Cikopo di kaki

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 19

Gunung Pangrango, Arca Domas di Baduy Banten yang masih menjadi tempat pemujaan orang-orang Baduy, dan Arca Domas Cibalay Tenjolaya. Sebenarnya, penamaan Situs Megalitik Arca Domas untuk Situs Cibalay ini salah kaprah karena di situs Cibalay ini belum pernah dilaporkan keberadaan arca. Yang ada hanyalah kompleks punden berundak. Situs Cibalay menempati area yang cukup luas, sekitar empat hektar, dan merupakan salah satu punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utamanya ada di undakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya. Situs ini pertama kali dilaporkan oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844), lalu Muller (1856), dan terakhir oleh N. J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst tahun 1914. Tak pelak situs ini pun sering kali jadi objek penelitian, baik oleh arkeolog, maupun mahasiswa arkeologi. Sayangnya hasil-hasil penelitiannya belum tersaji untuk masyarakat umum. Situs Cibalay merupakan situs yang cukup populer dan paling sering dikunjungi oleh masyarakat. Karena banyaknya kepentingan pribadi pengunjung yang tidak sejalan dengan aspek pemeliharaan benda cagar budaya (BCB) yang dilindungi undang-undang, situs ini banyak mengalami gangguan dan juga perusakan. Sebagai contoh: tahun 2008 pernah sekelompok orang membuat prasasti (palsu) dan ditempatkan di situs ini, padahal sebelumnya di tempat ini tidak pernah ditemukan batu prasasti. (Hendra M. Astari, http:// www.facebook.com/

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 20

groups/110546372300285/291569410864646/? ref=notif&notif_t=group_activity) Di area ini, batu-batu menhir dan dolmen berpencaran. Ada yang berdekatan, ada pula yang berjauhan. Belum semua situs yang ada di area itu dikelola dan diteliti. Di area utama, puncak bukit, disebut pusar (bahasa sunda=bujal). Di tengahtengahnya ada batu tegak berbentuk segi tiga. Susunan batubatu terhampar melingkari batu segi tiga tersebut. Diameter lingkaran sekitar 3 atau 4 meter.

Di dekat situs, masih dalam lingkungan, ada empat saung berbale-bale. Walaupun hanya terbuat dari bilik bambu, saungsaung itu bersih dan rapi. Di belakang saung-saung ada lembah yang di bawahnya terdapat pancuran air. Melihat kenyataan banyaknya situs punden berundak di kawasan ini yang saling berdekatan, diperkirakan masih banyak situs punden berundak yang belum ditemukan di daerah ini. Ini juga memberikan gambaran bahwa pada zaman prasejarah (jauh sebelum zaman Kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran), kawasan ini pernah menjadi pusat sebuah kebudayaan besar. Sepintas tentang Punden Berundak Punden berundak merupakan contoh struktur tertua buatan manusia yang tersisa di Indonesia. Beberapa dari struktur tersebut bermasa lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Punden berundak bukan merupakan bangunan, melainkan pengubahan bentang-lahan atau undak-undakan yang

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 21

Memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah, bahan pembantunya batu; menghadap ke anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak. Penulis-penulis pertama tentang Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh R. von Heine-Geldern, berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua tahap kebudayaan megalitik di Indonesia yang berkaitan dengan perpindahan penduduk di Asia. Punden berundak dan menhir dipercaya termasuk tahap yang lebih awal dari zaman Neolitikum. Pendekatan ini sesuai dengan kelompok difusionis (ajaran penyebaran) yang berpremis bahwa budaya Asia Tenggara mengalami kemunduran rangsangan dari luar, tidak lebih giat menuntut pembaharuan budaya. Penafsiran arsitektur bentang-lahan prasejarah Indonesia telah diabaikan secara besar-besaran, sebagian karena perubahan tanggapan mengenai peran orang Indonesia dalam membangun kebudayaannya sendiri, juga karena banyaknya situs berundak yang diperkirakan berawal pada zaman prasejarah telah memberikan bukti digunakan di waktu lebih kini. Sangat sulit membuat kesimpulan mengenai umur situs yang mengalami perubahan sejak kali pertama dibangun. Ada kemungkinan, beberapa punden berundak sudah ada sejak zaman prasejarah bila mempertimbangkan keberadaan struktur serupa di Polynesia. Marae dari kepulauan Pasifik barat merupakan ungkapan kearsitekturan dari kepercayaan budaya yang sama seperti punden berundak Indonesia. Penduduk kedua wilayah kepulauan ini berbahasa Austronesia, yang mulai mendiami Indonesia dan pulau di

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 22

di Pasifik sejak 5.000-7.000 tahun yang lalu. Punden merupakan kosakata Jawa, secara harfiah bermakna terhormat. Kini, sering dipakai pada tempat khusus di dekat desa, kerapkali di atas bukit dan dikaitkan dengan roh-roh pendiri desa. Kadang-kadang bangunan kubur bergaya Islam didirikan di atasnya. Berundak berarti bertingkat. Contoh peninggalan yang terawat ditemukan di dataran tinggi Jawa Barat. Salah satu situs terluas, Gunung Padang, muncul kepermukaan pada tahun 1979. Situs yang berada di puncak bukit berketinggian 885 m ini terdiri atas lima undakan, yang terluas di antaranya berukuran 28 x 40 m. Gunung Padang dianggap istimewa karena menggunakan ribuan balok basal yang alami atau dibuat secara sengaja. Penggalian situs ini yang dilakukan pada tahun 1982 oleh Dra. Bintarti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan alat pecah belah sederhana yang terbuat dari tanah. Tidak ditemukan bukti adanya kuburan. Situs ini mungkin merupakan pusat penyembahan dengan monolit yang dinyatakan sebagai rumah leluhur. Situs ditata sepanjang sumbu barat laut-tenggara, ditentukan oleh topografi setempat. Tidak ada usaha untuk mengarahkan ke mata angin atau petunjuk yang dapat dilihat secara signifikan, seperti Gunung Karuhun (gunung leluhur) yang mudah dilihat. Gunung Padang terbebas dari gangguan penduduk saat ini, tidak seperti situs punden berundak lain di Jawa yang telah didirikan kuburan Islam atau menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan upacara keagamaan. Punden berundak lain di Jawa Barat adalah Arca Domas sembilan undakan, yang terletak di daerah Baduy, dan Lemah

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 23

Duhur dengan lima undakan di ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Walaupun beberapa kubur baru dibangun di sini, situs ini tampak terpelihara. Wilayah lain tempat punden berundak berkembang meliputi Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatra Selatan, dan Nias. Di daerah Pasemah, Sumatra Selatan, Dr. haris Sukendar mengenal jenis kubur berundak, paduan punden berundak dan kubur pra-Islam. Di Nias, bangunan berundak dan menhir masih digunakan. Situs zaman Klasik Akhir berdasarkan punden berundak juga ditemukan di sejumlah gunung di Jawa, meliputi Lawu, Muria, Penanggungan, Arjuna, Welirang, dan Argapura. Hampir semua contoh ini digunakan antara tahun 1.000 dan 1.500 Masehi. Dr. Hariani Santiko yang mempertanyakan kemungkinan bangunan ini berakar pada zaman prasejarah mengusulkan bahwa bangunan tersebut justru merupakan lambang Sunung Semeru. Kemungkinan menyesuaikan penafsiran tersebut ada; bagi orang Jawa, Gunung Semeru dapat secara mudah dihubungkan dalam kepercayaan purba pada gunung keramat. Punden berundak di Bali berjumlah banyak. Situs utama meliputi Panebel, Tenganan, Selulung, Kintamani, dan Sambiran. Miniatur punden berundak yang masih digunakan dalam ibadah saat ini ditemukan di dua pura dalem di Sanur. Satu dari pura di Bali yang palaing penting yaitu pura Besakih, dapat dilihat sebagai punden berundak. Masalah utama bagi ilmuwan yang tertarik mengetahui perlambang punden berundak di Indonesia dan pengaruhnya

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 24

pada sejarah kearsitekturan adalah penanggalannya. Tidak terdapat penanggalan awal (yakni proto-sejarah) yang pasti untuk berbagai bagian punden berundak. Kendala ini harus dapat diatasi agar penelitian dapat berkembang. Saat ini tidak mungkin memetakan tahap perubahan bentuk arsitektur bentang-darat pada masa lebih dari 2.000 tahun. (http:// serbasejarah.blogspot.com/2011/05/punden-berundak.html)

Bogor, 13 November 2011

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 25

Napak Tilas Peninggalan Tradisi Megalitik di Bogor


oleh: Iswanti Untuk mengetahui sejarah masa lalu pendahulu kita, hal yang paling mudah adalah dengan melihat peninggalan yang kasat mata berupa benda-benda bersejarah. Benda tersebut bisa berupa bangunan kuna, barang pusaka, prasasti, naskah kuna, dll,begitulah bunyi paragraph ketiga tulisan Tentang-nya Grup Napak Tilas Peninggalan Budaya dengan Kang Hendra M Astari sebagai kepala sukunya. Maka tidaklah heran bila group dengan keanggotaan terbuka dan (masih) beranggotakan 400-an pencinta sejarah ini sering mengadakan kunjungan ke tempat-tempat bersejarah yang tersebar di Kotamadya dan Kabupaten Bogor. Minggu, 13 Nopember 2011 adalah hari kegiatan Napak Tilas ke-6 yang diselenggarakan grup ini dengan tempat yang dituju adalah Situs Purbakala Cibalay, terletak di Kampung Cibalay Desa Tapos I Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Situs ini merupakan peninggalan jaman prasejarah, tepatnya pada jaman Megalitikum, dengan bukti peninggalannya berupa menhir, punden berundak yang saat dibuat oleh nenek moyang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Untuk mencapai TKP, kami naik angkot 03 Faten di Lawang Saketeng (dekat Bogor Trade Mall) jurusan Tenjolaya, turun di terminal Faten disambung naik ojeg ke Villa Sutiyoso. Atau bagi yang dekat daerah Bogor Barat naik angkot 03 jurusan terminal Laladon, lalu naik angkot Tumaristis, turun di terminal Faten. Perjalanan dari Lawang Seketeng ke Tenjolaya kira-kira sekitar 45 menit.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 26

Napak tilas sekaligus hiking kali ini, menurut seorang peserta yang tidak pernah absen ikut, merupakan acara dengan medan tempuh cukup berat, terutama bagi peserta yang suka meleng karena terlalu narsis. Ada seorang peserta yang sampai 4 kali jatuh karena kehilangan keseimbangan akibat hobi melengnya itu. Acara yang sedianya diikuti 28 anggota grup akhirnya dimulai pada pukul 10 dan berakhir pada pukul 13.30-an, maka tidak heran bila beberapa peserta mengalami nyeri otot tungkai bawah (paha dan kaki), malah ada yang sampai susah ruku dan sujud karena ototnya stress, tiba-tiba harus bekerja keras jalan jauh. Dengan memasuki hutan, lalu pada areal yang lebih tinggi melewati hutan konifer, sampailah kami di situs yang pertama kami kunjungi, yaitu Situs Punden Pasir Manggis I. Sebelumnya kami melewati Situs Punden Pasir Manggis II yang terletak tak jauh dari Manggis I, dengan luas areal dan ukuran lebih kecil. Struktur yang ada di kedua situs ini berupa punden berundak dan menhir dengan berbagai ukuran. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju ke Situs Batu Bergores. Medan yang kami lalui memang tidak membuat nafas terengah-engah karena jalan setapak yang menurun, namun yang membuat sulit adalah jalanan menurun yang licin. Situs ini terletak pada daerah yang terbuka. Di sini kami melihat beberapa gundukan batu dan menhir tersebar di beberapa titik. Perjalanan kami lanjutkan dengan melewati hutan bambu dengan beberapa kali diiringi musik alam berupa gemericik air pegunungan. Lalu kami tiba di Situs Cibalay dengan areal yang cukup luas dan bernuansa hijau. Situs ini terlihat terpelihara dan kerap dikunjungi orang. Makanya tidak heran jika akses menuju situs ini tidak sulit seperti menuju situs-situs sebelumnya.

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 27

Setelah puas berfoto ria dan makan sajian berupa pisang yang bernuansa hijau pula (maksudnya kulitnya masih berwarna hijau), kami mendengarkan penjelasan dari Bapak Inuci, seorang dosen yang menyukai sejarah, tentang sejarah masa Megalitikum, yaitu jaman batu besar yang dimulai pada tahun 5000 SM. Pak Inuci juga menyampaikan kesalahkaprahan tentang penamaan Situs Cibalay yang sering disebut Situs Arca Domas, padahal tidak ada laporan mengenai keberadaan sebuah arca di situs ini. Yang ada hanya punden berundak dan batu menhir atau dalam bahasa Sunda bernama Batu Tangtung (batu berdiri). Sebagaimana kita ketahui, sebelum masuknya agama dan budaya Hindu-Budha yang berasal dari India ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar budaya, salah satunya dalam seni bangunan adalah adanya struktur punden berundak. Maka seni bangunan candi merupakan perwujudan akulturasi antara budaya lokal Indonesia dengan budaya India. Juga keberadaan bangunan suci di Indonesia yangdidirikan di dekat air atau sungai. Sungai pada saat itu merupakan kawasan strategis, sehingga memudahkan akses bagi penduduk untuk bersosialisasi dengan dunia luar. Selain dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan dan di lembah. Juga penggunaan batu andesit, yaitu batuan beku vulkanik yang banyak di temukan di Indonesia karena kondisi Indonesia yang kaya akan gunung berapi. Ciri-ciri ini tentunya juga ada pada situs-situs yang kami kunjungi, yaitu terletak di lereng Gunung Salak dan berada di dekat sungai-sungai kecil. .

Napak Tilas Peninggalan Budaya ke-6

Page 28

Mudah-mudahan dengan adanya kegiatan napak tilas ini maka akan semakin banyak para pecinta maupun calon pencinta sejarah yang akan menelusuri jejak nenek moyang, karena seperti kata introduksi dari sang ketua suku, sejarah adalah cermin kehidupan masa lalu yang bisa kita jadikan pelajaran untuk menatap dan menata hidup kita di masa depan. Maka ingatlah selalu jas merah, jangan lupakan sejarah! Napak Tilas in Youtube:

http://www.youtube.com/watch? v=a4C9yxLWmIg&feature=mfu_in_order&list=UL

Anda mungkin juga menyukai