Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Tumbuhan tapak dara berasal dari Amerika tengah, umumnya ditanam
sebagai tanaman hias. Tapak darah bisa hidup di tempat terbuka atau
terlindung pada bermacam-macam iklim, ditemukan dari dataran rendah
sampai ketinggian 800 m dpl (Dalimartha, 2008)

Gambar 1 : Tapak dara (Catharanthus roseus (L.) G. Don).


Tumbuhan tapak dara salah satu tumbuhan yang sangat dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Tumbuhan ini bisa ditemukan di berbagai tempat
dengan iklim yang berbeda-beda. Bunga tapak dara (Catharanthus roseus (L.)
G. Don) yang juga kerap disebut dengan kembang sari Cina, kembang
serdadu, atau tapak dara ini ternyata memiliki banyak khasiat sebagai obat.
Ada pun yang banyak dipakai sebagai obat adalah tapak dara yang tajuknya
putih. Tanaman ini sifatnya parennial, artinya hidup selama kurang lebih dua
tahunan (Pandiangan, Nainggolan, 2006).

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan


Berdasarkan pustaka, berikut klasifikasi secara umum dari
tumbuhan Tapak dara (Catharanthus roseus) :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Gentianales

Family

: Apocynaceae

Genus

: Catharanthus

Spesies

: Catharanthus roseus (L.) G. Don.

(Dalimartha, 2008).
2.1.2 Morfologi Tumbuhan
Terna atau semak, menahun, tumbuh tegak, tinggi mencapai 120
cm, banyak bercabang. Batang bulat, bagian pangkal berkayu,
berambut halus, warnanya merah tengguli. Daun tunggal, agak tebal,
bertangkai pendek, berhadapan bersilang. Helai daun elips, ujung
runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, kedua
permukaan daun mengkilap, dan berambut halus. Perbungaan
majemuk, keluar dari ujung tangkai dan ketiak daun dengan lima helai
mahkota bunga berbentuk terompet, warnanya ada yang putih, merah
muda, atau putih dengan bercak merah di tengahnya. Buahnya buah
bumbu berbulu, menggantung, berisi banyak biji berwarna hitam.
Perbanyakan dengan biji, setek batang atau akar. (Dalimartha, 2008).

2.1.3 Nama Daerah


Perwinkle (Inggris), Chang Chun Hua (Cina); Keminting Cina,
Rumput Jalang (Malaysia); Tapak Dara (Indonesia), Kembang Sari
Cina (Jawa); Kembang Tembaga Beureum (Sunda) (Pandiangan,
Nainggolan, 2006).
2.1.4 Kandungan Kimia
Herba mengandung lebih dari 70 macam alkaloid, termasuk 28
bi-indole alkaloid. Pada bagian daun tapak darah terdapat komponen
antikanker yaitu senyawa alkaloid seperti vinblastin (VLB), vinkristin
(leurokristin =VCR), leurosin (VLR), serta pada bagian lainnya
vinkadiolin, leurosidin, dan katarantin. Alkaloid yang berkhasiat
hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah) antara lain leurosine,
katarantin, lochnerin, tetrahidroalstonin, vindolin, dan vindolinin.
Sedangkan akar tapak darah mengandung alkaloid, saponin, flavonoid,
dan tanin (Wijayakusuma, dkk, 1992).
2.1.5 Sifat dan Khasiat
Herba sedikit pahit rasanya, sejuk agak beracun (toksik), masuk
meridian hati. Berkhasiat sebagai anti kanker (antineoplastik),
menenangkan hati, peluru kencing (diuretik), menurunkan tekanan
darah (hipotensif), penenang (sedatif), menyejukkan darah, penghenti
perdarahan (hemostatis), serta menghilangkan panas dan racun.
Sedangkan akar tapak darah berkhasiat sebagai peluruh haid
(Dalimartha, 2008).

2.2 Alkaloid
Senyawa kimia terutama senyawa organik hasil metabolisme dapat
dibagi dua yaitu yang pertama senyawa hasil metabolisme primer, contohnya
karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan enzim. Senyawa kedua adalah
senyawa hasil metabolisme sekunder, contohnya terpenoid, steroid, alkaloid
dan flavonoid (Robbers, 1996).
Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan). Hampir seluruh alkaloid
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis
tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada tumbuhan
dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung
alkaloid dengan kadar yang sedikit. Selanjutnya dalam

Meyers

Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid terjadi secara


karakteristik di dalam tumbuh-tumbuhan, dan sering dibedakan berdasarkan
kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen,
dan nitrogen, sebagian besar di antaranya mengandung oksigen. Sesuai
dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan
adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat
mendonorkan sepasang elektronnya (Lenny, 2006).

Gambar 2 : Struktur Kimia Alkaloid Indol (Katarantin) (Renault, 1999)


Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik
perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan
pemakaiannya di bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir
tidak ada. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam
tumbuhan sebagai berikut (Robinson, 1995):
1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam
urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali,
sekarang tidak dianut lagi).
2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan
nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami
metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan
parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa
bukti yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin
merupakan konsep yang direka-reka dan bersifat manusia sentris.

4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi


struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa
alkaloid merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat.
5. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar
bersifat basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan
kesetimbangan ion dalam tumbuhan. Sejalan dengan saran ini,
pengamatan menunjukkan bahwa pemberian nikotina ke biakan akar
tembakau meningkatkan pengambilan nitrat. Alkaloid dapat pula
berfungsi dengan cara pertukaran dengan kation tanah.
Sistem klasifikasi yang diterima adalah menurut Hegnauer yaitu
berdasarkan asal mulanya (biogenesis) dan hubungannya dengan asam
amino (aktivitas, asalusul asam amino dan sifat kebasaannya), alkaloid
dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: (1) True alkaloid, (2) Proto alkaloid, dan
(3) Pseudo alkaloid. Ciri-ciri dari ketiga kelas alkaloid adalah sebagai
berikut (Lenny, 2006) :
1. True alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; toksik, perbedaan keaktifan
fisiologis yang besar, basa, biasanya mengandung atom nitrogen di dalam
cincin heterosiklis, turunan asam amino, distribusinya terbatas dan
biasanya terbentuk di dalam tumbuhan sebagai garam dari asam organik.
Tetapi ada beberapa alkaloid ini yang tidak bersifat basa, tidak
mempunyai cincin heterosiklis dan termasuk alkaloid kuartener yang

lebih condong bersifat asam. Contoh dari alkaloid ini adalah kolkhisina
dan asam aristolokhat

Gambar 4. Contoh dari true alkaloid: Kolkhisina dan Asam


Aristolokhat.

Gambar 3. Contoh dari True alkaloid: kolkhisina dan asam aristolokhat.


2. Proto alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; mempunyai struktur amina
yang sederhana, di mana atom nitrogen dari asam aminonya tidak berada
di dalam cincin heterosiklis, biosintesis berasal dari asam amino dan
basa, istilah

biologycal amine sering digunakan untuk alkaloid ini.

Contoh dari alkaloid ini adalah meskalina dan efedrina.

Gambar 4. Contoh dari Proto alkaloid: Meskalina dan Efedrina.


3. Pseudo alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; tidak diturunkan dari asam
amino dan umumnya bersifat basa. Contohnya adalah kafeina

Gambar 5. Contoh dari Pseudo alkaloid: Konesina dan Kafeina.


2.3 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standar
baku yang telah ditetapkan (Sudjadi, 1998).
1. Tujuan Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses melarutkan komponen komponen
kimia yang terdapat dalam suatu bahan alam dengan menggunakan
pelarut yang sesuai dengan komponen yang diinginkan. Pemilihan
pelarut harus memenuhi kriteria : murah, dan mudah diperoleh, stabil
secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak
mudah

terbakar,

selektif,

tidak

mempengaruhi

zat

berkhasiat,

diperbolehkan oleh peraturan (Harbone, 1996).


Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen komponen
kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan
dengan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini berdasarkan pada
kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam
pelarut organik dan karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan
konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut oragnik
yang mengandung zat aktif ke luar sel. Proses ini berlangsung terus
menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan
di luar sel (Sudjadi, 1998).
2. Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara
sederhana dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu
kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi
lunak dan larut. Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia
dengan zat khasiat yang tidak tahan pemanasan. Sampel biasanya
direndam selama 3-5 hari, sambil diaduk sesekali untuk mempercepat
proses pelarutan komponen kimia yang terdapat dalam sampel. Maserasi
dilakukan dalam botol yang berwarna gelap dan ditempatkan pada tempat
yang terlindung cahaya. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang kali
sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan
pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan
pelarut tadi disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya.
Maseratnya dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo
dengan rotary evaporator (Sudjadi, 1998).

2.4 Kromatografi
1. Kromatografi Lapis Tipis
Salah satu metode pemisahan yang sederhana ialah kromatografi
lapis tipis (Hortettmann, 1986). Pada dasarnya prinsip pada KLT sama
dengan kromatografi kertas hanya KLT mempunyai kelebihan yang khas
dibandingkan

dengan

kromatografi

kertas

yaitu

keserbagunaan,

kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1996).


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupaka metoode kromatografi
cair yang paling sederhana, penggunaannya telah meluas dan diakui
merupakan cara pemisahan yang baik. KLT dapat dipakai dengan dua
tujuan. Pertama, dipakai sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif,
kuantitatif, ataupun preparatif. Maksudnya, KLT dapat digunakan untuk
memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion anorganik, kompleks
senyawa senyawa organik dan anorganik, dan senyawa senyawa
organik baik yang terdapat dialam dan senyawa senyawa organik
sintetik. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem
penyangga

yang

akan dipakai

pada

kromatografi kolom atau

kromatografi cair kinerja tinggi/KCKT (Gritter, 1991).


KLT mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya: waktu yang
dibutuhkan tidak lama (2 5 menit) dan sampel yang dipakai hanya
sedikit sekali (2 20 g). Kerugiannya dengan menggunakan KLT
adalah tidak efektif untuk skala industri. Walaupun lembaran KLT yang

digunakan lebih lebar dan tebal, pemisahannya sering dibatasi hanya


sampai beberapa miligram sampel saja (Mayo, 2000).
Pada metode kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan penentuan
nilai Rf (Retension Factor) pada bercak noda, dengan rumus :

Harga Rf berkisar antara 0,1 0,99 dan dipengaruhi oleh


beberapa faktor antara lain : pelarut, suhu, struktur kimia dari senyawa
yang sedang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya,
tebal dan kerataan dari lapisan penyerap, jumlah cuplikan yang
digunakan serta teknik percobaan (Sastrohamidjojo, 2007).
Identifikasi senyawa tak berwarna pada lempeng, biasanya
digunakan sinar UV (254 atau 366 nm) dan reagen semprot (Hostetman
dan Marston, 1995).
2.5 Penelitian sebelumnya
Pada penelitian sebelumnya pernah dilakukan penelitian (Hayati,
September 2006) tentang Peningkatan Kandungan Katarantin pada Kultur
Kalus Catharanthus roseus dengan Pemberian Naphtalene Acetic Acid.
Dengan metode Ekstraksi dan Isolasi Alkaloidnya : Bahan kalus yang telah
kering ditimbang sekitar 1 g. Pengekstrak yang digunakanmsesuai dengan
metode Pandiangan dan Nainggolan (2006) yang dimodifikasi, yaitu
mengganti klorofom dengan diklorometana. Bahan kering digerus dengan

metanol, lalu disaring. Residu dibilas dengan metanol sebanyak dua kali.
Ekstrak metanol digabungkan, kemudian diuapkan. Sari metanol kental
diasamkan dengan 10 ml HCl 0.5 M, sehingga diperoleh sari asam. Sari asam
ditambahkan dengan NaOH 4 N, sehingga pH mencapai 10, kemudian
diekstraksi dengan diklorometana sehingga diperoleh dua fraksi yaitu fraksi
air dan diklorometana. Fraksi diklorometana diambil, sedangkan fraksi air
dibuang. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali. Fraksi diklorometana
dikeringkan dengan serbuk Na 2SO4 anhidrat. Filtrat diuapkan dengan rotary
evaporatorhingga kering kemudian dilarutkan dengan 1 ml metanol.
Untuk mengidentifikasi adanya katarantin dalam ekstrak bahan,
dilakukan analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan pelat kaca berlapis silika gel E. Merck GF 254. Sebagai
pembanding dalam mengidentifikasi digunakan katarantin yang diperoleh
dari Magdi El-Sayed dari Laboratorium Gorlaeus, Pusat Ilmu Pengetahuan
Biofarma, Leiden-Nedherland. Pelat dipanaskan dalam oven 50 o C selama
satu jam, lalu didinginkan. Selanjutnya, contoh dan senyawa pembanding
diaplikasikan sekitar 2.0-3.0 ml dengan menggunakan mikropipet. Jarak
aplikasi adalah 2.0 cm dari bawah, pinggir kiri, dan pinggir kanan. Jarak
antar aplikasi contoh adalah 1.5 cm. Setelah itu, pelat dikeringkan selama
kira-kira lima menit untuk menguapkan sisa pelarut methanol yang
tertinggal. Kemudian, pelat dikembangkan dalam suatu bejana berisi larutan
pengembang yang mengandung diklorometana, metanol, dan asam asetat
(perbandingan 85:15:1), sampai mencapai 7 cm dari titik awal aplikasi

contoh. Setelah diangkat dari bejana, pelat dikeringkan di udara terbuka


selama 15 menit. Untuk menampakkan noda, pelat disinari di bawah sinar
ultra violet dengan panjang gelombang 254 nm. Kromatogram disemprot
dengan reagen Dragendorf untuk menampakkan senyawa alkaloid.
Selanjutnya, nilai Rf noda yang muncul pada kromatogram dihitung
menggunakan rumus Rf.

Anda mungkin juga menyukai