Anda di halaman 1dari 6

Nama : Raodlotin Chusniya

NIM : 2020120043

Prodi : Sastra inggris II B

Pendahuluan

Culture shock merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang
melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan
orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh
orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009).

Culture shock atau dalam bahasa indonesia “gugat budaya” adalah istilah psikologis
untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi lingkungan sosial dan
budaya yang berbeda.

Istilah ini mengandung pengertian,adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan


tidak tahu apa yang harus di lakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu
yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara
kultur atau sosial baru.

Ada 5 tanda seseorang terkena culture shock, yaitu :

1. Terus-terusan berpikir negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan di tempat baru


dengan kampung halaman.

2. Mulai frustasi, gampang marah dengan hal-hal kecil karena tidak bisa mengikuti pola
hidup disana, menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak PD.

3. Mulai merasa sedih dan terasingkan walaupun saat itu sedang berada di tengah-tengah
orang banyak.

4. Mulai kehilangan identitas dan ciri-ciri pribadi

5. Mulai merasa kurang sehat, jadi sering flu, pilek, demam, diare dsb
Pembahasan

Saya akan menceritakan pengelaman saya tentang Culture Shock. Pengalaman ini
terjadi di Bali tahun 2018 saat saya mengikuti Study Tour kelas 11 SMA waktu itu. Mungkin
pengalaman berlibur ke Bali ini sangat singkat, 7 hari kami Study Tour hanya sekitar 3-4 hari
kami di Bali. Sisanya untuk perjalanan.

1. Banyak Patung

Saat pertama kali tiba di Bali, yang mencuri perhatian saya adalah banyaknya patung di
sepanjang perjalanan. Saya melihat arsitektur bangunan patung yang banyak. Ternyata patung
itu digunakan umat Hindu untuk beribadah baik di tengah kota, perkantoran, sampai
perumahan. di Bali banyak sekali patung-patung yang diberi pakaian dan sesaji.

2. Banyak dupa dan sesajen

Saya hampir saja menginjak sesajen kecil yang terletak di pinggir jalan jika saja teman saya
tidak mengingatkan. Di Bali banyak sekali dijumpai sesajen dan banyak aroma dupa. Sesajen
pun tidak hanya diletakkan di tempat ibadah, tapi juga dipinggir jalan, mall, pantai dan
sebagainya.

3. Banyak kuliner babi

Yang ini saya juga merasa aneh. Banyak yang menjual Bakso Babi dan Babi Guling. Tapi,
ternyata yang berjualan adalah non-muslim. Jadi, kuliner makanan sebagian ada tanda
warung muslim. Agar pelanggan bisa tahu bahwa makanan itu halal.

4. Sapi berkeliaran dan tidak dikandang

Saya melihat ada banyak sapi yang dibiarkan begitu saja di pekarangan. Hanya dipatok
dengan tali di sawah. Dan itu aman, tanpa ada khawatir ada yang mencuri. Ternyata sapi
adalah hewan yang di sucikan oleh masyarakat Hindu.

5. Perbedaan bahasa

Perbedaan bahasa yang beberapa maknanya tidak sama dengan istilah-istilah umum. Misal
nya saja saat teman saya ada yang ingin buang air kecil atau "pipis" tetapi berbeda makna di
Bali kata "pipis" berarti "uang". Contoh lain adalah kata "asu" yang dalam bahasa jawa
berarti "anjing" namun di Bali artinya adalah "tidak baik"
Pengalaman lain yang saya alami terjadi di Jakarta, saat itu saya baru lulus SMA dan
di ajak kakak saya yang sekarang tinggal di Jakarta untuk sekedar berlibur habis selesai ujian.
Kakak saya tinggal di sebuah kontrakan bersama suami dan anaknya. Culture Shock yang
saya alami selama di Jakarta diantaranya :

1. Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah daerah yang berbeda dengan Jakarta.

Panggil saya udik, tapi sungguhan dulu saya kira Bogor itu Jakarta, Bekasi itu masih
termasuk Jakarta. Ternyata sudah beda kota dan provinsi.

2. Orang Jabodetabek dan Jawa Barat menganggap mereka terpisah dari pulau Jawa.

Suatu hari saya sedang berada di taman bermain sekitar rumah kakak saya untuk menemani
keponakan saya bermain. Lalu ada seorang ibu-ibu juga yang sedang menemani anaknya.
Beliau bertanya "mbak bukan orang sini ya? Kok saya tidak pernah lihat" lalu saya menjawab
"iya bu, saya dari Wonosobo. Kesini diajak kakak saya". Lalu ibu itu menjawab lagi "oh dari
Jawa". Awalnya saya bingung, bukankah Jakarta itu termasuk berada di pulau Jawa? Lalu
kenapa seolah-olah ibu itu menganggap Jakarta itu bukan di Jawa.

3. Mendungnya langit Jakarta

Pertama kali datang ke Jakarta, saya takjub dengan gedung-gedung pencakar langit, jalan tol,
monas, TMII, dan semua yang hanya bisa saya lihat di TV sebelumnya. Tapi saya paling
tidak suka dengan langit Jakarta yang cerahnya hanya weekend atau hari raya. Polusi Jakarta
yang paling membuat saya tidak tahan. saya jarang sekali melihat langit biru selama disana,
yang terlihat hanya langit warna abu tanpa matahari. Kalau pagi tiba-tiba langit berubah
warna lebih cerah, sedangkan menjelang malam langit tiba-tiba berubah gelap. Cukup
mengagetkan saya, ketika jarak pandang saya tiba-tiba menjadi pendek karena polusi. Ada
cerita lucu waktu pertama saya ke Jakarta. Hampir seminggu saya tidak kemana-mana, lalu
kakak saya bertanya kenapa saya kenapa tidak keluar, jalan-jalan gitu? Dengan polosnya saya
jawab "Mendung, kak. Mau hujan". Kakak saya langsung tertawa, katanya itu bukannya
mendung, tapi langit Jakarta memang biasanya begitu.

4. "AKU-KAMU" khusus untuk pasangan atau orang terdekat.

Sebagai orang daerah, saya tidak terbiasa memakai sapaan "Lu-Gue" dan merasa kalau
berbicara menggunakan "Lu-Gue" itu agak kasar, jadi kebanyakan saya pakai "Aku-Kamu".
Dan kebanyakan sering ditertawakan sama teman-teman saya. Ternyata pergaulan di Jakarta
lebih populer dengan kata "Lu-Gue". Dan biasanya yang memakai "Aku-Kamu" hanya untuk
orang terdekat saja.

5. Kemacetan lalu lintas adalah hal yang biasa

Padahal biasanya di Wonosobo, ataupun di kampung saya, macet biasanya kalau ga gara-gara
kecelakaan ya ada kejadian tak terduga lainnya. Di Jakarta sering terjadi kemacetan lalu
lintas, yang bahkan terjadi di ruas jalan tol dalam kota, sudah menjadi kewajaran di hampir
setiap hari. Istilah "tua di jalan" sudah jadi hal yang biasa diucapkan. Saya terkaget-kaget
begitu mengetahui besarnya biaya hidup yang bisa mencapai beberapa kali lipat dari daerah
asal saya.

6. Ojek tidur di jalanan

Aku kaget sekali, di daerah sini banyak sekali ojek-ojek yang tiduran di trotoar. Persis seperti
gembel. Menurut analisa saya, kemungkinan bapak-bapak ojek ini bukan asli daerah sini, tapi
orang-orang pinggiran yang ngojek sampai malam, akhirnya daripada balik kejauhan,
akhirnya menginap di jalanan. Kenapa kok di jalanan? Gak mungkin lah ya di hotel. Mau di
emperan masjid, masjid di Jakarta kalau malem tutup. SPBU juga jarang yang buka 24 jam.
Akhirnya tidurlah di jalanan bersama rekan-rekan sejawat. Tapi bagaimanapun juga saya
respect sama mereka, berjuang memberi nafkah sampai tidur di jalanan.

7. Masjid Istiqlal kumuh

Pertama kali saya kesana diajak kakak dan kaka ipar saya, di luar masjid banyak sekali yang
berjualan, sampah-sampah berserakan. Terus ketika masuk masjid, ramai sekali dan tempat
wudhunya overload. Dan yang paling tidak enak adalah ketika masuk masjid bakal ada
sambutan "Awas barang-barang di jaga, banyak copet". Pengalaman sholat disana sebenernya
biasa-biasa saja, memang benar-benar besar dan berlapis-lapis. Disini saya temui banyak
pengunjung dari luar Jakarta, sama seperti saya yang ingin tau Istiqlal itu seperti apa. Saat
ingin keluar Istiqlal, saya keliling dulu, lihat-lihat Istiqlal seperti apa. Ternyata masjid itu
benar-benar luas sekali, sampai ada 2 lapangan disitu. Padahal ini bukan lantai 1, tapi ada 2
lapangan.

8. Semua jalanan beraspal, termasuk kampung-kampung.

Hampir semua jalanan di Jakarta beraspal, termasuk kampung-kampung, bahkan yang cuma
bisa muat 1 motor pun sudah di aspal. Sementara di Wonosobo, komplek perumahan belum
tentu aspalan, biasanya pake paving. Hal ini menunjukkan bahwa, APBD Jakarta yang
hampir unlimited.

9. Kebakaran hampir seminggu sekali

Hal ini saya sadari ketika di dekat kontrakan kakak saya ada kebakaran besar, lalu saya
mencari berita kebakaran tersebut. Yang membuat saya terkejut adalah kebakaran di Jakarta
gak cuma sekali dua kali, tapi hampir seminggu sekali.

Penutup

Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga
kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue
mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada
sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering
melakukan aktifitas lintas budaya.

Mengatasi Culture Shock

1. berpartisipasi dalam budaya baru

2. bersikap tegas dan belajar mengungkapkan perasaan

3. bersedia berbagi culture dan budaya

4. menahan judgement tentang budaya baru yang akan dimasuki

5. secara periodik menghubungkan diri dengan budaya asal

6. berhati – hati dengan stereotype

7. tetap memelihara identitas diri dan budaya asal

8. tidak menginterpretasi budaya baru dengan budaya asal

9. belajar menggunakan perkakas budaya baru

10. mencari berbagai informasi tentang budaya baru


11. menjaga toleransi ambiguitas makna yang tercipta dari kedua budaya

12. tetap memelihara sens of humor

13. belajar menerima sesuatu yang tidak sesuai harapan

14. tetap open minded

Anda mungkin juga menyukai