Anda di halaman 1dari 2

1

PENULISAN BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH SMA


Catatan Pengantar oleh H. Purwanta
Kemerosotan nasionalisme merupakan penyakit kronis yang kompleks. Agar tidak
terjebak pada pengkambinghitaman terhadap berbagai pihak, tulisan ini akan fokus pada buku
teks pelajaran sejarah SMA di Indonesia. Sejak kurikulum 1975 sampai sekarang, buku teks
sejarah, disadari atau tidak, telah mewacanakan bahwa bangsa asing lebih unggul, sebaliknya
bangsa Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang bodoh, miskin, dan terbelakang.
Apabila kita menengok ke negara-negara maju, untuk menanamkan nasionalisme,
penulisan buku teks pelajaran sejarah di Indonesia perlu diubah orientasinya:
1. Pendekatan
Dari pespektif pendekatan, pengarang buku teks pelajaran sejarah di Amerika Serikat,
Australia dan Inggris memilih menggunakan pendekatan narratif modern. Pendekatan itu
dipandang memiliki banyak keunggulan, antara lain fleksibilitas gaya bahasa dengan tetap
mentaati berbagai kaidah keilmuan dari sejarah. Dari sudut pandang ini, penggunaan
pendekatan narratif menjadikan buku teks dimungkinkan disusun dengan gaya bahasa yang
sesuai usia siswa. Melalui gaya bahasa narratif yang sesuai usia audience, siswa mampu lebih
mudah memahami berbagai uraian sejarah yang disusun oleh pengarang buku teks. Di pihak
lain, pengarang juga lebih mudah menyesuaikan uraian buku teks pelajaran sejarah dengan
tujuan kognitif yang telah ditentukan oleh kurikulum. Di Amerika Serikat dan Inggris, tujuan
kognitif kurikulum sejarah adalah dari mengetahui, memahami, mengaplikasi, menganalisis
sampai mengevaluasi, baik fenomena historis maupun historiografi pendidikannya. Di pihak
lain, Australia menetapkan tujuan kognitif kurikulum pelajaran sejarah sampai tingkat
mengevaluasi fenomena historis. Satu terobosan menarik dilakukan oleh Australia, yaitu
pengembangan kompetensi analisis dan evaluasi menggunakan tugas terstruktur.
Penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan usia siswa lebih memungkinkan untuk
mencapai tujuan afektif kurikulum pelajaran sejarah. Di Australia, tujuan kurikuler ranah
afektif diformulasikan dengan kata ketertarikan, kesenangan, apresiasi dan simpati. Di
Amerika Serikat dan Inggris tidak dinyatakan secara tegas di kurikulum. Hal itu bukan berarti
kurikulum pelajaran sejarah di kedua negara tidak memiliki tujuan afektif, tetapi dengan
pertimbangan tertentu disamarkan atau disembunyikan sebagai hidden curriculum.
Sebagai perbandingan, fleksibilitas gaya bahasa tidak mungkin dapat dilakukan
apabila pengarang buku teks menggunakan pendekatan ilmu sosial. Pendekatan itu menuntut
penggunaan gaya bahasa ilmiah dan teknis.

2. Wacana identitas nasional


Di Amerika Serikat wacana identitas nasional diarahkan untuk menanamkan kepada
siswa bahwa mereka adalah bangsa yang besar dan menjadi pemimpin dunia. Hal itu antara
lain terlihat dari uraian buku teks pelajaran sejarah yang menekankan pada kesuksesan,
pencapaian dan keberhasilan yang diraih oleh berbagai tokoh sejarah Amerika Serikat dalam
berbagai peristiwa, baik lokal, nasional maupun internasional. Selain menarasikan
keberhasilan, buku teks pelajaran sejarah juga menempatkan bangsa Amerika Serikat sebagai
pusat atau pemeran utama. Penempatan sebagai pemeran utama tidak hanya dilakukan
dengan memperbanyak penyebutan pelaku sejarah yang berbangsa Amerika Serikat, tetapi
menjadikan Amerika Serikat sebagai pembuat sejarah.
Tidak jauh berbeda, para pengarang di Inggris juga berusaha menanamkan Britishness
dalam menyusun buku teks pelajaran sejarah dengan menempatkan bangsa Inggris sebagai
pemeran utama. Dalam usaha itu, bahkan para pengarang buku teks pelajaran sejarah
melakukan mitifikasi dan heroifikasi terhadap peristiwa dan tokoh sejarah Inggris, dengan
tetap menjaga diri agar tidak melanggar kaidah akademik.
Di Australia, buku teks sejarah mewacanakan bahwa bangsa australia selalu
berpemikiran terbuka dan berjuang menuju keadaan yang lebih baik. Kekurangan, kesulitan
dan bahkan kesalahan dipandang sebagai jejak menuju ke kualitas hidup berbangsa yang
lebih tinggi.
Untuk Indonesia, meminjam pemikiran Sartono Kartodirdjo, produksi wacana
identitas nasional dapat dilakukan dengan jalan menarasikan sejarah dari dalam,
mengungkapkan aktivitas pelbagai golongan masyarakat, dan bersifat teleologis atau menuju
satu titik, yaitu terbentuknya integrasi nasional. Sejarah dari dalam maksudnya menempatkan
tindakan historis sebagai usaha mewujudkan kehidupan yang diidealkan. Dari sudut pandang
ini, konstruk budaya yang melingkupi pelaku sejarah diperhitungkan sebagai faktor yang
menentukan terjadinya peristiwa.
Mengungkapkan aktivitas berbagai golongan masyarakat maksudnya tidak hanya
menceritakan golongan elit saja, tetapi juga golongan-golongan lain di masyarakat. Dengan
demikian, generasi sekarang dapat memahami bahwa Indonesia dibangun oleh semua untuk
semua, tanpa mengistimewakan salah satu suku, ras, maupun agama tertentu.
Bersifat teleologis maksudnya dinamika historis di nusantara dipahami sebagai proses
menuju terbentuknya persatuan nasional. Buku Sejarah Indonesia Baru karangan Sartono
Kartodirdjo berusaha memberi gambaran tentang proses integrasi itu.

Anda mungkin juga menyukai