Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat.
Seorang ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih
dan memiliki daya bias sebesar 43D. 1
Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun
paparan patogen (virus, amoeba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil
masuk dan membuat defek epitelial di kornea, maka jaringan kornea akan
merespon patogen spesifik dengan peradangan pada kornea (keratitis).1
Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri, fotofobia, dan adanya
secret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis bakterial.1
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa,
dan Moarxella. 1

Gambar 1:
Keratitis bakteri
BAB II
TINJAUAN

PUSTAKA

I. Definisi

Keratitis adalah peradangan kornea yang ditandai dengan edema kornea,


infiltrasi seluler dan kongesti siliar. Keratitis diakibatkan oleh terjadinya infiltrasi
sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis
sendiri dibagi menjadi dua yaitu; keratitis superfisial dan profunda.
II. Anatomi dan Fisiologi Kornea
II.1 Anatomi

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran


11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam

stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya.


Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin
oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus 2
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas : 3,4
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit
dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya
regenerasi
2. Membran bowman

Membran yang jernih, Terletak di bawah membran basal dari epitel.


Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma
4. Membran Descemen
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang
terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis
daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain
5. Endotel
4

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea
II.2 Fisiologi Kornea
Fungsi utama kornea adalah sebagai membrane protektif dan sebuah
jendela yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea
dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform.
Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponenkomponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing-masing fibril kolagen
berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak
yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas
yang

menyebabkan

sedikit

pembiasan

cahaya

dibandingkan

dengan

inhomogenitas optikalnya.

Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang


sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%
dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi fisus
seseorang.7
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat lah sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui
membran bowman dan berakhir secara bebas diantara sel sel epithelial serta
tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 3 mm dari limbus ke sentral
kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.6
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap

kerusakan

keratokonjungtivitis

pada

kornea

ultraviolet)

(erosi,

penetrasi

mengekspose

ujung

benda
saraf

asing

atau

sensorik

dan

menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.8
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber,
yaitu :8

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.3

Epidemiologi
Keratitis bakteri merupakan penyebab kebutaan di negara berkembang
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis
bakteri per tahun. Insiden

keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi

geografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di New York untuk 35% di
Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur
kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur)
III.

Etiologi
Infeksi keratitis adalah kondisi yang berpotensi membutakan yang dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah jika tidak diobati pada tahap
awal. Jika pengobatan antimikroba yang tepat tertunda, hanya 50% dari mata
memperoleh pemulihan visual yang baik. Hal ini dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, protozoa, dan parasit. Faktor risiko umum untuk infeksi keratitis

meliputi trauma okular, memakai lensa kontak, riwayat operasi mata sebelumnya,
mata kering, gangguan sensasional kornea, penggunaan kronis steroid topikal, dan
imunosupresi sistemik. Patogen umum termasuk Staphylococcus aureus,
koagulase-negatif Staphylococcus, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus
pneumonia, dan spesies Serratia. Mayoritas kasus yang ditemukan di masyarakat
adalah keratitis bakteri yang teratasi dengan pengobatan empirik dan tidak
memerlukan kultur bakteri. Apusan kornea untuk kultur dan tes sensitivitas
diindikasikan untuk ulkus kornea dengan ukuran yang besar, berlokasi di sentral
kornea, mencapai daerah stroma.7
BAKTERI

TYPE KARAKTERISTIK INFEKSI

Staphylococcus Aureus

Progresifitasnya lambat dengan sedikit nyeri

Staphylococcus
Progresifitasnya lambat dengan sedikit nyeri
Epidermidis
Ulkus kornea serpiginosa, kornea dengan cepat
Streptococcus
terjadi perforasi dengan melibatkan daerah
Pneumoniae
intraokuler, dan sangat nyeri
Eksudat mukoid berwarna biru kehijauan,
Pseudomonas

dengan abses berbentuk cincin.

Aeruginosa

Progresifitasnya cepat menyebar diseluruh


kornea dan sangat nyeri
Ulkus oval yang tidak nyeri pada kornea

Moraxella

inferior, progresifitasnya lambat dengan sediit


iritasi pada kamera anterior
8

Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti


Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa,
dan Moarxella. 8 Tabel 1. Bakteri penyebab keratitis
IV.

Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry
eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan
penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.8
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.8
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bacterial, pathogenpatogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.6

Ketika pathogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea


superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, mulai dari Lesi pada
kornea yang selanjutnya agen patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi pada
daerah struma kornea respon tubuh berupa pelepasan antibodi yang akan
menginfiltrasi lokasi invasi agen pathogen. Hasilnya, akan tampak gambaran
opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan
memberikan gambaran infiltrasi kornea. Iritasi dari bilik mata depan dengan
hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik
mata depan) dan selanjutnya agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana descement
yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang dimana hanya
membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi
dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya.
Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan
menjadi lunak.
V.

Gejala Klinis
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus,
sensasi benda asing, iritasi okuler dan blefarosspasma dan kadang juga di temukan
hypopion pada kamera anterior.3

10

Oleh karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan


cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur,
terutama ketika lesinya berada dibagian central.6
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 50 lesi (rata rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi
epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan
bintik bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi
di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi
secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi
flouresent.6
Pada Keratitis Pneumokokus muncul 24-48 jam setelah inokulasi, ulkus
berbatas tegas, kelabu, cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi
ke sentral, Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi Kornea
sekitar ulkus sering bening, ada hipopion
Pada Keratitis Pseudomonas Ulkus berawal sebagai infiltrat kelabu atau
kuning Lesi ini cenderung cepat menyebar ke segala arah, Terdapat hipopion
Infiltrat dan eksudat berwarna hijau kebiruan
Pada Keratitits Streptokokus Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi
ke arah tengah kornea (serpinginous), Ulkus bewarna kuning keabu-abuan,
berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke
dalam dan menyebabkan perforasi

11

Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi


tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi
reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.6

VI.

Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial.5
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari penebalan epitel, Punctate
Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk pseudodendrites. Dapat menjadi
reaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap lensa kontak. Pada pewarnaan

12

fluorescein terutama terihat pada posisi pukul 3 dan pukul 9 kornea, edema ringan
dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial.
Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang,
edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari
stroma lalu ke epitel kornea.5,6
Periksa ketajaman visual dengan lensa kontak atau kacamata, jika pasien
tidak memiliki kacamata, gunakan lubang jarum dari occluder periksa pergerakan
lensa kontak dan defect kornea pada slit lamp. Minta pasien melepaskan lensa
kontak jika mampu, dapat menggunakan satu tetes proparacaine atau anestesi
topikal lain untuk membuka mata agar dapat diperiksa secara koperatif.6
Periksa reaktivitas pupil dengan senter, pemeriksaan slit lamp dengan
memperhatikan daerah konjungtiva bulbar dan palpebral untuk mencari setiap
papillae atau folikel, permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea, dan
reaksi pada ruang anterior mata.6
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitis melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan
dengan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya
sementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke seluruh kornea. Dengan cara
ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.6

13

Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial


atau Thygensons desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau peradangan
pada kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa pungtata yang
terlihat seperti titik titik meskipun dapat juga berupa dendritic dengan gambaran
linier dan bercabang. Karateristik dengan tidak adanya jaringan parut sisa dan
jarang menyisakan penglihatan.6
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan
air mata yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi
biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik titik
berwarna abu abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini,
tergantung faktor penyebabnya.4
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble
yang tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun
dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens
akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk
makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi
yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens yang
terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma
kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.1
VII.

Pemeriksaan Penunjang

14

Diagnosis yang tepat dan pengobatan infeksi kornea sedini mungkin


sangatlah penting dalam menghindari penurunan penglihatan secara permanen.
Diagnosis dari setiap jenis infeksi keratitis pada dasarnya meliputi langkahlangkah berikut:
1. Mengidentifikasi agen patogen dan tes sensitivitas. Hal ini dilakukan dengan
mengambil apusan dasar ulkus sebagai bahan sampel dan inokulasi media
kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak yang digunakan juga
harus diambil dan di kultur untuk memastikan sumber dari bakteri atau jamur.
2. Dilakukan pewarnaan dengan Gram dan Giemsa pada spesimen yang diambil
untuk mendeteksi bakteri.
3. Apabila dicurigai suatu infeksi virus, tes sensitivitas kornea dianjurkan
dimana hasil sensitivitasnya akan berkurang.1
4. Biopsi Kornea
5.
Sensibilitas Kornea
VIII. Penatalaksanaan
Berhenti memakai lensa kontak, jika dicurigai terjadi infeksi pada kornea,
pasien harus menjalani pemeriksaan menyeluruh oleh dokter mata sesegera
mungkin untuk menyingkirkan ulkus kornea. Jika tidak ada akses yang tepat ke
dokter mata: ambil apusan/smear dan kultur dari apusan ulkus dengan spatula
kecil, mulai antibiotik spektrum luas topikal dengan cakupan gram negatif seperti
fluorokuinolon (misalnya, ofloxacin atau ciprofloxacin) 6 sampai 8 kali per hari
dan cycloplegic tetes, jangan menggosok mata dan segera ke dokter mata.
Pengobatan empiris harus sesuai dengan anjuran dokter mata.6
Beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata
superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial
seringkali adekuat pada kasus-kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat

15

mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka
tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas
dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial
untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air
mata.6
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien, air mata artifisial dengan
viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada
pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat
pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi
digunakan karena waktu retensinya yang panjang.3
Prosedur collagen cross-linking (CXL) digunakan dalam pengobatan
infeksi keratitis hampir identik dengan standar protokol pengobatan keratoconus,
dengan penggunaannya setelah setelah penggunaan obat anestesi tetes mata,
jaringan epitel longgar dan epitel yang nekrosis di sekitar daerah infeksi diangkat
dari kornea. Tujuannya untuk menghilangkan epitel kornea agar terjadi penetrasi
riboflavin yang adekuat pada daeah kornea. Riboflavin (riboflavin / dekstran
solusi 0,5-0,1%) ditanamkan pada permukaan kornea dengan jangka waktu 20-30
menit pada interval dari 2-3 menit. Hal ini diikuti dengan pencahayaan kornea
menggunakan lampu UV-X, UV-A 365 nm, dengan radiasi 3.0mW/cm2 dan total
dosis 5,4 J/cm2.7
Antibiotik sistemik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat
infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin
maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan
pemberian oral. Tidak perlu untuk menangani pasien hingga seluruh lesi di kornea

16

hilang. Akan tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga pasien dapat mencapai
titik kenyamanan.3
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi. Salep
pada mata berguna sewaktu tidur dan juga berguna sebagai terapi tambahan.
Antibiotik subkonjungtiva membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke
sclera atau perforasi. Antibiotik topikal spektrum luas digunakan pada pengobatan
awal. Untuk keratitis yang parah di berikan dosis loading setiap 5 sampai 15
menit untuk jam pertama dan diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam
pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan
dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic digunakan untuk
mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone menunjukkan
efektiftivitas

yang

sama

seperti

terapi

kombinasi.

Gatifloksasin

dan

moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki


cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif. Terapi kombinasi
antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak responsif
terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan
untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulosis. Antibiotik sistemik
jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah
atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan
dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

17

Terapi kortikosteroid memiliki Keuntungan penekanan peradangan dan


pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea dan Kerugian timbulnya
aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan
peningkatan TIO. Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan
dosis minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis
secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan
follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan TIO harus sering dipantau
Terapi

pembedahan,

emergency

keratoplasty

diindikasikan

untuk

mengobati suatu descemetocele atau ulkus kornea perforasi pada daerah nekrosis
yang luas dan memerlukan flap konjungtiva untuk mempercepat penyembuhan.
Stenosis atau penyumbatan dari sistem lakrimal yang lebih rendah yang mungkin
mengganggu penyembuhan ulkus harus dikoreksi melalui pembedahan.1
Sesegera mungkin melakukan pemeriksaan tes bakteriologis dan tes
resistansi untuk mendapatkan hasil yang lebih dini, agar dokter segera melakukan
terapi empiris pada agen patogen. Pada keadaan keratitis yang tidak berespon
dengan pengobatan mungkin agen patogen tersebut belum diidentifikasi secara
positif, pasien tidak menggunakan antibiotik yang dianjurkan dokter, agen
patogen tersebut resisten terhadap antibiotik, ataukah keratitis ini tidak disebabkan
oleh bakteri, tetapi oleh salah satu patogen berikut: 1.Herpes simplex virus,
2.Jamur, 3. Acanthamoeba, atau agen patogen langkah seperti 4. Nocardia atau
mycobacteria.1

18

IX.

Komplikasi
1. Hypopyon: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan uveal
anterior yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs bermigrasi
melalui iris ke kamera anterior.
2. Penyembuhan: membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi sebelumnya.

Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu nebula , macula dan leukoma.
1. Leukoma : di stroma . Dengan mata telanjang bisa dilihat
2. Makula disubepitel. Dengan senter bisa dilihat
3. Nebula di epitel dengan slit lamp atau dengan lup bisa dilihat
3. Ulkus kornea
4. Descemetocoele: membran descemet yang tahan terhadap collagenolysis dan
mengalami perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior membran
kornea, Kondisi ini lebih umum sebagai sekuel keratitis virus
5. Perforasi
X.

Prognosis
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika
tidak terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan
metode penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien
dengan keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat
timbul pada kasus kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung
lama.
Progonosis ulkus kornea sembuh dengan bekas luka. Jika dalam pusat
sumbu visual, pembiasan cahaya dipengaruhi. Jika ulkus kecil dan terletak di
pinggiran kornea akan membawa prognosis yang baik. Hindari luka pada mata
Kenakan kacamata pelindung saat bekerja .

19

Pada sikatriks lekoma kornea adalah yang mengganggu visus & untuk
kepentingan kosmetik , dan untuk memperbaiki visus dapa dilakukan iridektomi
optik dan keratoplasti , sehingga prognosis pasien keratitis yang sembuh dengan
sikatriks adalah baik.9

BAB III
KESIMPULAN

Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,


infiltrasi seluler dan kongesti siliar. Keratitis diakibatkan oleh terjadinya infiltrasi
sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis
sendiri dibagi menjadi dua yaitu; keratitis superfisial dan profunda.
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus,

20

sensasi benda asing, iritasi okuler dan blefarosspasma dan kadang juga di temukan
hypopion pada kamera anterior.3
Pada umumnya prognosis dari keratitis bakterial adalah baik jika di terapi
secara tepat.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2 nd


edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.
2. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005.
p.62.
3. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
4. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology. Thieme.
2006. p. 97-99
5. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ Books. p. 1719.
6. Tasman W, Jaeger EA. Duanes Ophtalmology. Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2007
21

7. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc Graw-Hill.


2002.
8. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy
S.

M.

Lai.

New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of

Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012


9. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related Disorders
of the External Eye. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal
Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American
Academy of Ophthalmology ; 2007. p.205-41

22

Anda mungkin juga menyukai