Anda di halaman 1dari 11

BUAT BUKU DENGAN JUDUL BALI DALAM BINGKAI PSIKOLOGI

BALI DAN AKU serta masa depanku


Berisi cerita impian kecil tentang mengukir masa depan di bali pasca lulus d3 hingga cerita-
ceita berkunjung ke bali
BALI DAN TEMANKU
Cerita kehidupan teman-temanku yang tinggal di bali
BALI DAN KEKASIHKU
Berisi asmara monyet kisah lucu
BALI DAN RUMAHKU
Tentang sosok jin penungu rumahku
BALI DAN INDONESIA
Posisi bali di indonesia dan di dunia internasional
BALI DAN BUDAYANYA
Tradisi, budaya lokal dan
BALI DAN AGAMANYA
BALI DAN ALAMNYA
BALI DAN MASYARAKATNYA
BALI DAN SEJARAHNYA
BALI DAN BULENYA
PENGANTAR BUKU BKI GOES TO BALI
Buku ini adalah cerita perjalanan para mahasiswaku dan sekelumit
kisahku saat menemani mereka mengunjungi pulau Dewata. Secara lembaga
ini kali kedua kita mengunjungi Bali sebagai destinasi studi komparatif
sekaligus wisata. Prodi Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah unit
institusi Perguruan Tinggi yang konsern tentang dunia konseling. Dalam
program layanan Bimbingan dan Konseling Islam karya wisata adalah salah
satu cara untuk membantu konseli mengembangkan diri dan mengurangi
tekanan dan stres dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu,
sepantasnyalah mahasiswa yang mendalami ilmu ini harus merasakan langsung
pengalaman karya wisata tersebut apakah memang benar-benar dapat
menjadi salah satu cara atau tidak. Apalagi karya wisata ini dikemas dalam
bingkai studi komparatif ke beberapa lembaga yang menerapkan ilmu
Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan potensi diri dan
mengentaskan tekanan masalah individu maupun masyarakat yang
membutuhkan. Tentu hal ini akan memberikan pengalaman berharga yang
dapat menjadi salah satu pembelajaran bagi mahasiswa itu sendiri.
Perjalanan ke pulau Bali ini sudah kedua kalinya dilakukan oleh Prodi
BKI. Pertama, pada sekitar tahun 2011 lalu yang distenasinya pada lembaga
terapi Ambarasram yang dimliki Bapak Kadek Suwardana di Ubud, disamping
mengunjungi tempat-tempat wisata lainnya. Pada saat itu transportasi yang
digunakan hanya bus mini yang biasa digunakan oleh transportasi semacam
travel. Sedangkan kali ini, pada awal tahun 2016 tepatnya tanggal 18 sampai
dengan 21 Januari menggunakan transportasi satu bus wisata dengan jumlah
peserta mencapai 64 orang. Adapun destinasi studi komparatif pada “BKI Goes
To Bali” kali ini tidak hanya ke Pusat Terapi Meditasi dan Tertawa
Ambarashram di Ubud tetapi juga ke lembaga pendidikan inklusi terbesar di
Bali yakni SLB Negeri Tunarungu di Jimbaran. Disamping itu juga mengunjungi
beberapa tempat wisata, mulai dari Danau Bedugul di Candi Kuning, serta Pure
Ulun Danu di Danu Beratan (Pure yang ada di gambar uang Lima Puluh Ribuan),
kemudian ke Joger dan Tanah Lot.
Memang bagi sebagian orang, apalagi yang udah pernah ke Bali,
mungkin akan menganggap buku ini gak penting. Tetapi kami pastikan bahwa
buku ini akan menjadi hiburan, informasi bahkan edukasi bagi yang lain.
Karena di dalamnya dengan berbagai corak dan warna ilustrasi tulisan cukup
menggoda untuk dibaca. Di sisi lain, buku ini ditulis oleh beberapa orang
sebagai sebuah karya kompilasi, yang tentunya akan berbeda satu sama lain
dalam menguraikan ceritanya hasil pengalaman ke Bali.
Mulai dari ulasan informatif yang renyah untuk di baca, sampai yang
sedikit ilmiah dengan sentuhan analisis sekilas yang tidak membosankan.
Bahkan hingga sarkasme yang kental dengan bahasa satir yang menggelitik
pikiran kita. Tentu memori dan roman yang cukup romantis membuat buku ini
layak dibaca siapa saja. Khususnya bagi yang ingin berkunjung ke Bali.
Buku ini terwujud sebagai media bagi mahasiswa untuk menuangkan ide
dan melatih kreativitasnya dalam tulis menulis. Maka isi buku ini jelas lebih
banyak ditulis oleh mahasiswa yang ikut ke Bali. Bahkan hampir semua yang
menulis di buku ini adalah pemula yang ingin menuangkan uneg dan ide yang
memenuhi imaginya. Kebanggaan dan apresiasi yang tinggi bagi mahasiswaku
yang dengan segenap jiwa menuangkan imajinasinya melalui untaian kata yang
menjadi kompilasi isi buku ini.
Sebagai penanggungjawab, Saya berharap buku ini memiliki daya
magnet yang kuat bagi kemunculan buku-buku baru yang dihasilkan oleh
mahasiswaku. Entah dalam kemasan yang sama, atau dalam fiktif yang
imajinatif, maupun analisis teori yang ilmiah. Apapun karya tulis mereka adalah
kebahagiaan tersendiri bagi kami yang telah mendampingi studinya dalam
menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi.
Terakhir “BKI Goes To Bali” ini semoga menjadi tradisi tahunan dalam
studi komparatif sekaligus karya wisata yang akan terus dilestarikan. Walaupun
dalam wujud yang berbeda, mungkin beda distinasi dan mitra komparatif yang
dikunjungi.

BALI PULAU DEWATA


Pulau Dewata sebutan lain untuk pulau Bali. Pulau yang syarat cerita,
apalagi bagi yang pertama kali mengunjungi pulau ini. Jangankan menginjakkan
kaki di tanah Bali, atau saat tiba di pelabuhan Gilimanuk. Waktu di Ferri
penyeberanganpun kita sudah disuguhi pengalaman magis perubahan waktu
dari WIB ke WITA. Apalagi kalau malam hari. Terasa banget keunikan ini, saat
kapal penyeberangan ini berputar mengikuti arah menghindari gelombang
menuju bibir dermaga Gilimanuk. Saat itu pula seringkali waktu di jam tangan
kita sering berubah-rubah. Misalkan dari jam 01.00 jadi jam 02.00 begitu
seterusnya, hingga kapal benar-benar merapat di dermaga.
Saat menuruni tangga kapal hidung kita sudah mencium aroma khas
pulau Bali. Aroma yang tidak akan kita temukan di tempat lain. Hal ini akan kita
rasakan jika ini adalah pengalaman pertama menghirup udara pulau ini. Sulit
digambarkan dengan kata-kata, hanya bisa diidentifikasi secara nyata oleh
indra penciuman kita. Terasa laksana perpaduan antara hawa kuburan dan
hawa dingin sedikit berbau khas yang samar, yang menghasilkan aroma magis
sehingga sedikit membuat bulu roma dan kuduk merinding untuk beberapa
saat. Yang jelas sangat berbeda ketika kita masih berada di pulau Jawa atau di
sisi lain pulau ini di dermaga Ketapang Banyuwangi.
Bagiku nuansa aroma mistis ini memang sudah tidak sekuat dulu waktu
pertama kali ke mari. Tapi, walaupun udah keempat kalinya ke Bali, tetap saja
nuansa magis ini masih kurasakan. Apalagi, ingatanku kembali ditarik ke cerita-
cerita mistis yang beredar di masyarakat bahwa Pulau Bali adalah pulau yang
syarat dengan misteri dan harus berhati-hati jika berada di pulau ini. Mitos-
mitos seperti, jangan buang air di sembarang tempat, atau menjemur pakaian
dalam di sembarang tempat juga harus hati-hati, karena bisa kerasukan atau
diganggu makhluk asral. Mulai dari jin hingga yang paling populer dikunjungi si
Leak atau “liya ak” (identik dengan makhluk berwajag seram dengan gigi
bertaring dengan berbalut kain kotak-kotak hitam putih), bukan hanya Mitos
belaka, walaupun saat ini semakin sedikit, kecuali daerah Bali pedalaman
semacam Sanur. Tetapi, siapa yang berani bermain-main dengan makhluk asral
ini. Silahkan coba langgar pantangannya.
Cerita-cerita semacam itu sudah lama sekali saya dengar dari
masyarakat, khususnya dari orang-orang yang pernah ke pulau Bali. Bahkan
pernah tersiar kabar kalau seorang perantau di daerahku Jember, pernah
kehilangan alat kelaminnya, dan anehnya setelah nyeberang kembali ke pulau
Jawa, atau nyampai di pelabuhan Ketapang, alat kelaminnya bisa kembali.
Banyak lagi cerita-cerita mistis yang berkembang di masyarakat yang pernah
merantau di pulau Bali. Ya.. karena daerahku Jember cukup dekat dengan
pulau Bali. Hanya dipisah satu kabupaten yaitu Banyuwangi, sehingga dari
Jember ke Bali hanya butuh kurang lebih tiga jam.
Maka dari itu, kita biasanya akan berdoa dulu selepas menginjakkan kaki
di tanah Bali, baik secara bersama maupun dalam hati terus memohon agar
dijauhkan dari marabahaya dan godaan jin serta syetan laknatullah. Selepas itu
kita akan terbiasa. Karena semakin dalam kita masuk ke bagian pulau ini akan
cair dengan sajian panorama syarat keindahan.
Okay, setelah memijakkan kaki dan menapakkan langkah semakin kita
beranjak menjauh dari dermaga Gilimanuk dan perlahan masuk dengan jalan
kaki kemudian berkendara. Maka kita akan semakin sulit memejamkan mata.
Rentetan panorama yang bertubi akan memenuhi indra visual kita. Godaan
pemandangan benar-benar menakjubkan. Bahkan letihnya badan dan lelahnya
pikiran kembali fres larut dalam ilustrasi alam kreasi sang pencipta, lebur
dengan tatanan manusia yang rapi, eksotik kental ritual tradisi.
Tergantung jalur mana yang akan ditempuh, serta lokasi destinasi wisata
mana yang akan dituju. Jika tujuannya menyisiri daerah terluar pulau bali,
kemudian mengarah ke pusat pulau Bali, yakni Denpasar dengan Pantai
Kutanya. Pastilah, bentangan pantai yang indah di sepanjang tepi pulau seperti
Ulu Watu, Sanur, dan Nusa Dua. Belum lagi danau dan perbukitannya, seperti
Bedugul dan Khintamani adalah daya tarik natural yang sulit diabaikan karena
eksotismenya menawarkan berbagai ragam keindahan yang takkan cukup 1000
halaman kwarto untuk menceritakannya.
Belum lagi nuansa pedesaan dengan deretan rumah yang tertata rapi
seragam dalam nuansa relief pagar dan gapura lengkap dengan media
pemujaan di setiap sudutnya yang berhiasan ijuk hitam di atasnya
berselempang kain kotak bercorak hitam putih. Terasa sekali nuansa magis
sakral namun damai dalam kentalnya adat dan keagamaan. Dengan latar
belakang persawahan yang pada beberapa sudutnya juga ada media pemujaan
bagi sang Hiyang Widi Wasa. Menyatu dengan rigidnya sistem subak sebagai
pola irigasi pada setiap pematang sawah yang berjejer betalam-talam laksana
hierarki indah yang memuaskan mata memandangnya, menggoda kaki ingin
menapaki wanginya khas tanah yang alami. Berjalan, berlari dan bermain
dengan basahnya tanah persawahan yang terbentang.
Sesekali sepanjang perjalanan kita akan disuguhkan pure-pure yang
sangat indah dengan ornamen-ornamen dewa, bunga dan binatang yang
tergores secara presisi penuh imaginasi melarutkan logika dalam arus
sakralitas bermakna. Baiklah, mungkin ada baiknya kita kategorisasi berbagai
nuasa yang dimiliki pulau Bali ini.
Pada kunjunganku kali ini, walaupun berawal dari candaan mahasiswa
angkatan 2013 yang bermain ke rumah. Hingga ide mereka saya suruh
realisasikan dengan membentuk kepanitiaan, dan berhasil berankat kali ini.
Jelas berbeda dengan sebelumnya. Karena bukan hanya sekedar rekreasi atau
melancong semata, tetapi juga bertanggungjawab mendampingi mahasiswa
studi banding di dua lembaga rehabilitasi. Maka tujuan ini harus tercapai dan
terlaksana dengan baik, bukan sebaliknya. Jalan-jalannya yang berhasil tetapi
tujuan utamanya malah di luar sekenario. Waah, ini bisa jadi kenangan yang
cukup getir.
Bukan hanya keindahan alam dan eksotisme bangunan yang memiliki
daya tarik tinggi. Tetapi juga nilai-nilai budaya lokal dan keunikan tradisi yang
tiada duanya di muka bumi ini, kecuali ada di Bali. Apa saja nilai-nilai budaya
lokal dan tradisi itu?
1. Kawin Lari
Cerita tentang kisah kawin lari ini, kami dengarkan langsung dari Bli
Ghede sepanjang perjalanan kami dari SLB B Jimbaran ke Joger. Di tengan
kecapean mahasiswa maka saya menanyakan perilah kawin lari ini. Bli Gedhe
bercerita, bahwa menurut kepercayaan Hindhu Bali, perkawinan atau Wiwaha
merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokonya
mewujudkan suatu kehidupan yang disebut yadha sakti kayika dharma (dengan
kemampuan sendiri melaksanakan dharma). Oleh sebab itu, pernikahan
merupakan acara sakral dan suci. Pernikahan merupakan suatu saat yang amat
penting dalam kehidupan orang Bali. Karena pada saat itulah ia dianggap
sebagai warga penuh masyarakat dan memperoleh hak dan kewajiban warga
momuniti dan warga kelompok kerabatnya. Dalam adat Hindu Bali, dikenal
adanya dua jenis pernikahan. (1) Memadik, dimana keluarga laki-laki
meminang kepada orang tua pihak perempuan untuk dinakahkan dengan sang
anak. (2) Kawin lari, adalah pernikahan yang tidak direstui oleh salah satu pihak
(orangtua) mempelai. Biasanya karena perbedaan wangsa, dimana perempuan
yang berwangsa lebih tinggi dari sang mempelai laki-laki. Perbedaan wangsa ini
memang mengesankan perbedaan kasta. Biasanya karena memang
orangtuanya yang tidak setuju, atau orangtuanya merestui, tetapi keluarga
menentang, atau karena orangtua dan keluarga merestui tetapi karena adat
setempat yang tidak mengijinkan pernikahan berbeda kasta.
Membawa lari anak gadis orang atau sang perempuan lari dari rumah
untuk pergi menikah dengan laki-laki pujaannya, tradisi ini udah berlangsung
turun temurun. Sayapun mengetahuinya udah sejak 1992 silam dari cerita
kawan saya yang asli dari Negare di Bali. Kemudian, kedua kalinya saya ketahui
pada tahun 1997, pada saat saya mengunjungi Bali yang ketiga kalinya.
Kebetulan saudaranya kawan yang kita datangi dan bermalam di sana untuk
empat hari, belum lama anaknya membawa lari gadis dan dinikahinya. Dari
cerita orang yang bersangkutan, bahwa alasan dia membawa lari anak gadis
orang, karena pacaran tidak disetujui. Padahal keduanya saling mencintai.
Tidak disetujui ini, karena berbeda kasta. Kebetulan sang gadis kastanya
Brahmana (Pendeta), sedangkan saudara sepupu temanku berkasta Wesyia
(Pedagang). Maka, sang lelaki membawa lari si gadis kemudian dinikahi.
Hal ini sudah bukan rahasia lagi, tetapi memang tradisi yang diakui oleh
adat Bali. Asumsi saya munculnya tradisi ini adalah solusi terhadap sistem
strata sosial yang menyangkut kasta dari keturunan masyarakat Bali itu sendiri.
Sehingga jika kedua pihak (Perjaka) dan (Gadis) berbeda Kasta, maka sangat
tidak dimungkinkan untuk terjadi ikatan pernikahan secara normal, dimana
pihak laki-laki datang bersama keluarganya melamar kepada keluarga
perempuan. Maka nikah lari menjadi jalan keluar.
Hal ini juga dituturkan secara lugas dan renyah oleh tour Guide kita pada
waktu ke Bali. Ya, Bli Gedhe, sangat antusias sekali ketika aku tanyakan perihal
adat kawin lari ini, apakah masih ada atau sudah dilarang. Ternyata sampai
detik dimana Bli Gedhe menceritakan, masih sering terjadi hal seperti ini.
Semua itu menurutnya tidak lepas dari sistem Kasta yang ada di Bali (Suatu
Sistem Organisasi Sosial) yang menjadi unsur dari kondisi sosial yang ada. Yang
pada intinya keempat Kasta itu seharusnya bersifak complementari (saling
melengkapi) satu sama lain. Tidak mungkin dalam suatu tatanan masyarakat
hanya terdiri dari salah satu, atau hanya dua Kasta. Tenu akan timpang dan
rapuh tatanan sosial tersebut. Makanya di Bali ada 4 sistem Kasta (Sudra,
Waisya, Ksatriya, dan Brahmana. Sedangkan orang luar yang berada di luar
kasta tersebut dikatakan sebagai “Jaba”.
Hanya saja dengan adanya sistem Kasta ini juga seringkali menimbulkan
masalah, khususnya kesenjangan sosial dan diskriminasi. Sebagaimana
perkawinan yang berbeda Kasta, kalau tidak ada kesepahaman kedua belah
pihak yang berbeda Kastanya. Maka, bisa dipastikan “Kawin Lari” adalah jalan
keluar yang terhormat bagi masyarakat Bali.
Adapun proses kawin lari sebagaimana diceritakan oleh Bli Gedhe.
Bahwa, pada hari yang telah disetujui oleh pasangan pengantin, salah satu
saudara atau orang lain yang dimintai tolong. Menjemput si perempuan dan
membawanya ke rumah salah satu kerabatnya untuk disembunyikan selama 3
hari atau sampai orangtuanya mengakui bahwa anak gadisnya sudah menikah.
Kemudian, selang beberapa jam, sedikitnya dua orang keluarga, kelian adat
dan dinas dari pihak laki-laki menyampaikan pesan kepada orangtuanya
perempuan bahwa anaknya telah pergi menikah melalui kelian Banjar dari
pihak perempuan. Lalu, bila orangtua perempuan menyetujui anaknya telah
dilarikan dan akan menikah dengan laki-laki pilihannya, maka kedua orangtua
gadis tersebut akan menentukan kapan wakil laki-laki bisa datang kembali ke
rumahnya untuk menyelesaikan masalah ini. Baru keesokan harinya mereka
berdua dijemput oleh orangtua dan keluarga besar pihak laki-laki untuk
kembali ke rumah dan melaksanakan pernikahan adat Bali.

2. Trunyan
Fenomena Trunyan yang melegenda. Ya, satu-satunya tradisi yang ada di
dunia ini adalah tradisi mengubrkan orang yang baru meninggal di sebuah desa
di daerah Kintamani, dimana orang yang baru meninggal ini tidak dikubur
sebagaimana biasa, atau tidak dibakar (ngaben) sebagaimana layaknya orang
Bali jika meninggal. Tetapi masyarakat Trunyan yang meninggal hanya dibawa
ke bawah sebuah pohon yang sangat besar dengan akar yang memenuhi
sekitarnya, serta bebau wangi. Mungkin sejenis pohon Kenanga. Nah orang
yang baru meninggal biasanya dikremasi dan diberi pakaian adat, kemudian
ditaruh di bawah pohon, biasanya di sekelilingnya diberi pagar bambu setingi
mayat tersebut. Bambu yang di potong-potong itu, hanya ditancapkan di
sekeliling sang mayat.
Kebetulan saat ketiga kalinya saya ke Bali, sekitar tahun 1997 saya
berlima bersama teman satu kontrakan, berkesempatan datang ke lokasi
penguburan tersebut. Dengan menggunakan perahu getek bermesin, sejenis
speed boat, kami menyeberang sambil meningkmati indahnya panorama
danau yang sejuk dan menenangkan. Sekitar 10 sampai 15 menit kami merapat
di seberang, dan di sana suasananya sangat sunyi sekali (karena tidak boleh
berisik), walaupun banyak warga setempat yang siap menyambut kita, dengan
menadahkan tangan minta uang recehan, baik anak-anak, remaja, dewasa dan
lansia, baik laki-laki maupun perempuan, banyak sekali mendekati para
wisatawan sambil meminta-minta uang receh. Pemandangan yang sedikit
mengganggu tentunya.
Setelah merapat kemudian kami melangkah pelan melewati bebatuan di
bibir danau, terus melangkah sedikit menanjak, kurang lebih sejurus berlalu
kami mulai mencium aroma yang berbeda, antara bau anyir busuk yang hampir
habis atau mulai mengering bercampur dengan bau wangi. Kemudian kami
mendekat ke bawah pohon, dan pada saat itu ada dua kuburan baru yang
berumur satu minggu. Nampak kelihatan jelas separuh badannya yang
menempel ditanah sudah habis tinggal tulang belulang, tetapi bagian atasnya
masih utuh lengkap dengan pakaiannya. Mayat yang satu adalah perempuan
paruh baya, dan yang satunya lagi adalah anak-anak sekitar 10 tahunan.
Kondisi kedua mayat tersebut hampir sama, posisi terlentang berpakaian
lengkap menghadap ke arah langit, atau ke atas memandang rindangnya
pohon. Anehnya, kedua mayat tersebut tidak berbau bangkai sama sekali,
bahkan saya mendekatinya, hingga jarak sejengkal untuk mengendus aroma
busuk. Tetapi aneh aroma busuk layaknya mayat yang udah meninggal lebih
dari sehari, tidak ada sama sekali. Dan tubuh bagian bawahnya tidak kelihatan
membusuk, tetapi kering seakan terurai lembut menyatu dengan tanang,
tinggal tulang belulang, kebetulan di sisi lain pohon ada satu mayat yang
kayaknya lebih lama, karena sudah tinggal tulang belulang. Sementara agak
jauh, sekitar 5 meter dari pohon itu ada jurang yang katanya warga setempat
(jadi guide dadakan) sebagai tempat membuat mayat lama yang sudah jadi
tulang belulang, untuk digantikan oleh warga Trunyan yang baru meninggal.
Oh ya, di kompleks pekuburan itu juga buanyak sekali uang (baik koin maupun
kertas), namun gak ada orang yang berani mengambilnya. Entah siapa yang
membuang di situ, bisa pelancong atau keluarganya, tapi kayaknya pelancong
yang ingin mendapat berkah (haaiis).

3. Subak
Subak adalah suatu istilah dari sistem irigasi model Bali. Sistem subak

4. Anjing Kintamani
Anjing bagi masyarakat Bali adalah salah satu binatang yang dihormati.
Mereka telah lama hidup berdampingan dengan anjing. Walaupun pada
kunjunganku kali ini, sudah sangat jarang ditemukan anjing-anjing liar yang
dulu memenuhi pulai ini. Yaa, pada dekade 1990, saat itu sekitar tahun 1992
pertama kali ke Bali, sepanjang jalan yang saya lalui pasi akan berseliweran
anjing-anjing liar khas Bali. Untunya pada saat itu jumlah kendaraan bermotor
tidak sebanyak sekarang, kalau kondisinya seperti sekarang mungkin setiap
hari tidak terhitung anjing yang tertabrak. Saking banyaknya populasi anjing
pada saat itu, hingga seakan-akan mengalahi jumlah penduduknya sendiri,
saking banyaknya anjing.
Anjing-anjing liar di Bali sebenarnya bukan liar dalam artian galak dan
suka menyerang. Tetapi liar karena tidak dipelihara, mereka sudah mengalami
evolusi dengan kehidupan manusia. Karena hutan sudah tidak ada. Bahkan
ditengarai anjing Bali ini adalah anjing murni yang berevolusi dari hewan
sejenis serigala yang juga disamakan dengan jenis Dingo dari Australia. Tetapi
lebih tua dari Dingo. Karena berevolusi, mereka belajar hidup berdampingan
dengan manusia, untuk mencari makan bekas sisa-sisa manusia. Maka tidak
heran ketika tahun 1994 saya berwisata dengan teman-teman satu angkatan
lulusan dari MAN 2 Jember, dengan menggunakan Bus. Setiap bus yang kita
tumpangi berhenti di setiap tempat untuk parkir, maka ketika pintu bus
dibuka, dengan lidah menjulur dan gigi menyeringai mereka menyambut
kedatangan kami. Apalagi, jika kita sedang istirahat sambil menyantap
makanan, pasti mereka berjejer dengan sabar berharap ada sisia yang
diberikan pada mereka. Bagi siapapun yang pernah ke Bali pada tahun 1990 an
tentu akan kaget dengan fenomena ini.
Sayangnya sejak beberapa tahun terakhir, anjing-anjing bali banyak
dimusnahkan, karena ditengarai penyebar virus rabies. Yang tersisia adalah
anjing Kintamani, dan sepertinya jenis Kintamani in derajatnya terangkat
setelah rasnya diakui sejak tahun 2006 silam.
iPenggak-an mengatan ngidih kuluk dogen ngorahang masak pianak rage
tusing. Mau minta anak anjing saja harus permisi dulu sama yang punya.
Masak mau minang anak orang tanpa permisi.
Bali juga dikenal sebagai pulau yag buanyak banget anjingnya. Hampir di
setiap daerah di pulau Bali ada anjing yang berkeliaran di jalan-jalan, dan
kampung-kampung. Apalagi pada dekade 1990, waah masa itu adalah
pulaunya anjing. Ya, karena pada 1992 ketika ke sana, hampir setiap malam
bersama pemuda negare, berburu anjing di jalan-jalan, kemudian anjing di
bawa pake karung terus dipindahkan ke hutan.
Banyaknya anjing di pulau Bali ini, mungin ada kaitannya dengan anjing
khas Kintamani, anjing lokal khas asli dari pulau Bali. Kalau kita mampir ke
Kintamani, pasti akan banyak bertemu dengan mereka, dan bentuknya tidak
terlalu besar, tetapi uga tidak kecil semacam cihua-hua. Anjing Kintamani
sangat cantik dengan bulu berwarna-warni. Juga tidak galak, biasanya oleh
penduduk setempat anjing-anjing Kintamani ini dipelihara sebagai penjaga
keamanan, atau teman ketika berburu babi hutan.
Belakangan ini anjing-anjing di Bali mulai dikurangi keberadaannya,
karena sudah terlalu banyak, dan seringkali menimbulkan masalah. Mereka
banyak yang terjangkit virus anjing gila, sehinga banyak kasus menggigit warga
atau wisatawan yang lewat. Maka dari itu anjing-anjing di Bali mulai dikurangi.
Hanya anjing-anjing Kintamani saja yang sampai saat ini diperhatikan dengan
baik, walaupun jumlahnya sudah jauh berkurang.
5. Ogoh-ogoh
6. Patrialisme (laki-laki ngadu ayam)
7. Ritual
8. Puputan atau bunuh diri massal

Kalau boleh
flash back, pertama kali aku ke Bali, tepatnya pada 1992 silam. Waah
kenangan itu kembali hadir, saat kaki ini kembali memijak bumi Bali. Waktu itu
masih baru kelas dua SLTA (Sekolah Lanjutan Atas). Kebetulan punya teman
akrab di pondok yang rumahnya di Bali, tepatnya di Negare. Dari teman inilah
aku mulai mengenal Bali, hampir setiap sudut Bali ia ceritakan. Tentunya
berdasarkan prespektif dia, orangnya juga emang suka cerita. Jadilah cerita
tentang Bali komplit mulai kondisi masyarakatnya, hingga tradisi dan daya tarik
Bali, ia ceritakan disertai bumbu yang secara tidak langsung meracuni hasratku
untuk mengunjunginya. Jadilah kita berempat berback packer ria dari Jember
naik kereta turun di stasiun Ketapang trus naik kapal penyebrangan sampai
Gilimanuk. Dari sana naik angkutan umum, semacam angkot yang ukurannya
seperti Colt atau minibus, menuju Negare. Singkat cerita, kurang lebih
seminggu di Negare kita balik ke Jember.

Kedekatan Jember dengan Bali menyebabkan banyaknya warga Jember yang


merantau mengadu nasib di sana. Hal ini berlangsung sejak tahun 80-an.
Dimana pada masa itu hingga 90-an adalah masa kejayaan Bali, karena dunia
internasional lebih mengenal Bali daripada negaranya Indonesia. Sehingga
banyak sekali masyarakat dunia yang berkarya wisata ke pulau ini. Dengan
banyaknya turis yang hadir di pulau ini, otomatis telah merubah berbagai
tatanan di Bali. Khususnya perekonomian warganya semakin baik. Dan Dollar
menempati sisi terbaik di sini. Sehingga segala harga apapun berdasar standar
Dollar. Dengan daya tarik ekonomi yang tinggi inilah mengundang wisatawan
domestik datang merantau untuk mengadu nasib. Dan daerah terbanyak yang
merantau di sini, tentu kabupaten-kabupaten terdekatnya. Kalau di Jawa,
pastilah Banyuwangi dan Jember, serta beberapa kabupaten lainnya di Jawa
Timur.

Anda mungkin juga menyukai