Chief Complain
Other Complain
1. Fever
2. Skin rush
Past History
1. Fotosensitivitas
Physical Exam
1. Inflamasi joint :
Polyarticular, symmetrical, stimultaneous, pada PIPs, MCP, wrist, knee, ankle
2. Rheumatical exam :
Inflamasi stigmata
3. Terdapat malar rash dan low gtade fever
4. General status :
- Moderately ill
- Komposmentis
5. Vital sign : temperature meningkat
6. Rheumatological finding :
- Malar rash (+)
- Gait : antalgic
- Arm : PIPs, MCPs, wrist inflamasi dan swollen
- Legs : knee dan ankle inflamasi dan swollen
- Spine : (-) schober test
- Skin rash : anterior tibia
Pemeriksaan lab :
-
Hb
: 10g/dl
WBC
: 2300/mm
Platelet
: 230.000/mm
ESR
: 68/100 mm
Dff count bass 0, Eos 2, stab 3, segmented neutrophyl 47, monocyte 5
ANA
: positive, homogenous pattern, RF negative
Anti dsDNA
: (+)
Hipotesis
-
Arthritis
SLE
Remathoid fever
Rheumatoid arthritis
Autoimun disease
Epilogue
-
SENDI
DEFINISI
Sendi adalah hubungan antara setiap bagian yang kaku (tulang/tulang rawan) pada kerangka.
KLASIFIKASI
Sendi digolongkan menurut jenis bahan pemersatu tulang yang bersendi:
1. Sendi Fibrous. Adalah sendi yang dipersatukan oleh jaringan ikat , yang banyak
mengandung kolagen , sedikit mempunyai synovial cavity, very closely together oleh
jaringan ikat. Contoh sendi ini adalah:
a. Sendi suture, terdapat di skull, coronal suture antara tulang parietal, dan
frontal.
b. Syndesmoses, contoh : terdapat pada distal tubular joint, dimana anterior
tibiofibular ligament menghubungkan tibia dan fibula, interosseous membrane
antara pararel border dari tibia dan fibula. Sendi ini termasuk sendi
amphiarthrosis.
c. Gomphoses. Dentoalveolar joint, contoh : terdapat pada artikulasi akar gigi
dengan socket alveoli.
2. Sendi Kartilago. Adalah sendi yang dipersatukan oleh cartilage, yang mempunyai sedikit
synovial cavity.
a. Synchondroses,
contoh
menghubungkan
epiphysis
dan
diaphysis
dari
dengan sendi yang lain, karena ada space yang disebut synovial (joint) cavity, secara
fungsional sendi ini termasuk sendi diarthrosis , gerakan luas. Tulang pada synovial joint
ini ditutupi oleh artikular cartilage, suatu hyaline cartilage, nah artikular kartilage ini
mengurangi friction antara tulang pada joint selama pergerakan dan membantu untuk
absorb shock.
berbentuk cekung dan cembung. Contoh pada telapak tangan antara os. Metacarpal dan
os. Trapezium.
Ball and socket (peluru) Joint, bersumbu banyak memungkinkan gerak menurut
berbagai sumbu, misalnya fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi medial, rotasi lateral
dan sirkumduksi. Sendi berbentuk kepala yang bulat pas dalam cekungan. Contoh sendi
ini pada joint shoulder. Pada shoulder joint, kepala dari tulang humerus ke glenoid cavity
dari scapula. Juga pada hip joint, kepala dari tulang femur ke acetabulum dari hip bone.
Sendi pun diklasifikasikan berdasarkan fungsi yang berkaitan dengan gerakan :
Synarthrosis
Immovable joint.
Amphiarthrosis
Diarthrosis
Suspected infection
Acute synovitis pada orang dewasa, untuk membedakan antara infeksi, gout dan
pseudogout
Teknik
Gross examination:
Volume cairan dan penampakan dicatat secara cepat dicatat.Normalnya synovial fluid
jernih dan berwarna kuning.
Suspected
Condition
Normal
Septic
arthritis
TB Arthritis
Rheumatoid
Arthritis
Gout
Pseudogout
Osteoarthriti
s
Appearanc
e
Clear
yellow
Purulent
Viscocity
crystal
biokimia bakteriology
Turbid
Cloudy
Low
Low
+
++
As for
plasma
Glukosa
rendah
-
Low
White
cell
Bebera
pa
+
Cloudy
Cloudy
Normal
Normal
++
+
Clear
yellow
normal
High
Urate
Pirophos
pate
beberap Sering +
a
+
+
-
Normal
Group I
Group II
Noninflammatory Inflammatory
Clarity
Transparent Transparent
Transparent/opaque Opaque
Opaque
Color
Clear to
Xanthochromic
pale yellow
Xanthochromic to
white/bloody
White
Red-brown or
xanthochromic
WBCs/mL 0150
< 3000
300075 000
50 000
200 000
5010 000
< 30
> 50
> 90
< 50
Category
Finding
Normal
Group I
Group II
Noninflammatory Inflammatory
RBCs
No
No
No
Yes
Yes
Glucose
(blood/SF
difference
mg/dL)
010 (0
0.56
mmol/L)
010 (00.56
mmol/L)
040 (02.2
mmol/L)
20100
(1.115.5
mmol/L)
020 (01.11
mmol/L)
Modified from Kjeldsberg CR, Knight JA: Body Fluids: Laboratory Examination of Amniotic,
Cerebrospinal, Seminal, Serous and Synovial Fluids, 3rd ed. Copyright American Society for
Clinical Pathology, Chicago, 1993, with permission.
WBCs = white blood cells; PMNs = polymorphonuclear cells, neutrophils; RBCs = red blood
cells; SF = synovial fluid.
AUTOIMUNITAS
-
Adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan adanya kegagalan
mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau
keduanya (hilangnya self-tolerance tubuh).
Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada setiap individu karena limfosit dapat
mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyaknya self-antigen.
Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi, serta
diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
kerusakan berbagai organ.
Baik antibody, maupun sel T, atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit
autoimun.
Antigen disebut autoantigen, sedangkan antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel
autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen.
Toleransi Imun
-
Adalah imunosupresi yang hanya terhadap pada satu antigen dan tidak disertai oleh adanya
gangguan terhadap respons antigen yang lain.
Toleransi merupakan keadaan tidak adanya respons sel limfoid yang aktif terhadap antigen
tertentu. Bahan antigenic yang diinokulasikan
Self-tolerance adalah keadaan tubuh yang menerima epitop sendiri sebagai antigen sendiri.
Tubuh toleran terhadap autoantigen yang dipajankan ke sel limfoid system imun penjamu.
Toleransi terhadap antigen sendiri berkembang selama hidup fetal. Jadi tubuh menunjukkan
toleransi imun terhadap self-antigen atau autoantigen. Self-tolerance disebabkan oleh
inaktivasi atau dibunuhnya limfosit sel-reaktif yang diinduksi antigen sendiri. Mekanisme
induksi tolerance tersebut disebut clonal deletion.
autoreaktif di duga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka
sel Th dapat di rangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. Respon imun selular terhadap
mikroba dan antigen asing lainnya dapat juga menimbulkan kerusakan jaringan di tempat
infeksi atau pajanan antigen.
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
Sel- pancreas pada penderita DM 1 mengespresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II,
sedang seseorang yang sehat sel- mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali. Ekspresi MHC yang tidak pada tempatnya itu
biasanya akan menimbulkan autoimunitas.
d. Aktifasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktifasi sel B poliklonal oleh virus (EBV),
lipopolisakarida, dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibody.
e. Peran CD4 dan reseptor MHC
Penelitian pada model hewan menunjukan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada
penyakit autoimmune.
f. Keseimbangan Th1 Th2
Penyakit autoimmune organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4.Keseimbangan
Th1- Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas.Th1 menunjukan peran pada
autoimmunitas, sedang dalam beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap
induksi penyakit, tetapi juga terhadap progresifitas penyakit.
g. Sitokin pada autoimunitas
Beberapa mekanisme control melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya adalah adanya
ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya.
Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar
sehingga menimbulkan efek patofisiologis.
Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagi factor etiologis ke dalam kekuatan patogenik
dan mempertahankan inflamasi, fase kronis serta destruksi jaringan.
3. Faktor lingkungan yang berperan dalam autoimunitas
a. Obat-Obatan
Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen
permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia
merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan oleh obat.
Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada
seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibody antinuclear dan timbul
sindrom serupa SLE. Antibody menghilang bila obat dihentikan.
b. Infeksi Dan Kemiripan Molecular
Banyak infeksi menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa bakteri
memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respons imun yang timbul terhadap
bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang
pula sel B untuk membentuk autoantibody.
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada
kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh
penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang
rusak.
Contoh penyakit yang ditimbulkan kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma
pasca infeksi streptokokus, disebabkan antibody terhadap streptokokus yang diikat jantung
dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan
antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis.
c. Hormon
d. Radiasi UV
Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
meningkatkan imunogenesitas.
e. Oksigen radikal bebas
Bentuk lain dari kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama
kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan sebagian proses
inflamasi.
f. Logam
H IPERSENSITIVITY
Hipersensitivitas merupakan merubahan raktivitas imunologi terhadap antigen yang
menimbulkan respon imun yang patologik setelah paparan ulang. Berdasarkan sumber antigen,
hipersensitivitas dibagi ke dalam 3 istilah:
-
penyakit aloimun: reaksi imunologi terhadap individua yang lain. Contohnya transfusi,
grafted tissue, janin
Etiologi
Secara umum, penyebab hipersensitivitas belum diketahui, namun beberapa hal yang menjadi
kemungkinan adalah
-
genetik, apabila salah seorang ayah/ibu alergi maka kemungkinan anak alergi 40%,
sedangkan bila keduanya memiliki alergi maka kemungkinan anak alergi 80%.
agen infeksi
lingkungan
Paparan terhadap alergen produksi IgE oleh sel B paparan berulang sensitized.
IgE (dan IgG4) berikatan dengan reseptor Fc pada sel mast (sehingga disebut antibody
cytotropic karena dapat berikatan pada permukaan sel). Reagin merupakan skin
sensitizing antibody yang terkadang disebut cytotropic antibody.
Pada individu yang tersensitisasi kemudian terpapar ulang alergen, maka akan
menyebabkan cross-linking 2 reseptor kompleks IgE-Fc dan mulai melakukan
degranulasi juga melepaskan produk-produk sel mast.
Reaksi alergi juga dapat terjadi pada sekstem saraf otonom yakni termasuk mediator-mediator
biokimia (epinefrin, asetilkolin) mengendalikan perilaku sel target pada jaringan tuan rumah
(melepaskan mediator-mediator inflamasi dari sel mast dan mengendalikan derajat respon tiap
sel target terhadap mediator-mediator inflamasi)
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi alergi) terdapat beberapa tahap yakni:
-
fase sensitisasi: waktu yang diperlukan untuk pembentukan IgE hingga diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fc R) pada permukaan sel mast dan basofil.
fase aktivasi: waktu yang diperlukan antara paparan ulang dengan antigen yang lebih
spesifik dan hingga sel mast melepaskan granula-granulanya.
fase efektor: waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas oleh sel mast.
Antigen merangsang sel B membentuk IgE dengan bantuan sel Th
Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama
Maka antigen diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil
Sel lisis
__________________________________________________________________
2. Pada mekanisme ini, penghancuran sel melibatkan makrofag dari sistem fagosit
mononuklear.
Fc R di makrofag mengikat antibodi pada sel yang telah teropsonisasi
Menghancurkan sel
__________________________________________________________________
4. Mekanisme ini tidak menghancurkan sel, namun hanya menyebabkan malfungsi.
Sel target + antibodi
Sel malfungsi
Deposit di jaringan
Tissue damage
Sebagian kecil kompleks imun terfiltrasi melalui ginjal tanpa ada konsekwensi patologis.
Sebagian besar sisa terdeposit di jaringan (akan berbahaya apabila rasio antigen-antibodi = 2:1)
severe pathologic. Contohnya: glomerulonephritis, vasculitis, or arthritis.
Beberapa keadaan yang sering muncul berkaitan dengan hipersensitivitas tipe III antara lain:
-
Serum sickness: merupakan bentuk sistemik penyakit yang disebabkan immune complexmediated yang akan terdeposit di jaringan target sehingga munculnya inflamasi. Jaringan
yang terlibat biasanya: dinding pembuluh darah, sendi, dan ginjal. Manifestasi lainnya
antara lain: demam, pembesaran nodus limfatikus, memar, dan nyeri pada tempat
Melepas sitokin
(INF-)
Reaksi inflamasi
makrofag
enzim hidrolitik,
Oksigen reaktif
intermediate,
Nitric Oxide
Sitokin proinflamasi
Superoksid
Period radikal
Mikroorganisme
hancur
Jaringan rusak
Reaksi khas DTH memiliki 2 fase yakni fase sensitisasi dan fase efektor (7-10 hari)
a. sensitisasi: pematangan limfosit-T, seiap melepaskan limfokin.
Setelah kontak dengan antigen
Sel Th disensitisasi
Berproliferasi
Sitokin
Makrofag aktif
(sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas)
Penyakit yang ditimbulkan cenderung mengenai beberapa organ saja, biasanya tidak
sistemik (con: hepatitis).
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen/sel autologus dapat membunuh sel secara
langsung.
Allergy : suatu penyakit dimana immune response terhadap allergen yang ada pada lingkungan
menyebabkan inflamasi dan diafungsi pada organ.
Allergen : adalah antigen yang menyebabkan alergi, baik molekul antigenya sendiri ataupun
sumbernya, seperti pollen grain, animal dander, insect venom, atau food product.
Synofitis
Merupakan suatu inflamasi pada membrane synovial, yang biasanya disertai
rasa sakit, gerakan terbatas, dan disertai adanya rasa pembengkakan pada
sendi.
Synofitis merupakan suatu gejala, yang biasanya menyertai penyakit :
- Rheumatoid arthritis
- Juvenile arthritis
- Lupus
- SLE
- Psoriatic arthritis
Symptom :
- Bengkak
- Nyeri dipegang
- Hanyat di daerah yang bengkak
Patofisiologi
Microorganism pathogen/autoimmune
Respon immune aktif (sistemik)
Terbawa aliran darah
Joint
Terjadi inflamasi pada membrane joint
vasodilatasi
hangat
peningkatan
nyeri
Rheumatoid Arthritis
Definisi
Merupakan kelainan inflammasi kronis sistemik yang dapat mengenai banyak organ dan
jaringan (kulit, pembuluh darah, paru-paru, dan otot) tapi organ utama yang diserangnya
adalah persendian, menghasilkan proliferasi sinovitis nonsupuratif yang seringkali dapat
merusak jaringan kartilago dan ankylosis dari sendi.
Epidemiologi
-
Prevalensi meningkat sesuai bertambahnya usia. (perbedaan jenis kelamin hilang pada
kelompok usia yang lebih tua)
Insidensi pada wanita usia 60-64 tahun 6x lipat disbanding wanita usia 18-29 tahun.
Etiologi
-
Masih belum diketahui, kemungkinan merupakan manifestasi respon terhadap suatu agen
inflamasi pada pejamu yang secara genetis rentan telah diperkirakan.
Co agen : mycoplasma, Epstein Barr Virus, CMV, parvovirus & rubella.
Kemungkinan adanya infeksi menetap di struktur sendi atau retensi produk mikroba di
dalam jaringan sinovium yang mencetuskan respon peradangan kronik.
Morphology
a. Joint
RA dapat menyebabkan bermacam-macam perubahan morfologi; manifestasi paking
parah terdapat di persendian. Awalnya daerah synovial menjadi sangat edematous, tebal,
dan hiperplastic, berubah dari yang awalnya halus menjadi dilapisi oleh struktur seperti
daun dan berumbi. Gambaran karakteristik histologisnya diantaranya : (1) . inflitrasi dari
stroma synovium dengan perivascular inflammatory infiltrate yang padat yang
tersusun oleh lymphoid follicle (umumnya CD4+ helper T cell), sel plasma dan
macrophage mengisi synovial stroma; (2) peningkatan vaskularitas disebabkan karena
adanya vasodilatasi dan angiogenesis, dengan adanya deposit hemosiderin pada daerah
superfisial; (3) agregasi dari adanya susunan fibrin yang menutupi bagian dari synovium
menjadikan synovial space seperti rice body; (4) akumulasi neutrophil pada synovial
fluid sepanjang synovium tapi biasanya hanya terdapat di permukaan saja tidal terlalu
dalam pada stroma synovium; (5) aktivitas osteoclastic pada darera tulang yang
dilapisinya, yang menjadikan adanya penetrasi cairan synovial ke dalam tulang
membentuk Juxta-articular erosion, subchondral cyst dan osteophorosis dan; (6)
pambentukan pannus, pannus merupakan massa fibrocellular dari synovium dan stroma
synovial yang berisi sel-sel inflamasi, jaringan granulomatous. dan fibroblast, yang akan
menyebabkan erosi pada kartilago di bawahnya, pannus bridge yang merupakan jaringan
yang berada diatas tulang, akan membentuk fibrous ankylosis, yang akhirnya akan
mengalami osifikasi yang kemudian akan membentuk bony ankylosis. Adanya inflamasi
dari tendon, ligamen, dan kadangkala otot-otot skeletal setempat memperparah arthritis.
b. Kulit
Rheumatoid nodules merupakan lesi cutaneous yang paling sering. Terjadi pada 25%
dari pasien, biasanya pada pasien yang parah, dan biasanya timbul pada daerah kulit yang
biasanya mengalami, termasuk aspek ulnaris dari pericardium, katup jantung, aorta dan
organ visceral lainnya. Rheumatoid nodules bersifat firm, nontender, dan berbentuk bulat
sampai oval dan pada kulit muncul jaringan subkutan. Secara mikroskopis, terdapat
central zone dari nekrosis fibroid yang dikelilingi lingkaran yang jelas dari epithelial
hystiocyte dan berisi banyak lymfosit dan sel plasma.
c. Pembuluh darah
Pasien dengan penyakit erosive yang parah, rheumatoid nodules, dan titer tinggi
rheumatoid factor merupakan resiko tinggi terjadinya vasculitic syndrome.Rheumatoid
vasculitis merupakan komplikasi yang potensial dari RA, khususnya jika RA tersebut
menyerang organ vital. Keterlibatan arteri besar dan sedang mirip dengan polyarteritis
nodosa kecuali pada RA, ginjal tidak terlibat. Seringkali, segmentasi dari arteri kecil
seperti vasa nervorum dan arteri digitalis rusak karena kerusakan endarteritis yang
merupakan akibat dari neurophati pheripheral, ulcer, gangrene. Leukocytoclastic venulitis
akan menyabebkan purpura, ulcer cutaneos dan nail bed infarction.
PATHOGENESIS
Secara rinci, patomekanisme kasus RA belum diketahui, namun diyakini bahwa RA di
perantarai karena adanya kerentanan immunogenetik pada sel host yang diserang oleh
arthritogenic microbial antigen.Adanya aktivasi dari CD4+ helper T cell menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator dan cytokines yang menyebabkan hancurnya persendian. Hal
tersebut dapat dijelaskan ke dalam 4 patomekanisme utama yaitu :
a. Genetic susceptibility
Dipercaya bahwa gangguan genetis ini memegang peranan utama dalam kasus RA
dengan persentasi sekitar 65%-80% dari kasus.
Adanya produk yang dihasilkan dari adanya alel HLA-DR1/DR4 atau keduanya pada
rantai MHC class II. Dengan adanya HLA-DR1 tersebut dapat mempengaruhi
peptide binding dan mengaktifkan T-cell sehingga dengan sendirinya akan berikata
dengan T-cell reseptor.
b. Microbial agent
Agen-agen yang biasanya berperan sebagai inisiasi dari penyakit ini, agen yang terakhir
kali diketahui peranannya dalam RA adalah Eipsten Barr virus, selain itu terdapat agenagen lain yang diyakini mempunyai peranan dalam terjadinya RA, diantaranya :
Retrovirus, Parvovirus, mycobacteria dan mycoplasma. EBV dapat melakukan crosslinked kedalam colagen type II yang ada pada cartilage sendi synovial, sementara EBV
tersebut mempunyai homologous HLA-DR yang juga dimiliki oleh colagen type II. Jadi
pada saat tubuh akan menyerang EBV tersebut colagen type II berperan sebagai mimic
antigen yang juga akan ikut diserang oleh sistem pertahanan tubuh karena tubuh
tidakmlagi mampu untuk mmbedakan antara self dan non-self.
c. Autoimmunity
Dengan adanya agen eksogen, maka terjadi proses autoimmunity yang utamanya
diperantarai oleh T cell.
Antigen yang berperannya belum diketahui secara pasti, tapi selain adanya
crosslinked EBV pada colagen type II (homologous antigen HLA-DR) ada juga
bukti bahwa human cartilage glycoprotein 39merupakan autoantigen.
Protein ini adalah produk dari hyaline cartilage chondrocyte yang mana terlihat
berikatan dengan DR4 peptides yang membuat adanya aktivasi dari T cell.
80% dari Rheumatoid arthritis terdapat autoantibodies pada Fc portion dari IgG
autologous (rheumatoid factor) yang kebanyakan adalah IgM
Adanya Ra-Ig ini membentuk kompeks imun yang menyebabkan ekstracelullar
manifestations.
RF akan terlokalisir pada kartilago yang mengalami inflamasi, mengaktifkan
komplemen, dan membuat adanya reaksi augumentasi synovial memperparah
kerusakan kartilago.
Immunophatogenesis
Clinical Features
a. Onset biasanya usia 20-40 tahun
b. Articular manifest
Morning stiffness & joint pain
Inflamasi pada persendian (bengkak, hangat, eritema dan nyeri tekan)
Arthritis yang simetris melibatkan sendi-sendi yang kecil dari tangan dan kaki.
Keterlibatan selanjutnya (walaupun pada beberapa pasien, persendian besar adalah
tempat yang dominan terserang) sendi-sendi besar (lutut, paha, siku, pergelangan
kaki, dan bahu).
Deformitas dari tangan :
c. Extraarticular manifestation
20%-25% (ussualy severe disease) terjadi subcutaneous/ subpriosteal nodules
(rheumatoid nodules)
Rheumatoid nodules Irreguraly shaped central zone of fibroid necrosis surrounded
by a margin of large mononuclear cell with an outer zone of granulation tissue
containing plasma cell and lynphocyte.
Rheumatoid nodules dapat juga ditemukan pada myocardium, pericardium, heart
valve, pleura, lungs, sclera, dura matter, spleen, larynx, & synovial tissue.
c. Feltys syndrome
Association with RA with spleenomegaly and neutrophenia
Lab finding
Anemia : Normochromic & normocytic
Thrombocytosis
ESR
Synovial fluid more inflammatory than seen in degenerative osteoerthritis.
WBC 5000-20.000/ L dan predominance of neutrophil (kadang sampai 50.000/
L)
Rheumatoid pleural exudate 5000 mononuclear atau polynuclear leukocyte per
microliter.
Kadar protein synovial fluid melebihi 3g/dL
Kadar glukosa synovial fluid berkurang sampai di bawah 20mg/dL
Rheumatoid dapat juga terdeteksi
Kadar kompemen darah biasanya menurun.
Immunologic diagnosis
80% kasus Rf (+) including complicated with rheumatoid nodules/ other manifest (not
spesific). Dan Rf ini dapat juga ada pada orang normal. Pada kebanyakan pasien hasil tes
ANA menunjukan hasil tes positive dan komplemen biasanya normal. Ditemukan
cryoglobulin pada pasien dengan rheumatoid vasculitis.
Perjalanan Penyakit & Prognosis
-
Sebagian besar aktivitas penyakit menetap tapi berfluktuasi, disertai deformitas sendi
dengan serajat bervariasi.
Pada pasien usia lanjut, wanita, kelainan radiografik yang parah, adanya nosud rematoid /
T titter factor rematoid cirri-ciri pasien yang cenderung mengalami disability.
Pasien wanita berkulit putih mengalami synovial persisten & penyakit erosive yang lebih
progresif daripada pria.
Pasien denga titter naiknya factor rematoid, protein C reaktif & haptoglobin punya
prognosis lebih buruk.
Kecepatan kerusakan sendi tidak konstan, perburukan meningkat di 6 tahun pertama lalu
jauh melambat.
Diagnosis
Diperlukan periode pengamatan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria revisi tahun 1987 untuk klasifikasi Arthritis Rematoid :
1. Petunjuk untuk klasifikasi :
a. Diperlukan 4 dari 7 kriteria untuk mengklasifikasikan pasien sebagai penderita Arthritis
Rematoid.
b. Pasien dengan 2 / lebih diagnosis klinis tidak disingkirkan.
2. Kriteria :
a. Kekauan pagi hari.
Kekauan di dan pada struktur sendi yang menetap 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Arthritis pada 3 / lebih sendi.
Paling sedikit 3 daerah sendi memperlihatkan pembengkakan jaringan lunak / efusi
sendi, tidak hanya pertumbuhan berlebih tulang. 14 daerah sendi yang mungkin terkena :
sendi antar phalang proksimal, metakarpophalang, pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki, metatarsophalang.
c. Arthritis pada sendi-sendi tangan.
e. Nodus Rematoid.
Nodus subkutis diatas tonjolan tulang, permukaan ekstensor / daerah justa artikularis.
f. Faktor rematoid serum.
Pembuktian jumlah abnormal factor rematoid serum oleh metode apapun, dimana
memberi hasil (+) pada < 5% subyek kontrol normal.
g. Perubahan radiografik.
Khas Arthritis Rematoid pada pergelangan tangan & posteroanterior yang mencakup
erosi / dekalsifikasi tulang yang jelas & terletak di sendi yang terkena / sekitarnya.
Kriteria a-d harus terdapat paling sedikit 6 minggu.
Kriteria b-e harus diamati oleh dokter.
Terapi
-
Prinsip umum :
1. Menghilangkan nyeri.
2. Mengurangi peradangan / imunologik.
3. Mempertahankan kapasitas fungsional.
4. Resolusi proses etiopatogenik.
5. Mempercepat penyembuhan.
Hanya bersifat paliatif ( karena etiologi tidak diketahui, petogenesis masih spekulatif,
mekanisme banyak obat belum diketahui pasti ).
Terapi fisik :
1. Istirhahat.
2. Pembidaian menurunkan pergerakan sendi yang meradang untuk mengurangi nyeri.
3. Olah raga mempertahankan kekuatan otot & mobilitas sendi.
1. Penggunaan aspirin & obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) lain, analgesik sederhana,
bila perlu glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol gejala & tanda proses
peradangan local.
2. Obat-obat antirematik supaya penyakit bekerja lambat, menahan kadar rekatan fase
akut.
Obat-obta imunosupresif & sitotoksik menghilangkan proses penyakit.
3. Penggunaan sejumlah modalitas eksperimental
Co : iradiasi limfosit total, limpoplasmaferesis, pemberian obat imunosupresif
siklosporin, pemberian antibody monoclonal terhadap sel T & subset sel T.
Tapi belum terbukti aman & cost-effective bila diberikan dalam jangka panjang.
-
Asam lemak omega 6 dalam makanan & omega 3, seperti dalam minyak ikan
memberikan perbaikan simtomatik (baru!).
Pendekatan nontradisional :
1. Diet
2. Ekstrak tumbuhan & hewan.
3. Vaksin
4. Hormon.
5. Berbagai preparat topical.
Differential Diagnosis
-
SLE
Arthritis Psoriatik.
Kostokondritik.
Hepatitis Kronik
Definisi
Rheumatic fever is a diffuse, inflammatory disease caused by a delayed immune response to
infection by the group A -hemolytic streptococcus.
Rheumatic fever adalah febrile illness yang dikarakteristikkan oleh inflamation pada
joints, skin, nervous system dan heart
Jika tidak ditreatment, rheumatic fever dapat menyebabkan scar dan deformity pada
struktur cardiac, yang berakibat Rheumatic heart disease
Insidensi acute rheumatic fever turun di united state selama 1960, 1970, dan awal 1980
karena perbaikan medical dan sosioeconomic.
Acute disease banyak terjadi pada children umur antara 5-15 tahun.
Pathophysiology
Acute rheumatic fever dapat berkembang hanya sebagai akibat pharyngeal infection oleh
group A -hemolytic streptococcus.
Acute rheumatic fever kemungkinan mempengaruhi heart, joint, central nervous system
dan skin melalui respon abnormal humoral dan cell-mediated terhadap M protein
microorganism yang cross react dengan normal tissues
Antigen dapat berikatan dengan receptor pada heart, muscle, dan brain cell. Selain itu
juga mempunyai affinity untuk membrane receptor dalam synovial joints, dimana yang
mentrigger autoimmune response.
Clinical manifestation
Major specific manifestation pada acute rheumatic fever adalah carditis, acute migratory
polyarthritis, chorea, dan erythema marginatum,yang terjadi single atau kombinasi
setelah periode laten 1-5 minggu setelah streptococcal infection pada pharynx.
Carditis. Manifestasi awal cardiac pada acute rheumatic fever kemungkinan tidak
terdeteksi murmur yang disebabkan oleh mitral atau aortic semilunar valve
dysfunction. Chest pain disebabkan oleh pericardial infllamation. Pericardial
effusion menghasilkan audible friction rub. Extra heart sounds, heart block, atrial
fibrilation dan prolong PR interval berhubungan dengan chronic rheumatic heart
disease.
Polyarthritis. Classic presenting manifestation acute rheumatic fever adalah acute
migratory polyarthritis(inflamation > 1 joint). Exudative synovitis menyebabkan
heat, redness, swelling, severe pain dan tenderness. Palpable subcutaneous node
sering berkembang pada bony prominences dan sepanjang extensor tendons.
Chorea, Sydenham Chorea, atau st.vitus dance, adalah disorder pada CNS
dikarakteristikkan oleh sudden, aimless, irregular involuntary movement
Erythema Marginatum is a distinctive truncal rash that often accompanies acute
rheumatic fever. Terdiri dari nonpruritic, pink, erythematous macules yang tidak
pernah terjadi pada face atau hands
Jones Criteria (Revised) for Diagnosis of Rheumatic fever
Criteria
Essential
Description
Evidence of streptococcal infection (increased titer of
streptococcal antibodies: antistreptolysin O [ASO]; positive throat
Major
Minor
nodules
Clinical: arthralgia, fever
Lab: increased C-reactive protein, increased white blood cell
count, increased erythrocyte sendimentation rate.
Electrocardiographic: prolonge PR interval
Catatan: To fulfill the jones criteria either 2 major criteria, or 1 major critererian and 2 minor
criteria , plus evidence of an antecendent streptococcal infection are recuired.
Arthritis Gout
1. Definisi :
Kumpulan gejala yang disebabkan oleh respon inflamasi terhadap produksi asam uric di
darah yang tinggi (hiperuricemia) dan cairan tubuh lain termasuk cairan synovial.
2. Epidemiologi :
Jarang pada anak-anak dan wanita premenopause
Jarang pada laki-laki <30 tahun
Puncak terjadi pada usia 40-50 tahun
Resiko perempuan dan laki-laki sama besar
3. Etiologi :
Gangguan metabolisme purin akibat mutasi gen X-linked yang menyebabkan
hiperuricemia.
Gangguan ekskresi ginjal.
Konsumsi alkohol yang meningkat.
Obesitas.
Obat-obatan : thiazides
4. Tanda dan gejala :
Sakit yang sangat (50% di metatarsophalangeal joint di ibu jari kaki, sedangkan 50%
lainnya di tumit, pergelangan tangan atau kaki, jari kaki, lutut, atau siku).
Seringnya pada malam hari.
Dalam beberapa jam, sendi yang terpengaruhi menjadi panas, merah, dan sakit sekali,
kristal).
Pada gejala akut berupa monoarthritis asimetris, tetapi pada gejala kronis berupa
poliarthritis asimetris.
5. Metabolisme Asam Uric :
Pada arthritis gout, terjadi defisiensi atau tidak adanya enzim HGPRT akibat mutasi X-linked
sehingga terjadi gangguan metabolisme asam uric berupa hiperuricemia.
6. Patofisiologi
7. Manifestasi Klinis :
1) Konsentrasi serum urate meningkat.
2) Serangan berulang monoartikular arthritis.
3) Deposit kristal monosodium urate monohydrate (tophi) dan mengelilingi joint.
4) Renal disease
8. Pemeriksaan :
1) Analisis cairan sinovial : terdapat kristal asam uric.
2) Asam uric darah meningkat.
3) Joint X-ray : dapat normal.
4) Biopsi sinovial.
5) Asam uric urin.
2. LES merupakan penyakit multisistem. Pada anak-anak biasanya tanda dan gejala yang
muncul melibatkan lebih dari satu macam organ.
3. LES ditandai dengan adanya antibodi antinuklear (khususnya terhadap dsDNA) dan
autoantibodi lainnya.
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of
Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997 (Tabel 30-1).
Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan
spesifisitas 100%.Meskipun sebagian besar penderita LES mempunyai ANA, namun titer
yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas yang rendah.Sedangkan penderita yang
mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.
Fotosensitivitas
Fotosensitivitas
Artritis nonerosif
Artritis nonerosif
Nefritis
Nefritis
Proteinuria > 0,5 gr/hari
Sel silinder
Sel silinder
Ensefalopati
Ensefalopati
Seizure
Seizure
Psikosis
Psikosis
Sitopenia
Sitopenia
Imunoserologi positif
Imunoserologi positif
pallidum
atau
uji
absorpsi
antibodi
treponemal fluorescent
Uji antibodi antinuklear positif
EPIDEMIOLOGI
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%.
Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan
lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.
herediter komplemen (seperti Clq, Clr, Cls, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Disregulasi Imun
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif:
Limfosit B
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan
kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah
perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh
antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari
sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang
disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh
faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan
respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan
fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin
mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang
mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh
terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada.
Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri
hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun.Persistensi
antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang
kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas
sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan
antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan
produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Autoantibodi
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita
lupus
adalah
antibodi
antinuklear
(autoantibodi
terhadap
DNA,
RNA,
Kompleks Imun
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada :
1. Adanya kompleks imun pada serum clan jaringan yang terkena (glomerulus renal,
tautan dermis-epidermis, pleksus koroid).
2. Akivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama
fase aktif clan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,
seperti dsDNA).Komponen Clq dapat terikat langsung pada dsDNA clan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks
imun
menyebabkan
lesi
inflamasi
melalui
aktivasi
kaskade
Clq
yang
rendah
mencegah
ambilan
sel
apoptosis
oleh
makrofag.Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan
peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Hormon
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai
peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.Penyakit LES terutama
terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah
menopause.Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan
menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang
lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat keluhan dan gejala
intermiten sampai pada fase akut yang fatal.Gejala konstitusional dapat berupa demam yang
menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia.Satu sistem organ
dapat terkena, meskipun penyakit multisistem lebih khas (Tabel 30-2).
Klinis
Konstitusional
Kulit
Muskoskeletal
Vaskular
Jantung
Paru
Gastrointestinal
Neurologi
Mata
Renal
Kelainan Kulit
Ruam merupakan gejala umum selama masa aktif penyakit.Ruam klasik (butterfly rash) terjadi
pada sepertiga sampai setengah anak-anak pada masa onset, namun bukan gejala
patognomonik.Ruam ini biasanya simetrik di kedua malar, jembatan hidung, dahi namun tidak
sampai lipatan nasolabial.Biasanya dapat berupa eritema simpel, berbatas tegas dan agak
meninggi
atau
berupa
erupsi
makulopapular
dengan
skuamasi
halus
berwama
kemerahan.Erupsi ini dapat pula mengenai daerah cuping hidung dan pangkal hidung, sering
juga disertai erupsi di daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbita, frontal, atau daerah
telinga luar.Ruam fotosensitif ini dapat dipresipitasi oleh paparan sinar matahari.
Eritema periungual dan livedo retukularis dapat terlihat pada pasien dengan kulit
pucat.Eritema periungual menunjukkan dilatasi pada kapiler kuku, sedangkan livedo retikularis
menunjukkan adanya fase aktif penyakit clan berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid, biasanya terdapat di ekstrimitas bawah. Ruam makulopapular sebagai
manifestasi vaskulitis atau peridaskulitis dapat terjadi khususnya pada area yang terpapar
sinar matahari, seperti muka dan dada depan sebelah atas. Petekia dan purpura juga dapat
menunjukkan adanya perivaskulitis akibat trombositopenia.
Lesi subakut dimulai dari papul yang berkembang menjadi lesi anular dengan tepi
yang meninggi.Lesi ini biasanya tersebar di muka clan ekstremitas, dan dapat menjadi krusta,
hiperpigmentasi dan atrofi.
Lesi diskoid jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi di kepala atau ekstremitas
dengan distribusi yang asimetris.Lesi ini predominan pada perjalanan penyakit lupus
kronik.Lesi berupa lesi makulopapular dengan batas tegas, tepi meninggi, bersifat
fotosensitif, dan menyembuh menjadi atrofi, luka parut atau perubahan pigmentasi.Apabila
terjadi di kepala, berhubungan dengan alopesia lokal.Lupus diskoid lebih banyak terjadi pada
anakanak kulit hitam.
Kelainan Mukosa
Mukosa oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan LES.Lesi
klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar pada palatum durum.Biasanya juga
disertai eritema pada palatum durum.Dapat pula terjadi ulserasi dan perforasi di septum nasi.
Kelainan Muskoskeletal
Artralgia dan artritis terjadi pada sebagian besar anak dengan LES.Artritis biasanya
melibatkan sendi kecil di tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut clan pergelangan
kaki.Durasi serangan artritis biasanya pendek, berlangsung selama beberapa hari, meskipun
dapat menjadi persisten dan berpindah-pindah.Pada beberapa anak, artritis bersifat persisten
ditandai dengan bengkak, nyeri clan berkurangnya gerakan.Artritis pada tangan sebelah
dorsal dan pergelangan tangan biasanya juga disertai tenosinovitis.Dapat pula berupa radang
akut poliartritis bilateral simetris atau oligoartritis, atau subakut dengan pembengkakan
periartikular dan kekakuan, atau bentuk kronik yang jarang destruktif seperti pada poliartritis
rheumatoid, tetapi sebaliknya deformitas tangan secara klinis sangat mirip dengan jari
reumatoid.
Mialgia dan kelemahan otot merupakan karakteristik pada fase akut.Miositis dikaitkan
dengan vaskulitis sistemik dan keterlibatan visera. Osteonekrosis aseptik dengan lokalisasi
tersering di daerah temporal clan dapat menimbulkan kecacatan terdapat pada penderita
lupus yang sedang diobati dengan kortikosteroid, tetapi dapat pula timbul di luar masa
pengobatan, mungkin berhubungan dengan proses vaskulitis.
Lupus Nefritis
Lupus nefritis merupakan penentu utama dalam prognosis jangka panjang.Nefritis tersebut
lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.Lupus nefritis biasanya asimtomatik,
meskipun pada beberapa anak terdapat hematuria makroskopik atau edema yang berkaitan
dengan sindrom nefrotik.Cameron dkk melaporkan bahwa sebagian besar gejala awal berupa
hematuria mikroskopik, proteinuria, penurunan filtrasi glomerular dan hipertensi.
Penyakit ginjal yang nyata biasanya baru muncul 2 tahun setelah onset.Bukti histologi
biasanya mendahului kelainan sedimen urin, sehingga diperlukan pemeriksaan rutin fungsi
ginjal.
Tabel 30-3.menunjukkan klasifikasi kelainan ginjal penyakit lupus menurut WHO
Kelas I
Normal
Kelas IIA
Kelainan minimal
MC : normal
MIF : deposit mesangial Ig dan komplemen
EM : deposit mesangial
Kelas IIB
Glomerulitis mesangial
Kelas III
Segmental
Kelas IV
Glomerulonefritis
proliferatif difus
Kelas V
Glomerulonefritis
membranosa
Kelas VI
Sklerosis glomerular
MC : mikroskop cahaya, MIF : mikroskop imunofluresensi, EM : mikroskop elektron (Dikutip dengan modifikasi
dari Petty clan Laxer, 2005)
Antibodi antiDNA sangat tinggi dan titer komplemen sangat rendah atau bahkan tak
terdeteksi.Bila terdapat sindrom nefrotik maka antiDNA atau ANA dapat saja negatif karena
kehilangan IgG masif melalui urin.
Dengan pengobatan (kortikosteroid dan/atau imunosupresan) maka lesi aktif menurut
kriteria histologik dapat berkurang. Bila tidak diobati, atau terlambat diobati, akan terjadi
evolusi ke arah gagal ginjal dengan hipertensi arterial.
Glomerulonefritis membranosa
Lesi karakteristik pada kelainan ini adalah endapan kompleks imun sepanjang subepitel
membrana basalis.Dapat terlihat endapan granular IgG dan komplemen sepanjang membrana
basalis yang biasanya lebih halus clan kecil dibandingkan dengan gambaran pada
glomerulonefritis difus.
Secara klinis selalu terdapat proteinuria dan sindrom nefrotik yang sering disertai
hematuria. Bila tidak terdapat pada awal pengamatan maka sindrom nefrotik akan segera
terdeteksi pada perjalanan penyakit selanjutnya. Hipertensi terdapat pada 30% kasus.
Temuan serologik biasanya tidak begitu mencolok seperti pada glomerulonefritis
proliferatif difus, terutama bila tidak terdapat gangguan sistemik ekstrarenal pada saat itu.
Walaupun pada evolusi penyakit dapat terjadi perubahan gambaran histologis ginjal
dari satu bentuk ke bentuk lainnya (terutama antara glomerulitis fokal dengan
glomerulonefritis proliferatif difus), lupus nefritis cenderung menunjukkan gambaran
histologis definitif. Sampai saat ini belum ada kriteria klinis atau laboratorium yang dapat
menunjukkan dugaan bentuk lupus nefropati, lagipula kelainan histologis tersebut dapat
berlangsung laten. Karena itu kebanyakan pakar menganjurkan biopsi ginjal secara rutin,
terutama bila timbul perburukan laboratorium (penurunan kadar komplemen, kenaikan titer
anti-dsDNA, peningkatan kadar krioglobulin).
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Kelainan sistem saraf pusat (SSP) menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
20-95% anak. Selain faktor vaskulopati (yang menimbulkan dugaan pengaruh faktor
autoantibodi atau vaskulitis kompleks imun), berbagai mekanisme lain dapat pula
berpengaruh, yaitu perdarahan akibat hipertensi arterial atau trombositopenia, efek toksik
kortikosteroid, dan komplikasi sepsis.
Secara umum, kelainan neuropsikiatrik yang dapat muncul berupa depresi, kesulitan
berkonsentrasi atau mengingat dan psikosis (termasuk halusinasi dan paranoid).Kerusakan
kognitif jarang terjadi pada anak dengan LES pada fase akut.Sakit kepala merupakan keluhan
yang
sering
terjadi,
meskipun
hubungannya
dengan
lupus
SSP
masih
sulit
ditentukan.Sedangkan kejang merupakan gejala awal pada lupus SSP Biasanya bersifat tonik
klonik.Manifestasi sentral lainnya dapat berupa gangguan atau defisit motorik, dan sindrom
ekstrapiramidal yang biasanya timbul pada masa awal munculnya penyakit.
Kelainan Kardiovaskular
Perikarditis merupakan manifestasi yang sering terjadi pada 30% anak dengan LES akut.
Dapat ditandai dengan nyeri prekordial yang dieksaserbasi oleh berbaring atau nafas dalam,
dan mereda dengan bangun duduk dan condong ke depan. Kelainan ini jarang disertai oleh
kardiomegali atau friction rub.
Miokarditis terjadi pada 15% anak.Manifestasi klinis sangat bervariasi, dapat berupa
hipertrofi miokardium, pembesaran ventrikel kiri, atau gangguan hantaran ritme.Adanya
takikardi tanpa demam menunjukkan kemungkinan miokarditis.
Penyakit koroner dapat terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua atau dengan masa sakit
yang lebih lama. Beberapa faktor berperan dalam pembentukan aterom pada lupus, antara
lain penggunaan jangka panjang steroid, peningkatan lipid plasma, stres oksidatif sekunder
sebagai efek dari autoantibodi terhadap lipoprotein dan peningkatan homosistein.
Lesi klasik LES pada jantung berupa endokarditis Libman-Sacks jarang terjadi pada
anak.Lesi ini ditandai dengan nodul fibrinoid pada jaringan kolagen di katup jantung.Katup
yang sering terkena yaitu katup mitral.Bunyi bising jantung tidak selalu ditemukan, kadangkadang disertai pula infeksi tambahan selain endokarditis.Perubahan katup yang sering
terjadi berupa penebalan, vegetasi, regurgitasi dan stenosis.
Vaskulitis pada LES terjadi di pembuluh darah kecil, seperti arteriol clan venul.Krisis
lupus merupakan fase akut vaskulitis yang berkembang mendadak, fatal clan mempunyai efek
sistemik.Fenomena Raynaud pada anak ditandai dengan perubahan warna pada ekstremitas
distal, yang berawal dari jari distal yang menjadi pucat, biasanya karena paparan dingin atau
emosi.Fase iskemia tersebut diikuti dengan sianosis yang disebabkan oleh anoksia dan
desaturasi.Fenomena Raynaud pada LES tidak hanya bagian dari vasospastik, namun juga
menunjukkan adanya penyakit struktur vaskular.Kulit jari dapat menjadi atrofi dan berkilat
(sklerodaktili).Hipertensi arterial dapat terjadi dengan faktor penyebab multipel, dapat
sekunder karena kortikoterapi atau gagal ginjal, selain dapat dihubungkan dengan lesi vaskular
seperti ateroma arteri renalis atau vaskulitis renalis.
Kelainan Paru
Pleuropulmonal klinis atau subklinis sering terjadi pada anak dengan LES, ditandai dengan
efusi pleura clan pleuritis, pneumonitis akut clan kronik serta perdarahan pulmonal.Efusi
pleura terjadi karena pleura mengalami inflamasi atau sekunder oleh sindrom nefrotik.Efusi
pleura noninflamasi biasanya asimtomatik. Cairan pleura bersifat eksudat dengan kadar
komplemen sangat rendah sehingga diduga bahwa mekanisme penyebabnya adalah kompleks
imun, ditambah lagi dengan bukti adanya endapan IgG clan komplemen pada pemeriksaan
imunofluoresensi.
Pleuritis biasanya menyebabkan nyeri dada pleuritik unilateral atau bilateral yang
dicetuskan oleh nafas dalam.Volume efusi biasanya kecil, bila banyak membutuhkan tindakan
parasentesis.Pneumonitis akut terdiri dari infiltrat pulmonal dan atelektasis.Gejala klinis
menyerupai perdarahan pulmonal.Perdarahan pulmonal ditandai dengan takikardi dan
hemoptisis.
Kelainan Hematologi
Anemia sangat sering terjadi dengan berbagai penyebab.Biasanya gambaran darah tepi terlihat
normokrom normositik, dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah.
Leukopenia merupakan petanda penting untuk LES akut, biasanya dengan predominasi
neutrofil.Sering ditemukan antibodi antilimfosit atau antigranulosit yang mungkin timbul
akibat gangguan imunologik pada jalur granulosit di sumsum tulang.
Trombositopenia dapat sangat berbahaya karena menyebabkan komplikasi perdarahan
berat yang memerlukan pengobatan segera (kortikosteroid atau gamaglobulin).Kadangkala
timbul masalah diagnosis tentang penyebab trombositopenia perifer (terlihat megakariosit
dalam sumsum tulang) terutama apakah diakibatkan sel virus (Mononucleous infectiosa,
cytomegalovirus, HIV) clan purpura trombositopenia idiopatik.Kombinasi anemia hemolitik
dan purpura trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada LES, sedangkan purpura
trombositopenia trombositik menunjukkan kemungkinan adanya LES. Pada purpura ini,
selain terjadi anemia dan purpura, terjadi pula gejala demam, gangguan SSP dan nefritis.
Trombositopenia juga dapat disertai dengan leukopenia.
Gangguan hemostasis akibat antikoagulan dalam sirkulasi perlu dipikirkan bila masa
pembekuan memanjang.Yang tersering terjadi adalah aktivitas antiprotrombinase yang secara
paradoksal inembawa risiko berat bagi terjadinya trombosis.Karena terdapat kemiripan
struktur antigenik antara protrombinase dengan kardiolipin maka pemeriksaan serologi sifilis
sering memberikan hasil positif palsu.
Kelainan Mata
Adanya vaskulitis retina ditandai dengan bercak kapas (cotton-wool spots) atau badan
sitoid.Bercak tersebut terletak di para-arteriolar di polus posterior retina. Adanya bercak
tersebut menunjukkan adanya LES pada pasien tanpa penyakit sistemik lainnya, seperti
hipertensi, diabetes atau anemia, yang dapat menyebabkan lesi eksudat yang sama.
Manifestasi okular lainnya dapat berupa edema subretina, perdarahan, oklusi vena sentralis
retina dan episkleritis.Sindrom Sjogren merupakan komplikasi yang jarang pada anak dengan
LES, ditandai dengan rasa kering di mata, injeksi konjungtiva dan fotofobia.
Kelainan Gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal jarang yang berhubungan langsung dengan LES, namun beberapa
pengobatan dapat memberikan efek samping berupa nyeri abdominal.Gangguan pencernaan
umumnya akibat vaskulitis dan merupakan komplikasi yang berbahaya, misalnya perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus, atau ulserasi hemoragis.Pankreatitis terjadi pada
beberapa anak, dengan gejala nyeri abdominal, mual dan muntah.Adanya kenaikan lipase
serum dan amilase menunjang diagnosis.Hepatomegali dapat terjadi pada dua pertiga anak
dengan LES, namun masih derajat ringan.Splenomegali dengan derajat sedang juga dapat
terjadi pada LES.Infark limpa dan perisplenitis menyebabkan nyeri kuadran kiri atas.
Kelainan Gineko-Obstetrik
Timbulnya penyakit lupus sering disertai dengan amenore.Selain itu sering terdapat riwayat
arbortus
berulang
sebelum
timbulnya
lupus,
dan
sering
pula
disertai
purpura
trombositopenik, yang patogenesisnya ditandai oleh peranan vaskulitis pada plasenta dan
antibodi antilimfosit.
Kehamilan pada penderita lupus selalu membawa risiko besar karena selain risiko
fetal dan perinatal, kehamilan sendiri dapat memacu timbulnya manifestasi lupus, terutama
bila penyakit ini tidak dikontrol dengan baik. Karena itu perlu sekali diperhatikan beberapa
keadaan berikut ini, yaitu 1) kehamilan di luar masa remisi harus dihindarkan sehingga perlu
memakai alat kontrasepsi, tetapi tidak boleh memakai IUD (risiko infeksi) atau pil estrogen
(risiko trombosis), 2) setiap kehamilan merupakan indikasi untuk pemeriksaan histology
biopsi ginjal, 3) selama trimester ketiga kehamilan harus diberikan perngobatan kortikosteroid,
atau dosisnya dinaikkan bila sedang diobati.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji autoantibodi (khususnya
ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk evaluasi keterlibatan organ dan pemeriksaan
untuk memantau efek terapi, termasuk toksisitas obat.
Indikator inflamasi
Fase akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap darah,
hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan C-reactive protein
biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat bila LES disertai dengan infeksi
sistemik atau pada serositis dan artritis.
Hematologi
Anemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan biasanya sesuai
dengan tipe penyakit kronik (normositik, hipokrom), disertai dengan penurunan serum besi dan
kapasitas ikat besi (iron-binding capacity).Pada pasien lain dapat ditemukan hemolisis
autoimun yang disebabkan oleh ikatan antibodi IgG dan komplemen pada eritrosit, hal tersebut
diperiksan melalui uji Coombs. Anemia hemolitik jarang menjadi berat dan fatal. Apabila berat
pun, penurunan kadar hemoglobin biasanya tidak terlalu berat.
Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari 1500 sel/ mm')
dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan trombositopenia.Beberapa
anak
menunjukkan
adanya
purpura
trombositopenia,
biasanya
berkaitan
dengan
lupus
menunjukkan
adanya
pemanj
angan
waktu
aPTT
dan
protrombin.Fenomena ini disebabkan oleh efek antibodi yang mengikat beta, 2-glikoprotein I dan
protrombin, sehingga mempengaruhi interaksi kompleks protrombin aktivator (faktor Xa dan V,
kalsium dan fosfolipid) dan mencegah konversi protrombin menjadi trombin oleh tromboplastin.
Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mempunyai antibodi terhadap
kardiolipin.Antibodi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada LES, namun juga pada
neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun.
A n t i b o d i An t i n u k l e a r
Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar serum anak dengan LES aktif
Tabel 30-4.Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk diagnosis LES atau
memantau perkembangan penyakit.Antibodi antinuklear diketahui dengan pemeriksaan
imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.
Tabel 30-4. Kriteria autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik
Antibodi antinuklear
Autoantibodi lain
Antibodi antifosfolipid
Antibodi anti Sm
Faktor reumatoid
Antibodi antihiston
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
Mekanisme kerja antibodi ini melalui pembentukan kompleks imun dengan komplemen dan
mengendap di jaringan. Antibodi ini dapat diukur melalui radioimmunoassay yang
menggunakan dsDNA yang diberi label radioaktif, mikroskop fluoresens yang menggunakan
protozoa Crithidia luciliae, atau melalui ELISA. Untuk kepentingan diagnosis, pemeriksaan
dengan menggunakan protozoa lebih dipilih, sedangkan untuk memantau kadar antibodi
dsDNA selama masa terapi, lebih digunakan radioimmunoassay atau ELISA. Peningkatan
kadar antibodi ini menunjukkan adanya perkembangan penyakit ginjal, terutama bila disertai
dengan penurunan kadar komplemen.
Antibodi terhadap antigen nuklear
Antibodi yang termasuk golongan ini adalah antibodi anti Sm, Ro/SS-A dan La/SSB.Antibodi tersebut berkaitan erat dengan LES.Antibodi anti Ro/SS-A bekerja dengan
mengganggu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga dengan penyakit ginjal.Pasien
dengan antibodi anti Ro dapat menunjukkan hasil yang negatif pada pemeriksaan
ANA.Antibodi anti La/SS-B bekerja dengan mengganggu kerja enzim RNA polimerase III,
dan biasanya juga mempunyai hasil positif pada pemeriksaan antibodi anti Ro. Sedangkan
antibodi anti Sm bekerja pada sintesis RNA dan pemisahan (messenger RNA synthesis and
splicing).
Antibodi antihiston
Antibodi terhadap histon terdapat pada sebagian besar anak dengan LES, meskipun juga
banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat.Antibodi ini bekerja dengan
mempengaruhi sintesis RNA.Adanya antibodi ini disertai dengan hasil negatif pemeriksaan
antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini bekerja
dengan mempengaruhi sintesis RNA .Adanya antibodi ini disertai dengan hasil negative
pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukan adanya LES yang diinduksi oleh obat.
Antibodi antifosfolipid
Antifosfolipid bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan klinis dan laboratorium penderita
LES, misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma, trombositopenia, livedo retikular, dan
hipertensi labil.Antifosfolipid tidak terdapat hanya pada penderita LES tetapi ditemukan pula
2.
3.
Anti-dsDNA
4.
5.
6.
7.
Krioglobulin
8.
Masa pembekuan
9.
10.
Uji Coombs
11.
Elektroforesis protein
12.
13.
14.
15.
DIAGNOSIS
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak
dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR) (Tabe1307).
Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut.
Tabel 30-7. Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology)
No
1
Kriteria
Definisi
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
Bercak diskoid
Fotosensitif
Ulkus mulut
Artritis
Serositif
a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction
rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar Pericardial
Gangguan ginjal
Gangguan saraf
Kejang
Tidak
disebabkan
oleh
obat
atau
kelainan
metabolik
disebabkan
oleh
obat
atau
kelainan
metabolik
Gangguan Darah
dengan retikulositosis
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
intervensi obat
10
Gangguan imunologi
11
Antibodi antinuklear
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
P E N G O B ATAN
Penatalaksanaan Umum
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif
tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan
program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang
berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus
meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Ahli ginjal perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi
ginjal.Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan.Perpindahan
terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
Perlu pula diperhatikan mengenai diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai.
Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan "junk food" atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari
kenaikan berat badan berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu
diberikan pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada
anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan hanya
diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial, 2)
sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit > 10.000) harus
dianggap sebagai gejala infeksi, 3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus
dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4)
setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Berikut merupakan pendekatan tatalaksana yang dapat dilakukan pada lupus
eritematosus sistemik (Tabe130-8 dan Gambar 30-1)
Tabel 30-8. Pendekatan tatalaksana LES
Umum
Konseling, edukasi, pendekatan tim
Istirahat cukup, nutrisi yang tepat
Penggunaan tabir surya
Imunisasi, khusunya vaksin antipneumokokus
Glukokortikoid
Glukokortikoid merupakan terapi farmakologi utama clan sebagian besar anak memerlukan
prednison oral atau prednisolon atau metilprednisolon intravena pada fase tertentu di
LES.Penggunaan obat ini meliputi terapi inisial, tapering offdan pemeliharaan (Tabe1309).Dosis dan frekuensi terapi inisial bergantung pada keparahan penyakit clan sistem organ
yang terkena.Pemakaian jangka lama harus diimbangi dengan pemantauan komplikasi yang
dapat timbul akibat terapi.Dosis rendah cukup untuk mengatasi demam, dermatitis, artritis clan
serositis, sedangkan dosis tinggi dapat mengatasi anemia hemolitik akut, gangguan SSP
penyakit paru clan lupus nefritis.
Setelah mengatasi manifestasi akut, dosis glukokortikoid harus diturunkan secara
perlahan disertai pemantauan klinis dan laboratorium. Penilaian adekuasi terapi berdasar pada
respon klinis, pemeriksaan sel darah putih, trombosit, hemoglobin, komplemen serum, kadar
antibodi anti-dsDNA dan urinalisis. Penggunaan terapi tambahan seperti obat sitotoksik
berdasarkan pada respon terhadap obat steroid, ketergantungan steroid clan toksisitas steroid.
Preparat kortikosteroid dipilih berdasarkan potensi clan waktu paruh yang disesuaikan
dengan kondisi penderita.Pada prinsipnya dipilih jenis obat yang mempunyai efek
antiinflamasi kuat clan waktu paruh sependek mungkin, dengan efek samping (retensi cairan
dan elektrolit, hipertensi) sesedikit mungkin, dalam dosis minimum, dan mudah dipergunakan.
Obat yang paling memenuhi kriteria di atas adalah prednisolon, dengan altenatif
prednison atau metilprednisolon tergantung dari efek apa yang diinginkan untuk penderita.
Obat dengan waktu paruh pendek lebih efektif bila diberikan dalam dosis terbagi, clan bila
waktu paruhnya panjang lebih baik diberikan dalam dosis tunggal.
Tabel 30-9. Terapi glukokortikoid pada anak dengan LES
Terapi inisial (4-6 minggu pertama)
Prednison oral
Metilprednisolon IV
Agen imunosupresif
Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol LES clan memperbaiki kualitas
hidup.Pada suatu studi, penggunaan imunosupresif bersama dengan prednison memberikan
hasil yang lebih baik.Azatioprin merupakan agen lini kedua yang sering digunakan. Peran
azatioprin kemungkinan dalam penatalaksanaan penyakit yang resisten atau tergantung dengan
steroid dengan atau tanpa nefritis kelas III atau IV
Siklofosfamid sering digunakan pada LES yang berat, khususnya lupus nefritis,
penyakit berat clan gangguan SSP Kombinasi dengan prednison oral juga efektif dalam
mencegah penyakit berkembang dan menjaga fungsi ginjal. Pemberian siklofosfamid secara
intravena dengan dosis awal 500-1000 mg/m2 tiap bulan diberikan selama 6 bulan.Lehman dan
Onel (2000) memberikan siklofosfamid intermiten dan meneruskan kortikosteroid dengan
tappering pada anak-anak penderita lupus.Cara pemberian ini ditujukan untuk mengurangi
toksisitas kortikosteroid.Siklofosfamid diberikan dengan intravena bolus setiap bulan selama 6
bulan kemudian dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan.Siklofosfamid didahului
hidrasi intravena 2L/m'/24 jam, selama 12 jam sebelum infus siklofosfamid.Dosis terendah
diberikan untuk anak-anak dengan leukopenia, trombositopenia atau kreatinin > 2 g/dL.Dosis
ditingkatkan 250 mg/m' setiap bulan, sesuai toleransi.
Penggunaan metroteksat pada anak dengan LES masih terbatas, obat ini dianggap
bermanfaat dalam mengatasi artritis yang resisten, lupus yang disertai fenomena Raynaud
dan kelainan kulit yang timbul. Sedangkan siklosporin mempunyai efek yang sama dengan
kombinasi prednison dengan siklofosfamid dalam mengurangi proteinuria, namun obat ini
bersifat nefrotoksik sehingga evaluasi terapi menjadi sulit.
Modulasi biologi
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan secara terbatas pada LES dewasa yang
refrakter, namun penggunaannya pada anak belum pernah dilaporkan. Penggunaan IVIG
dapat menurunkan kadar antibodi anti-dsDNA. Plasmaferesis merupakan pilihan lain dalam
mengatasi pasien dengan kadar kompleks imun yang beredar di sirkulasi dalam jumlah
banyak clan tidak efektif terhadap kortikosteroid atau siklofosfamid. Penggunaan antibodi
monoklonal sebagai terapi LES juga masih dikembangkan.
sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan
terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan
predominan pada sendi clan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan
bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet,
infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus
aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan. Penilaian aktivitas penyakit dinilai berdasarkan sistem skor (Tabel 30-10 dan 3011).
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral.Sebaliknya, bentuk
yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
Skor SLEDAI kemudian dihitung setiap pemantauan waktu tertentu atau, umumnya
diambil 3 clan 6 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas penyakit. Dengan melihat skor
SLEDAI dan digabung dengan kondisi klinis lain, pengobatan selanjunya disesuaikan dengan
kondisi terakhir.
Makanan tinggi asam urat
Dapat ditemukan :
1. Alcohol
2. Daging sapi, babi, unggas, ham dan daging olahan
3. Ragi : roti yang mengandung ragi, bir, alcohol
4. Seafood : sarden, tuna, teri, salmon, udang, dan lobster
5. Kafein : kafein pada kopi, teh, kacang-kacangan, dan tanaman daun yang banyak
mengandung asam urat
Schober test (lumbar range of motion)
Prosedur :
1. Berikan tanda pada spine pasien pada L5
2. Tempatkan jarak di bawah tanda tersebut dan tandai sejarak 5 cm dan 10 cm di atas tanda
tersebut
3. Lakukan forward bend test dan ukur jumlah jarak perubahan pergerakan pada spine
pasien tersebut
Indikasi : ankylosing spondilitis
Interpretasi :
Normal
: jarak antara 2 garis meningkat > 20cm
Abnormal
: jaraknya tidak meningkat <20cm
Synovial fluid analysis
Pemeriksaan yang dapat melihat local respon inflamasi, infeksi dan adanya Kristal
Synovial fluid effuse di klasifikasi menjadi 4 general etiologi kategori yaitu respon non
inflamasi, inflamasi, infectious, hemorrhagic
Effusion
Diseases
Inflammation
Infection
Crystal
gout, pseudogout
Hemorrhage
Visual examination
Cell Count
Normal synovial fluid is a clear, yellowish fluid and transparent enough to read newsprint
through. The following table summarizes the typical laboratory findings for each category of
joint disease.
Test
Normal
Non-inflam
Inflam
Sepsis
Crystal
Hemo
Clarity
Clear
Slightly
turbid
Turbid
Turbid
Turbid
Bloody
Color
Yellow
Yellow
Yellow
Red-Brown
Viscosity
High
Reduced
Low
Low
Low
Reduced
Mucin clot
Firm
Friable
Friable
Friable
Clotted
no
occasional
occasional
often
occasional yes
WBC/uL
0 - 200
0 - 2000
2000 100,000
50,000 200,000
500 200,000
50 - 10,000
%Polys
<25
<30
>50
>90
<90
<50
Glucose
difference
0 - 10
0 -10
0-40
20-100
0-80
0-20
Crystals
Absent
Absent
Absent
Absent
Present
Absent
Culture
Sterile
Sterile
Sterile
Positive
Sterile
Sterile
Site of aspiration
Ankle :
Shoulder
Needle is inserted below coracoids
process, just medial to the head of the
humerus and angled 10 degrees toward
midline
Shoulder effusion always causes a
bulge anteriorly. The point of the
needle is just medial to head of
humerus and below the tip of the
coracoids process
Knee
the knee is flexed 90 degrees. The
needle is inserted in the triangular area
between the patella tendon, medial
condyle and medial tibial plateau
the anterior medial approach to this
joint, aiming the needle between the
posterior aspect of the patella and the
anterior surface of the medial femoral
condyle, is the one most frequently
advocated
Prognosis
Akhir-akhir ini prognosis berbagai bentuk penyakit lupus telah membaik dengan angka
survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.Penyebab kematian dapat langsung akibat
penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal', hipertensi maligna, kerusakan SSP perikarditis,
sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena
perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif
seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya
pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral
iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat
imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian
ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya
sendiri.Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap
semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Jadi secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, clan
satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
RHEUMATOLOGIC EXAMINATION
Tujuan dari pemeriksaan reumatologi ini adalah untuk mengetahui atau menemukan sumber
anatomi dari penyakit yang diderita pasien, apakah artikular atau ekstraartikular.
Prinsipnya sama seperti pemeriksaan tulang, yaitu look feel move.
1. Look, caranya adalah dengan melihat :
a. gait, atau cara jalan pasien, biasanya pada pasien yang mengalami sakit di daerah sendi
memiliki postur antalgic gait, yaitu pada kaki yang sakit tidak dapat memijak tanah dengan
lama dan biasanya terdapat gerakan sirkumduksi hips, penyakit yang sesuai antara lain :
penyakit pada sendi, dapat karena fraktur atau arthritis.
b. swelling at joint
c. redness at joint
d. skin changes, terutama pada wajah (malar face, tanda systemic lupus erythematous) atau
ujung-ujung jari (raynaud phenomenon)
e. wasting regional muscle
f. deformity / contractur
2. Feel, yaitu dengan mempalpasi margin atau batas tepi sendi untuk mengukur synovial
thickening dan fluctuative swelling.
positif jika terdapat sel fluorescent, yang menunjukkan antibodi di serum menyerang sel
sel berinti.
negatif jika tidak terdapat sel fluorescent.
Kemudian jika hasil pemeriksaan positif, makaperlu dilakukan dilusi atau titer, dimana biasanya
pada populasi normal juga kadang terdapat hasil positif (5%), namun tidak mencapai dilusi 1:80.
Pada hasil positif juga akan tampak beberapa pola, yaitu :
1. Homogenous / diffuse / solid
2. Peripheral / shaggy
3. Speckled
4. Nucleolar
5. Centromere
anticentromere antibodi
Pemeriksaan FANA merupakan pemeriksaan yang memiliki sensitivitas cukup tinggi terhadap
penyakit autoimun, namun didapatkan juga beberapa positif palsu, antara lain pada :
a. infeksi bakteri dan virus
b. penyakit hormon (Graves disease, Hashimotos disease, Addisons disease)
c. penyakit darah (ITP)
d. kanker
e. drug induced ANA (dilantin, hydralazine, procainamide)
Selain itu juga banyak pemeriksaan subset ANA, antara lain :
a. anti-dsDNA
b. anti-Sm
c. Sjorgens syndrom antigen (SSA, SSB)
d. anti-centromere
e. anti-histone
f. anti-RNP
Omeprazole
Merupakan obat untul ulkus peptikus yang tergolong dalam penghambatan pompa proton
menghambat sekresi asam lambung.
Farmakodinamik
Obat masuk di absorpsi masuk ke sirkulasi berfusi ke sel parietal lambung
berkumpul du kanalikuli sekretoar mengalami aktivasi menjadi bentuk sulfonamide
tetrasiklik berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H+, K+, ATPase (enzim-enzim
untuk pompa proton) ikatan menyebabkan terjadinya penghambatan.
- Penghambatan berlangsung selama 24-48 jam, secara irreversible
- Dapat mencegah sekresi asam lambung : 80%-95%
- Lebih efektif dari pada AH2
- Produksi /sekresi lagi setelah 3-4 hari oengobatan di hentikan
Farmakokinetik
Efek obat biasanya menurun 50% akibat pengaruh dari makanan.Oleh karena itu
biasanya di beri 30 menit sebelum makan.
Indikasi
Biasanya untuk penyakit peptic
Efek samping
Mual, nyeri perut, konstipasi, diare, sakit kepala, artralgia, dan ruam kulit.Obat ini
merupan obat jangka pendek, tidak boleh jangka panjang.Karena nantinya dapat
menyebabkan kangker peptic.
Interaksi obat
Dapat mempengaruhi eliminasi beberapoa obat yang memiliki jalur metabolism yang
sama ( warfarin, diazepam, siklosporin)
Methylprednisolon
Golongan
Synthetic glucocorticoid ( adrenal corticosteroid )
Mechanism of action
Anti inflammatory :
a. Menekan konsentrasi, distribusi, dan fungsi peripheral leukosit dengan menghambat interaksi
b.
c.
d.
e.
white cell adhesion dengan endhotelial cell pada saat proses ekstravasasi leukosit.
Menekan neutrophil untuk melakukan migrasi
Menghambat fungsi makrofag dan Antigen presenting cells
Menimbulkan efek vasokontriksi dengan menekan degranulasi sel mast
Menekan pelepasan dan aktivitas mediator-mediator endogenous inflamasi ( seperti
prostaglandin, kinin, hisymain, liposomal enzym, system complement )
Farmakokinetik
Half life : short-intermediate acting ( 12-36 jam )
Absorpsi : oral diabsorpsi cukup baik, melalui IV absorpsinya manjdi lebih baik lagi.
Metabolism : hati
Ekskresi : urine
Indikasi
-
Dermatology diseases
Rheumatoid arthritis
Osteoarthritis
Granuloma annular
Kontraindikasi
-
Adevrse effect
-
Thromboembolisme
Vertigo
Headache
Glaucoma
Cushingoid states
Hypersensitivitas reaction
Immunosuppresiv
Sediaan
Oral ( 2, 4, 8, 16, 24, 32 mg )
Injection
Precaution
-
Diseases
Inflammation
Infection
Crystal
gout, pseudogout
Hemorrhage
Visual examination
Cell Count
Normal synovial fluid is a clear, yellowish fluid and transparent enough to read newsprint
through. The following table summarizes the typical laboratory findings for each category of
joint disease.
Test
Normal
Non-inflam
Inflam
Sepsis
Crystal
Hemo
Clarity
Clear
Slightly
Turbid
Turbid
Turbid
Bloody
turbid
Color
Yellow
Yellow
Yellow
Red-Brown
Viscosity
High
Reduced
Low
Low
Low
Reduced
Mucin clot
Firm
Friable
Friable
Friable
Clotted
no
occasional
occasional
Often
occasional yes
WBC/uL
0 - 200
0 - 2000
2000 100,000
50,000 200,000
500 200,000
50 - 10,000
%Polys
<25
<30
>50
>90
<90
<50
Glucose
difference
0 - 10
0 -10
0-40
20-100
0-80
0-20
Crystals
Absent
Absent
Absent
Absent
Present
Absent
Culture
Sterile
Sterile
Sterile
Positive
Sterile
Sterile
Site of aspiration
Ankle :
Shoulder
Needle is inserted below coracoids
process, just medial to the head of the
humerus and angled 10 degrees toward
midline
Shoulder effusion always causes a
bulge anteriorly. The point of the
needle is just medial to head of
humerus and below the tip of the
coracoids process
Knee
the knee is flexed 90 degrees. The
needle is inserted in the triangular area
between the patella tendon, medial
condyle and medial tibial plateau
the anterior medial approach to this
joint, aiming the needle between the
posterior aspect of the patella and the
anterior surface of the medial femoral
condyle, is the one most frequently
advocated