PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung mengandung
asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan sebagai
pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin.
Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih
kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin merupakan
enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi
kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin.
Tanpa adanya renim susu yang berwujud cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing
dan usus tanpa sempat dicerna4.
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian
pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot
pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim yang
bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan berkontraksi
(mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam tiba di pilorus
depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh karena makanan
asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga
keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di belakang pilorus akan
merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan yang asam dari lambung
masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju
duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif.
Setelah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali4.
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang tinggi
dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon saluran
cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk dalam
mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan demikian
proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral4.
4
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung, yang
merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5, yang
mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang dibutuhkan untuk
absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan dan
menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga menyediakan pH
yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang tak aktif menjadi
pepsin4.
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan motilitas
lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf maupun
hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi atas fase
sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal)4.
Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman
dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya
asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi langsung pada sel
parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui aliran
darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya sehingga sel itu
membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin juga ikut berperan.
Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus (gambar 3). Secara tak
langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat bekerja.4
Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk
ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau
alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH
turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat4.
Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti
dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas
jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang
2.2 Definisi
Dalam referensi, cukup banyak definisi untuk dispepsia, misalnya istilah ini dikaitkan
dengan keluhan yang berhubungan dengan makan, atau keluhan yang oleh pasien maupun
dokternya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas. Dalam konsensus Roma II
tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut; dyspepsia refers to pain or
discomfort centered in the upper abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman menjadi
suatu yang relatif, terlebih lagi bila di ekspresikan dalam bahasa yang berbeda. Jadi disini
diperlukan sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat
menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama. Dalam
definisi, lamanya keluhan tidak ditetapkan. Hanya tentunya untuk keperluan suatu penelitian hal
ini perlu ditetapkan1.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/ gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak
atau sakit diperut bagian atas yang menetap atau yang mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini
tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua yaitu 1 :
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya
b. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
bila tidak jelas penyebabnya.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah eksplorasi penunjang
diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat
fungsional. Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus membicarakan tentang
kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai 1;
a. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
b. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab kelainan tersebut.
c. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
di tegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm
sympomps seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen,
maka merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan
sebagainya1.
Dalam usaha untuk mencoba kearah praktis pengobatan, dispepsia fungsional ini dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu1 ;
a. Dispepsia tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik
b. Dispepsia tipe seperti dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan
kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang.
c. Dispepsia tipe non-spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan.
Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur penanganan
dispepsia. Tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya heart burn atau
regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/ algoritme penyakit gastroesophageal refluks
disease. Hal ini diesebabkan oleh sensitivitas dan spesifisitas keluhan itu yang tinggi untuk
adanya proses refluks gastroeophageal1.
Sindroma Tumpang Tindih (Overlap Syndromes)
Hal ini mencuat menjadi penting dalam klinis praktis, karena adanya keluhan yang
tumpang tindih antara kasus dispepsia, kasus refluks gastroesofageal (keduanya berasal dari
saluran cerna bagian atas) dan kasus irritable bowel syndrom. Krtiga penyakit ini mempunyai
kecenderungan gejala yang tumpang tindih sehingga perlu dicermati (terutama dalam
anamnesis), karena akan berdampak pada pengobatan yang berbeda 1.
2.3 Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis
kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.1
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi2
A. Organik
I. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,
metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.8-10
II. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
8
Akhalasia
Obstruksi esophagus
Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
Karsinoma gaster
Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
Pankreatitis
Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
Malabsorbsi
Angina abdominal
Karsinoma kolon
V. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen5-11
B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus2
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik
atau
metabolik
tetapi
merupakan
kelainan
fungsi
dari
saluran
10
- Dispepsia alergik
- Dispepsia essensial
- Pseudoobstruksi intestinal kronik
- Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
- Psikogen : Histeria, psikosomatik
2.4 Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah; hipotesis asam lambung dan inflamasi,
hipotesis gangguan motorik, hipotesis sensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya
gangguan psikologik dan psikiatrik1.
a. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun sekresi dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Di duga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak di perut1.
b. Helicobacter pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok
orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada
dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku 1.
c. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah
satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia
fungsional, tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan
pengosongan mukosa lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan
adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, disamping juga
ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini di duga yang
mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir pengobatan yang
11
bersifat inkonsisten1.
g. Hormonal
Peran hormonal belum jelas pada patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal 1.
h. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
i.
12
a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcer like dyspepsia) dengan gejala:
Nyeri epigastrium terlokalisasi
Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik
b. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility like dyspepsia)
Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating
Rasa tak nyaman bertambah saat makan
c. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas.
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu 3 bulan.
13
Dispepsia organik
Ulkus peptik kronik
(ulkus ventrikuli,
Dispepsia fungsional
Disfungsi sensorik-motorik gastroduodenum
ulkus duodeni)
Gastroesofagal reflux disease (GERD)
3
4
5
6
Disritmia gaster
Hipersensitivitas gaster/duodenum
Faktor psikososial
Gastritis H. Pylori
(uremia,
14
7
8
9
Idiopatik
2.8 penatalaksaaan
Luasnya lingkup manajemen kasus pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan
bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon plasebo yang tinggi sekitar
(45%) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti 1.
Penjelasan dan reassurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa
tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang
patogenesis penyakit yang di deritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasihat untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik
akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional 3.
Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih
bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi sebaiknya
dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak1.
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat2.
dispepsia
Tes serologi Hp
rujuk
15
Hasil
(-)
Hasil
(+)
Terapi empiris
selama 2
minggu:
-antasida
-h2
antagonis/PPI
(omeprazole)
-obat-obat
prokinetik
rujuk
Gastroenterologis/intern
is atau dokter anak
dengan fasilitas
endoskopi
Dispepsi
a tetap
(+)
Dispepsi
a (-)
rujuk
Terapi
dihentikan
Kambuh
(maksimal 3x)
16
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin,
roksatidin, ranitidin, dan famotidin2.
Indikasi
Dosis
simetidin
Selama 4 minggu
Ditambah 200 mg
Penekanan
eritropoeisis,
sampai
-Gastritis
dengan
Hcl
Lanjutan
malam
setiap
pansitopeni
atau
neutropeni.
Gangguan
seperti
ssp
konfusi
mental, somnolen,
letargi, halusinasi.
Gangguan
endokrin
yaitu
impotensi
dan
ginekomastia
17
Roksatidin
Gastritis
kronik,
akut
dan 75
denga
daya disesuaikan
baik
bersihan
daripada creatinin
simetidin,
setara
ranitidin
Ranitidin
Dispepsia
akut
dan 2x150 mg
kronik,
mg
Selama 4-6
minggu
malam hari
Indikasi
dosis
pemberian
Efek samping
Omeprazol
Tukak peptik
1x20 mg/hari
Sakit
nausea,
diare,
mabuk,
lemas,
Tukak duodenum
1x20-50 mg/hari
2-4 minggu, oral
kepala,
nyeri epigastrik,
banyak gas
Lansoprazol
Tukak peptik
1x30 mg/hari
4 minggu oral
Idem
pantoprazol
Tukak peptik,
1x40 mg/hari
oral
idem
inhibitor pompa
proton yang
ireversible
18
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas (SCBA)2.
6. Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan
mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) 2
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi dan cemas)
pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul
berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi 2
19
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Penutup
Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pada keluhan / simptom/ sindroma dispepsia
dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan kausa organik/biokimiawi,
sehingga masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi
yang kompleks dan multifaktorial, dimana tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau
hipersensitivitas viseral. Modalitas pengobatannyapun menjadi luas, berdasarkan komplesitas
patogenesisnya, serta lebih kearah hanya menurunkan/ menghilangkan simptom.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat, Dharmika. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Dispepsia Fungsional, Jilid I
edisi V, Interna Publishing : Jakarta.2010. hal. 529-533
2. Mansjoer, arief dkk, editor. Kapita Selekta Kedokteran: Dispepsia. Jilid 1. Edisi 3, Media
Ausclapius: Jakarta. 2001. Hal. 488-491
3. Friedman, S Laurace. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam : Anoreksia, Nausea,
Vomitus, dan Dispepsia, volume 1 edisi 13, EGC : Jakarta.1999.hal.241-246
4. Guyton, C Arthur. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran : Propulsi dan Pencampuran Makanan
dalam Saluran Pencernaan, Edisi 1.EGC: Jakarta. 2011. Hal.821-830
21