2. Trunyan
Fenomena Trunyan yang melegenda. Ya, satu-satunya tradisi yang ada di
dunia ini adalah tradisi mengubrkan orang yang baru meninggal di sebuah desa
di daerah Kintamani, dimana orang yang baru meninggal ini tidak dikubur
sebagaimana biasa, atau tidak dibakar (ngaben) sebagaimana layaknya orang
Bali jika meninggal. Tetapi masyarakat Trunyan yang meninggal hanya dibawa
ke bawah sebuah pohon yang sangat besar dengan akar yang memenuhi
sekitarnya, serta bebau wangi. Mungkin sejenis pohon Kenanga. Nah orang
yang baru meninggal biasanya dikremasi dan diberi pakaian adat, kemudian
ditaruh di bawah pohon, biasanya di sekelilingnya diberi pagar bambu setingi
mayat tersebut. Bambu yang di potong-potong itu, hanya ditancapkan di
sekeliling sang mayat.
Kebetulan saat ketiga kalinya saya ke Bali, sekitar tahun 1997 saya
berlima bersama teman satu kontrakan, berkesempatan datang ke lokasi
penguburan tersebut. Dengan menggunakan perahu getek bermesin, sejenis
speed boat, kami menyeberang sambil meningkmati indahnya panorama
danau yang sejuk dan menenangkan. Sekitar 10 sampai 15 menit kami merapat
di seberang, dan di sana suasananya sangat sunyi sekali (karena tidak boleh
berisik), walaupun banyak warga setempat yang siap menyambut kita, dengan
menadahkan tangan minta uang recehan, baik anak-anak, remaja, dewasa dan
lansia, baik laki-laki maupun perempuan, banyak sekali mendekati para
wisatawan sambil meminta-minta uang receh. Pemandangan yang sedikit
mengganggu tentunya.
Setelah merapat kemudian kami melangkah pelan melewati bebatuan di
bibir danau, terus melangkah sedikit menanjak, kurang lebih sejurus berlalu
kami mulai mencium aroma yang berbeda, antara bau anyir busuk yang hampir
habis atau mulai mengering bercampur dengan bau wangi. Kemudian kami
mendekat ke bawah pohon, dan pada saat itu ada dua kuburan baru yang
berumur satu minggu. Nampak kelihatan jelas separuh badannya yang
menempel ditanah sudah habis tinggal tulang belulang, tetapi bagian atasnya
masih utuh lengkap dengan pakaiannya. Mayat yang satu adalah perempuan
paruh baya, dan yang satunya lagi adalah anak-anak sekitar 10 tahunan.
Kondisi kedua mayat tersebut hampir sama, posisi terlentang berpakaian
lengkap menghadap ke arah langit, atau ke atas memandang rindangnya
pohon. Anehnya, kedua mayat tersebut tidak berbau bangkai sama sekali,
bahkan saya mendekatinya, hingga jarak sejengkal untuk mengendus aroma
busuk. Tetapi aneh aroma busuk layaknya mayat yang udah meninggal lebih
dari sehari, tidak ada sama sekali. Dan tubuh bagian bawahnya tidak kelihatan
membusuk, tetapi kering seakan terurai lembut menyatu dengan tanang,
tinggal tulang belulang, kebetulan di sisi lain pohon ada satu mayat yang
kayaknya lebih lama, karena sudah tinggal tulang belulang. Sementara agak
jauh, sekitar 5 meter dari pohon itu ada jurang yang katanya warga setempat
(jadi guide dadakan) sebagai tempat membuat mayat lama yang sudah jadi
tulang belulang, untuk digantikan oleh warga Trunyan yang baru meninggal.
Oh ya, di kompleks pekuburan itu juga buanyak sekali uang (baik koin maupun
kertas), namun gak ada orang yang berani mengambilnya. Entah siapa yang
membuang di situ, bisa pelancong atau keluarganya, tapi kayaknya pelancong
yang ingin mendapat berkah (haaiis).
3. Subak
Subak adalah suatu istilah dari sistem irigasi model Bali. Sistem subak
4. Anjing Kintamani
Anjing bagi masyarakat Bali adalah salah satu binatang yang dihormati.
Mereka telah lama hidup berdampingan dengan anjing. Walaupun pada
kunjunganku kali ini, sudah sangat jarang ditemukan anjing-anjing liar yang
dulu memenuhi pulai ini. Yaa, pada dekade 1990, saat itu sekitar tahun 1992
pertama kali ke Bali, sepanjang jalan yang saya lalui pasi akan berseliweran
anjing-anjing liar khas Bali. Untunya pada saat itu jumlah kendaraan bermotor
tidak sebanyak sekarang, kalau kondisinya seperti sekarang mungkin setiap
hari tidak terhitung anjing yang tertabrak. Saking banyaknya populasi anjing
pada saat itu, hingga seakan-akan mengalahi jumlah penduduknya sendiri,
saking banyaknya anjing.
Anjing-anjing liar di Bali sebenarnya bukan liar dalam artian galak dan
suka menyerang. Tetapi liar karena tidak dipelihara, mereka sudah mengalami
evolusi dengan kehidupan manusia. Karena hutan sudah tidak ada. Bahkan
ditengarai anjing Bali ini adalah anjing murni yang berevolusi dari hewan
sejenis serigala yang juga disamakan dengan jenis Dingo dari Australia. Tetapi
lebih tua dari Dingo. Karena berevolusi, mereka belajar hidup berdampingan
dengan manusia, untuk mencari makan bekas sisa-sisa manusia. Maka tidak
heran ketika tahun 1994 saya berwisata dengan teman-teman satu angkatan
lulusan dari MAN 2 Jember, dengan menggunakan Bus. Setiap bus yang kita
tumpangi berhenti di setiap tempat untuk parkir, maka ketika pintu bus
dibuka, dengan lidah menjulur dan gigi menyeringai mereka menyambut
kedatangan kami. Apalagi, jika kita sedang istirahat sambil menyantap
makanan, pasti mereka berjejer dengan sabar berharap ada sisia yang
diberikan pada mereka. Bagi siapapun yang pernah ke Bali pada tahun 1990 an
tentu akan kaget dengan fenomena ini.
Sayangnya sejak beberapa tahun terakhir, anjing-anjing bali banyak
dimusnahkan, karena ditengarai penyebar virus rabies. Yang tersisia adalah
anjing Kintamani, dan sepertinya jenis Kintamani in derajatnya terangkat
setelah rasnya diakui sejak tahun 2006 silam.
iPenggak-an mengatan ngidih kuluk dogen ngorahang masak pianak rage
tusing. Mau minta anak anjing saja harus permisi dulu sama yang punya.
Masak mau minang anak orang tanpa permisi.
Bali juga dikenal sebagai pulau yag buanyak banget anjingnya. Hampir di
setiap daerah di pulau Bali ada anjing yang berkeliaran di jalan-jalan, dan
kampung-kampung. Apalagi pada dekade 1990, waah masa itu adalah
pulaunya anjing. Ya, karena pada 1992 ketika ke sana, hampir setiap malam
bersama pemuda negare, berburu anjing di jalan-jalan, kemudian anjing di
bawa pake karung terus dipindahkan ke hutan.
Banyaknya anjing di pulau Bali ini, mungin ada kaitannya dengan anjing
khas Kintamani, anjing lokal khas asli dari pulau Bali. Kalau kita mampir ke
Kintamani, pasti akan banyak bertemu dengan mereka, dan bentuknya tidak
terlalu besar, tetapi uga tidak kecil semacam cihua-hua. Anjing Kintamani
sangat cantik dengan bulu berwarna-warni. Juga tidak galak, biasanya oleh
penduduk setempat anjing-anjing Kintamani ini dipelihara sebagai penjaga
keamanan, atau teman ketika berburu babi hutan.
Belakangan ini anjing-anjing di Bali mulai dikurangi keberadaannya,
karena sudah terlalu banyak, dan seringkali menimbulkan masalah. Mereka
banyak yang terjangkit virus anjing gila, sehinga banyak kasus menggigit warga
atau wisatawan yang lewat. Maka dari itu anjing-anjing di Bali mulai dikurangi.
Hanya anjing-anjing Kintamani saja yang sampai saat ini diperhatikan dengan
baik, walaupun jumlahnya sudah jauh berkurang.
5. Ogoh-ogoh
6. Patrialisme (laki-laki ngadu ayam)
7. Ritual
8. Puputan atau bunuh diri massal
Kalau boleh
flash back, pertama kali aku ke Bali, tepatnya pada 1992 silam. Waah
kenangan itu kembali hadir, saat kaki ini kembali memijak bumi Bali. Waktu itu
masih baru kelas dua SLTA (Sekolah Lanjutan Atas). Kebetulan punya teman
akrab di pondok yang rumahnya di Bali, tepatnya di Negare. Dari teman inilah
aku mulai mengenal Bali, hampir setiap sudut Bali ia ceritakan. Tentunya
berdasarkan prespektif dia, orangnya juga emang suka cerita. Jadilah cerita
tentang Bali komplit mulai kondisi masyarakatnya, hingga tradisi dan daya tarik
Bali, ia ceritakan disertai bumbu yang secara tidak langsung meracuni hasratku
untuk mengunjunginya. Jadilah kita berempat berback packer ria dari Jember
naik kereta turun di stasiun Ketapang trus naik kapal penyebrangan sampai
Gilimanuk. Dari sana naik angkutan umum, semacam angkot yang ukurannya
seperti Colt atau minibus, menuju Negare. Singkat cerita, kurang lebih
seminggu di Negare kita balik ke Jember.