Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati (tumbuhan), kekayaan ini telah dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk berbagai keperluan antara lain sebagai bahan baku industri industri,
pangan, dan sebagai obat.
Hasil metabolisme sekunder dari berbagai jenis tumbuhan telah banyak diteliti dan sering
senyawa kimia tersebut dapat memberikan efek fisiologis dan farmakologis. Senyawa kimia
tersebut dikenal sebagai senyawa kimia aktif seperti alkaloid, fenolik, saponin, steroid,
triterpenoid, dan lain-lain.
Dalam dunia medis dan kimia organik, istilah alkaloid telah lama menjadi bagian
penting dan tak terpisahkan dalam penelitian yang telah dilakukan selama ini, baik untuk
mencari senyawa alkaloid baru ataupun untuk penelusuran bioaktifitas. Senyawa alkaloid
merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal
dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara organoleptik, daun-
daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain
daun-daunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit kayu.

Alkaloid adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan
sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa tersebut
dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat memberikan efek
farmakologis pada manusia dan hewan. Alkaloid juga adalah suatu golongan senyawa organic
yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloida mengandung
paling sedikit satu atom nitrogen.

Hampir semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis


tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan.
Misalnya kuinin, morfin dan stiknin adalah alkaloida yang terkenal dan mempunyai efek
sifiologis dan fisikologis. Alkaloida dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti
biji, daun, ranting dan kulit batang. Alkaloida umunya ditemukan dalam kadar yang kecil dan
harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan.

Fitokimia 1
Diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan
memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Sehingga tidaklah mengherankan jika
manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan dari berbagai ekstrak tumbuhan.
Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli
pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari
serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk
mempertahankan keseimbangan ion.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan

Fitokimia 2
Fitokimia 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Alkaloid


Alkaloid merupakan suatu basa organik yang mengandung unsur Nitrogen (N)
pada umumnya berasal dari tanaman, yang mempunyai efek fisiologis kuat terhadap
manusia. Kegunaan senyawa alkaloid dalam bidang farmakologi adalah untuk memacu
sistem syaraf, menaikkan tekanan darah, dan melawan infeksi mikrobial (Pasaribu,
2009).
Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen dan biasanya berupa sistem siklis. Alkaloid mengandung atom
karbon, hidrogen, nitrogen dan pada umumnya mengandung oksigen. Senyawa alkaloid
banyak terkandung dalam akar, biji, kayu maupun daun dari tumbuhan dan juga dari
hewan. Senyawa alkaloid merupakan hasil metabolisme dari tumbuh–tumbuhan dan
digunakan sebagai cadangan bagi sintesis protein. Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan
adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuhan dan pengatur kerja
hormon. Alkaloid mempunyai efek fisiologis. Sumber alkaloid adalah tanaman
berbunga, angiospermae, hewan, serangga, organisme laut dan mikroorganisme. Famili
tanaman yang mengandung alkaloid adalah Liliaceae, solanaceae, rubiaceae, dan
papaveraceae (Tobing, 1989).

2.2 Sifat Alkaloid


Sifat-sifat alkaloid sebagai berikut :
a) Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut
dalam air, larut dalam pelarut organik. Beberapa alkaloid berwujud cair dan
larut dalam air. Ada juga alkaloid yang berwarna, misalnya berberin (kuning).
b) Bersifat basa (pahit, racun).
c) Mempunyai efek fisiologis serta aktif optis.
d) Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam
fosfomolibdat, asam pikrat, dan kalium merkuriiodida.
(Tobing, 1989)

Fitokimia 4
Dalam Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid
terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh- tumbuhan, dan sering dibedakan
berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen,
dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan
namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang
elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang
elektronnya. Kesulitan mendefinisikan alkaloid sudah berjalan bertahun-tahun.
Definisi tunggal untuk alkaloid belum juga ditentukan. Trier menyatakan bahwa
sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan, istilah yang beragam senyawa alkaloid
akhirnya harus ditinggalkan (Hesse, 1981).

Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat, berbentuk
kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning). Alkaloid sering
kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam,
meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu
tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung
enantiomernya (Padmawinata, 1995).

Ada juga alkaloid yang berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan higrina.
Sebagian besar alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat
farmakologi. Sebagai contoh, morfina sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat
penenang, atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal,
dan strisina sebagai stimulan syaraf (Ikan, 1969).

2.3 Klasifikasi Alkaloid


Alkaloida tidak mempunyai tatanam sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloida
dinyatakan dengan nama trivial , misalnya kuinin, morfin dan stiknin. Hampir semua
nama trivial ini berakhiran in yang mencirikan alkaloida.

Klasifikasi alkaloida dapat dilakukan berdasarkan beberapa cara yaitu :

1. Berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen yang merupakan bagian dari


struktur molekul. Berdasarkan hal tersebut, maka alkaloida dapat dibedakan
atas beberapa jenis seperti alkaloida pirolidin, alkaloida piperidin, alkaloida
isokuinolin, alkaloida kuinolin dan alkaloida indol.

Fitokimia 5
2. Berdasarkan jenis tumbuhan darimana alkaloida ditemukan. Cara ini digunakan
untuk menyatakan jenis alkaloida yang pertama-tama ditemukan pada suatu
jenis tumbuhan. Berdasarkan cara ini, alkaloida dapat dibedakan atas beberapa
jenis yaitu alkaloida tembakau, alkaloida amaryllidaceae, alkaloida erythrine
dan sebagainya. Cara ini mempunyai kelemahan yaitu : beberapa alkaloida yang
berasal dari suatu tumbuhan tertentu dapat mempunyai struktur yang berbeda-
beda.

3. Berdasarkan asal-usul biogenetik. Cara ini sangat berguna untuk menjelaskan


hubungan antara berbagai alkaloida yang diklasifikasikan berdasarkan berbegai
jenis cincin heterosiklik. Dari biosintesa alkaloida, menunjukkan bahwa
alkaloida berasal dari hanya beberapa asam amino tertentu saja. Berdasarkan
hal tersebut maka alkaloida dapat dibedakan atas tiga jenis utama yaitu :

a) Alkaloida alisiklik yang berasal dari asam-asam amino ornitin dan lisin
b) Alkaloida aromatik jenis fenilalanin yang berasal dari fenil alanin,
tirosin dan 3,4-dihidrofenilalanin
c) Alkaloida aromatik jenis indol yang berasal dari triptopan.

Sebagian besar alkaloida mempunyai kerangka dasar polisiklik termasuk cincin


heterosiklik nitrogen serta mengandung substituen yang tidak terlalu bervariasi. Atom
nitrogen alkaloida hampir selalu berada dalam bentuk gugus amin (-N) atau gugus
amida (-CO-NR2) dan tidak pernah dalam bentuk gugus nitro (NO2) atau gugus diazo.
Sedang substituen oksigen biasanya ditemukan sebagai gugus fenol (-OH), metoksil
(-OCH3) atau gugus metilendioksi (-O-CH2-O). Substituen-substituen oksigen ini dan
gugus N-metil merupakan ciri sebagian besar alkaloida. Pada alkaloida aromatik
terdapat suatu pola oksigenasi tertentu. Pada senyawa-senyawa ini gugus fungsi
oksigen ditemukan dalam posisi para atau posisi para dan meta dari cincin aromatik.

Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima adalah menurut Hegnauer, dimana
alkaloida dikelompokkan atas :

1. Alkaloida Sesungguhnya

Fitokimia 6
Alkaloida ini merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan
aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, umumnya
mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino,
biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Beberapa
pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat
yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloida
quarterner yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.

2. Protoalkaloida
Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen
asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloida diperoleh
berdasarkan biosintesa dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin
biologis sering digunakan untuk kelompok ini.

3. Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa
ini biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam
kelompok ini yaitu alkaloida steroidal dan purin.

(Achmad. S.A, 1986)

Metoda klasifikasi alkaloid yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan


struktur nitrogen yang dikandungnya yaitu:

1. Alkaloid heterosiklis, merupakan alkaloid yang atom nitrogennya berada dalam


cincin heterosiklis. Alkaloid ini dibagi menjadi: alkaloid pirolidin, alkaloid indol,
alkaloid piperidin, alkaloid piridin, alkaloid tropan, alkaloid histamin, imidazol
dan guanidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid kuinolin, alkaloid akridin, alkaloid
kuinazolin, alkaloid izidin.

2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis, seperti efedrina.

3. Alkaloid putressin, spermin dan spermidin, misalnya pausina.

4. Alkaloid peptida merupakan alkaloid yang mengandung ikatan peptida.

5. Alkaloid terpena dan steroidal, contohnya funtumina.

Fitokimia 7
(Widi et al, 2007)

Menurut Cordell, 1981 klasifikasi alkaloid berdasarkan asal atau biosintesisnya yaitu :

1) Alkaloid turunan dari ornitin


Ornitin adalah salah satu bagian dari asam amino yang memiliki lima atom
karbon, termasuk asam glutamat dan prolin (Cordell, 1981 : 49). Alkaloid yang
diturunkan dari ornitin yaitu pitolidin, tropan, kelompok nikotin dan pirolisidin.
Struktur ornitin dapat dilihat pada Gambar I.2 (Cordell, 1981 : 80-118).

2) Alkaloid turunan dari lisin.

Homolog tertinggi berikutnya dari rangkaian asam amino lisin adalah lisin-
kelompok asam pipekolik yang memiliki enam atom karbon dan biosintesis lisin
lebih kompleks dari ornitin. Alkaloid yang diturunkan dari lisin yaitu pelletierin,
anaferin, pseudoapeletierin, anabasin, lupinin (quinolisidin), piperidin.
Bagaimanapun, ada beberapa kelompok alkaloid yang diturunkan oleh lisin yang
tidak memiliki perbandingan turunan ortinin yaitu lobelin, spartein, matrin, lytrine
dan licopodein (Cordell, 1981 : 138 ). Struktur lisin dapat dilihat pada Gambar I.2.

3) Alkaloid turunan dari fenilalanin dan tirosin.


Alkaloid yang diturunkan oleh asam amino fenilalanin dan tirosin sangat
bermacam-macam di alam dengan bermacam-macam tipe struktur. Berikut contoh
alkaloid fenilalanin yaitu meskalin, pelotine, morfin dan contoh alkaloid dari tirosin
yaitu betanidin, aranotin dan securinin (Cordell, 1981 : 275). Struktur fenilalanin
dan tirosin dapat dilihat pada Gambar I.2.

4) Alkaloid turunan dari asam antranilat.


Tumbuhan kelompok suku Rutaceae merupakan yang paling kaya kandungan
alkaloid turunan asam antaranilat. Alkaloid yang diturunkan oleh asam antranilat
yaitu echinopsin, selain itu memiliki furan atau cincin piran yang tersambung pada
cincin piridin (dictamin dan flindersin), furoquinolin, quinazolin, vasicin, alkaloid
evodia : rutaecarpin dan evodimanin (Cordel, 1981 : 236).

Fitokimia 8
5) Alkaloid turunan dari triptofan.

Triptofan adalah prekusor biosintesis dari beberapa alkaloid, kecuali untuk alkaloid
yang paling sederhana dan jarang untuk beberapa sumber karbon. Contoh alkaloid
yang diturunkan oleh triptofan yaitu alkaloid indol, tripamin, fisostigmin, alkaloid
ergot : ergotamin dan ergonovin (Cordell, 1987 : 574). Struktur triptofan dapat dilihat
pada Gambar I.2.

6) Alkaloid turunan dari histidin.

Histidin dan amin histamin adalah yang paling banyak mendistribusikan


senyawa yang mengandung inti inidazole. Contoh alkaloid yang diturunkan dari
histidin yaitu casmiroedin, pilocarpin dan alkaloid lainnya : dolichotelin,
longistrobin dan isolongistrobin (Cordell, 1981: 833-840). Struktur histidin dan
tirosin dapat dilihat pada Gambar I.2.

7) Alkaloid turunan dari poliasetat.

Contoh alkaloid yang diturunkan dari poliasetat yaitu shihunine, pinidine,


coniiene, carpain, dan cassin. Pada masa lalu senyawa yang mengandung nitrogen
dari prekusor poliasetat masih termasuk ke dalam klasifikasi alkaloid (Cordell, 1981
: 204-213).

8) Alkaloid turunan dari jalur isoprenoid.

Beberapa contoh alkaloid yang memiliki turunan unit mevalonat, tetapi ada
banyak alkaloid yang berasal hampir secara eksklusif dari unit terpen yang masih
harus dijelaskan. Alkaloid hemiterpenoid terdiri dari 1 unit isopren yang merupakan
alkaloid furoquinolin dan echinulin dan alkaloid ergot contohnya : alchorneine,
pterogynin. Alkaloid monoterpenoid contohnya chaksine, alkaloid guanidin dari
Cassia lispidula Vahl. yang linier dengan unit monoterpen. Alkaloid sesquiterpen
contohnya golongan dendrobine, alkaloid nupkar : deoxinuparidin dan alkaloid
celastraceous kompleks seperti maytolin. Alkaloid diterpen sejak tahun 1955 telah

Fitokimia 9
diteliti untuk menjelaskan struktur dan mensintesis anggota paling penting dari
senyawa ini. Alkaloid diterpen terdiri dari 3 kelas besar yaitu C-20 alkaloid, C-19
alklaoid yang memiliki banyak kelompok hidroksil atau metoksil dan alkaloid
Erythrophleum (Cordell, 1981 : 846- 868).

9) Alkaloid turunan oleh asam nikotinat

Biosintesis alkaloid yang berasal dari asam amino non esensial yaitu asam
nikotinat. Nikotin telah dianggap sebagai turunan dari asam nikotina. Terdapat 5
kelompok yang ditunkan dari asam nikotinat yaitu arekolin, ricinin, anatabin,
dioscorin, dan nikotin (Cordell,1981 : 196). Struktur fenilalanin dan tirosin dapat
dilihat pada Gambar I.2.

Gambar I.2 Prekusor alkaloid berdasarkan biosintesisnya (Cordell, 1981 : 27)

Alkaloid biasanya diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal molekulnya


(precursors),didasari dengan metabolisme pathway (metabolic pathway) yang dipakai untuk
membentuk molekul itu. Kalau biosintesis dari sebuah alkaloid tidak diketahui, alkaloid
digolongkan menurut nama senyawanya, termasuk nama senyawa yang tidak mengandung
nitrogen (karena struktur molekulnya terdapat dalam produk akhir. sebagai contoh: alkaloid
opium kadang disebut "phenanthrenes"), atau menurut nama tumbuhan atau binatang dimana
senyawa itu diisolasi. Jika setelah alkaloid itu dikaji, penggolongan sebuah alkaloid dirubah
menurut hasil pengkajian itu, biasanya mengambil nama amin penting secara biologi yang
mencolok dalam proses sintesisnya, yaitu:

Fitokimia 10
1. Golongan Pyridine: piperine, coniine, trigonelline, arecoline, arecaidine,guvacine, cyti
sine, lobeline, nikotina, anabasine, sparteine, pelletierine.
Pyridine adalah sederhana aromatik heterocyclic senyawa organik dengan
rumus kimia C5H5N digunakan sebagai pelopor ke Agrokimia dan obat-obatan, dan
juga penting sebagai larutan dan reagen. Hal ini terkait dengan struktur benzena,
dimana CH diganti dengan atom nitrogen.
2. Golongan Pyrrolidine: hygrine, cuscohygrine, nikotina
Pirolidina, juga dikenal sebagai tetrahidropirola, merupakan senyawa organik
dengan rumus kimia C4H9N. Ia merupakan senyawa amina siklik dengan cincin
beranggota lima yang terdiri dari empat atom karbon dan satu atom nitrogen. Ia berupa
cairan bening dengan aroma tidak sedap seperti amonia.
Pirolidina ditemukan secara alami pada daun tembakau dan wortel. Struktur
cincin pirolidina dapat ditemukan pada banyak alkaloid alami,
seperti nikotina dan higrina. Ia juga dapat ditemukan pada banyak obat-obatan farmasi
seperti prosiklidina dan bepridil. Ia juga menjadi dasar
senyawa rasetam (misalnya pirasetam dan anirasetam).
3. Golongan Tropane: atropine, kokaina, ecgonine, scopolamine, catuabine
4. Golongan Quinoline: kinina, quinidine, dihydroquinine, dihydroquinidine,strychnine,
brucine, veratrine, cevadine
5. Golongan Isoquinoline: alkaloid-alkaloid opium (papaverine, narcotine,
narceine), sanguinarine, hydrastine, berberine, emetine, berbamine, oxyacanthine.
6. Alkaloid Phenanthrene: alkaloid-alkaloid opium (morfin, codeine, thebaine)
7. Golongan Phenethylamine: mescaline, ephedrine, dopamine
8. Golongan Indole:
• Tryptamines: serotonin, DMT, 5-MeO-DMT, bufotenine, psilocybin
• Ergolines (alkaloid-alkaloid dari ergot ): ergine, ergotamine, lysergic acid
• Beta-carboline: harmine, harmaline, tetrahydroharmine
• Yohimbans: reserpine, yohimbine
• Alkaloid Vinca: vinblastine, vincristine
• Alkaloid Kratom (Mitragyna speciosa): mitragynine, 7-hydroxymitragynine
• Alkaloid Tabernanthe iboga: ibogaine, voacangine, coronaridine
• Alkaloid Strychnos nux-vomica: strychnine, brucine
9. Golongan Purine: Xantina: Kafein, theobromine, theophylline

Fitokimia 11
Purine adalah senyawa organic kompleks aromatik heterocyclic, yang terdiri dari
cincin pyrimidine yang tergabung ke sebuah cincin imidazole.
10. Golongan Terpenoid: Alkaloid Aconitum: aconitine
11. Alkaloid Steroid (yang bertulang punggung steroid pada struktur yang bernitrogen):
Solanum (contoh: kentang dan alkaloid tomat) (solanidine, solanine, chaconine),
Alkaloid Veratrum (veratramine, cyclopamine,cycloposine, jervine, muldamine)
Alkaloid Salamander berapi (samandarin), lainnya: conessine
12. Senyawa ammonium quaternary s: muscarine, choline, neurine
13. Lain-lainnya: capsaicin, cynarin, phytolaccine, phytolaccotoxin

Klasifikasi Alkaloid

1. Berasal dari Ornithine

- Pyrrolidine & Tropane


- Pyrrolizidine
2. Berasal dari Lysine
- Piperidine
- Quinolizidine
- Indolizidine
3. Berasal dari Nicotinic Acid
- Pyridine
4. Berasal dari Tyrosine
- PEA & TIQ Sederhana
- BTIQ yang dimodifikasi
- Phenethylisoquinoline
- TIQ Terpenoid
- Amaryllidaceae
5. Berasal dari Tryptophan
- Indole Sederhana
- Simple β-Carboline
- Terpenoid Indole
- Quinoline

Fitokimia 12
- Pyrroloindole
- Ergot
6. Berasal dari Asam Anthranilic
- Quinazoline
- Quinoline & Acridine
7. Berasal dari Histidine
- Imidazole
8. Diturunkan oleh Reaksi Aminasi
- Acetate-derived
- Phenylalanine diturunkan
- Terpenoid
- Steroidal
9. Alkaloid purin
- Saxitoxin & Tetrodotoxin

2.4 Fungsi Alkaloid


Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian
terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan pemakaiannya di bidang
farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur. Beberapa
pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut :
1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat
dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak
dianut lagi).
2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen
meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih
lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit
atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang
mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang
direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’.

Fitokimia 13
4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur,
beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid
merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat.
5. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat
basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion
dalam tumbuhan.
(Padmawinata, 1995)

2.5 Simplisia Yang Mengandung Alkaloid


1. Mahkota Dewa
Klasifikasi dari mahkota dewa adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliphyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Thymelaeaceae
Genus : Phaleria
Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.
(Hutapea, 2000)
Kandungan kimia : alkaloida, saponin, polifenol, tanin, flavonoida dan minyak
atsiri.
Kegunaan : kanker, kencing manis (diabetes mellitus), hepatitis, asam urat,
radang kulit, ekzema, dan lain-lain (Wijayakusuma, 2005).

2. Jarong
Jarong atau dikenal dengan nama latin Achyranthes aspera mempunyai
beberapa nama diberbagai daerah, diantaranya jarongan; pecut kuda; ngadi
rengo; jarong lalaki; daun Sangketan; nyarang (jawa).; Sui in sui, sangko hidung
(Sulawesi), Rai rai, dodinga (Maluku) dan Dao kou cao (China).

Klasifikasi dari jarongan adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae

Fitokimia 14
Ordo : Caryophyllales
Famili : Amaranthaceae
Genus : Achyranthes
Spesies : Achyranthes aspera
(Hutapea, 2000)
Kandungan zat : Berdasarkan hasil penelitian yang sudah diketahui pada
seluruh bagian tanaman adalah reilosa, galaktosa, glukosa, akirantin, alkaloid.
Biji mengandung sapogenin, hentriakontan. Akar mengandung triterpenoid,
saponin, cedysterone.
Bagian yang digunakan : seluruh bagian tanaman (akar, batang dan daun).
Khasiat : Radang sendi, radang amandel, sakit menstruasi, mempermudah
persalinan, demam, panas, malaria, batuk, gondok, infeksi ginjal, kencing
batu, radang paru
(Soenanto, Hardi et al, 2009)
3. Terong Pipit

Klasifikasi dari terong pipit adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum torvum Swartz.
(Utami, 2003)
Kandungan zat : Buah mengandung alkaloid, glycoalkaloid (Chooi, 2008)
Kegunaan : Membantu meningkatkan nafsu makan dan menurunkan tekanan
darah tinggi (Zakaria, 2010)
4. Pepaya
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Fitokimia 15
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Violales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L.

Kandungan zat : Daun, akar dan kulit batang mengandung alkaloida, saponin
dan flavonoida, disamping itu daun dan akar juga mengandung polifenol dan
bijinya mengandung polifenol.
Kegunaan : Daun untuk obat malaria dan menambah nafsu makan. Akar dan biji
untuk obat cacing. Getah buah untuk obat memperbaiki pencernaan.
(Hutapea, 2000)

2.6 Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon,
hidrogen dan oksigen yang bersifat aromatis, sebagian terpenoid mengandung atom karbon
yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Penyelidikan kimia selanjutnya menunjukan
pula bahwa sebagian terpenoid mempunyai kerangka karbon yang di bangun oleh dua atom
atau lebih unit C5 yang disebut isopren, unit unit isopren biasanya saling berkaitan dengan
teratur, dimana “kepala” dari unit satu berkaitan dengan “ekor” unit yang lain, kepala
adalah merupakan ujung terdekat kecabang metil dan ekor merupakan ujung yang lain
seperti yang ditunjukan pada gambar berikut:

Fitokimia 16
Susunan kepala-ke-ekor ini disebut kaidah isopren. Kaidah ini merupakan ciri khas dari
sebagian terpenoid sehingga dapat dijadikan dasar penetapan terpenoid, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar penetapan struktur terpenoid (Achmad, 1986, hal.4)

Terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
Kebanyakan terpenoid alam mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus pungsi atau
lebih (Harborne, 1987, hal. 124). Salah satu senyawaterpenoid adalah taksodon dan
vernomenin yang merupakan jenis terpenoid yang mempunyai efek fisiologis terhadap manusia
yaitu dapat menahan pembelahan sel sehingga dapat menghalangi pertumbuhan tumor.

2.7 Klasifikasi dan Fungsi Terpenoid

Senyawa terpenoid dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah unit isopren yang


menyusunnya seperti yang tercantum pada tabel 1 Tabel 1. Klasifikasi terpenoid berdasarkan
jumlah unit isopren

Sumber: tobing, 1989, hal. 137

1. Monoterpenoid
Monoterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang paling sederhana, terbentuk
dari dua unit isopren dan merupakan dua komponen minyak atsiri yang berupa cairan
tak berwarna, tidak larut dalam air, mudah menguap dan berbau harum (Robinson, hal.
140). Monoterpenoid dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu asiklik, monosiklik dan
bisiklik. Contoh asiklik adalah geraniol, linalool, yang termasuk monosiklik seperti α
terpinol, limonena, yang termasuk bisiklik seperti α pinena, dan kamfor.
2. Seskuiterpenoid
Seskuiterpenoid merupakan senyawa yang mengandung atom C15, biasanya di
anggap berasal dari tiga satuan isopren. Sama seperti monoterpenoid, seskuiterpenoid

Fitokimia 17
terdapat sebagai komponen minyak astiri, berperan penting dalam memberi aroma pada
buah dan bunga. Seskuiterpenoid asiklik terpenting adalah farnesol (gambar 3).
Beberapa seskuiterpenoid lakton berdaya racun dan merupakan kandungan tumbuhan
obat yang sudah banyak digunakan. Sekuiterpenoid ini juga berfungsi sebagai penolak
serangga, insektisida, membantu pertumbuhan tumbuhan dan dapat berkerja sebagai
fungisida (robinson, 1995, hal. 147). Contoh senyawa seskuiterpenoid adalah farnesol,
γ-bisabolena, dan santonin.
3. Diterpenoid
Diterpenoid merupakan senyawa yang mengandung atom C20 yang berasal dari
empat satuan isopren. Karena titik didihnya tinggi, biasanya diterpenoid tidak
ditemukan dalam minyak atsiri tumbuhan, kebanyakan penyebarannya sangat terbatas.
Barang kali satu-satunya diterpen yang tersebar luas adalah senyawa induk asiklik yaitu
fitol (gambar 4) yang terdapat dalam bentuk ester dalam molekul klorofil. Banyak
diterfen siklik dapat dianggap berasal dari fitol dengan pembentukan cincin (Harborne,
1987, hal. 142)

Senyawa terpenoid banyak yang berfungsi sebagai fungisida, racun terhadap


serangga, ada juga senyawa diterpenoid yang berkerja sebagai obat anti tumor karena
efek sitotoksiknya dan ada yang mempunyai aktifitas antivirus (Robinson, 1995, hal.
153).

4. Triterterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yang
disebut skualen. Triterpenoid berupa senyawa tak berwarna, bernetuk kristal, biasanya
bertitik leleh tinggi (harborne, 1987, hal.147) Senyawa triterpenoid dapat
dikelompokan menjadi triterpenoid trisiklik, tetrasiklik dan pentasiklik. Triterpenoid
tetrasiklik menarik perhatian karena berkaitan dengan biosintesa steroid, contohnya

Fitokimia 18
adalah lanosterol. Triterpenoid pentasiklik merupakan triterpenoid yang paling penting
dan tersebar luas, contohnya α-amirin dan β-amirin senyawa triterpenoid umumnya
ditemukan pada tumbuhan berbiji dan hewan (Robinson, 1995, hal. 153)
Beberapa triterpenoid menunjukan aktivitas fisiologi dan senyawa ini
merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit
termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati,
dan malaria (Robinson, 1995, hal 154).
5. Tetra terpenoid
Tetraterpenoid merupakan kelompok terpenoid yang disusun oleh delapan unit
isopren (C40). Tetraterpenoid yang paling dikenal adalah karotenoid contohnya adalah
β-karoten. Karotenoid merupakan golongan figmen yang larut dalam lemak berwarna
kuning sampai merah, terdapat pada semua tumbuhan dan dalam berbagai jaringan.
Senyawa tetraterpenoid dapat berupa senyawa asiklik, monosiklik atau bisiklik
(Robinson, 1995, hal 163) senyawa asiklik dapat di gambarkan dengan kerangka
sebagai berikut:

2.8 Biosintesa Terpenoid


Pada tahun 1959, J.W Cornforth menemukan dua bentuk isopren yang aktif yaitu
isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kedua isopren ini harus
ada untuk keperluan sintesa terpenoid oleh organisme. Penyelidikan selanjutnya
menunjukan bahwa IPP dan DMAPP berasal dari asam mevalonat. Kemudian diketahui pula
bahwa satu-satunya sumber karbon bagi asam mevalonat, IPP dan DMAPP adalah asam
asetat (Achmad, 1986,hal. 6) .

2.9 Alkaloid dari Terpenoid Alkaloid

Fitokimia 19
Terpen dan alkaloid adalah kelas produk alami yang terus berkembang yang menyediakan
molekul baru struktur yang mengilhami ahli kimia dan memiliki berbagai aktivitas biologis.
Terpenoidalkaloidsberasal dari unit prenil yang sama yang membangun kerangka terpene.
Terpenoid-alkaloid paling sederhana digambarkan sebagai terpen atau bahkan diasinkan "Azaterpenes".
Untuk alasan ini, mereka telah dijuluki pseudo- atau crypto-alkaloid.1 Pseudo, berarti salah, secara
akurat menggambarkan asal-usul biosintesis alkaloid ini, yang dibangun dari unit prenyl daripada asam
amino. Crypto, yang berarti tersembunyi, mengacu pada kemiripan dekat molekul-molekul ini
mengandung terpenoid yang berasal dari mereka. Sebaliknya dengan alkaloid sejati, yang berasal dari
prekursor asam amino, sumber nitrogen untuk alkaloid terpenoid adalah methylamine, ethylamine, dan
β-aminoethanol. Biosintesis ini molekul dimulai dengan unit prenil yang sama yang diubah menjadi
terpenoid. Seperti dalam sintesis terpene, unit prenil pertama dihubungkan bersama untuk membentuk
relatif sederhana, rantai hidrokarbon terfosforilasi dengan panjang yang bervariasi. Rantai-rantai ini
kemudian mengalami enzymemediated siklisasi dan pengaturan ulang Wagner-Meerwein selama fase
cyclase. Itu rangka karbosiklik yang terbentuk difungsikan dalam fase oksidasi berikutnya dan, dalam
beberapa kasus, menjalani penataan ulang lebih lanjut. The "twist" yang terjadi selama biosintesis, baik
dalam fase cyclase atau fase oksidase, adalah pengenalan nitrogen di salah satu bentuk yang tercantum
di atas. Setelah pengenalan atom nitrogen (s), molekul tidak dapat lagi dianggap sebagai terpene dan
menjadi diklasifikasikan sebagai alkaloid-terpenoid.

Dari 20.000 alkaloid dan 55.000 terpen yang terisolasi hingga saat ini, 2 hanya beberapa
ribu molekul yang berasal dari segelintir keluarga produk alami yang memenuhi syarat sebagai
terpenoid-alkaloid. Keluarga-keluarga ini termasuk yang lebih kecil sesquiterpenoid-alkaloid
seperti dendrobine dan pumiliotoxins, diterpenoid-alkaloid yang berasal dari keluarga
terpenoid atisane dan kaurane, dan triterpenoidalkaloids yang baik menampakkan diri sebagai
steroidalkaloids atau alkaloid Daphniphyllum. Meskipun jumlahnya terbatas, alkaloid
terpenoid memiliki berbagai aktivitas biologis. Terpenoid-alkaloid telah digunakan selama
bertahun-tahun sebagai obat tradisional di Cina, Jepang, Rusia, Mongolia, dan India.1
Sebaliknya, mereka telah digunakan sejak zaman kuno sebagai racun yang digunakan untuk
berburu dan, kemudian, dalam pembunuhan. 3 Methyllycaconitine (1 ) (Gambar 1a),
diterpenoid-alkaloid yang terutama bertanggung jawab untuk toksisitas Larkspurs,
menyebabkan mayoritas kematian sapi di Amerika Utara bagian barat.4 Lebih praktis
berbicara, beberapa alkaloid diterpenoid, termasuk hetisine (2) adalah penangkaran serangga
yang kompeten. 5 Tanaman yang diketahui mengandung diterpenoid-alkaloid dapat
memperbaiki sindrom penarikan morfin, membantu pemulihan dari kecanduan.6 Guan fu basis
A (3) telah dikembangkan secara klinis di Cina untuk terapi terapeutik aritmia.7 Diterpenoid-

Fitokimia 20
alkaloid juga memiliki antiinflamasi, anti- kanker, anti-epileptoform, dan aktivitas antiparasit.3
Buxaceae steroid-alkaloid telah digunakan di Pakistan untuk mengobati malaria, leishmaniasis,
dan rematik. Beberapa diantaranya termasuk cyclovir. obuxeine F (4), adalah antibakterial.9
Cortistatin A (12) telah disorot karena sifat anti-angiogeniknya yang dapat mengobati kanker
dan kebutaan, 10 serta cephalostatin 1 (11) karena potensinya menjadi terapi antikanker yang
sangat selektif. .11 Sementara molekul-molekul ini memiliki hampir tidak ada homologi
struktural dengan terapi molekul kecil bermuatan heterocycle, sifat farmakologis dari alkaloid
terpenoid terpilih membuat mereka kandidat yang layak untuk pengembangan lebih lanjut.

Di luar aktivitas biologis dan potensi terapeutiknya, alkaloid terpenoid memiliki struktur
menarik yang menantang kimiawan organik sejak alkaloid terpenoid pertama dijelaskan
dengan jelas pada 1950-an. Kapan dan bagaimana atom nitrogen (s) dalam molekul-molekul
ini adalah (yang) tergabung di alam dapat mengarahkan kimia sintetis menuju pendekatan
biomimetik. Sebaliknya, kadang-kadang penggabungan nitrogen biosintesis mungkin tampak
terlalu menakutkan untuk dibuat ulang di laboratorium dan pendekatan yang sepenuhnya
abiotik, dan kadang-kadang lebih unggul, harus dirancang. Juga, ketika atom nitrogen
dimasukkan dalam fase pasca-cyclase molekul, mungkin menguntungkan untuk bekerja dari
prekursor siklisasi, jika mereka mudah disintesis atau tersedia secara komersial. Hal ini
terutama berlaku untuk steroid-alkaloid, meminjamkannya dengan baik ke semi sintetis atau
dua fase sintetis. 13 Seringkali, strategi yang sukses memerlukan penerapan kimia modern pada
sistem yang sangat kompleks. Sintesis ini menyoroti metode aktivasi dan logika C-H yang kuat,
solusi kreatif untuk fungsionalisasi jarak jauh, dan reaksi kaskade yang indah, serta re-kreasi
transformasi-transformasi biomimetik yang mengejutkan.

Berbagai alkaloid berdasarkan mono-, sesqui-, di-, dan tri-terpenoid skeletons telah
dikarakterisasi, tetapi informasi tentang pembentukannya di alam masih agak jarang. Alkaloid
amonoterpene secara struktural berhubungan dengan iridoidmaterials, oksigen heterocycle
menjadi diganti dengan cincin yang mengandung nitrogen. β-Skytanthine dari Skytanthus
acutus (Apocynaceae) dan actinidine dari Actinidia polygama (Actinidiaceae) berfungsi
sebagai contoh (Gambar 122). The loganin iridoid, sangat penting dalam biosintesis alkaloid
indol terpenoid dan alkaloid ipecac, bukan merupakan prekursor dari struktur ini, dan
serangkaian reaksi yang dimodifikasi mulai dari geraniol diusulkan (Gambar 122).
Pembentukan dialdehid mengikuti elaborasi dari stereoisomernya dalam biosintesis loganin.
Ini kemudian bisa bertindak sebagai substrat untuk aminasi melalui asam amino, diikuti oleh
pembentukan cincin seperti yang terlihat dengan coniine.

Fitokimia 21
Reduksi dan metilasi akan menghasilkan -skytanthine, sedangkan oksidasi lebih lanjut
dapat memberikan cincin piridin actinidine. Akar valerian (Valeriana officinalis;
Valerianaceae) diketahui mengandung alkaloid seperti yang ditunjukkan pada Gambar 122,
serta struktur iridoid. Sementara alkaloid ini mungkin hasil dari N-alkilasi pada actinidine, jalur
alternatif di mana tyramine dikondensasikan dengan dialdehid dapat diusulkan. Dalam kasus
terakhir, alkaloid ini dapat dianggap sebagai alkaloid yang berasal dari tirosin, daripada dalam
kelompok alkaloid terpenoid ini.

Figure 122

Figure 123

Fitokimia 22
Gentianine (Gambar 123) mungkin yang paling umum dari alkaloid monoterpene, tetapi
kadang-kadang terbentuk sebagai artefak ketika ekstrak tanaman yang cocok diperlakukan
dengan amonia, pangkalan yang biasa digunakan selama isolasi alkaloid. Dengan demikian,
gentiopicroside dari Gentiana lutea (Gentianaceae) diketahui bereaksi dengan amonia untuk
memberikan gentianine (Gambar 123). Banyak struktur iridoid lainnya yang diketahui bereaksi
dengan amonia untuk menghasilkan artefak alkaloid. Di beberapa tanaman, gentianine dapat
ditemukan ketika tidak ada perawatan amonia yang terlibat, dan seseorang dapat berspekulasi
bahwa loganin dan secologanin mungkin merupakan prekursor.

Figure 124

Mungkin contoh yang paling penting dari alkaloid terpenoid dari sudut pandang
farmakologis adalah yang ditemukan dalam aconite * atau wolfsbane (spesies Aconitum;
Ranunculaceae) dan spesies Delphinium (Ranunculaceae). Sementara Aconitum napellus telah
memiliki beberapa penggunaan obat, tanaman dari kedua genera berutang sifat sangat beracun
untuk diterpenoid alkaloid. Secara khusus, aconite dianggap sangat beracun, karena adanya
aconitine (Gambar 124) dan alkaloid norditerpenoid C19 terkait. Spesies Delphinium
mengakumulasi alkaloid diterpenoid seperti atisin (Gambar 124), yang cenderung kurang
beracun daripada aconitine. Apresiasi hubungan struktural mereka terhadap diterpenes, mis.
ent-kaurene, diberikan pada Gambar 125, meskipun sedikit bukti eksperimental tersedia.
Tampaknya layak bahwa karbokation pra-ent-kaurene mengalami penyusunan ulang Jagal-
Meerwein, dan bahwa kerangka atisin kemudian dihasilkan dengan memasukkan fragmen N −

Fitokimia 23
CH2CH2 − O (misalnya dari 2-aminoethanol) untuk membentuk cincin heterosiklik. Akon
akonitin mungkin terbentuk dari tulang atisin dengan modifikasi lebih lanjut seperti yang
diindikasikan. Perhatikan bahwa proses penataan ulang mengubah dua cincin beranggota enam
menjadi enam (7 + 5) sistem bicyclic, dan bahwa satu karbon, yang dari ikatan ganda
eksosiklik, hilang.

Aconite

Aconit, yang biasa disebut wolfsbane atau monkshood, adalah spesies Aconitum
(Ranunculaceae), tanaman hias herba yang berharga, yang ditanam untuk bunga biru atau ungu
mereka yang mencolok, yang berbentuk seperti cowl biarawan. Kandungan alkaloid mereka,
terutama di akar, membuat mereka beberapa tanaman paling beracun yang biasa ditemui. Akar
kering Aconitum napellus pernah digunakan, terutama secara eksternal untuk menghilangkan
rasa sakit, misalnya di rematik. Alkaloid beracun (0,3-1,5%) adalah ester ester diterpen yang
kompleks. Aconitine (Gambar 124) adalah komponen utama (sekitar 30%) dan merupakan
diester aconine dengan asam asetat dan benzoat. Produk hidrolisis benzoylaconine dan aconine
juga hadir dalam bahan tanaman kering. Alkaloid ini tampaknya berperilaku sebagai
neurotoksin dengan bekerja pada saluran natrium. Semua spesies Aconitum dan Delphinium
berpotensi beracun bagi manusia dan hewan dan harus diperlakukan dengan hati-hati.

Figure 125

Fitokimia 24
Alkaloid triterpenoid

Alkaloid Daphniphyllum adalah satu-satunya alkaloid yang diketahui berasal dari


triterpenes selain dari steroid-alkaloid. Alkaloid Daphniphyllum tipe-C30 pertama dilaporkan
pada tahun 1909 oleh Yagi dan diberi nama daphnimacrine. Namun, baru pada tahun 1966
Hirata dan Yamamur melaporkan penjelasan struktural pertama dari alkaloid Daphniphyllum
tipe C30 yang diberi nama tepat daphniphylline. 15 Sejak laporan awal ini pada tahun 1966,
lebih dari 200 alkaloid Daphniphyllum memiliki beberapa kerangka yang unik telah dilaporkan
pada tahun 2009. Tidak sampai dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1986, bahwa Heathcock
et al. menyelesaikan sintesis total pertama dari alkaloid Dafhniphyllum: metil
homodaphniphyllate.

Biosintesis yang diusulkan dari molekul-molekul ini dimulai dengan squalene.


Daripada epoksidasi dan siklisasi ke kerangka steroid, squalene dioksidasi secara
chemoselektif ke dialdehid. Kondensasi dialdehida ini dengan amina primer diikuti oleh
siklisasi dan penambahan / eliminasi mengarah ke sistem cincin 6,5-fused yang mengandung
cincin dihidropiridin . Diels-Alder cycloaddition diikuti oleh ene-type cyclization melengkapi
fase "aza" -cyclase yang menghasilkan kerangka karbon dari alkaloid Daphniphyllum.
Kerangka dasar ini dapat mengatur ulang hingga tidak kurang dari tiga belas skeletons lainnya
termasuk secodaphniphylline , bukittinggine , daphnilactone , daphnicyclidin , yuzurimine ps),
daphmanidin, dan calyciphylline alkaloid. Sampai saat ini, hanya daphniphylline ,
secodaphniphylline , daphnilactone , dan bukittinggine tipe alkaloid yang telah disiapkan
melalui sintesis total. Selain itu, inter-konversi antara kerangka telah dicapai oleh Heathcock
et al.19

Aktivitas biologis dari molekul-molekul ini belum diteliti dengan baik, namun,
beberapa molekul menunjukkan sitotoksisitas terhadap garis sel tumor serta aktivitas
antioksidan dan efek vasorelaksan

Alkaloid Diterpenoid

Diterpenoid-alkaloid berasal dari keluarga kaurane dan atisane diterpenoid. Sementara


biosintesis diterpenoid ini umumnya dipahami, rincian spesifik dari proses biosintesis masih
belum jelas. Sebagian besar, Tantillo dan rekan kerja mengusulkan hipotesis biosintesis yang

Fitokimia 25
tidak memicu karbokation sekunder . Seperti yang telah diusulkan sebelumnya dan
dikonfirmasi oleh isolasi ent-copalyl diphosphate , molekul-molekul ini berasal dari
geranylgeranyl pyrophosphate, yang disiklisasi di bawah mediasi enzimatik. Selanjutnya,
pembentukan pimarenil kation terjadi melalui hilangnya pirofosfat dan siklisasi. Tantillo
kemudian mengusulkan bahwa serangkaian pergeseran terpadu terjadi untuk pertama
menghasilkan karbokation tersier , yang, setelah penghapusan proton, memberikan kerangka
kaurane . Alternatif lain, karbokation tersier dapat menjalani serangkaian penataan ulang lain
untuk menghasilkan karbokation tersier baru , yang menyediakan kerangka atisane setelah
eliminasi proton

Kerangka hidrokarbon ini kemudian teroksidasi dan atom nitrogen yang berasal dari L-
serin dimasukkan ke dalam molekul dalam bentuk β-aminoethanol45a untuk kemudian
membentuk cincin piperidin. Dalam seri kaurane , ini membentuk kerangka vegen-tipe C20
terpenoid-alkaloid (88), dan dalam seri atisane kerangka tipe-atisin terbentuk. Selanjutnya,
oksidasi lebih lanjut dapat terjadi dan lebih kompleks C20 diterpenoid-alkaloid skeletons dapat
terbentuk (Gambar. 4b), serta hilangnya atom karbon (s) untuk membentuk C19 dan C18
diterpenoid-alkaloid. Untuk lebih menyulitkan jalur biosintesis kompleks ini, tulang vevedine
dan atisine secara teoritis dapat interkonversi membuat penentuan yang tepat dalam rute
biosintetik hampir tidak mungkin untuk diuraikan.

Dari hampir delapan puluh alkaloid C18-diterpenoid yang dilaporkan pada Juli 2008, dengan
lappaconitine menjadi anggota pertama yang dilaporkan dari keluarga ini pada tahun 1922,47
tidak satu pun yang belum disiapkan oleh sintesis total. Saat ini, profil aktivitas biologis C18
diterpenoid-alkaloid tetap belum dieksplorasi, dengan pengecualian hanya menjadi
lappaconitine itu sendiri: telah diprofilkan dan dikembangkan secara klinis baik sebagai obat
analgesik antiaritmia dan non-narkotik.48,49 Menariknya, Wang et al.50 laporkan bahwa
lappaconitine dapat mencegah aritmia yang disebabkan oleh aconitine — alkaloid C-
diterpenoid terkait.

Pada Juli 2008, sekitar 700 alkaloid Cpen-diterpenoid alami telah diidentifikasi. Aconit
alkaloid yang terkenal, racun manusia terselubung, namun, alkaloid Cpen-diterpenoid lainnya
memiliki sifat analgesik, anestesi, antiaritmia, antifibrilasi, dan anti-inflamasi, serta
kemampuan untuk mengusir serangga.45b Seperti lappaconitine, beberapa dapat melawan efek
aritmia keracunan aconitine dan ini telah mencegah kematian pada hewan yang diracuni
dengan dosis mematikan aconitine. 51,52 Sejauh ini, hanya karya Wiesner yang telah

Fitokimia 26
menghasilkan sintesa total yang berhasil dari beberapa alkaloid C19-diterpenoid yang memiliki
berbagai kerangka.

Sekitar 400 C20 diterpenoid-alkaloid telah diisolasi hingga saat ini. Mereka memiliki
berbagai bioaktivitas termasuk analgesik, antiaritmia, antifibrilasi, dan aktivitas anti-inflamasi,
serta toksisitas. 1 Dari semua kerangka-carbo yang dimiliki oleh C20 diterpenoid-alkaloid,
hanya atisin-, veatchine-, napelline, dan alkaloid tipe-hetisine telah disiapkan melalui sintesis
total. Meskipun molekul-molekul ini telah dikenal selama beberapa dekade, tidak seperti
triterpenoid-alkaloid, kerangka fase siklase mereka tidak mudah ditiru atau tersedia secara
komersial. Dengan demikian, oksidasi kerangka-kerangka ini belum dipelajari dengan baik. Ini
menempatkan keadaan seni dalam logika sintesis untuk sistem ini agak di belakang yang
dipraktekkan untuk steroid-alkaloid. Karena alasan inilah maka mengejar sintesis molekul-
molekul ini memiliki potentia yang tinggi arena alasan inilah mengejar sintesis molekul-
molekul ini memiliki potensi tinggi untuk memajukan bidang kimia organik.

Wiesner Syntheses: Napelline , Deoxydelphonine, dan Talatisamine

Tiga diterpenoid-alkaloid yang menyoroti karya tengara Wiesner terbaik pada alkaloid
aconitine adalah C20 alkaloid napelline (14), 53 dan alkaloid C15 deoxydelphonine (15) 54
dan talatisamine (13) .55 Sintesa total dari napelline (Skema 4a) dimulai dari aldehid 100.
Tambahan grignard diikuti oleh aziridinasi dengan fenil sulfonil azida memberikan fenil
sulfonil aziridin 101. Senyawa ini secara langsung diperlakukan dengan asam asetat dan
natrium asetat, yang menginduksi asetolisis dan penataan ulang untuk sulfonamide 102.
Sulfonamide 102 kemudian dibawa ke depan untuk diketon 103 dan menjalani kondensasi
aldol dengan adanya kalium karbonat dalam metanol untuk membentuk A-ring of napelline
(104). Dalam 9 langkah, bahan ini diubah menjadi metil ester 105, yang, setelah perlakuan
dengan natrium metoksida, membentuk cincin lakton dalam struktur pentasiklik napelline
(106). Tambahan 9 langkah yang diberikan enone-aldehyde 107. Pemanasan dalam metanol
dengan kalium hidroksida menyebabkan kondensasi aldol viniligosa untuk menutup cincin
keenam dan terakhir di napelline (14). Oksidasi kemudian memberikan diketone 108 yang
diubah menjadi (±) - napelline (14) dalam 10 langkah. Dalam studi selanjutnya, 53c kelompok
Wiesner mampu mengkonversi molekul dengan kerangka denudatine berbasis-atiane (109) ke
kerangka napelline berbasis kaurane (110), dengan pemanasan dalam asam asetat (Skema 4b)
melalui proses yang mirip dengan transformasi biomimetik yang diusulkan ditunjukkan pada
Gambar. 4c.

Fitokimia 27
Sebuah konversi biomimetik serupa antara kerangka produk alami yang berbeda
didemonstrasikan dalam sintesis Wiesner dari 13-desoxydelphinone (15) (Skema 4c) .54
Advanced intermediate 111 dikenali untuk menghasilkan dienone terkonjugasi 112 dalam
empat langkah. Cycloaddition dengan benzyl vinyl ether memberikan [2.2.2] sistem bicyclic
113, yang sangat mirip dengan kerangka denudatine pada seri atisane (Gambar 4b). Dalam 11
langkah, senyawa ini diubah menjadi ketal 114. Ini intermediet, sangat teroksidasi tinggi
kemudian dipanaskan dalam campuran DMSO dan o-xylene untuk memohon penataan ulang
ke diperlukan kerangka aconitine (115) dalam hasil 89% yang mengesankan. Transformasi
semacam itu memang mungkin bersifat biomimetik. Produk penataan ulang ini dengan cepat
diuraikan menjadi (±) -13-desoxydelphinone (15) dalam lima langkah tambahan.

Lain alkaloid aconitine, talatisamine (13) (Skema 4d), disintesis menampilkan penataan
serupa.55 Mulai dari diene 116 dan nitril 117, roda tiga 118 disintesis dalam 16 langkah.
Senyawa ini mengalami formilasi dan reduksi untuk memberikan alkohol primer dari aldehida
dan amina primer dari nitril. Perawatan dengan mesil klorida kemudian menyediakan produk
yang terobekasi. Deprotonasi sulfonamide menyebabkan perpindahan mesylate proksimal
untuk membentuk 119, yang mengandung cincin piperidine talatisamine (13). Senyawa 119
kemudian dikonversi menjadi enone 120 dalam lima langkah, setelah itu dilakukan
photoaddition dengan allene untuk memberikan photoadduct [2 + 2] 121 dalam hasil hampir
kuantitatif. Perlindungan etilen glikol diikuti oleh pembelahan oksidatif dari terminal olefin
memberikan cyclobutanone, yang dikurangi dengan natrium borohidrida untuk memberikan
cyclobutanol sebagai campuran diastereomer. Deproteksi ketal dengan asam menyebabkan
proses retro-aldol / aldol segera untuk memberikan sistem [2,2,2] dalam senyawa 122. Dalam
tujuh langkah, senyawa ini dibawa ke senyawa 123. Bahan antara ini kemudian disusun
kembali, dalam bentuk yang serupa. cara untuk senyawa 114, dengan pemanasan di DMSO
dan tetramethylguanidine untuk mengubah kerangka mirip atisin pada 123 ke rangka mirip
akonitin pada 124. Sintesis rasemat ras ini diselesaikan dari perantara yang diperoleh melalui
degradasi produk alami.

Akonitin

Pengertian Akonitin

Akonitin merupakan senyawa beracun yang dihasilkan dari tanaman Aconitium dan
dapat digunakan sebagai analgesik dalam dosis kecil. Sebelumnya akonitin juga digunakan

Fitokimia 28
sebagai antipiretik dan analgesik meskipun memiliki indeks teraupetik yang sempit sehingga
sulit dalam menghitung dosis yang tepat (Chan, 2009).

Struktur Akonitin

(Pelletier, 1979)

Sifat-Sifat Akonitin

1. Akonitin termasuk kedalam kelompok senyawa alkaloid aconitum yang hampir tidak
larut di dalam air tetapi sangat larut di dalam pelarut organik seperti cloroform atau
dietil eter.
2. Akonitin larut dalam campuran alkohol dan air jika konsentrasi alkohol lebih tinggi
dibandingkan air.
3. Akonitin bersifat sangat beracun karena termasuk ke dalam kelompok yang reaktif.
4. Nitrogen disalah satu struktur cincin yang memiliki enam atom carbon (sikloheksana)
dapat dengan mudah membentuk garam dan ion. Molekul ini memiliki afinitas
pengikatan yang tinggi untuk stuktur polar dan lipofilik dan memungkinkan molekul
ini melewati penghalang darah otak.
5. Kelompok acetoxyl pada posisi C-8 bisa mudah diganti oleh sekelompok metoksi,
dengan memanaskan akonitine dalam metanol, untuk menghasilkan turunan 8-
Deacetyl-8-o-metil.
6. Jika akonitine dipanaskan dalam keadaan kering, maka ia mengalami pirolisis untuk
membentuk pyroakonitine ((1α,3α,6α,14α,16β)-20 – Ethyl - 3,13 – dihydroxy - 1,6,16-
trimethoxy-4-(methoxymethyl)-15-oxoaconitan-14-yl benzoat) dengan rumus kimia
C32H43NO9 (W.R. Nes, 1977).

Sumber Akonitin

Fitokimia 29
Akonitin merupakan senyawa yang terkandung di dalam akar spesies Aconitum
atau yang banyak dikenal dengan nama aconite, monkshood, wolfsbane, leopard’s
bane, women’s bane, devik’s helmet atau rocket biru yang dapat digunakan sebagai
obat. Akonitin ini disintesis oleh tanaman tersebut melalui jalur terpenoid biosintesis
(jalur MEP kloroplas) (Mukesh, 2012).

Fitokimia 30

Anda mungkin juga menyukai