Anda di halaman 1dari 19

1. Anatomi, histologi dan fisiologi dari gastroesphageal ?

Lambung merupakan suatu organ yang terletak antara esophagus dengan duodenum,
terletak pada region epigastrium dan merupakan organ intraperitonel.
Berbentuk menyerupai huruf J dan terdiri dari fundus, corpus dan pylorus. Memiliki 2 buah
permukaan yaitu permukan anterior dan posterior serta memiliki 2 buah kurvatura yaitu
mayor dan minor.
Lambung memiliki dua buah orifisium yaitu orifisium kardia dan pilori.

Permukaan anterior lambung berhubungan dengan diafragma, lobus kiri dari hepar serta
dinding anterior abdomen. Permukaan posterior berbatasan dengan aorta, pancreas, limpa,
ginjal kiri, kelenjar supra renal serta mesokolon transversum.

VASKULARISASI

Suplai pembuluh darah berasal dari beberapa arteri utama yaitu:

1. A.Gastrika kiri, cabang aksis coeliacus berjalan sepanjang kurvatura minor.


2. A.Gastrika kanan, cabang a.hepatica, beranastomose dengan a.gastrika kiri.
3. A.Gastroepiploika kanan, cabang a.gastroduodenal yang merupakan cabang a.hepatica,
memperdarahi lambung yang berjalan pada kurvatura mayor.
4. A.Gastroepiploika kiri, cabang a.lienalis dan beranastomosis dengan a. gastroepploika kanan.
5. Pada fundus terdapat a. gastrika brevis, cabang dari arteri lienalis.

Aliran vena lambung mengikuti nama dari arteri arteri yang memperdarahi lambung
dan aliran vena lambung akan menuju ke vena porta.
Aliran limfe lambung juga mengikuti daerah daerah yang diperdarahi arteri arteri
lambung. Pada daerah yang diperdarahi cabang arteri lienalis maka aliran limfe akan
bermuara ke hilus lienalis, sedangkan pada sepanjang arteri gastrika kiri akan
bermuara ke limfe sekitar aksis coeliakus.
Daerah kurvatura mayor akan bermuara ke limfe nodus subpilorik yang selanjutnya
bermuara ke limfe nodus coeliacus.

INNERVASI

Lambung mendapatkan innervasi dari nervus vagus, baik nervus vagus anterior dan posterior
masuk kedalam cavum abdominalis melalui hiatus esophagus.
Vagus anterior akan menginervasi bagian lambung di sepanjang kurvatura minor dan
permukaan anterior lambung. Sedangkan vagus posterior akan menginervasi permukaan
posterior .

Fisiologi:
penerima, pemecah (antrum), pencernaan awal ( HCL dan Pepsin )
danpengosongan ke duodenum
motilitas, penyimpanan, penyampuran, pengosongan
kemampuan menyimpan makanan : 1500 cc
pengosongan makanan :
- berlemak 6-12 jam ,
- tak berlemak : 3 jam.
Cairan lambung :
- 500 1500 cc/hr
- td. : lendir, pepsinogen, f. Intrinsik, elektrolit (HCl)

Pengaturan Sekresi Lambung


1. Fase sefalik
sekresi terjadi bahkan sebelum makanan sampai lambung. Makin kuat nafsu
makan makin banyak sekresinya
2. Fase Gastrik
Rangsang regangan dinding lambung dan kimiawi makanan merangsang
nukleus motorik dorsalis vagus dan sekresi gastrin
Kimiawi khusus merangsang gastrin : sekretagogue, alkohol, kafein
Rangsang vagus: sekresi pepsin, gastrin dan asam
Rangsang gastrin: meningkatkan sekresi asam lambung dan pepsin
3. Fase intestinal
keberadaan makanan pada bagian usus kecil merangsang sejumlah kecil
gastrin
Pengosongan Lambung
Dirangsang oleh: n.vagus, penuruna simpatis, alkohol, kafein, protein yang
tercerna sebagian, distensi dinding lambung peningkatan kontraksi pompa
pilorus penurunan resistensi spingter pilorus peningkatan pengosongan
lambung
Dihambat oleh: Penurunan vagus, peningkatan simpatis, distensi duodenum,
adanya lemak, antikolinergik gastrointestinal, antasid, belladona perlehahan
kontraksi pompa pilorus peningkatan resistensi sfingter pilorus penurunan
pengosongan lambung

Fisiologi gaster
a. Fungsi motorik
i. Fungsi reservoir : menyimpan makanan sampai makanan tsb sedikit demi
sedikit dicernakan dan bergerak pada salursn cerna.
ii. Fungsi mencampur : memecahkan campuran makanan menjadi partikelpartikel kecil dan mencampurnya dgn getah lambung melalui kontraksi otot
yang mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltic diatur oleh suatu irama
listrik intrinsic dasar
iii. Fungsi pengosongan lambung ( makanan yang bercampur dengan sekret
lambung): diatur oleh pembukaan sphincter pylorus yang dipengaruhi oleh

viskositas, volume, keasaman,aktivitas osmotic, keadaan fisik,serta oleh


emosi, obat-obatan dan kerja.
b. Fungsi pencernaan dan sekresi
iv. Pencernaan protein oleh pepsin dan HCl dimulai disini; pencernaan
karbohidrat dan lemak oleh amylase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya
v. Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
peregangan antrum dan rangsangan vagus
vi. Sekresi factor intrinsic memungkinkan absorpsi vit. B12 dari usus halus
bagian distal
vii. Sekresi mucus membentuk selubung yang melindungi lambung serta
berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut
viii. Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi mgel mukus, tampaknya
berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.

HISTOLOGI

Secara histologi, lambung terdiri atas 5 lapisan,yaitu: mukosa, submukosa, muskularis,


subserosa & serosa.
Pada cardia terdapat kelenjar yang menghasilkan musin/lendir. Fundus dan corpus
merupakan 4/5 dari permukaan lambung memiliki 3 macam sel, yaitu:

- Sel musin yang menghasilkan lendir, terutama terletak di bagian atas


- Sel chief menghasilkan pepsinogen
- Sel parietal menghasilkan HCl dan faktor intrinsik Castle. Jika bercampur dengan faktor ekstrinsik
akan membentuk vitamin B12 (faktor antianemia).

sel argentafin yang tersebar, yaitu sel yang dapat dipulas dengan perak dan mempunyai
fungsi endokrin.
Mukosa, lapisan dalam lambung tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal yang disebut rugae,
sehingga dapat berdistensi waktu diisi makanan.
Submukosa, Jaringan areolar yang menghubungkan lapisan mukosa dan muskularis bergerak
bersama gerakan peristaltik mengandung pleksus saraf, pembuluh darah dan saluran limfe.
Muskularis, tiga lapis otot polos: lapisan longitudinal (luar), lapisan sirkular (tengah) & lapisan
oblik (dalam)memecahkan, mengaduk & mencampur dengan cairan lambung, dan mendorongnya
ke arah duodenum.
Serosa/Subserosa Merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum dan memanjang ke arah hati, membentuk
omentum minus.
Histologi
Lapisan dari luar ke dalam :
mukosa, berfungsi mensekresikan sesuatu yang diperlukan untuk mengabsorpsi vitamin
B12. Didalam mukosa terdapat kalenjar yang berbeda yang dibagi menjadi tiga zona, yaitu :
kelenjar kardia, berfungsi menghasikan lisozom
kelenjar lambung, berfungsi mensekresikan asam, enzim-enzim, mukus, dan hormonhormon.
kelenjar pilorus, berfungsi menghasilkan hormon dan mukus.
2. submukosa, mengandung pembuluh darah, pembuluh limfa dan syaraf perifer.
3. muskularis
4. serosa, mengandung banyak lemak apabila umur bertambah.

(patofisiologi Sylvia A.Price)

2. Mengapa ada nyeri ulu hati yang terasa terbakar sampai di belakang tulang dada ?
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan
terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga menimbulkan
rasa nyeri, sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat mengakibatkan reflek
spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam Hcl yang menjadi pencetus timbulnya
rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar.

(Sumber : Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I)


Nyeri ulu hati terjadi karena kandungan asam lambung dan duodenum meningkat
menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Nyeri dengan ulkus
mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di

punggung. Teori lain menunjukkan adanya kontak antara lesi (ulkus) dan asam merangsang
mekanisme lokal yang memulai kontraksi otot halus disekitarnya. Nyeri bisa hilang setelah
makan, karena makanan menetralisir asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila
lambung kosong, nyeri kembali timbul. Aktivitas makan merupakan salah satu cara
menentukan letak ulkus (di lambung atau di duodenum). Apabila setelah makan, nyeri
menghilang mungkin letak ulkus di lambung, jika tidak hilang, dimungkinkan letaknya di
duodenum (tapi cara ini tidak bisa digunakan sebagai patokan).
Pirosis (nyeri ulu hati), merupakan sensasi luka bakar pada oesophagus dan lambung yang
naik ke mulut, kadang disertai eruksitasi (sendawa) asam. Eruksitasi bisa terjadi saat
lambung kosong.

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2007. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
3. Apa hubungan kebiasaan pasien minum kopi dan makan coklat dengan gejala yang
dikeluhkan ?

Kopi dan coklat memiliki senyawa kimiawi yang dapat meningkatkan


sekresi asam lambung.
Sehingga apabila sekresi asam terus meningkat dapat menjadi salah satu
faktor presdidposisi timbulnya berbagai macam penyakit lambung yang
dapat berefek ke organ lainnya.
(Sumber : Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I)
4. Apa hubungan alkohol dan konsumsi rokok, berat badan dengan keluhan pasien ?
5. Mengapa penderita saat sendawa disertai keluarnya cairan pahit dilidah dan suara serak ?

Akibat adanya refluks dari gaster menuju esofagus berefek pada


mekanisme bersendawa yaitu keluarnya gas dan cairan dari mulut.
Keluarnya cairan pahit disebabkan akibat refluksnya bahan-bahan
refluksat dari gaster berupa : empedu, enzim-enzim pankreatik, HCl dan
pepsin yang akan memberi rasa pahit di cairan tersebut.
(Sumber : Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I)
6. Pada saat apa skekresi lambung meningkat, fungsi asam lambung, kapan disebut
hipersekresi asam lambung , sawar lambung ?
7. Mengapa dianjurkan untuk mengganti kontrasepsi ?

Faktor-faktor yang dapat melemahkan tonus LES (Lower eosophageal


sphincter) :

Adanya hiatus hernia


Semakin pendek LES semakin mudah GERD muncul
Obat-obatan : obat kolinergik, beta adregenik, theofilin, ophiat
Faktor hormonal : kehamilan dan peningkatan kadar progesteron
dapat menurunkan tonus LES.

(Sumber : Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I)


8. Kenapa terasa paling nyeri saat penderita bangun tidur ?
9. Mengapa dirasakan nyeri tekan epigastrium ?
10. Mengapa keluhan mereda dengan pemberian antasida ?
Cara Kerja Antasida
Dalam keadaan normal, isi lambung mempunyai sifat yang sangat asam. Sifat ini mempunyai
potensi untuk merusak dinding lambung. Untungnya, dinding lambung dilindungi oleh
lapisan yang mencegah asam lambung berkontak langsung dengannya. Pada beberapa
keadaan, lapisan pelindung tersebut dapat mengalami kerusakan. Beberapa diantaranya
adalah penggunaan pereda nyeri NSAID (non steroid anti inflammatory drugs seperti
ibuprofen, asam mefenamat, piroksikam) dalam jangka waktu lama, infeksi bakteri
Helicobacter pylori, dan ditambah pola makan yang tidak sehat dan tidak teratur
(Wartamedika, 2009).
Antasida, yang merupakan kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida,
bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga rasa nyeri ulu hati
akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Di samping itu, efek laksatif dari
magnesium hidroksida akan mengurangi gelembung-gelembung gas, yakni efek konstipasi
dari aluminium hidroksida, dalam saluran cerna yang menyebabkan rasa kembung
berkurang (Cari obat, 2009).
Saat diminum, obat akan segera bereaksi dengan asam yang ada di lambung, sehingga
terbentuk senyawa yang relatif netral.
2HCl(aq) + Mg(OH)2(s) MgCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)
Asam + basa netral sendawa
3HCl(aq) + Al(OH)3(aq) AlCl3(aq) + 3H2O(l)
Asam + basa netral
Magnesuim oksida lebih efektif mengikat asam karena tidak diserap sehingga tidak
menyebabkan alkalosis. Magnesium trisilikat adalah antasida non-sistemik, yang bekerja
lebih lambat dan di dalam lambung akan melepaskan silisium oksida yang akan melapisi
selaput lendir lambung dengan lapisan pelindung. Dengan demikian, iritasi lambung akan
segera berhenti dan keluhan nyeri juga akan hilang. Gas karbondioksida yang dihasilkan dari
reaksi tersebut dapat menyebabkan tekanan gas di dalam lambung meningkat, sehingga
dikeluarkan dengan bersendawa. Umumnya obat antasida yang sering dipilih adalah jenis
yang sukar larut, sehingga reaksinya lambat dan dapat bertahan lama, misalnya aluminium
hidroksi (BPPOM, 2008).
Dosis Dewasa : 1 2 tablet, 3 4 kali sehari Anak 6 12 tahun : - 1 tablet, 3 4 kali
sehari Diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur,
sebaiknya tablet dikunyah dulu.

Efek Samping Antasida


Antasida biasanya terdiri dari kombinasi antara aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida yang bekerja menetralkan asamlambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga
rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Efek samping dari
antasida jarang dan hampir tidak pernah ditemui karena dampak negatif dari kedua senyawa
tersebut saling menghilangkan. Namun pada beberapa orang akan terjadi efek samping
berupa mual, muntah, diare, dan konstipasi.
Rasa mual dan muntah disebabkan karena adanya penolakan dari dalam tubuh seseorang
terhadap suatu kandungan dari antasida sehingga orang yang meminum antasida akan
merasa tidak enak. Sedangkan konstipasi merupakan efek samping yang ditimbulkan oleh
aluminium hidroksida. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras
dan sulit dikeluarkan. Biasanya buang air besar disertai dengan rasa sakit dan menjadi lebih
jarang. Kasus ini sering terjadi pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa mengalaminya.
Menurut Dokter Nurul Itqiyah (2007), apabila keadaan ini terjadi secara terus menerus,
maka bisa menimbulkan gejala berikut:
Sakit perut
Turun atau hilangnya nafsu makan
Mual atau muntah
Turunnya berat badan
Jika anak mengalami konstipasi yang cukup berat, dapat mengalami kehilangan kemampuan
merasakan kebutuhan ke toilet untuk buang air besar sehingga menyebabkan anak buang air
besar di celananya. Hal ini disebut encopresis atau fecal incontinence.
Mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan robekan kecil pada
lapisan mukosa anus (anal fissure) dan perdarahan
Konstipasi meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
Meskipun aluminium hidroksida mempunyai efek konstipasi, namun efek ini bisa dikurangi
dengan adanya efek laksatif (diare) dari magnesium hidroksida. Laksatif merupakan
kebalikan dari konstipasi, yaitu suatu keadaan dimana feses terlalu banyak mengandung air
sehingga feses memiliki konsentrasi cair dan sangat mudah dikeluarkan. Keadaan seperti ini
basa disebut dengan diare. Apabila terjadi secara terus-menerus, maka seseoarang akan
mengalami kehilangan cairan yang banyak. Namun komposisi yang setimbang dalam suatu
antasida, akan mengurangi bahkan menghilangkan efek samping dari antasida tersebut.
Yang perlu diperhatikan adalah antasida yang mengandung magnesium hidroksida ini harus
diberikan dalam dosis kecil pada penderita gangguan ginjal. Bahkan penderita tersebut tidak
boleh mengkonsumsinya apabila kerusakan ginjalnya sudah parah. Hal ini disebabkan
magnesium hidroksida dapat mengakibatkan hipermagnesia, yaitu kelebihan magnesium
dalam darah, karena magnesium hidroksida dapat diserap sebagian kecil ke dalam darah.
Bagi penderita gangguan ginjal yang mengalami sakit maag sebaiknya berkonsultasi dengan
dokter sehingga dokter akan memberi obat maag dari golongan lain seperti Proton Pump
Inhibitor (PPI) (Indonesia, 2008).

Antasida berasal dari kata anti = lawan dan acidus = asam. Antasida adalah senyawa
yang mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam klorida (lambung) atau
mengikatnya secara kimiawi.

Antasida doen

Komposisi :
Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi mengandung :
-

gel aluminium hidroksida kering 258,7 mg (setara dengan aluminium

hidroksida) 200 mg
-

magnesium hidroksida 200 mg

Cara kerja obat :


Kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida merupakan antasid yang
bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin sehingga rasa nyeri
ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Di samping itu efek
laksatif dari magnesium hidroksida akan mengurangi efek konstipasi dari aluminium
hidroksida.
Indikasi :
Untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung,
gastritis, tukak lambung, tukak pada duodenum dengan
Gejala-gejala seperti mual, nyeri lambung, nyeri ulu hati, kembung dan perasaan
penuh pada lambung.
Kontra indikasi :
Penderita yang hipersensitif terhadap salah satu komponen obat.
Dosis :
Tablet :
-

anak-anak 6-12 tahun : sehari 3-4 kali 1/2 tablet.

dewasa : sehari 3-4 kali 1-2 tablet. Diminum 1-2 jam setelah makan dan

menjelang tidur.
Syrup :
-

anak-anak 6-12 tahun : sehari 3-4 kali 1/2 sendokteh -1 sendok teh.

dewasa : sehari 3-4 kali 1-2 sendok teh. Diminum 1 - 2 jam setelah makan dan

menjelang tidur.
Efek samping :
Efek samping yang umum adalah sembelit, diare, mual, muntah dan gejala-gejala
tersebut akan hilang bila pemakaian obat dihentikan.

11. Mengapa pasien disarankan untuk mengurangi konsumsi lemak dan disarankan
meninggikan posisi kepala saat tidur ?
12. Apa DD dari skenario ?

Definisi
Penyakit refluks gastroesofagus (Gastroesophageal reflux disease, GERD) yang secara
popular dikenal dengan istilah nyeri ulu hati (heartburn) atau pirosis merupakan aliran balik
(refluks) isi lambung atau duodenum atau keduanya ke dalam esophagus dan melewati
sfingter esophagus bagian bawah tanpa disertai muntah atau belching (muntah tanpa isis).
Aliran balik isi lambung menyebabkan nyeri akut epigastrium yang biasanya terjadi sesudah
makan. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke dada atau lengan. Refluks gastroesofagus
umumnya ditemukan pada ibu hamil atau pasien obesitas. Berbaring sesudah makan juga
dapat ikut menimbulkan refluks.
Penyebab
- Sfingter esophagus yang lemah
- Peningkatan tekanan intraabdomen, seperti pada kehamilan atau obesitas
- Hernia hiatus
- Obat-obatan, seperti morfin, diazepam, penyekat saluran kalsium, meperidin, dan
obat-obatan antikolinergik
- Makanan, alcohol, taua rokok yang menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian
bawah
- Intubasi nasogastrik yang lebih dari empat hari
Nyeri Ulu Hati
Fluktuasi hormonal, stress mekanis, dan efek makanan serta obat-obat tertentu dapat
menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kalau tekanan sfingter ini menurun
dan tekanan intraabdomen atau intragastrik meninggi, sfingter esophagus bagian bawah
yang dalam keadaan normal berkontraksi akan melakuakn relaksasi yang tidak tepat
sehingga terjadi refluks asam lambung dan secret empedu ke dalam esophagus bagian
bawah. Disini, cairan refluks ini mengiritasi mukosa esophagus dan menimbulkan inflamasi
sehingga timbul gejala nyeri ulu hati (heartburn) atau pirosis.
Inflamasi yang persisten dapat membuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah smeakin
turun dan bahkan memicu siklus refluks serta pirosis yang rekuren.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, sfingter esophagus bagian bawah akan mempertahankan cukup
tekanan di sekitar ujung distal esophagus untuk menutup bagian tersebut dan mencegah
refluks. Secara khas sfingter tersebut mengadakan relaksasi sesudah setiap gerakan
menelan untuk memungkinkan makanan masuk ke dalam lambung. Pada penyakit refluks
gastroesofagus, sfingter ini tidak bisa menutup (biasanya karena tekanan sfingter esophagus

bagian bawah kurang atau tekanan dalam lambung melebihi tekanan sfingter esophagus
bagian bawah) dan tekanan di dalam lambung dakan mendorong isi lambung ke dalam
esophagus. Asiditas yang tinggi pada isi lambung menimbulkan rasa nyeri dan iritasi ketika
isi lambung tersebut memasuki esophagus.
Tanda dan gejala
- Rasa nyeri seperti terbakar di daerah epigastrium, yang bisa menjalar ke lengan dan
dada; rasa nyeri ini terjadi karena aliran balik atau refluks isi lambung ke dalam
esophagus sehingga timbul iritasi dan spasme esophagus
- Rasa nyeri yang biasanya terjadi sesudah makan atau pada waktu berbaring; rasa
nyeri ini terjadi sekunder karena peningkatan tekanan abdomen yang menyebabkan
refluks
- Rasa ada penumpukan cairan dalam tenggorok yang tidak disertai rasa asam atau
pahit akibat hipersekresi saliva.
Komplikasi
- Esophagus refluks
- Striktur esophagus
- Ulserasi esophagus
- Penyakit paru kronis akibat aspirasi isi lambung ke dalam tenggorok
Diagnosis
Pemeriksaan diagnostic bertujuan menentukan peneybab yang mendasari penyakit refluks
gastroesofagus.
- Tes asiditas esophagus mengevaluasi kompetensi sfingter esophagus bagian bawah
dan merupakan ukuran objektif aliran balik
- Tes perfusi asam memastikan keberadaan esofagitis dan membedakannya dari
gangguan janrung
- Esofagoskopi memungkinakan kita melakukan pemeriksaan visual terhadap dinding
esophagus untuk mengungkapkan luas penyakit dan memastikan perubahan
patologis pada mukosa.
- Barium meal mengidentifikasikan hernia hiatus sebagai penyebab
- Foto seri traktus GI bagian atas mendeteksi hernia hiatus atau masalah motilitas
- Manometri esophagus mengevaluasi tekanan sfingter esophagus bagian bawah saat
istirahat dan menentukan kompetensi sfingter tersebut
Sumber : Buku Ajar Patofisologi Kowalak, Welsh, Mayer

Buku Saku Patofisiologi Corwin


Oleh Elizabeth J. Corwin

At a Glance Medicine Patrick Davey

At a Glance Ilmu Bedah Ed. 3 - Pierce A. Grace & Neil R. Borley


Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering
dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada
kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna.
Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and classification of
gastroesophageal reflux disease : a global evidence-based consensus), penyakit refluks
gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang
menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun
ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat
timbul adalah Barrets esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil
dkk, 2006), (Makmun, 2009).
Etiologi dan Patogenesis
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi
sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama
antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esofagus (Makmun, 2009).
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3
mmHg) (Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan
pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya
tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian
dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara
faktor defensif dari esofagus (pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esofagus,
ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying (Makmun, 2009).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung
(Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam
sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi
GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi
yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis
refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang
tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai
predisposisi terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid reflux),
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).

Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),
kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul
saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas
ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non
cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur,
dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya
GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone
akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009). Asma dan
GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat
beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama dari
GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata heartburn mudah
dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn
dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter

lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan
heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata
tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan
angin yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang
terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac
chestpain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang
dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering
ditemui di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-gejalanya
sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di
tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health
Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki
kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding
dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis
kronik (Hongo dkk, 2007).
Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes
Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa
proton (tes supresi asam) (Makmun,2009).
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan Updated
Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di mana
empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk,
2007)
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk
modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika
pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau
pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan
Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of
Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi
reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun tidak khas)
tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian
refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe
ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti
refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA)
menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the

Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada


poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam
mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk, 2008)
a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga
mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual,
mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak
berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya
normal.
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-pH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan
gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapiempiris berupa PPI 2 kali sehari,
gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31753/4/Chapter%20II.pdf
13. Pemeriksaan penunjang dari skenario ?
14. Penatalaksanaan dari skenario ?
15. Apa komplikasi dari skenario ?

Anda mungkin juga menyukai