Lambung merupakan suatu organ yang terletak antara esophagus dengan duodenum,
terletak pada region epigastrium dan merupakan organ intraperitonel.
Berbentuk menyerupai huruf J dan terdiri dari fundus, corpus dan pylorus. Memiliki 2 buah
permukaan yaitu permukan anterior dan posterior serta memiliki 2 buah kurvatura yaitu
mayor dan minor.
Lambung memiliki dua buah orifisium yaitu orifisium kardia dan pilori.
Permukaan anterior lambung berhubungan dengan diafragma, lobus kiri dari hepar serta
dinding anterior abdomen. Permukaan posterior berbatasan dengan aorta, pancreas, limpa,
ginjal kiri, kelenjar supra renal serta mesokolon transversum.
VASKULARISASI
Aliran vena lambung mengikuti nama dari arteri arteri yang memperdarahi lambung
dan aliran vena lambung akan menuju ke vena porta.
Aliran limfe lambung juga mengikuti daerah daerah yang diperdarahi arteri arteri
lambung. Pada daerah yang diperdarahi cabang arteri lienalis maka aliran limfe akan
bermuara ke hilus lienalis, sedangkan pada sepanjang arteri gastrika kiri akan
bermuara ke limfe sekitar aksis coeliakus.
Daerah kurvatura mayor akan bermuara ke limfe nodus subpilorik yang selanjutnya
bermuara ke limfe nodus coeliacus.
INNERVASI
Lambung mendapatkan innervasi dari nervus vagus, baik nervus vagus anterior dan posterior
masuk kedalam cavum abdominalis melalui hiatus esophagus.
Vagus anterior akan menginervasi bagian lambung di sepanjang kurvatura minor dan
permukaan anterior lambung. Sedangkan vagus posterior akan menginervasi permukaan
posterior .
Fisiologi:
penerima, pemecah (antrum), pencernaan awal ( HCL dan Pepsin )
danpengosongan ke duodenum
motilitas, penyimpanan, penyampuran, pengosongan
kemampuan menyimpan makanan : 1500 cc
pengosongan makanan :
- berlemak 6-12 jam ,
- tak berlemak : 3 jam.
Cairan lambung :
- 500 1500 cc/hr
- td. : lendir, pepsinogen, f. Intrinsik, elektrolit (HCl)
Fisiologi gaster
a. Fungsi motorik
i. Fungsi reservoir : menyimpan makanan sampai makanan tsb sedikit demi
sedikit dicernakan dan bergerak pada salursn cerna.
ii. Fungsi mencampur : memecahkan campuran makanan menjadi partikelpartikel kecil dan mencampurnya dgn getah lambung melalui kontraksi otot
yang mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltic diatur oleh suatu irama
listrik intrinsic dasar
iii. Fungsi pengosongan lambung ( makanan yang bercampur dengan sekret
lambung): diatur oleh pembukaan sphincter pylorus yang dipengaruhi oleh
HISTOLOGI
sel argentafin yang tersebar, yaitu sel yang dapat dipulas dengan perak dan mempunyai
fungsi endokrin.
Mukosa, lapisan dalam lambung tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal yang disebut rugae,
sehingga dapat berdistensi waktu diisi makanan.
Submukosa, Jaringan areolar yang menghubungkan lapisan mukosa dan muskularis bergerak
bersama gerakan peristaltik mengandung pleksus saraf, pembuluh darah dan saluran limfe.
Muskularis, tiga lapis otot polos: lapisan longitudinal (luar), lapisan sirkular (tengah) & lapisan
oblik (dalam)memecahkan, mengaduk & mencampur dengan cairan lambung, dan mendorongnya
ke arah duodenum.
Serosa/Subserosa Merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum dan memanjang ke arah hati, membentuk
omentum minus.
Histologi
Lapisan dari luar ke dalam :
mukosa, berfungsi mensekresikan sesuatu yang diperlukan untuk mengabsorpsi vitamin
B12. Didalam mukosa terdapat kalenjar yang berbeda yang dibagi menjadi tiga zona, yaitu :
kelenjar kardia, berfungsi menghasikan lisozom
kelenjar lambung, berfungsi mensekresikan asam, enzim-enzim, mukus, dan hormonhormon.
kelenjar pilorus, berfungsi menghasilkan hormon dan mukus.
2. submukosa, mengandung pembuluh darah, pembuluh limfa dan syaraf perifer.
3. muskularis
4. serosa, mengandung banyak lemak apabila umur bertambah.
2. Mengapa ada nyeri ulu hati yang terasa terbakar sampai di belakang tulang dada ?
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan
terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga menimbulkan
rasa nyeri, sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat mengakibatkan reflek
spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam Hcl yang menjadi pencetus timbulnya
rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar.
punggung. Teori lain menunjukkan adanya kontak antara lesi (ulkus) dan asam merangsang
mekanisme lokal yang memulai kontraksi otot halus disekitarnya. Nyeri bisa hilang setelah
makan, karena makanan menetralisir asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila
lambung kosong, nyeri kembali timbul. Aktivitas makan merupakan salah satu cara
menentukan letak ulkus (di lambung atau di duodenum). Apabila setelah makan, nyeri
menghilang mungkin letak ulkus di lambung, jika tidak hilang, dimungkinkan letaknya di
duodenum (tapi cara ini tidak bisa digunakan sebagai patokan).
Pirosis (nyeri ulu hati), merupakan sensasi luka bakar pada oesophagus dan lambung yang
naik ke mulut, kadang disertai eruksitasi (sendawa) asam. Eruksitasi bisa terjadi saat
lambung kosong.
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2007. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
3. Apa hubungan kebiasaan pasien minum kopi dan makan coklat dengan gejala yang
dikeluhkan ?
Antasida berasal dari kata anti = lawan dan acidus = asam. Antasida adalah senyawa
yang mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam klorida (lambung) atau
mengikatnya secara kimiawi.
Antasida doen
Komposisi :
Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi mengandung :
-
hidroksida) 200 mg
-
dewasa : sehari 3-4 kali 1-2 tablet. Diminum 1-2 jam setelah makan dan
menjelang tidur.
Syrup :
-
anak-anak 6-12 tahun : sehari 3-4 kali 1/2 sendokteh -1 sendok teh.
dewasa : sehari 3-4 kali 1-2 sendok teh. Diminum 1 - 2 jam setelah makan dan
menjelang tidur.
Efek samping :
Efek samping yang umum adalah sembelit, diare, mual, muntah dan gejala-gejala
tersebut akan hilang bila pemakaian obat dihentikan.
11. Mengapa pasien disarankan untuk mengurangi konsumsi lemak dan disarankan
meninggikan posisi kepala saat tidur ?
12. Apa DD dari skenario ?
Definisi
Penyakit refluks gastroesofagus (Gastroesophageal reflux disease, GERD) yang secara
popular dikenal dengan istilah nyeri ulu hati (heartburn) atau pirosis merupakan aliran balik
(refluks) isi lambung atau duodenum atau keduanya ke dalam esophagus dan melewati
sfingter esophagus bagian bawah tanpa disertai muntah atau belching (muntah tanpa isis).
Aliran balik isi lambung menyebabkan nyeri akut epigastrium yang biasanya terjadi sesudah
makan. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke dada atau lengan. Refluks gastroesofagus
umumnya ditemukan pada ibu hamil atau pasien obesitas. Berbaring sesudah makan juga
dapat ikut menimbulkan refluks.
Penyebab
- Sfingter esophagus yang lemah
- Peningkatan tekanan intraabdomen, seperti pada kehamilan atau obesitas
- Hernia hiatus
- Obat-obatan, seperti morfin, diazepam, penyekat saluran kalsium, meperidin, dan
obat-obatan antikolinergik
- Makanan, alcohol, taua rokok yang menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian
bawah
- Intubasi nasogastrik yang lebih dari empat hari
Nyeri Ulu Hati
Fluktuasi hormonal, stress mekanis, dan efek makanan serta obat-obat tertentu dapat
menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kalau tekanan sfingter ini menurun
dan tekanan intraabdomen atau intragastrik meninggi, sfingter esophagus bagian bawah
yang dalam keadaan normal berkontraksi akan melakuakn relaksasi yang tidak tepat
sehingga terjadi refluks asam lambung dan secret empedu ke dalam esophagus bagian
bawah. Disini, cairan refluks ini mengiritasi mukosa esophagus dan menimbulkan inflamasi
sehingga timbul gejala nyeri ulu hati (heartburn) atau pirosis.
Inflamasi yang persisten dapat membuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah smeakin
turun dan bahkan memicu siklus refluks serta pirosis yang rekuren.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, sfingter esophagus bagian bawah akan mempertahankan cukup
tekanan di sekitar ujung distal esophagus untuk menutup bagian tersebut dan mencegah
refluks. Secara khas sfingter tersebut mengadakan relaksasi sesudah setiap gerakan
menelan untuk memungkinkan makanan masuk ke dalam lambung. Pada penyakit refluks
gastroesofagus, sfingter ini tidak bisa menutup (biasanya karena tekanan sfingter esophagus
bagian bawah kurang atau tekanan dalam lambung melebihi tekanan sfingter esophagus
bagian bawah) dan tekanan di dalam lambung dakan mendorong isi lambung ke dalam
esophagus. Asiditas yang tinggi pada isi lambung menimbulkan rasa nyeri dan iritasi ketika
isi lambung tersebut memasuki esophagus.
Tanda dan gejala
- Rasa nyeri seperti terbakar di daerah epigastrium, yang bisa menjalar ke lengan dan
dada; rasa nyeri ini terjadi karena aliran balik atau refluks isi lambung ke dalam
esophagus sehingga timbul iritasi dan spasme esophagus
- Rasa nyeri yang biasanya terjadi sesudah makan atau pada waktu berbaring; rasa
nyeri ini terjadi sekunder karena peningkatan tekanan abdomen yang menyebabkan
refluks
- Rasa ada penumpukan cairan dalam tenggorok yang tidak disertai rasa asam atau
pahit akibat hipersekresi saliva.
Komplikasi
- Esophagus refluks
- Striktur esophagus
- Ulserasi esophagus
- Penyakit paru kronis akibat aspirasi isi lambung ke dalam tenggorok
Diagnosis
Pemeriksaan diagnostic bertujuan menentukan peneybab yang mendasari penyakit refluks
gastroesofagus.
- Tes asiditas esophagus mengevaluasi kompetensi sfingter esophagus bagian bawah
dan merupakan ukuran objektif aliran balik
- Tes perfusi asam memastikan keberadaan esofagitis dan membedakannya dari
gangguan janrung
- Esofagoskopi memungkinakan kita melakukan pemeriksaan visual terhadap dinding
esophagus untuk mengungkapkan luas penyakit dan memastikan perubahan
patologis pada mukosa.
- Barium meal mengidentifikasikan hernia hiatus sebagai penyebab
- Foto seri traktus GI bagian atas mendeteksi hernia hiatus atau masalah motilitas
- Manometri esophagus mengevaluasi tekanan sfingter esophagus bagian bawah saat
istirahat dan menentukan kompetensi sfingter tersebut
Sumber : Buku Ajar Patofisologi Kowalak, Welsh, Mayer
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan
pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya
tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian
dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara
faktor defensif dari esofagus (pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esofagus,
ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying (Makmun, 2009).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung
(Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam
sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi
GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi
yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis
refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang
tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai
predisposisi terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid reflux),
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).
Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),
kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul
saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas
ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non
cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur,
dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya
GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone
akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009). Asma dan
GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat
beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama dari
GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata heartburn mudah
dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn
dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter
lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan
heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata
tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan
angin yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang
terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac
chestpain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang
dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering
ditemui di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-gejalanya
sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di
tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health
Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki
kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding
dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis
kronik (Hongo dkk, 2007).
Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes
Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa
proton (tes supresi asam) (Makmun,2009).
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan Updated
Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di mana
empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk,
2007)
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk
modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika
pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau
pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan
Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of
Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi
reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun tidak khas)
tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian
refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe
ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti
refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA)
menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the