Anda di halaman 1dari 19

Sejarah Islam

Islam berawal pada tahun 622 ketika wahyu pertama diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu
Muhammad bin Abdullah di Gua Hira', Arab Saudi. Sejarah Islam menceritakan perkembangan
Islam sampai sekarang.

Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi
ketika Nabi Muhammad saw mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah kematian Rasullullah
s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik dan Asia Tengah di Timur.

Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki


Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah
menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya
muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak kerajaan
Islam yang menjadikan dirinya sekolah.

Di abad ke-18 dan 19 masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia
I, Kerajaan Ottoman, yaitu kekaisaran Islam terakhir tumbang.

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur
sutera. Kebanyakkan Bangsa Arab merupakan penyembah berhala dan sebagian merupakan
pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah adalah tempat suci bagi bangsa Arab ketika itu
karana terdapat berhala-berhala mereka dan Telaga Zamzam dan yang paling penting sekali serta
Ka'bah yang didirikan Nabi Ibrahim beserta Ismail.

Nabi Muhammad saw. dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah yaitu 570 masehi. Ia merupakan
seorang anak yatim sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Muhammad akhirnya
dibesarkan oleh pamannya, Abu Thalib. Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dan
menjalani kehidupan yang bahagia.

Namun, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun, beliau didatangi Malaikat Jibril Sesudah
beberapa waktu Muhammad mengajar ajaran Islam secara tertutup kepada rekan-rekan
terdekatnya, yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun(Orang-orang pertama yang memeluk
Islam)" dan seterusnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah.

Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Peristiwa ini disebut
Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi setelah hijrah adalah pembuatan kalender Hijirah.

Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang
baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para muslimin menjadi
lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat,
seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.
Sejarah Islam di Indonesia

Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijaiyah atau 7 Masehi, meskipun dalam
frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim
yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih
intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad
kemudian. Salah satu bukti peninggalan Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim dari
akhir abad ke 16

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah
SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan
Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut
dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita
dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam
Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan
Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para
pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-
besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara
dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-


pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama
di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan
oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh
kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-
ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab
dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru
mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka
menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-
kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin
kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda
Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah
sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan
pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi
pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-
ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak
diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil
ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang
gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan
Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus
rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku
Umar). Agama Islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll.
Tokoh penyebar Islam adalah walisongo antara lain, - Sunan Ampel - Sunan Bonang - sunan
Muria - Sunan Gunung Jati - Sunan Kalijaga - Sunan Giri - Sunan Kudus - Sunan Drajat
SunanGresik (Maulana Malik Ibrahim)

Sejarah Sembilan Wali / Walisongo (wali9)

Walisongo berarti sembilan orang wali.

Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila
tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat
sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim
yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga
wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari
Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan
Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak
disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari
Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang
mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa
-yakni nuansa Hindu dan Budha.

Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di


Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Islam berawal pada tahun 622 ketika wahyu
pertama diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Gua Hira',
Arab Saudi. Sejarah Islam menceritakan perkembangan Islam sampai sekarang.

Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi
ketika Nabi Muhammad saw mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah kematian Rasullullah
s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik dan Asia Tengah di Timur.

Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki


Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah
menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya
muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak kerajaan
Islam yang menjadikan dirinya sekolah.

Di abad ke-18 dan 19 masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia
I, Kerajaan Ottoman, yaitu kekaisaran Islam terakhir tumbang.

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur
sutera. Kebanyakkan Bangsa Arab merupakan penyembah berhala dan sebagian merupakan
pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah adalah tempat suci bagi bangsa Arab ketika itu
karana terdapat berhala-berhala mereka dan Telaga Zamzam dan yang paling penting sekali serta
Ka'bah yang didirikan Nabi Ibrahim beserta Ismail.
Nabi Muhammad saw. dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah yaitu 570 masehi. Ia merupakan
seorang anak yatim sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Muhammad akhirnya
dibesarkan oleh pamannya, Abu Thalib. Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dan
menjalani kehidupan yang bahagia.

Namun, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun, beliau didatangi Malaikat Jibril Sesudah
beberapa waktu Muhammad mengajar ajaran Islam secara tertutup kepada rekan-rekan
terdekatnya, yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun(Orang-orang pertama yang memeluk
Islam)" dan seterusnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah.

Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Peristiwa ini disebut
Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi setelah hijrah adalah pembuatan kalender Hijirah.

Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang
baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para muslimin menjadi
lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat,
seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.

Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijaiyah atau 7 Masehi, meskipun dalam
frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim
yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih
intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad
kemudian. Salah satu bukti peninggalan Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim dari
akhir abad ke 16

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah
SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan
Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut
dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita
dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam
Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan
Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para
pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-
besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara
dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-


pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama
di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan
oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh
kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-
ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab
dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru
mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka
menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-
kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin
kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda
Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah
sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin

Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan

pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab

Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi

pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup

Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-

ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak

diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang

sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil

ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang

gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan

Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,

Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus

rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku

Umar). Agama Islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll.

Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila
tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat
sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim
yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga
wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari
Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan
Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak
disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari
Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang
mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa
-yakni nuansa Hindu dan Budha.

Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro,
yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun
sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara
kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.
Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah
-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa
Timur.

Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus,
di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo
sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di
Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama
Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri
Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia
pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk
menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden
Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan
Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Giri

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra.
Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–
seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak
berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden
Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa,
bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.
Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri
Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima
militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak
lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-
Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal
sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau,
seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal
dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang
pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat
dengan ajaran Islam.
Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi
Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya
bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk
itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih
menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga
pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Kalijaga

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450
Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai
(kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli
dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju
takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan
Demak.

Sunan Gunung Jati .

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah
SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah
Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia
sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas
restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran
untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Drajat .

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan
Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun
1470 M

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun

Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat
berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini
bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara
berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.

Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si
buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok
pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Kudus .

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan
Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang
putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat
menjadi Panglima Perang

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya
bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk
itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga
pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria .

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal
terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan
sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam,


berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

 
Menurut catatan sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan
Islam pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat
dipastikan bahwa masuknya agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya
kerajaan itu, karena kerajaan itu didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah
cukup lama memeluk agama Islam. Pada abad IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di
Baghdad konon mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab yang
berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafii dan bertashawuf mutabar ke
wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042, berdiri kerajaan Islam Samudra Pasai.
Menurut Ibnu Bathutah, kerajaan ini, dengan raja pertamanya Al-Malikus Shaleh,
menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan memilih mazhab Syafii.
 
Meski tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa
pada akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan tulisan
di batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun 1419 M,
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad XV, dengan
dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam
penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan orang
itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam menjadi agama
yang dianut mayoritas penduduk nusantara.
Ada beberapa faktor pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara.

Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam


kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk
(hurriyyah). Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik
dan membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam
kelas-kelas.

Kedua, watak Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan
sikap para penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di
nusantara adalah penganut Ahlussunnah wal Jamaah yang teguh. Dengan penuh
kearifan, dakwah mereka lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin
memperkecil beban yang bisa dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif).

Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh
kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara
menolaknya secara argumentatif.
2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syariat diluruskan secara bertahap.
3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus
keberadaannya dan diberikan nafas Islam.

Perkembangan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah bertambah pesat ketika
generasi penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan
pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan
berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih
terarah. Dari pesantren lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan paham
agama yang relatif utuh dan lurus.
Pada tahap-tahap awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya
pada upaya pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang
memperhatikan pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-
Islaman, karya ulama-ulama terkemuka masih sangat terbatas.
Pada pertengahan abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia
Islam lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka. Sebelumnya
karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit dilakukan. Kontak dengan
dunia Islam itu bukan saja melalui jama ’ah haji ke Tanah Suci, tapi juga melalui
sejumlah pemuda nusantara yang belajar di negara-negara Arab. Banyaknya literatur di
pusat studi Islam di Timur Tengah, telah memungkinkan para pelajar dari Indonesia
mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang lebih terbuka.
Di antara para pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asyari, KH. A. Wahab
Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide Muhammad
Abduh dan paham Wahabi sedang gencar-gencarnya diperbincangkan dan
disebarluaskan. Ide Muhammad ‘Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat Islam
agar segera bangkit dari dunianya yang beku dan melepaskan diri dari keterikatannya
dengan pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan itu. Kaum Wahabi menilai
praktek-praktek keagamaan umat Islam telah bercampur dengan syirik, tercampur
dengan keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga perlu dibersihkan.
Paham dan gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab,
merumuskan dan menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide
dasarnya berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal
mengikuti garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat Abd al-Aziz ibn Saud berhasil
merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham Wahabi dinyatakan sebagai
paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan Wahabi cepat
menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jamaah haji dari
berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam ilmu agama di
Makkah.
 
Nama : ROBBY IRSYAD BISYIR

Kelas : 6B

Anda mungkin juga menyukai