Ngebakan atau siraman bertujuan untuk memandikan calon mempelai wanita aga
bersih lahir dan bathin sebelum memasuki saat pernikahan.
Acara berlangsung pagi atau siang hari di kediaman calon mempelai wanita. Bagi
umat muslim , sebelum dimulai acara siraman terlebih dahulu diawali oleh
pengajian atau rasulan dan pembacaan doa khusus kepada calon mempelai wanita.
Prosesi yang tercakup dalam acara siraman adalah sebagai berikut :
Ngecagkeun Aisan
Dimulai dengan calon mempelai wanita keluar dari kamar secara simbolis di
gendong oleh Ibu. Sementara ayah calon mempelai wanita berjalan di depan sambil
membawa lilin menuju tempat siraman.
Ngaras
Berupa permohonan izin calon mempelai wanita kepada kedua orangtua dan
dilanjutkan dengan sungkeman serta mencuci kaki orang tua.Perlengkapan untuk
prosesi ini cukup sederhana hanya tikar dan handuk.
Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon mempelai wanita di bimbing oleh orang tua
menuju tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman dimulai oleh sang
Ibu , kemudian Ayah dan disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram biasanya
ganjil..antara 7, 9 atau 11 orang.
NGEUYEUK SEUREUH
Adalah prosesi adat dimana orang tua atau sesepuh keluarga memberikan nasehat
dan juga merupakan sex education bagi kedua calon mempelai yang dilambang
dengan tradisi atau benda benda yang ada dalam acara adat tersebut. Tata cara
ngeuyeuk seureuh adalah sebagai berikut :
Pangeuyeuk :
1. Tetua yang dipercaya atau pemandu acara memberikan 7 helai benang kanteh
sepanjang 2 jengkal kepada kedua calon mempelai untuk dipegang oleh masing
masing pada tiap ujungnya, sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta
doa restu.
2. Setelah itu Pangeuyeuk membawakan kidung berupa doa doa kepada Tuhan
YME sambil menaburkan beras kepada kedua calom mempelai, dengan maksud
agar keduanya kelak hidup sejahtera.
3. Kemudian kedua calon mempelai dikeprak ( dipukul pelan pelan ) dengan sapu
lidi, diiringi nasehat bahwa hidup berumah tangga kelak harus dapat memupuk
kasih sayang antara keduanya.
selalu ingat untuk berbagi dengan keluarga atau handai taulan yang kurang
mampu.
9. Berebut uang, dipimpin oleh pangeuyeuk dengan aba aba, kedua mempelai
mncari uang, beras, kunyit dan permen yang di tebar di bawah tikar. Artinya suami
dan istri harus bersama sama dalam mencari rejeki dalam rumah tangga.
Nyawer
Merupakan upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan
setelah acara akad nikah. Berlangsung di panyaweran ( di teras atau halaman ).
Kedua orang tua menyawer mempelai dengan diiringi kidung. Untuk menyawer,
menggunakan bokor yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen .
Kedua Mempelai duduk berdampingan dengan dinaungi payung, seiring kidung
selesai di lantunkan, isi bokor di tabur, hadirin yang menyaksikan berebut
memunguti uang receh dan permen.
Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan
Mempelai pria menginjak telur di baik papan dan elekan ( Batang bambu muda ),
kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, me
ngelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua.
Melambangkan pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu.
Huap Lingkung
Pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tua. Dimulai oleh para Ibunda yang
dilanjutkan oleh kedua Ayahanda.
Kedua mempelai saling menyuapi, Tersedia 7 bulatan nasi punar ( Nasi ketan
kuning ) diatas piring. Saling menyuap melalui bahu masing masing kemudian satu
bulatan di perebutkan keduanya untuk kemudian dibelah dua dan disuapkan kepada
pasangan .
Melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua
anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga
menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu
sama besarnya.
Pabetot Bakakak
Kedua mempelai duduk berhadapan sambil tangan kanan mereka memegang kedua
paha ayam bakakak di atas meja, kemudian pemandu acara memberi aba aba ,
kedua mempelai serentak menarik bakakak ayam tersebut hinggak terbelah. Yang
mendapat bagian terbesar, harus membagi dengan pasangannya dengan cara
digigit bersama.
Melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan
dinikmati bersama.
Upacara Seren Taun yaitu upacara adat yang intinya mengangkut padi (ngakut
pare) dari sawah ke leuit (lumbung padi) dengan menggunakan pikulan khusus
yang disebut rengkong dengan diiringi tabuhan musik tradisional. Selanjutnya di
adakan riungan (pertemuan) antara sesepuh adat/pemuka masyarakat dengan
pejabat pemerintah setempat. Dalam riungan tersebut antara lain Disampaikan
kabar gembira kepada pejabat setempat mengenai keberhasilan panen (hasil tani)
dan kesejahteraan masyarakat yang dicapai dalam kurun waktu yang telah dilalui.
Salah satu ciri khas upacara seren taun adalah melalukan seba, yaitu
menyampaikan aneka macam hasil panen kepada pejabat setempat agar ikut
menikmati hasil tani mereka. Salah satu tujuan upacara seren taun ini adalah
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilannya bertani serta
mengharapkan pada masa mendatang akan lebih berhasil lagi. Upacara seren taun
dapat dijumpai di Kasepuhan Sirnarasa Cisolok-Sukabumi Selatan, Cigugur Kuningan
dan Baduy-Lebak/Banten.
Upacara Ampih Pare adalah upacara menyimpan hasil panen padi dari
sawah/ladang ke tempat penyimpanan padi (pare) yang disebut leuit. Pada
pelaksanaannya para petani dengan memakai pakaian adat yang khas, memikul
hasil panennya dengan menggunakan alat pikul yang disebut rengkong. Selama
perjalanan alat pikul tersebut menimbulkan bunyi yang khas, upacara ampih pare
merupakan suatu prosesi pertunjukan kesenian yang khas. Terdapat di Kabupaten
Sumedang, Cianjur, Karawang dan Subang.
Upacara Ngarot dilaksanakan pada saat dimulainya musim tanam , yaitu pada awal
musim penghujan, saat musim tanam yang baik untuk menggarap tanah palawija di
Ladang. Pelaksanaannya dengan cara mengadakan keramaian berupa arak-arakan
menuju Bale Desa. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon
kepada sang Pencipta agar hasil berladangnya diberkahi dan dilimpahkan hasilnya
untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Upacara ini terdapat di daerah
Indramayu.
Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang
diterima oleh masyarakat berhasil baik. Upacara tradisi seperti ini terdapat di
Cirebon, pelaksanaan upacara ini di Makam Sunan Gunung Jati yang dipimpin oleh
Ki Penghulu. Setelah upacara ini selesai, biasanya di Alun-alun diselenggarakan
berbagai kesenian, sebagai acara puncaknya pergelaran Wayang Orang.
Upacara Pesta laut biasanya diselenggarakan di daerah pesisir jawa barat seperti
Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini dimaksudkan
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt atas hasil laut yang diperoleh para
nelayan, juga sebagai ungkapan permohonan agar para nelayan selalu selamat dan
sehat serta memperoleh hasil laut yang melimpah. Di dalam upacara tersebut
perahu-perahu nelayan dihiasi dengan berbagai ornamen berwarna-warni yang
dinaiki oleh para nelayan dan dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini
adalah para nelayan menghadiahkan kepala kerbau yang sudah dibungkus kain
putih kepada penguasa laut sebagai penolak bala. Perahu yang membawa sesajen
dan kepala kerbau berada di posisi paling depan dan diikuti perahu-perahu lainnya
yang ditumpangi para nelayan dan keluarganya serta masyarakat setempat. Perahu
melaju ke tengah laut mereka bersorak- ria sambil memainkan alat musik serta
menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan pencipta alam semesta, mereka
menikmati upacara tersebut. Sebelum kepala kerbau dihanyutkan di tengah laut,
mereka berdoa bersama untuk keselamatan. Pesta laut diadakan setahun sekali.
Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dipelihara
dan dihormati. Dalam daur hidup manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat
ritual adat seperti: upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak,
Perkawinan, Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan
dikenal upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai ungkapan
rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin dunia dan
akhirat. Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh
indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada
kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan
yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang
dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini
sudah jarang dilaksanakan.
dosol, menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus
dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan
disediakan bubur merah bubur putih.
Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang
harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi
ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan
kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan
kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara dengan
baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudarasaudaranya (kakak dan adiknya) sehingga tercapailah kebahagiaan.
4. Upacara Ekah
Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun anak kandung.
Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan, atau
ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
mengharapkan anak itu kelak menjadi orang yang saleh yang dapat menolong
kedua orang tuanya nanti di alam akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya
diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21
hari. Perlengkapan yangb harus disediakan adalah domba atau kambing untuk
disembelih, jika anak laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu
cukup seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja.
Domba yang akan disembelih untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang
memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba itu disembelih oleh ahlinya atau
Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan
kepada handai tolan.
5. Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah,
maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga
bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah.
Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada
pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai
hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka
makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuyk diperebutkan
oleh para tamu terutama oleh anak-anak.
6. Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi
dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan
ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang telah
mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran
dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai
perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting yang digantungi
perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk mencukur rambut bayi.
Pada saat itu mulailah para undangan berdoa dan berjanji atau disebut marhaban
atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan membacakan doa
yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan
itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
1. Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud
upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar
nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan
sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani
duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada
Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap
anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer
(dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan
makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu
melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih
cantik lagi.
2. Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih dari
najis . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan
salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan anak perempuan
diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih bayi, supaya tidak
malu. Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak usia
6 tahun. Dalam upacara sunatan selain paraji sunat, juga diundang para tetangga,
handai tolan dan kerabat..
Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan atau
direndam di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang dilakukan lagi
berhubung teknologi kesehatan sudah berkembang), kemudian dipangku dibawa ke
halaman rumah untuk disunat oleh paraji sunat (bengkong), banyak orang yang
menyaksikan diantaranya ada yang memegang ayam jantan untuk disembelih, ada
yang memegang petasan dan macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan
marhaba. Bersamaan dengan anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai
bela, petasan disulut, dan tetabuhan dibunyikan . Kemudian anak yang telah
disunat dibawa ke dalam rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah
itu para undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka
memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan
dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang menyelenggarakan
hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka tarian.
Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum
akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah
orang tua kedua mempelai, mereka duduk berhadapan dengan penghulu yang di
kanan kirinya didampingi oleh 2 orang saksi dan para undangan duduk berkeliling.
Yang mengawinkan harus wali dari mempelai perempuan atau mewakilkan kepada
penghulu. Kalimat menikahkan dari penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari
mempelai pria disebut qobul (kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik
selanjutnya mempelai pria membacakan talek, yang bermakna janji dan
menandatangani surat nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari
mempelai pria kepada mempelai wanita.
Upacara ini adalah merupakan upacara keagamaan. Maulud Nabi Muhammad SAW
adalah peringatan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW dimana sejumlah
masyarakat berkumpul berdatangan dari berbagai daerah di luar Kota Cirebon
untuk mengikuti upacara tersebut. Setelah selesai upacara dilanjutkan dengan
ziarah ke makam para wali dan kramat-kramat lainnya, baik dari masyarakat
Cirebon maupun masyarakat dari luar daerah. Di tiap daerah pun diadakan
peringatan Maulud Nabi Muhammad Saw, dengan cara pengajian dan pembacaan
solawat kepada Nabi Muhammad Saw disertai ceramah keagamaan.
Di setiap daerah di Jawa Barat khususnya bagi umat Islam, setiap tanggal 27 bulan
Rajab biasa dilakukan peringatan Isro Miraj. Isro yaitu hijrahnya Nabi Muhammad
dari masjidil Haram Mekah ke mesjidil Aqso. Sedangkan Miraj adalah peristiwa
naiknya Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dan diberikannya wahyu untuk
melaksanakan sholat 5 waktu sehari. Pada pelaksanaan peringatan Isra Miraj biasa
diadakan pengajian, pembacaan solawat dan ceramah keagamaan. Hal ini
dimaksudkan agar manusia dalam menjalankan hidupnya harudisertai dengan
peningkatan ibadah terhadap Allah SWT. Seusai kegiatan tersebut biasa diadakan
makan nasi tumpeng bersama.
Setelah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, pada tanggal 1 Syawal
merupakan hari raya Idul fitri atau hari lebaran, yaitu hari dimana umat Islam
merayakan hari yang penuh kesucian dan kebebasan, bebas dari puasa dan bebas
dari dosa. Pagi hari setelah solat subuh, umat Islam yang merayakan Lebaran solat
berjamaah di lapangan atau di mesjid, mendengarkan ceramah dan berdoa.
Setelah itu bersalaman saling memaafkan. Begitu pula sesampainya di rumah
diadakan upacara sungkeman, orang tua duduk berdampingan, anak-anaknya
sungkem bersalaman saling memaafkan antara anggota keluarga. Setelah itu
makan bersama yaitu makan khas Lebaran ketupat beserta lauk-pauk dan
makanan lainnya khas lebaran. Selanjutnya mereka dengan baju barunya pergi ke
nanpunya.wordpress.com
padmaloka-tradisi.blogspot.com
DAFTAR ISTILAH
Author: Rian Saepuloh /
Anggoan : pakaian, bahasa halus dari pakean. Panganggo, adat kebiasaan; bahasa
halus dari pamake.
Bewara : berita, kabar
Bungsu : bontot, terakhir, termuda (anak).
Canoli : seorang perempuan yang sudah tua dan yang di tuakan untuk mengatur di
dalam goah
Goah : kamar untuk menyimpan beras dan makanan lainnya.
Jangjawokan : mantra
Karembong : selendang
Karuhun : leluhur, nenek moyang.
Kasumpingan : kedatangan
Keupat : lenggang
Lalayaran : berlayar
Mubah : mubazir, pekerjaan sia-sia.
Netes : meneteskan air
0 komentar
Fungsi Tarawangsa
Author: Rian Saepuloh /
v saehu
Mwenggunakan kukus
Pangradinan
0 komentar
Lagu-lagu Tarawangsa
Author: Rian Saepuloh /
Bentuk dan makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa (dilihat dari judul-judul
lagu) adalah sebagai berikut:
a. Pangemat, berasal dari kata ngemat yang artinya memanggil, dalam hal ini yaitu
menggambarkan pemanggilan Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara
berlangsung.
b. Panimang, berasal dari kata nimang yang artinya mengayun-ayun hal tersebut
melukiskan Dewi Sri sedang ditimang-timang.
c. Pamapag, berasal dari kata papag yang berarti jemput, hal tersebut
menggambarkan penjemputan datangnya Dewi Sri.
d. Pangapungan, berasal dari kata ngapung yang berarti terbang, hal ini
menggambarkan Dewi Sri sedang terbang.
e. Panganginan, berasal dari kata ngangin yang berarti istirahat, yang
menggambarkan jika Dewi Sri sedang beristirahat.
f. Lalayaran, berasal dari kata lalayar yang artinya tamasya yang menggambarkan
Dewi Sri sedang bertamasya.
g. Bangbalikan, berasal dari kata balik yang berarti pulang hal tersebut
menggambarkan proses mengantarkan pulangnya Dewi Sri ke dalam ruangan
penyimpanan.
0 komentar
Kalau tidak ada sesuatu hal yang membedakan antara pemimpin dan masyarakat,
maka orang setiap orang dalam masyarakat akan merasa sama. Akan tetapi, ketika
seorang pemimpin memiliki ciri khas baik dari pakaian ataupun properti yang
digunakannya maka sudah barang tentu ada perbedan dengan anggotanya. Seperti
telah diungkapkan oleh Burke mengenai teori pembentukan identitas.
Dalam pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan ada yang dijadikan
pemimpin untuk melaksanakan rangkaian upacara hormatan tersebut yang disebut
Saehu untuk pemimpin penari laki-laki dan Paibuan untuk pemimpin penari
perempuan. Kita dapat membedakan antara Saehu dan Paibuan dengan penari
yang lainnya/tamu ketika menari yakni dari benda yang digunakan. Pada saat
menari Saehu menggunakan;
a. Ikat kepala (dalam bahasa sunda totopong)
Gambar 18
Totopong (ikat kepala
b. Kain matra kusumah (sinjang rereng)
Gambar 19
Sinjang Rereng
c. Keris.
Gambar 20
Keris
Gambar 21
Renda
Gambar 22
Gelang dan Sisir
Sisir digunakan oleh Paibuan yang tidak berjilbab, tetapi jika Paibuannya berjilbab
sisir yang disediakan tidak dipakai juga tidak apa-apa.
Benda-benda yang dipakai oleh Paibuan pada saat nema paibuan dapat
dipindahkan kepada orang yang sudah kedatangan roh nenek moyang (dalam
bahasa sunda kasumpingan). Berdasakan keterangan yang diperoleh dari informan
ketika seseorang sudah kedatangan (kasumpingan) maka akan kelihatan dari gerak
yang dibawakan akan kelihatan sangat diresapi dan juru saksi (dalam bahasa sunda
tukang ngukus) yang dapat melihat apakah seseorang kasumpingan benar-benar
atau hanya pura-pura.
Benda yang dipakai sebagai tanda menyerahkan giliran menari dari laki-laki kepada
perempuan yaitu selendang berwarna putih, hijau, dan merah.
Gambar 23
Selendang (karembong)
Selendang tersebut merupakan gambaran dari manusia, dimana selendang warna
putih menggambarkan manusia yang baru lahir, masih suci belum punya dosa.
Kemudian warna hijau menggambarkan manusia yang menginjak dewasa, dan
warna merah menggambarkan manusia yang sudah berlumur dosa. Dalam
pergelaran Tarawangsa orang yang menari pertama akan memakai selendang
warna putih, kemudian setelah mulai dapat merasakan tempo, irama dan
menghayati musik dan gerak maka ditambah dengan selendang berwarna hijau,
apabila sudah mencapai puncak atau sudah kasumpingan (kedatangan roh) maka
ditambah lagi dengan selendang berwarna merah. Apabila sudah tidak tertahan lagi
atau sudah kelihatan tidak karuan geraknya maka dinetralkan lagi dengan
selendang wulung sehingga penari kembali tenang, seperti halnya keris selendang
wulung juga diyakini memiliki kekuatan untuk memberikan ketenangan.
Gambar 24
Karembong Wulung
Dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan pergelaran Tarawangsa pada upacara
hormatan merupakan cerminan hidup yang harus tetap dipertahankan oleh
masyarakat pendukungnya, karena sangat mengandung nilai sosial yang tinggi,
salah satunya nilai gotong-royong.
0 komentar
Gambar 07
Saehu dan Paibuan memimpin acara Ngalungsurkeun
Gambar 08
Salah seorang kasepuhan sedang menyimpan benih padi dekat sesajen
b. Netes
Acara ini dilakukan oleh seorang ibu (canoli). Kegiatan yang dilakukan yakni
meneteskan air dengan daun sirih kedalam setiap tempat bibit padi sambil
bernyanyi (dalam bahasa sunda ngahaleuang) yang berisi doa dan harapan agar
bibit padi yang kelak akan ditanam dapat membuahkan hasil yang baik. Menurut
keterangan biasanya doa tersebut berbentuk mantra (jangjawokan) dengan
memiliki keyakinan Dewata Maring Manusa, Manusa Maring Dewata yang artinya
bahwa dalam kehidupan kita tidak akan lepas dari pengaruh-pengaruh roh leluhur
atau arwah-arwah yang dikeramatkan (karuhun), kalau kita berdekatan saling
menghargai.
Gambar 09
Salah seorang kasepuhan (canoli) sedang berdoa sebelum netes
Gambar 10
Kasepuhan (canoli) sedang netes
c. Nema Paibuan
Pada nema paibuan ini ada lima orang penari perempuan yakni Paibuan, yang
punya rumah, dan tiga orang penari dari grup Tarawangsa.
Nema sendiri artinya bertemu, disini yang pertama menari adalah Paibuan dengan
lagu saur atau sering disebut saur pangembat dengan maksud memberikan
pengumuman (bewara) kepada tamu yang hadir bahwa akan kedatangan Dewi Sri
yang datang dengan berlayar yang digambarkan dengan lagu lalayaran kemudian
diikuti oleh penari yang lainnya saling bergantian, sampai selesai yang lima orang
tadi.
Gambar 11
Memindahkan benda-benda sebagai ciri Paibuan kepada penari lain yang sudah
kasumpingan.
Gambar 12
Tamu perempuan yang hadir sedang menari
e. Nyumpingkeun (pohaci/icikibung)
Kegiatan ini diawali oleh Paibuan dengan menari sambil memanggil (nyambat) Dewi
Sri dan arwah para leluhur (karuhun) dengan kalimat seperti berikut: mangga nyi
prapohaci enggal gera ngaluuh, disuhunkeun enggal sumping kalimat tersebut
bukan suatu kalimat yang baku harus diucapkan oleh Paibuan ketika nyambat,
tetapi kalimat ungkapan sendiri. Jadi setiap Paibuan akan berbeda-beda saat
nyambat, bahkan dari seorang paibuan saja dari satu tempat ke tempat lain akan
berbeda pula yang diucapkannya. Setelah nyambat selesai, Paibuan menari yang
kemudian diikuti oleh tamu perempuan. Berdasakan keterangan yang diperoleh dari
informan yang biasa menjadi Paibuan ketika mereka sudah kasumpingan akan
merasakan bahwa dia menjadi sosok karuhun yang datang. Siapa yang datang nanti
akan tercermin dalam gerakan, ada yang gagah berarti yang datangnya karuhun
laki-laki, kalau bergeraknya mengalun, halus, yang datang berarti perempuan. Pada
acara nyumpingkeun ini arwah leluhur yang dipanggil biasanya dari leluhur keluarga
yang punya hajat, dan datangnya (sumping) harus kepada yang punya rumah
(rurukan). Kalau tidak datang (sumping) kepada yang punya rumah mereka
menganggap acara yang diselenggarakan oleh rurukan itu kurang bermanfaat
(ungkapan informan mubah). Ketika rurukan sudah kasumpingan maka penari yang
lainnya mengelilingi rurukan, kalau tidak dikelilingi bisa saja sampai jatuh karena
badan yang kasumpingan akan terasa lemas (keterangan dari ibu Ayo). Untuk
membantu agar tetap kuat dihadirkan keris yang mereka yakini secara magis dapat
memberikan kekuatan kepada yang kasumpingan.
Kejadian tersebut memang kalau secara logis tidak akan dimengerti, akan tetapi
peneliti memiliki pandangan bahwa ketika dalam nyumpingkeun itu sebenarnya
hanya sugesti dari penari saja yang sedang membayangkan atau ingat kepada para
leluhurnya, dengan iringan musik yang mengalun bergerak mengikuti alunan,
sehingga mereka membayangkan para leluhur (karuhun) mereka sedang ikut pula
menari.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa dalam acara hormatan dilihat
dari banyak atau tidaknya yang kesurupan juga pada acara nyumpingkeun apakah
ada karuhun yang datang atau tidak, keyakinan seperti itu sekarang sudah mulai
diabaikan, karena pola pikir masyarakat pendukung kesenian tersebut sudah
berkembang, sehingga sukses dan tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada
upacara hormatan itu ditentukan dengan banyak atau sedikitnya tamu yang hadir.
Akan tetapi walaupun pandangan berbeda tetap tidak akan mengurangi nilai
kesakralan pada upacara hormatan.
Gambar 13
Acara nyumpingkeun
Gambar 14
Keris yang dihadirkan agar yang kasumpingan tetap kuat.
Gambar 15
Yang punya rumah (rurukan)
Sudah kuat untuk menari lagi
Gambar 16
Ibu-ibu sedang mengembalikan bibit padi ke tempatnya lagi (goah/pajemuhan)
GambGambar 17
Saehu dan Paibuan mengatur acara nginebkeun
0 komentar
Untuk menjadi seorang pemimpin tentunya syarat yang paling utama yakni harus
dikenal dulu oleh anggotanya setelah dikenal kemudian aktif dalam kegiatan yang
diadakan oleh lingkungan sekitar. Sebagai contoh dalam kehidupan bermasyarakat
ada seorang pemimpin yang disebut dengan Kepala Desa atau Kuwu yang
umur 30 tahunan tidak apa-apa asalkan memang benar-benar siap dan juga sudah
mendapat kepercayaan dari masyarakat pendukungnya atau minimal di keluarga
dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya, hanya sampai saat ini baik Saehu
ataupun Paibuan belum ada yang berumur dibawah 40 tahunan.
0 komentar
Seperti telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, bahwa dalam suatu pergelaran
Tarawangsa yang diselenggarakan sebagai upacara hormatan selalu ada Saehu dan
Paibuan. Perlu di garis bawahi, betapa pentingnya peranan Saehu dan Paibuan pada
pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan kepada Dewi Sri serta arwaharwah leluhur (karuhun) karena berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
informan bahwa seorang Saehu dan Paibuan adalah sebagai penggerak, pengatur,
pengarah, dan promotor dalam pergelaran Tarawangsa, sehingga pada akhirnya
dapat dilihat hasil kerja dari Saehu dan Paibuan dengan sukses atau tidaknya suatu
pergelaran Tarawangsa.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada awalnya ditentukan oleh
banyak tidaknya orang yang kesurupan (kasumpingan). Tetapi sekarang telah
mengalami perubahan salah satunya diakibatkan oleh keadaan zaman yang
senantiasa dinamis, hal-hal yang berbau mistik seperti itu sudah mulai dihilangkan
dan lebih dimaknai secara logis seperti sesajen yang pada awalnya diyakini oleh
masyarakat sebagai persembahan untuk Dewi Sri dan para leluhur (karuhun), akan
tetapi kalu di telaah lagi sesajen itu merupakan salah satu ungkapan rasa syukur
yang punya rumah/yang punya hajat dari hasil kebun, ladang, sawah dan hasil
ternak, sehingga pada saat acara hormatan dipergelarkan hasil-hasil bumi tersebut
diperlihatkan kepada para tamu yang datang walaupun hanya sedikit-sedikit.
Sesajen itu juga merupakan sebuah simbol, bahwa dalam kehidupan kita tidak
hanya membutuhkan padi saja tetapi juga yang lainnya. Setelah pergelaran
Tarawangsa selesai, sesajen yang tadi disajikan diberikan kepada pemain musik
Tarawangsa.
Dengan semakin meningkatnya pendidikan masyarakat sehingga akan
mempengaruhi pola pikir masyarakatnya, sekarang orang sudah bisa merubah
keyakinan mengenai sukses tidaknya sebuah pergelaran tidak lagi ditentukan oleh
banyak tidaknya orang yang kesurupan, tetapi sebuah pergelaran dikatakan sukses
apabila banyak tamu yang hadir baik dari sekitar lingkungan tempat diadakannya
pergelaran Tarawangsa ataupun dari masyarakat luar lingkungan ataupun luar
daerah yang ingin menyaksikan pergelaran tersebut.
Saehu dan Paibuan hanya ada ketika Tarawangsa di pergelarkan sebagai upacara
hormatan kepada Dewi Sri dan Upacara-upacara lainnya yang berbungan dengan
siklus kehidupan manusia seperti kelahiran, khitanan, pernikahan dan lain
sebagainya. Ketika Tarawangsa dipergelarkan hanya dalam bentuk instrumental
ataupun untuk kebutuhan pengiring tari yang bukan untuk kebutuhan upacara ritual
tidak perlu ada Saehu dan Paibuan.
Baik Saehu maupun Paibuan merupakan orang yang pertama menari pada saat
pergelaran Tarawangsa. Biasanya diawali dengan Angkenan, dimana Saehu ataupun
Paibuan melakukan pemanggilan terhadap Dewi Sri serta para leluhur (karuhun)
untuk hadir pada acara tersebut yang digambarkan dengan gerak seperti sembahan
yang dilakukan ke empat arah (madhab) yakni arah timur, selatan, barat, dan utara
karena menurut keyakinan mereka tidak tahu Dewi Sri dan para leluhur (karuhun)
sedang ada dimana makanya dipanggilah ke setiap arah. Gerak pokok pada Saehu
yakni gerak badaya, berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Cucu. S tanggal
19 April 2007 yang dimaksud gerak badaya disini yakni gerak pembuka. Sedangkan
gerak pokok Paibuan yakni keupat eundang sebagai gerak pembuka juga. Dalam
buku karangan direktori seni pertunjukan tradisional diungkapkan bahwa.
Badaya Rancakalong, ditarikan secara tunggal oleh seorang laki-laki yang disebut
pangramaan (penari badaya) selama + menit. Sebelum menari, pangramaan duduk
menghadap sesajen yang terdiri dari seperangkat pakaian lengkap Dewi Sri,
tumpeng dan perlengkapan lainnya sambil membaca mantera lalu menyembah ke
empat madhab. Tari ini merupakan penghormatan kepada Dewi Sri (1999:28).
Akan tetapi berdasarkan keterangan hasil wawancara di atas tadi disebutkan bahwa
gerak badaya yang dibawakan oleh Saehu yakni berdiri seperti pada gambar 03 di
bawah ini,
Gambar 03
Saehu sedang gerak Badaya
Saat duduk Saehu hanya membacakan doa saja seperti tampak pada gambar 03.
Gambar 04
Saehu berdoa sebelum menari
Sedangkan Paibuan melakukan gerak badaya sambil duduk seperti tampak pada
gambar 04.
Gambar 05
Gambar 06
Paibuan bergerak keupat eundang
(Foto: Dewi Yulianti, 2006)