Anda di halaman 1dari 6

BAYI TABUNG

A. Sejarah Bayi Tabung


Program bayi tabung pertama kali diprakarsai oleh dr.Robert Edwards dan
dr.Patrick Stepto. Pada tahun 1978 dunia digemparkan dengan berita keberhasilan proses
bayi tabunng dengan lahirnya bayi perempuan bernama Louise Brown yang lahir pada
tanggal 25 Juli 1978 dirumah sakit Oldham General Hospital, Inggris. Setelah kejadian
bayi tabung pertama ini banyak pasangan yang punya masalah kesuburan melirik untuk
mengikuti program bayi tabung. Pada awalnya tingkat keberhasilan sekitar 4%, yang
artinya dari 100 pasangan hanya 4 yang berhasil melahirkan bayi dengan proses bayi
tabung. Dengan teknologi yang semakian maju tingkat keberhasilannya sekarang menjadi
lebih baik sekitar 30%. Diindonesia, bayi tabung pertama bernama Nugroho Karyanto
lahir pada tanggal 2 Mei 1988 di Rumah Sakit Ibu dan Anak Harapan Kita, Jakarta. Oleh
tim dokter yang dipimpin oleh Prof.DR.dr. Sudradji Sumapraja, SpOG.
B. Definisi
Definisi Fertilisasi in vitro atau umumnya disebut bayi tabung adalah proses
fertilisasi dengan mempertemukan sel telur dan sperma secara manual di dalam cawan
laboratorium (American Pregnancy Association). Apabila proses ini berhasil maka akan
dilanjutkan dengan proses lain yaitu pemindahan embrio yang bertujuan menempatkan
embrio di dalam uterus.
C. Prosedur
Secara umum dapat dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah
mengawasi dan menstimulasi perkembangan sel telur yang sehat dalam ovarium.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan sel-sel telur yang siap dibuahi. Setelah
persiapan sel telur, sperma sehat dari laki-laki diambil untuk membuahi sel telur. Tahap
yang menentukan adalah mempertemukan sel telur dan sel sperma bersama di dalam
wadah steril di laboratorium. Penyediaan lingkungan yang sesuai untuk fertilisasi dan

perkembangan awal juga merupakan hal yang wajib diperhatikan. Embrio yang telah
terbentuk di dalam cawan steril dipindahkan ke dalam uterus ibunya.
D. Pelaksanaan
a. Tahap 1
Digunakan obat untuk mengontrol waktu pematangan sel telur dan meningkatkan
kemungkinan mendapatkan jumlah sel telur yang lebih banyak selama satu siklus
ovulasi wanita; disebut induksi ovulasi. Jumlah sel telur yang banyak sangat
diharapkan karena beberapa sel telur terkadang tidak dapat matang atau tidak dapat
berkembang setelah dibuahi. Perkembangan sel telur diawasi dengan menggunakan
ultrasonografi untuk memeriksa ovarium, dan urin atau darah untuk memeriksa kadar
hormon pasien.
b. Tahap 2
Sel telur kemudian diambil melalui operasi minor dengan bantuan ultrasonografi
untuk menuntun jarum yang digunakan untuk mengambil sel telur melalui rongga
pelvis. Pembiusan atau anestesi lokal diperlukan dalam prosedur ini. Sel telur diambil
dari ovarium menggunakan jarum, tindakan ini biasa disebut aspirasi folikuler.
Beberapa wanita mengalami kram pada saat pengambilan, selain itu rasa penuh atau
tekanan pada perut yang dapat dirasakan hingga beberapa minggu setelah tindakan.
c. Tahap 3
Pengumpulan sperma yang akan membuahi sel telur.
d. Tahap 4
Proses tahap ini biasa disebut inseminasi, sel telur dan sperma ditempatkan pada
inkubator di laboratorium dimana fertilisasi dapat terjadi. Pada beberapa kasus
dengan fertilisasi diduga rendah, digunakan metode lain yaitu intracytoplasmic sperm
injection (ICS). Melalui prosedur ini, sperma tunggal dapat diinjeksikan secara
langsung ke sel telur agar terjadi fertilisasi. Sel telur akan diawasi untuk
mengkonfirmasi terjadinya fertilisasi dan pembelahan sel. Apabila telah terjadi
pembelahan sel, maka sel telur yang telah dibuahi tersebut disebut embrio.
e. Tahap 5
Embrio biasanya dipindahkan ke dalam uterus antara hari pertama hingga keenam
setelah terbentuk, paling sering pada hari kedua atau ketiga; pada saat sel embrio

telah membelah menjadi dua hingga empat sel. Proses pemindahan ini dilakukan
dengan menggunakan spekulum agar serviks jelas terlihat. Kemudian beberapa
embrio di dalam cairan akan ditempatkan ke dalam uterus melalui kateter. Proses ini
dilakukan dengan bantuan ultrasonografi. Tindakan ini biasanya tidak menimbulkan
nyeri, namun pada beberapa pasien dapat mengakibatkan kram ringan.
Setelah tahap ke lima, istirahat dan diawasi apakah ada gejala kehamilan. Tes
ultrasonografi dan tes darah dapat digunakan untuk melihat apakah telah terjadi
implantasi dan kehamilan.
E. Skrining sebelum fertilisasi in vitro
Sebelum melakukan prosedur fertilisasi in vitro, setiap pasangan harus menjalani
beberapa tes dan pemeriksaan; di antaranya analisis semen, pemeriksaan saluran
reproduksi wanita menggunakan hysterosalpingography, USG transvaginal atau
keduanya, serta tes untuk mendeteksi ovulasi.
Karena respons dan fertilitas pada usia yang sudah lanjut bervariasi besar,
dilakukan tes tambahan untuk deteksi ovarian reserve pada wanita yang akan melakukan
fertilisasi in vitro. Berkurangnya ovarian reserve bermanifestasi sebagai kurangnya
respon ovarium terhadap pengobatan untuk menstimulasi ovulasi, sehingga hanya
terdapat sedikit sel telur yang dihasilkan, mengakibatkan lebih sedikit embrio dan tingkat
kehamilan yang lebih rendah. Banyak wanita dengan masalah infertilitas ternyata
disebabkan oleh berkurangnya ovarian reserve. Berkurangnya ovarian reserve biasanya
didiagnosis berdasarkan serum FSH yang meningkat (>12mIU per millimeter) pada
siklus hari ketiga atau dengan menemukan volume ovarium yang rendah dengan USG
transvaginal (<3ml per ovarium). Diagnosis juga dapat ditegakkan apabila hanya terdapat
sedikit folikel antrum (<10 folikel antrum dengan diameter antara 2-10 mm). Tes-tes
tersebut sebenarnya bukan merupakan tes yang ideal. Hasil tes positif menunjukkan
abnormalitas; angkanya lebih rendah pada wanita dengan usia di bawah 35 tahun
daripada wanita dengan usia yang lebih tua.

Pada wanita berusia di atas 40 tahun, walaupun hasil tes normal, kesempatan
hamil lebih kecil. Hasil tes ovarian reserve dapat memberikan informasi mengenai
prosedur stimulasi ovarium yang akan dilakukan.
F. Risiko Fertilisasi in vitro
a. Gestasi multiple
Secara umum, transfer lebih dari satu embrio mengakibatkan tingkat kehamilan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan transfer embrio tunggal; namun dapat
meningkatkan risiko terjadinya gestasi multipel.
Kelahiran ganda merupakan komplikasi tersering dari fertilisasi in vitro. Di
Amerika Serikat pada tahun 2003, didapatkan 31% kehamilan ganda, 3% kehamilan
triplet atau lebih dan hanya 1% dengan gestasi multipel spontan tanpa prosedur
fertilisasi in vitro.
Gestasi multipel didapatkan sebanyak 3% dari seluruh kelahiran hidup di Amerika
Serikat; 23% di antaranya mengalami kelahiran prematur serta 26% memiliki berat
lahir yang rendah <1500 g.Penelitian menunjukkan bayi kembar hasil fertilisasi in
vitro lebih banyak berada di neonatal intensive care unit (NICU) dan membutuhkan
lebih banyak operasi intervensi, dan perkembangan berbicara lebih lambat daripada
bayi hasil fertilisasi in vitro tunggal.
Risiko lain gestasi multipel bagi ibu adalah kelahiran prematur, perdarahan
persalinan, hipertensi dan membutuhkan istirahat yang lebih banyak dibandingkan
dengan ibu yang memiliki bayi tunggal.
Untuk mengurangi insiden gestasi multipel, di berbagai negara telah dikeluarkan
hukum dan asuransi yang mengatur jumlah embrio yang dapat ditransfer setiap siklus
fertilisasi in vitro. Hal tersebut telah berhasil menurunkan angka kelahiran multipel
dari fertilisasi in vitro.
b. Efek samping perinatal
Efek samping fertilisasi in vitro masih dapat terjadi walaupun pada kehamilan
tunggal; antara lain kematian perinatal, persalinan preterm, dan bayi lahir dengan
berat badan rendah. Efek samping lain antara lain gestational diabetes, plasenta

previa, preeklampsia dan bayi lahir mati. Penyebab efek samping perinatal ini hingga
saat ini masih belum diketahui dengan jelas.
c. Kelainan kongenital
Pada pasien yang mengikuti program fertilisasi in vitro, beberapa kelainan
kongenital sering terjadi; antara lain kelainan kardiovaskular, muskuloskeletal dan
sindrom tertentu. Teknik injeksi sperma juga tidak menurunkan terjadinya kelainan
kongenital.
Penyebab peningkatan kongenital setelah prosedur fertilisasi in vitro dengan atau
tanpa injeksi sperma, hingga saat ini belum jelas. Beberapa hipotesis menduga
disebabkan oleh proses selama prosedur fertilisasi in vitro. Yang lain menyebutkan
bahwa terpajan kultur dalam waktu lama juga dapat mengakibatkan kelainan
kongenital. Hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti kelainan kongenital pada
bayi fertilisasi in vitro.
d. Risiko gangguan kesehatan maternal
Sindrom hiperstimulasi ovarium yang merupakan akibat stimulasi gonadotropin
pada prosedur fertilisasi in vitro, merupakan salah satu gangguan yang mungkin
muncul. Sindrom tersebut mengakibatkan pembengkakan ovarium, nyeri pelvis,
ketidakseimbangan cairan hemodinamik dan sering juga asites. Kelainan tersebut
menurunkan kesehatan maternal pada proses fertilisasi in vitro.
Faktor lain yang diduga juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan maternal
adalah pajanan terhadap estradiol dan progesteron dosis tinggi.
Pajanan estradiol dan progesteron dosis tinggi dalam jangka panjang diduga
merupakan faktor risiko kanker payudara dan ginekologis, meskipun belum terbukti;
pada penelitian epidemiologis di Australia terhadap 20.000 wanita yang
mengkonsumsi obat fertilitas, insiden kanker pada populasi ini tidak lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.

DAFTAR PUSTAKA

Aslinya sih dari


http://www.kalbemed.com/Portals/6/35_186Opinitinjauanteknikreproduksi.pdf tapi doi
ngutip dari ini :

1. Vorish BJ. In vitro fertilization. NEJM 2007:4(1);379-86


2. Retzloff MG, Hornstein MD. Is intracytoplasmic sperm injection safe? Fertil Steril
2003;80:851-9
3. Katalinic A, Rsch C, Ludwig M. Pregnancy course and outcome after intracytoplasmic
sperm injection: a controlled, prospective cohort study. Fertil Steril 2004;81:1604-16
4. Niemitz EL, Feinberg AP. Epigenetics and assisted reproductive technology: a call for
investigation. Am J Hum Genet 2004;74:599-609
5. Venn A, Watson L, Bruinsma F, Giles G, Healy D. Risk of cancer after use of fertility

drugs with in-vitro fertilisation. Lancet 1999;354:1586-90

Anda mungkin juga menyukai