Anda di halaman 1dari 14

A.

Pembedahan pada Pasien Diabetes Melitus


Diabetes mellitus merupakan kelainan yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi
dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang
dikonsumsi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut American Diabetes
Association (ADA) 2010, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Melitus tipe 2
atau dikenal juga dengan sebutan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) adalah kondisi hiperglikemia kronis yang disebabkan karena kegagalan
relatif sel pankreas dan resistensi insulin (Perkeni, 2011).
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus
Diagnosis (based on blood glucose level)
Fasting

126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Glucose tolerance test

200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Classification
Type I

Absolute insulin deficiency secondary to immune-mediated or


idiopathic

Type II

Adult onset secondary to resistance/relative deficiency

Type III

Specific types of diabetes mellitus secondary to genetic defects

Type IV

Gestational

Pada orang dewasa normal, produksi insulin sekitar 50 unit per hari dari
sel beta lengerhans pancreas. Jumlah sekresi insulin terutama tergantung kadar
glukosa didalam plasma. Insulin, merupakan hormon anabolik paling penting
yang mempunyai efek metabolik yang banyak, meliputi peningkatan glukosa dan
potassium memasuki adiposa dan sel otot; meningkatan glikogen, protein, dan
sintesis asam lemak dan penurunan glikogenolisis, glukoneogenesis, ketogenesis,
lipolisis dan katabolisme protein (McAnulty, 2000).
Dalam proses operasi, kondisi hiperglikemi merupakan faktor risiko
penyebab terjadinya sepsis pasca-operatif, disfungsi endotel, iskemik cerebral, dan

penyembuhan luka yang lama. Selain itu, respon stres juga dapat mengakibatkan
ketosidosis diabetik atau sindrom hiperglikemik hiperosmolar selama operasi
berlangsung maupun setelah operasi. Monitoring kadar gula sebelum operasi
merupakan tindakan untuk mencegah terjadinya potensi neuroglikemik. Kadar
gula darah yang tidak terkontrol banyak menyebabkan komplikasi dalam sistem
syaraf termasuk somnolen, tidak sadar, kejang, dan kematian. Beberapa studi
menyebutkan bahwa terjadinya hipoglikemi meningkatkan morbiditas dan
motalitas serta perawatan post-operatif yang lama di ICU (Sudhakaran, 2015).
Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat
meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh (McAnulty, 2000):
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar
Trauma yang berkaitan dengan proses operasi meningkatkan produksi
hormon stres. Secara spesifik, peningkatan kadar kortisol dan katekolamin
mengurangi sensitifitas insulin, sementara itu, semakin tingginya aktifitas simpatis
semakin mengurangi sekresi insulin yang secara simultan meningkatkan growth
hormone dan sekresi glukagon. Perubahan dalam pola metabolik normal selama
proses operatif mendorong terjadinya glukoneogenesis, glikogenolisis, proteolisis,
lipoolisis, dan ketogenesisyang semakin membuat kondisi hiperglikemi dan
ketosis (Sudhakaran, 2015).
Terdapat sejumlah obat anastesi, yang memiliki efek pada kontrol kadar
glukosa. Kebanyakan agen induksi intravena ( IV ) memiliki efek yang relatif
aman pada kadar glukosa darah, kecuali etomidate. Etomidate diketahui dapat
sedikit

menyebabkan

hipotensi

selama

induksi

dan

umumnya

sedikit

mengakibatkan efek-hangover pada masa pemulihan. Beberapa penelitian

menyebutkan

mekanisme

etomidate

menunjukkan

penekanan

fungsi

adrenokortikal dimediasi dengan cara menghalangi aktivitas 11-beta-Hidroksilase,


dan akhirnya menyebabkan penurunan steroidogenesis. Selain etomidate,
penggunan benzodiazepin dosis tinggi selama operasi dapat menurunkan sekresi
ACTH. Benzodiazepin juga merangsang pelepasan hormon pertumbuhan dan
mengurangi stimulasi simpatis. Studi in vitro mengungkapkan bahwa agen
anestesi volatil seperti halotan dan isoflurane menghambat produksi insulin
normal pada dasarnya dapat menimbulkan respon hiperglikemik (Sudhakaran,
2015).
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk
transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati.
Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena
kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon; pertumbuhan, peningkatan
kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak
sama pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan
isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah (McAnulty, 2000;
Mattes, 1998).

Sumber : Sudhakaran, 2015

Secara umum, respon terhadap agen penghambat neuromuscular normal


pada pasien diabetes, namun pada pasien dengan neuropati abnormalitas mungkin
terjadi. Secara keseluruhan, pemilihan agen neuromuscular blocking didasarkan
pada fungsi ginjal, sementara pilihan anestesi akan dievaluasi sesuai tingkatan
berbagai penyakit sistemik seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit arteri
koroner. Manajemen kadar glukosa perioperatif memiliki beberapa tujuan , yaitu
(Sudhakaran, 2015):
a. Pengurangan morbiditas dan mortaitas pasien secara keseluruhan
b. Menghindari hiperglikemia berat atau hipoglikemia
c. Pemeliharaan elektrolit fisiologis dan keseimbangan cairan
d. Pencegahan ketoasidosis
e. Pembentukan target kadar glukosa, kurang dari 180mg / dL pada pasien
kritis dan kurang dari 140mg / dL pada pasien stabil.
B. Pertimbangan Anestesi
1. Preoperative
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan
evaluasi pre-operatif pasien geriatri (Kumra, 2008):
1. Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit
yang berhubungan dengan penuaan. Penyakit yang biasa terjadi pada
pasien dengan usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis.
Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan
pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar
5,5% dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien
usia lanjut yang akan menjalani pembedahan non cardiac.
2. Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang
spesifik

dan

pasien

secara

keseluruhan

sebelum

pembedahan.

Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik,


dan

determinasi kapasitas fungsional

mengevaluasi

fisiologis

harus

dilakukan

untuk

pasien. Pemeriksaan laboratorium harus

disesuaikan dengan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur

pembedahan yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas


usia pasien saja.
Inform consent pada pasien, anggota keluarga atau wali pasien sangat
penting menyangkut intervensi bedah dan kemungkinan komplikasi yang
dapat timbul. Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus
dicatat karena pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi
obat-obatan. Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan
membantu menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka
yang sehat dan termasuk diantaranya: (Kumra, 2008)

Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit


Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi
tentang fungsi ginjal karena akan mengalami perubahan secara
bertahap

dengan

pertambahan

usia.

Bersihan

kreatinin

merupakan indeks penting.


Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya

insiden diabetes mellitus dan ateroskleorsis.


Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah
Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada
semua pasien yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada

riwayat penyakit jantung atau tidak.


Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit

paru obstruktif kronis.


Pemeriksaan jantung.

Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak


yang signifikan terhadap tindakan anestesi sehingga penting untuk
menentukan status fisik pasien. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum
operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan operasi
yang lama dapat meningkatkan morbiditas. Diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami oleh pasien
geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas
pascabedah pada pasien usia lanjut. Masalah yang yang harus selalu
dipikirkan pada pasien geriatri adalah kemungkinan terjadinya depresi,

malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga penting untuk menentukan


status kognitif seorang pasien usia lanjut (Kanonidou, 2007).
Pada penderita diabetes, kadar Hemoglobin A1c dapat membantu
mengidentifikasi pasien yang mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia
perioperative dan meningkatan terjadinya komplikasi serta hasil yang buruk.
Morbiditas perioperative pada pasien diabetes melitus dihubungkan dengan
preoperative kerusakan organ lain. Paru, sistem kardiovaskular, dan sistem
renal memerlukan penilaian yang ketat. Pada rontgen thorax pada penderita
diabetes melitus dapat ditemukan adanya pembesaran jantung, kongesti
pembuluh darah paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien diabetes
melitus juga terjadi peningkatan insiden abnormalitas dari segment ST dan
gelombang T (McAnulty, 2000).
Pada pasien yang menggunakan insulin, kadar glukosa harus dipastikan
bahwa kadar glukosa dalam batas normal. Pasien harus memantau kadar
glukosa darah termasuk sebelum dan sesudah makan serta sebelum tidur.
Pemantauan glukosa dengan menggunakan finger stick harus diperiksa setiap
4-6 jam. Insulin tambahan digunakan untuk mengoreksi hiperglikemia dalam
batas normal. Penggunaan insulin short -acting (humulin, novolin) memiliki
durasi yang lebih pendek, diberikan secara subkutan setiap 4-6 jam; namun
dapat diberikan lebih dari setiap 6 jam untuk memperbaiki hiperglikemia.
Long-acting insulin (glargine, ultralente) dihentikan dua-tiga hari sebelum
operasi; kadar glukosa distabilkan oleh insulin kombinasi insulin menengah
dengan short-acting insulin dua kali sehari sebelum makan dan intermediateacting insulin di waktu tidur (Sudhakaran 2015).
Pasien preoperatif yang sedang mengonsumsi obat hipoglikemik oral
sebagai pengganti insulin, dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi,
kecuali sulfonylurea dan metformin harus dihentikan 24 48 jam sebelum
operasi. Hal ini dikarenakan sulfonylureas dan metformin memiliki waktu
paruh yang panjang dan dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien dengan
kondisi puasa sebelum operasi. Pada postoperatif, konsumi obat hipoglikemik
oral dapat dilanjutkan kembali saat pasien sudah dapat minum per oral.

Banyak pasien memerlukan insulin selama masa intraoperatif dan postoperatif.


Hal ini disebabkan oleh karena stress menghadapi pembedahan yang
menyebabkan terjadinya peningkatan dalam counterregulatory hormon
(seperti, catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan mediator
inflasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini
menjadi stress hiperglikemi dan disertai dengan peningkatan kebutuhan insulin
(Sudhakaran 2015).
Biguanides (metformin) mensensitisasi jaringan khusus untuk insulin,
mediasi penyerapan glukosa dalam otot dan lemak sementara mencegah
pembentukan glukosa hepatik. Penggunaan metformin dihentikan sebelum
operasi di Amerika dan Eropa karena terjadinya gangguan fungsi ginjal
mungkin timbul intraoperatif, meningkatkan risiko laktat asidosis. inhibitor
alpha glucosidase (acarbose, miglitol) melemahkan efek oligosaccharida dan
disaccharida di brush border usus, efektif menurunkan penyerapan glukosa
setelah makan. Namun, pada kondisi puasa saat pre-operatif, obat tersebut
tidak memberikan efek apapun obat ini dan tetap harus dihentikan sampai
pasien sudah dibolehkan makan kembali. Mekanisme thiazolidinediones
(pioglitazone, rosiglitazone) mirip dengan metformin. Namun demikian, obat
ini umumnya tetap dihentikan karena dapat menyebabkan retensi cairan
pascaoperasi. Kunci manajemen pada pasien dengn diabetes melitus adalah
memantau kadar glukosa plasma secara rutin. Pemantauan kadar glukosa
sangat penting dan dekstrosa IV mungkin diperlukan. (Sudhakaran 2015;
Mattes, 1998).
Belum terdapat panduan yang jelas kapan operasi dibatalkan pada saat
terjadi hiperglikemi, akan tetapi operasi tidak dianjurkan pada pasien dengan
mengakibatkan ketosidosis diabetik atau sindrom hiperglikemik hiperosmolar.
Rumah Sakit Yale New Haven merekomendasikan untuk menunda operasi bila
kadar glukosa lebih dari 400mg/dL. Demikian pula di Boston Medical Center,
menganjurkan untuk menunda prosedur bedah yang tidak mendesak jika kadar
glukosa lebih dari 500mg/dL. Waktu yang ada selama penundaan ini
digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan

etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwas ebelum


pembedahan dilakukan (Sudhakaran 2015).
2. Intraoperatif
Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres akibat
pembedahan dan menghindari kejadian yang lebih memperburuk cadangan
fisiologis pasien. Tidak ada teknik universal khusus yang disetujui untuk
pasien usia lanjut tetapi beberapa intervensi dapat meningkatkan outcome
(Kanonidou, 2007).
a. Induksi Anestesi:
Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk
anestesi inhalasi menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh
karena itu dosis obat yang mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk
mengantisipasi efek sinergi obat. Penggunaan bersama propofol,
midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman anestesi. Hipotensi
adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga dosis obat-obatan ini
harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi intubasi trakea
tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut (Kanonidou,
2007).
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI)
harus dilakukan secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes
mellitus

atau penyakit refluks

dan prosedur darurat. Antisipasi

pemanjangan durasi obat neuromuskuler yang bersifat organ based klirens.


Seiring pertambahan usia, obat-obatan intermediate acting bekerja lebih
lama (kecuali atrakurium dan cisatrakurium), dapat menurunkan suhu
tubuh, menyebabkan diabetes dan obesitas dan peningkatan blok
neuromuskuler (Kanonidou, 2007)
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk
menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis
dikurangi untuk menghindari komplikasi seperti gastritis, gagal ginjal akut.
NSAID harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi

ginjal preoperatif (peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien


mengalami hipovolemia (Kanonidou, 2007).
b. Hipotermia
Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena
faktor lingkungan dan tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi
mekanisme termoregulator normal. Pasien usia lanjut lebih beresiko untuk
mengalami hipotermia karena anestesi yang mengubah mekanisme
termoregulator dan tingkat metabolisme basal yang rendah. Hipotermia
intraoperatif dapat menjadi faktor risiko jantung independen untuk
penyakit jantung pasca operasi pada usia lanjut. Oleh karena itu, pada
pasien usia lanjut harus dilakukan upaya untuk mencegah kehilangan
panas. Langkah-langkah untuk mencegah hipotermia adalah: pembersihan
pasca operasi dengan cairan yang hangat, menggunakan sistem
pemanasan, menghangatkan cairan IV, menjaga suhu lingkungan tetap
hangat, menutupi pasien dengan selimut sebelum dan setelah operasi
(Kumra, 2008).

c. Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan
menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Pasien usia
lanjut juga rentan terhadap dehidrasi karena penyakit, penggunaan
diuretik, puasa pra operasi dan penurunan respon haus. Asupan cairan oral
hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi pemeliharaan cairan yang
cukup serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi dapat
menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi
anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada usia lanjut
dengan ganggaun jantung karena mereka lebih rentan untuk terjadinya
kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR (Kumra,
2008).

Pada pasien dengan diabetes, tujuan utama dari manajemen kadar gula
darah

intraoperatif

adalah

menghindari

terjadinya

hipoglikemi.

Hiperglikemi dihubungkan dengan keadaan hiperosmolaritas, infeksi atau


peradangan dan luka yang sulit sembuh. Selain itu, hiperglikemi dapat
memperburuk kondisi neurologis pasien dengan iskemik serebral serta
hasil dari tindakan bedah jantung atau setelah akut miokard infark.
Pengawasan yang ketat amat sangat dibutuhkan dalam kondisi ini. Kontrol
ketat pada pasien hamil dengan diabetes melitus telah memperlihatkan
perbaikan hasil pada bayi yang dilahiran. Meskipun demikian, kebutuhan
otak

akan glukosa sebagai sumber energi tetap harus diperhatikan

sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari (Sudhakaran, 2015).


Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien
diabetes melitus. Penggunaan jarum infus yang kecil untuk pemberian
cairan dextrose bertujuan untuk mencegah pengaruh cairan intraoperatif
dan obat yang lain. Tambahan dekstrosa dapat diberikan pada pasien
hipoglikemik (<100 mg/dL). Stres operasi dapat meningkatkan keadaan
hiperglikemik pada pasien dengan diabetes. Beberapa studi menganjurkan
untuk tetap menjaga kadar glukosa 150-200 mg/dL selama operasi. Selama
operasi berlangsung kadar glukosa harus tetap termonitor. Pada
pembedahan dengan prosedur yang kompleks dibutuhkan infus insulin
secara intravena guna mencapai kadar glukosa normal. Hiperglikemi
intraoperatif (>150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insulin reguler
secara intravena sesuai dengan skala yang ada. Insulin IV biasanya
bertahan selama 1 jam namun memiliki waktu paruh 7 menit sehingga
kontrol glikemik yang ketat dapat mencegah terjadinya perubahan kadar
glukosa tak terduga secara efektif. Pada pasien dengan diabetes tipe 1,
infus insulin dimulai dengan dosis sekitar 0,5-1 U/jam (campuran 100U
insulin short-acting dalam larutansalin normal 100mL; yaitu, 1U = 1 mL),
sedangkan dosis biasanya meningkat pada penderita diabetes tipe 2 yaitu
sekitar 2-3U/jam atau lebih. Pasien dengan DM tipe I memerlukan
penilaian glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2
cukup setiap 2 3 jam (Sudhakaran, 2015).

Dua teknik yang paling sering pada perioperatif managemen insulin pada
penderita DM
Bolus Administration

Continuous Infusion

D5W (1.5 mL/kg/h)

D5W (1 mL/kg/h)

Preoperative NPH1 insulin (half usual AM

Regular

insulin

dose)
Intraoperative

Regular

insulin

(as

sliding scale)

Postoperative Same as intraoperative

per

Same as preoperative
Same as preoperative

3. Post-operative
Pengawasan pasca operasi pada geriatri sangat penting, terutama pada
operasi besar.

Pemulihan menjadi lama karena pemanjangan obat-obat

anestesi. Mobilisasi pasca operasi dilakukan sesegera mungkin untuk


mencegah plebotrombosis. Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat
diperburuk oleh efek dari anestesi, instrumentasi faring dan operasi yang
dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi pascaoperasi pada usia lanjut.
Penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring,
motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan konversi intake oral
setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi pasca operasi
(Muravchik, 2006).
Hipoksia pasca operasi meningkat pada geriatri terutama operasi besar,
sehingga perlu diberikan oksigen beberapa hari pasca operasi. Dianjurkan
untuk memberikan terapi oksigen terutama setelah pembedahan abdomen
atau dada, penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah
yang signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul sering
ditoleransi lebih baik daripada masker (Muravchik, 2006).
Komplikasi pasca operasi pada geriatri antara lain: hipertensi, deep vein
trombosis, anemia, oliguria, aritmia, infark jantung, gagal jantung, emboli
paru, cerebrovascular accident. Komplikasi lain berupa pengaruh dari obat-

obat yang diminum secara rutin oleh penderita. Luka operasi pada geriatri
sulit sembuh. Karena komplikasi yang serius pasca operasi, beberapa senter
menganjurkan pasca operasi penderita geriatri dirawat di ICU (Kumra, 2008)
Pengobatan penderita penyakit kronik yang disertai dengan rasa nyeri
atau depresi akan lebih sulit. Jika pasien ini telah minum obat-obat tertentu
maka

sebaiknya obat sebisa mungkin terus diberikan. Saat melakukan

pengelolaan nyeri pada pasien ini kita kadang harus konsultasi dengan
psikiater atau ahli spesialisasi nyeri kronik yang sebelumnya pernah merawat
penderita. Fisioterapi dini dan kontinyu serta mobilisasi dapat membantu
pemulihan pasca-operasi dan dapat mengurangi lama perawatan di rumah
sakit secara signifikan.
Pemantauan kadar gula darah postoperatif yang ketat pada pasien
diabetes melitus harus tetap dilakukan secara terus-menerus. Pentingnya
pemantauan ini berkaitan dengan variasi individu pada onset dan lama nya
kerja dari preparat insulin. Alasan lain pemantauan yang ketat adalah
progresivitas dari stress hiperglikemi dalam masa pemulihan. Jika kadar
glukosa darah tetap rendah setelah operasi, pemberian infus dextrose 5-10 g
glukosa per jam harus dilakukan untuk mencegah hipoglikemia dan ketosis.
Selain itu, jika pasien tidak dapat mentoleransi makanan oral dalam periode
waktu yang lama, maka total nutrisi parenteral (TPN) harus dipertimbangkan
(Sudhakaran, 2015).
Penggantian insulin fisiologis insulin dapat dilakukan dengan pemberian
insulin basal long-acting, insulin short-acting diikuti dengan pemberian
makanan, serta tambahan insulin rapid-acting untuk mengatasi hiperglikemia
jika diperlukan. Sangat penting untuk memastikan kadar insulin basal stabil
setelah pemberian insulin IV intraoperatif dihentikan terutama pada pasien
diabetes melitus tipe 1 guna mencegah terjadinnya diabetik ketoasidosis.
Setelah pasien dipastikan mampu mengkonsumsi makanan,maka insulin
intravena dapat dihentikan dan kontrol glikemik kembali pada prosedur
seperti sebelum dilakukannya operasi (Sudhakaran, 2015).

Perlu

diwaspadai

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemia

atau

hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bila terdapat keterlambatan


bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca
bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia
lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark
miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang
tinggi (McAnuly, 2000)

Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1


Insulin Type2
Short-acting

Onset

Lispro

1020 min

Peak
Action
3090
min

Duration
46 h

Regular, Actrapid, Velosulin

1530 min 13 h

57 h

Semilente, Semitard

3060 min 46 h

1216 h

24 h

810 h

1824 h

45 h

814 h

2536 h

Intermediate-

Lente,

Lentard,

Monotard,

acting

NPH, Insulatard

Long-acting

Ultralente, Ultratard, PZI

1There is considerable patient-to-patient variation.


2NPH, neutral protamine Hagedorn; PZI, protamine zinc insulin

DAPUS
Kanonidou. Z., Karystiano, G. Anasthesia for The Eldery. 2007.
HIPPOKRATIA, 11, 4: 175-177.
Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi,
2008. Hal:39 49.
Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.

McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of


Patients with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia,
London, 2000: 80-90.
Muravchick S. 2006. Anesthesia for ederly. In Miller RD ed. Anesthesia. 6 th
ed. Philadelphia : Churchill - Livingstone : 2140 56.
Perkeni.2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Sudhakaran, S., Surani, S. 2015. Review Article: Guidelines for Perioperative
Management of the Diabetic Patient. Surgery Research and Practice
Volume 2015: 1-9.

Anda mungkin juga menyukai