Anda di halaman 1dari 82

PROBLEM

Romi (laki-laki) 20 tahun

Chief Complain

1. Symmetric painful dan swelling joint di proksimal interphalanx, metocarpopalanx, wrist,


knee dan ankle

Other Complain

1. Fever
2. Skin rush

Past History

1. Fotosensitivitas

Physical Exam

1. Inflamasi joint :
Polyarticular, symmetrical, stimultaneous, pada PIPs, MCP, wrist, knee, ankle
2. Rheumatical exam :
Inflamasi stigmata
3. Terdapat malar rash dan low gtade fever
4. General status :
- Moderately ill
- Komposmentis
5. Vital sign : temperature meningkat
6. Rheumatological finding :
- Malar rash (+)
- Gait : antalgic
- Arm : PIPs, MCPs, wrist inflamasi dan swollen
- Legs : knee dan ankle inflamasi dan swollen
- Spine : (-) schober test
- Skin rash : anterior tibia

Pemeriksaan lab :
-

Hb
: 10g/dl
WBC
: 2300/mm
Platelet
: 230.000/mm
ESR
: 68/100 mm
Dff count bass 0, Eos 2, stab 3, segmented neutrophyl 47, monocyte 5
ANA
: positive, homogenous pattern, RF negative
Anti dsDNA
: (+)

- BUN dan creatinin: within normal limit


- Urinalysis
: protein (+)
- Chest X-ray dan ECG within normal limit
7. Synovial fluid analysis revealed :
- 30 ml of straw colored fluid
- No specific odor
- Sting sign was positive
- Leucocyte count 6000/mm
- Gram staining was negative
- No bugs were positive in culture

Hipotesis
-

Arthritis
SLE
Remathoid fever
Rheumatoid arthritis
Autoimun disease

Epilogue
-

Romi diberikan 0,4 mg/kg BW Methylprednison


Omeprazole 20 mg od

SENDI
DEFINISI
Sendi adalah hubungan antara setiap bagian yang kaku (tulang/tulang rawan) pada kerangka.

KLASIFIKASI
Sendi digolongkan menurut jenis bahan pemersatu tulang yang bersendi:
1. Sendi Fibrous. Adalah sendi yang dipersatukan oleh jaringan ikat , yang banyak
mengandung kolagen , sedikit mempunyai synovial cavity, very closely together oleh
jaringan ikat. Contoh sendi ini adalah:
a. Sendi suture, terdapat di skull, coronal suture antara tulang parietal, dan
frontal.
b. Syndesmoses, contoh : terdapat pada distal tubular joint, dimana anterior
tibiofibular ligament menghubungkan tibia dan fibula, interosseous membrane
antara pararel border dari tibia dan fibula. Sendi ini termasuk sendi
amphiarthrosis.
c. Gomphoses. Dentoalveolar joint, contoh : terdapat pada artikulasi akar gigi
dengan socket alveoli.
2. Sendi Kartilago. Adalah sendi yang dipersatukan oleh cartilage, yang mempunyai sedikit
synovial cavity.
a. Synchondroses,

contoh

menghubungkan

epiphysis

dan

diaphysis

dari

pertumbuhan tulang, secara fungsional sendi ini termasuk sendi synarthrosis.


b. Symphyses, semua sendi ini terdapat di midline tubuh, contoh symphysis pubis
antara permukaan anterior dari hip bone. Secara fungsional termasuk sendi
amphiarthrosis, gerak terbatas.
3. Sendi Synovial. Persatuan tulang mempunyai synovial cavity, yang terdiri dense
connective tissue dari artikular kapsul dan ada beberapa ligament. Sendi ini berbeda

dengan sendi yang lain, karena ada space yang disebut synovial (joint) cavity, secara
fungsional sendi ini termasuk sendi diarthrosis , gerakan luas. Tulang pada synovial joint
ini ditutupi oleh artikular cartilage, suatu hyaline cartilage, nah artikular kartilage ini
mengurangi friction antara tulang pada joint selama pergerakan dan membantu untuk
absorb shock.

MACAM-MACAM JOINT SYNOVIAL:


Planar Joint: menghubungkan permukaan tulang pada planar joint are flat/slightly
curved, untuk gerakan side-to side, dan back-and-forth gliding movement. Tipe sendi ini
nonaxial, karena gerakan tidak bisa terjadi di sekitar axis. Contoh gerakan ini pada
intercarpal joint (antara tulang carpal pada pergelangan tangan), intertarsal joint(antara
tulang tarsal pada ankle), sternoklavikular(antara manubrium dari sternum dan klavikula,
acromioklavikular (antara acromion dari scapula dan clavikula, sternocostal joint (antara
sternum dan ujung tulang costal).
Pivot(kisar) Joint. Tonjolan tulang yang bundar bertempat dalam socket(ceruk) tulang
yang berligamen. Pivot joint ini monoaxial, contoh : pada atlantoaxial axial joint.
Condyloid Joint, bersumbu 2, memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi, abduksi,
aduksi, dan sirkumduksi, contoh artikulasi metacarpophalangea jari-jari tangan.
Saddle Pelana Joint , berbentuk bagaikan pelana

artinya tempat tulang bersendi

berbentuk cekung dan cembung. Contoh pada telapak tangan antara os. Metacarpal dan
os. Trapezium.
Ball and socket (peluru) Joint, bersumbu banyak memungkinkan gerak menurut
berbagai sumbu, misalnya fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi medial, rotasi lateral
dan sirkumduksi. Sendi berbentuk kepala yang bulat pas dalam cekungan. Contoh sendi
ini pada joint shoulder. Pada shoulder joint, kepala dari tulang humerus ke glenoid cavity
dari scapula. Juga pada hip joint, kepala dari tulang femur ke acetabulum dari hip bone.
Sendi pun diklasifikasikan berdasarkan fungsi yang berkaitan dengan gerakan :
Synarthrosis

Immovable joint.

Amphiarthrosis

Gerakan yang dihasilkan oleh joint ini terbatas.

Diarthrosis

Gerakan yang bisa dihasilkan sangat bebas,

semua sendi tipe ini merupakan sendi synovial.

STRUCTURE OF SYNOVIAL JOINT


Struktur yang ada dalam synovial joint diantaranya:
1. Synovial cavity. Synovial cavity membuat sendi dapat bergerak dengan bebas.
2. Articular cartilage. Articular cartilage ini terdiri dari hyaline cartilage yang menutupi
articulating surface of the bone dengan permukaan yang halus dan licin tetapi tidak
mengikat tulang-tulang ini secara bersamaan. Articular cartilage berfungsi untuk
mengurangi gesekan antara tulang ketika terjadi pergerakan dan juga membantu
mengabsorpsi getaran.
3. Articular capsule. Articular capsule ini terdiri dari:

a. Fibrous capsule yang merupakan dense irregular connective tissue yang


berlekatan dengan periosteum dari tulang yang berartikulasi. Beberapa fiber dari
fibrous capsule (ligament) tersusun dalam berkas yang sejajar yang berguna untuk
menahan regangan.
b. Synovial membrane yang merupakan areolar connective tissue dengan elastic
fiber. Sering terdapat juga akumulasi dari adipose tissue yang disebut articular fat
pad.
4. Synovial Fluid. Synovial fluid merupakan imperfect ultrainfiltrate dari plasma darah yang
dikombinasikan dengan hyaluronic acid yang diproduksi oleh synovial cell. Beberapa
small molecule & ion (contohnya Na+, K+, glucose, urea dan lain sebagainya dengan
cepat lewat dan masuk ke dalam joint space dengan konsentrasi yang sama dengan yang
terdapat dalam plasma dengan large molekul yang biasanya sangat sedikit. Resorpsi dari
synovial molecule dilakukan oleh lymphatic dan tidak bergantung besar penyerapannya.
Normalnya synovial fluid ini bebentuk kental, jernih dan berwarna kuning pucat.
Synofial fluid bekerja sebagai lubricant dan adhesive serta menyediakan nutrisi yang
diperlukan oleh avascular articular cartilage. Synovial fluid ini terdiri dari:
a. Hyaluronic acid yang disekresi oleh fibroblast like cell dalam synovial membrane.
b. Interstitial fluid yang difiltrasi dari plasma darah yang berfungsi juga untuk
mengurangi gesekan, melubrikasi sendi, memindahkan sisa metabolisme dari
chondrocyte di dalam articular cartilage dan mensuplai nutrisi bagi sendi.
c. Phagocytic cell yang berfungsi untuk memindahkan mikroba dan debris yang
dihasilkan dari penggunaan normal sendi.

Synovial Fluid Analysis


Indikasi :

Acute joint swelling after injury

Suspected infection

Acute synovitis pada orang dewasa, untuk membedakan antara infeksi, gout dan
pseudogout

Chronic synovitis, untuk suspected TB atau atypical theumatic disorder

Teknik

Joint diaspirasi dibawah strict aseptic condition

Hanya dibutuhkan < 0,5 mL.

Gross examination:
Volume cairan dan penampakan dicatat secara cepat dicatat.Normalnya synovial fluid
jernih dan berwarna kuning.

Suspected
Condition
Normal
Septic
arthritis
TB Arthritis
Rheumatoid
Arthritis
Gout
Pseudogout
Osteoarthriti
s

Appearanc
e
Clear
yellow
Purulent

Viscocity

crystal

biokimia bakteriology

Turbid
Cloudy

Low
Low

+
++

As for
plasma
Glukosa
rendah
-

Low

White
cell
Bebera
pa
+

Cloudy
Cloudy

Normal
Normal

++
+

Clear
yellow

normal

High

Urate
Pirophos
pate
beberap Sering +
a

+
+
-

-- Synovial Fluid Findings by Disease Category


Category
Finding

Normal

Group I
Group II
Noninflammatory Inflammatory

Group III Group IV


Infectious Hemorrhagic

Clarity

Transparent Transparent

Transparent/opaque Opaque

Opaque

Color

Clear to
Xanthochromic
pale yellow

Xanthochromic to
white/bloody

White

Red-brown or
xanthochromic

WBCs/mL 0150

< 3000

300075 000

50 000
200 000

5010 000

PMNs (%) < 25

< 30

> 50

> 90

< 50

Category
Finding

Normal

Group I
Group II
Noninflammatory Inflammatory

Group III Group IV


Infectious Hemorrhagic

RBCs

No

No

No

Yes

Yes

Glucose
(blood/SF
difference
mg/dL)

010 (0
0.56
mmol/L)

010 (00.56
mmol/L)

040 (02.2
mmol/L)

20100
(1.115.5
mmol/L)

020 (01.11
mmol/L)

Modified from Kjeldsberg CR, Knight JA: Body Fluids: Laboratory Examination of Amniotic,
Cerebrospinal, Seminal, Serous and Synovial Fluids, 3rd ed. Copyright American Society for
Clinical Pathology, Chicago, 1993, with permission.
WBCs = white blood cells; PMNs = polymorphonuclear cells, neutrophils; RBCs = red blood
cells; SF = synovial fluid.

AUTOIMUNITAS
-

Adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan adanya kegagalan
mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau
keduanya (hilangnya self-tolerance tubuh).

Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada setiap individu karena limfosit dapat
mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyaknya self-antigen.

Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi, serta
diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
kerusakan berbagai organ.

Baik antibody, maupun sel T, atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit
autoimun.

Antigen disebut autoantigen, sedangkan antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel
autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen.

Toleransi Imun
-

Adalah imunosupresi yang hanya terhadap pada satu antigen dan tidak disertai oleh adanya
gangguan terhadap respons antigen yang lain.

Toleransi merupakan keadaan tidak adanya respons sel limfoid yang aktif terhadap antigen
tertentu. Bahan antigenic yang diinokulasikan

kepada janin atau anak baru lahir akan

ditolerir oleh resipien yang berarti akan mencegah manifestasi imun.


-

Self-tolerance adalah keadaan tubuh yang menerima epitop sendiri sebagai antigen sendiri.
Tubuh toleran terhadap autoantigen yang dipajankan ke sel limfoid system imun penjamu.
Toleransi terhadap antigen sendiri berkembang selama hidup fetal. Jadi tubuh menunjukkan
toleransi imun terhadap self-antigen atau autoantigen. Self-tolerance disebabkan oleh
inaktivasi atau dibunuhnya limfosit sel-reaktif yang diinduksi antigen sendiri. Mekanisme
induksi tolerance tersebut disebut clonal deletion.

Faktor Yang Berperan Dalam Autoimunitas


1. Peran Genetik pada Autoimunitas
Terjadi interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang kritis dan penting dalam
terjadinya penyakit autoimune. Ciri kuat peran faktor genetik terlihat pada hubungan antara
berbagai penyakit autoimmune dan varian MHC.
2. Faktor imun yang berperan pada autoimunitas
a. Sequestered Antigen
Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan system imun.
Pada keadaan normal, sequesterede antigen tidak ditemukan untuk dikenal system imun.
Perubahan anatomic dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan
iskemia atau trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan system imun yang tidak
terjadi pada keadaan normal.
Contohnya uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasectomy diduga disebabkan respons
autoimun terhadap sequestered antigen. Inflamasi jaringan juga dapat menimbulkan
perubahan struktur pada self-antigen dan pembentukan determinant baru yang dapat memacu
reaksi autoimun.
Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan
pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimune.
b. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC,
kadar sitokin yang rendah dan gangguan respn terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel

autoreaktif di duga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka
sel Th dapat di rangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. Respon imun selular terhadap
mikroba dan antigen asing lainnya dapat juga menimbulkan kerusakan jaringan di tempat
infeksi atau pajanan antigen.
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
Sel- pancreas pada penderita DM 1 mengespresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II,
sedang seseorang yang sehat sel- mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali. Ekspresi MHC yang tidak pada tempatnya itu
biasanya akan menimbulkan autoimunitas.
d. Aktifasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktifasi sel B poliklonal oleh virus (EBV),
lipopolisakarida, dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibody.
e. Peran CD4 dan reseptor MHC
Penelitian pada model hewan menunjukan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada
penyakit autoimmune.
f. Keseimbangan Th1 Th2
Penyakit autoimmune organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4.Keseimbangan
Th1- Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas.Th1 menunjukan peran pada
autoimmunitas, sedang dalam beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap
induksi penyakit, tetapi juga terhadap progresifitas penyakit.
g. Sitokin pada autoimunitas
Beberapa mekanisme control melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya adalah adanya
ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya.
Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar
sehingga menimbulkan efek patofisiologis.
Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagi factor etiologis ke dalam kekuatan patogenik
dan mempertahankan inflamasi, fase kronis serta destruksi jaringan.
3. Faktor lingkungan yang berperan dalam autoimunitas
a. Obat-Obatan

Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen
permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia
merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan oleh obat.
Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada
seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibody antinuclear dan timbul
sindrom serupa SLE. Antibody menghilang bila obat dihentikan.
b. Infeksi Dan Kemiripan Molecular
Banyak infeksi menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa bakteri
memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respons imun yang timbul terhadap
bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang
pula sel B untuk membentuk autoantibody.

Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada
kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh
penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang
rusak.

Contoh penyakit yang ditimbulkan kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma
pasca infeksi streptokokus, disebabkan antibody terhadap streptokokus yang diikat jantung
dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan
antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis.

c. Hormon
d. Radiasi UV
Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
meningkatkan imunogenesitas.
e. Oksigen radikal bebas
Bentuk lain dari kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama
kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan sebagian proses
inflamasi.
f. Logam

H IPERSENSITIVITY
Hipersensitivitas merupakan merubahan raktivitas imunologi terhadap antigen yang
menimbulkan respon imun yang patologik setelah paparan ulang. Berdasarkan sumber antigen,
hipersensitivitas dibagi ke dalam 3 istilah:
-

alergi: suatukeadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh paparan terhadap suatu


antigen/alergen eksogen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik berbahaya.

autoimunitas: gangguan pada toleransi imunologi self-antigen.

penyakit autoimun: sistem imun menghancurkan self-antigen dan menghancurkan


host tissue,

autoantibodi (melawan self-antigen), terkadang ada pada seluruh usia sehingga


jika jumlahnya masih sedikit maka tidak akan menimbulkan masalah.

penyakit aloimun: reaksi imunologi terhadap individua yang lain. Contohnya transfusi,
grafted tissue, janin

Etiologi
Secara umum, penyebab hipersensitivitas belum diketahui, namun beberapa hal yang menjadi
kemungkinan adalah
-

genetik, apabila salah seorang ayah/ibu alergi maka kemungkinan anak alergi 40%,
sedangkan bila keduanya memiliki alergi maka kemungkinan anak alergi 80%.

agen infeksi

lingkungan

ada 3 variabel berkenaan dengan hipersensitivitas:


a. original insult: mengubah keseimbangan imun (terutama pada autoimmunity)
b. individuals genetic makeup: menentukan suseptibilitas insult,
c. proses imun yang menyebabkan insult.
Terdapat 4 tipe hipersensitivitas yang kesemuanya dapat saling berhubungan dan bekerja secara
simultan, beberapa bersifat sekunder, pathognomik, dan penyebab primer kehancuran jaringan.
Tipe-tipe tersebut yakni:
a. tipe I/IgE mediated reactions/ reaksi anafilaksis/reaksi alergi
b. tipe II/tissue-spesific reaction
c. tipe III/immune complex-mediated injury
d. tipe IV/cell-mediated tissue destruction
Berdasarkan waktu munculnya respon imun sekunder, hipersensitivitas dibagi ke dalam 2
macam:
-

immediate hypersensitivity (terjadi dalam beberapa menit).

Anafilaksis: merupakan severe immediate hypersensitivity, dapat dalam bentuk


general (gatal, eritema, muntah-muntah, kram perut, diare, kesulitan bernafas,
edema laring, vascular collapse menyebabkan respiratory distress) atau dalam
bentuk lokal (anafilaktik kutaneus).

delayed (terjadi beberapa jam hingga beberapa hari)

Tipe I (IgE-mediated reaction)


Pada tipe ini terdapat ciri uama yakni produksi IgE setelah terpapar antigen. Sebagian besar
alergi tipe ini disebabkan oleh faktor lingkungan sehingga bersifat alergik (alergen: agen yang
menyebabkan respon alergi, kemungkinan berupa protein).
Reaksi tipe ini disebut juga dengan reaksi cepat/ reaksi alergi/anafilaksis (ana: jauh dari;
phylaxis: perlindungan); contohnya: rhinitis allergy, asma.
Tugas IgE
-

Paparan terhadap alergen produksi IgE oleh sel B paparan berulang sensitized.

IgE (dan IgG4) berikatan dengan reseptor Fc pada sel mast (sehingga disebut antibody
cytotropic karena dapat berikatan pada permukaan sel). Reagin merupakan skin
sensitizing antibody yang terkadang disebut cytotropic antibody.

Pada individu yang tersensitisasi kemudian terpapar ulang alergen, maka akan
menyebabkan cross-linking 2 reseptor kompleks IgE-Fc dan mulai melakukan
degranulasi juga melepaskan produk-produk sel mast.

Mekanisme IgE-mediated hypersensitivity


Degranulasi mast cell modulasi respon inflamasi akut. Pada proses ini yang paling
berpengaruh adalah histamin. Pengaruh histamin:
a. H1 receptor: meningkatkan permeabilitas postkapiler venula, kontraksi otot polos,
vasokonstriksi pulmonar, mencetus sekresi mukosa, kemotaksis lekosit, produksi
prostaglandin di paru-paru.
b. H2 receptor: mencetus sekresi asam lambung, mencetus sekresi mukosa, meningkatkan
level cAMP di sel, kemokin lekosit, aktivasi suppressor T-cell (menekan produksi
histamin dari sel mast dan basofil negative feed back loop sehingga dapat
menghentikan degranulasi).
Individu yang memiliki kerentanan terhadap alergi disebut atopic individual yang memiliki
beberapa kemungkinan latarbelakang seperti berikut:
-

konsentrasi IgE yang lebih tinggi

memiliki reseptor Fc lebih banyak pada mastosit

berkurangnya fungsi salah satu limfosit-T (contohnya: defisiensi IgE-spesific suppressor


cells).

Reaksi alergi juga dapat terjadi pada sekstem saraf otonom yakni termasuk mediator-mediator
biokimia (epinefrin, asetilkolin) mengendalikan perilaku sel target pada jaringan tuan rumah
(melepaskan mediator-mediator inflamasi dari sel mast dan mengendalikan derajat respon tiap
sel target terhadap mediator-mediator inflamasi)
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi alergi) terdapat beberapa tahap yakni:
-

fase sensitisasi: waktu yang diperlukan untuk pembentukan IgE hingga diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fc R) pada permukaan sel mast dan basofil.

fase aktivasi: waktu yang diperlukan antara paparan ulang dengan antigen yang lebih
spesifik dan hingga sel mast melepaskan granula-granulanya.

fase efektor: waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas oleh sel mast.
Antigen merangsang sel B membentuk IgE dengan bantuan sel Th

IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor Fc


Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama

Maka antigen diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil

Terbentuk ikatan antigen IgE

Sehingga sel mast/basofil mengalami degranulasi melepas mediator-mediator


Histamin:
Amin vasoaktif
PG leukotrien
mediator lipid:
Bronkokonstriksi
Reaksi(reaksi
hipersensitivitas
fase lamban
cepat
6-24 jam setelah paparan) konstriksi otot polos
Sekresi mukus
Resistensi salurannafas

Tipe II (Tissue-Spesific Reaction)


Karakter utama tipe ini adalah penghancuran sel target melalui aksi antibodi dengan
antigen pada membran plasma sel. Selain HLAs (histocompatibilty locus antigens), jaringanjaringan juga memiliki antigen lainnya yang disebut dengan tissue-spesific antigen (karena
hanya ada pada membran plasma sel-sel tertentu. Contohnya: platelet memiliki self-antigen
sendiri yang tidak dimiliki oleh sel lainnya. Hipersensitivitas tipe II hanya terbatas pada
jaringan atau organ tertentu yang mengekspresikan antigen khusus.
Pada tipe ini terdapat 2 mekanisme yang memediasi hipersensitivitas tipe II, yakni:
complement mediated lysis dan opsonization.
Terdapat 4 jenis mekanisme umum yang berbeda pada hipersensitivitas tipe II yang
keseluruhannya prosesnya dimulai dari ikatan antibodi dengan tissue-spesific antigen.
Mekanisme umum tersebut yakni:
1.
antibodi (IgM atau IgG)

beraksi dengan antigen di permukaan membran sel

Aktivasi sistem komplemen

Terjadi membrane attack complex (C5-9)

Drill trough membrane

Sel lisis
__________________________________________________________________
2. Pada mekanisme ini, penghancuran sel melibatkan makrofag dari sistem fagosit
mononuklear.
Fc R di makrofag mengikat antibodi pada sel yang telah teropsonisasi

Fagositosis sel target


(contohnya di spleen)
__________________________________________________________________
3. Mekanisme ini dibantu oleh antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), salah
satu yang berperan adalah sel NK (natural killer).
Fc R di NK + antibodi di sel

NK mengeluarkan substansi toksik

Menghancurkan sel
__________________________________________________________________
4. Mekanisme ini tidak menghancurkan sel, namun hanya menyebabkan malfungsi.
Sel target + antibodi

Ligan diblok oleh antibodi


(ligan dibutuhkan untuk fungsi normal sel)

Sel malfungsi

Tipe III (Immune Complex-Mediated Injury)


Mekanisme hipersensitivitas tipe ini diakibatkan oleh antigen-antibody/immune complex
yang terbentuk di sirkulasi (dari soluble antigen) kemudian terdeposit di dinding pembuluh darah
atau jaringan ekstravaskular.
Free antigen + free antibody&complement
(complement fragmen=chemotactic neutrophil)

Deposit di jaringan

neutrophil attempt to ingest immune complex

During that, large lysosomal enzymes released to inflammatory site

Attraction of neutrophils + release of lysosomal enzyme

Tissue damage
Sebagian kecil kompleks imun terfiltrasi melalui ginjal tanpa ada konsekwensi patologis.
Sebagian besar sisa terdeposit di jaringan (akan berbahaya apabila rasio antigen-antibodi = 2:1)
severe pathologic. Contohnya: glomerulonephritis, vasculitis, or arthritis.
Beberapa keadaan yang sering muncul berkaitan dengan hipersensitivitas tipe III antara lain:
-

Hypocomplementemic: disebabkan karena kompleks imun mengikat banyak komplemen


sehingga terjadi penurunan komplemen. Hal ini tidak terjadi pada hipersensitivitas tipe
lainnya. Selain itu, banyaknya kompleks imun dapat menimbulkan fenomena
remisi/muncul kembali diakibatkan masih tersisanya kompleks imun yang belum
terdeposit pada jaringan.

Serum sickness: merupakan bentuk sistemik penyakit yang disebabkan immune complexmediated yang akan terdeposit di jaringan target sehingga munculnya inflamasi. Jaringan
yang terlibat biasanya: dinding pembuluh darah, sendi, dan ginjal. Manifestasi lainnya
antara lain: demam, pembesaran nodus limfatikus, memar, dan nyeri pada tempat

inflamasi. Lab menunjukkan adanya peningkatan limfosit, granulosit, dan platelet di


sirkulasi.
-

Arthus: merupakan bentuk lokal penyakit yang disebabkan immune complex-mediated


karena paparan ulang terhadap antigen luar yang beraksi dengan dinding pembuluh darah.
Gejalanya dimulai 1 jam setelah terpapar dan puncaknya pada 6 12 jam. Karakter
lesinya adalah adanya inflamasi, peningkatan permeabilitas, akumulasi netrofil, edema,
pendarahan, clotting, dan kerusakan jaringan.

Tipe IV (Cell-Mediated Tissue Destruction)


Reaksi hipersensitivitas tanpa melibatkan antibodi, dan langsung beraksi dengan sel limfosit.
Hipersensitivitas dibagi menjadi:
1. Delayed type hypersensitivity (DTH) melalui sel CD4+
2. T-cell mediated cytolysis melalui sel CD8+
Delayed type hypersensitivity (DTH)
Respon imun yang merusak tubuh dalam usaha mengucilkan mikroba.
CD4+ Th1

Melepas sitokin
(INF-)
Reaksi inflamasi

makrofag

Menghasilkan produk aktif

enzim hidrolitik,
Oksigen reaktif
intermediate,
Nitric Oxide
Sitokin proinflamasi

Superoksid
Period radikal
Mikroorganisme
hancur

Jaringan rusak

Reaksi khas DTH memiliki 2 fase yakni fase sensitisasi dan fase efektor (7-10 hari)
a. sensitisasi: pematangan limfosit-T, seiap melepaskan limfokin.
Setelah kontak dengan antigen

Sel Th disensitisasi


Berproliferasi

Diferensiasi menjadi sel DTH

b. fasek efektor/fase elisitasi.


Jika sel DTH terpapar ulang dengan antigen yang sama (sel T memori)

Sitokin

Makrofag aktif
(sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas)

Mengeluarkan enzim litik


T-cell mediated cytolysis

Kerusakan terjadi melalui aktivasi sel CD8+/CTL/Tc.

Penyakit yang ditimbulkan cenderung mengenai beberapa organ saja, biasanya tidak
sistemik (con: hepatitis).

Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen/sel autologus dapat membunuh sel secara
langsung.

Allergy : suatu penyakit dimana immune response terhadap allergen yang ada pada lingkungan
menyebabkan inflamasi dan diafungsi pada organ.

Allergen : adalah antigen yang menyebabkan alergi, baik molekul antigenya sendiri ataupun
sumbernya, seperti pollen grain, animal dander, insect venom, atau food product.

Synofitis
Merupakan suatu inflamasi pada membrane synovial, yang biasanya disertai
rasa sakit, gerakan terbatas, dan disertai adanya rasa pembengkakan pada
sendi.
Synofitis merupakan suatu gejala, yang biasanya menyertai penyakit :
- Rheumatoid arthritis
- Juvenile arthritis
- Lupus
- SLE
- Psoriatic arthritis
Symptom :
- Bengkak
- Nyeri dipegang
- Hanyat di daerah yang bengkak
Patofisiologi
Microorganism pathogen/autoimmune
Respon immune aktif (sistemik)
Terbawa aliran darah
Joint
Terjadi inflamasi pada membrane joint

Hypersekresi synovial fluid


proinflamasi
Edema

vasodilatasi
hangat

peningkatan
nyeri

Rheumatoid Arthritis
Definisi
Merupakan kelainan inflammasi kronis sistemik yang dapat mengenai banyak organ dan
jaringan (kulit, pembuluh darah, paru-paru, dan otot) tapi organ utama yang diserangnya
adalah persendian, menghasilkan proliferasi sinovitis nonsupuratif yang seringkali dapat
merusak jaringan kartilago dan ankylosis dari sendi.
Epidemiologi
-

Prevalensinya 1% populasi, 80% pasien usia 35-50 tahun.

Perempuan 3x lebih sering daripada laki-laki.

Prevalensi meningkat sesuai bertambahnya usia. (perbedaan jenis kelamin hilang pada
kelompok usia yang lebih tua)

Insidensi pada wanita usia 60-64 tahun 6x lipat disbanding wanita usia 18-29 tahun.

Adanya factor predisposisi :


genetic adanya hubungan dengan produk MHC kelas II - HLA-DR4.
lingkungan yang mempengaruhi.

Etiologi
-

Masih belum diketahui, kemungkinan merupakan manifestasi respon terhadap suatu agen
inflamasi pada pejamu yang secara genetis rentan telah diperkirakan.
Co agen : mycoplasma, Epstein Barr Virus, CMV, parvovirus & rubella.

Kemungkinan adanya infeksi menetap di struktur sendi atau retensi produk mikroba di
dalam jaringan sinovium yang mencetuskan respon peradangan kronik.

Dapat juga, mikroorganisme / respon terhadap mikroorganisme mencetuskan suatu


respon imun terhadap komponen sendi dengan mengubah integritasnya serta
menyebabkan peptida antigenic terpapar.

Kemungkinan lain, mikroorganisme penginfeksi menyebabkan pejamu peka terhadap


determinan reaksi silang yang diekspresikan oleh struktur sendi akibat adanya mimikri
molecular.

Mekanisme lain terganggunya toleransi diri normal yang menimbulkan reaktivitas


terhadap antigen diri di dalam sendi, mis : kolagen tipe II / hilangnya mekanisme kontrol
imunoregulatorik yang menyebabkan pengaktifan sel T poliklonal.

Morphology
a. Joint
RA dapat menyebabkan bermacam-macam perubahan morfologi; manifestasi paking
parah terdapat di persendian. Awalnya daerah synovial menjadi sangat edematous, tebal,
dan hiperplastic, berubah dari yang awalnya halus menjadi dilapisi oleh struktur seperti
daun dan berumbi. Gambaran karakteristik histologisnya diantaranya : (1) . inflitrasi dari
stroma synovium dengan perivascular inflammatory infiltrate yang padat yang
tersusun oleh lymphoid follicle (umumnya CD4+ helper T cell), sel plasma dan
macrophage mengisi synovial stroma; (2) peningkatan vaskularitas disebabkan karena
adanya vasodilatasi dan angiogenesis, dengan adanya deposit hemosiderin pada daerah
superfisial; (3) agregasi dari adanya susunan fibrin yang menutupi bagian dari synovium
menjadikan synovial space seperti rice body; (4) akumulasi neutrophil pada synovial
fluid sepanjang synovium tapi biasanya hanya terdapat di permukaan saja tidal terlalu
dalam pada stroma synovium; (5) aktivitas osteoclastic pada darera tulang yang
dilapisinya, yang menjadikan adanya penetrasi cairan synovial ke dalam tulang
membentuk Juxta-articular erosion, subchondral cyst dan osteophorosis dan; (6)
pambentukan pannus, pannus merupakan massa fibrocellular dari synovium dan stroma
synovial yang berisi sel-sel inflamasi, jaringan granulomatous. dan fibroblast, yang akan
menyebabkan erosi pada kartilago di bawahnya, pannus bridge yang merupakan jaringan
yang berada diatas tulang, akan membentuk fibrous ankylosis, yang akhirnya akan
mengalami osifikasi yang kemudian akan membentuk bony ankylosis. Adanya inflamasi
dari tendon, ligamen, dan kadangkala otot-otot skeletal setempat memperparah arthritis.
b. Kulit
Rheumatoid nodules merupakan lesi cutaneous yang paling sering. Terjadi pada 25%
dari pasien, biasanya pada pasien yang parah, dan biasanya timbul pada daerah kulit yang
biasanya mengalami, termasuk aspek ulnaris dari pericardium, katup jantung, aorta dan

organ visceral lainnya. Rheumatoid nodules bersifat firm, nontender, dan berbentuk bulat
sampai oval dan pada kulit muncul jaringan subkutan. Secara mikroskopis, terdapat
central zone dari nekrosis fibroid yang dikelilingi lingkaran yang jelas dari epithelial
hystiocyte dan berisi banyak lymfosit dan sel plasma.
c. Pembuluh darah
Pasien dengan penyakit erosive yang parah, rheumatoid nodules, dan titer tinggi
rheumatoid factor merupakan resiko tinggi terjadinya vasculitic syndrome.Rheumatoid
vasculitis merupakan komplikasi yang potensial dari RA, khususnya jika RA tersebut
menyerang organ vital. Keterlibatan arteri besar dan sedang mirip dengan polyarteritis
nodosa kecuali pada RA, ginjal tidak terlibat. Seringkali, segmentasi dari arteri kecil
seperti vasa nervorum dan arteri digitalis rusak karena kerusakan endarteritis yang
merupakan akibat dari neurophati pheripheral, ulcer, gangrene. Leukocytoclastic venulitis
akan menyabebkan purpura, ulcer cutaneos dan nail bed infarction.

PATHOGENESIS
Secara rinci, patomekanisme kasus RA belum diketahui, namun diyakini bahwa RA di
perantarai karena adanya kerentanan immunogenetik pada sel host yang diserang oleh
arthritogenic microbial antigen.Adanya aktivasi dari CD4+ helper T cell menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator dan cytokines yang menyebabkan hancurnya persendian. Hal
tersebut dapat dijelaskan ke dalam 4 patomekanisme utama yaitu :
a. Genetic susceptibility
Dipercaya bahwa gangguan genetis ini memegang peranan utama dalam kasus RA
dengan persentasi sekitar 65%-80% dari kasus.
Adanya produk yang dihasilkan dari adanya alel HLA-DR1/DR4 atau keduanya pada
rantai MHC class II. Dengan adanya HLA-DR1 tersebut dapat mempengaruhi
peptide binding dan mengaktifkan T-cell sehingga dengan sendirinya akan berikata
dengan T-cell reseptor.
b. Microbial agent
Agen-agen yang biasanya berperan sebagai inisiasi dari penyakit ini, agen yang terakhir
kali diketahui peranannya dalam RA adalah Eipsten Barr virus, selain itu terdapat agenagen lain yang diyakini mempunyai peranan dalam terjadinya RA, diantaranya :
Retrovirus, Parvovirus, mycobacteria dan mycoplasma. EBV dapat melakukan crosslinked kedalam colagen type II yang ada pada cartilage sendi synovial, sementara EBV
tersebut mempunyai homologous HLA-DR yang juga dimiliki oleh colagen type II. Jadi
pada saat tubuh akan menyerang EBV tersebut colagen type II berperan sebagai mimic
antigen yang juga akan ikut diserang oleh sistem pertahanan tubuh karena tubuh
tidakmlagi mampu untuk mmbedakan antara self dan non-self.
c. Autoimmunity

Dengan adanya agen eksogen, maka terjadi proses autoimmunity yang utamanya
diperantarai oleh T cell.

Antigen yang berperannya belum diketahui secara pasti, tapi selain adanya
crosslinked EBV pada colagen type II (homologous antigen HLA-DR) ada juga
bukti bahwa human cartilage glycoprotein 39merupakan autoantigen.

Protein ini adalah produk dari hyaline cartilage chondrocyte yang mana terlihat
berikatan dengan DR4 peptides yang membuat adanya aktivasi dari T cell.
80% dari Rheumatoid arthritis terdapat autoantibodies pada Fc portion dari IgG
autologous (rheumatoid factor) yang kebanyakan adalah IgM
Adanya Ra-Ig ini membentuk kompeks imun yang menyebabkan ekstracelullar
manifestations.
RF akan terlokalisir pada kartilago yang mengalami inflamasi, mengaktifkan
komplemen, dan membuat adanya reaksi augumentasi synovial memperparah
kerusakan kartilago.
Immunophatogenesis

Clinical Features
a. Onset biasanya usia 20-40 tahun
b. Articular manifest
Morning stiffness & joint pain
Inflamasi pada persendian (bengkak, hangat, eritema dan nyeri tekan)
Arthritis yang simetris melibatkan sendi-sendi yang kecil dari tangan dan kaki.
Keterlibatan selanjutnya (walaupun pada beberapa pasien, persendian besar adalah
tempat yang dominan terserang) sendi-sendi besar (lutut, paha, siku, pergelangan
kaki, dan bahu).
Deformitas dari tangan :

Ulnar deviation of finger

Boutonniere deformity flexion of the proximal interphalanges joints and


hyperextension of distal inrterphalange joints, resulting from vollar slippage of
the lateral bands of the superficial extensor tendons.

Swan neck hyperextension of the proximal interphalanges joints resulting from


contracture of intrinsic muscles of hands.

c. Extraarticular manifestation
20%-25% (ussualy severe disease) terjadi subcutaneous/ subpriosteal nodules
(rheumatoid nodules)
Rheumatoid nodules Irreguraly shaped central zone of fibroid necrosis surrounded
by a margin of large mononuclear cell with an outer zone of granulation tissue
containing plasma cell and lynphocyte.
Rheumatoid nodules dapat juga ditemukan pada myocardium, pericardium, heart
valve, pleura, lungs, sclera, dura matter, spleen, larynx, & synovial tissue.
c. Feltys syndrome
Association with RA with spleenomegaly and neutrophenia

Lab finding
Anemia : Normochromic & normocytic
Thrombocytosis
ESR
Synovial fluid more inflammatory than seen in degenerative osteoerthritis.
WBC 5000-20.000/ L dan predominance of neutrophil (kadang sampai 50.000/
L)
Rheumatoid pleural exudate 5000 mononuclear atau polynuclear leukocyte per
microliter.
Kadar protein synovial fluid melebihi 3g/dL
Kadar glukosa synovial fluid berkurang sampai di bawah 20mg/dL
Rheumatoid dapat juga terdeteksi
Kadar kompemen darah biasanya menurun.
Immunologic diagnosis
80% kasus Rf (+) including complicated with rheumatoid nodules/ other manifest (not
spesific). Dan Rf ini dapat juga ada pada orang normal. Pada kebanyakan pasien hasil tes
ANA menunjukan hasil tes positive dan komplemen biasanya normal. Ditemukan
cryoglobulin pada pasien dengan rheumatoid vasculitis.
Perjalanan Penyakit & Prognosis
-

Cukup bervariasi & sulit diduga.

Sebagian besar aktivitas penyakit menetap tapi berfluktuasi, disertai deformitas sendi
dengan serajat bervariasi.

Pada pasien usia lanjut, wanita, kelainan radiografik yang parah, adanya nosud rematoid /
T titter factor rematoid cirri-ciri pasien yang cenderung mengalami disability.

Pasien wanita berkulit putih mengalami synovial persisten & penyakit erosive yang lebih
progresif daripada pria.

Pasien denga titter naiknya factor rematoid, protein C reaktif & haptoglobin punya
prognosis lebih buruk.

Kecepatan kerusakan sendi tidak konstan, perburukan meningkat di 6 tahun pertama lalu
jauh melambat.

Usia harapan hidup berkurang 3-7 tahun.

Prognosis bergantung kepada :


a. Seberapa berat penyakit sendi.
b. Infeksi & perdarahan saluran cerna menjadi penyebab kematian tersering.
c. Treatment.
d. Usia
e. Jenis kelamin.
f. Faktor penyebab kematian dini : disability, lama dan keparahan penyakit.

Diagnosis
Diperlukan periode pengamatan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria revisi tahun 1987 untuk klasifikasi Arthritis Rematoid :
1. Petunjuk untuk klasifikasi :
a. Diperlukan 4 dari 7 kriteria untuk mengklasifikasikan pasien sebagai penderita Arthritis
Rematoid.
b. Pasien dengan 2 / lebih diagnosis klinis tidak disingkirkan.
2. Kriteria :
a. Kekauan pagi hari.
Kekauan di dan pada struktur sendi yang menetap 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Arthritis pada 3 / lebih sendi.
Paling sedikit 3 daerah sendi memperlihatkan pembengkakan jaringan lunak / efusi
sendi, tidak hanya pertumbuhan berlebih tulang. 14 daerah sendi yang mungkin terkena :
sendi antar phalang proksimal, metakarpophalang, pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki, metatarsophalang.
c. Arthritis pada sendi-sendi tangan.

Arthritis pada pergelangan tangan, sendi metakarpophalang / antarphalang proksimal.


d. Arthritis Simetrik keterlibatan simultan daerah sendi yang sama pada ke2 sisi tubuh.

e. Nodus Rematoid.
Nodus subkutis diatas tonjolan tulang, permukaan ekstensor / daerah justa artikularis.
f. Faktor rematoid serum.
Pembuktian jumlah abnormal factor rematoid serum oleh metode apapun, dimana
memberi hasil (+) pada < 5% subyek kontrol normal.
g. Perubahan radiografik.
Khas Arthritis Rematoid pada pergelangan tangan & posteroanterior yang mencakup
erosi / dekalsifikasi tulang yang jelas & terletak di sendi yang terkena / sekitarnya.
Kriteria a-d harus terdapat paling sedikit 6 minggu.
Kriteria b-e harus diamati oleh dokter.
Terapi
-

Prinsip umum :
1. Menghilangkan nyeri.
2. Mengurangi peradangan / imunologik.
3. Mempertahankan kapasitas fungsional.
4. Resolusi proses etiopatogenik.
5. Mempercepat penyembuhan.

Hanya bersifat paliatif ( karena etiologi tidak diketahui, petogenesis masih spekulatif,
mekanisme banyak obat belum diketahui pasti ).

Terapi fisik :
1. Istirhahat.
2. Pembidaian menurunkan pergerakan sendi yang meradang untuk mengurangi nyeri.
3. Olah raga mempertahankan kekuatan otot & mobilitas sendi.

Penatalaksanaan medis Arthritis Rematoid terdiri dari 3 pendekatan umum :

1. Penggunaan aspirin & obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) lain, analgesik sederhana,
bila perlu glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol gejala & tanda proses
peradangan local.
2. Obat-obat antirematik supaya penyakit bekerja lambat, menahan kadar rekatan fase
akut.
Obat-obta imunosupresif & sitotoksik menghilangkan proses penyakit.
3. Penggunaan sejumlah modalitas eksperimental
Co : iradiasi limfosit total, limpoplasmaferesis, pemberian obat imunosupresif
siklosporin, pemberian antibody monoclonal terhadap sel T & subset sel T.
Tapi belum terbukti aman & cost-effective bila diberikan dalam jangka panjang.
-

Asam lemak omega 6 dalam makanan & omega 3, seperti dalam minyak ikan
memberikan perbaikan simtomatik (baru!).

Pendekatan nontradisional :
1. Diet
2. Ekstrak tumbuhan & hewan.
3. Vaksin
4. Hormon.
5. Berbagai preparat topical.

Differential Diagnosis
-

SLE

Arthritis Psoriatik.

Kostokondritik.

Hepatitis Kronik

Acute Rheumatic Fever and Rheumatic


Heart Disease

Definisi
Rheumatic fever is a diffuse, inflammatory disease caused by a delayed immune response to
infection by the group A -hemolytic streptococcus.

Rheumatic fever adalah febrile illness yang dikarakteristikkan oleh inflamation pada
joints, skin, nervous system dan heart

Jika tidak ditreatment, rheumatic fever dapat menyebabkan scar dan deformity pada
struktur cardiac, yang berakibat Rheumatic heart disease

Insidensi acute rheumatic fever turun di united state selama 1960, 1970, dan awal 1980
karena perbaikan medical dan sosioeconomic.

Acute disease banyak terjadi pada children umur antara 5-15 tahun.

Pathophysiology

Acute rheumatic fever dapat berkembang hanya sebagai akibat pharyngeal infection oleh
group A -hemolytic streptococcus.

Acute rheumatic fever kemungkinan mempengaruhi heart, joint, central nervous system
dan skin melalui respon abnormal humoral dan cell-mediated terhadap M protein
microorganism yang cross react dengan normal tissues

Antigen dapat berikatan dengan receptor pada heart, muscle, dan brain cell. Selain itu
juga mempunyai affinity untuk membrane receptor dalam synovial joints, dimana yang
mentrigger autoimmune response.

Clinical manifestation

Clinical manifestasi pada acute rheumatic fever: fever, lymphadenophaty, arthralgia,


nausea, vomiting, epistaxis, abdominal pain dan tachycardia

Major specific manifestation pada acute rheumatic fever adalah carditis, acute migratory
polyarthritis, chorea, dan erythema marginatum,yang terjadi single atau kombinasi
setelah periode laten 1-5 minggu setelah streptococcal infection pada pharynx.

Carditis. Manifestasi awal cardiac pada acute rheumatic fever kemungkinan tidak
terdeteksi murmur yang disebabkan oleh mitral atau aortic semilunar valve
dysfunction. Chest pain disebabkan oleh pericardial infllamation. Pericardial
effusion menghasilkan audible friction rub. Extra heart sounds, heart block, atrial
fibrilation dan prolong PR interval berhubungan dengan chronic rheumatic heart
disease.
Polyarthritis. Classic presenting manifestation acute rheumatic fever adalah acute
migratory polyarthritis(inflamation > 1 joint). Exudative synovitis menyebabkan
heat, redness, swelling, severe pain dan tenderness. Palpable subcutaneous node
sering berkembang pada bony prominences dan sepanjang extensor tendons.
Chorea, Sydenham Chorea, atau st.vitus dance, adalah disorder pada CNS
dikarakteristikkan oleh sudden, aimless, irregular involuntary movement
Erythema Marginatum is a distinctive truncal rash that often accompanies acute
rheumatic fever. Terdiri dari nonpruritic, pink, erythematous macules yang tidak
pernah terjadi pada face atau hands
Jones Criteria (Revised) for Diagnosis of Rheumatic fever
Criteria
Essential

Description
Evidence of streptococcal infection (increased titer of
streptococcal antibodies: antistreptolysin O [ASO]; positive throat

Major

culture for group A streptococcus; recent scarlet fever)


Carditis, arthritis, chorea, erythema marginatum, subcutaneous

Minor

nodules
Clinical: arthralgia, fever
Lab: increased C-reactive protein, increased white blood cell
count, increased erythrocyte sendimentation rate.
Electrocardiographic: prolonge PR interval

Catatan: To fulfill the jones criteria either 2 major criteria, or 1 major critererian and 2 minor
criteria , plus evidence of an antecendent streptococcal infection are recuired.

Arthritis Gout
1. Definisi :
Kumpulan gejala yang disebabkan oleh respon inflamasi terhadap produksi asam uric di
darah yang tinggi (hiperuricemia) dan cairan tubuh lain termasuk cairan synovial.
2. Epidemiologi :
Jarang pada anak-anak dan wanita premenopause
Jarang pada laki-laki <30 tahun
Puncak terjadi pada usia 40-50 tahun
Resiko perempuan dan laki-laki sama besar
3. Etiologi :
Gangguan metabolisme purin akibat mutasi gen X-linked yang menyebabkan
hiperuricemia.
Gangguan ekskresi ginjal.
Konsumsi alkohol yang meningkat.
Obesitas.
Obat-obatan : thiazides
4. Tanda dan gejala :
Sakit yang sangat (50% di metatarsophalangeal joint di ibu jari kaki, sedangkan 50%

lainnya di tumit, pergelangan tangan atau kaki, jari kaki, lutut, atau siku).
Seringnya pada malam hari.
Dalam beberapa jam, sendi yang terpengaruhi menjadi panas, merah, dan sakit sekali,

serta terkadang disertai benjolan.


Pada beberapa tempat terdapat tophi (nodul putih di kulit yang mengandung deposisi

kristal).
Pada gejala akut berupa monoarthritis asimetris, tetapi pada gejala kronis berupa

poliarthritis asimetris.
5. Metabolisme Asam Uric :

Pada arthritis gout, terjadi defisiensi atau tidak adanya enzim HGPRT akibat mutasi X-linked
sehingga terjadi gangguan metabolisme asam uric berupa hiperuricemia.
6. Patofisiologi

7. Manifestasi Klinis :
1) Konsentrasi serum urate meningkat.
2) Serangan berulang monoartikular arthritis.
3) Deposit kristal monosodium urate monohydrate (tophi) dan mengelilingi joint.
4) Renal disease

5) Terbentuk batu ginjal.


6) Muncul dalam 3 fase :
a) Asymptomatic hyperuricemia : serum urate meningkat dan negatif gejala.
b) Acute gouty arthritis : serum urate meningkat dan positif gejala.
c) Tophaceous gout : tahap kronis, mulai sejak 3 40 tahun sejak serngan pertama,
biasanya poliartikular asimetris.

8. Pemeriksaan :
1) Analisis cairan sinovial : terdapat kristal asam uric.
2) Asam uric darah meningkat.
3) Joint X-ray : dapat normal.
4) Biopsi sinovial.
5) Asam uric urin.

Systemic Lupus Erythematosus


Penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik evolutif yang
mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan sistem saraf,
ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik yang
diselingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya autoantibodi, khususnya antibodi
antinuklear. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit
diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian.Kelainan tersebut
merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun,
pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear,
dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya.
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Penyakit LES merupakan suatu penyakit dengan diagnosis klinis dan ditunjang oleh hasil
pemeriksaan laboratorium yang abnormal. Karakteristik LES yang utama antara lain:
1. LES merupakan penyakit episodik. Adanya riwayat gejala intermiten, seperti
artritis,pleuritis dan dermatitis, dapat mendahului selama beberapa bulan atau tahun.

2. LES merupakan penyakit multisistem. Pada anak-anak biasanya tanda dan gejala yang
muncul melibatkan lebih dari satu macam organ.
3. LES ditandai dengan adanya antibodi antinuklear (khususnya terhadap dsDNA) dan
autoantibodi lainnya.
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of
Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997 (Tabel 30-1).
Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan
spesifisitas 100%.Meskipun sebagian besar penderita LES mempunyai ANA, namun titer
yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas yang rendah.Sedangkan penderita yang
mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.

Tabel 30-1. Kriteria klasifikasi lupus eritematosus sistemik


Kriteria ACR 1982

Kriteria ACR 1997

Ruam malar (butterfly)

Ruam malar (butterfly)

Ruam lupus diskoid

Ruam lupus diskoid

Fotosensitivitas

Fotosensitivitas

Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal

Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal

Artritis nonerosif

Artritis nonerosif

Nefritis

Nefritis
Proteinuria > 0,5 gr/hari

Proteinuria > 0,5 gr/hari

Sel silinder

Sel silinder

Ensefalopati

Ensefalopati

Seizure

Seizure

Psikosis

Psikosis

Pleuritis atau perikarditis

Pleuritis atau perikarditis

Sitopenia

Sitopenia

Imunoserologi positif

Imunoserologi positif

Antibodi terhadap dsDNA

Antibodi terhadap dsDNA

Antibodi terhadap nuklear antigen Sm

Antibodi terhadap nuclear antigen Sm

Sediaan sel LE positif

Antibodi antifosfolipid positif, berdasar :

Uji biologis positif palsu untuk sifilis

1.antibodi antikardiolipin IgG atau IgM


2. antikoagulan lupus
3. uji serologi positif palsu untuk sifilis
selama 6 bulan, dikonfirmasi dengan uji imobilisasi
Treponema

pallidum

atau

uji

absorpsi

antibodi

treponemal fluorescent
Uji antibodi antinuklear positif

Uji antibodi antinulkear positif

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty clan Laxer, 2005)

EPIDEMIOLOGI
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%.
Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan
lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Etiologi penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan
faktor lingkungan.Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai oleh persistensi
limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan
dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam
jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang
menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Faktor genetik
Kerentanan terhadap penyakit SLE bersifat multifaktorial, dan faktor genetik yang multipel
mempunyai peranan yang penting.Pada suatu studi didapatkan bahwa prevalensi penyakit
LES tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara kandung yang memiliki penyakit LES
juga.Kembar monozigot juga mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kembar dizigot.Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi

herediter komplemen (seperti Clq, Clr, Cls, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Disregulasi Imun
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif:
Limfosit B
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan
kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah
perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh
antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari
sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang
disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh
faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan
respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan
fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin
mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang
mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh
terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada.
Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri
hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun.Persistensi
antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang
kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas
sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan
antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan
produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Autoantibodi

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita

lupus

adalah

antibodi

antinuklear

(autoantibodi

terhadap

DNA,

RNA,

nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat).Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi


dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin.Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun.Ada
pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan
substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis
disertai perdarahan.Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks
imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus.Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada
bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita
lupus.Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara
pasif melalui serum penderita lupus.

Kompleks Imun
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada :
1. Adanya kompleks imun pada serum clan jaringan yang terkena (glomerulus renal,
tautan dermis-epidermis, pleksus koroid).
2. Akivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama
fase aktif clan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,
seperti dsDNA).Komponen Clq dapat terikat langsung pada dsDNA clan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

Kompleks

imun

menyebabkan

lesi

inflamasi

melalui

aktivasi

kaskade

komplemen.Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit clan


makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam
deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang
berlebih clan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan
sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor
komplemen CRl pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena
mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara
antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Limfosit T
Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang
mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift)
fenotip sitokin dari sel T HO ke sel TH2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi
sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Apoptosis
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada
permukaan sel apoptosis.Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai
peranan penting dalam patogenesis LES.Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari
limfosit.Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan
(clearance).Kadar

Clq

yang

rendah

mencegah

ambilan

sel

apoptosis

oleh

makrofag.Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan
peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Hormon
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai
peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.Penyakit LES terutama
terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah
menopause.Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan
menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang
lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen


merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon
FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang
meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan
penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka
kematian penderita jantan.
Faktor Lingkungan
Sinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit dan radiasi ultraviolet B mempunyai
efek apoptosis.Tidak ada data yang menyebutkan hubungan virus dengan LES.Peningkatan
titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sitomegalovirus dan herpes simpleks kemungkinan
disebabkan oleh aktivasi sel B poliklonal daripada akibat infeksi virus spesifik.
Beberapa obat berhubungan dengan induksi LES.Mungkin kelompok obat ini
mempunyai struktur antigen tertentu yang dapat mengganggu respons imun pejamu.Bukan
tidak mungkin bahwa obat tertentu (atau metabolitnya) dapat bersikap sebagai mediator yang
berinterferensi dengan mekanisme homeostasis populasi limfosit.Penghentian obat tersebut
biasanya berkaitan dengan menghilangnya manifestasi klinis LES.Beberapa obat tersebut
antara lain alfa metildopa, klorpromazin, etosuksimid, hidralazin, isoniazid, minosiklin,
fenitoin, prokainamid dan trimetadion.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat keluhan dan gejala
intermiten sampai pada fase akut yang fatal.Gejala konstitusional dapat berupa demam yang
menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia.Satu sistem organ
dapat terkena, meskipun penyakit multisistem lebih khas (Tabel 30-2).

Tabel 30-2. Manifestasi klinis lupus eritematosus sistemik


Sistem

Klinis

Konstitusional

Demam, malaise, penurunan berat badan

Kulit

Ruam kupu-kupu (butterfly rash), lupus diskoid, eritema periungual,


fotosensitivitas, alopesia, ulserasi mukosa

Muskoskeletal

Poliartralgia dan artritis, tenosinovitis, miopati, nekrosi aseptik

Vaskular

Fenomena Raynaud, retikularis livedo, trombosis, eritromelalgia, lupus


profundus

Jantung

Perikarditis clan efusi, miokarditis, endokarditis Libman-Sacks

Paru

Pleuritis, pneumonitis basilar, atelektasis, perdarahan

Gastrointestinal

Peritonitis, disfungsi esofagus, kolitis

Hati, limpa, kelenjar

Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati

Neurologi

Seizure, psikosis, polineuritis, neuropati perifer

Mata

Eksudat, papiledema, retinopati

Renal

Glomerulonefritis, sindrom nefrotik, hipertensi

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

Kelainan Kulit
Ruam merupakan gejala umum selama masa aktif penyakit.Ruam klasik (butterfly rash) terjadi
pada sepertiga sampai setengah anak-anak pada masa onset, namun bukan gejala
patognomonik.Ruam ini biasanya simetrik di kedua malar, jembatan hidung, dahi namun tidak
sampai lipatan nasolabial.Biasanya dapat berupa eritema simpel, berbatas tegas dan agak
meninggi

atau

berupa

erupsi

makulopapular

dengan

skuamasi

halus

berwama

kemerahan.Erupsi ini dapat pula mengenai daerah cuping hidung dan pangkal hidung, sering
juga disertai erupsi di daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbita, frontal, atau daerah
telinga luar.Ruam fotosensitif ini dapat dipresipitasi oleh paparan sinar matahari.
Eritema periungual dan livedo retukularis dapat terlihat pada pasien dengan kulit
pucat.Eritema periungual menunjukkan dilatasi pada kapiler kuku, sedangkan livedo retikularis
menunjukkan adanya fase aktif penyakit clan berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid, biasanya terdapat di ekstrimitas bawah. Ruam makulopapular sebagai
manifestasi vaskulitis atau peridaskulitis dapat terjadi khususnya pada area yang terpapar

sinar matahari, seperti muka dan dada depan sebelah atas. Petekia dan purpura juga dapat
menunjukkan adanya perivaskulitis akibat trombositopenia.
Lesi subakut dimulai dari papul yang berkembang menjadi lesi anular dengan tepi
yang meninggi.Lesi ini biasanya tersebar di muka clan ekstremitas, dan dapat menjadi krusta,
hiperpigmentasi dan atrofi.
Lesi diskoid jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi di kepala atau ekstremitas
dengan distribusi yang asimetris.Lesi ini predominan pada perjalanan penyakit lupus
kronik.Lesi berupa lesi makulopapular dengan batas tegas, tepi meninggi, bersifat
fotosensitif, dan menyembuh menjadi atrofi, luka parut atau perubahan pigmentasi.Apabila
terjadi di kepala, berhubungan dengan alopesia lokal.Lupus diskoid lebih banyak terjadi pada
anakanak kulit hitam.
Kelainan Mukosa
Mukosa oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan LES.Lesi
klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar pada palatum durum.Biasanya juga
disertai eritema pada palatum durum.Dapat pula terjadi ulserasi dan perforasi di septum nasi.
Kelainan Muskoskeletal
Artralgia dan artritis terjadi pada sebagian besar anak dengan LES.Artritis biasanya
melibatkan sendi kecil di tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut clan pergelangan
kaki.Durasi serangan artritis biasanya pendek, berlangsung selama beberapa hari, meskipun
dapat menjadi persisten dan berpindah-pindah.Pada beberapa anak, artritis bersifat persisten
ditandai dengan bengkak, nyeri clan berkurangnya gerakan.Artritis pada tangan sebelah
dorsal dan pergelangan tangan biasanya juga disertai tenosinovitis.Dapat pula berupa radang
akut poliartritis bilateral simetris atau oligoartritis, atau subakut dengan pembengkakan
periartikular dan kekakuan, atau bentuk kronik yang jarang destruktif seperti pada poliartritis
rheumatoid, tetapi sebaliknya deformitas tangan secara klinis sangat mirip dengan jari
reumatoid.
Mialgia dan kelemahan otot merupakan karakteristik pada fase akut.Miositis dikaitkan
dengan vaskulitis sistemik dan keterlibatan visera. Osteonekrosis aseptik dengan lokalisasi
tersering di daerah temporal clan dapat menimbulkan kecacatan terdapat pada penderita

lupus yang sedang diobati dengan kortikosteroid, tetapi dapat pula timbul di luar masa
pengobatan, mungkin berhubungan dengan proses vaskulitis.
Lupus Nefritis
Lupus nefritis merupakan penentu utama dalam prognosis jangka panjang.Nefritis tersebut
lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.Lupus nefritis biasanya asimtomatik,
meskipun pada beberapa anak terdapat hematuria makroskopik atau edema yang berkaitan
dengan sindrom nefrotik.Cameron dkk melaporkan bahwa sebagian besar gejala awal berupa
hematuria mikroskopik, proteinuria, penurunan filtrasi glomerular dan hipertensi.
Penyakit ginjal yang nyata biasanya baru muncul 2 tahun setelah onset.Bukti histologi
biasanya mendahului kelainan sedimen urin, sehingga diperlukan pemeriksaan rutin fungsi
ginjal.
Tabel 30-3.menunjukkan klasifikasi kelainan ginjal penyakit lupus menurut WHO
Kelas I

Normal

Tidak terdapat kelainan

Kelas IIA

Kelainan minimal

MC : normal
MIF : deposit mesangial Ig dan komplemen
EM : deposit mesangial

Kelas IIB

Glomerulitis mesangial

IIA+hiperseluler mesangial (> 3 sel per area


mesangial atau peningkatan matriks mesangial)
Kelainan tubulus atau interstisial minimal

Kelas III

Proliferasi fokal dan

Daerah fokal proliferasi selular intrakapiler dan

Segmental

ekstrakapiler, nekrosis, karyoreksis, infiltrasi


leukosit
<50% glomeruli
MIF atau EM : deposit subendotel / mesangial
Kelainan tubulus atau interstisial fokal

Kelas IV

Glomerulonefritis

Kelainan kelas III yang mengenai lebih banyak

proliferatif difus

daerah permukaan glomerulus dan lebih dari 50%


glomeruli
MIF dan EM : banyak endapan subendotel
Kelainan interstisial luas
Varian membranoproliferatif : proliferasi sel
mesangialdan penebalan dinding kapiler yang
bermakna Tidak ada proliferasi mesangial, endotel atau sel
epitel

Penebalan dinding kapiler yang difus, uniform

Kelas V

Glomerulonefritis

MIF dan EM : endapan mesangial dan subepitel

membranosa

Kelainan interstisial minimal


Sklerosis glomerulus luas atau segmental, terdapat
fibrosa yang berbentuk bulan (fibrous crescents)

Kelas VI

Sklerosis glomerular

MC : mikroskop cahaya, MIF : mikroskop imunofluresensi, EM : mikroskop elektron (Dikutip dengan modifikasi
dari Petty clan Laxer, 2005)

Lupus nefritis mesangial


Biasanya asimtomatik, atau hanya terdapat proteinuria atau hematuria transien ringan, dan
telah disimpulkan bahwa sebagian besar prognosisnya baik walaupun dapat berkembang
menjadi bentuk yang lebih berat. Dapat ditemukan titer antiDNA yang meningkat dan
komplemen sedikit menurun.
Glomerulitis proliferatif fokal
Ditandai oleh endapan granular IgG clan C3 sepanjang sisi luar membrana basalis.Secara
klinis terdapat proteinuria ringan dengan hematuria mikroskopik, sangat jarang terjadi
sindrom nefrotik, dan tidak atau jarang terjadi gagal ginjal atau hipertensi.Biasanya anak
datang mencari pertolongan dengan penyakit akut ekstrarenal.
Titer antiDNA meningkat dan aktivitas hemolitik komplemen menurun atau tidak
ada.Seperti halnya pada bentuk mesangial maka dapat terjadi perubahan menjadi bentuk yang
lebih berat.Pada tahap ini pemberian terapi glukokortikoid memberikan hasil yang baik.
Glomerulonefritis proliferatif difus
Merupakan bentuk nefropati lupus tersering dan berat yang ditandai oleh proliferasi
endokapiler dan endapan subendotel. Pemeriksaan imunofluoresensi biasanya menunjukkan
deposit IgG dan komplemen (Clq, C3, C4) sepanjang dinding kapiler dan mesangium. Secara
klinis merupakan glomerulopati laten yang muncul sebagai proteinuria sedang atau berat,
dengan atau tanpa sindrom nefrotik, dan hampir selalu terdapat hematuria serta gagal ginjal.

Antibodi antiDNA sangat tinggi dan titer komplemen sangat rendah atau bahkan tak
terdeteksi.Bila terdapat sindrom nefrotik maka antiDNA atau ANA dapat saja negatif karena
kehilangan IgG masif melalui urin.
Dengan pengobatan (kortikosteroid dan/atau imunosupresan) maka lesi aktif menurut
kriteria histologik dapat berkurang. Bila tidak diobati, atau terlambat diobati, akan terjadi
evolusi ke arah gagal ginjal dengan hipertensi arterial.
Glomerulonefritis membranosa
Lesi karakteristik pada kelainan ini adalah endapan kompleks imun sepanjang subepitel
membrana basalis.Dapat terlihat endapan granular IgG dan komplemen sepanjang membrana
basalis yang biasanya lebih halus clan kecil dibandingkan dengan gambaran pada
glomerulonefritis difus.
Secara klinis selalu terdapat proteinuria dan sindrom nefrotik yang sering disertai
hematuria. Bila tidak terdapat pada awal pengamatan maka sindrom nefrotik akan segera
terdeteksi pada perjalanan penyakit selanjutnya. Hipertensi terdapat pada 30% kasus.
Temuan serologik biasanya tidak begitu mencolok seperti pada glomerulonefritis
proliferatif difus, terutama bila tidak terdapat gangguan sistemik ekstrarenal pada saat itu.
Walaupun pada evolusi penyakit dapat terjadi perubahan gambaran histologis ginjal
dari satu bentuk ke bentuk lainnya (terutama antara glomerulitis fokal dengan
glomerulonefritis proliferatif difus), lupus nefritis cenderung menunjukkan gambaran
histologis definitif. Sampai saat ini belum ada kriteria klinis atau laboratorium yang dapat
menunjukkan dugaan bentuk lupus nefropati, lagipula kelainan histologis tersebut dapat
berlangsung laten. Karena itu kebanyakan pakar menganjurkan biopsi ginjal secara rutin,
terutama bila timbul perburukan laboratorium (penurunan kadar komplemen, kenaikan titer
anti-dsDNA, peningkatan kadar krioglobulin).
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Kelainan sistem saraf pusat (SSP) menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
20-95% anak. Selain faktor vaskulopati (yang menimbulkan dugaan pengaruh faktor
autoantibodi atau vaskulitis kompleks imun), berbagai mekanisme lain dapat pula

berpengaruh, yaitu perdarahan akibat hipertensi arterial atau trombositopenia, efek toksik
kortikosteroid, dan komplikasi sepsis.
Secara umum, kelainan neuropsikiatrik yang dapat muncul berupa depresi, kesulitan
berkonsentrasi atau mengingat dan psikosis (termasuk halusinasi dan paranoid).Kerusakan
kognitif jarang terjadi pada anak dengan LES pada fase akut.Sakit kepala merupakan keluhan
yang

sering

terjadi,

meskipun

hubungannya

dengan

lupus

SSP

masih

sulit

ditentukan.Sedangkan kejang merupakan gejala awal pada lupus SSP Biasanya bersifat tonik
klonik.Manifestasi sentral lainnya dapat berupa gangguan atau defisit motorik, dan sindrom
ekstrapiramidal yang biasanya timbul pada masa awal munculnya penyakit.
Kelainan Kardiovaskular
Perikarditis merupakan manifestasi yang sering terjadi pada 30% anak dengan LES akut.
Dapat ditandai dengan nyeri prekordial yang dieksaserbasi oleh berbaring atau nafas dalam,
dan mereda dengan bangun duduk dan condong ke depan. Kelainan ini jarang disertai oleh
kardiomegali atau friction rub.
Miokarditis terjadi pada 15% anak.Manifestasi klinis sangat bervariasi, dapat berupa
hipertrofi miokardium, pembesaran ventrikel kiri, atau gangguan hantaran ritme.Adanya
takikardi tanpa demam menunjukkan kemungkinan miokarditis.
Penyakit koroner dapat terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua atau dengan masa sakit
yang lebih lama. Beberapa faktor berperan dalam pembentukan aterom pada lupus, antara
lain penggunaan jangka panjang steroid, peningkatan lipid plasma, stres oksidatif sekunder
sebagai efek dari autoantibodi terhadap lipoprotein dan peningkatan homosistein.
Lesi klasik LES pada jantung berupa endokarditis Libman-Sacks jarang terjadi pada
anak.Lesi ini ditandai dengan nodul fibrinoid pada jaringan kolagen di katup jantung.Katup
yang sering terkena yaitu katup mitral.Bunyi bising jantung tidak selalu ditemukan, kadangkadang disertai pula infeksi tambahan selain endokarditis.Perubahan katup yang sering
terjadi berupa penebalan, vegetasi, regurgitasi dan stenosis.
Vaskulitis pada LES terjadi di pembuluh darah kecil, seperti arteriol clan venul.Krisis
lupus merupakan fase akut vaskulitis yang berkembang mendadak, fatal clan mempunyai efek
sistemik.Fenomena Raynaud pada anak ditandai dengan perubahan warna pada ekstremitas

distal, yang berawal dari jari distal yang menjadi pucat, biasanya karena paparan dingin atau
emosi.Fase iskemia tersebut diikuti dengan sianosis yang disebabkan oleh anoksia dan
desaturasi.Fenomena Raynaud pada LES tidak hanya bagian dari vasospastik, namun juga
menunjukkan adanya penyakit struktur vaskular.Kulit jari dapat menjadi atrofi dan berkilat
(sklerodaktili).Hipertensi arterial dapat terjadi dengan faktor penyebab multipel, dapat
sekunder karena kortikoterapi atau gagal ginjal, selain dapat dihubungkan dengan lesi vaskular
seperti ateroma arteri renalis atau vaskulitis renalis.
Kelainan Paru
Pleuropulmonal klinis atau subklinis sering terjadi pada anak dengan LES, ditandai dengan
efusi pleura clan pleuritis, pneumonitis akut clan kronik serta perdarahan pulmonal.Efusi
pleura terjadi karena pleura mengalami inflamasi atau sekunder oleh sindrom nefrotik.Efusi
pleura noninflamasi biasanya asimtomatik. Cairan pleura bersifat eksudat dengan kadar
komplemen sangat rendah sehingga diduga bahwa mekanisme penyebabnya adalah kompleks
imun, ditambah lagi dengan bukti adanya endapan IgG clan komplemen pada pemeriksaan
imunofluoresensi.
Pleuritis biasanya menyebabkan nyeri dada pleuritik unilateral atau bilateral yang
dicetuskan oleh nafas dalam.Volume efusi biasanya kecil, bila banyak membutuhkan tindakan
parasentesis.Pneumonitis akut terdiri dari infiltrat pulmonal dan atelektasis.Gejala klinis
menyerupai perdarahan pulmonal.Perdarahan pulmonal ditandai dengan takikardi dan
hemoptisis.
Kelainan Hematologi
Anemia sangat sering terjadi dengan berbagai penyebab.Biasanya gambaran darah tepi terlihat
normokrom normositik, dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah.
Leukopenia merupakan petanda penting untuk LES akut, biasanya dengan predominasi
neutrofil.Sering ditemukan antibodi antilimfosit atau antigranulosit yang mungkin timbul
akibat gangguan imunologik pada jalur granulosit di sumsum tulang.
Trombositopenia dapat sangat berbahaya karena menyebabkan komplikasi perdarahan
berat yang memerlukan pengobatan segera (kortikosteroid atau gamaglobulin).Kadangkala
timbul masalah diagnosis tentang penyebab trombositopenia perifer (terlihat megakariosit

dalam sumsum tulang) terutama apakah diakibatkan sel virus (Mononucleous infectiosa,
cytomegalovirus, HIV) clan purpura trombositopenia idiopatik.Kombinasi anemia hemolitik
dan purpura trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada LES, sedangkan purpura
trombositopenia trombositik menunjukkan kemungkinan adanya LES. Pada purpura ini,
selain terjadi anemia dan purpura, terjadi pula gejala demam, gangguan SSP dan nefritis.
Trombositopenia juga dapat disertai dengan leukopenia.
Gangguan hemostasis akibat antikoagulan dalam sirkulasi perlu dipikirkan bila masa
pembekuan memanjang.Yang tersering terjadi adalah aktivitas antiprotrombinase yang secara
paradoksal inembawa risiko berat bagi terjadinya trombosis.Karena terdapat kemiripan
struktur antigenik antara protrombinase dengan kardiolipin maka pemeriksaan serologi sifilis
sering memberikan hasil positif palsu.
Kelainan Mata
Adanya vaskulitis retina ditandai dengan bercak kapas (cotton-wool spots) atau badan
sitoid.Bercak tersebut terletak di para-arteriolar di polus posterior retina. Adanya bercak
tersebut menunjukkan adanya LES pada pasien tanpa penyakit sistemik lainnya, seperti
hipertensi, diabetes atau anemia, yang dapat menyebabkan lesi eksudat yang sama.
Manifestasi okular lainnya dapat berupa edema subretina, perdarahan, oklusi vena sentralis
retina dan episkleritis.Sindrom Sjogren merupakan komplikasi yang jarang pada anak dengan
LES, ditandai dengan rasa kering di mata, injeksi konjungtiva dan fotofobia.
Kelainan Gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal jarang yang berhubungan langsung dengan LES, namun beberapa
pengobatan dapat memberikan efek samping berupa nyeri abdominal.Gangguan pencernaan
umumnya akibat vaskulitis dan merupakan komplikasi yang berbahaya, misalnya perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus, atau ulserasi hemoragis.Pankreatitis terjadi pada
beberapa anak, dengan gejala nyeri abdominal, mual dan muntah.Adanya kenaikan lipase
serum dan amilase menunjang diagnosis.Hepatomegali dapat terjadi pada dua pertiga anak
dengan LES, namun masih derajat ringan.Splenomegali dengan derajat sedang juga dapat
terjadi pada LES.Infark limpa dan perisplenitis menyebabkan nyeri kuadran kiri atas.
Kelainan Gineko-Obstetrik
Timbulnya penyakit lupus sering disertai dengan amenore.Selain itu sering terdapat riwayat
arbortus

berulang

sebelum

timbulnya

lupus,

dan

sering

pula

disertai

purpura

trombositopenik, yang patogenesisnya ditandai oleh peranan vaskulitis pada plasenta dan
antibodi antilimfosit.
Kehamilan pada penderita lupus selalu membawa risiko besar karena selain risiko
fetal dan perinatal, kehamilan sendiri dapat memacu timbulnya manifestasi lupus, terutama
bila penyakit ini tidak dikontrol dengan baik. Karena itu perlu sekali diperhatikan beberapa
keadaan berikut ini, yaitu 1) kehamilan di luar masa remisi harus dihindarkan sehingga perlu
memakai alat kontrasepsi, tetapi tidak boleh memakai IUD (risiko infeksi) atau pil estrogen
(risiko trombosis), 2) setiap kehamilan merupakan indikasi untuk pemeriksaan histology
biopsi ginjal, 3) selama trimester ketiga kehamilan harus diberikan perngobatan kortikosteroid,
atau dosisnya dinaikkan bila sedang diobati.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji autoantibodi (khususnya
ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk evaluasi keterlibatan organ dan pemeriksaan
untuk memantau efek terapi, termasuk toksisitas obat.
Indikator inflamasi
Fase akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap darah,
hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan C-reactive protein
biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat bila LES disertai dengan infeksi
sistemik atau pada serositis dan artritis.
Hematologi
Anemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan biasanya sesuai
dengan tipe penyakit kronik (normositik, hipokrom), disertai dengan penurunan serum besi dan
kapasitas ikat besi (iron-binding capacity).Pada pasien lain dapat ditemukan hemolisis
autoimun yang disebabkan oleh ikatan antibodi IgG dan komplemen pada eritrosit, hal tersebut
diperiksan melalui uji Coombs. Anemia hemolitik jarang menjadi berat dan fatal. Apabila berat
pun, penurunan kadar hemoglobin biasanya tidak terlalu berat.
Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari 1500 sel/ mm')
dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan trombositopenia.Beberapa

anak

menunjukkan

adanya

purpura

trombositopenia,

biasanya

berkaitan

dengan

splenomegali.Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan peningkatan megakariosit.Pasien


dengan purpura trombositopenia dan anemia hemolitik (sindrom Evans) dapat berkembang
menjadi LES atau purpura trombositopenia trombositik.
Antikoagulan

lupus

menunjukkan

adanya

pemanj

angan

waktu

aPTT

dan

protrombin.Fenomena ini disebabkan oleh efek antibodi yang mengikat beta, 2-glikoprotein I dan
protrombin, sehingga mempengaruhi interaksi kompleks protrombin aktivator (faktor Xa dan V,
kalsium dan fosfolipid) dan mencegah konversi protrombin menjadi trombin oleh tromboplastin.
Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mempunyai antibodi terhadap
kardiolipin.Antibodi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada LES, namun juga pada
neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun.

A n t i b o d i An t i n u k l e a r
Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar serum anak dengan LES aktif
Tabel 30-4.Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk diagnosis LES atau
memantau perkembangan penyakit.Antibodi antinuklear diketahui dengan pemeriksaan
imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.
Tabel 30-4. Kriteria autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik
Antibodi antinuklear

Autoantibodi lain

Antibodi anti dsDNA

Antibodi anti eritrosit

Antibodi anti DNP

Antibodi anti limfositotoksik

Antibodi anti Ro (SS/A)

Antibodi anti jaringan spesifik

Antibodi anti La (SS/B)

Antibodi antifosfolipid

Antibodi anti Sm

Faktor reumatoid

Antibodi antihiston
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

Antibodi terhadap DNA


Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria patognomonik pada LES, terjadi pada hampir
semua anak dengan LES aktif, dan menunjukkan titer yang tinggi saat nefritis aktif:

Mekanisme kerja antibodi ini melalui pembentukan kompleks imun dengan komplemen dan
mengendap di jaringan. Antibodi ini dapat diukur melalui radioimmunoassay yang
menggunakan dsDNA yang diberi label radioaktif, mikroskop fluoresens yang menggunakan
protozoa Crithidia luciliae, atau melalui ELISA. Untuk kepentingan diagnosis, pemeriksaan
dengan menggunakan protozoa lebih dipilih, sedangkan untuk memantau kadar antibodi
dsDNA selama masa terapi, lebih digunakan radioimmunoassay atau ELISA. Peningkatan
kadar antibodi ini menunjukkan adanya perkembangan penyakit ginjal, terutama bila disertai
dengan penurunan kadar komplemen.
Antibodi terhadap antigen nuklear
Antibodi yang termasuk golongan ini adalah antibodi anti Sm, Ro/SS-A dan La/SSB.Antibodi tersebut berkaitan erat dengan LES.Antibodi anti Ro/SS-A bekerja dengan
mengganggu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga dengan penyakit ginjal.Pasien
dengan antibodi anti Ro dapat menunjukkan hasil yang negatif pada pemeriksaan
ANA.Antibodi anti La/SS-B bekerja dengan mengganggu kerja enzim RNA polimerase III,
dan biasanya juga mempunyai hasil positif pada pemeriksaan antibodi anti Ro. Sedangkan
antibodi anti Sm bekerja pada sintesis RNA dan pemisahan (messenger RNA synthesis and
splicing).
Antibodi antihiston
Antibodi terhadap histon terdapat pada sebagian besar anak dengan LES, meskipun juga
banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat.Antibodi ini bekerja dengan
mempengaruhi sintesis RNA.Adanya antibodi ini disertai dengan hasil negatif pemeriksaan
antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini bekerja
dengan mempengaruhi sintesis RNA .Adanya antibodi ini disertai dengan hasil negative
pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukan adanya LES yang diinduksi oleh obat.
Antibodi antifosfolipid
Antifosfolipid bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan klinis dan laboratorium penderita
LES, misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma, trombositopenia, livedo retikular, dan
hipertensi labil.Antifosfolipid tidak terdapat hanya pada penderita LES tetapi ditemukan pula

pada berbagai neoplasma, infeksi, inflamasi, dan penyakit autoimun.Secara biologis


antifosfolipid dapat membuat reaksi positif palsu pada uji sifilis VDRL.
Kompleks Imun
Pemeriksaan kompleks imun hanya berpengaruh sedikit pada penegakan diagnosis LES,
meskipun kompleks imun merupakan dasar patogenesis LES.Krioglobulinemia pada penyakit
lupus merupakan campuran dari IgM, IgG, dan terkadang IgA poliklonal. Krioglobulin
merupakan petanda adanya kompleks imun dalam serum dan sering disertai antiDNA serta
penurunan kadar komplemen. Adanya krioglobulin sering menyertai gangguan viseral dengan
vaskulitis.
Komplemen
Penentuan kadar komplemen serum penting dalam penegakan diagnosis LES aktif. Selama masa
aktif penyakit lupus maka, fraksi komplemen akan terpakai, terutama bila disertai gangguan
ginjal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan komponen C3,C4 atau komplemen
hemolitik total (CH50). Komponen CH50 menunjukkan integritas kaskade komplemen
total.Konsentrasi C3 lebih sering menurun dibandingkan CH50 atau C4. Penurunan C4 konsisten
dan menjadi indikator yang penting pada nefritis lupus aktif, apabila kadar dasar diketahui dan
anak memang tidak mempunyai defisiensi C4.
Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan Ginjal
Anak-anak dengan lupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitas dalam sedimen urin
yang menandakan adanya keterlibatan ginjal.Proteinuria merupakan temuan abnormal yang
paling sering, namun hematuria dan silinder sel darah merah merupakan temuan khas terhadap
adanya glomerulitis aktif.Pada penyakit ginjal yang berat dapat ditemukan sedimen berupa
silinder lemak (fatty casts) ataupun badan lemak (fat bodies) pada sindrom nefrotik.Proteinuria
masif dengan berat jenis 1010 menandakan lupus nefristis yang kronik.Abnormalitas lainnya
dapat berupa asidosis tubular renal. Adanya kadar anti-dsDNA yang tinggi, kadar komplemen
yang rendah, khususnya C4 dan abnormalitas urinalisis sangat menunjang adanya nefritis lupus
yang aktif. Evaluasi keterlibatan ginjal dalam SLE memerlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium (Tabel 30-5).

Tabel 30-5. Evaluasi lupus nefritis


Urinalisis
Mikroskopik dan kimia, kultur bila terdapat sel darah putih
Pengukuran fungsi glomerular
Kreatinin plasma, nitrogen urea
Kreatinin klirens, ekskresi protein 24 jam
R a d i o n u c l i d e glomerular filtration rate
Evaluasi aktivitas penyakit
Kadar anitbodi anti-dsDNA serum
Serum complement assay
Ultrasonografi renal clan biopsi
Mikroskop cahaya, mikroskop elektron,
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty clan Laxer, 2005)

Analisis Cairan Inflamasi


Cairan sinovial pada LES biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah putih yang
rendah (kurang dari 2000 sel/mm 3). Kandungan protein bervariasi antara transudatif sampai
eksudatif.Kadar komplemen di cairan sinovial juga rendah. Cairan pleura dapat mengandung
protein yang meningkat (lebih dari 3 g/dl), sel darah putih yang meningkat (2500-5000 sel/
MM 3)dengan dominasi sel mononuklear, dan penurunan kadar C3 dan C4.
Anjuran Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan deskripsi klinis dan laboratorium maka dapat dibuat suatu daftar rekapitulasi
untuk pemeriksaan penyakit lupus (Tabel 30-6).
Tabel 30-6. Anjuran pemeriksaan laboratorium untuk SLE
1.

Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)

2.

Antibodi antinuclear (ANA)

3.

Anti-dsDNA

4.

Autoantibodi lain (anti Sm, RF, antifosfolipid, antihiston, dll)

5.

Titer komplemen C3, C4 clan CH50

6.

Titer IgM, IgG, IgA

7.

Krioglobulin

8.

Masa pembekuan

9.

Serologi sifilis (VDRL)

10.

Uji Coombs

11.

Elektroforesis protein

12.

Kreatinin dan ureum darah

13.

Protein urin (total protein dalam 24 jam)

14.

Biakan kuman, terutama dalam urin

15.

Foto Rontgen dada

(Dikutip dari protokol LES subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI)

DIAGNOSIS
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak
dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR) (Tabe1307).
Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut.
Tabel 30-7. Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology)
No
1

Kriteria

Bercak malar (butterfly rash)

Definisi
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

Bercak diskoid

Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic


scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi
parut atrofi

Fotosensitif

Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari,


pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

Artritis

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,


ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

Serositif

a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction
rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar Pericardial

friction rub atau terdapat efusi perikardial pada


pemeriksaan fisik
7

Gangguan ginjal

a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika


pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

Gangguan saraf

Kejang
Tidak

disebabkan

oleh

obat

atau

kelainan

metabolik

(uremia,ketoasidesis atau ketidakseimbangan elektrolit)


atau
Psikosis
Tidak

disebabkan

oleh

obat

atau

kelainan

metabolik

(uremia,ketoasidesis atau ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan Darah

Terdapat salah satu kelainan darah


Anemia hemolit

dengan retikulositosis

Leukopenia

< 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

Limfopenia

< 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia

< 100.000/mm3 tanpa adanya

intervensi obat
10

Gangguan imunologi

kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang


abnormal antikoagulan lupus (+) denganmenggunakan tes
standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau
antibodi trenonema

11

Antibodi antinuklear

Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

P E N G O B ATAN

Penatalaksanaan Umum
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif
tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan
program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang
berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus
meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Ahli ginjal perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi
ginjal.Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan.Perpindahan
terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
Perlu pula diperhatikan mengenai diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai.
Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan "junk food" atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari
kenaikan berat badan berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu
diberikan pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada
anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan hanya
diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial, 2)
sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit > 10.000) harus
dianggap sebagai gejala infeksi, 3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus
dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4)
setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Berikut merupakan pendekatan tatalaksana yang dapat dilakukan pada lupus
eritematosus sistemik (Tabe130-8 dan Gambar 30-1)
Tabel 30-8. Pendekatan tatalaksana LES
Umum
Konseling, edukasi, pendekatan tim
Istirahat cukup, nutrisi yang tepat
Penggunaan tabir surya
Imunisasi, khusunya vaksin antipneumokokus

Tatalaksana tepat untuk infeksi


Antiinflamasi nonsteroid
Untuk tanda dan gejala muskuloskeletal
Antikoagulan
Jika terdapat antibodi antikardiolipin dalam kadar yang bermakna, maka diberikan :

Aspirin dosis rendah, jika trombosis belum terjadi

Heparin, diikuti warfarin jika sudah terjadi trombosis


Hidroksiklorokuin
Untuk penyakit kulit dan tambahan bagi glukokortikoid untuk penyakit sistemik
Glukokortikoid
Prednison oral 1-2 mg/kg/hari
Inisial metilprednisolon IV, dengan interval tiap bulan untuk terapi pemeliharaan pada penyakit berat
Imunosupresif
Azatioprin 1-2 mg/kg/hari (per oral)
Siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari (per oral), atau 500-1000/mg/mz/bulan (IV) pada penyakit berat
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty clan Laxer, 2005)

Aspek Farmakologi Terapi


Terapi spesifik LES bersifat individual clan berdasar pada tingkat keparahan penyakit.
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)
Peran utama OAINS dalam LES adalah mengatasi keluhan muskoskeletal, seperti mialgia,
artralgia atau artritis. Salisilat cenderung menimbulkan peningkatan kadar transaminase serum
maka fungsi hati harus dipantau secara teratur. Salisilat merupakan indikasi kontra untuk
trombositopenia dan gangguan hemostasis.
Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin sering digunakan sebagai terapi tambahan bersama dengan glukokortikoid
atau untuk pengobatan lupus diskoid.Pada suatu studi obat ini dapat mengurangi frekuensi clan
keparahan episode LES (flares) dibandingkan plasebo.Hidroksiklorokuin juga dapat membuat
perubahan lipid plasma yang diinduksi oleh glukokortikoid.Dengan adanya efek samping
berupa toksisitas retina, maka pada penggunaan obat ini kesehatan mata harus dipantau.

Gambar 30-1.Skema tatalaksana LES.


(Dikutip dengan modifikasi dari Gottlieb dan Ilowite, 2006)

Glukokortikoid
Glukokortikoid merupakan terapi farmakologi utama clan sebagian besar anak memerlukan
prednison oral atau prednisolon atau metilprednisolon intravena pada fase tertentu di
LES.Penggunaan obat ini meliputi terapi inisial, tapering offdan pemeliharaan (Tabe1309).Dosis dan frekuensi terapi inisial bergantung pada keparahan penyakit clan sistem organ
yang terkena.Pemakaian jangka lama harus diimbangi dengan pemantauan komplikasi yang
dapat timbul akibat terapi.Dosis rendah cukup untuk mengatasi demam, dermatitis, artritis clan
serositis, sedangkan dosis tinggi dapat mengatasi anemia hemolitik akut, gangguan SSP
penyakit paru clan lupus nefritis.
Setelah mengatasi manifestasi akut, dosis glukokortikoid harus diturunkan secara
perlahan disertai pemantauan klinis dan laboratorium. Penilaian adekuasi terapi berdasar pada

respon klinis, pemeriksaan sel darah putih, trombosit, hemoglobin, komplemen serum, kadar
antibodi anti-dsDNA dan urinalisis. Penggunaan terapi tambahan seperti obat sitotoksik
berdasarkan pada respon terhadap obat steroid, ketergantungan steroid clan toksisitas steroid.
Preparat kortikosteroid dipilih berdasarkan potensi clan waktu paruh yang disesuaikan
dengan kondisi penderita.Pada prinsipnya dipilih jenis obat yang mempunyai efek
antiinflamasi kuat clan waktu paruh sependek mungkin, dengan efek samping (retensi cairan
dan elektrolit, hipertensi) sesedikit mungkin, dalam dosis minimum, dan mudah dipergunakan.
Obat yang paling memenuhi kriteria di atas adalah prednisolon, dengan altenatif
prednison atau metilprednisolon tergantung dari efek apa yang diinginkan untuk penderita.
Obat dengan waktu paruh pendek lebih efektif bila diberikan dalam dosis terbagi, clan bila
waktu paruhnya panjang lebih baik diberikan dalam dosis tunggal.
Tabel 30-9. Terapi glukokortikoid pada anak dengan LES
Terapi inisial (4-6 minggu pertama)
Prednison oral

15-60 mg/hari (0,5-2 mg/kg/hari), minimal dalam 2


dosis terbagi (tergantung pada keparahan dan tipe organ yang terlibat)

Metilprednisolon IV

Indikasi untuk penyakit berat (nefritis lupus aktif, krisis hematologi,


penyakit SSP) 30 mg/kg/ kali (maksimal 1 gram/ hari) selama 60 menit,
3 hari berturut-turut, dilanjutkan pemberian prednison oral setiap hari.

Dosis tapering prednison


Apabila dosis 20-60 mg/hari

Diturunkan 2,5-5 mg/minggu

Apabila dosis 10-20 mg/hari

Diturunkan 1-2,5 mg setiap 2-4 minggu

Apabila dosis < 10 mg/hari

Diturunkan 0,5-1 mg setiap 2-4 minggu

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

Agen imunosupresif
Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol LES clan memperbaiki kualitas
hidup.Pada suatu studi, penggunaan imunosupresif bersama dengan prednison memberikan
hasil yang lebih baik.Azatioprin merupakan agen lini kedua yang sering digunakan. Peran
azatioprin kemungkinan dalam penatalaksanaan penyakit yang resisten atau tergantung dengan
steroid dengan atau tanpa nefritis kelas III atau IV

Siklofosfamid sering digunakan pada LES yang berat, khususnya lupus nefritis,
penyakit berat clan gangguan SSP Kombinasi dengan prednison oral juga efektif dalam
mencegah penyakit berkembang dan menjaga fungsi ginjal. Pemberian siklofosfamid secara
intravena dengan dosis awal 500-1000 mg/m2 tiap bulan diberikan selama 6 bulan.Lehman dan
Onel (2000) memberikan siklofosfamid intermiten dan meneruskan kortikosteroid dengan
tappering pada anak-anak penderita lupus.Cara pemberian ini ditujukan untuk mengurangi
toksisitas kortikosteroid.Siklofosfamid diberikan dengan intravena bolus setiap bulan selama 6
bulan kemudian dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan.Siklofosfamid didahului
hidrasi intravena 2L/m'/24 jam, selama 12 jam sebelum infus siklofosfamid.Dosis terendah
diberikan untuk anak-anak dengan leukopenia, trombositopenia atau kreatinin > 2 g/dL.Dosis
ditingkatkan 250 mg/m' setiap bulan, sesuai toleransi.
Penggunaan metroteksat pada anak dengan LES masih terbatas, obat ini dianggap
bermanfaat dalam mengatasi artritis yang resisten, lupus yang disertai fenomena Raynaud
dan kelainan kulit yang timbul. Sedangkan siklosporin mempunyai efek yang sama dengan
kombinasi prednison dengan siklofosfamid dalam mengurangi proteinuria, namun obat ini
bersifat nefrotoksik sehingga evaluasi terapi menjadi sulit.
Modulasi biologi
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan secara terbatas pada LES dewasa yang
refrakter, namun penggunaannya pada anak belum pernah dilaporkan. Penggunaan IVIG
dapat menurunkan kadar antibodi anti-dsDNA. Plasmaferesis merupakan pilihan lain dalam
mengatasi pasien dengan kadar kompleks imun yang beredar di sirkulasi dalam jumlah
banyak clan tidak efektif terhadap kortikosteroid atau siklofosfamid. Penggunaan antibodi
monoklonal sebagai terapi LES juga masih dikembangkan.

EVOLUSI DAN PROGNOSIS


Evolusi
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh fase
remisi, dengan masa clan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan

sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan
terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan
predominan pada sendi clan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan
bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet,
infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus
aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan. Penilaian aktivitas penyakit dinilai berdasarkan sistem skor (Tabel 30-10 dan 3011).
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral.Sebaliknya, bentuk
yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
Skor SLEDAI kemudian dihitung setiap pemantauan waktu tertentu atau, umumnya
diambil 3 clan 6 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas penyakit. Dengan melihat skor
SLEDAI dan digabung dengan kondisi klinis lain, pengobatan selanjunya disesuaikan dengan
kondisi terakhir.
Makanan tinggi asam urat
Dapat ditemukan :
1. Alcohol
2. Daging sapi, babi, unggas, ham dan daging olahan
3. Ragi : roti yang mengandung ragi, bir, alcohol
4. Seafood : sarden, tuna, teri, salmon, udang, dan lobster
5. Kafein : kafein pada kopi, teh, kacang-kacangan, dan tanaman daun yang banyak
mengandung asam urat
Schober test (lumbar range of motion)
Prosedur :
1. Berikan tanda pada spine pasien pada L5
2. Tempatkan jarak di bawah tanda tersebut dan tandai sejarak 5 cm dan 10 cm di atas tanda
tersebut
3. Lakukan forward bend test dan ukur jumlah jarak perubahan pergerakan pada spine
pasien tersebut
Indikasi : ankylosing spondilitis
Interpretasi :
Normal
: jarak antara 2 garis meningkat > 20cm
Abnormal
: jaraknya tidak meningkat <20cm
Synovial fluid analysis

Pemeriksaan yang dapat melihat local respon inflamasi, infeksi dan adanya Kristal
Synovial fluid effuse di klasifikasi menjadi 4 general etiologi kategori yaitu respon non
inflamasi, inflamasi, infectious, hemorrhagic

Effusion

Diseases

Noninflammatory osteoarthritis, trauma, osteochondritis, pigmented villonodular


synovitis, sickle cell disease, neuropathic

Inflammation

rheumatoid arthritis, SLE, Reiters syndrome, ankylosing


spondylitis, ulcerative colitis, psoriasis

Infection

bacteria, fungi, mycobacteria

Crystal

gout, pseudogout

Hemorrhage

trauma, hemophilia, hemangioma, pigmented villonodular


synovitis, anticoagulant therapy, tumors

Tes synovial fluid dapat diliat dengan cara :

Visual examination

Cell Count

Gram stain & culture

Polarizing microscopic crystal exam

Normal synovial fluid is a clear, yellowish fluid and transparent enough to read newsprint
through. The following table summarizes the typical laboratory findings for each category of
joint disease.
Test

Normal

Non-inflam

Inflam

Sepsis

Crystal

Hemo

Clarity

Clear

Slightly
turbid

Turbid

Turbid

Turbid

Bloody

Color

Yellow

Yellow

Yellow

Gray -green Yellowmilky

Red-Brown

Viscosity

High

Reduced

Low

Low

Low

Reduced

Mucin clot

Firm

Firm to friable Friable

Friable

Friable

Friable

Clotted

no

occasional

occasional

often

occasional yes

WBC/uL

0 - 200

0 - 2000

2000 100,000

50,000 200,000

500 200,000

50 - 10,000

%Polys

<25

<30

>50

>90

<90

<50

Glucose
difference

0 - 10

0 -10

0-40

20-100

0-80

0-20

Crystals

Absent

Absent

Absent

Absent

Present

Absent

Culture

Sterile

Sterile

Sterile

Positive

Sterile

Sterile

Site of aspiration

Ankle :

The needle is inserted anterior and


lateral to medial malleolus and medial
to tendon of tibialis anticus
This joint is approached 1 cm above
and lateral to the tip of the medial
malleolus. The needle is aimed at the
joint just medial to the tendon of the
tibialis anticus

Shoulder
Needle is inserted below coracoids
process, just medial to the head of the
humerus and angled 10 degrees toward
midline
Shoulder effusion always causes a
bulge anteriorly. The point of the
needle is just medial to head of
humerus and below the tip of the
coracoids process

Knee
the knee is flexed 90 degrees. The
needle is inserted in the triangular area
between the patella tendon, medial
condyle and medial tibial plateau
the anterior medial approach to this
joint, aiming the needle between the
posterior aspect of the patella and the
anterior surface of the medial femoral
condyle, is the one most frequently
advocated

Prognosis
Akhir-akhir ini prognosis berbagai bentuk penyakit lupus telah membaik dengan angka
survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.Penyebab kematian dapat langsung akibat
penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal', hipertensi maligna, kerusakan SSP perikarditis,
sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena
perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif
seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya
pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral
iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat

imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian
ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya
sendiri.Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap
semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Jadi secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, clan
satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.

RHEUMATOLOGIC EXAMINATION
Tujuan dari pemeriksaan reumatologi ini adalah untuk mengetahui atau menemukan sumber
anatomi dari penyakit yang diderita pasien, apakah artikular atau ekstraartikular.
Prinsipnya sama seperti pemeriksaan tulang, yaitu look feel move.
1. Look, caranya adalah dengan melihat :
a. gait, atau cara jalan pasien, biasanya pada pasien yang mengalami sakit di daerah sendi
memiliki postur antalgic gait, yaitu pada kaki yang sakit tidak dapat memijak tanah dengan
lama dan biasanya terdapat gerakan sirkumduksi hips, penyakit yang sesuai antara lain :
penyakit pada sendi, dapat karena fraktur atau arthritis.
b. swelling at joint
c. redness at joint
d. skin changes, terutama pada wajah (malar face, tanda systemic lupus erythematous) atau
ujung-ujung jari (raynaud phenomenon)
e. wasting regional muscle
f. deformity / contractur
2. Feel, yaitu dengan mempalpasi margin atau batas tepi sendi untuk mengukur synovial
thickening dan fluctuative swelling.

3. Move, yaitu dengan menggerakan sendi dengan cara :


a. active movement, yaitu pasien diminta untuk menggerakan tubuhnya sendiri, apabila
terdapat nyeri menendakan kelainan ada pada struktur kontraktilnya, dalam hal ini otot.
b. passive movement, yaitu pasien diminta rileks dan pemeriksa yang menggerakkan tubuh
pasien, tujuannya adalah untuk mengetahui letak nyerinya, apa bila digerakkan ternyata
masih nyeri, kemungkinan kelainan ada pada strukstur selain struktur kontraktilnya, bisa
dari kapsul sendinya sendiri.
c. resisted movement, yaitu pasien diminta menggerakkan tubuhnya setelah diberi tahanan
oleh pemeriksa, tujuannya adalah untuk mengetahui apakah tahanan tendon dan bursanya
masih baik atau tidak.
Pada pemeriksaan yang ketiga ini, gerakan yang dilakukan adalah gerakan primer, yaitu :
Wrist
Elbow
Shoulder
Neck
Thoracic
Lumbar
Hips
Knee
Ankle

Fleksi & ekstensi


Fleksi & ekstensi
Abduksi dan rotasi eksternal
Semua gerakan kecuali Fleksi
Ekstensi
Fleksi & lateral Fleksi
Fleksi dan rotasi internal
Fleksi
Plantar fleksi

ANTI NUCLEAR ANTIBODY (ANA)


Merupakan antibodi yang tidak biasa yang dapat menyerang sel sel berinti, biasa disebut juga
autoantibodi atau nama penyakitnya adalah autoimun. Pemeriksaannya disebut tes FANA
(fluoroscent anti nuclear antibody), yakni karena serum pasien yang memiliki antibodi akan
berikatan dengan pewarnaan fluorosense, setelah itu serum tersebut akan dimasukkan ke dalam
slide yang telah berisi sel sel berinti, yang kemudian dilihat di bawah mikroskop apakah
terdapat reaksi terhadap sel sel berinti tersebut. Hasilnya :

positif jika terdapat sel fluorescent, yang menunjukkan antibodi di serum menyerang sel

sel berinti.
negatif jika tidak terdapat sel fluorescent.

Kemudian jika hasil pemeriksaan positif, makaperlu dilakukan dilusi atau titer, dimana biasanya
pada populasi normal juga kadang terdapat hasil positif (5%), namun tidak mencapai dilusi 1:80.
Pada hasil positif juga akan tampak beberapa pola, yaitu :
1. Homogenous / diffuse / solid

antibodi menyerang langsung nukleoprotein


gambaran nukleus = diffuse uniform staining
merupakkan gambaran umum pada penyakit autoimun

2. Peripheral / shaggy

fluoresens pada pinggiran nukleus


menunjukkan anti DNA antibodi
merupakan gambaran umum terbanyak kedua setelah homogenous pada penyakit
autoimun

3. Speckled

antibodi menyerang non-DNA constitute


biasanya pada penyakit non-autoimun

4. Nucleolar

antibodi menyerang RNA spesifik di nukleolus (ribonukleoprotein)

5. Centromere

anticentromere antibodi

Pemeriksaan FANA merupakan pemeriksaan yang memiliki sensitivitas cukup tinggi terhadap
penyakit autoimun, namun didapatkan juga beberapa positif palsu, antara lain pada :
a. infeksi bakteri dan virus
b. penyakit hormon (Graves disease, Hashimotos disease, Addisons disease)
c. penyakit darah (ITP)
d. kanker
e. drug induced ANA (dilantin, hydralazine, procainamide)
Selain itu juga banyak pemeriksaan subset ANA, antara lain :
a. anti-dsDNA
b. anti-Sm
c. Sjorgens syndrom antigen (SSA, SSB)

d. anti-centromere
e. anti-histone
f. anti-RNP

Omeprazole
Merupakan obat untul ulkus peptikus yang tergolong dalam penghambatan pompa proton
menghambat sekresi asam lambung.
Farmakodinamik
Obat masuk di absorpsi masuk ke sirkulasi berfusi ke sel parietal lambung
berkumpul du kanalikuli sekretoar mengalami aktivasi menjadi bentuk sulfonamide
tetrasiklik berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H+, K+, ATPase (enzim-enzim
untuk pompa proton) ikatan menyebabkan terjadinya penghambatan.
- Penghambatan berlangsung selama 24-48 jam, secara irreversible
- Dapat mencegah sekresi asam lambung : 80%-95%
- Lebih efektif dari pada AH2
- Produksi /sekresi lagi setelah 3-4 hari oengobatan di hentikan
Farmakokinetik
Efek obat biasanya menurun 50% akibat pengaruh dari makanan.Oleh karena itu
biasanya di beri 30 menit sebelum makan.
Indikasi
Biasanya untuk penyakit peptic
Efek samping
Mual, nyeri perut, konstipasi, diare, sakit kepala, artralgia, dan ruam kulit.Obat ini
merupan obat jangka pendek, tidak boleh jangka panjang.Karena nantinya dapat
menyebabkan kangker peptic.
Interaksi obat
Dapat mempengaruhi eliminasi beberapoa obat yang memiliki jalur metabolism yang
sama ( warfarin, diazepam, siklosporin)

Dosis dan sediaan


Diberikan secara kapsul 10 mg 20 mg 1 kali/hari selama 8 minggu.

Methylprednisolon
Golongan
Synthetic glucocorticoid ( adrenal corticosteroid )
Mechanism of action
Anti inflammatory :
a. Menekan konsentrasi, distribusi, dan fungsi peripheral leukosit dengan menghambat interaksi
b.
c.
d.
e.

white cell adhesion dengan endhotelial cell pada saat proses ekstravasasi leukosit.
Menekan neutrophil untuk melakukan migrasi
Menghambat fungsi makrofag dan Antigen presenting cells
Menimbulkan efek vasokontriksi dengan menekan degranulasi sel mast
Menekan pelepasan dan aktivitas mediator-mediator endogenous inflamasi ( seperti
prostaglandin, kinin, hisymain, liposomal enzym, system complement )

Farmakokinetik
Half life : short-intermediate acting ( 12-36 jam )
Absorpsi : oral diabsorpsi cukup baik, melalui IV absorpsinya manjdi lebih baik lagi.
Metabolism : hati
Ekskresi : urine
Indikasi
-

Primary dan secondary adrenal cortex insufficiency

Adjunctive therapy pada rheumatic disorder

Dermatology diseases

Rheumatoid arthritis

Acute gout arthritis

Osteoarthritis

Discoid lupus erythematous

Critical exacerbation of GI diseases

Granuloma annular

Lichen simplex chronicus

Kontraindikasi
-

Systemic fungal infection

Topical monotherapy in primary bacterial infection

Untuk topical jangan digunakan pada muka, groin dan axilla

Adevrse effect
-

Thromboembolisme

Vertigo

Headache

Impaired wound healing

Posterior subcapsular cataract

Glaucoma

Cushingoid states

Hypersensitivitas reaction

Prolonged therapy dapat menyebabkan HPA suppression

Large doses menyebabkan peptice ulcer

Immunosuppresiv

Sediaan
Oral ( 2, 4, 8, 16, 24, 32 mg )
Injection
Precaution
-

topical methylprednisolone merupakan obat Golongan C untuk ibu hamil

methylprednisolone dapat diekskresikan di ASI

Makanan tinggi asam urat


Dapat ditemukan :
6. Alcohol
7. Daging sapi, babi, unggas, ham dan daging olahan
8. Ragi : roti yang mengandung ragi, bir, alcohol
9. Seafood : sarden, tuna, teri, salmon, udang, dan lobster
10. Kafein : kafein pada kopi, teh, kacang-kacangan, dan tanaman daun yang banyak
mengandung asam urat
Schober test (lumbar range of motion)
Prosedur :
4. Berikan tanda pada spine pasien pada L5
5. Tempatkan jarak di bawah tanda tersebut dan tandai sejarak 5 cm dan 10 cm di atas tanda
tersebut
6. Lakukan forward bend test dan ukur jumlah jarak perubahan pergerakan pada spine
pasien tersebut
Indikasi : ankylosing spondilitis
Interpretasi :
Normal
: jarak antara 2 garis meningkat > 20cm
Abnormal
: jaraknya tidak meningkat <20cm
Synovial fluid analysis
Pemeriksaan yang dapat melihat local respon inflamasi, infeksi dan adanya Kristal
Synovial fluid effuse di klasifikasi menjadi 4 general etiologi kategori yaitu respon non
inflamasi, inflamasi, infectious, hemorrhagic
Effusion

Diseases

Noninflammatory osteoarthritis, trauma, osteochondritis, pigmented villonodular

synovitis, sickle cell disease, neuropathic

Inflammation

rheumatoid arthritis, SLE, Reiters syndrome, ankylosing


spondylitis, ulcerative colitis, psoriasis

Infection

bacteria, fungi, mycobacteria

Crystal

gout, pseudogout

Hemorrhage

trauma, hemophilia, hemangioma, pigmented villonodular


synovitis, anticoagulant therapy, tumors

Tes synovial fluid dapat diliat dengan cara :

Visual examination

Cell Count

Gram stain & culture

Polarizing microscopic crystal exam

Normal synovial fluid is a clear, yellowish fluid and transparent enough to read newsprint
through. The following table summarizes the typical laboratory findings for each category of
joint disease.
Test

Normal

Non-inflam

Inflam

Sepsis

Crystal

Hemo

Clarity

Clear

Slightly

Turbid

Turbid

Turbid

Bloody

turbid

Color

Yellow

Yellow

Yellow

Gray green Yellowmilky

Red-Brown

Viscosity

High

Reduced

Low

Low

Low

Reduced

Mucin clot

Firm

Firm to friable Friable

Friable

Friable

Friable

Clotted

no

occasional

occasional

Often

occasional yes

WBC/uL

0 - 200

0 - 2000

2000 100,000

50,000 200,000

500 200,000

50 - 10,000

%Polys

<25

<30

>50

>90

<90

<50

Glucose
difference

0 - 10

0 -10

0-40

20-100

0-80

0-20

Crystals

Absent

Absent

Absent

Absent

Present

Absent

Culture

Sterile

Sterile

Sterile

Positive

Sterile

Sterile

Site of aspiration

Ankle :

The needle is inserted anterior and


lateral to medial malleolus and medial
to tendon of tibialis anticus
This joint is approached 1 cm above
and lateral to the tip of the medial
malleolus. The needle is aimed at the
joint just medial to the tendon of the
tibialis anticus

Shoulder
Needle is inserted below coracoids
process, just medial to the head of the
humerus and angled 10 degrees toward
midline
Shoulder effusion always causes a
bulge anteriorly. The point of the
needle is just medial to head of
humerus and below the tip of the
coracoids process

Knee
the knee is flexed 90 degrees. The
needle is inserted in the triangular area
between the patella tendon, medial
condyle and medial tibial plateau
the anterior medial approach to this
joint, aiming the needle between the
posterior aspect of the patella and the
anterior surface of the medial femoral
condyle, is the one most frequently
advocated

Anda mungkin juga menyukai