TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Tumbuhan tapak dara berasal dari Amerika tengah, umumnya ditanam
sebagai tanaman hias. Tapak darah bisa hidup di tempat terbuka atau
terlindung pada bermacam-macam iklim, ditemukan dari dataran rendah
sampai ketinggian 800 m dpl (Dalimartha, 2008)
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Gentianales
Family
: Apocynaceae
Genus
: Catharanthus
Spesies
(Dalimartha, 2008).
2.1.2 Morfologi Tumbuhan
Terna atau semak, menahun, tumbuh tegak, tinggi mencapai 120
cm, banyak bercabang. Batang bulat, bagian pangkal berkayu,
berambut halus, warnanya merah tengguli. Daun tunggal, agak tebal,
bertangkai pendek, berhadapan bersilang. Helai daun elips, ujung
runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, kedua
permukaan daun mengkilap, dan berambut halus. Perbungaan
majemuk, keluar dari ujung tangkai dan ketiak daun dengan lima helai
mahkota bunga berbentuk terompet, warnanya ada yang putih, merah
muda, atau putih dengan bercak merah di tengahnya. Buahnya buah
bumbu berbulu, menggantung, berisi banyak biji berwarna hitam.
Perbanyakan dengan biji, setek batang atau akar. (Dalimartha, 2008).
2.2 Alkaloid
Senyawa kimia terutama senyawa organik hasil metabolisme dapat
dibagi dua yaitu yang pertama senyawa hasil metabolisme primer, contohnya
karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan enzim. Senyawa kedua adalah
senyawa hasil metabolisme sekunder, contohnya terpenoid, steroid, alkaloid
dan flavonoid (Robbers, 1996).
Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan). Hampir seluruh alkaloid
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis
tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada tumbuhan
dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung
alkaloid dengan kadar yang sedikit. Selanjutnya dalam
Meyers
lebih condong bersifat asam. Contoh dari alkaloid ini adalah kolkhisina
dan asam aristolokhat
terbakar,
selektif,
tidak
mempengaruhi
zat
berkhasiat,
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam
pelarut organik dan karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan
konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut oragnik
yang mengandung zat aktif ke luar sel. Proses ini berlangsung terus
menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan
di luar sel (Sudjadi, 1998).
2. Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara
sederhana dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu
kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi
lunak dan larut. Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia
dengan zat khasiat yang tidak tahan pemanasan. Sampel biasanya
direndam selama 3-5 hari, sambil diaduk sesekali untuk mempercepat
proses pelarutan komponen kimia yang terdapat dalam sampel. Maserasi
dilakukan dalam botol yang berwarna gelap dan ditempatkan pada tempat
yang terlindung cahaya. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang kali
sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan
pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan
pelarut tadi disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya.
Maseratnya dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo
dengan rotary evaporator (Sudjadi, 1998).
2.4 Kromatografi
1. Kromatografi Lapis Tipis
Salah satu metode pemisahan yang sederhana ialah kromatografi
lapis tipis (Hortettmann, 1986). Pada dasarnya prinsip pada KLT sama
dengan kromatografi kertas hanya KLT mempunyai kelebihan yang khas
dibandingkan
dengan
kromatografi
kertas
yaitu
keserbagunaan,
yang
akan dipakai
pada
metanol, lalu disaring. Residu dibilas dengan metanol sebanyak dua kali.
Ekstrak metanol digabungkan, kemudian diuapkan. Sari metanol kental
diasamkan dengan 10 ml HCl 0.5 M, sehingga diperoleh sari asam. Sari asam
ditambahkan dengan NaOH 4 N, sehingga pH mencapai 10, kemudian
diekstraksi dengan diklorometana sehingga diperoleh dua fraksi yaitu fraksi
air dan diklorometana. Fraksi diklorometana diambil, sedangkan fraksi air
dibuang. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali. Fraksi diklorometana
dikeringkan dengan serbuk Na 2SO4 anhidrat. Filtrat diuapkan dengan rotary
evaporatorhingga kering kemudian dilarutkan dengan 1 ml metanol.
Untuk mengidentifikasi adanya katarantin dalam ekstrak bahan,
dilakukan analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan pelat kaca berlapis silika gel E. Merck GF 254. Sebagai
pembanding dalam mengidentifikasi digunakan katarantin yang diperoleh
dari Magdi El-Sayed dari Laboratorium Gorlaeus, Pusat Ilmu Pengetahuan
Biofarma, Leiden-Nedherland. Pelat dipanaskan dalam oven 50 o C selama
satu jam, lalu didinginkan. Selanjutnya, contoh dan senyawa pembanding
diaplikasikan sekitar 2.0-3.0 ml dengan menggunakan mikropipet. Jarak
aplikasi adalah 2.0 cm dari bawah, pinggir kiri, dan pinggir kanan. Jarak
antar aplikasi contoh adalah 1.5 cm. Setelah itu, pelat dikeringkan selama
kira-kira lima menit untuk menguapkan sisa pelarut methanol yang
tertinggal. Kemudian, pelat dikembangkan dalam suatu bejana berisi larutan
pengembang yang mengandung diklorometana, metanol, dan asam asetat
(perbandingan 85:15:1), sampai mencapai 7 cm dari titik awal aplikasi