Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ISLAM DI INDONESIA

14JAN
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk mengamati perilaku Islam di dunia adalah dengan bercermin pada
Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia
telah memperlihatkan suatu ciri khas tertentu, yang mungkin berbeda dari tempat asal Islam
itu sendiri, Mekkah.
Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam telah membuktikan kebenarannya. Kebenaran
Islam telah terbukti di berbagai belahan dunia. Setidaknya itulah hasil perjuangan Rasulullah
SAW yang menyebarkan Islam mati-matian sampai-sampai harus menghadapi berbagai
cobaan yang datang silih berganti. Ketika beliau masih hidup, setidaknya, beliau telah melihat
orang secara berbondong-bondong masuk Islam pada masa Fathu Mekah. Jauh setelah itu,
Islam kini berada di setiap jengkal negeri di seluruh dunia.
Di Indonesia Islam merupakan agama resmi dan menjadi mayoritas. Oleh karena itu, umat
Islam perlu bangga akan tingginya umat Islam di indonesia. Mengapa Islam di Indonesia
dapat menjadi besar dan terhormat? Itu tidak terlepas dari usaha para pendahulu kita yang
dengan tekun dan gigih menyebarkan dan mempertahankan Islam di Indonesia.
Mereka tidak hanya menyebarluaskan pesan Islam, tetapi juga mempertahankan agar pesan
ini tidak punah.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari tentang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Pada tahun 30 H/651M, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW,
Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah
Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para
utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut
dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.

Aceh adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada
saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari
Maghribi yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh
telah tersebar mazhab Syafii. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang
ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang
salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun.
Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari.
Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang
Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara
secara besar-besaran. Pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara
massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki
kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak
Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para
penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan
para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga
disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan
pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lilalamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahanpemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin
dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga
semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam
Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya
menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan
terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan
yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah terutama Belanda
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya
melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.

Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa
lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan
ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi
yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum
Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama
dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa.
Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab
Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah.
Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan
Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari
serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya
kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafii. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran
akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah
terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang.
Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang
penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun
justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada
akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah
mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan
Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka
(Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa
(Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
B.

Perkembangan Islam di Indonesia

1.

Babak Pertama, Abad 7 Masehi (Abad 1 Hijriah)

Pada abad 7 M, islam sudah sampai ke Nusantara. Para dai yang datang ke Indonesia berasal
dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada
juga yang beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni jalur sutera (jakur
perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya dakwah di Indonesia yakni melalui para pelaut dan pedagang yang membawa
dagangannya dan juga membawa akhlak islami dan sekaligus memperkenalkan nilai-nilai
yang islami.
Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas Muslim yang berada
di daerah-daerah pesisir yang terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan
Islam.
2.

Babak Kedua, Abad 13 Masehi

Pada abad ini berdiri kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru Nusantara. Pada abad 13
Masehi ada fenomena yang disebut Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan
dakwah di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Wali Songo mengembangkan dakwah atau
melakukan proses Islamisasinya melalui berbagai cara dan saluran, antara lain:
a.

Perdagangan

b.

Pernikahan

c.

Pendidikan (pesantren)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga
adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam
yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran islam.
d.

Seni dan Budaya

Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan mewarnai wayang tersebut
dengan nilai-nilai Islam. Para wali juga mengubah lagu-lagu tradisional dalam langgam
islami. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e.

Tasawuf

Ajaran tasawuf pada dasarnya mirip dengan ajaran Hindu, yaitu praktek Islam yang
mengedepankan kehidupan yang sederhana dan banyak mendekatkan diri pada sang Khalik.
Dengan ini, Islam dengan mudah dapat diterima karena memiliki keserupaan dengan alam
pikiran penduduk pribumi yang sudah memiliki latar belakang agama nenek moyang mereka.
3.

Babak Ketiga, Masa Penjajahan Belanda

Pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke Indonesia
dengan kamar dagangnya VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh
Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat
membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah
terpotong.

Pada masa itu, ketika penjajahan datang, pesantren-pesantren diubah menjadi markas-markas
perjuangan, santri-santri menjadi jundullah (pasukan Allah SWT) yang siap melawan
penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Ulama-ulama menggelorakan
jihad melawan Belanda.
4.

Babak Keempat, Abad 20 Masehi

Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi
yang sebenarnya hanya membawa manfaat bagi lapisan masyarakat yang dapat membantu
mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan
pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebsenarnya bertujuan untuk
mensosialkan ilmu-ilmu Barat yang jauh dari Al Quran dan Hadits dan akan dijadikannya
boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak
mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan tidak seluruh
masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin
pergerakan adalah dari golonhan bangsawan. Strategi perlawanan terhadap penjajah pada
masa ini lebih bersifat organisasi formal daripada dengan senjata.
5.

Babak Kelima, Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan islam dengan sendirinya mengalami pergeseran.


Dakwah Islam di Indonesia banyak dikembangkan oleh institusi-institusi seperti
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, dan lain-lain. Hingga sekarang dakwah Islam lebih
banyak dimainkan oleh organisasi-organisasi Islam ini, terutama Muhammadiyah dan NU.
Pada masa ini juga berlangsung pemurnian Islam yang merupakan pengaruh dari
perkembangan pemurnian Islam di Timur Tengah. Jadi pengertian Islamisasi pada ranah ini
adalah usaha untuk mengislamkan orang Islam. Maksudnya membersihkan umat Islam dari
unsur-unsur keyakinan lama yang tidak ada kaitannya dan bahkan dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam, berupa bidah, khufarat, dan tahayul.
Usaha Muhammadiyah untuk melakukan pemurnian agama sebagian mendapat tantangan
dari NU. Ini disebabkan karena beberapa praktek NU, seperti tahlilan, talqin. Dan mengazani
orang mati dianggap bidah (mengada-ada) oleh Muhammadiyah. Sampai sekarang
perbedaan pendapat masih ada. Namun, sekarang ini masing-masing pihak sudah dapat
menerima satu dengan yang lainnya.
Di era reformasi, kekuatan-kekuatan Islam yang baru bermunculan. Ini disebabkan karena
beberapa hal:
1.

Adanya kebebasan mengemukakan pendapat pendapat di muka umum.

2.

Jalur pendidikan Islam di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun negeri-negeri Barat.

3.

Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis-krisis lain baik dibidang sosial, pendidikan,

maupun agama.
Perkembangan model-model pemahaman Islam tersebut dengan sendirinya menambah

keragaman Islam di Indonesia. Tampaknya Islam yang dapat diterima di Indonesia sudah
pasti adalah Islam yang dapat berdamai dengan Negara. Sejauh ini, Muhammadiyah dan NU
tetap konsisten pada semangat ini.
Pada babak ini proses dakwah di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi
dengan gerakan-gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan
Islam lebih utuh meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah
maka proses dakwah di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural
dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awal masuknya Islam yg secara
manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra
(kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi
masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kotakota yangg perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain
Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar
dan terkuat. Walaupun demikian, Allah Subhanahu wa taala mentakdirkan Indonesia menjadi
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
C.

Karakteristik Islam di Indonesia

1.

Majemuk / Plural

Kemajemukan merupakan ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya. Keragaman


model-model beragama dapat ditemukan di dalam Islam. Seorang antropolog Amerika
Serikat bernama Clifford Geertz pernah membagi perilaku keberagaman umat Islam
Indonesia ke dalam tiga kelompok, yaitu abangan, santri dan priyai.
Abangan merupakan turunan dari kata abang (Jawa: merah). Istilah abangan dipakai bagi
pemeluk Islam yang tidak begitu memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang
teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agamanya.
Santri merupakan penganut islam yang taat. Istilah ini seringkali kita dengar untuk menyebut
orang-orang yang belajar di pesantren.
Priyai adalah kelompok ketiga penganut Islam, yang menurut Greetz adalah kelompok Islam
kelas elit. Biasanya adalah mereka yang disebut sebagai Muslim birokrat atau Muslim
berdasi.
2.

Toleran

Toleransi adalah salah satu semangat dari Islam. Semangat ini tumbuh seiring dengan
perkawinan antara budaya Islam dan budaya lokal. Sehingga corak singkretisme (campuran
faham) tidak isa dihindarkan.
Sifat toleransi Muslim Indonesia muncul karena bangsa Indonesia disatukan dalam rumpun

budaya. Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan ragam budaya dan agama sejak mula
kedatangannya.
3.

Moderat

Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat. Moderat dalam hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan kehidupan keagamaan yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrim dan tidak
liberal. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, umat Islam adalah mayoritas di negeri
ini, iini berarti bahwa religiusitas bangsa Indonesia adalah cerminan religiusitas umat Islam
itu sendiri. Islam indonesia merupakanagama yang melindungi kehidupan agama dan
kepercayaan lain. Agama dan kepercayaan lain dapat hidup aman dan damai di tengah-tengah
mayoritas umat Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan umat Islam di beberapa
negara yang hidup mayoritas di tengah-tengah mayoritas agama lain.
4.

Singkretik

Singkretisme juga bisa dikatakan merupakan akibat dari akulturasi Islam dan budaya lokal.
Makna singkretik di sini maksudnya adalah adanya campuran unsur Islam dan budaya lokal
yang tidak bertentangan dengan semangat fundamental Islam itu sendiri.
Singkretisme Islam dan budaya lokal inilah yang melahirkan Islam dalam bentuknya
sekarang. Sebagai contoh, tradisi menggunakan peci hitam sebenarnya adalah tradisi orangorang Turki yang kemudian menjadi pakaian orang Indonesia, terutama oleh orang-orang
Islam. Demikian pula dalam ritual-ritual Islam, unsur-unsur budaya lokal masih sangat jelas,
termasuk pada sebagian bangunan masjid. Jadi meskipun berasal dari Timur Tengah, tampilan
Islam di Indonesia tidak selalu bernuansa Arab.
D.

Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur

1.

Di Bidang Politik dan Ekonomi

Sejak awal kedatangannya, sebenarnya umat Islam sudah mulai memainkan peran politik
mereka. Sultan atau raja adalah penguasa sekaligus pengembang Islam. Sultan atau Raja
mengadakaan konsultasi dengan para ulama dalam setiap kebijakan yang hendak dijalankan,
sebagaimana terlihat misalnya pada Raden Fatah, raja Kesultanan Demak yang selalu
menghargai petunjuk Wali Songo.
Pada sisi lain dapat dilihat bahwa semenjak abad ke-16 sampai abad ke-20 umat Islam di
bawah para pemimpinnya menghadapi berbagai corak tantangan kekuasaan Barat dan
mengadakan perlawanan bagi setiap fase penjajahan, misalnya pada:
a.

Fase persaingan dagang

b.

Fase penetrasi

c.

Fase perluasan daerah jajahan

d.

Fase penindasan

Ajaran Islam untuk cinta tanah air mendorong segenap penduduk Nusantara untuk
memberontak melawan penjajah. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin Islam yang demikian
besar yang menentukan arah pergerakan di Indonesia..
Sejak itu peran umat Islam dalam dunia politik semakin jelas. Dalam Panitia Persiapaan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para ulama dan pemimpin Islam berperan aktif dalam
menyusun dasar kehidupan negara, dan ikut serta merumuskan UUD 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peran unat Islam tetap besar di bawah Soekarno. Meskipun ia
berhaluan nasionalis-sosialis, tetapi pandangan-pandangan agamnya menjadi ilham bagi
pembangunan bangsa. Hingga masa reformasi umat Islam tetap menunjukkan sikap politik
yang luar biasa. Setelah berhasil menjalankan pemilu 1999, 2004, dan 2009, dunia
Internasional semakin kagum bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah yang paling
berhasil menjalankan demokrasi.
2.

Di Bidang Agama dan Sosial

Agama dan sosial adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Ini disebabkan karena sejak
kedatangannya di Nusantara, Islam telah berpadu dengan masyarakat yang kemudian
membentuk sebuah masyarakat Muslim Indonesia.
Sebagai bangsa yang religius dan berketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah memiliki
perhatian besar tehadap agama, terutama agama Islam yang penganutnya adalah mayoritas.
Perhatian tersebut diwujudkan dalam pembinaan kehidupan beragama, antara lain:
a.

Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 januari 1945.

b.

Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

c.

Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.

d.

Membentuk MUI pada tahun 1975 dengan struktur organisasi yang menyebar sampai ke

tingkat desa.
e.

Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat pusat sampai tingkat desa, mendirikan

dan meresmikan mesjid Istiqlal sebagai masjid yang sepenuhnya dibiayai pemerintah,
membentuk Badan Amil Zakat dan sebagainya.
3.

Di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan

Di bidang pendidikan dan kebudayaan, peran Islam sangatlah besar. Sejak Islamisasi negeri
ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah
menjadi benteng Islam yang demikian kuat dan berpengaruh. Pemerintah telah mendirikan
madrasah dari tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas.
Lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berdiri sejak 1940. Kemudian berdiri
pula lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola negara dan swasta di seluruh Indonesia,
seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN), Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), dll.
Dalam bidang kebudayaan di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting, antara lain di

bidang:
a.

Arsitektur, khususnya pada bangunan mesjid.

b.

Hidup rohani, paham sufismi atau mistik yang tumbuh pada hidup rohani orang

Indonesia sejak awlnya masuknya Islam di Indonesia, seperti Kadiriah, Khalwatiah,


Naksyabandiah, dan sebagainya.
c.

Hari-hari besar Islam.

d.

Seni kaligrafi

e.

Bahasa Indonesia, yang menyerap sebagian bahasa Al Quran (Arab) ke dalam bahasa

Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia sehingga bahasa Arab itu terabadikan dalam
bahasa Indonesia, seperti pada kata rakyat (raiyyah). Musyawarah, shalat, zakat, dan
sebagainya.
E.

Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Akhir-akhir ini muncul kekhawatiran di tengah-tengah umat Islam khusunya dan bangsa
Indonesia pada umumnya, mualii pudarnya nilai-nila Pancasila di tengah-tengah anak bangsa
ini, hal ini dapat dilihat dalam beberapa gambaran, seperti munculnya radikalisme di tengahtengah masyarakat.
Di era reformasi yang ditandai dengan kebebasan di segala bidang, kebebasan tersebut juga
turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan radikal. Ironisnya,
perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti pancasila sebagai dasar negara
Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang
dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah,
pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi tumbangnya Orde
Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multidimensi, baik sosial,
politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi
mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih
baik.
Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia
sebagai sebagai negara Islam dan golongan nasionalis, yang menginginkan pemisahan urusan
negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat
kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai
kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam akan tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga
kelad dua.
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Soekarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan

sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini
adalah spirit kebangsaan. Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian sempit sehingga
mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme.
Pada tanggal 17 agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia menyambut penuh antusias
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, duri dalam daging dalam UUD 1945 dengan
Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI. Duri dalam
daging yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1. Pada tanggal 18 Agustus 1945
ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal
Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes
kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Sehingga setelah melakukan
konsultasi, sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saat ini, kekuatan-kekuatan politik dan sosial kemasyarakatan umat Islam Indonesia sampai
pada kesimpulan menerima Pancasila dan pilar bangsa yang lain sebagai penerimaan yang
final. Sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945,
dapat di pertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Umat Islam
Indonesia sebagai penduduk mayoritas, secara langsung maupun tidak langsung menjadi
gambaran dari Indonesia.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai
dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para
founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu tentang
ideologi yang disepakati bersama. Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan
Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik
peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan
dibenarkan di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam di Indonesia pada
umumnya berada di jalan tengah, tidak mendukung radikalisme dan tidak pula setuju dengan
liberalisme. Islam inilah yang sering di gambarkan sebagai Islam moderat. Islam yang
insyaallah menjadi harapan dan cita-cita semua bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Dari uraian makalah ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Islam lahir dan dikembangkan di Indonesia di bawa oleh para wali songo.

Perkembangan Islam di Indonesia melalui proses babakan yang sangat panjang, mulai dari

sebelum Indonesia merdeka hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Model-model pemahaman Islam di Indonesia menambah keragaman Islam di Indonesia,

seperti organisasi-organisasi Islam yaitu NU, Muhammadiyah, Persis dll.

Karakteristik Islam di Indonesia yaitu, Majemuk/plural, toleran, moderat dan singkretik.

Umat Islam berperan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik dari

masa penjajahan hingga masa pembangunan.


B.

Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, agar penulis
dapat memperbaiki pembuatan makalah di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jazirahislam.com/158/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.htm
http://omarblega.wordpress.com/2010/06/17/sejarah-masuknya-islam-di-di-indonesia/
Suroso, Asih, dkk, Modul Siswa: Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII Semester 1,
Surakarta, PT Widya Duta Grafika
Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2011, Pendidikan Agama Islam: Buku Daras untuk
Mahasiswa Universitas Jambi, Jambi, Gaung Persada Press.

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya,
makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya
yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Tidak lupa penyusun ucapkan kepada Bapak/Ibu guru yang telah membimbing dan
memberikan ilmunya kepada penyusun, dan juga teman-teman yang ikut menyumbang
pikirannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penyusun mohon kepada bapak/Ibu guru khususnya, dan umumnya kepada para pembaca
apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi
bahasanya maupun isinya, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah makalah yang akan
datang.

BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut
antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya
dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya
agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang
berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial
budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang
bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa,
Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang
datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk
agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama
Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan
dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang yang hidup di bawah
kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam
memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim.
Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah
derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan
lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat
menempati kedudukan bawahan.

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak:
orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat
Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan
sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat
yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang
muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya
yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling
pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan
penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang
sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk
berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran
dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah islamisasi dan silang budaya nusantara ?
1.3.Tujuan
Agar kita mengetahui sejarah islamisasi dan silang budaya nusantara

BAB II
Pembahasan
Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah
Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin
telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian
menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal
secara tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak
abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses
masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang
membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang
mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa pembawa
islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli yang
menjelaskan tentang darimana, siapa yang membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya
islam ke nusantara.

Pijnappel mengemukakan bahwa asal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang
dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab syafii yang berimigarasi dan menetap di wilayah
India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan
berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara
perdagangan Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul
dengan orang-orang arab yang kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan bahwa
islam berasal dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan
mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil islam,
2.1 Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama, fase
kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan abad Masehi
kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi apakah
ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam Islam? Meskipun ada dugaan bahwa
dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang muslim
dengan penduduk setempat, sehingga mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 710 M Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya
makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk
maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi
berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa,
tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
2.2.Proses Islamisasi di Sumatera
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H /
1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi Sumatera
penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan
adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun
wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah
Sumatera. Adapun teori yang mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih
realitas masuknya yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam perjalanan
pelayaran dagang mereka ke dan dari Cina selalu singgah
2.3. Proses Islamisasi di Jawa
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu
dan kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil
peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan
peninggalan Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan
peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa
dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran
di bidang politik.

Menurut Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai
hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping
kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang
memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja
Hindu di pedalaman.

2.4. Persialangan Budaya di Nusantara


Indonesia secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai taman sari dunia. Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua
dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak
lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.
Menurut Denys Lombard (1996: I, 1), Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini
kecuali mungkin Asia Tengahyang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir
semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu. Dia melukiskan
adanya beberapa nebula sosial-budaya yang secara kuat mempengaruhi peradaban
Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus
pembaratan.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan
dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian berkembang
secara luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15), terutama di Sumatra, Jawa
dan Bali. Struktur konsentris kosmologi India berpengaruh pada mentalitas orang-orang di
wilayah tersebut, terlebih di Jawa dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata
susila, juga dalam upacara-upacara dan ungkapan seni.
Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Dari ujung
Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayahwilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang akselarasinya dipercepat justru
oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam
membawa perubahan penting dalam pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat
Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan
bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi kesetaraan
dalam hubungan antarmanusia, konsepsi pribadi (nafs, personne) yang mengarah pada
pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang linear, menggantikan
konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II, 149-242).
Pengaruh China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam,
yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika
imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera membaur ke

dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti (Coppel, 1983). Kehadiran
anasir China berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi
berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain), pemanfaatan laut untuk perikanan,
pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam, pengadopsian teknik serta
perlengkapan perdagangan, gaya hidup (arsitektur, perhiasan, hiburan, tontonan, beladiri,
dan romannya), peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam
proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337).
Pengaruh pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh
Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak kedatangan
armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596, yang disusul
oleh operasi Serikat Perseroan Hindia Belanda (VOC) sejak 1602, secara berangsur proses
pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC pada tahun 1799, hegemoni atas Hindia
diserahkan dari perusahaan-swasta-kolonial kepada imperium negara-kolonial. Negara
kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris
selama perang Napoleon (1811-1816).
Sejak itu, sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda
diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusatpusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara kesatuan kolonial. Intensifikasi
proses pembaratan terjadi selama masa rezim Liberal pada paruh kedua abad ke-19 yang
dilanjutkan oleh rezim Politik Etis pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam
menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh
Barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern, pemakaian besi,
perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern. Pada bidang sosialpolitik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat, klub
sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya
tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern, perkembangan tulisan
latin, percetakan dan pers, dan gaya hidup (Lombard, 1996: I).
Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat
persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh
dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996), situasi demikian tidak
perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik
pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan, jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi
sejarahnya bisa membawa keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban
agung.

2.3. Bukti Bukti Peninggalan Islam di Indonesia


Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang)
Masjid Demak (dibangun para wali)
Karya seni atau kaligrafi

Nisan Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf
Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah
binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
Karya sastra
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa
karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab.Bukti-bukti
peninggalan syair yang ada di nusantara antara lain :
(a) Syair Perahu,karya Hamzah Fanzuriyang hidup di aceh pada masa pemerintahan sultan
Alaidin Riayat Syah Syidil Mukam II (1589-1604)),Syair ini berisi pengajaran tentang adap.
(b) Syair Kompeni Walanda,yang di dalamnya berisitentang riwayat Nabi.
2.4..Salah satu contoh Silang Budaya Indonesia Tiongkok di Bidang Seni Musik
1.Gambang kromong terdapat banyak lagu Tionghoa. Perkembangan music itu erat kaitannya
dengan warga Tionghoa di Jakarta pada abad ke 18 yang bernama Nie Fugong. Justru atas
prakarsa Nie lah, Gambang Kromong telah menyerap irama lagu-lagu Tionghoa.
Kemudian, Gambang Kromong mengiringi tidak saja lagu-lagu lama Jakarta, tapi juga lagulagu baru. Gambang Kromong tak dapat dipisahkan pula dengan music lenong. Namun,
Gambang Kromong semakin terdesak seiring bertambah besarnya pengaruh music barat.
Kawula muda kurang menunjukan minat terhadap Gambang Kromong. Dan, instrument yang
digunakan di samping gambang, yakni alat-alat music Tingkok lain seperti qin dan erhu
(rebab berdawai dua) berangsur-angsur digantikan oleh alat-alat music barat, seperti bilao,
bass, dan suling; kadang-kadang bahkan menggunakan saksofon, terompet dan alat-alat
music barat lainnya.
2.Musik Ujung Pandang
3.Lagu Indonesia di gemari Rakyat Tiongkok
Pada masa kini, salah satu lagu Indonesia yang paling awal popular di tingkok adalah
Bengawan Solo yang sangat merdu iramannya. Komponis lagu itu, Gesang ketikan
berkunjung di Tiongkok pada tahun 1963 pernah memberikan bimbingan kepada musisi
muda Tiongkok untuk memainkan music tersebut. Lagu ini sangat digemari rakyat Tiongkok.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Proses islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi lebih
merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa yang
akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan
berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang tertanam dalam
konteks
Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai

daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan


mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di
berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur
campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh
penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan
kepercayaan animisme.
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan
maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana
dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan
menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya,
terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.

Daftar Pustaka
.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991),
him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, Islam di Indonesia, dalam Kennet Morgan, ed., Islam
Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia Prof Kong Yuanzhi

Anda mungkin juga menyukai