Anda di halaman 1dari 30

NGARAS & SIRAMAN

Ngebakan atau siraman bertujuan untuk memandikan calon mempelai wanita aga
bersih lahir dan bathin sebelum memasuki saat pernikahan.
Acara berlangsung pagi atau siang hari di kediaman calon mempelai wanita. Bagi
umat muslim , sebelum dimulai acara siraman terlebih dahulu diawali oleh
pengajian atau rasulan dan pembacaan doa khusus kepada calon mempelai wanita.
Prosesi yang tercakup dalam acara siraman adalah sebagai berikut :

Ngecagkeun Aisan
Dimulai dengan calon mempelai wanita keluar dari kamar secara simbolis di
gendong oleh Ibu. Sementara ayah calon mempelai wanita berjalan di depan sambil
membawa lilin menuju tempat siraman.

Ngaras
Berupa permohonan izin calon mempelai wanita kepada kedua orangtua dan
dilanjutkan dengan sungkeman serta mencuci kaki orang tua.Perlengkapan untuk
prosesi ini cukup sederhana hanya tikar dan handuk.

Pencampuran air siraman


Kedua orang tua menuangkan air siraman ke dalam bokor atau mangkuk dan
mencampurnya untuk upacara siraman.

Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon mempelai wanita di bimbing oleh orang tua
menuju tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman dimulai oleh sang
Ibu , kemudian Ayah dan disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram biasanya
ganjil..antara 7, 9 atau 11 orang.

NGEUYEUK SEUREUH

Adalah prosesi adat dimana orang tua atau sesepuh keluarga memberikan nasehat
dan juga merupakan sex education bagi kedua calon mempelai yang dilambang
dengan tradisi atau benda benda yang ada dalam acara adat tersebut. Tata cara
ngeuyeuk seureuh adalah sebagai berikut :

Pangeuyeuk :

1. Tetua yang dipercaya atau pemandu acara memberikan 7 helai benang kanteh
sepanjang 2 jengkal kepada kedua calon mempelai untuk dipegang oleh masing
masing pada tiap ujungnya, sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta
doa restu.

2. Setelah itu Pangeuyeuk membawakan kidung berupa doa doa kepada Tuhan
YME sambil menaburkan beras kepada kedua calom mempelai, dengan maksud
agar keduanya kelak hidup sejahtera.

3. Kemudian kedua calon mempelai dikeprak ( dipukul pelan pelan ) dengan sapu
lidi, diiringi nasehat bahwa hidup berumah tangga kelak harus dapat memupuk
kasih sayang antara keduanya.

4. Selanjutnya membuka kain putih penutup pangeyeukan yang berarti bahwa


rumah tangga yang kelak akan di bina itu masih putih bersih dan hendaknya jangan
sampai ternoda.

5. Kedua calon mempelai mengangkat dua perangkat busana diatas sarung


polekat dan dibawa ke kamar pengantin untuk disimpan.

6. Membelah mayang dan jambe ( pinang ) , calom mempelai pria membelah


kembang mayang dengan hati hati agar tidak rusak atau patah, melambangkan
bahwa suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh kesabaran dan kasih
sayang.

7. Selanjutnya kedua mempelai dipersilahkan menumbuk halu ke dalam


lumpang dengan cara : Keduanya duduk berhadapan, yang pria memegang Alu
dan wanita memegang lumpang.

8. Membuat Lungkun yakni sirih bertangkai, 2 lembar berhadapan digulung


menjadi satu dengan bentuk memanjang, lalu diikat dengan benang kanteh . Hal ini
dilakukan oleh kedua calon mempelai , orang tua serta para tamu yang hadir disitu
melambang kan kerukunan. Kemudian sisa sirih dan 7 bh tempat sirih yang telah
diisi lengkap juga padi, labu dan kelapa dibagikan kepada orang orang yang hadir
disitu. Artinya : bila dikemudian hari keduanya mendapat rejeki berlebih, hendaknya

selalu ingat untuk berbagi dengan keluarga atau handai taulan yang kurang
mampu.

9. Berebut uang, dipimpin oleh pangeuyeuk dengan aba aba, kedua mempelai
mncari uang, beras, kunyit dan permen yang di tebar di bawah tikar. Artinya suami
dan istri harus bersama sama dalam mencari rejeki dalam rumah tangga.

10. membuang bekas pangeuyeuk seureuh, biasanya di simpang empat terdekat


dengan kediaman calon mempelai wanita oleh keduanya. Tradisi ini dimaksudkan
bahwa dalam memulai kehidupan yang baru, hendaknya membuang semua
keburukan masa lalu dan menghindari kesalahan di masa datang.

UPACARA SAWER PANGANTEN

Rangkaian upacara Sawer adalah sebagai berikut :

Nyawer
Merupakan upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan
setelah acara akad nikah. Berlangsung di panyaweran ( di teras atau halaman ).
Kedua orang tua menyawer mempelai dengan diiringi kidung. Untuk menyawer,
menggunakan bokor yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen .
Kedua Mempelai duduk berdampingan dengan dinaungi payung, seiring kidung
selesai di lantunkan, isi bokor di tabur, hadirin yang menyaksikan berebut
memunguti uang receh dan permen.
Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan

Meuleum Harupat ( Membakar Harupat )

Mempelai pria memegang batang harupat , pengantin wanita membakar dengan


lilin sampai menyala. Harupat yang sudah menyala kemudian di masukan ke dalam
kendi yang di pegang mempelai wanita, diangkat kembali dan dipatahkan lalu di
buang jauh jauh.
Melambang kan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam
memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi
berisi air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan
hati suami tidak nyaman.

Nincak Endog ( Menginjak Telur )

Mempelai pria menginjak telur di baik papan dan elekan ( Batang bambu muda ),
kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, me
ngelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua.
Melambangkan pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu.

Ngaleupaskeun Japati ( Melepas Merpati )


Ibunda kedua mempelai berjalan keluar sambil masing masing membawa burung
merpati yang kemudian dilepaskan terbang di halaman.
Melambang kan bahwa peran orang tua sudah berakhir hari itu karena kedua anak
mereka telah mandiri dan memiliki keluarga sendiri.

Huap Lingkung
Pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tua. Dimulai oleh para Ibunda yang
dilanjutkan oleh kedua Ayahanda.
Kedua mempelai saling menyuapi, Tersedia 7 bulatan nasi punar ( Nasi ketan
kuning ) diatas piring. Saling menyuap melalui bahu masing masing kemudian satu
bulatan di perebutkan keduanya untuk kemudian dibelah dua dan disuapkan kepada
pasangan .
Melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua
anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga
menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu
sama besarnya.

Pabetot Bakakak

Kedua mempelai duduk berhadapan sambil tangan kanan mereka memegang kedua
paha ayam bakakak di atas meja, kemudian pemandu acara memberi aba aba ,
kedua mempelai serentak menarik bakakak ayam tersebut hinggak terbelah. Yang
mendapat bagian terbesar, harus membagi dengan pasangannya dengan cara
digigit bersama.
Melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan
dinikmati bersama.

A. Upacara Adat Seren Taun

Upacara Seren Taun yaitu upacara adat yang intinya mengangkut padi (ngakut
pare) dari sawah ke leuit (lumbung padi) dengan menggunakan pikulan khusus
yang disebut rengkong dengan diiringi tabuhan musik tradisional. Selanjutnya di
adakan riungan (pertemuan) antara sesepuh adat/pemuka masyarakat dengan
pejabat pemerintah setempat. Dalam riungan tersebut antara lain Disampaikan
kabar gembira kepada pejabat setempat mengenai keberhasilan panen (hasil tani)
dan kesejahteraan masyarakat yang dicapai dalam kurun waktu yang telah dilalui.
Salah satu ciri khas upacara seren taun adalah melalukan seba, yaitu
menyampaikan aneka macam hasil panen kepada pejabat setempat agar ikut
menikmati hasil tani mereka. Salah satu tujuan upacara seren taun ini adalah
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilannya bertani serta
mengharapkan pada masa mendatang akan lebih berhasil lagi. Upacara seren taun
dapat dijumpai di Kasepuhan Sirnarasa Cisolok-Sukabumi Selatan, Cigugur Kuningan
dan Baduy-Lebak/Banten.

B. Upacara Adat Kawin Tebu

Upacara tradisional Kawin Tebu dilaksanakan seperti upacara perkawinan manusia,


yang mana satu batang tebu dikawinkan dengan tebu yang lainnya dengan suatu
prosesi upacara. Upacara ini dilaksanakan setelah panen menjelang tebu
dimasukan ke pabrik untuk diproses menjadi gula, atau awal musim tanam tebu.
Menjelang diadakan perkawinan tebu ditampilkan berbagai atraksi kesenian yang
diikuti oleh masyarakat setempat, terutama oleh para pekerja pabrik gula dan
keluarganya. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tanam yang
dicapai serta memohon kepada tuhan YME. agar hasil tanam yang akan datang
lebih baik lagi. Upacara ini terdapat di daerah Kadipaten, Kabupaten Majalengka.

C. Upacara Adat Ampih Pare

Upacara Ampih Pare adalah upacara menyimpan hasil panen padi dari
sawah/ladang ke tempat penyimpanan padi (pare) yang disebut leuit. Pada
pelaksanaannya para petani dengan memakai pakaian adat yang khas, memikul

hasil panennya dengan menggunakan alat pikul yang disebut rengkong. Selama
perjalanan alat pikul tersebut menimbulkan bunyi yang khas, upacara ampih pare
merupakan suatu prosesi pertunjukan kesenian yang khas. Terdapat di Kabupaten
Sumedang, Cianjur, Karawang dan Subang.

D. Upacara Adat Ngarot

Upacara Ngarot dilaksanakan pada saat dimulainya musim tanam , yaitu pada awal
musim penghujan, saat musim tanam yang baik untuk menggarap tanah palawija di
Ladang. Pelaksanaannya dengan cara mengadakan keramaian berupa arak-arakan
menuju Bale Desa. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon
kepada sang Pencipta agar hasil berladangnya diberkahi dan dilimpahkan hasilnya
untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Upacara ini terdapat di daerah
Indramayu.

E. Upacara Adat Sedekah Bumi

Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang
diterima oleh masyarakat berhasil baik. Upacara tradisi seperti ini terdapat di
Cirebon, pelaksanaan upacara ini di Makam Sunan Gunung Jati yang dipimpin oleh
Ki Penghulu. Setelah upacara ini selesai, biasanya di Alun-alun diselenggarakan
berbagai kesenian, sebagai acara puncaknya pergelaran Wayang Orang.

F. Upacara Adat Pesta Laut

Upacara Pesta laut biasanya diselenggarakan di daerah pesisir jawa barat seperti
Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini dimaksudkan
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt atas hasil laut yang diperoleh para
nelayan, juga sebagai ungkapan permohonan agar para nelayan selalu selamat dan
sehat serta memperoleh hasil laut yang melimpah. Di dalam upacara tersebut
perahu-perahu nelayan dihiasi dengan berbagai ornamen berwarna-warni yang
dinaiki oleh para nelayan dan dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini
adalah para nelayan menghadiahkan kepala kerbau yang sudah dibungkus kain
putih kepada penguasa laut sebagai penolak bala. Perahu yang membawa sesajen
dan kepala kerbau berada di posisi paling depan dan diikuti perahu-perahu lainnya

yang ditumpangi para nelayan dan keluarganya serta masyarakat setempat. Perahu
melaju ke tengah laut mereka bersorak- ria sambil memainkan alat musik serta
menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan pencipta alam semesta, mereka
menikmati upacara tersebut. Sebelum kepala kerbau dihanyutkan di tengah laut,
mereka berdoa bersama untuk keselamatan. Pesta laut diadakan setahun sekali.

Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dipelihara
dan dihormati. Dalam daur hidup manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat
ritual adat seperti: upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak,
Perkawinan, Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan
dikenal upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai ungkapan
rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin dunia dan
akhirat. Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

Upacara Daur Hidup Manusia


A.Upacara Adat Masa Kehamilan

1. Upacara Mengandung Empat Bulan


Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau
3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan
barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan
sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah
betul-betul hamil.
Namun sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat
kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan
itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya
pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk
membacakan doa selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya
mulus, sempurna, sehat, dan selamat.

2. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban


Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu
mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan
ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya
tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh
bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan
jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk
menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa

diadakan pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat


Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil ,
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu
yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin
seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang
dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa.
Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil,
hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin
seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah
digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan
agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin,
seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis.
Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya
mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.

Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke


tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual
rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan
mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah
dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya
membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga,
dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga.
Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.

3. Upacara Mengandung Sembilan Bulan


Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan
bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang
dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara
ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat
kemudahan waktu melahirkan, lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi
tumpeng atau makanan lainnya.

4. Upacara Reuneuh Mundingeun


Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung
lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum
melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti
munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan
yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan.

Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh
indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada
kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan
yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang
dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini
sudah jarang dilaksanakan.

B. Upacara Kelahiran dan Masa Bayi

1. Upacara Memelihara Tembuni


Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang
sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau
menghanyutkannya ke sungai.
Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya
dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu
garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi
udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan
dipayungi, biasanya oleh seorang paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau
dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara
penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah
atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan
tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya..
Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak
menjadi orang yang berbahagia.

2. Upacara Nenjrag Bumi


Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh kali
di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas pelupuh (lantai dari
bambo yang dibelah-belah ), kemudian indung beurang menghentakkan kakinya ke
pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak
menjadi anak yang tidak lekas terkejut atau takut jika mendengar bunyi yang tibatiba dan menakutkan.

3 .Upacara Puput Puseur


Setelah bayi terlepas dari tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan. Tali pusat
yang sudah lepas itu oleh indung beurang dimasukkan ke dalam kanjut kundang .
Seterusnya pusar bayi ditutup dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus
kasa atau kapas dan diikatkan pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak

dosol, menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus
dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan
disediakan bubur merah bubur putih.
Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang
harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi
ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan
kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan
kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara dengan
baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudarasaudaranya (kakak dan adiknya) sehingga tercapailah kebahagiaan.

4. Upacara Ekah
Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun anak kandung.
Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan, atau
ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
mengharapkan anak itu kelak menjadi orang yang saleh yang dapat menolong
kedua orang tuanya nanti di alam akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya
diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21
hari. Perlengkapan yangb harus disediakan adalah domba atau kambing untuk
disembelih, jika anak laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu
cukup seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja.
Domba yang akan disembelih untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang
memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba itu disembelih oleh ahlinya atau
Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan
kepada handai tolan.

5. Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah,
maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga
bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah.
Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada
pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai
hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka
makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuyk diperebutkan
oleh para tamu terutama oleh anak-anak.

6. Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi
dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan
ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang telah

mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran
dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai
perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting yang digantungi
perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk mencukur rambut bayi.
Pada saat itu mulailah para undangan berdoa dan berjanji atau disebut marhaban
atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan membacakan doa
yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan
itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.

7. Upacara Turun Taneuh


Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke
tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah dapat merangkak atau
melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan agar si anak mengetahui
keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah
akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain
aneka makanan juga disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau
taplak putih, padi segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang
terdiri dari uang lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan.
Jalannya upacara, apabila para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat,
setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah. Di halam rumah telah
dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih,
selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini
dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu
dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para
undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu
memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang
dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi saudagar/pengusaha.
Demikian pula apabila yang dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan
menjadi orang yang berpangkat atau mempunyai kedudukan yang terhormat.

C. Upacara Masa Kanak-kanak

1. Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud
upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar
nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan
sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani

duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada
Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap
anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer
(dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan
makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu
melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih
cantik lagi.

2. Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih dari
najis . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan
salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan anak perempuan
diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih bayi, supaya tidak
malu. Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak usia
6 tahun. Dalam upacara sunatan selain paraji sunat, juga diundang para tetangga,
handai tolan dan kerabat..
Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan atau
direndam di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang dilakukan lagi
berhubung teknologi kesehatan sudah berkembang), kemudian dipangku dibawa ke
halaman rumah untuk disunat oleh paraji sunat (bengkong), banyak orang yang
menyaksikan diantaranya ada yang memegang ayam jantan untuk disembelih, ada
yang memegang petasan dan macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan
marhaba. Bersamaan dengan anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai
bela, petasan disulut, dan tetabuhan dibunyikan . Kemudian anak yang telah
disunat dibawa ke dalam rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah
itu para undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka
memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan
dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang menyelenggarakan
hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka tarian.

D. Upacara Adat Perkawinan

Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum
akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah

1. Upacara sebelum akad nikah


pada upacara ini biasanya dilaksanakan adat :
(1) Neundeun Omong : yaitu kunjungan orang tua jejaka kepada orang tua si gadis
untuk bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa kelak anak gadisnya akan
dilamar.
(2) Ngalamar : nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka untuk
meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut dibahas pula mengenai
rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam ngalamar ini si
pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si gadis sebagai
panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi pula dengan sirih pinang
selengkapnya disertai kue-kue & buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat
dan disebut orang bertunangan.
(3) Seserahan: yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon
mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri oleh para
kerabat terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria juga barangbarang berupa uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam
hal ini tergantung pula pada kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini
dilakukan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan
pada hari perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
(4) Ngeuyeuk Seureuh: artinya mengerjakan dan mengatur sirih serta mengaitngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum hari perkawinan, yang
menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin, orang tua calon pengantin
dan para undangan yang telah dewasa. Upacara dipimpin oleh seorang pengetua,
benda perlengkapan untuk upacara ini seperti sirih beranting, setandan buah
pinang, mayang pinang, tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dll semuanya
mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga. Upacara
ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon mempelai tentang
pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga berdasarkan
etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok dalam adat perkawinan
adalah ijab kabul atau akad nikah .

2. Upacara Adat Akad Nikah


Upacara perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi ketentuanketentuan yang telah digariskan dalam agama Islam dan adat. Ketentuan tersebut
adalah: adanya keinginan dari kedua calon mempelai tanpa paksaan, harus ada wali
nikah yaitu ayah calon mempelai perempuan atau wakilnya yang sah, ada ijab
kabul, ada saksi dan ada mas kawin. Yang memimpin pelaksanaan akad nikah
adalah seorang Penghulu atau Naib, yaitu pejabat Kantor Urusan Agama.
Upacara akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid atau di rumah mempelai wanita.
Adapun pelaksanaannya adalah kedua mempelai duduk bersanding diapit oleh

orang tua kedua mempelai, mereka duduk berhadapan dengan penghulu yang di
kanan kirinya didampingi oleh 2 orang saksi dan para undangan duduk berkeliling.
Yang mengawinkan harus wali dari mempelai perempuan atau mewakilkan kepada
penghulu. Kalimat menikahkan dari penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari
mempelai pria disebut qobul (kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik
selanjutnya mempelai pria membacakan talek, yang bermakna janji dan
menandatangani surat nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari
mempelai pria kepada mempelai wanita.

3. Upacara Adat sesudah akad nikah


a) Munjungan/sungkeman : yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua
mempelai untuk memohon doa restu.
b) Upacara Sawer (Nyawer): perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor
yang berisi beras kuning, uang kecil (receh) /logam, bunga, dua buah tektek (lipatan
sirih yang berisi ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua
mempelai duduk di halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara
dipimpin oleh juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua
pengantin dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya
sendiri. Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang
ditembangkan juru sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua
mempelai agar saling mengasihani, dan mendoakan agar kedua mempelai
mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya,
hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
c) Upacara Nincak Endog : atau upacara injak telur yaitu setelah upacara nyawer
kedua mempelai mendekati tangga rumah , di sana telah tersedia perlengkapan
seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah
tunjangan atau barera (alat tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng,
sebuah elekan, sebutir telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu
pipisan, semua perlengkapan ini mempunyai perlambang. Dalam pelaksanaannya
lilin dinyalakan, mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya dibuang,
lalu mempelai pria menginjak telur, setelah itu kakinya ditaruh di atas batu pipisan
untuk dibasuh air kendi oleh mempelai wanita dan kendinya langsung dihempaskan
ke tanah hingga hancur. Makna dari upacara ini adalah menggambarkan
pengabdian seorang istri kepada suaminya.
d) Upacara Buka Pintu : upacara ini dilaksanakan setelah upacara nincak endog,
mempelai wanita masuk ke dalam rumah sedangkan mempelai pria menunggu di
luar, hal ini menunjukan bahwa mempelai wanita belum mau membukakan pintu
sebelum mempelai pria kedengaran mengucapkan sahadat. Maksud upacara ini
untuk meyakinkan kebenarannya beragama Islam. Setelah membacakan sahadat
pintu dibuka dan mempelai pria dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya
dilakukan dengan nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.

e) Upacara Huap Lingkung : Kedua mempelai duduk bersanding, yang wanita di


sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep yaitu nasi kuning dan
bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua). Mula-mula
bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga menjadi
dua. Siapa yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang akan memperoleh rejeki
besar diantara keduanya. Setelah itu kedua mempelai huap lingkung , saling
menyuapi. Upacara ini dimaksudkan agar kedua mempelai harus saling memberi
tanpa batas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati.
Sehabis upacara huap lingkung kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan
diapit oleh kedua orang tua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para
undangan (acara resepsi).

E. Upacara Adat Kematian


Pada garis besarnya rangkaian upacara adat kematian dapat digambarkan sebagai
berikut: memandikan mayat, mengkafani mayat, menyolatkan mayat, menguburkan
mayat, menyusur tanah dan tahlilan, yaitu pembacaan doa dan zikir kepada Allah
swt. agar arwah orang yang baru meninggal dunia itu diampuni segala dosanya dan
diterima amal ibadahnya, juga mendokan agar keluarga yang ditinggalkannya
tetap tabah dan beriman dalam menghadapi cobaan. Tahlilan dilaksanakan di
rumahnya, biasanya sore/malam hari pada hari pertama wafatnya (poena), tiluna
(tiga harinya), tujuhna (tujuh harinya), matangpuluh (empat puluh harinya), natus
(seratus hari), mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).

A. Upacara Ngirab/Rebo Wekasan

Upacara ini ditandai dengan berziarahnya masyarakat setempat ke makam Sunan


Kalijaga, yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, karena waktu
tersebut dianggap hari yang paling baik untuk menghilangkan bencana dan
kemalangan dalam hidup manusia. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan
berbagai pertandingan seperti lomba mendayung dan sebagainya. Upacara ini biasa
dilaksanakan di sungai Drajat, Kota Cirebon.

B. Upacara Maulud Nabi Muhammad Saw.

Upacara ini adalah merupakan upacara keagamaan. Maulud Nabi Muhammad SAW
adalah peringatan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW dimana sejumlah
masyarakat berkumpul berdatangan dari berbagai daerah di luar Kota Cirebon
untuk mengikuti upacara tersebut. Setelah selesai upacara dilanjutkan dengan
ziarah ke makam para wali dan kramat-kramat lainnya, baik dari masyarakat
Cirebon maupun masyarakat dari luar daerah. Di tiap daerah pun diadakan

peringatan Maulud Nabi Muhammad Saw, dengan cara pengajian dan pembacaan
solawat kepada Nabi Muhammad Saw disertai ceramah keagamaan.

C. Upacara Adat Nyalawean

Upacara Nyalawean merupakan upacara keagamaan untuk memperingati hari


lahirnya Nabi besar Muhammad SAW yang diselenggarakan di alun-alun desa Trusmi
, Kabupaten Cirebon selama 5 hari. Upacara ini dilaksanakan 12 hari setelah
peringatan yang sama di keraton Cirebon. Selain dilaksanakannya upacara
keagamaan, juga mengadakan ziarah ke makam para leluhur orang Trusmi agar
memperoleh rahmat, kesejahteraan serta kebahagiaan.

D. Upacara Peringatan Isro Miraj

Di setiap daerah di Jawa Barat khususnya bagi umat Islam, setiap tanggal 27 bulan
Rajab biasa dilakukan peringatan Isro Miraj. Isro yaitu hijrahnya Nabi Muhammad
dari masjidil Haram Mekah ke mesjidil Aqso. Sedangkan Miraj adalah peristiwa
naiknya Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dan diberikannya wahyu untuk
melaksanakan sholat 5 waktu sehari. Pada pelaksanaan peringatan Isra Miraj biasa
diadakan pengajian, pembacaan solawat dan ceramah keagamaan. Hal ini
dimaksudkan agar manusia dalam menjalankan hidupnya harudisertai dengan
peningkatan ibadah terhadap Allah SWT. Seusai kegiatan tersebut biasa diadakan
makan nasi tumpeng bersama.

E. Upacara Lebaran 1 Syawal

Setelah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, pada tanggal 1 Syawal
merupakan hari raya Idul fitri atau hari lebaran, yaitu hari dimana umat Islam
merayakan hari yang penuh kesucian dan kebebasan, bebas dari puasa dan bebas
dari dosa. Pagi hari setelah solat subuh, umat Islam yang merayakan Lebaran solat
berjamaah di lapangan atau di mesjid, mendengarkan ceramah dan berdoa.
Setelah itu bersalaman saling memaafkan. Begitu pula sesampainya di rumah
diadakan upacara sungkeman, orang tua duduk berdampingan, anak-anaknya
sungkem bersalaman saling memaafkan antara anggota keluarga. Setelah itu
makan bersama yaitu makan khas Lebaran ketupat beserta lauk-pauk dan
makanan lainnya khas lebaran. Selanjutnya mereka dengan baju barunya pergi ke

tetangga dan kerabat untuk bersilaturahmi saling memaafkan sambil membawa


makanan atau hadiah lainnya. Ada juga yang berziarah terlebih dahulu ke makam
keluarga untuk mendoakan para arwah. Masyarakat Sunda umumnya
melaksanakan lebaran ini dengan penuh hikmah dan semangat.

nanpunya.wordpress.com

padmaloka-tradisi.blogspot.com

DAFTAR ISTILAH
Author: Rian Saepuloh /

Anggoan : pakaian, bahasa halus dari pakean. Panganggo, adat kebiasaan; bahasa
halus dari pamake.
Bewara : berita, kabar
Bungsu : bontot, terakhir, termuda (anak).
Canoli : seorang perempuan yang sudah tua dan yang di tuakan untuk mengatur di
dalam goah
Goah : kamar untuk menyimpan beras dan makanan lainnya.
Jangjawokan : mantra
Karembong : selendang
Karuhun : leluhur, nenek moyang.
Kasumpingan : kedatangan
Keupat : lenggang
Lalayaran : berlayar
Mubah : mubazir, pekerjaan sia-sia.
Netes : meneteskan air

Ngahaleuang : menyanyi; haleuang, suara orang menyanyi; hahaleuangan,


bernyanyi-nyanyi
Ngalungsurkeun : mengundang; lungsur, turun.
Ngibing : menari; ibing, tari
Nginebkeun : menyimpan kembali
Ngiringan : ikut, turut serta
Nyambat, sambat : mengajak, menyuruh datang atau mendekati
Pare : padi
Saehu : ahli, guru
Sinjang : kain panjang atau sarung; bahasa halus dari samping atau sarung
Tukang : orang yang mempunyai keterampilan dalam suatu pekerjaan; orang yang
suka atau bisa
Totopong : ikat kepala
Wulung : hitam

0 komentar

Fungsi Tarawangsa
Author: Rian Saepuloh /

Tarawangsa memiliki banyak Fungsi diantaranya:


1. rubuh jerami ampih pare yaitu sewbagai pwenghormatan twerhadap dewi sri.
2. ngaruat rumah baru.
3. sebagai hiburan atau huripan kampong.
4. hajatan
5. upacara adat
6. sambutan terhadap tamu negara
adapun hal-hal sacral yang terjadi dalam proswesi tarawangsa yaitu:
Adanya

v saehu

Mwenggunakan kukus

Pangradinan

Untuk saehu mwenggunakan minyak, sisir, dupa, salam dan doa.

0 komentar

Lagu-lagu Tarawangsa
Author: Rian Saepuloh /

Lagu-lagu pada seni tarawangsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ;

1. Lagu pokok yang terdiri dari lagu pangemat, pangapungan, pamapag,


panganginan, panimang, lalayaran, dan bangbalikan.
2. Lagu pilihan yang terdiri dari lagu mataraman, saur, iring-iringan, jemplang,
bangun, karatonan, buncis, angin-angin, reundeu, ayun ambing, reundah reundang,
kembang gadung, dan panglima.

Bentuk dan makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa (dilihat dari judul-judul
lagu) adalah sebagai berikut:
a. Pangemat, berasal dari kata ngemat yang artinya memanggil, dalam hal ini yaitu
menggambarkan pemanggilan Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara
berlangsung.
b. Panimang, berasal dari kata nimang yang artinya mengayun-ayun hal tersebut
melukiskan Dewi Sri sedang ditimang-timang.
c. Pamapag, berasal dari kata papag yang berarti jemput, hal tersebut
menggambarkan penjemputan datangnya Dewi Sri.
d. Pangapungan, berasal dari kata ngapung yang berarti terbang, hal ini
menggambarkan Dewi Sri sedang terbang.
e. Panganginan, berasal dari kata ngangin yang berarti istirahat, yang
menggambarkan jika Dewi Sri sedang beristirahat.
f. Lalayaran, berasal dari kata lalayar yang artinya tamasya yang menggambarkan
Dewi Sri sedang bertamasya.
g. Bangbalikan, berasal dari kata balik yang berarti pulang hal tersebut
menggambarkan proses mengantarkan pulangnya Dewi Sri ke dalam ruangan
penyimpanan.

Urutan upacara berdasarkan iringan lagu :


Setelah alat-alat persiapan dan sesajen tersedia, maka upacara pun dimulai dari
jam 19.30 wib (setelah shalat Isya). Sesepuh duduk bersila menghadapi parupuyan
dan alat-alat perlengkapan sambil membagikan-bagikan kemenyan kepada sesepuh
lainnya agar dimantrai. Kemudian kemenyan-kemenyan tersebut dipungut kembali,
lalu dibakarnya disertai mantra-mantra dengan maksud bersyukur kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya. Demikian pula kepada para leluhurnya.
Di bawah ini adalah urutan penyajian lagu tarawangsa dalam mengiringi upacara:
1. Upacara diawali dengan penyajian lagu pangemat, sebagai lagu pengundang
Dewi Sri agar segera datang di tempat tersebut.
2. Disusul oleh lagu panimang untuk mengiringi acara ngalungsurkeun yaitu
menurunkan seikat padi sebagai lambang Dewi Sri.
3. Lagu pamapag digunakan saat prosesi penjemputan Dewi Sri oleh sesepuh
sambil membawa pakaian dan aksesoris lainnya yang akan dikenakan kepada padi
tersebut.
4. Dibelakangnya diikuti oleh ibu-ibu yang membawa bunga-bungaan, minyak
kelapa, daun hanjuang dan mangkuk berisi beras dengan tektek di atasnya yang
diiringi lagu pangapungan.
5. Sesudah itu padi disawer yang diiringi lagu panganginan.
6. Upacara kemudian dilanjutkan dengan acara bersukaria yaitu menari bersama
yang pimpin oleh seorang saehu berpakaian lengkap (jas hitam, berkain batik, iket),
di pinggangnya terlihat sebilah keris yang dililiti dengan karembong atau sampur.
Diikuti oleh penari pria yang disusul oleh penari wanita yang berpakaian kebaya
dalam lagu lalayaran.
7. Lagu bangbalikan mengiringi prosesi terakhir yaitu nginebkeun atau netepkeun
yaitu menyimpan padi yang dihias tadi ke dalam ruangan penyimpanan. Ini
menggambarkan bahwa Dewi Sri akan menetap di sana.
Musik tarawangsa dimainkan secara instrumental dalam tangga nada atau laras
pelog dan salendro. Dalam penyajiannya, alat musik tarawangsa berfungsi sebagai
pembawa lagu atau melodi, sedangkan alat musik kacapi berfungsi sebagai
pengiring lagu.

0 komentar

Benda-benda Yang Di Pakai Sebagai Ciri Saehu dan Paibuan


Author: Rian Saepuloh /

Kalau tidak ada sesuatu hal yang membedakan antara pemimpin dan masyarakat,
maka orang setiap orang dalam masyarakat akan merasa sama. Akan tetapi, ketika
seorang pemimpin memiliki ciri khas baik dari pakaian ataupun properti yang
digunakannya maka sudah barang tentu ada perbedan dengan anggotanya. Seperti
telah diungkapkan oleh Burke mengenai teori pembentukan identitas.
Dalam pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan ada yang dijadikan
pemimpin untuk melaksanakan rangkaian upacara hormatan tersebut yang disebut
Saehu untuk pemimpin penari laki-laki dan Paibuan untuk pemimpin penari
perempuan. Kita dapat membedakan antara Saehu dan Paibuan dengan penari
yang lainnya/tamu ketika menari yakni dari benda yang digunakan. Pada saat
menari Saehu menggunakan;
a. Ikat kepala (dalam bahasa sunda totopong)

Gambar 18
Totopong (ikat kepala
b. Kain matra kusumah (sinjang rereng)

Gambar 19
Sinjang Rereng

c. Keris.

Gambar 20
Keris

Sedangkan untuk Paibuan menggunakan:


a. Renda berwarna putih

Gambar 21
Renda

b. Sisir dan Gelang

Gambar 22
Gelang dan Sisir
Sisir digunakan oleh Paibuan yang tidak berjilbab, tetapi jika Paibuannya berjilbab
sisir yang disediakan tidak dipakai juga tidak apa-apa.
Benda-benda yang dipakai oleh Paibuan pada saat nema paibuan dapat
dipindahkan kepada orang yang sudah kedatangan roh nenek moyang (dalam
bahasa sunda kasumpingan). Berdasakan keterangan yang diperoleh dari informan
ketika seseorang sudah kedatangan (kasumpingan) maka akan kelihatan dari gerak
yang dibawakan akan kelihatan sangat diresapi dan juru saksi (dalam bahasa sunda
tukang ngukus) yang dapat melihat apakah seseorang kasumpingan benar-benar
atau hanya pura-pura.
Benda yang dipakai sebagai tanda menyerahkan giliran menari dari laki-laki kepada
perempuan yaitu selendang berwarna putih, hijau, dan merah.

Gambar 23
Selendang (karembong)
Selendang tersebut merupakan gambaran dari manusia, dimana selendang warna
putih menggambarkan manusia yang baru lahir, masih suci belum punya dosa.
Kemudian warna hijau menggambarkan manusia yang menginjak dewasa, dan
warna merah menggambarkan manusia yang sudah berlumur dosa. Dalam
pergelaran Tarawangsa orang yang menari pertama akan memakai selendang
warna putih, kemudian setelah mulai dapat merasakan tempo, irama dan
menghayati musik dan gerak maka ditambah dengan selendang berwarna hijau,
apabila sudah mencapai puncak atau sudah kasumpingan (kedatangan roh) maka
ditambah lagi dengan selendang berwarna merah. Apabila sudah tidak tertahan lagi
atau sudah kelihatan tidak karuan geraknya maka dinetralkan lagi dengan
selendang wulung sehingga penari kembali tenang, seperti halnya keris selendang
wulung juga diyakini memiliki kekuatan untuk memberikan ketenangan.
Gambar 24
Karembong Wulung

Dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan pergelaran Tarawangsa pada upacara
hormatan merupakan cerminan hidup yang harus tetap dipertahankan oleh
masyarakat pendukungnya, karena sangat mengandung nilai sosial yang tinggi,
salah satunya nilai gotong-royong.
0 komentar

Urutan tata upacara dalam pergelaran Tarawangsa dalam upacara hormatan


Author: Rian Saepuloh /

Prosesi dimulai dari jam 21.oo sampai 03.oo dini hari..


Prosesi diawali dengan:
a. Ngalungsurkeun (mengeluarkan bibit padi)
Ngalungsurkeun memiliki makna menurunkan keberkahan, yakni dengan
mengelurkan bibit padi (pare bungsu) dari goah Kemudian disimpan dekat sesajen
dengan tujuan supaya bisa dapat berkah dari hadirnya Dewi Sri serta arwah-arwah
para leluhur (karuhun). Acara ini dipimpin oleh Saehu dan Paibuan yang diikuti oleh
tamu perempuan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tempat bibit padi
yang tersedia di pajemuhan/goah. Bibit padi yang dikeluarkan itu adalah milik para
tamu yang menyimpan (ngiringan) dalam tempat kecil seperti rantang atau juga
ada tempat yang dinamakan pipiti dengan tujuan agar bibit padinya mendapat doa
dari semua yang hadir sehingga bisa mendapatkan berkah bibit padi yang bagus
juga karena menurut kepercayaan mereka Dewi Sri (Dewi Padi) dan para leluhur
(karuhun) akan hadir.
Laki-laki yang ikut dalam acara ini hanya Saehu saja yang membawa anggoan
(pakaian) yang punya rumah (rurukan). Seperti terlihat pada gambar 07, seorang
laki-laki (Saehu) membawa nampan yang berisi pakaian yang punya rumah
(rurukan).

Gambar 07
Saehu dan Paibuan memimpin acara Ngalungsurkeun

Gambar 08
Salah seorang kasepuhan sedang menyimpan benih padi dekat sesajen
b. Netes
Acara ini dilakukan oleh seorang ibu (canoli). Kegiatan yang dilakukan yakni
meneteskan air dengan daun sirih kedalam setiap tempat bibit padi sambil
bernyanyi (dalam bahasa sunda ngahaleuang) yang berisi doa dan harapan agar
bibit padi yang kelak akan ditanam dapat membuahkan hasil yang baik. Menurut
keterangan biasanya doa tersebut berbentuk mantra (jangjawokan) dengan
memiliki keyakinan Dewata Maring Manusa, Manusa Maring Dewata yang artinya
bahwa dalam kehidupan kita tidak akan lepas dari pengaruh-pengaruh roh leluhur
atau arwah-arwah yang dikeramatkan (karuhun), kalau kita berdekatan saling
menghargai.

Gambar 09
Salah seorang kasepuhan (canoli) sedang berdoa sebelum netes

Gambar 10
Kasepuhan (canoli) sedang netes

c. Nema Paibuan
Pada nema paibuan ini ada lima orang penari perempuan yakni Paibuan, yang
punya rumah, dan tiga orang penari dari grup Tarawangsa.
Nema sendiri artinya bertemu, disini yang pertama menari adalah Paibuan dengan
lagu saur atau sering disebut saur pangembat dengan maksud memberikan
pengumuman (bewara) kepada tamu yang hadir bahwa akan kedatangan Dewi Sri
yang datang dengan berlayar yang digambarkan dengan lagu lalayaran kemudian
diikuti oleh penari yang lainnya saling bergantian, sampai selesai yang lima orang
tadi.

Gambar 11
Memindahkan benda-benda sebagai ciri Paibuan kepada penari lain yang sudah
kasumpingan.

d. Hiburan Perempuan dan Hiburan


Laki-laki
Pada acara ini semua tamu yang hadir pada pergelaran Tarawangsa dipersilahkan
untuk menari (dalam bahasa sunda ngibing), semua tamu mendapat hak untuk
menari. Acara hiburan diawali oleh Paibuan bersama yang tamu yang lain yang
jumlahnya harus ganjil bisa lima orang, tujuh orang, atau sembilan orang
dilanjutkan para tamu perempuan (ibu-ibu) sampai sekitar tengah malam.
Kemudian Paibuan menyerahkan selendang kepada Saehu sebagai tanda
mempersilahkan kaum laki-laki (bapa-bapa) untuk menari. Seperti halnya tamu
perempuan, semua tamu laki-lakipun mendapatkan hak yang sama untuk
mendapat giliran menari asal tempatnya tidak telalu penuh, jadi bergiliran.

Gambar 12
Tamu perempuan yang hadir sedang menari

e. Nyumpingkeun (pohaci/icikibung)

Kegiatan ini diawali oleh Paibuan dengan menari sambil memanggil (nyambat) Dewi
Sri dan arwah para leluhur (karuhun) dengan kalimat seperti berikut: mangga nyi
prapohaci enggal gera ngaluuh, disuhunkeun enggal sumping kalimat tersebut
bukan suatu kalimat yang baku harus diucapkan oleh Paibuan ketika nyambat,
tetapi kalimat ungkapan sendiri. Jadi setiap Paibuan akan berbeda-beda saat
nyambat, bahkan dari seorang paibuan saja dari satu tempat ke tempat lain akan
berbeda pula yang diucapkannya. Setelah nyambat selesai, Paibuan menari yang
kemudian diikuti oleh tamu perempuan. Berdasakan keterangan yang diperoleh dari
informan yang biasa menjadi Paibuan ketika mereka sudah kasumpingan akan
merasakan bahwa dia menjadi sosok karuhun yang datang. Siapa yang datang nanti
akan tercermin dalam gerakan, ada yang gagah berarti yang datangnya karuhun
laki-laki, kalau bergeraknya mengalun, halus, yang datang berarti perempuan. Pada
acara nyumpingkeun ini arwah leluhur yang dipanggil biasanya dari leluhur keluarga
yang punya hajat, dan datangnya (sumping) harus kepada yang punya rumah
(rurukan). Kalau tidak datang (sumping) kepada yang punya rumah mereka
menganggap acara yang diselenggarakan oleh rurukan itu kurang bermanfaat
(ungkapan informan mubah). Ketika rurukan sudah kasumpingan maka penari yang
lainnya mengelilingi rurukan, kalau tidak dikelilingi bisa saja sampai jatuh karena
badan yang kasumpingan akan terasa lemas (keterangan dari ibu Ayo). Untuk
membantu agar tetap kuat dihadirkan keris yang mereka yakini secara magis dapat
memberikan kekuatan kepada yang kasumpingan.
Kejadian tersebut memang kalau secara logis tidak akan dimengerti, akan tetapi
peneliti memiliki pandangan bahwa ketika dalam nyumpingkeun itu sebenarnya
hanya sugesti dari penari saja yang sedang membayangkan atau ingat kepada para
leluhurnya, dengan iringan musik yang mengalun bergerak mengikuti alunan,
sehingga mereka membayangkan para leluhur (karuhun) mereka sedang ikut pula
menari.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa dalam acara hormatan dilihat
dari banyak atau tidaknya yang kesurupan juga pada acara nyumpingkeun apakah
ada karuhun yang datang atau tidak, keyakinan seperti itu sekarang sudah mulai
diabaikan, karena pola pikir masyarakat pendukung kesenian tersebut sudah
berkembang, sehingga sukses dan tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada
upacara hormatan itu ditentukan dengan banyak atau sedikitnya tamu yang hadir.
Akan tetapi walaupun pandangan berbeda tetap tidak akan mengurangi nilai
kesakralan pada upacara hormatan.

Gambar 13
Acara nyumpingkeun

Rurukan (yang punya rumah) sudah mulai kasumpingan.

Gambar 14
Keris yang dihadirkan agar yang kasumpingan tetap kuat.

Gambar 15
Yang punya rumah (rurukan)
Sudah kuat untuk menari lagi

f. Nginebkeun (menyimpan kembali bibit padi)

Nginebkeun mempunyai makna menempatkan Dewi Sri pada tempatnya dengan


acara menyimpan kembali bibit padi yang tadi dikeluarkan selama upacara
hormatan dilaksanakan kembali ke ruangan tempat penyipanan
padi (pajemuhan/goah). Kegiatan ini merupakan acara terakhir dalam urutan
upacara hormatan, dan dilakukan menjelang adzan subuh

Gambar 16
Ibu-ibu sedang mengembalikan bibit padi ke tempatnya lagi (goah/pajemuhan)

GambGambar 17
Saehu dan Paibuan mengatur acara nginebkeun

0 komentar

Syarat Menjadi Saehu dan Paibuan


Author: Rian Saepuloh /

Untuk menjadi seorang pemimpin tentunya syarat yang paling utama yakni harus
dikenal dulu oleh anggotanya setelah dikenal kemudian aktif dalam kegiatan yang
diadakan oleh lingkungan sekitar. Sebagai contoh dalam kehidupan bermasyarakat
ada seorang pemimpin yang disebut dengan Kepala Desa atau Kuwu yang

membawahi sebuah Desa. Pemilihan Kuwu diadakan dengan pemilihan secara


langsung oleh masyarakat. Secara logika, masyarakat belum tentu memilih seorang
pemimpin apabila mereka sendiri tidak kenal dengan calon yang akan dipilih.
Seseorang dapat dipercaya menjadi Saehu ataupun Paibuan karena dalam setiap
pergelaran Tarawangsa yang diadakan di lingkungannya selalu hadir sehingga lamakelamaan akan tahu tata cara dan urutan dalam pelaksanaan upacara ritual,
kemudian anggota masyarakat yang lainnya memberikan kepercayaan.
Menjadi Saehu dan Paibuan bisa dijadikan jaminan akan menjadi tokoh di
masyarakat, ukuran kepemimpinan di Rancakalong pada umumnya bagaimana dia
menjadi Saehu atau Paibuan walaupun tidak secara otomatis. Seseorang dapat
menjadi Saehu Atau Paibuan apabila : Faham urutan acara, pelaku dalam
pergelaran, diturut oleh yang lain, tidak baku posisinya. Walaupun bukan
merupakan syarat yang khusus, akan tetapi secara umum untuk menjadi Saehu dan
Paibuan minimal memiliki kriteria seperti di atas. Menurut keterangan yang
diperoleh dari informan, pernah dalam suatu pemilihan kepala Desa di salah satu
Desa di kecamatan Rancakalong yang menjadi calonnya adalah seorang tokoh yang
dalam pergelaran Tarawangsa dipercaya sebagai Saehu.
Dari fenomena tersebut peneliti berasumsi bahwa pada masyarakat Rancakalong
kalau seseorang sudah mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat
pendukung kesenian lainnya, maka akan dipercaya pula pada lingkungan sosial
masyarakat dan kepercayaan tersebut akan tetap dipegang oleh masyarakat
sampai muncul lagi tokoh baru yang dipercaya oleh masyarakat pada generasi
selanjutnya.
Jabatan yang dipegang oleh Saehu dan Paibuan hanya merupakan jabatan yang
bersifat sementara yakni menjadi pemimpin hanya pada saat upacara berlangsung.
Setelah acara selesai, maka selesai pula Saehu dan Paibuan menjadi pemimpin.
Bukan pula jabatan yang turun-temurun, seperti halnya kepemimpinan dalam
sebuah kerajaan.
Pada setiap pergelaran Tarawangsa, yang menjadi Saehu dan Paibuan tidak akan
sama karena pada setiap daerah akan memiliki beberapa orang yang biasa menjadi
Saehu ataupun Paibuan. Akan tetapi keputusan siapa yang akan menjadi Saehu dan
Paibuan pada sebuah pergelaran Tarawangsa terletak pada kepercayaan yang
punya rumah (rurukan). Rurukan biasanya mempercayakan untuk menjadi Saehu
dan Paibuan kepada orang yang masih ada hubungan saudara/kerabat dengan
Rurukan. kalau saudara tidak ada yang biasa menjadi Saehu atau Paibuan, maka
rurukan akan memilih orang yang lebih dikenal dekat oleh rurukan, jadi tidak
sembarangan rurukan mempercayai seseorang untuk menjadi Saehu dan Paibuan.
Orang yang menjadi Saehu dan Paibuan biasanya berumur antara 40 sampai 50
tahunan, hal itu bukan suatu keharusan tetapi memang kebiasaannya seperti itu.
Dengan alasan kalau orang yang sudah tua sudah sering mengikuti pergelaran
Tarawangsa sehingga sedikitnya sudah sering pula mengikuti atau menyaksikan
tata urutan dalam pelaksanaan upacara hormatan terhadap Dewi Sri. Sebenarnya
kalau ada yang sudah mampu dan siap untuk menjadi Saehu ataupun Paibuan pada

umur 30 tahunan tidak apa-apa asalkan memang benar-benar siap dan juga sudah
mendapat kepercayaan dari masyarakat pendukungnya atau minimal di keluarga
dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya, hanya sampai saat ini baik Saehu
ataupun Paibuan belum ada yang berumur dibawah 40 tahunan.

0 komentar

Tugas Pemimpin Tarawangsa (Saehu & Paibuan)


Author: Rian Saepuloh /

Seperti telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, bahwa dalam suatu pergelaran
Tarawangsa yang diselenggarakan sebagai upacara hormatan selalu ada Saehu dan
Paibuan. Perlu di garis bawahi, betapa pentingnya peranan Saehu dan Paibuan pada
pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan kepada Dewi Sri serta arwaharwah leluhur (karuhun) karena berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
informan bahwa seorang Saehu dan Paibuan adalah sebagai penggerak, pengatur,
pengarah, dan promotor dalam pergelaran Tarawangsa, sehingga pada akhirnya
dapat dilihat hasil kerja dari Saehu dan Paibuan dengan sukses atau tidaknya suatu
pergelaran Tarawangsa.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada awalnya ditentukan oleh
banyak tidaknya orang yang kesurupan (kasumpingan). Tetapi sekarang telah
mengalami perubahan salah satunya diakibatkan oleh keadaan zaman yang
senantiasa dinamis, hal-hal yang berbau mistik seperti itu sudah mulai dihilangkan
dan lebih dimaknai secara logis seperti sesajen yang pada awalnya diyakini oleh
masyarakat sebagai persembahan untuk Dewi Sri dan para leluhur (karuhun), akan
tetapi kalu di telaah lagi sesajen itu merupakan salah satu ungkapan rasa syukur
yang punya rumah/yang punya hajat dari hasil kebun, ladang, sawah dan hasil
ternak, sehingga pada saat acara hormatan dipergelarkan hasil-hasil bumi tersebut
diperlihatkan kepada para tamu yang datang walaupun hanya sedikit-sedikit.
Sesajen itu juga merupakan sebuah simbol, bahwa dalam kehidupan kita tidak
hanya membutuhkan padi saja tetapi juga yang lainnya. Setelah pergelaran
Tarawangsa selesai, sesajen yang tadi disajikan diberikan kepada pemain musik
Tarawangsa.
Dengan semakin meningkatnya pendidikan masyarakat sehingga akan
mempengaruhi pola pikir masyarakatnya, sekarang orang sudah bisa merubah
keyakinan mengenai sukses tidaknya sebuah pergelaran tidak lagi ditentukan oleh
banyak tidaknya orang yang kesurupan, tetapi sebuah pergelaran dikatakan sukses
apabila banyak tamu yang hadir baik dari sekitar lingkungan tempat diadakannya
pergelaran Tarawangsa ataupun dari masyarakat luar lingkungan ataupun luar
daerah yang ingin menyaksikan pergelaran tersebut.

Saehu dan Paibuan hanya ada ketika Tarawangsa di pergelarkan sebagai upacara
hormatan kepada Dewi Sri dan Upacara-upacara lainnya yang berbungan dengan
siklus kehidupan manusia seperti kelahiran, khitanan, pernikahan dan lain
sebagainya. Ketika Tarawangsa dipergelarkan hanya dalam bentuk instrumental
ataupun untuk kebutuhan pengiring tari yang bukan untuk kebutuhan upacara ritual
tidak perlu ada Saehu dan Paibuan.
Baik Saehu maupun Paibuan merupakan orang yang pertama menari pada saat
pergelaran Tarawangsa. Biasanya diawali dengan Angkenan, dimana Saehu ataupun
Paibuan melakukan pemanggilan terhadap Dewi Sri serta para leluhur (karuhun)
untuk hadir pada acara tersebut yang digambarkan dengan gerak seperti sembahan
yang dilakukan ke empat arah (madhab) yakni arah timur, selatan, barat, dan utara
karena menurut keyakinan mereka tidak tahu Dewi Sri dan para leluhur (karuhun)
sedang ada dimana makanya dipanggilah ke setiap arah. Gerak pokok pada Saehu
yakni gerak badaya, berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Cucu. S tanggal
19 April 2007 yang dimaksud gerak badaya disini yakni gerak pembuka. Sedangkan
gerak pokok Paibuan yakni keupat eundang sebagai gerak pembuka juga. Dalam
buku karangan direktori seni pertunjukan tradisional diungkapkan bahwa.
Badaya Rancakalong, ditarikan secara tunggal oleh seorang laki-laki yang disebut
pangramaan (penari badaya) selama + menit. Sebelum menari, pangramaan duduk
menghadap sesajen yang terdiri dari seperangkat pakaian lengkap Dewi Sri,
tumpeng dan perlengkapan lainnya sambil membaca mantera lalu menyembah ke
empat madhab. Tari ini merupakan penghormatan kepada Dewi Sri (1999:28).
Akan tetapi berdasarkan keterangan hasil wawancara di atas tadi disebutkan bahwa
gerak badaya yang dibawakan oleh Saehu yakni berdiri seperti pada gambar 03 di
bawah ini,

Gambar 03
Saehu sedang gerak Badaya

Saat duduk Saehu hanya membacakan doa saja seperti tampak pada gambar 03.

Gambar 04
Saehu berdoa sebelum menari

Sedangkan Paibuan melakukan gerak badaya sambil duduk seperti tampak pada
gambar 04.

Gambar 05

Paibuan melakukan sembahan ke berbagai arah

Setelah peneliti menyaksikan pergelaran Tarawangsa di beberapa tempat yang


berbeda, peneliti berasumsi ketika Saehu melakukan gerak badaya ada yang sambil
duduk, ada pula yang sambil berdiri. Tetapi untuk Paibuan pada umumnya sama
yakni sambil duduk. Walaupun ada perbedaan tata cara, akan tetapi masyarakat
akan saling menerima perbedaan tersebut asal tidak mengurangi nilai-nilai
kesakralan dalam upacara hormatan yang dilaksanakan.
Istilah gerak yang khas untuk Paibuan disebut keupat eundang, geraknya memang
keupat sambil mengayunkan tangan tapi ditempat, dapat dilihat pada gambar 05.

Gambar 06
Paibuan bergerak keupat eundang
(Foto: Dewi Yulianti, 2006)

Tugas Saehu danPaibuan Pada Upacara Hormatan Dewi Sri


Di atas telah dipaparkan, bahwa peranan Saehu dan Paibuan itu sangatlah penting.
Saehu dan Paibuan berfungsi sebagai penggerak, pengatur, penuntun dan
pemimpin ketika Tarawangsa dipergelarkan sebagai upacara hormatan. Akan tetapi
jika Tarawangsa dipergelarkan hanya secara instrumental maka tidak perlu ada
Saehu dan Paibuan karena tidak ada urutan acara yang harus dilaksanakan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, Tugas
Saehu dan Paibuan dalam perglaran Tarawangsa yakni memeriksa sesajen yang
disiapkan yang berupa segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dari hasil
pertanian, peternakan, juga segala sesuatu yang biasa di konsumsi oleh manusia
untuk mempertahankan hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai