Anda di halaman 1dari 397

PENILAIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

PERTUMBUHAN

BATASAN
Setiap perubahan dari tubuh yang berhubungan dengan bertambahnya ukuran tubuh baik
fisik (anatomis) maupun struktural dalam arti sebagian atau keseluruhan
INDIKATOR
1. Berat badan
Berat badan lahir rata-rata 3,4 kg (2,7-4,1 kg)
Bayi yang dilahirkan cukup bulan akan kehilangan berat badannya selama 3-4 hari
pertama dan akan kembali sama dengan berat badan lahir pada hari ke-8-9
Berat badan 2 x berat badan lahir pada umur 5 bulan, 3 x berat badan lahir pada umur
1 tahun, 4 x berat badan lahir pada umur 2 tahun
Penambahan berat badan
6 bl ke-1
: 0,5-1,0 kg/bl
6 bl ke-2
: 0,3-0,5 kg/bl
1-2 th
: 0,2 kg/bl
2. Tinggi Badan
Rata-rata tinggi (panjang) badan lahir + 50 cm
Panjang badan 1 x panjang badan pada umur 1 tahun
Penambahan panjang badan
Umur 6 bl ke-1
: 2,5 cm/bl
6 bl ke-2
: 1,25 cm/bl
1-7 th
: 7,5 cm/th
Tabel 1. Formula Praktis untuk Menentukan Tinggi Badan Normal pada Bayi dan
Anak
Panjang/Tinggi Badan
Lahir
1 th
2-12 th
(Dikutip dari : Needlman, 1996)

Sentimeter (cm)
50
75
[Umur (th) x 6] + 77

3. Lingkar Kepala
Rata-rata lingkar kepala lahir 33,0-35,6 cm
Pada th ke-1, lingkar kepala menjadi 44,4-46,9 cm ( + 10 cm)
Pada th ke-2 menjadi 46,9-49,5 cm ( + 2,5 cm)
Pada th ke-3 menjadi 47,7-50,8 cm ( + 1,25 cm)
4. Erupsi gigi
Gigi susu berjumlah 20 buah dan biasanya telah tumbuh seluruhnya pada umur 2,5 th
Tabel 2. Umur Rata-rata Erupsi Gigi Susu dan Gigi Tetap pada Anak

Gigi Susu
2 insisor sentral bawah
4 insisor atas
2 insisor lateral bawah
4 molar ke-1
4 kuspid
4 molar ke-2
Gigi Tetap
4 molar ke-1
8 insisor
8 premolar
4 kaninus
4 molar ke-2
4 molar ke-3
(Dikutip dari : Wasserman, 1981)

Umur (bl)
5-10
8-12
12-15
12-16
16-20
20-30
Umur (th)
5-7
7-9
10-12
11-12
13
16-21

5. Pusat Osifikasi
Pada akhir bulan ke-2 kehidupan janin, kerangka tulang rawan embrio telah
terdiferensiasi menjadi sejumlah segmen yang merupakan cikal bakal tulang kerangka
Osifikasi pertama tampak pada klavikula dan bagian membranosa tulang tengkorak,
kemudian dengan cepat diikuti pada tulang panjang dan vertebra
Dikenal 2 pusat osifikasi, yaitu pusat osifikasi primer umumnya dibentuk pada masa
janin. Sedangkan pusat osifikasi sekunder dibentuk setelah lahir, kecuali pada epifisis
distal femur dan proksimal tibia
Pada waktu lahir biasanya ditemukan pusat osifikasi di kalkaneus, kuboideus, tibia
proksimal, talus dan femur distal. Setelah umur 6 bl pergelangan tangan dan tangan baru
bisa memberikan informasi untuk menentukan umur tulang

Gambar 1. Pusat Osifikasi Primer pada Embrio


(Dikutip dari : Markum dkk., 1991)

Gambar 2. Pusat Osifikasi Primer pada Janin


(Dikutip dari : Markum dkk., 1991)
PENILAIAN
Untuk mengetahui ukuran pertumbuhan seorang anak apakah normal atau tidak, maka
ukuran anak tersebut harus dibandingkan dengan ukuran normal populasi yang sebaya.
Berbagai nilai baku antropometri dapat dipergunakan untuk menilai pertumbuhan fisik
seorang anak, namun yang paling sering dipakai adalah ukuran berat badan, tinggi badan
dan lingkar kepala
Nilai baku untuk ukuran antropometrik berat badan dan tinggi badan yang sering dipakai
adalah menurut National Center Health Stastitic (NCHS), sedangkan untuk lingkar kepala
dipergunakan grafik Nelhaus
Grafik pertumbuhan standar NCHS ini telah diterima oleh WHO sebagai standar
pertumbuhan internasional untuk umur 5 th pertama
Setiap grafik tersusun dari 7 kurva persentil. Kurva persentil ini menunjukkan persentase
anak pada umur tertentu. Sebagai nilai standar adalah persentil ke-50 (median)
Dianggap patologis apabila hasil pengukuran berada < 3 SD (persentil ke-5)
Untuk penilaian pertumbuhan bayi prematur, harus dilakukan koreksi (mengurangi mingguminggu prematuritas)
Untuk lingkar kepala sampai umur 18 bl
Setelah umur ini tidak
Untuk berat badan sampai umur 24 bl
perlu koreksi
Untuk tinggi badan sampai umur 40 bl

BERAT DALAM KG

BERAT DALAM KG
BERAT DALAM KG

BERAT DALAM PON

BERAT DALAM KG

UMUR DALAM TAHUN

BERAT DALAM PON

UMUR DALAM BULAN

BERAT DALAM PON

BERAT DALAM PON

UMUR DALAM BULAN

UMUR DALAM TAHUN

Gambar 3. Kurva Tinggi dan Berat Badan Anak Perempuan Berdasarkan Persentil

(Dikutip dari : Am J Clin Nutr, 1979)

TINGGI DALAM CM

PANJANG DALAM CM

TINGGI DALAM CM

PANJANG DALAM CM

Gambar 4.

TINGGI DALAM INCI

PANJANG DALAM INCI

UMUR DALAM BULAN

TINGGI DALAM INCI

PANJANG DALAM INCI

UMUR DALAM TAHUN

UMUR DALAM BULAN

UMUR DALAM TAHUN

Kurva Tinggi dan Berat Badan Anak Laki-laki Berdasarkan Persentil


(Dikutip dari : Am J Clin Nutr, 1979)

Gambar 5. Kurva Lingkaran Kepala Anak Perempuan


(Dikutip dari : Nelhaus, 1968)

BULAN

TAHUN

Gambar 6. Kurva Lingkaran Kepala Anak Laki-laki


(Dikutip dari : Nelhaus, 1968)
Keterangan :
Ukuran lingkar kepala digolongkan normal apabila berada diantara garis putus-putus (-2 SD
sampai +2 SD)
PERKEMBANGAN

BATASAN
Bertambahnya kemampuan (skill), struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
PENILAIAN
Deteksi dini perkembangan anak dilakukan dengan cara pemeriksaan perkembangan
secara berkala, apakah sesuai dengan umur atau telah terjadi penyimpangan dari
perkembangan normal
Tahap penilaian
1. Penjaringan Perkembangan (skrining)
Tujuannya untuk memisahkan anak yang diduga mempunyai kelainan perkembangan
Dapat dilakukan 1 atau 2 tahap :
Skrining 2 tahap terdiri dari
Preskrining (mempergunakan kuesioner yang diisi oleh orang tuanya)
Skrining (dilakukan bila hasil preskrining meragukan/abnormal)
Waktu skrining menurut beberapa ahli

Drilen
: 9-10 bl, 2 th, 3 th
Chamberlain : 1 th dan 3 th
Frankenberg : 3-6 bl, 9-12 bl, 18-24 bl dan 3, 4, 5 th
2. Diagnostik Perkembangan
Merupakan tindak lanjut dari skrining
Tujuannya untuk menentukan secara tepat tingkat perkembangan anak dan penyebab
terjadinya gangguan tersebut
Pemeriksaaan meliputi anamnesis/riwayat penyakit, pemeriksaan fisis umum,
penglihatan, pendengaran, neurologik, gangguan metabolik/genetik, gangguan
bicara/bahasa, serta gangguan fungsi perkembangan intelektual/kecerdasan
Integrasi dari hasil penemuan tersebut kemudian ditetapkan untuk penatalaksanaan,
konsultasi dan prognosisnya

Beberapa tes perkembangan yang sering digunakan di Poliklinik Tumbuh Kembang


FKUP/RSHS Bandung adalah
1. Diagnostik Perkembangan Fungsi Munchen
Tujuan utama adalah untuk mendeteksi keterlambatan dalam perkembangan dengan
cara mengukur tahap perkembangan bidang fungsi tertentu
Digunakan untuk umur 0-3 th
Aspek perkembangan yang dinilai
Umur 0-12 bl
Umur 2-3 th
Umur Merangkak
Umur Pengertian berbahasa
Duduk
Berbicara (aktif berbahasa)
Berjalan
Persepsi
Memegang
Keterampilan tangan
Persepsi
Berjalan
Berbicara
Pengertian bahasa
Sosialisasi
Persyaratan Pelaksanaan
Anak dalam keadaan bangun, tidak dalam keadaan ngantuk, lelah, menangis dan
lapar
Ruang tenang, cukup cahaya
Pemeriksaan harus tenang, tidak tergesa-gesa
Bahan yang Diperlukan
Sebuah lonceng
Sebuah kerincingan merah
Sebuah gelang dengan garis tengah 12 cm
Beberapa kubus kayu berwarna polos dengan sisi 3 cm
Kepingan plastik bulat berwarna dengan garis tengah 26 mm
Kepingan boneka
Kepingan kubus terbuka dengan sisi 7,5 cm
Selembar popok bayi
Mobil kayu disertai tali penarik sepanjang 14 cm
Selembar kertas lemas
Pencatatan
Untuk keperluan pencatatan hasil tes dipakai formulir penilaian (gambar 7)
Sebelum pemeriksaan dilakukan, koreksi terhadap umur prematuritas

Sebagai prinsip, pemeriksaan dimulai pada tingkat umur yang lebih rendah dan
berangsur-angsur meningkat ketahap yang lebih tinggi
Grafik Perkembangan
Sesudah mendapat angka untuk masing-masing bidang fungsi, kemudian dibuat
grafik perkembangan pada formulir khusus (gambar 8)
Penafsiran Hasil Pemeriksaan
Yang pertama diperhatikan, apakah grafik tadi menunjukkan penyimpangan yang
negatif (umur perkembangan dalam bidang tertentu berada di bawah umur kronologis)
DIAGNOSTIK PERKEMBANGAN FUNGSI MUNCHEN
TAHUN PERTAMA
Nama
Tgl. Pemeriksaan
Pemeriksa
Umur
Umur
(bulan) merangkak
12

Tangal lahir
Waktu lahir kurang
minggu
Umur kronologis
bulan
minggu
Umur kronologis yang telah dikoreksi
bln.
mgg.
Umur
Umur
Umur
Umur
Umur
Umur
Umur
duduk berjalan meme- persepberbi- pengertia sosialigang
si
cara
n bahasa
Sasi
a
a
b

12

a
11

11

c
10

10

c
9

9
a

8
7

8
7

a
6

c
a

a
4

c
d

1
a

a
0
Umur
dikoreksi

Umur - perkembangan

Gambar 7. Formulir Penilaian untuk Keperluan Pencatatan Hasil Pemeriksaan


DIAGNOSTIK - PERKEMBANGAN - FUNGSI MUNCHEN
TAHUN PERTAMA
Nama, Nama orang tua
Tanggal Umur
Umur
pemerik- kron. yg merangsaan
telah
kak
dikoreksi
dl.bulan*

Umur
duduk

Umur
berjalan

Tanggal lahir
Umur
Umur
meme- persepsi
gang

Umur
berbicara

Umur
pengertian
bahasa

Umur
sosialisasi

30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Lahir
* Pada bayi prematur, umur menurut tanggal lahir harus dikurangi
jumlah minggu yang belum lengkap.
Contoh : Bayi berumur 4 bulan, dilahirkan prematur 4 minggu, maka
umur kronologis yang telah dikoreksi adalah 3 bulan (4 bulan minus
4 minggu)

Cap

Pemeriksa

Gambar 8. Formulir Pencatatan Grafik Perkembangan

2. Denver Developmental Screening Test II (DDST II)


Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak umur < 6 th, berisi 125 gugus tugas
yang disusun dalam formulir menjadi 4 sektor untuk menjaring fungsi berikut :
1. Personal social (sosial personal)
Penyesuaian diri dengan masyarakat dan perhatian terhadap kebutuhan perorangan
2. Fine motor adaptive (motor halus adaptif)
Koordinasi mata tangan, memainkan, menggunakan benda-benda kecil

10

3. Language (bahasa)
Mendengar, mengerti dan menggunakan bahasa.
4. Gross motor (motor kasar)
Duduk, jalan, melompat dan gerakan umum otot besar
Bahan yang diperlukan
Benang
Kismis
Kerincingan dengan gagang yang kecil
Balok-balok berwarna luas 10 inci
Botol kaca kecil dengan lubang 5/8 inci
Bel kecil
Bola tenis
Pinsil merah
Boneka kecil dengan botol susu
Cangkir plastik dengan gagang/pegangan
Kertas-kertas kosong
Pencatatan hasil
1. Koreksi faktor prematuritas
Tarik garis umur dari garis atas ke datar dan cantumkan tanggal pemeriksaan pada
ujung atas garis umur
2. Semua ujicoba dilakukan untuk tiap sektor dimulai dengan ujicoba yang terletak di
sebelah kiri garis umur, kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis umur
3. Pada tiap sektor dilakukan minimal 3 ujicoba yang paling dekat di sebelah kiri garis
umur serta tiap ujicoba yang ditembus garis umur
4. Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu ujicoba pada langkah 3 (gagal;
menolak; tidak ada kesempatan) lakukan ujicoba tambahan ke sebelah kiri pada
sektor yang sama sampai anak dapat lewat 3 ujicoba

Skor Penilaian
Skor dari tiap ujicoba ditulis pada kotak segi empat
Ujicoba dekat tanda garis 50%
P : Pass/lewat. Anak melakukan ujicoba dengan baik, atau ibu/ pengasuh anak
memberi laporan (tepat/dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukannya)
F : Fail/gagal. Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik atau ibu/pengasuh
anak memberi laporan (tepat) bahwa anak tidak dapat melakukannya dengan baik
No : No opportunity/tidak ada kesempatan. Anak tidak mempunyai kesempatan untuk
melakukan uji coba karena ada hambatan. Skor ini hanya boleh dipakai pada
ujicoba dengan tanda R
R : Refusal/menolak. Anak menolak untuk melakukan ujicoba Penolakan dapat
dikurangi dengan mengatakan kepada anak apa yang harus dilakukan, jika tidak
menanyakan kepada anak apakah dapat melakukannya (ujicoba yang dilaporkan
oleh ibu/ pengasuh anak tidak diskor sebagai penolakan)
Interprestasi Penilaian Individual
1. Lebih (anvenced)
Bilamana seorang anak lewat pada ujicoba yang terletak dikanan garis umur,
dinyatakan perkembangan anak lebih pada ujicoba tsb.
2. Normal
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan ujicoba disebelah kanan garis umur

11

3. Caution/peringatan
Bila seorang anak gagal atau menolak ujicoba, garis umur terletak pada atau antara
persentil 75 dan 90 skornya
4. Delayed/keterlambatan
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan ujicoba yang terletak lengkap
disebelah kiri garis umur
5. Opportunity/tidak ada kesempatan ujicoba yang dilaporkan orang tua
Interprestasi DDST II
Normal
Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu caution
Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya
Suspek
Bila didapatkan > 2 caution dan/atau > 1 keterlambatan
Lakukan uji ulang dalam 1-2 mgg untuk menghilangkan faktor sesaat seperti rasa
takut, keadaan sakit atau kelelahan
Tidak dapat diuji
Bila ada skor menolak pada > 1 uji coba terletak disebelah kiri garis umur atau
menolak pada > 1 uji coba yang ditembus garis umur pada daerah 75-90%
Uji ulang dalam 1-2 mgg
Bila ulangan hasil uji coba didapatkan suspek atau tidak dapat diuji, maka dipikirkan
untuk dirujuk (referal consideration)
3. VOYTA
Untuk anak 0-12 bulan
Untuk diagnostik dini gangguan motorik serebral serta diagnostik yang menyangkut
perkembangan neurologik dengan cara melihat 7 reaksi sikap tubuh
4. SKALA BAYLEY
Untuk anak 2-30 bulan
Dibagi 3 bagian yaitu : Mental scale
Motor scale
Infant behavior record

POLA PERKEMBANGAN SAMPAI UMUR 1 TAHUN


______________________________________________________________
Masa neonatus (4 minggu pertama)
______________________________________________________________
Ti : Tiarap dalam sikap fleksi; memutar kepala dari sisi ke sisi; kepala melengkung pada
suspensi ventral
Tl : Biasanya fleksi dan sedikit kaku
V : Dapat melakukan fiksasi muka atau cahaya pada garis penglihatan; gerakan mata mata
boneka (dools eye) pada pemutaran tubuh
R : Respons Moro aktif; refleks melangkah dan menempatkan; refleks memegang aktif
S : Penglihatan memilih pada muka manusia
______________________________________________________________
Pada 4 minggu
______________________________________________________________
Ti : Kaki lebih ekstensi; mempertahankan dagu ke atas; memutar kepala; mengangkat kepala
sebentar sebidang dengan tubuh pada suspensi ventral
TL : Postur tonus leher menonjol; lentur dan releks; kepala tertinggal di belakang pada
penarikan untuk posisi duduk
V : Mengamati orang; mengikuti gerakan objek

12

S : Gerakan tubuh seirama dengan suara orang lain pada kontak sosial; mulai tersenyum
______________________________________________________________

Pada 8 minggu
______________________________________________________________
Ti : Mengangkat kepala sedikit lebih jauh; kepala ditahan pada bidang tubuh pada suspensi
vertikal
Tl : Postur tonus leher menonjol; kepala tertinggal di belakang pada penarikan untuk posisi
duduk
V : Mengikuti gerakan objek 180 derajat
S : Tersenyum pada kontak sosial; mendengarkan suara dan coos
______________________________________________________________
Pada 12 minggu
______________________________________________________________
Ti : Mengangkat kepala dan dada, lengan ekstensi; kepala ditahan pada bidang tubuh pada
suspensi ventral
TL : Postur tonus leher menonjol; menjulurkan tangan kearah dan menghindari objek ;
melambaikan mainan
D : Kepala yang tertinggal di belakang pada posisi duduk; kepala mantap, condong kedepan ;
menyenangi duduk dengan dukungan badan sepenuhnya
B : Bila dipegang tegak ,mendorong dengan kaki
A : Melihat bola kecil, tetapi tidak bergerak ke arahnya
S : Tertawa keras; dapat menampakkan tidak senang jika kontak sosial diputus; gembira pada
saat melihat makanan
______________________________________________________________
Pada 28 minggu
______________________________________________________________
Ti : Berguling-guling; berputar; merangkak atau merayap-merangkak (Knobloch)
TL : Mengangkat kepala; berguling-guling; gerakan meliuk-liuk
D : Duduk sebentar, dengan dukungan pelvis; membungkuk ke depan pada tangan ;
punggung memutar
B : Dapat mengdukung sebagian besar; melompat-lompat secara aktif
A : Mencapai dan memegang objek besar. Memindahkan objek dari tangan ke tangan ;
memegang menggunakan telapak tangan sisi radial; cenderung pada bola kecil
Ba : Suara vokal polisilabus dibentuk
S : Menyukai ibu; mengoceh; senang berkaca; berespons terhadap perubahan pada
kepuasan emosi kontak sosial
______________________________________________________________
Pada 40 minggu
______________________________________________________________
D : Duduk bangun sendiri dan dengan tidak terbatas tanpa dukungan, punggung lurus
B : Menarik posisi berdiri; berkeliling atau berjalan berpegangan pada peralatan rumah
tangga
M : Merayap atau merangkak
A : Memegang objek dengan ibu jari dan ajri telunjuk; mendorong barang-barang dengan jari
telunjuk, mengambil bola-bola kecil dengan dibantu gerakan tangan; menemukan mainan
yang disembunyikan, berupaya mendapatkan kembali objek yang jatuh; melepaskan objek
yang dipegang oleh orang lain
Ba : Suara konsonan berulang (ma-ma, pa-pa)
S : Berespons terhadap suara ma-ma; memainkan permainan ciluk-ba; melambaikan bye-bye
______________________________________________________________
Pada 52 minggu (1 tahun)
______________________________________________________________

13

: Berjalan dengan satu tangan dipegang (48 minggu); bangkit secara bebas ; melangkah
beberapa langkah (Knocbloch)
A : Mengambil bola kecil tanpa dibantu gerakan tang jari telunjuk dan jempol ; melepaskan
objek pada orang lain atas permintaan atau isyarat
Ba : Beberapa permaian disamping mama, papa
S : Memainkan permainan bola sederhana; membuat penyesuaian postur untuk berpakaian
------------------------------------------------------------------------------------------------------Keterangan
Ti : Tiarap
TL : Telentang
V : Visual
R : Refleks
S : Sosial
D : Duduk
B : Berdiri
Ba : Bahasa
M : Motor
A : Adaptif

POLA PERKEMBANGAN PADA UMUR 1-5 TAHUN


______________________________________________________________
15 bulan
______________________________________________________________
M : Berjalan sendiri; merangkak naik tangga
A : Membuat menara tiga kubus; membuat garis dengan pensil berwarna (crayon) ;
memasukan pellet ke dalam botol
Ba : Campuran; mengikuti perintah sederhana; dapat menamai objek yang familiar (bola)
S : Menunjukkan beberapa keinginan atau kebutuhan dengan menunjuk; memeluk orang tua
______________________________________________________________
18 bulan
______________________________________________________________
M : Lari dengan kaku; duduk pada kursi kecil; berjalan naik tangga dengan satu tangan
dipegang; menjelajahi laci dan keranjang sampah
A : Membuat menara dari 4 kubus; meniru mencorat-coret; meniru coretan vertikal ; melempar
bola kecil
Ba : 10 kata (rata-rata); memberi nama gambar; mengidentifikasi satu atau lebih bagian tubuh
S : Makan sendiri; mencari pertolongan bila ada kesukaran ; dapat mengeluh bila basah atau
menjadi kotor; mencium orang tua dengan mengerut
______________________________________________________________

14

24 bulan
______________________________________________________________
M : Berlari baik; naik turun tangga, satu tangga setiap saat; membuka pintu; memanjat
peralatan rumah tangga; melompat
A : Menara 7 kubus (6 pada 21 bulan); menggambar lingkaran; meniru coretan horisontal;
melipat kertas mengikuti lipatan yang sudah ada
Ba : Mengajukan 3 kata bersama (subjek, kata kerja, objek)
S : Memegang sendok dengan baik; sering menceriterakan pengalaman baru; membantu
membuka pakaian; mendengarkan cerita dengan gambar
______________________________________________________________
30 bulan
______________________________________________________________
M : Naik tangga dengan kaki berselang-seling
A : Menara 9 kubus; membuat garis vertikal dan horisontal, tetapi biasanya tidak mau
menggabungnya menjadi silang; meniru garis sirkuler, membentuk gambar tertutup
Ba : Menyebut dirinya dengan sebutan saya; mengetahui nama seluruhnya
S : Membantu menjauhkan barang; berpura-pura dalam bermain
______________________________________________________________
36 bulan
______________________________________________________________
M : Menaiki sepeda roda tiga; berdiri sebentar pada satu kaki
A : Menara 10 kubus; meniru konstruksi jembatan: meniru membuat lingkaran; meniru silang
Ba : Mengetahui umur dan jenis kelamin; menghitung 3 objek dengan benar; mengulangi 3
angka atau kalimat 6 silabus
S : Memainkan permainan sederhana (bersama dengan anak lain); membantu dalam
berpakaian (pakaian yang tidak berkancing dan membuka sepatu); mencuci tangan
______________________________________________________________
48 bulan
______________________________________________________________
M : Melompat dengan satu kaki; melempar bola tangan ke atas; menggunakan gunting untuk
memotong gambar; memanjat baik
A : Meniru membuat jembatan dari model; membuat konstruksi gerbang dari 5 kubus ;
meniru silang dan segi empat; menggambar manusia dengan 2 atau 4 bagian selain
kepala; nama-nama yang lebih panjang dari 2 garis
Ba : Menghitung 4 uang logam dengan tepat; menceritakan sejarah
S : Bermain dengan beberapa anak dengan memulai interaksi sosial dan memainkan peran;
pergi ke toilet sendiri
______________________________________________________________
60 bulan
______________________________________________________________
M : Melompat-lompat
A : Menggambar segitiga dari mencontoh; memberi nama yang lebih berat dari 2 timbangan
Ba : Memberi nama 4 warna; mengulangi kalimat 10 silabus; menghitung 10 uang logam
dengan benar
S : Berpakaian dan membuka pakaian; menanyakan pertanyaan mengenai arti kata-kata;
memainkan peran domestik
______________________________________________________________
Keterangan
Ba : Bahasa
M : Motor
A : Adaptif
S : Sosial
(Dikutip dari Gesell, 1996)

15

TIM TUMBUH KEMBANG FKUP/RSHS BANDUNG


Untuk meningkatkan pelayanan tumbuh kembang anak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
telah dibentuk Tim Tumbuh Kembang FKUP/RSHS Bandung yang beranggotakan berbagai
disiplin ilmu yang ada di lingkungan FKUP/RSHS.
TUJUAN
1. Mengelola anak yang menderita gangguan tumbuh kembang secara terpadu
2. Menerima konsultasi masalah tumbuh kembang anak
3. Membuka jalinan komunikasi diantara disiplin ilmu yang terkait
RSUD

PUSKESMAS

DOKTER SWASTA

DATANG SENDIRI

KONSULTASI
KLINIK
TUMBUH KEMBANG

BAG/SMF
DI LINGKUNGAN RSHS
KONSULTASI

KONSULTASI

KONSULTASI

TIM TUMBUH KE MBANG


Gambar 9. Alur Rujukan Klinik Tumbuh Kembang

BEBERAPA GANGGUAN PERKEMBANGAN YANG SERING TERJADI


Masalah perkembangan yang spesifik
Temper tantrum
Berbohong
Mencuri

16

Gangguan makanan
Penolakan makan
Pika, anoreksia nervosa
Bulimia
Gangguan tidur
Gangguan tidur teror
Tidur berjalan
Gangguan proses eliminasi
Enuresis
Enkoporesis
Retardasi mental
Gangguan perkembangan pervasif (autisme)
Gangguan perkembangan spesifik
Gangguan ketrampilan akademis (berhitung, menulis, membaca, bicara)
Gangguan perilaku destruktif (attention deficit hyperactivity disorders/ADHD)

ENURESIS

BATASAN
Keadaan anak buang air kecil di celana yang terjadi di luar kemauannya tanpa kelainan
organik pada umur anak diharapkan sudah dapat mengontrolnya (4 tahun)
ETIOLOGI
Trauma psikologis
KRITERIA DIAGNOSIS
Pengeluaran urin pada pakaian atau tempat tidur, tidak sengaja dan berulang siang
maupun malam hari
Frekuensi minimal 2 x/mgg, dalam waktu 3 bl berturut-turut
Umur kronologis minimal 5 th
Tidak disebabkan oleh kelainan organik
TERAPI
Memberi hadiah bila tidak ngompol
Membersihkan sprei dan baju yang dikotorinya
Membatasi pemberian cairan sebelum tidur
Sebelum tidur anak harus buang air kecil
Membangunkan anak tengah malam untuk kencing
Melatih anak untuk mengendalikan retensi
Menggunakan alat khusus (alarm)
Medikamentosa: Imipramin (Naframil): 25 mg/24 jam sebelum waktu tidur
Psikologi

ENKOPORESIS
BATASAN
Pengeluaran feses pada tempat yang tidak semestinya yang terjadi pada umur anak yang
diharapkan sudah dapat mengontrolnya

17

TERAPI
Psikoterapi
Bio feedback training

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDERS


(ADHD)
BATASAN
Suatu pola perilaku anak yang ditandai adanya kekurangmampuan untuk memperhatikan
suatu tugas/perhatian mudah teralihkan, aktivitas motorik yang berlebihan dan impulsif
ETIOLOGI
Diduga melibatkan mekanisme dopaminergik, nor-adrenergik dan serotonergik, meskipun
kelainan unit biologik yang pasti belum dapat ditentukan
KRITERIA DIAGNOSIS
Menggunakan DSM IV
Tidak dapat memusatkan perhatian
Sering tidak dapat menyelesaikan suatu tugas, sering seperti tidak mendengar, mudah
teralih perhatiannya, sulit untuk bertahan dalam suatu permainan
Impulsif
Sering bertindak sebelum berfikir, beralih secara berlebihan dari suatu aktivitas
keaktivitas lainnya, sulit menata pekerjaan, sulit untuk menunggu giliran dalam
permainan atau suatu kelompok
Hiperaktivitas
Berlari-lari atau memanjat secara berlebihan, sulit duduk diam, tidak dapat tenang,
bergerak berlebihan dalam tidurnya, selalu bergerak terus bagai dorongan mesin
DIAGNOSIS BANDING
Epilepsi petit mal
Penggunaan obat (antipsikotik, antikonvulsi)
Sindroma Gilles de la Tourette
TERAPI
Medikamentosa
Metilfenidat (Ritalin)
Dosis : 0,3-1 mg/kgBB, diberikan minimal 2-3 mgg
Dekstro-amfetamin (Dexedrin)
Dosis: 0,2- 0,5 mg/kgBB, diberikan 20-30 menit sebelum makan, tidak boleh
diberikan setelah jam 4 sore, untuk mencegah insomnia
Magnesium pemolin (Cylert)
Klonidin (Catapres)
Terapi perilaku
Konseling
Keluarga
Guru serta pendidikan tambahan
PROGNOSIS
Apabila dikelola dengan baik dengan terapi multipel perbaikan

18

AUTISME INFANTIL

BATASAN
Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh abnormalitas dan atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum umur 3 tahun dengan ciri-ciri fungsi yang abnormal
dalam tiga bidang, yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan
berulang
ETIOLOGI
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, diduga multifaktor : Kelainan genetik,
imunologik, metabolisme, infeksi virus, dll.

KRITERIA DIAGNOSIS
Menggunakan DSM IV (diagnostic and statistical manual, 1994)
Gangguan dalam bidang interaksi sosial
Anak menolak untuk dipeluk, berjalan seolah-olah tidak melihat, tak mau menengok
bila dipanggil, tidak dapat menatap orang yang mengajak bicara, sifat menyendiri dll.
Gangguan dalam bidang komunikasi dan bahasa
Keterlambatan bicara, bisu, bicara dengan kalimat yang pendek-pendek dengan
struktur yang salah
Gangguan dalam bidang perilaku
Sering melakukan gerakan berulang (sterotipi) seperti bertepuk tangan, berputarputar, berlari berputar-putar, membenturkan kepala dll.
DIAGNOSIS BANDING
Skizofrenia yang timbul pada masa anak
Retardasi mental dengan gangguan tingkah laku
Apasia yang didapat dengan gangguan kejang
Tuli kongenital atau gangguan pendengaran yang berat
Gangguan psikososial
Sindroma Rett
TERAPI
Perilaku
Wicara
Okupasi
Pendidikan khusus
Medikamentosa
Lain-lain
Sensory integration
Auditory integration therapy
Musik, dll
PROGNOSIS
Relatif buruk

RETARDASI MENTAL

19

KRITERIA DIAGNOSIS
Terdapat kendala perilaku adaptif sosial (kemampuan untuk mandiri)
Gejala timbul < umur 18 tahun
Fungsi intelektual < normal (IQ < 70)

TERAPI
Dokter anak memeriksa fisik anak secara lengkap dan mengobati kelainan/penyakit yang
mungkin ada
Preventif primer
Memberikan perlindungan spesifik terhadap penyakit tertentu (imunisasi)
Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup
sehat
Preventif Sekunder
Mendeteksi penyakit sedini mungkin
Diagnosis dini PKU dan hipotiroid ditanggulangi (untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut)
Koreksi defek sensoris kemudian dilakukan stimulasi dini (stimulasi sensoris, speech
terapist)
Psikolog untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak
Pekerja sosial untuk menilai situasi keluarga bila dianggap perlu
Setelah dilakukan penilaian, dirancang strategi terapi, mungkin perlu dilibatkan lebih banyak
ahli. Misalnya ahli saraf anak bila menderita epilepsi, palsi serebral dll. ; psikiater bila anak
tersebut menderita kelainan tingkah laku ; fisioterapis untuk merangsang perkembangan
motorik dan sensorik ; ahli terapi bicara serta guru pendidikan luar biasa

SINDROMA DOWN

BATASAN
Kelainan kongenital multipel, dapat berupa gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
kelainan sistem saraf, tulang, ligamentum, jantung, saluran cerna, darah dan sistem
endokrin. Kelainan ini disebabkan oleh karena kelainan kromosom (Trisomi 21)
TERAPI
Sebelum kehamilan terjadi : Konseling genetik
Saat kehamilan : Analisis cairan amnion
Setelah bayi lahir
Stimulasi dan fisioterapi perkembangan fisik dan mental optimal
Perlindungan terhadap penyakit infeksi
Mencegah dan memperbaiki deformitas

PEMBERIAN MAKANAN BAYI


Tabel 3. Jadwal Pemberian Makanan Bayi di Klinik Tumbuh Kembang Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unpad/RSHS

20

Umur (bl)
0-4
4-6

6-8

8-9

9-12

12-24

Jenis Makanan
ASI
ASI
Buah-buahan
Bubur susu
ASI
Buah-buahan
Bubur susu
Bubur nasi saring
ASI
Buah-buahan
Bubur susu
Bubur nasi
ASI
Buah-buahan
Nasi tim

Jumlah Pemberian
Sesuka bayi
Sesuka bayi
1-2 kali
1-2 kali
Sesuka bayi
2 kali
2 kali
1 kali
Sesuka bayi
2 kali
1 kali
2 kali
Sesuka bayi
2 kali
3 kali
ASI
Makanan sesuai pola makan keluarga

Keterangan
Waktu pemberian
sesuai dengan jam
makan keluarga
sda
sda
sda
sda
sda
sda

sda
sda

21

IMUNISASI
Tabel 4. Jadwal Imunisasi di Klinik Tumbuh Kembang
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSHS
Jenis
Imuni- ke
Sasi
BCG

Dasar
Umur
0-2 bl

Dosis/
cara
0,05 ml
i.k.

Ulangan
Tempat ke

Umur
6-7 th

Hepa- 1
Titis B

0 bl

2
3

1 bl
6 bl

Di daerah 1
m.deltoid
dekat
2
insersinya
Tergantung paha ka/ki 4
pabrik
(0,25-0,5 ml)
sda
sda

1
2
3

2 bl
3 bl
4 bl

0,5 ml i.m. paha ka/ki 1


sda
sda
sda
sda
2

DPT

Polio

Campak

1
2
3
4

0 bl
2 bl
3 bl
4 bl

2 tetes p.o.
sda
sda
sda

9 bl

0,5 ml
s.k.

1
2

paha ka/ki 1
2

Hib

1
2
3

Tiphym 1
-Vi

2 bl
4 bl
6 bl

> 2 th

0,5 ml i.m. paha ka/ki 1


sda
sda

0,5 ml
s.k./i.m.

m. deltoid

12-13 th
10-11 th
(HB4)

18-24 bl
5-7 th
(DT5)
12 th
(DT6/TT)

Ket.

Dosis/ Tempat
Cara
0,1 ml i.k. Di daerah
m.deltoid
sda
dekat
insersinya
Tergan- m. deltoid
tung
pabrik

0,5 ml
i.m.
sda

m.deltoideus

sda

sda

18 bl-2 th
(polio5)
5-7 th
(polio6)

2 tetes
p.o
sda

15 bl
(MMR1)
11-12 th
(MMR2)

0,5 ml
s.k.
sda

15-18 bl
(Hib4)

0,5 ml
i.m.

m.deltoideus Bila MMR


I tidak
sda
memungkinkan
Campak
paha ka/ki
Hib4
tetap
diberi,
walau
telah
dapat
Hib < 1 th

diulang
setiap 3 th
1 ml s.k. m.deltoideus

Vari- 1
sela
(Varilix)

0,5 ml m.deltoid
s.k./i.m.

0,5 ml
s.k./i.m.

m. deltoid 1

HB1,2,3
selang 1
bl, ulang
12 bl
kemudian
Tiap 5 th
sekali
periksa
antiHBsAg,
bila (-)
ulang

sda

Tipa 1
> 2 th
0,5 ml s.k. Paha/m. 1 Ulangan
(Bio
2 Selang 1
sda
deltoideus
setiap 1 th
Farma)
bulan
3 Selang 1
sda
sda
bulan dari
ke-2
Hepa- 1
> 2 th
720 IU i.m.
m.
1
6-12 bl
titis A
deltoideus
kemudian
2 Selang 1
sda
sda
dari ke-2
bl
> 1 th

Dasar >2
bl
PPD

10-12 th

Keterangan

22

BCG boleh diberikan tanpa PPD terlebih dahulu dengan syarat ibu diberi penjelasan agar bila
timbul kemerahan dalam waktu 3x24 jam harus segera membawa anaknya kembali ke tempat
pelayanan imunisasi
Tabel 5. Imunisasi Hepatitis B untuk Anak yang telah
Terpapar Penderita Hepatitis B
Sumber Penularan
Perinatal
Hepatitis B akut
(Ibu, ayah, dll)
Umur < 12 bl
Umur > 12 bl

Dosis
0,5 ml i.m.

HBIG
Keterangan
Dalam 12 jam

0,5 ml i.m.

segera

Vaksin
Keterangan
dalam 7 hari, 1 dan 6 bl

Jumlah
3 kali

3 kali
3 kali

0,1 dan 6 bl
Periksa darah,
kemudian
imunisasi sda

Tabel 6. Jadwal Imunisasi bila Imunisasi Terlambat


Kunjungan
Kunjungan pertama

Umur < 7 th
BCG (PPD -)
DTP
POLIO I
HB I

Umur > 7 th
BCG (PPD -)
Td I
POLIO I
HB I

1 bl kemudian

Campak atau
MMR
DTP II
POLIO II
HB II
DTP III
POLIO III
POLIO IV

Campak atau
MMR
Td II
POLIO II
HB II

8-14 bl kemudian

HB III

Td III
POLIO III
HB III

10-16 bl kemudian
Umur > 12 bl

DTP ulang
POLIO Ulang
TIPA

TIPA

Booster

Td tiap 10 th

Td tiap 10 th

2 bl kemudian

4 bl kemudian
5 bl kemudian

Keterangan
Dosis 0,05 ml (< 1 th),
0,1 ml (> 1 th ), i.k.
Dosis 0,5 ml, i.m.
Dosis 2 tetes, p.o.
Dosis sesuai pabrik
Dosis 0,5 ml, s.k.
sda

sda
sda
sda

sda
Umur 1-2 th, dosis I 0,2
ml, dosis II 0,4 ml s.k.
Umur 2-12 th, dosis I dan
II 0,5 ml, s.k. dengan
Interval 1 bl
sda

Keterangan
Vaksin Polio oral tidak diberikan pada anak > 18 th Jika kemungkinan terjadi kontak, gunakan
vaksin polio inaktif
Tabel 7. Program Imunisasi di UKS
Kunjungan
Kelas I

Imunisasi
DT

Kelas VI wanita

TT

Keterangan
2 kali dengan interval 1 bl, bila belum mendapat
imunisasi dasar DPT
1 kali bila sudah mendapat imunisasi dasar
Dosis 0,5 ml i.m.
Sda
Dosis 0,5 ml i.m.

Kontra indikasi imunisasi


1. Sakit sedang sampai berat dengan atau tanpa demam merupakan kontra indikasi
imunisasi DTP

23

2. Penderita imunodefisiensi dan imunosupresif merupakan kontra indikasi, kecuali


dalam keadaan tertentu (lihat hal-hal khusus)
3. Pemakaian kortikosteroid topikal jangka lama dan anak sehat yang diobati dengan
kortikosteroid dosis biasa selama > 2 minggu atau dosis tinggi (dosis > 2 mg/kgBB
atau 20 mg/hari) merupakan kontra indikasi pemberian vaksin virus hidup

Keadaan yang bukan merupakan kontra indikasi


1. Sakit akut yang ringan dengan atau tanpa panas atau mencret yang ringan
2. Baru mendapat antibiotik atau pada fase konvalesens
3. Terjadi reaksi pada suntikan DTP sebelumnya yang berupa rasa sakit, kemerahan
atau pembengkakan pada tempat suntikan atau panas tinggi
4. Prematuritas (pemberian imunisasi pada bayi prematur sama seperti pada bayi
normal)
5. Baru terpapar infeksi
6. Satu-satunya virus vaksin yang dapat diisolasi dari ASI adalah virus vaksin rubela,
tetapi terbukti tidak berbahaya buat bayi
7. Riwayat alergi yang tidak spesifik
8. Alergi penisilin atau antibiotik lainnya kecuali reaksi anafilaktik terhadap neomisin
dan streptomisin
9. Alergi daging bebek
10. Riwayat kejang dalam keluarga terutama untuk vaksin pertusis
11. Riwayat sudden infant death di keluarga, misalnya untuk vaksin DTP
12. Riwayat adanya kejadian efek samping di keluarga setelah imunisasi
13. Malnutrisi

Imunisasi pada keadaan khusus


Penderita HIV
Pemberian vaksin OPV, campak, MMR dan BCG merupakan kontra indikasi
Pemberian vaksin DTP, influenza, H. influenzae, IPV dan pneumokokus dapat
diberikan
Vaksin Morbili umur 12-15 bl bisa diberikan, jika
Risiko terpapar tinggi
Terjadi kejadian luar biasa
Didaerah insidensi TBC tinggi, WHO merekomendasikan pemberian BCG pada kasus
HIV asimtomatik
Kontak serumah dengan penderita klinis HIV tidak boleh mendapat OPV, dianjurkan
IPV
Anak tanpa manifestasi HIV, boleh diberikan imunisasi rutin
Bayi prematur
Diberikan imunisasi sesuai umur kronologis
Dosis tidak perlu dikurangi
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of pediatrics. Active immunization. Dalam: Peter G, penyunting. 1997 Red
book: Report of the committee on infectious diseases, edisi ke-24. Elk Grove Village IL: American
Academy of pediatrics, 1997; 4-36.
Modul imunisasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Needlman RD. Growth and development. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders, 1996; 30-72.
Soetjiningsih. Penilaian perkembangan anak. Dalam: Ranuh IG, penyunting. Tumbuh kembang
anak, Surabaya: ECG, 1995; 63-94.
Soetjiningsih. Penilaian pertumbuhan fisik anak. Dalam: Ranuh IG, penyunting. Tumbuh
kembang anak, Surabaya: ECG, 1995; 37-62.

24

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Dalam: Ranuh IG, penyunting. Tumbuh kembang anak,
Surabaya: ECG, 1995; 1-36.
Sudjarwo SR. Uji skrining perkembangan dengan metoda Denver II. Deteksi dan intervensi dini
penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXVII, Jakarta
1996 : 21-3
Wasserman E. Growth and development. Survey of clinical pediatrics; edisi ke-7. Auckland: Mc
Grow-Hill Int. Book Co, 1981:1-16
Markum AH, Ismael S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S. Buku ajar ilmu
kesehatan anak jilid I. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 1991

25

KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)

BATASAN
Keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG)
KLASIFIKASI
KEP ringan

: Berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO-NCHS


dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median
WHO-NCHS
KEP sedang : BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 70-80% baku
median WHO-NCHS
KEP berat
: BB/U < 60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB < 70% baku median
WHO-NCHS
KEP berat secara klinis terdapat dalam 3 tipe : Kwashiorkor, marasmus dan
marasmik-kwashiorkor Tanpa melihat BB bila disertai edema yang bukan
karena penyakit lain adalah KEP berat tipe kwashiorkor

KEP nyata : Istilah yang digunakan di lapangan yang meliputi KEP sedang dan berat, yang
pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan
berat pada KMS)
KEP total : Jumlah KEP ringan, sedang dan berat
ETIOLOGI
Primer
: Kekurangan konsumsi karena tidak tersedianya bahan makanan
Sekunder : Kekurangan kalori-protein akibat penyakit (misal penyakit ginjal, hati, jantung,
paru dll)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis makanan
Klinis, termasuk antropometri
Laboratorium
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Hb, leukosit, eritrosit, nilai absolut eritrosit, hematokrit (Ht), apus darah tepi,
albumin, protein total, ureum, kreatinin, kolesterol, HDL, trigliserida, Fe, TIBC,
transthyretin serum, elektrolit, glukosa, bilirubin, indeks protrombin dan biakan
Urin
: Kultur, urea N, hidroksiprolin
Apus rektal

PENYULIT
Mudah terserang infeksi
Diare
Hipotermia
Hipoglikemia
Anemia
TERAPI
KEP I (KEP ringan)
Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan dirumah (bilamana penderita rawat jalan)
Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus memberikan ASI sampai 2
th

Bila dirawat inap untuk penyakit lain makanan sesuai dengan penyakitnya agar tidak
jatuh menjadi KEP sedang/berat dan untuk meningkatkan status gizi
KEP II (KEP sedang)
Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI, selalu
dipantau kenaikan BB
Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizi
Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan energi 20-50% diatas
AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap hari, beri
vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih
menderita KEP ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah
gizinya
KEP III (KEP berat)
Pada tatalaksana rawat inap KEP berat di rumah sakit terdapat 5 aspek penting yang
perlu diperhatikan
Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama)
Pengobatan penyakit penyerta
Kegagalan pengobatan
Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
Tindakan pada kegawatan
Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Koreksi defisiensi nutrien mikro
8. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth)
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10.Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh
Pengobatan terdiri dari 3 fase : Stabilisasi, transisi dan rehabilitasi. Petugas
kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase
Tata laksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun
marasmik-kwashiorkor
Bagan dan jadwal pengobatan sbb.
Tabel 8. Bagan dan Jadwal Pengobatan KEP Berat
No

Fase

Stabilisasi
Hari ke-1-2

Hipoglikemia

Hipotermia

Dehidrasi

Elektrolit

Infeksi

Pemberian makanan

Tumbuh kejar/
peningkatan
pemberian makanan

Hari ke-2-7

tanpa Fe

Transisi

Rehabilitasi

Mgg ke-2

Mgg ke-3-7

dengan Fe

Mikronutrien

Stimulasi

10

Tindak lanjut

Pengobatan penyakit penyerta


Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat, yaitu
Defisiensi vitamin A
Bila terdapat tanda defisiensi vitamin A pada mata vitamin A pada hari ke-1, 2
dan 14 p.o. dengan dosis
Umur > 1 th : 200.000 SI/kali
6-12 bl : 100.000 SI/kali
0-5 bl : 50.000 SI/kali
Bila terdapat ulserasi pada mata tambahkan perawatan lokal untuk mencegah
prolaps lensa berupa :
Tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin setiap 2-3 jam selama 710 hari
Tetes mata atropin, 1 tetes, 3 kali sehari selama 3-5 hari
Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
Dermatosis (ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/kulit mengelupas, lesi ulserasi
eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering disertai infeksi sekunder a.l. oleh
kandida; umumnya terdapat defisiensi Zn)
Setelah suplementasi Zn dan dermatosis membaik penyembuhan akan lebih
cepat bila
Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 (K-permanganat) 1%
selama 10 menit
Salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
Usahakan daerah perineum tetap kering
Parasit/cacing
Mebendazol 100 mg p.o., 2 kali sehari, selama 3 hari
Diare berlanjut (diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang dengan
sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Intoleransi laktosa tidak
jarang sebagai penyebab diare. Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada
perbaikan keadaan umum)
Berikan formula bebas/rendah laktosa
Metronidazol 7,5 mg/kgBB p.o. setiap 8 jam, selama 7 hari
Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain
berlanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik
Tuberkulosis (TB)
Bila ada dugaan kuat menderita tuberkulosis, lakukan tes tuberkulin/Mantoux
(seringkali anergi) dan foto toraks
Bila (+) atau sangat mungkin TB obati sesuai pedoman pengobatan TB
Kegagalan pengobatan (kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan
kenaikan BB)
Perhatikan saat terjadi kematian
Dalam 24 jam pertama : Kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang
terlambat atau tidak diatasi, atau proses rehidrasi kurang tepat
Dalam 72 jam : Periksa apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan formula
tidak tepat
Malam hari : Kemungkinan hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi
makan, atau perubahan konsentrasi formula terlalu cepat
Kenaikan BB tidak adekuat pada fase rehabilitasi
Penilaian kenaikan BB
Baik
: > 10 g/kgBB/hari
Sedang : 5-10 g/kgBB/hari

Kurang : < 5 g/kgBB/hari


Penyebab kenaikan BB < 5 g/kgBB/hari
Pemberian makanan tidak adekuat
Defisiensi nutrien tertentu
Infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati (HIV/AIDS)
Masalah psikologik
Penanganan penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila BB/U > 80% atau BB/TB >
90%. Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, dirumah harus terus
diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6 g/kgBB/hari)
Beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein), minimal 5 kali sehari
Beri makanan selingan diantara makanan utama
Upayakan makanan selalu dihabiskan
Beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
ASI teruskan
Tindakan pada kegawatan
Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit dibedakan
secara klinis. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian
cairan i.v sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap overhidrasi
Pedoman pemberian cairan
Berikan cairan dekstrosa 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-dekstrosa 5% (1:1)
15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
Evaluasi setelah 1 jam :
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi, dan pernafasan) dan
status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti
diatas untuk 1 jam berikutnya dengan cairan p.o. atau nasogastrik cairan
rehydration solution for malnutrition (resomal) 10 ml/kgBB/jam sampai 10 jam,
selanjutnya beri formula khusus (F-75/pengganti)
Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik berikan cairan
rumat 4 ml/kgBB/jam dan transfusi darah 10 ml/kgBB perlahan-lahan (dalam 3
jam). Kemudian mulai berikan formula (F-75/pengganti)
Anemia berat
Transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam, bila
Hb < 4 g/dl atau
Hb 4-6 g/dl disertai distres pernafasan
Bila ada tanda gagal jantung packed red cells dengan jumlah yang sama
Furosemid 1 mg/kgBB i.v. pada saat transfusi dimulai
Amati reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok)
Anak dengan distres pernafasan setelah transfusi, Hb tetap < 4 g/dl atau 4-6 g/dl
jangan ulangi

SEPULUH LANGKAH UTAMA PADA TATA LAKSANA KEP BERAT


Langkah ke-1 : Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, sebagai tanda adanya infeksi.
Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (suhu ketiak < 360C/suhu dubur < 360C).
Pemberian makanan yang sering penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut
Bila kadar gula darah dibawah 50mg/dl, berikan
50 ml bolus (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% ( 1 sdt gula
dalam 5 sdm air ) p.o. atau pipa naso-gastrik
Selanjutnya berikan larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali berikan
bagian dari jatah untuk 2 jam)

Berikan antibiotik (lihat langkah 5)


Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6)
Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari
ujung jari atau tumit setelah 2 jam
Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit
Bila gula darah turun lagi sampai < 50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus) larutan
glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil
Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila < 360C dan/atau
kesadaran menurun
Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang ada
dikoreksi
Selalu memberikan makanan sepanjang malam
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat
menderita hipoglikemia dan atasi segera
Langkah ke-2 : Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak < 360C, periksalah suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu
rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada
pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia
Bila suhu dubur < 360C
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan dekat
lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu,
selimuti
Berikan antibiotik (lihat langkah 5)

Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai > 36,50C, bila memakai
pemanas ukur setiap 30 menit
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari
Raba suhu anak
Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia
Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6)
Sepanjang malam selalu beri makan
Selalu selimuti dan hindari basah
Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama)
Langkah ke-3 : Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan.
Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari
beban sirkulasi dan jantung (lihat penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na dan kurang K untuk
penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu Resomal atau
penggantinya (lihat lampiran tentang cairan Resomal)
Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat dengan diare
encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi
Cairan Resomal/pengganti sebanyak 5 ml/kgBB setiap 30 menit selama 2 jam p.o. atau
lewat pipa nasogastrik

Selanjutnya beri 5-10 ml/kgBB/jam untuk 4-10 jam berikutnya ; jumlah tepat yang harus
diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan
cairan melalui tinja dan muntah
Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus
sejumlah yang sama, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil
Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6)
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak mulai
kencing
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2 jam pertama tiap
jam untuk 6-12 jam, dengan memantau
Denyut nadi
Pernafasan
Frekuensi kencing
Frekuensi diare/muntah
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang,
perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada
KEP berat perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai
Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukan
adanya infeksi atau kelebihan cairan
Tanda kelebihan cairan : Frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan
pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan segera
pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut
Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6)
Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti (jumlah lk sama) sebagai pedoman,
berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap kali buang air besar cair
Bila masih mendapat ASI teruskan
Langkah ke-4 : Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah
Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam terjadinya edema (jangan obati edema
dengan pemberian diuretikum). Berikan
K 2-4 mEq/kgBB/hari (150-300 mg KCl/kgBB/hari)
Mg 0,3-0,6 mEq/kgBB/hari (7,5-15 mg MgCl2/kgBB/hari)
Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (Resomal/pengganti)
Siapkan makanan tanpa diberi garam
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung
pada makanan. Penambahan 20 ml larutan pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan
K dan Mg (lihat lampiran untuk cara pembuatan larutan)
Langkah ke-5 : Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukan adanya infeksi seperti demam seringkali
tidak tampak, karenanya pada semua KEP berat beri secara rutin
Antibiotik spektrum luas
Vaksinasi campak bila umur anak > 6 bl dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan
anak sudah memungkinkan, paling lambat sebelum anak dipulangkan)
Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgBB, setiap 8 jam selama 7 hari)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa
usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan
bakteri anaerob dalam usus halus

Pilihan antibiotik spektrum luas


Bila tanpa penyulit
Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat
badan < 4 kg)
Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia, infeksi
kulit, saluran nafas atau saluran kencing), berikan
Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hari, kemudian p.o. amoksisilin
15 mg/kgBB setiap 8 jam, selama 5 hari
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam p.o.
dan
Gentamisin 7,5 mg/kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari
Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25
mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang
sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi pemberian
hingga 10 hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap,
termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah
vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar
Langkah ke-6 : Mulai Pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-hati karena keadaan faali
anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus
dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan
protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja
Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut diatas (tabel pemberian diet
dan cairan) :
Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok/pipet
Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase
stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila
masukan makanan < 80 Kkal/kgBB/hari, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan
memberikan makanan lebih dari 100 Kkal/kg BB/hari pada fase stabilisasi ini
Pantau dan catat
Jumlah yang diberikan dan sisanya
Muntah
Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja
BB (harian)
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada
penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya
edema, baru kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun
pemberian nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten
Langkah ke-7 : Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan > 10 g/kgBB/hari. Awal fase
rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat
terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula khusus
awal ke formula khusus lanjutan
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1,0 g per 100 ml)dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka
waktu 48 jam
Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi
dan protein yang sama

Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (= 200 ml/kgBB/hari)
Pemantauan pada masa transisi
Frekuensi nafas
Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5x/menit dan denyut nadi > 25x/menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula
Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi
Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
Protein 4-6 g/kgBB/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi dan
protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan
Timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan
Setiap minggu kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hari)
Bila kenaikan BB
Kurang (< 5 g/kgBB/hari), perlu re-evaluasi menyeluruh
Sedang (5-10 g/kgBB/hari), evaluasi apakah masukan makanan mencapai target
atau apakah infeksi telah dapat diatasi
Langkah ke-8 : Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro
Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral
Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),
tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah
minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya
Berikan setiap hari
Multivitamin
Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
Tembaga (Cu) 0,2 mg/kgBB/hari
Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferosus 10 mg /kgBB/hari
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 th : 200.000 SI
6-12 bl
: 100.000 SI
0-5 bl
: 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak sudah
mendapat vitamin A)
Langkah ke-9 : Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, berikan
Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit/hari
Aktivitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberikan makan, memandikan, bermain dsb)
Langkah ke-10 : Tindak Lanjut Dirumah
Bila BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
penderita dipulangkan
Peragakan kepada orangtua
Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat
Terapi bermain terstruktur
Sarankan
Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur.

Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)


Pemberian vitamin A setiap 6 bl

Tata Laksana Diet pada Balita KEP Berat


Tata laksana diet pada balita KEP berat ditujukan untuk memberikan makanan tinggi energi,
tinggi protein dan cukup vitamin mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi optimal
Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan
evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut
Pemberian diet
Pemberian diet pada KEP berat harus memenuhi syarat sbb.
Melalui 3 fase yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi
Kebutuhan energi mulai dari 100-200 kalori/kgBB/hari
Kebutuhan protein mulai dari 1-6 g/kgBB/hari
Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian
bahan makanan sumber mineral tertentu, sbb.
Sumber Zn : Daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
Sumber Cu : Tiram, daging, hati
Sumber Mn : Beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Mg : Daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan,
bayam
Sumber K
: Jus tomat, pisang, kacang-kacangan,
kentang,
apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak
Jumlah cairan 150-200 ml/kgBB/hari, bila edema dikurangi
Cara pemberian : p.o. atau lewat pipa nasogastrik
Porsi makanan kecil dan frekuensi sering
Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat,
lihat tabel formula WHO dan modifikasi
Terus memberikan ASI
Jenis makanan berdasarkan berat badan
BB < 7 kg diberikan kembali makanan bayi
BB > 7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap (lihat tabel
tentang fase pemberian diet dan cairan)
Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi (lihat lampiran tentang catatan pola
makan)
Evaluasi dan pemantauan pemberian diet
BB sekali seminggu : Bila tidak naik, kaji penyebab al : Masukan zat gizi tidak
adekuat, defisiensi zat gizi tertentu, mis. : Iodium, ada infeksi, ada masalah psikologis
Pemeriksaan laboratorium : Hb, gula darah, feses (adanya cacing) dan urin
Masukan zat gizi : Bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
Kejadian diare : Gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hipoosmolar, mis. :
Susu rendah laktosa, tempe dan tepung-tepungan
Kejadian hipoglikemia : Beri minum air gula atau makan setiap 2 jam
Penyuluhan gizi di rumah sakit
Menggunakan leaflet khusus yang berisi : Jumlah, jenis dan frekuensi pemberian
bahan makanan
Selalu memberikan contoh menu (lihat lampiran contoh menu)
Mempromosikan ASI

Memperhatikan riwayat gizi (lampiran tentang anamnesis dan catatan pola makan)
Mempertimbangkan sosial ekonomi keluarga
Memberikan demonstrasi/praktek memasak makanan balita untuk ibu
Tindak lanjut
Merujuk ke Puskesmas
Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
Merencanakan pemberdayaan keluarga

Tabel 9. Formula WHO dan Modifikasi


Bahan
Formula WHO
Susu skim bubuk
Gula pasir
Minyak
kelapa/kacang
Larutan elektrolit
Tambahan air
sampai dengan
Nilai gizi per
Energi
Protein
Laktosa
K
Na
Mg

Per 1000 ml

F75

F100

F135

g
g
g

25
100
30

85
50
60

90
65
75

ml
ml

20
1000

20
1000

27
1000

100 ml
kalori
g
g
mmol
mmol
mmol

75
0,9
1,3
3,6
0,6
0,43

100
2,9
4,2
5,9
1,9
0,73

135
3,3
4,8
6,3
2,2
0,8

10

Zn
mg
2,0
2,3
3,0
Cu
mg
0,25
0,25
0,34
% energi protein
5
12
10
% energi lemak
36
53
57
Osmolalitas
mosm/l
413
419
508
Modifikasi Modifikasi Modifikasi
Modifikasi
F75
F100
F135
Formula WHO
Susu full cream
g
35
110
25
Gula pasir
g
100
50
75
Tepung
g
50
beras/tapioka
Tepung tempe
g
150
Minyak
g
20
30
60
kelapa/kacang
Larutan elektrolit
ml
20
20
27
Nilai gizi per
100 ml
Energi
Kalori
75
109.8
132,8
Protein
g
0,9
3,0
3,8
laktosa
g
1,3
5,2
1,3
% energi protein
5
12
11
% energi lemak
36
53
48
Osmolalitas
mosm/l
413
419
508
Keterangan
1. Fase stabilisasi diberikan formula WHO F 75 atau modifikasi
2. Fase transisi diberikan formula WHO F75 sampai F100 atau modifikasi
3. Fase rehabilitasi diberikan secara bertahap dimulai dari pemberian
formula WHO F 135 sampai makanan biasa

Tabel 10. Formulir Anamnesis Riwayat Gizi


Riwayat Gizi Penderita
Nama anak :
Umur/tanggal lahir :

No rekam medik :
Saat lahir :
Tinggi Badan : cm Berat Badan :

Jenis kelamin : Pria/wanita


Nama ayah :
Alamat :

Tinggi Badan :
Nama ibu :

cm Berat Badan :

kg
kg

Pendidikan ayah/ibu :
Pekerjaan ayah/ibu :
Agama :
Daerah asal :
Riwayat makanan : Alergi/suka/tak suka :
Ada penurunan nafsu makan : Ya/tidak, mulai kapan :

Tabel 11. Fase Pemberian Diet/Cairan Balita KEP Berat di Rumah Sakit
Fase

Macam
Diet

I. Stabilisasi
1. BB < 7kg Makanan
Bayi

Uraian diet
Makanan
ASI
Susu bayi/susu rendah
laktosa

Lama diet
Cairan

130-150 ml/kgBB/hari
100 ml/kgBB/hari bila
edema

11

Energi 100 Kkal/kgBB/hari


Protein 1-1,5 g/kgBB/hari
Formula WHO 75
2. BB > 7kg Makanan
Anak
II.Rehabilitasi/ Makanan
Pemulihan/
Bayi
Tumbuh
Kejar
1. BB < 7kg

2. BB > 7kg

Makanan
Anak

Frekuensi 1 sdm/2jam
Frekuensi 2 sdm/3jam
Frekuensi 3 sdm/4jam

1-2 hari
2 hari
3 hari

Susu/susu rendah laktosa Idem.I.1


Energi dan protein idem I.1

Idem

a) ASI dan susu bayi/susu


rendah laktosa
Energi 150-200
Kkal/kgBB/hari
Protein 2-3 g/kgBB/hari
(Formula WHO 100)

150-200 ml/kgBB/hari
(ditingkatkan 10 ml
setiap kali minum)

1-2 hari
Seterusnya
sampai 80%
BB/U standar
WHO-NCHS

b) ASI dan Formula WHO


130 + makanan lumat +
makanan lembek

Tak terbatas

Idem

Idem II.1
Formula 135 + makanan
saring/lunak

Idem II.1
Idem II.1

CONTOH MENU
1. Bayi ( BB < 7 kg )
a. Makanan lumat
Pukul 06.00
Formula modifikasi WHO
Pukul 08.00
Bubur tepung beras/sagu/terigu + santan
Telur rebus
Pukul 10.00
Formula WHO/modifikasi
Sari tomat
Pukul 12.00
Bubur tepung beras + santan
Sup tahu + wortel parut + kaldu
Pukul 14.00
Formula WHO/modifikasi
Pukul 16.00
Formula WHO/modifikasi
Sari pepaya
Bubur tepung beras
Pepes ayam + bayam (cincang)
Pukul 20.00
Formula WHO/modifikasi
Pukul 22.00
Formula WHO/modifikasi
b. Resep bubur preda untuk diare kronik
Cara membuat bubur ayam untuk diare (untuk 1 resep )
Bahan
15 g tepung beras
15 g tepung maizena
50 g daging ayam tanpa lemak (dada/paha)
1 sdt minyak kelapa
1 sdt minyak kacang/jagung/kedelai
Garam dan daun seledri secukupnya
Tambahan : 1 tablet vitamin B kompleks
25 mg vitamin C
Cara membuat
Daging ayam direbus sampai empuk, lalu dipotong kecil-kecil
Daging ayam kuahnya sebanyak 200 ml diblender bersama minyak kelapa dan minyak
kacang/jagung/kedelai sampai tercampur rata

12

Campuran tersebut dibuat bubur bersama tepung beras dan tepung maizena sampai
masak
Tambahkan garam dan daun seledri, kemudian angkat dari api
Untuk menambah warna, daun seledri bisa diblender bersama ayam
Nilai gizi
Energi
= 277 Kkal
Protein
= 10,2 g
Lemak
= 14,5 g
Karbohidrat
= 25 g

2. BB > 7 kg
Waktu
06.00
08.00

10.00
12.00
15.00
18.00

21.00

Menu ke-I
Formula WHO/modifikasi
Bubur kaldu ayam
Tahu bacem
Minum manis
Kue talam manis
Bubur nasi
Pisang
Getuk ubi merah
Bubur beras
Pepes teri
Tumis kangkung
Formula WHO/modifikasi

CAIRAN RESOMAL TERDIRI DARI


Air
Bubuk WHO-ORH untuk 1 liter (*)
Gula pasir
Larutan elektrolit/mineral (**)

Menu ke-ll
Formula WHO/modifikasi
Sawut singkong+kelapa muda parut
Tempe kripik
Minum manis
Nagasari
Bubur Manado (beras+ikan+bayam)
Pepaya
Cendol
Frikadel jagung (jagung+terigu telur)
Sup wortel + buncis
Formula WHO/modifikasi

2
1
50
40

liter
pak
gram
gram

Setiap 1 liter cairan Resomal ini mengandung 45 mEq Na, 40 mEq K dan 1,5 mEq Mg
(*) : Bubur WHO-ORS untuk 1 liter mengandung 3,5 g NaCl,
2,9 g trisodium citrat dihidrat 1,5 g KCL dan 20 g glukosa
(**) : Larutan elektrolit mineral terdiri atas :
KCl
224 g
Tripottassium citrat
81 g
MgCl2 6H20
76 g
Zn asetat 2H20
8,2 g
1,4 g
CuSO4 5H20
Air sampai larutan menjadi 2500 ml
Bila tidak memungkinkan untuk membuat larutan elektrolit/mineral seperti diatas, sebagai
alternatif atau pengganti Resomal dapat dibuat larutan sbb. :
Air
2 liter
Bubuk WHO-ORS untuk 1 liter (*)
1 pak
Gula pasir
50 g
Bubuk KCl
4 g
Atau bila sudah ada WHO-ORS yang siap pakai (sudah dilarutkan), dapat dibuat larutan
pengganti sbb. :

13

Larutan WHO-ORS 1 liter


Air
1 liter
Gula pasir
50 g
Bubuk HCl
4 g
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka berikan makanan
yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan MgSO4 50% i.m. 1x dengan
dosis 0,3 ml/kgBB (maks. 2 ml)
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Hasil penataran petugas kesehatan dalam rangka pelayan gizi
buruk di Puskesmas dan Rumah Sakit. BLK Cimacan: Oktober 1981; 1-28.
Departemen Kesehatan RI, WHO, Unicef. Buku bagan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS). Indonesia: Jakarta, 1997; 7,18.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman penanggulangan
kekurangan energi protein (KEP) dan petunjuk pelaksanaan PMT pada balita. Jakarta, 1997; 1136.
London School of Hygiene and Tropical Medicine. Dietary management of PEM (Not
Published, 1998); 10-15.
WHO. Guidelines for the inpatient treatment of severely malnourished children, WHO Searo,
1998; 1-13.
Waterlow JC. Protein energy malnutrition. London: Edward Arnold, 1992; 164-77.
Departemen kesehatan RI. Petunjuk teknis bagi bidan desa program jaring pengaman sosial
bidang kesehatan (JPS-BK).

DEFISIENSI VITAMIN A (XEROFTALMIA)

BATASAN
Berbagai macam manifestasi akibat defisiensi vitamin A, khususnya kelainan pada mata
(xeroftalmia)
Klasifikasi xeroftalmia (WHO, 1981)
XN
: Rabun senja
XIA
: Xerosis konjungtiva
XIB
: Bercak bitot
X2
: Xerosis kornea
X3A
: Ulkus kornea/keratomalasia < 1/3 permukaan kornea
X3B
: Ulkus kornea/keratomalasia < 1/3 permukaan kornea
XS
: Jaringan parut pada kornea
XF
: Xeroftalmia fundus
KRITERIA DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisis (xeroftalmia)
Gejala defisiensi pada mata
Berkurangnya penglihatan di waktu senja (rabun senja)
Mata bersisik, silau, keluar cairan dan sakit mata
Gejala lain
Malabsorpsi lemak, diare menahun, penyakit hati menahun
Kelainan kulit berupa hiperkeratosis folikuralis (biasanya pada bagian lateral lengan,
tungkai bawah dan bokong)
TERAPI
Umur > 1 th

14

Hari ke-1 : Vit. A 200.000 IU p.o.


Hari ke-2 : Vit. A 200.000 IU p.o.
Saat dipulangkan : Vit. A 200.000 IU p.o.
Umur < 1 th 1/2 dosis di atas
KONSULTASI
Bagian Mata, untuk kasus X2 dan seterusnya
Bagian Kulit (bila perlu)

NUTRISI PADA PENYAKIT AKUT

PENYAKIT AKUT
Untuk 2-3 hari pertama tidak perlu dikhawatirkan kekurangan masukan kalori
Kebutuhan kalori meningkat 10% untuk setiap kenaikan 10C
Anak sakit berat atau pasca operasi perlu penambahan kalori sebanyak 20-30%
Kebutuhan protein dinaikkan sampai 3x kebutuhan baku pada keadaan metabolisme
jaringan berlebihan
Vitamin dan mineral diberikan setiap hari sesuai dengan kebutuhan
PENYAKIT GINJAL
Bila disertai edema/hipertensi diet rendah garam (maks. 1 g/hari)
Pada sindroma nefrotik diet tinggi protein (2-3 g/kgBB/hari)
Pada keadaan oliguria pembatasan cairan
PENYAKIT JANTUNG
Diet small & frequent feedings, bila edema (+) diet rendah garam (maks. 1 g/hari)

RAWAT GABUNG
Syarat utama rawat gabung penuh : Bayi yang kuat menghisap dan ibu yang tidak sakit
berat sedangkan pelaksanaannya tergantung pada kondisi dan situasi rumah sakit
setempat. Rawat gabung parsial dapat dilakukan pada bayi yang memerlukan observasi
atau pengawasan seperti bayi dengan berat lahir rendah, bayi lahir dengan tindakan dll
Kebutuhan minimum untuk sarana pelaksanaan rawat gabung yang ideal tercantum pada
pelaksanaan rawat gabung di rumah sakit
Rawat gabung dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya, hal-hal yang dilakukan berkenaan
dengan pelaksanaan rawat gabung adalah sbb :
Di Unit Rawat Jalan Kebidanan
Melaksanakan komunikasi informasi edukasi (KIE) dengan pesan antara lain tentang
manfaat ASI dan rawat gabung
Melaksanakan KIE dengan pesan antara lain tentang perawatan payudara dan makanan
ibu hamil
Melaksanakan KIE tentang KB, imunisasi dan kebersihan

15

Mengatasi masalah pada payudara ibu, kalau perlu dirujuk ke klinik laktasi
Menyelenggarakan senam hamil
Di Ruang Bersalin
Segera setelah bayi dilahirkan, bayi dibawa kepada ibunya agar mulut bayi ditempelkan
pada payudara ibu (walaupun mungkin saja ASI belum keluar) untuk mulai mengisap
payudara ibu agar merangsang pengeluaran ASI
Untuk ibu yang mendapat narkose umum, bayi disusukan setelah ibunya sadar
Di Ruang Rawat Gabung
Bayi diletakkan dekat ibunya
Paramedis di ruang rawat gabung, harus mengawasi agar bayi disusukan minimal 8 kali
dalam 24 jam tanpa perlu dilakukan penjadwalan (sesuai keinginan dan kebutuhan bayi
on demand feeding). Setiap kali menyusukan, bayi harus mendapatkan susu dari ke-2
payudara secara bergantian
Pada hari ke-1 bayi tidak boleh diberi prelacteal feeding (larutan gula, madu, air putih).
Bayi harus segera mendapatkan ASI dari ibunya, bila pada hari berikutnya ASI belum
keluar dan bayi rewel, boleh diberi minum akan tetapi harus diberikan dengan sendok.
Bila bayi tidak rewel tetap diberikan ASI saja
Memberi
KIE
tentang
perawatan
payudara/tali
pusat,
cara
mempertahankan/memperbanyak produksi ASI, cara memberi ASI pada ibu bekerja,
makanan ibu menyusui, KB, cara memandikan bayi, imunisasi dan penanggulangan
diare
Memotivasi ibu pada saat pulang dari rumah sakit tentang manfaat klinik laktasi
Di Klinik Laktasi
Tempat konsultasi, dan dilakukan kegiatan
Memantau kesehatan ibu nifas dan bayi
Memberi KIE dengan pesan gizi ibu, mengatasi kesulitan proses laktasi, dan menjaga
kelangsungan proses menyusui
Melakukan demonstrasi perawatan bayi
Peran Dokter Dalam Rawat Gabung
Menggariskan kebijaksanaan dan tata tertib rawat gabung
Melaksanakan perawatan ibu dan anak
Merencanakan, melaksanakan, dan menilai kegiatan KIE kepada ibu dan keluarganya
tentang laktasi dan gizi ibu
Peran Paramedis Dalam Rawat Gabung
Pada rawat gabung ibu dapat berperan sbb.
Mempraktekkan hal-hal yang diajarkan petugas kesehatan, misalnya tentang merawat
payudara, menyusui bayinya, merawat tali pusat, dll
Mengamati hal-hal yang tidak bisa (kelainan) yang terjadi pada bayi atau pada dirinya
dan melaporkan pada petugas
Persyaratan Rawat Gabung yang Ideal
Bayi
Ditempatkan dalam boks tersendiri dekat tempat tidur ibu sehingga mudah dijangkau dan
dilihat oleh ibu
Bila tidak terdapat tempat tidur bayi, bayi boleh diletakkan ditempat tidur ibu
Agar mengurangi bahaya bayi jatuh dari tempat tidur, sebaiknya dua tempat tidur ibu
didekatkan
Tesedianya pakaian bayi

16

Ibu
Tempat tidur ibu diusahakan rendah untuk memudahkan naik/turun
Tersedia perlengkapan nifas
Ruangan
Ukuran ruang untuk satu tempat tidur 1,5 x 3 m2
Ruang unit ibu/bayi yang masih memerlukan perawatan harus dekat dengan ruang
petugas
Sarana
Lemari pakaian (ibu dan anak)
Tempat mandi bayi dan perlengkapannya
Tempat cuci tangan ibu (air mengalir)
Setiap ruangan mempunyai kamar mandi tersendiri bagi ibu
Sarana penghubung (bel/intercom)
Petunjuk/sarana perawatan payudara, perawatan bayi, makanan ibu menyusui, dan nifas
dengan bahasa yang sederhana (buku pintar)
Perlengkapan perawatan bayi
Petugas
Satu orang petugas untuk 6 pasang ibu dan bayi
Mempunyai kemampuan dan keterampilan pelaksanaan rawat gabung
Lain-lain
Perlengkapan lain sesuai dengan kelas perawatan rumah sakit pendidikan
Tersedianya sarana audivisual mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rawat gabung
Tersedianya buku yang berkaitan dengan
Perawatan ibu hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan perawatan bayi
Gizi ibu dan bayi
KB
Imunisasi
Sistem pencatatan dan pelaporan
Catatan medis diperlukan untuk mencatat keadaan bayi dan ibu setiap hari

SEPULUH LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN MENYUSUI

17

Setiap fasilitas yang menyediakan pelayanan persalinan dan perawatan bayi baru lahir
seyogyanya
1. Mempunyai kebijakan tertulis tentang menyusui yang secara rutin
2. Melatih semua staf pelayanan kesehatan dengan keterampilan yang diperlukan untuk
menerapkan dan melaksanakan kebijaksanaan tersebut
3. Menjelaskan kepada seluruh ibu hamil tentang manfaat dan penatalaksanaan menyusui
4. Membantu ibu untuk mulai menyusui bayinya dalam waktu jam setelah melahirkan.
5. Memperlihatkan kepada ibu bagaimana cara menyusui dan cara mempertahankan
pelaksanaannya sekalipun pada saat ibu harus berpisah dengan bayinya
6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir,
kecuali bila ada indikasi medis
7. Melaksanakan/memungkinkan/mengizinkan rawat gabung ibu dan anak untuk selalu
bersama selama 24 jam
8. Mendukung ibu agar memberi ASI sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bayi on demand
9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang sedang menyusu
10. Membentuk kelompok pendukung menyusui dan menganjurkan ibu yang pulang dari rumah
sakit atau klinik untuk selalu berhubungan kelompok tersebut
(Dikutip dari Protecting, Promoting and Supporting Breast feeding
The special role of maternity service, WHO. 1989)

NASIHAT UNTUK IBU


PEMECAHAN MASALAH YANG PALING SERING DIJUMPAI
-----------------------------------------------------------------------------------------------------Masalah
: Puting susu yang tertarik ke dalam, mengerut dan datar
Penyebab : Invaginasi lekukan payudara yang persisten/menetap
Sekunder terhadap proses patologis intra mammae
(jarang,
misalnya : Duktus ektasi, papiloma intraduktal)
Perawatan : Hoffmans exercises, yaitu kedua ibu jari mengurut puting susu secara sentrifugal
Memompa payudara
Memakai penarik puting susu dari plastik (alat khusus)
Perawatan payudara
-----------------------------------------------------------------------------------------------------Masalah
: Puting susu yang sakit, pecah-pecah ataupun lecet
Penyebab : Tehnik dan posisi menyusui yang salah
Bendungan

18

Adanya iritasi oleh bahan seperti sabun, lotion, dll


Monilia/jamur
Bayi dengan frenulum pendek (jarang)
Perawatan : Posisi menyusui yang tepat
Cegahlah bendungan dengan lebih sering menyusui
Jangan ditutup dan biarkan kering di udara
Salep lanolin atau minyak vitamin E
Pemberian nistatin bila ada indikasi
Rangsanglah bayi sebelum menyusui agar refleks letdown sempurna
Mulailah setiap kali menyusui pada payudara yang paling sedikit terkena
Pemakaian analgetik ringan
Memakai penutup puting susu dari plastik
Terakhir (bila sakit sekali) berhenti menyusui untuk 24-36 jam, tapi ASI harus
diperas keluar untuk tidak mengganggu produksi

Masalah
: Bendungan
Penyebab : Pengeluaran ASI yang kurang (tidak adekuat) atau kurang sering menyusui
Perawatan : Kompres dengan air hangat atau disiram air hangat
Diurut dan diperas atau dipompa untuk mengurangi bendungan alveolar
Lebih sering menyusui
Memakai analgetik yang ringan

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, WHO, Unicef. Buku bagan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS). Indonesia: Jakarta, 1997; 7-18.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman tatalaksana
kekurangan energi protein pada anak di rumah sakit kabupaten/kodya. Jakarta, 1998; 1-25.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman penanggulangan
kekurangan energi protein (KEP) dan petunjuk pelaksanaan PMT pada balita. Jakarta, 1997; 1136.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Hasil penataran petugas kesehatan dalam rangka pelayan gizi
buruk di Puskesmas dan Rumah Sakit. BLK Cimacan: Oktober 1991; 1-28.
London School of Hygiene and Tropical Medicine. Dietary management of PEM (Not
Published, 1998); 10-15.
Waterlow JC. Protein energy malnutrition. London: Edward Arnold, 1992; 164-77.
WHO. Guidelines for the inpatient treatment of severely malnourished children, WHO Searo,
1998; 1-13.

19

RESUSITASI KARDIOPULMONAL OTAK

BATASAN
Resusitasi adalah segala bentuk usaha yang dilakukan terhadap orang
yang berada dalam keadaan gawat atau kritis untuk mencegah
terjadinya kematian
Gawat adalah keadaan yang berkenaan dengan suatu penyakit atau
kondisi sakit yang lain yang mana terdapat bahaya kematian
Darurat adalah keadaan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diperkirakan
sebelumnya, suatu kecelakaan, kebutuhan yang segera atau mendesak
BEBERAPA BATASAN DALAM PROSES KEMATIAN
Keadaan terminal
: Keadaan
terjadinya
kegagalan
mekanisme
kompensasi tubuh terhadap proses kerusakan sistem
organ vital
Henti sirkulasi
: Keaadaan klinis yang ditandai dengan berhentinya
sirkulasi secara mendadak pada individu yang tidak
diperkirakan meninggal pada saat itu.
Keadaan ini ditandai dengan keadaan koma, apnea,
pernafasan megap-megap (gasping) atau nadi tidak
teraba atau seperti mati
Kematian klinis
: Keadaan klinis yang ditandai dengan koma, apnea,
tidak ada gasping, tidak teraba, tetapi kegagalan SSP
masih reversibel
Kematian otak
: Kerusakan sebagian atau seluruh jaringan SSP
secara reversibel, tidak ada fungsi hemisfer serebri
dan batang otak, tidak dapat mempertahankan
homeostasis ekstema (tidak sadar diri, tidak ada
respons tingkah laku terhadap lingkungan) dan
hemeostasis interna (fungsi normal pernafasan,
kardiovaskular, kontrol suhu, saluran cerna dll).
Secara klinis keadaan ini ditentukan dengan tidak
adanya fungsi batang otak.
Kematian batang otak : Tidak ada pernafasan spontan, tidak ada refleks
cahaya, pupil dilatasi dan terfiksasi, tidak ada
gerakan mata spontan, tidak ada refleks kornea, tes
okulosefalik (dolls eye) dan tes okulo-vestibular (tes
kalori) negatif
Kematian panorganik : Kerusakan seluruh jaringan tubuh secara ireversibel
(kematian biologis)
Kematian sosial
: Keadaan peredaran darah dan pernafasan (status
vegetatif) dapat dipertahankan secara spontan atau
buatan, aktivitas serebral masih ada tetapi abnormal,
kesadaran menurun sampai koma, dan keadaan
vegetatif tidak dapat dikembalikan lagi

Secara klasik seseorang dinyatakan mati apabila :


1. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/
ireversibel (setelah resusitasi jantung paru/RJP), dan
2. Telah terbukti terjadi kematian batang otak (diruang perawatan intensif)
ETIOLOGI KASUS PEDIATRIK GAWAT DARURAT
Gawat darurat jantung, paru dan otak
Gagal jantung fibrilasi ventrikel primer, henti jantung primer, dan
kelainan irama jantung, gagal nafas, anoksia alveolar, asfiksia, status
asmatikus, henti nafas primer, dan obstruksi saluran nafas, hipoksia,
iskemia dan edema otak, perdarahan intrakranial, dan tekanan tinggi
intrakranial
Gawat darurat homeostatis
Gangguan keseimbangan air, elektrolit, asam basa dan metabolik,
rejatan, dan gagal ginjal
Gawat darurat perdarahan
Kelainan trombosit, pembuluh darah dan faktor pembekuan
Gawat darurat khusus
Kejang, keracunan, penurunan kesadaran, abdomen akut,
kecelakaan dan trauma kepala tenggelam, tersendak benda asing,
sengatan listrik. luka bakar, heat stroke, hipo/hipertermia
Penyebab henti kardiorespirasi tersering pada anak adalah trauma,
infeksi, aspirasi benda asing, sindroma kematian bayi mendadak.
kekurangan volume cairan intravaskular, sepsis dan meningitis
Henti jantung primer anak jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh
penyakit jantung bawaan, miokarditis, atau distrimia. Pada umumnya
henti jantung pada anak terjadi sekunder setelah henti nafas primer
Kebanyakan penderita < 1 th, angka kematian lebih dari 75% bila
kejadian dimulai diluar rumah sakit
Pencegahan, pengenalan, dan interfensi dini gagal nafas dan henti
sirkulasi harus selalu diperhatikan
PATOFISIOLOGI
Kolaps sirkulasi selama henti jantung menghambat perfusi ke jaringan
otak dan organ lainnya menyebabkan kerusakan ireversibel pada organorgan vital. Tanpa ventilasi adekuat, O2 dalam darah sangat cepat
dikonsumsi dan tidak dapat diperbaharui. Kesadaran timbul sesudah
anoksia berlangsung 10-20 detik. Respons jantung pertama adalah
takikardia dan hipertensi. Sesudah 60-90 detik, mekanisme kompensasi
akan gagal, denyut jantung melambat hipotensi. Asistole akan timbul
sesudah anoksia 3-5 menit. Oleh karena itu resusitasi kardiopulmonal
akan berhasil baik bila dilakukan dalam 4 menit sejak terjadinya henti
jantung, kemudian diberikan bantuan hidup lanjut dalam waktu 8 menit
sesudah henti jantung

KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala umum dapat berupa kelelahan dan berkeringat banyak
Disfungsi pernafasan : Sianosis, pernafasan cuping hidung, retraksi
dinding dada, merintih (grunting), suara pernafasan /tidak terdengar,
mengi, takipnea dan apnea
Disfungsi serebral : Agitasi, gelisah, bingung, sakit kepala, tidak ada
respons terhadap rangsang fisik, kejang, dan koma
Disfungsi kardiosvaskular : Takikardia, hipertensi, bradikardia,
hipotensi, kolaps perifer dan henti jantung
Laboratorium : Analsis gas darah/AGD
Hipoksemia
PaO2 neonatus < 40-50 mmHg ; anak < 50-60 mmHg
Hiperkapnia
PaCO2 neonatus > 60-65 mmHg ; anak > 55-60 mmHg
Asidosis metabolik/respiratorik (pH < 7,35)
Catatan :
Penderita tersangka henti kardiopulmonal perlu pemeriksaan pernafasan
dan nadi yang segera. Mula-mula yakinkan bahwa jalan nafas terbuka,
lihat gerakan nafas pada dinding dada, dan dengarkan suara pernafasan
untuk menentukan apakah ada ventilasi atau tidak
Jika tidak ada aktivitas ventilasi, lakukan ventilasi awal 2x, rabalah nadi
(arteri brakialis pada bayi < 1 th, arteri femoralis pada anak > 1 th atau
arteri karotis pada anak yang lebih besar). Bila nadi tidak teraba/sangat
lambat pada penderita henti nafas dan tidak sadar segera lakukan
kompresi jantung luar sesudah resusitasi kardiopulmonal dimulai, harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis yang lebih seksama
PEMERIKSAAN PENUNJANG
AGD
PENYULIT
Tergantung kelainan yang mendasarinya dan kecepatan serta ketepatan
mendapat resusitasi
KONSULTASI
Penderita yang mendapat resusitasi harus disiapkan ke ruang perawatan
intensif
PENATALAKSANAAN RESUSITASI
Dasar penatalaksanaan resusitasi pada bayi dan anak mengikuti format
ABC pada orang dewasa
A. Membebaskan jalan nafas
B. Bantuan pernafasan
C. Bantuan sirkulasi
D. Pemberian obat-obatan
B. Kejutan listrik (defibrilasi)

Pastikan adanya henti kardiopulmonal, letakkan penderita dalam posisi


netral diatas permukaan yang keras dan rata, upayakan supaya leher
stabil, bebaskan jalan nafas, berikan ventilasi dengan O2 100% (bila
mungkin), berikan kompresi jantung, masukan obat-obatan dan cairan
yang sesuai, dan berikan energi dengan dosis yang benar untuk
defibrilasi (bila ada indikasi)
Pemberian O2, cairan, dan obat-obatan memerlukan pendekatan yang
terorganisasi. Bila hanya ada seorang dokter, lakukan prosedur
berurutan, delegasikan tindakan yang mungkin dikerjakan oleh
paramedis yang terlatih. Bila terdapat lebih dari seorang dokter
memungkinkan beberapa tindakan dikerjakan simultan dan harus ada
yang bertindak sebagai pemimpin atau pemimpin resusitasi. Pemimpin
bertanggung jawab dalam hal penanganan jalan nafas, memberi
instruksi pemberian obat, dan mendelegasikan pekerjaan lain kepada
anggota yang lain, meliputi akses vaskular, mengambil contoh darah,
dan mecatat keterangan penderita
PROTOKOL RESUSITASI
Urutan tindakan resusitasi dimulai dengan menentukan apakah penderita
tidak sadar, memanggil bantuan, pastikan tidak bernafas, meletakkan
penderita diatas permukaan yang keras dan datar (papan resusitasi),
bebaskan jalan nafas, memberikan 2x ventilasi awal, memastikan tidak
ada denyut nadi, dan kompresi jantung
A. Membebaskan jalan nafas
Membuka jalan nafas dengan menengadahkan kepala dan
menopang dagu (head tilt-chin lift) sehingga anak berada pada
sniffing position. Bila dicurigai trauma leher, kepala dalam posisi
netral dan lakukan gerakan mengedapkan/mencakilkan rahang
(jaw thrust). Dengan cara demikian lidah akan menjauhi bagian
belakang faring dan membuka jalan nafas
Mulut penderita dapat dibuka dengan menyilangkan ibu jari dan
jari telunjuk diantara rahang atas dan bawah (cross finger). Lendir
atau kotoran didalam rongga mulut dibersihkan secara manual
dengan jari atau dilakukan penghisapan dengan alat penghisap
Pipa orofaring dapat menahan lidah supaya tidak jatuh kebelakang
menyumbat faring
Intubasi endotrakea akan mempermudah bantuan ventilasi
Krikotirotomi merupakan akses jalan nafas terakhir bila intubasi
endotrakea tidak dapat dikerjakan
Trakeostomi dilakukan bila diperlukan terapi ventilator jangka lama
Bila tersedak, benda asing di rongga faring dapat diambil dengan
forseps magill melalui penglihatan langsung, atau dengan
melakukan tepukan punggung bayi (back blow), manuver Heimlich
atau hentakan subdiafragma-abdomen pada anak yang lebih
besar

B. Bantuan pernafasan
Lihat, dengar dan rasakan adanya ventilasi yang efektif dengan
cepat (dalam 3-5 detik)
Untuk bantuan pernafasan, cara terbaik memakai balon dan pipa
endotrakea (lebih disukai), atau balon dan masker. Mulailah
dengan 2x ventilasi dengan kekuatan dan waktu yang cukup untuk
mengembangkan dada (1,5-2 detik tiap nafas)
Bila kurang terlatih atau tidak ada balon, cara paling efektif adalah
dari mulut ke-mulut atau dari mulut ke-hidung dan mulut. Kadar O2
udara inspirasi dapat ditingkatkan dengan meletakkan pipa O2
kesudut mulut sebanyak 6-8L /menit
Bila tidak ada respons terhadap bantuan ventilasi, mungkin ada
kesalahan posisi penderita atau saluran nafas tersumbat benda
asing
Perlu diperhatikan pada tindakan diatas, dada mengembang
secara simetris, perlahan dan tidak diikuti perut yang
mengembung
C. Sirkulasi
Bila mungkin, pasanglah alat monitor jantung. Nilai nadi karotis pada
anak besar, nadi brakialis atau femoralis pada bayi
Bila nadi teraba lakukan pemeriksaan tekanan darah, pengisian
kapiler, dan suhu ekstremitas
Bila nadi tidak teraba/tidak adekuat lakukan kompresi jantung yang
ritmik dan serial dengan lokasi tekanan pada 1/3 tengah dan 1/3
bawah sternum. Pada tiap akhir kompresi biarkan sternum kembali ke
posisi netral, dan berikan periode waktu yang cukup untuk kompresi
dan relaksasi.
Pada neonatus, tangan operator melingkari dada, dan ke-2 ibu jari
diletakkan dibawah garis antar-puting menekan dada sedalam 2
cm, atau
Letakkan punggung bayi diatas telapak tangan dan gunakan ujung
jari tangan lainnya untuk kompresi sternum 1 jari dibawah garis
antar puting sedalam 2 cm
Pada anak umur < 8 th, satu telapak tangan penolong diletakkan 2
jari diatas prosesus xipoideus, lakukan kompresi sedalam 2,54
cm
Pada anak umur > 8 th dan dewasa, telapak tangan yang satu
diletakkan diatas punggung tangan yang lainnya, 2 jari diatas
prosesus xipoideus, kedalaman kompresi sternum 3,55 cm
Efektivitas kompresi jantung dinilai dengan meraba denyut nadi
karotis, brakialis, femoralis, atau umbilikalis (pada neonatus).
Rasio kompresi/ventilasi adalah 5:1, kecuali neonatus yang
diintubasi rasionya 3:1, dan pada anak umur > 8 th atau dewasa
rasionya 5:1 bila dilakukan oleh 2 penolong, dan 15:2 oleh 1
penolong

Akses intravena
Pemasangan dimulai di vena kulit kepala (pada bayi) atau vena
perifer. Akses vena sentral berguna pada kasus renjatan,
biasanya pada v. jugularis eksterna atau v. femoralis. Hindari
pemasangan pada v. subklavia dan v. jugularis interna di ruang
gawat darurat untuk menghindari penyulit. Bila akses perkutan
gagal lakukan seksio (venous cutdown) v. safena magna atau v.
femoralis. Pada kasus yang mengancam jiwa seksio vena harus
dicoba bila akses perkutan gagal dikerjakan dalam 2 menit. Infus
intra oseus harus dicoba bila akses intravena perifer atau seksio
vena belum terpasang dalam 5 menit, lokasi terbaik adalah pada
tibia, walaupun dapat dilakukan pada femur dan krista iliaka
Atasi penyebab henti kardiorespirasi
Tindakan ini penting terutama pada hipotermia, renjatan, disritmia,
tekanan intrakranial , atau kegagalan pompa jantung
D. Obat-obatan
Pilihan pertama :
Tujuan awal pengobatan pada penderita henti kardiorespirasi adalah
mengatasi hiposekmia, asidosis, hipotensi dan meningkatkan denyut
jantung. Setiap kali selesai memberikan obat melalui vena perifer,
saluran infus harus dibilas (bolus) dengan 5 ml NaCl fisiologis dan
mengangkat ekstremitas beberapa saat untuk mendorong obat
masuk kedalam sirkulasi sentral. Ca dan bikarbonat akan mengendap
bila dicampurkan, dan larutan alkali kuat akan menginaktifkan
epinefrin, dopamin, dan isoproterenol
Oksigen
Berikan inspirasi O2 maksimum pada semua henti kardiorespirasi
Epinefrin
Diberikan pada keadaan henti jantung, bradikardia simtomatik
yang tidak berespons terhadap bantuan ventilasi, pemberian O2
dan hipotensi yang tidak berhubungan dengan deplesi volume
cairan. Efek adrenergik alfa (vasokonstriktor) akan meningkatkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah sistole/diastole.
Efek adrenergik beta meningkatkan kontraktilitas miokardium dan
denyut jantung.
Dosis awal i.v. atau intra oseus 0,01 mg/kgBB (0,1 ml/kgBB
larutan standar 1:10.000). Bila henti jantung menetap dosis ke-2
dan berikutnya 0,1 mg/kgBB (0,1 ml/kgBB larutan konsentrasi
tinggi 1:1.000), diulang tiap 3-5 menit selama resusitasi. Bisa
diberikan melalui pipa endotrakea 0,1 mg/kgBB (0,1 ml/kgBB
larutan konsentrasi tinggi 1:1.000), dilarutkan sampai 3-5 ml
dengan larutan NaCl fisiologis
Bikarbonat
Hanya diberikan bila terjadi henti jantung yang lama (10 menit),
krisis hipertensi pulmonal, hiperkalemia atau asidosis metabolik
yang berhubungan dengan disfungsi organ (disritmia, disfungsi

miokardium, hipotensi). Bikarbonat diberikan bila sudah terdapat


pernafasan yang adekuat (spontan atau bantuan)
Dosis 0,5 mEq/kgBB pada bayi dan 1 mEq/kgBB pada anak,
diberikan sekali pada saat permulaan resusitasi. Bila hasil AGD
tidak ada, dosis dapat diulang 0,5 mEq/kgBB tiap 10 menit infus
lambat (1-2 menit). Bila ada AGD, HCO3 (mEq/l) dapat diberikan
dengan perhitungan berikut ini
Defisit bikarbonat = (HCO3 diharapkan HCO3 sekarang) x
0,3 x BB (kg)
Perhitungan defisit bikarbonat juga dapat dilakukan dengan cara
seperti ini
Bila pH : 7,20-7,30
Defisit bikarbonat = (HCO3 normal HCO3 sekarang) x 20%
BB total (liter)
Bila pH < 7,20
Defisit bikarbonat = (HCO3 normal HCO3 sekarang) x 50%
BB total (liter)
Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan alkalosis metabolik,
hiperkapnia,
hipokalemia,
hipernatremia,
hiperosmolalitas,
asidosis paradoksal intraselular, kontraktilitas miokardium , dan
pelepasan O2 dari Hb kematian tinggi
Cairan intravena
Bila anak tidak memberikan respons terhadap oksigenasi,
ventilasi, kompresi jantung, dan epinefrin, berikan bolus larutan
NaCl fisiologis. Pemberian bolus kristaloid secepat mungkin (20
ml/kgBB) NaCl fisiologis atau Ringer laktat dalam waktu < 20
menit pada anak yang mengalami henti jantung pra rumah sakit
dengan sebab yang tidak diketahui
Pada anak yang mengalami hipovolemia dapat pula diberikan
bolus 10 ml/kgBB koloid (plasma, albumin 5%, darah atau larutan
koloid sintetik seperti hydroxy ethyl starch (HES), gelatin, dekstran
40 dan 60), atau kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer laktat) (lihat
bab renjatan)
Glukosa
Hipoglikemia sekunder karena stres sering terjadi pada anak henti
kardiorespirasi, sedangkan pada bayi sebagai penyebab utama.
Bila kadar gula darah < 40 mg/dl pada anak, < 30 mg/dl pada
neonatus atau < 20 mg/dl pada bayi prematur, harus diberikan
bolus dekstrosa 0,25 g/kgBB (2,5 ml/kgBB dekstrosa 10% atau 1
ml/kgBB dekstrosa 25%), diikuti infus dekstrosa 10% sebanyak 1,5
kali kebutuhan rumatan

Obat-obatan pilihan kedua


Atropin
Pencegahan/pengobatan bradikardia karena refleks vagus
Pengobatan bradikardia simtomatik (denyut jantung < 60
x/menit yang berhubungan dengan perfusi yang buruk atau
hipotensi) yang tidak memberi respons terhadap oksigenasi,
ventilasi, dan epinefrin
Dosis 0,02 mg/kg/kali, i.v., atau endotrakeal, minimum 0,10 mg,
maks. 0,5 mg (remaja 1 mg), diulang tiap 5 menit (total maks.
pada anak 1 mg dan remaja 2 mg)
Lidokain 2%
Pada fibrilasi/takikardia ventrikuler simtomatik
Dosis awal 1 mg/kgBB (bolus) i.v. atau endotrakeal. Bila belum
teratasi infus kontinyu (120 ml lidokain dalam 100 ml
dekstrosa 5%, kecepatan 1-2,5 ml/kgBB/jam 20-50
mcg/kgBB/menit)
Ca
Pada
tersangka/terbukti
hipokalsemia,
hiperkalemia,
hipermagnesemia, dan overdosis calcium channel blocker
Jangan diberikan rutin selama resusitasi
Pemberian i.v. cepat dapat menyebabkan bradikardia atau
asistole
Dosis Ca klorida 10%
: 20-25 mg/kgBB (0,2-0,25 ml/kgBB)
i.v. perlahan-lahan
Ca glukonas 10% : 20-25 mg/kgBB (0,2-0,25 ml/kgBB)
i.v. perlahan-lahan
Dopamin
Sebagai obat inotropik untuk mengatasi curah jantung rendah
persisten yang refrakter terhadap terapi cairan
Pengobatan hipotensi, perfusi perifer yang buruk, atau renjatan
dengan volume intravaskular yang cukup dan irama jantung
yang stabil
Dapat menyebabkan takiaritmia, dan tidak boleh diberikan
bersama dengan larutan Na bikarbonat
Dosis 2-20 g/kgBB/menit, dosis awal 5-10 g/kgBB/menit
dititrasi sampai tercapai efek yang diinginkan. Bila tidak
berhasil, fikirkan pemakaian obat adrenergik lain, misalnya
infus epinefrin (drip)
Dosis rendah (2-5 g/kgBB/menit) dapat meningkatkan aliran
darah ke ginjal, splangnik, koroner dan serebral melalui
stimulasi reseptor dopaminergik
Bila > 10 g/kgBB/menit, akan meningkatkan vasokontriksi
karena efek adrenergik alfa dan mungkin menurunkan pasokan
O2 ke jaringan
Dosis > 20 g/kgBB/menit menyebabkan aritmia
(aritmogenik)

Dobutamin
Merupakan obat inotropik yang efektif dengan efek minimal
terhadap denyut jantung dan vasokontriksi perifer. Anak sering
memerlukan dosis tinggi untuk mencapai perubahan nyata
pada tekanan arterial rata-rata atau curah jantung.
Pengobatan renjatan, terutama bila terdapat resistensi vaskular
sistemik yang tinggi (misalnya gagal jantung kongestif atau
renjatan kardiogenik), volume intravaskular adekuat dan
normotensi
Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat atau renjatan
kardiogenik, terutama bila disebabkan oleh kardiomiopati
Dapat menyebabkan/memperberat hipotensi takiaritmia
Dosis 5-20 g/kgBB/menit, dosis awal 5-10 g/kgBB/menit,
ditingkatkan secara bertahap sebesar 2-5 g/kgBB/menit
sampai dosis maksimum
Isoproterenol
Merupakan agonis adrenergik beta murni tekanan darah
diastole
Pengobatan bradikardia yang disebabkan heart block yang
tidak responsif terhadap atropin (atau segera timbul kembali
sesudah pemberian atropin)
Dapat difikirkan untuk bradikardia simtomatik yang tidak
responsif terhadap oksigenasi, ventilasi, dan epinefrin
Dosis 0,1-1 g/kgBB/menit, dititrasi, ditingkatkan bertahap 0,1
g/kgBB/menit sampai efek yang diinginkan tercapai (hentikan
pemberian bila timbul takikardia > 200/menit atau disritmia).
Jangan diberikan dalam larutan alkali atau sebelumnya telah
mendapat epinefrin
Norepinefrin
Merupakan agonis adrenoseptor dan (terutama -1)
Meningkatkan tekanan darah pada hipotensi yang tidak
berrespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian
dopamin/dobutamin
Pada syok septik akan meningkatkan tekanan darah dan
resistensi vaskular sistemik tanpa banyak mempengaruhi curah
jantung, serta meningkatkan kontraksi miokardium
Dosis 0,05 g/kgBB/menit ditingkatkan bertahap tiap 15 menit
sampai 0,15 g/kgBB/menit dikombinasikan dengan dobutamin
5 g/kgBB/menit untuk meningkatkan tekanan darah, perfusi
ginjal dan splangnik
E. Kejutan listrik (defibrilasi)
Jarang digunakan pada anak, akan tetapi bila diperlukan dapat
menyelamatkan jiwa pada penderita pasca operasi jantung dan
korban tenggelam dengan hipotermia berat (< 300C). Defibrilasi tanpa
pemantauan EKG tidak dianjurkan

Untuk fibrilasi ventrikel/takikardia ventrikel dengan nadi tidak


teraba (pulseless)
Diberikan 2 joule/kgBB dengan unsynchronize mode. Bila tidak
berhasil bolus lidokain 1 mg/kgBB i.v., ulang defibrilasi setiap
30-60 detik dengan dosis 2-4 joule/kgBB
Dapat dicoba bretilium tosilat 5 mg/kgBB i.v. dosis pertama, dan
10 mg/kgBB dosis ke-2 untuk kasus refrakter (bila lidokain tidak
berhasil mengembalikan irama sinus)
Untuk takikardia ventrikel dengan hemodinamik tidak stabil/
takiaritmia (takikardia supraventrikular, takikardia ventrikular,
fibrilasi atrial, atau geletar atrial) diberikan kardioversi, dengan
dosis 0,5 joule/kgBB synchronize mode. Bila tidak berhasil,
berikan bolus lidokain 1 mg/kgBB, dan dosis kardioversi dapat
dinaikkan bertahap sampai dosis maksimum 1 joule/kgBB
F. Evaluasi dan Pemantauan
Setelah melakukan ventilasi dan kompresi lk. 1 menit (10 siklus pada
bayi/anak kecil, 4 siklus pada anak lebih besar/dewasa), evaluasi lagi
nadi (5-10 detik). Jika tidak ada nadi, mulai lagi dengan ventilasi
diikuti kompresi jantung. Jika denyut nadi ada, periksa pernafasan (35 detik) ; jika bernafas, awasi secara ketat. Jika tidak bernafas,
berikan ventilasi 20x/menit pada bayi/anak kecil, 12x/menit pada anak
> 8 th atau dewasa dan awasi denyut nadi secara ketat. Jika
resusitasi dilanjutkan, evaluasi ulang respirasi dan nadi tiap beberapa
menit. Jangan menghentikan resusitasi lebih dari 7 detik kecuali
dalam keadaan tertentu
Pada saat evaluasi, pemimpin resusitasi memberikan instruksi untuk
menyiapkan dan melakukan intubasi endotrakeal bila belum ada
nafas spontan, memasang akses vena, menyiapkan/memberikan
obat-obatan, memasang monitor EKG dan menyiapkan defibrilator
Bila ventilasi tidak efektif karena distensi lambung, dekompresi harus
dilakukan dengan memakai pipa oro/nasogastrik, atau memiringkan
penderita (dalam posisi pemulihan/setengah telungkup), kemudian
berikan tekanan pada epigastrium
Pemantauan resusitasi meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi ;
dimulai dengan melihat gerakan dinding dada selama ventilasi,
meraba nadi pada saat kompresi jantung dan auskultasi dinding dada
selama ventilasi. Bila denyut jantung telah timbul kembali, harus
dilanjutkan dengan pemantauan EKG dan tekanan darah dengan
sfigmomanometer air raksa atau alat Doppler
Bila warna kulit anak sudah kembali normal menunjukkan curah
jantung sudah adekuat, kompresi jantung dapat dihentikan walaupun
nadi tidak teraba (palpasi nadi sering tidak akurat karena
vasokonstriksi yang timbul akibat pemberian epinefrin atau obat
agonis adrenergik alfa lain). Ventilasi harus dilanjutkan pada anak
yang megap-megap karena pernafasannya belum adekuat

10

Pada bayi/anak kecil pemeriksaan suhu rektal penting karena sering


terjadi hipotermia yang akan mengganggu resusitasi. Pengambilan
darah harus dilakukan secepat mungkin untuk analisis gas, elektrolit,
glukosa, dan penapisan keracunan
Bila denyut jantung sudah timbul kembali, pulse oxymetri dapat
dipakai untuk memantau saturasi O2 dan curah jantung. Jalur arteri
(biasanya a. radialis) dapat dipasang perkutan atau melalui seksio
(cutdown) untuk pemantauan tekanan darah berkesinambungan dan
pengambilan bahan pemeriksaan darah. Akses vena sentral melalui
v. jugularis eksterna atau v. femoralis dapat dipakai untuk
pemantauan hemodinamik dan berguna untuk penatalaksanaan
renjatan
G. Stabilisasi
Bila denyut jantung telah teraba, sangat penting untuk mencegah
kerusakan akibat asfiksia sekunder atau yang sedang berlangsung
dengan mempertahankan ventilasi dan perfusi. Bila mungkin, berikan
O2 dengan aliran tinggi, lakukan foto toraks, dan analisis gas.
Pastikan semua pipa dan saluran infus terpasang dengan baik
Perawatan intensif harus segera dilakukan untuk mengurangi
kerusakan SSP yang mungkin terjadi. Penyebab henti kardiorespirasi
yang sudah diketahui harus segera diobati
H. Menghentikan resusitasi
Harus difikirkan bila curah jantung tidak ditemukan kembali sesudah
dilakukan pembebasan jalan nafas, bantuan pernafasan dan sirkulasi
serta telah diberikan obat-obatan resusitasi yang adekuat. Bila otot
jantung tidak responsif terhadap 3 dosis pertama epinefrin walaupun
dengan dukungan oksigenasi dan ventilasi yang optimal (biasanya
25-30 menit sesudah resusitasi dimulai), resusitasi biasanya tidak
berhasil
Resusitasi tidak dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit atau
penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Bila ragu resusitasi
kardiopulmonal harus segera dimulai, tidak ada waktu untuk berdiskusi
atau berkonsultasi
Penghentian resusitasi harus berdasarkan adanya kematian jantung,
bukan kematian otak
Kematian jantung terjadi bila denyut jantung tidak dapat dikembalikan
walaupun dengan usaha maksimum selama 30 menit
Resusitasi darurat dapat dihentikan bila
Sirkulasi/ventilasi sudah kembali lagi (membaik)
Resusitasi sudah diambil alih oleh dokter
Terlalu lelah
Stadium terminal suatu penyakit

11

Denyut nadi tidak ada -1 jam sebelum resusitasi (diketahui


kemudian, pada keadaan normotermia tanpa RJP)
Pengakhiran resusitasi dapat dilakukan pada keadaan
Pasien dinyatakan meninggal, yaitu bila :
Tetap tidak sadar, tidak timbul pernafasan spontan, tidak ada refleks
menelan (gag reflex), dan pupil dilatasi selama > 15-30 menit
resusitasi (mati otak), atau
Terdapat tanda-tanda mati jantung, yaitu asistole ventrikular yang
membandel sesudah 30 menit resusitasi dengan terapi adekuat
(dengan langkah ABC resusitasi)
PROGNOSIS
Bergantung pada penyakit/kelainan yang mendasarinya dan kecepatan
mendapat resusitasi
SURAT PERSETUJUAN
Sesegera mungkin sementara resusitasi terus dikerjakan

RENJATAN

BATASAN
Suatu sindroma akut yang timbul karena disfungsi kardiovaskular dan
ketidakmampuan sistem sirkulasi memberikan O2 dan nutrien untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme organ vital
Renjatan menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat hipoksia
selular, metabolisme selular abnormal, dan kerusakan homeostatis
mikrosirkulasi
ETIOLOGI
Pada anak, renjatan sering berhubungan dengan trauma, kecelakaan,
dehidrasi berat, keracunan dan sepsis
A. Renjatan hipovolemik. Paling sering terjadi pada anak, karena
kehilangan langsung cairan sirkulasi (pendarahan, sekuestrasi, atau
dehidrasi)
B. Renjatan distributif. Terjadi tahanan vaskular perifer yang bisa
dikompensasi penuh oleh curah jantung . Renjatan spesifik dapat
timbul pada setiap proses infeksi karena dilepaskannya
lipopolisakarida atau molekul toksik lainnya ke dalam sirkulasi.
Keadaan ini ditandai dengan aliran kapiler/permeabilitas ,
oksigenasi jaringan dan KID dapat terjadi paralisis vasomotor,

12

kapasitas vena (pengumpulan darah) , dan pirau fisiologis pasca


kapiler
C. Renjatan kardiogenik. Jarang ditemukan di ruang gawat darurat anak.
Terjadi bila curah jantung gagal untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh walaupun tekanan pengisian jantung adekuat.
Kebanyakan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan terutama
pada neonatus
KRITERIA DIAGNOSIS
Takikardia, takipnea ringan, pengisian kembali kapiler terlambat ( 2-3
detik), perubahan ortostatik pada tekanan darah atau nadi dan
iritabilitas ringan renjatan awal atau renjatan terkompensasi
Tanda gangguan otak, ginjal dan kardiovaskular ; takikardia dan
takipnea berlanjut ; takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis ;
kulit mungkin berbercak (mottled) atau pucat ; ekstremitas dingin
karena vasokonstriksi dan aliran darah ke kulit ; pengisian kembali
kapiler makin lambat (> 4 detik) ; hipotensi, curah jantung , dan
vasokonstriksi mempengaruhi perfusi ginjal dan timbul oliguria ;
saluran cerna mengalami hipoperfusi iskemik motilitas ,
distensi, pengeluaran mediator vasoaktif, dan akumulasi cairan
dirongga ke-3 (third space). Pada penderita renjatan septik dapat
timbul hipertermia (> 38,30C rektal), hipotermia (< 35,60C rektal).
Karena gangguan perfusi otak iritabel melanjut menjadi agitasi,
konfusi, halusinasi, agitasi dan stupor yang bergantian, dan akhirnya
koma renjatan kasip atau renjatan tidak terkompensasi
Akibat iskemia selular yang berhubungan dengan dikeluarkannya
mediator vasoaktif dan inflamasi mulai berefek terhadap
mikrosirkulasi :
Umum
Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja
sering sulit dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering
menunjukkan gejala yang tidak jelas. Tidak ditemukannya
hipotensi belum dapat menyingkirkan adanya renjatan pada anak;
bila timbul hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat.
Hipotensi merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila
renjatan tidak segera ditangani akan terjadi disfungsi organ
multipel, meliputi gagal ginjal (nekrosis tubuler akut), gagal
jantung, perdarahan saluran cerna, dan sindroma distres
pernafasan akut (SDPA)
Khusus
Renjatan hipovolemik
Waktu pengisian kapiler yang buruk (> 2 detik), takikardia,
hipotensi, turgor jaringan , mungkin terdapat sianosis dan
pernafasan Kussmaul

13

Renjatan distributif
Manifestasi awal berupa renjatan hangat (warm shock) :,
vasodilatasi hebat/kemerahan dan perfusi tampak baik
Didapatkan nadi yang baik, tekanan nadi yang lebar, dan
pengisian kapiler melambat. Perubahan awal dari status
mental sangat karakteristik, meliputi gelisah, iritabel, dan
kesadaran
Bila terjadi renjatan dingin (cold shock) didapatkan denyut
jantung cepat, hipotensi, dan tekanan nadi yang sempit.
Pada stadium ini prognosisnya buruk
Renjatan septik sering terjadi pada anak yang mempunyai
predisposisi infeksi, seperti kekebalan , kelainan
kongenital saluran kemih (pielonefritis), atau saluran cerna
(kolitis, Hirschprung). Mungkin ada riwayat panas badan,
ISPA, kemerahan kulit, atau gejala penyakit infeksi lainnya.
KID sering ditemukan pada penderita renjatan septik dan
mengalami perdarahan dan purpura
Penyebab lain renjatan distributif meliputi jejas spinal,
anafilaksis, dan renjatan toksik
Renjatan kardiogenik
Biasanya pada bayi dengan tanda/gejala gagal pompa
jantung. Hepar sering sangat membesar, dan foto toraks
menunjukkan lapangan paru yang pletorik dan kardiomegali.
Pada auskultasi biasanya terdengar irama gallop, mungkin
tidak terdengar murmur. Secara umum, yang menyebabkan
renjatan adalah kelainan jantung kongenital non-sianotik.
Sebaliknya, anak tampak abu-abu dengan nadi lemah/tidak
ada sama sekali. Pada koarktasio aorta, terdapat nadi yang
berbeda antara kaki dan lengan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
AGD
Penilaian hemodinamik
Tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonal capillary wedge pressure
/PCWP) yang dipertahankan 10-18 mmHg (bila ada)
Tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) kurang akurat
pada anak disfungsi miokardium. CVP normal 5-12 mmHg
Lain-lain
Darah : Rutin, elektrolit, glukosa, urea-N, kreatinin, kultur, trombosit,
PT, PTT, fibrinogen, dan FDPs
PENYULIT
Kegagalan sistem organ multipel (KSOM)

14

TERAPI
Diagnosis dini renjatan merupakan kunci keberhasilan resusitasi
Pemeriksaan darah arteri dan bikarbonat plasma diperlukan untuk
menilai oksigenasi dan keseimbangan asam basa.
Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg) sering disebabkan gangguan
ventilasi-perfusi karena edema atau infeksi paru, SDPA, atau
faktor selular atau perfusi yang buruk dan toksin yang beredar
Anak dalam keadaan renjatan mengalami asidosis metabolik
harus dilakukan dengan memperbaiki perfusi, bukan dengan
pemberian bikarbonat. Pemberian bikarbonat yang tidak tepat
dapat menyebabkan alkalosis metabolik dengan konsekuensi
yang berat. Bikarbonat diberikan bila terdapat asidosis berat (pH <
7,20) yang menyebabkan disfungsi organ (hipotensi, disritmia,
atau gagal jantung)
A. Resusitasi
Berikan O2 dengan masker
Intubasi endotrakeal segera dan ventilasi O2 100%. Perhatikan
bila sebelumnya ada riwayat mendapat obat anestesia. Hindari
high peak inspiratory and end-inspiratory pressures, dan gunakan
ventilasi yang cepat untuk mengubah gangguan pengisian jantung
Cairan
Letakkan anak dalam posisi trendelenburg. Pada korban
kecelakaan, pendarahan harus diatasi dengan menekan titik
perdarahan dan mengikat pembuluhnya sementara mencari akses
vaskular. Pasanglah dua jalur intravena dengan jarum besar.
Mulailah dengan pemberian bolus cairan NaCl fisiologis atau
Ringer laktat 10-20 ml/kgBB diberikan dalam beberapa menit, dan
diulang bila perlu. Nilai perfusi anak (tanda dan gejala renjatan)
sesering mungkin untuk melihat perbaikan
Pemberian cairan berikutnya harus berdasarkan pola kehilangan
cairan : Kristaloid seperti Ringer laktat atau NaCl fisiologis untuk
dehidrasi ; albumin 5% untuk luka/kehilangan cairan ke rongga ke3 (third space losses) ; dan darah pada kecelakaan (trauma).
Sediaan sel darah merah segar (packed red cells) diberikan 10
ml/kgBB dalam 1-2 jam. Albumin 5% diberikan kombinasi dengan
cairan kristaloid dengan dosis 10 ml/kgBB. Pemberian cairan
pertama apakah cairan koloid atau kristaloid masih kontroversi,
tetapi ada kecenderungan cairan koloid lebih dulu untuk
mengganti volume plasma tanpa menambah cairan interstitial
B. Stabilitas dan pemantauan
Pantau tanda vital, pengisian kapiler, dan produksi urin untuk
menilai respons pengobatan. Usahakan untuk mencapai produksi
urin minimum 1 ml/kgBB/jam (normal 2-4 ml/kgBB/jam)

15

Mulailah pemasangan jalur arteri dan vena sentral. Infus cairan


yang cepat harus dilanjutkan sampai tekanan vena sentral
mencapai rentang 5-12 mmHg. Selanjutnya beri terapi rumatan
dengan cairan dekstrosa 5% atau 10% ditambah 20-40 mEq
NaCl/L. Pertahankan Ht 30-35% dengan pemberian packed red
cell untuk mencapai kapasitas pengangkutan O2 optimal dan
viskositas darah normal. Bila ada tanda KID atasi sesuai terapi
KID
Pasang pipa nasogastrik (pipa orogatrik bila dicurigai ada fraktur
basis kranii) dan kateter folley (hati-hati pada trauma uretra).
Teruskan pemantauan hasil pemeriksaan darah. Bila anak sudah
stabil, periksa foto toraks, EKG dan ekokardiogram bila ada
indikasi
C. Obat-obatan
Bila tidak ada respons terhadap penggantian volume cairan, terutama
pada kasus renjatan septik
Epinefrin
Dopamin
lihat bab resusitasi
Dobutamin
Isoproterenol
Norepinefrin
Antibiotik
Bila dicurigai sepsis/penyebab tidak diketahui antibiotik begitu
akses
intravena
terpasang.
Bila
mungkin,
antisipasi
mikroorganisme yang mungkin penyebabnya
< 4 mgg.
: Ampisilin 200 mg/kgBB/hari i.v. tiap 6 jam +
gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari tiap 8 jam
4 mgg.-3 bl
: Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari i.v. tiap 6
jam + sefotaksim 150 mg/kgBB/hari tiap 8
jam
3 bl - 6 th
: Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari i.v. tiap 6
jam + kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari i.v.
tiap 6 jam atau sefotaksim seperti di atas
> 6 th
: Sefotaksim 150 mg/kgBB/hari i.v. tiap 8 jam
Prostaglandin E1 (bila ada)
Pada neonatus dengan penyakit jantung struktural yang
mengalami renjatan kardiogenik (mungkin mempunyai lesi
obstruktif jantung sebelah kiri yang berat, seperti koarktasio
aorta atau stenosis aorta kritis)
Bekerja untuk mempertahankan keutuhan duktus arteriosus
Diberikan dengan kecepatan 0,05-0,10 g/kgBB/menit
Efek simpang yang penting adalah apnea sementara.
Efek simpang lainnya : Demam, jitteriness, dan kemerahan
pada kulit sepanjang vena tempat pemberian obat

16

Steroid
Selain pada kasus insufisiensi adrenal tidak ada bukti nyata
bahwa steroid menguntungkan dalam pengobatan renjatan
PROGNOSIS
Bergantung dari etiologi, diagnosis dini dan kecepatan serta penanganan
renjatan
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Argen AC dan Bass DH. Resuscitation. Dalam: Heese de V, penyunting.
Handbook of paediatrics; edisi ke-4. Cape Town: Oxford University Press
1995; 1-13.
Bell LM. Shock. Dalam: Fleischer GR, Ludwig S, penyunting. Synopsis of
pediatric emergency medicine. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 27-32.
de Viliers FPR. Practical management of pediatric emergencies; edisi ke-2.
Johannesbureg: Departement of paediatrics child health university of the
Witwatersrand 1993; 1-9.
Rubertsson S. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam: Grenvik A, Ayres SM,
Holbrook PR, Shoemaker WC, penyunting. Pocket companion to textbook of
critical care. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 1-29.
White R. Shock. Dalam: Baldwin GA, penyunting. Handbook of pediatric
emergencies. Boston: A Little Brown, 1989; 41-6.

17

Tabel 51. Ringkasan Bantuan Hidup Dasar


RJP/bantuan nafas
Pastikan tidak
responsif
Panggil bantuan
A. Bebaskan jalan
nafas
Tengadah kepalatopang dagu

B. Periksa
pernafasan
(lihat, dengar,
rasakan)
Bila korban bernafas
atau mulai bernafas
efektif, letakkan
dalam posisi
pemulihan
Bila tidak bernafas,
berikan 2x nafas
lambat dengan balon
dan masker
Ekshalasi diantra
nafas
C. Periksa nadi
(Karotis pada anak
dan dewasa ; brakial
atau femoral pada
bayi)
Bila ada nadi tetapi
tak ada nafas, berikan
bantuan nafas (1
nafas tiap 3 detik
pada bayi/anak)
Bila tidak ada nadi,
mulai kompresi dada
bergantian dengan
nafas
Bila ada nadi tapi <
60x/menit pada bayi/
anak dengan perfusi
yang buruk, mulai
kompresi dada
Teruskan bantuan
hidup dasar
Sesuaikan prosedur
dengan resusitasi
neonatus, bantuan
hidup lanjut pediatrik,
atau bantuan hidup
lanjut penyakit jantung
secepat mungkin

Manuver

Dewasa
> 8 th

Anak
1-8 th

Bayi
< 1 th

Jalan nafas

Tengadah
kepala-topang
dagu (bila ada
trauma,
kedapkan
rahang)
Bantuan nafas
2x 1,5-2
detik/nafas

Tengadah
kepala-topang
dagu (bila ada
trauma,
kedapkan
rahang)
Bantuan nafas
2x 1,5-2
detik/nafas

Tengadah kepalatopang dagu (bila


ada trauma,
kedapkan rahang)

12x nafas/menit

20x nafas/menit

20x nafas/menit

Manuver
Heimlich

Manuver
Heimlich

Tepukan
punggung dan
hentakan dada

Karotis

Karotis

Lokasi
kompresi

Dibawah
pertengahan
sternum

Dibawah
pertengahan
sternum

Brakial atau
femoral
Satu jari dibawah
garis inter papila
mamae

Cara
kompresi

Dengan tumit
telapak tangan,
tangan yang lain
diatasnya
3,5-5 cm atau
1/3-1/2
kedalaman
dinding dada
80-100x/menit

Dengan tumit
telapak tangan

Dengan dua atau


tiga jari

2,5-4 cm atau
1/3-1/2
kedalaman
dinding dada
100x/menit

1,5-2,5 cm atau
1/3-1/2
kedalaman
dinding dada
Paling sedikit
100x/menit(neona
tus 120 x/menit)

15:2 (satu
penolong)
5:1 (dua
penolong)
Kompresi
berhenti
diselingi
ventilasi sampai
trakea diintubasi

5:1

5:1

Kompresi
berhenti
diselingi
ventilasi sampai
trakea diintubasi

Kompresi
berhenti diselingi
ventilasi sampai
trakea diintubasi
3:1 untuk
neonatus yang
diintubasi (dua
penolong)

Pernafasan
awal

Bantuan nafas 2x
1,5-2 detik/nafas

Selanjutnya
Obstruksi
jalan nafas
oleh benda
asing

Sirkulasi
Periksa nadi

Dalamnya
kompresi

Kecepatan
kompresi

Rasio

Kompresi

18

KERACUNAN

BATASAN
Masuknya racun kedalam tubuh melalui saluran cerna, pernafasan, kulit,
mata, suntikan, gigitan ular atau serangga, dan menimbulkan tanda atau
gejala klinis
ETIOLOGI
Obat-obatan
: Salisilat, asetaminofen, digitalis, aminofilin
Gas toksik
: Karbon monoksida, gas toksik iritan
Zat kimia industri
: Metil alkohol, asam sianida, kaustik, hidrokarbon
Zat kimia pertanian : Insektisida
Makanan
: Singkong, jengkol, bongkrek
Bisa ular atau serangga
KRITERIA DIAGNOSIS
Onset yang mendadak
Umur biasanya 15 th
Riwayat adanya pica atau keracunan sebelumnya
Stres lingkungan yang kuat
Melibatkan sistem organ
Perubahan tingkat kesadaran
Gejala klinis tidak khas untuk penyakit tertentu
Tanda vital
Takikardia : Alkohol, teofilin, amfetamin, kokain, antikolinergik
Bradikardia : Digitalis, barbiturat, kolinergik, narkotik
Takipnea
: Amfetamin, karbon monoksida, salisilat
Bradipnea : Etanol, barbiturat, narkotik
Apnea
: Botulismus, fosfat organik
Wheezing : Fosfat organik, hidrokarbon
Hipertermia : Salisilat, hidrokarbon, amfetamin, teofilin, antikolinergik
Hipotermia : Barbiturat, fenotiazid, narkotik, etanol
Neuromuskular
Koma
: Narkotik, hipnotik sedatif, alkohol, barbiturat, karbon
monoksida, antikolinergik
Ataksia
: Dilantin, benzodiazepin, etanol, barbiturat
Kejang
: Teofilin, kamper, amonia, isoniazid, kokain
Reaksi distonik : Fenotiazid, haloperidol
Paralisis
: Botulismus, logam berat
Mata
Miosis
: Opiat, barbiturat, fenotiazid, fosfat organik
Midriasis
: Amfetamin, kokain, antikolinergik
Nistagmus : Dilantin

19

Kulit
Kering dan hangat : Antikolinergik
Berkeringat banyak : Fosfat organik, amfetamin, jamur, salisilat,
kokain
Sianosis
: Methemoglobinemia, hipoksia, karbon
monoksida
Kemerahan
: Antikolinergik, borat, amfetamin
Saluran cerna
Ileus
Muntah
Retensi urin
Bau nafas
Aseton
Alkohol
Bitter almond
Bawang putih
Buah-buahan
Hidrokarbon
Jengkol

: Antikolinergik, narkotik
: Teofilin, kaustik, salisilat, besi, keracunan
makanan
: Antikolinergik

:
:
:
:
:
:
:

Aseton, metil alkohol, salisilat


Etanol
Sianida
Arsen, fosfor, fosfat organik
Amil nitrit, metanol
Hidrokarbon (minyak tanah, terpentin, bensin)
Jengkol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan kasus perkasus
Darah lengkap, analisis gas, osmolalitas serum, elektrolit, urea N,
kreatinin, glukosa, transaminase hati
EKG
Foto toraks/abdomen
Skrining toksiokologi untuk kelebihan dosis obat
Tes toksikologi kuantitatif
TERAPI
Prinsip terdiri dari 4 tahap
Suportif
Setelah penilaian kondisi penderita, langkah ABC resusitasi harus
segera dilaksanakan untuk mempertahankan pernafasan dan
sirkulasi yang adekuat, sebelum dilakukan penanganan lain
Dekontaminasi (mencegah absorbsi racun lebih lanjut)
Mata/kulit
Basuh dengan air mengalir
Jangan menggunakan antidotum kimia
Terinhalasi
Jauhkan segera dari sumber racun, O2, dan bila perlu
pernafasan buatan
Suntikan/gigitan ular

20

Pasang tourniquet di bagian proksimal, kompres dingin, dan


penderita diimobilisasi
Tertelan
Perangsangan muntah
Indikasi
Racun sangat toksik dalam jumlah membahayakan
Menelan racun < 4 jam
Anak sadar dan kooperatif
Kontraindikasi
Keracunan zat korosif, hidrokarbon
Penderita tidak sadar, kejang
Tidak ada refleks muntah
Cara
Rangsang mekanik
Sirup ipekak : Dosis 15 ml (anak < 1 th : 10 ml) (onset 20
menit, kurang disukai karena bau)
Bilas lambung
Tidak sebaik rangsang muntah pemasangan NGT
menimbulkan trauma
Pemberian arang aktif
Umur (th)
Dosis (g)
Pelarut air (ml)
Dewasa
50-100
200
12
35-75
150
10
30-65
120
7
25-50
100
3
15-30
65
1
12,5-25
50
Bubuk arang aktif dikocok dengan air sampai larut
Dosis : 1-2 g/kgBB/dosis, p.o./pipa nasogastrik
diberikan setelah pengosongan lambung, paling baik dalam
jam pertama keracunan
Dosis dialisis usus : dosis diatas, tiap 2 jam sampai feses
berwarna hitam
Katartik
Indikasi
Bila perangsangan muntah/bilas lambung merupakan
kontaindikasi
Menelan preparat lepas lambat atau tablet salut selaput
Kontraindikasi
Menelan zat korosif
Bising usus (-)
Disfungsi ginjal atau gangguan elektrolit
Anak kecil/neonatus

21

Dosis
Mg/Na sulfat : 250 mg/kgBB/dosis, p.o.atau
Mg sitrat
: 4 ml/kgBB/dosis, p.o., diikuti dengan
arang aktif
Laktulosa
Umur (th)
Dosis (ml)
Dewasa
15-45
7-14
15
1-6
5-10
<1
5
Meningkatkan ekskresi racun
Perangsangan diuresis
Dialisis peritoneal/hemodialisis
Hemoperfusi
Antidotum spesifik
Hanya tersedia untuk beberapa jenis racun (10%)
Dapat efek toksik serius, karena itu penggunaannya dibatasi
pada keracunan berat/jenis racun yang diketahui pasti,
misalnya
Organofosfat
: Atropin
Jengkol
: Na bikarbonat
Singkong/sianida : Na nitrat 3% + Na tiosulfat 25%
DAFTAR PUSTAKA
American Academiy of Pediatrics. Americans college of emergency
physicians. Advanced pediatric life support. Elk Grove Village: American
Academiy of Pediatrics, 1989; 13145.
Baldwin GA. Toxicology. Handbook of pediatric emergencies. Boston: A Little
Brown & Co, 1989; 358-78.
de Villiers FPR. Emergency management of accidental poisoning. Practical
management of paediatric emergencies; edisi ke-2. Johannesburgh:
Department of child health University of the Witwatersrand, 1993; 111-22.
Fleischer GR, Ludwig S, Silverman BK. Toxicology emergencies. Synopsis
of pediatric emergency medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 405
46.
Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and drug
overdose. Dalam: Olson KR, Anderson IB, Blanc PD, dkk, penyunting
Poisoning & drug overdose; edisi ke-2. San Francisco: Prentice-Hall
International Inc, 1994; 158.
Wong JCL. Acute poisoning. Dalam: Ling WYC, Hock JTS, penyunting. A
practical manual on acute paediatrics. Singapore: PG Publishing, 1989; 30124.

22

KERACUNAN JENGKOL

BATASAN
Keadaan terdapatnya gejala disuria, hematuria, dan kadang-kadang
oliguria atau anuria, yang timbul setelah makan jengkol
ETIOLOGI
Asam jengkol
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat makan jengkol
Sakit perut, muntah, nyeri supra pubis dan disuria
Nafas/urin berbau jengkol
Oliguria atau anuria
Hematuria (mikroskopik atau makroskopik)
Ditemukannya kristal asam jengkol dalam urin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin lengkap
Tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Analisis gas darah
Pencitraan ginjal dan saluran kemih, bila diduga ada tanda obstruksi akut
(foto polos abdomen, USG, IVP)
PENYULIT
GGA
Hidronefrosis akibat obstruksi akut
Asidosis metabolik
TERAPI
Kasus ringan
Minum banyak
Tablet Na bikarbonat 1 mg/kgBB/hari, atau 1-2 g/hari
Kasus berat
Dirawat/ditangani sebagai kasus GGA
Bila terjadi retensi urin segera kateterisasi dan buli-buli dibilas
dengan bikarbonat 1,5%
Pada oliguria infus cairan dekstrosa 5% + NaCl 0,9% (3:1)
Pada anuria dekstrose 510% (kebutuhan cairan seperti GGA)
Na bikarbonat 25 mEq/kgBB dalam dekstrosa 5% per infus
selama 48 jam
Diuretik dapat diberikan (misal : Furosemid 12 mg/kgBB/hari)
Bila dengan cara di atas tidak berhasil dialisis peritoneal

23

PROGNOSIS
Umumnya baik
Mortalitas 6%
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H. Acute renal failure due to jengkol intoxication in children. Pediatr
Indones 1994;34: 1649.
Suharjono, Sadatun. Djengkol intoxication in children. Pediatr Indones
1968;8: 205.
Suharjono. Djengkol intoxication. Literature review. Pediatr Indones 1967;7:
904.
Tambunan T. Keracunan jengkol pada anak. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, penyunting. Nefrologi anak jilid I. Jakarta: FKUI, 1993; 199208.

KERACUNAN SINGKONG

BATASAN
Keadaan timbulnya gejala toksik beberapa jam sesudah makan singkong
ETIOLOGI
Asam sianida (HCN)
KRITERIA DIAGNOSIS
Sakit kepala, mual, sesak nafas, sianosis
Keadaan berat : Kejang, koma, pernafasan agonal, kolaps
kardiosvaskular dan asidosis laktat
Saturasi O2 darah vena
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Analisis gas , saturasi O2 vena, laktat serum
Pemeriksaan kadar sianida jarang dilakukan karena pemeriksaannya
memerlukan waktu
PENYULIT
Asidosis metabolik
Sekuele neurologik

24

TERAPI
Gawat darurat
Pertahankan jalan nafas, O2 dan bila perlu lakukan bantuan nafas,
atasi koma, hipotensi atau kejang bila ada
Pasang infus, monitor tanda vital dan EKG dengan ketat
Spesifik
Segera berikan Na nitrit 3% 0,3 ml/kgBB (maks. 10 ml), i.v.
perlahan-lahan Na tiosulfat 25% 1 ml/kgBB/i.v.
Dekontaminasi
Diluar rumah sakit : Arang aktif
Di rumah sakit : Segera pasang pipa nasogastrik, berikan arang aktif
dan lakukan bilas lambung. Setelah bilas lambung, beri tambahan
arang aktif dan katartik
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. American college of emergency
physicians. Advanced pediatric life support, 1989; 13145.
Baldwin GA. Toxicology. Handbook of pediatrics emergencies. Boston: Little
Brown & Co 1989; 358-78.
Fleischer Gr, Ludwig S, Silverman BK. Toxicology emergencies. Synopsis
of pediatric emergency medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 405
46.

KERACUNAN TEMPE BONGKREK

BATASAN
Keadaan terdapatnya gejala kelumpuhan saraf kranialis yang bersifat
progresif dan desendens setelah memakan tempe bongkrek
ETIOLOGI
Terkontaminasinya bahan tempe bongkrek oleh Clostridium botulinum
atau Bacterium cocovenas yang akan mengubah gliserin menjadi racun
toksoflavin
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala timbul 18-36 jam setelah makan tempe bongkrek yang telah
terkontaminasi
Gejala awal : Sakit tenggorokan, sakit kencing dan keluhan saluran
cerna
Gejala lanjut : Diplopia, ptosis, disartria, dan kelemahan saraf
kranialis lainnya, diikuti dengan paralisis desendens progresif dan
akhirnya henti nafas
Mental tetap baik, sensorik baik
25

Pupil dilatasi, dan refleks cahaya (-)/normal


EMG : Konduksi normal, potensi aksi motor

DIAGNOSIS BANDING
Miastenia gravis
Sindroma Guilland Barre
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EMG
LP (bila diduga infeksi intrakranial)
Pemeriksaan toksin dalam serum/tinja jarang dilakukan karena
pemeriksaannya memerlukan waktu
PENYULIT
Kelemahan otot pernafasan henti nafas mendadak
TERAPI
Gawat darurat
Pertahankan jalan nafas (bila perlu bantuan nafas)
Observasi ketat adanya gagal nafas karena dapat terjadi henti
nafas tiba-tiba
Spesifik
Antitoksin botulisme
Guanidin hidroklorid 1535 mg/kgBB/hr, dalam 3 dosis (berguna
untuk menghilangkan blokade neuromuskular)
Dekontaminasi
Diluar rumah sakit : Perangsangan muntah
Di rumah sakit
: Bilas lambung, berikan arang aktif dan
katartik
PROGNOSIS
Buruk, bila paralisis otot pernafasan (karena tidak dapat diatasi dengan
guanidin hidroklorid)
DAFTAR PUSTAKA
American Academiy of Pediatrics. Americans college of emergency
physicians. Advanced pediatrics life support. Elk Grove Village: American
Academiy of Pediatrics, 1989; 13145.
Baldwin GA. Toxicology. Handbook of pediatrics emergencies. Boston: Little
Brown & Co, 1989; 358-78.
Fleischer GR, Ludwig S, Silverman BK. Toxicologic emergencies. Synopsis
of pediatric emergency medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 4056.

26

KERACUNAN MINYAK TANAH

BATASAN
Keadaan timbulnya gejala gangguan pernafasan setelah tertelan atau
teraspirasi minyak tanah
ETIOLOGI
Senyawa hidrokarbon golongan alifatik
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat menelan minyak tanah
Gejala awal aspirasi ke paru : Batuk, rasa tercekik dikuti dengan
takikardia dan takipnea. Dalam waktu 6 jam timbul merintih,
pernafasan cuping hidung, retraksi dan mengi
Gejala akibat tertelan : Mual, muntah, diare, dan nyeri perut
Gejala SSP : Somnolen, sakit kepala, kebingungan
Foto toraks : Gambaran pneumonitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
PENYULIT
Pneumonia aspirasi
Edema paru akut
Sindroma distres pernafasan akut
Gangguan keseimbangan asam basa
TERAPI
Gawat darurat
O2 lembab bila ada tanda kelainan paru (bila perlu bantuan nafas).
Bila kelainan paru cukup berat, sebaiknya rawat di PICU
Atasi bronkospasme dengan bronkodilator (nebulizer)
Suportif
Tanpa kelainan klinis/radiologik observasi minimal 4 jam
Bila foto toraks ulangan setelah 4 jam normal boleh pulang
Antibiotik : Pneumonia berat dengan febris atau leukositosis,
gangguan gizi, dan penyakit paru sebelumnya atau defisiensi imun
Kortikosteroid tidak bermanfaat untuk kerusakan paru
Dekontaminasi
Tidak perlu, karena pengosongan lambung risiko aspirasi
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Americans college of emergency
physicians. Advanced pediatrics life support. Elk Grove Village: American
Academiy of Pediatrics, 1989; 13145.

27

Baldwin GA. Toxicology. Handbook of pediatrics emergencies. Boston: Little


Brown & Co, 1989; 358-78.
Fleischer GR, Ludwig S, Silverman BK. Toxicologic emergencies. Synopsis
of pediatric emergency medicine. Baltimore: Williams & Wilkins 1996; 4056.
Olson KR. Comperehensive evaluation and treatment of poisoning and drug
overdose. Dalam: Olson KR, Anderson IB, Blanc PD, dkk, penyunting
Poisoning & drug overdose; edisi ke-2. San Francisco: Prentice-Hall
International Inc, 1994; 158.
Wong JCL. Acute poisoning. Dalam: Ling WYC, Hock JTS, penyunting. A
practical manual on acute paediatrics. Singapore: PG Publishing, 1989; 301
24.

KERACUNAN INSEKTISIDA

BATASAN
Keadaan terdapatnya gejala gangguan cerna, susunan saraf pusat/
simpatis setelah menelan, terinhalasi atau kontak kulit lama dengan
insektisida
ETIOLOGI
Fosfat organik : Malation, paration
Chlorinated hydrocarbon : Aldrin, endrin, DDT

FOSFAT ORGANIK

KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat terpajan insektisida
Klinis
Gejala SSP
: Sakit kepala, ataksia, kejang, koma
Tanda nikotinik
: Muscle twitching, kelemahan otot, paralisis
dan tremor
Tanda muskarinik : Salivation, lacrimation, urination, defecation,
gastrointestinal cramp, emesis (SLUDGE),
berkeringat
Miosis, bradikardia, bronkorea, bronkospasme
Aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin eritrosit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengukuran aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin
esterase eritrosit (bila memungkinkan)

28

TERAPI
Gawat darurat
Pertahankan jalan nafas, O2 (bila perlu bantuan nafas)
Awasi terjadinya henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan
Atasi pneumonitis hidrokarbon, kejang atau koma (bila ada)
Observasi minimal 6-8 jam untuk menyingkirkan gejala lambat
akibat absorpsi toksin lewat kulit
Spesifik
Atropin sulfat 0,050,1mg/kgBB, i.v (maks : 2 mg), diulang tiap 1030 menit sampai terjadi atropinisasi, pertahankan 24-48 jam atau
sampai tidak timbul gejala keracunan lagi
Pemberian cara lain : Setelah dosis awal, atropin diberikan
dengan infus kontinyu 0,020,05 mg/kgBB/jam
Pada keracunan berat (bila terdapat kelemahan otot dan twitching)
+ pralidoksim 25-50 mg/kgBB dalam 250 ml NaCl 0,9%, dalam
30 menit infus kontinyu 10-15 mg/kgBB/jam larutan 1-2%
Dekontaminasi
Kulit dan mata
Buka pakaian dan cuci daerah yang terkontaminasi dengan air.
Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau NaCl fisiologis
Tertelan
Diluar rumah sakit : Arang aktif
Di rumah sakit : Arang aktif dan katartik

CHLORINATED HYDROCARBON

KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat terpajan dengan insektisida golongan chlorinated
hydrocarbon
Klinis
Mual dan muntah
Kebingungan, trauma, koma, kejang dan depresi pernafasan
Gejala lambat : Kejang berulang, aritmia jantung, dan tanda
kerusakan ginjal/hati
Bila terjadi kerusakan ginjal : Urea N dan kreatinin
Bila terjadi kerusakan hati : SGOT/SGPT , hipoglikemia dan
waktu protrombin memanjang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cholorinated hyrocarbon serum (bila memungkinkan)
Ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, waktu protombin dan gula darah
EKG

29

TERAPI
Gawat darurat
Pertahankan jalan nafas, O2 (bila perlu bantuan nafas)
Atasi kejang, koma dan depresi pernafasan (bila ada)
Aritmia ventrikular berikan penghambat
Monitor EKG, observasi penderita minimal 68 jam
Dekontaminasi
Kulit dan mata
Lepaskan pakaian dan cuci kulit yang terkontaminasi dengan
sabun dan air. Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau
NaCl 0,9%
Tertelan
Diluar rumah sakit : Arang aktif
Di rumah sakit
: Arang aktif dan katartik
Ekskresi toksin
Pemberian ulang arang aktif/kolesteramin
(bila perlu, untuk memutuskan siklus
enterohepatik)
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Americans college of emergency
physicians. Advanced pediatrics life support. Elk Grove Village: American
Academiy of Pediatrics, 1989; 13145.
Baldwin GA. Toxicology. Handbook of pediatrics emergencies. Boston: Little
Brown & Co, 1989; 358-78.
Fleischer GR, Ludwig S, Silverman BK. Toxicologic emergencies. Synopsis
of pediatric emergency medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 4056.
Olson KR. Comperehensive evaluation and treatment of poisoning and drug
overdose. Dalam: Olson KR, Anderson IB, Blanc PD, dkk, penyunting
Poisoning & drug overdose; edisi ke-2. San Francisco: Prentice-Hall
International Inc, 1994; 158.
Wong JCL. Acute poisoning. Dalam: Ling WYC, Hock JTS, penyunting. A
practical manual on acute paediatrics. Singapore: PG Publishing 1989; 301
24.
HIPOTERMIA
BATASAN
Suhu tubuh < 350C (core temperature)
KLASIFIKASI
Klinis
: Hipotermia ringan (32350C)
Hipotermia sedang (28320C)
Hipotermia berat (< 280C)
Etiologi : Induced hypothermia
Accidental hypothermia

30

ETIOLOGI
Kecelakaan
Drug induced
Infeksi
Nutrisia
Kardiovaskular
SSP
Renal
Endokrin

:
:
:
:
:
:
:
:

Tenggelam
Barbiturat, anti depresan, anestesia, etanol, fenotiazid
Meningitis, sepsis, pneumonia
Malnutrisi
Gagal jantung, emboli paru
Trauma kepala, neoplasma
Uremia
Hipoglikemia, ketoasidosis diabetika, miksedema

KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan pengukuran suhu tubuh yang akurat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diperlukan untuk memantau perjalanan penyakit, mencari penyebab dan
mendeteksi penyulit
PENYULIT
Disfungsi hipotalamus
TERAPI
Umum
Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi optimal (bila perlu
ventilator)
Kompresi jantung luar pada fibrilasi ventrikel atau asistole
Infus NaCl 0,9% atau RL yang telah dihangatkan
Koreksi hipoglikemia, gangguan elektrolit dan bila perlu koreksi
asidosis
Atasi bradikardia dengan atropin sulfat dan/atau isoprenalin
Atasi infeksi dengan antibiotik spektrum luas
Khusus
Pemanasan eksternal pasif
Pada anak besar dan hipotermia ringan
Letakkan dalam ruangan hangat (> 250C), tutup dengan
selimut hangat
Pemanasan eksternal aktif
Rendam tubuh dalam bak air panas (40-450C), kecuali
ekstremitas
Selimut elektrik atau botol berisi air panas
Pemanasan pusat tubuh aktif (untuk hipotermia sedang-berat)
Inhalasi O2 yang dihangatkan (40-450C)
Dialisis (hemodialisis, peritoneal)
Irigasi mediastinal atau intragastrik
Oesopheageal thermal tube
Pemanasan darah ekstrakorporeal (cardiopulmonary bypass)

31

PROGNOSIS
Mortalitas rumah sakit 20-85% (tergantung berat hipotermia, waktu
sampai mendapat pertolongan, derajat hipotensi, dan kondisi lain yang
menyertainya)
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Americans college of emergency
physicians. Advanced pediatrics life support. Elk Gove Village: American
Academiy of Pediatrics, 1989; 13145.
Aun C. Thermal syndromes. Dalam: Oh TE, penyunting. Intensif care manual;
edisi ke-3. Toronto: Butterworths, 1990; 46769.
Holbrook PR. Cold syndromes. Textbook of pediatric critical care.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1993; 104850.

32

Tabel 52. Penatalaksanaan Keracunan zat Tertentu


RACUN
ASAM

ANTIDOTUM
- Air sangat lambat untuk menetralkan racun
- Susu magnesia, susu atau putih telur sebagai bufer untuk
membatasi kerusakan
- Jangan menggunakan soda bikarbonat menghasilkan
karbondioksida dan panas luka bakar
- Petidin untuk sakit
- Rujuk untuk endoskopi menilai kerusakan esofagus dan
lambung

ALKALI

- Air untuk menetralkan. Susu atau susu magnesia sebagai


bufer
- Jangan menggunakan asam untuk menetralkan reaksi
menimbulkan panas luka bakar
- Petidin untuk nyeri
- Rujuk untuk esofagoskopi menilai kerusakan esofagus
dan lambung

ALKOHOL

- Monitor glukosa darah. Beri Dekstrosa 25%, jika terdapat


hipoglikemia
- Rehidrasi i.v. dapat membantu

ALKALOID

- Rangsang muntah beri arang aktif

AMFETAMIN

- Klorpromazin 1 mg/kgBB i.m. atau i.v.. Asidifikasi urin


dengan amonium klorida
- Pertimbangkan peritoneal atau hemodialisis

ANTIKOAGULAN

- Vit. K 10 mg i.v.
- Transfusi fresh frozen plasma jika terdapat perdarahan
- Darah lengkap juga dapat diberikan

ASPIRIN

- Bilas lambung dengan Na bikarbonat 1%


- Cairan yang banyak diberikan i.v.
- Asidosis metabolik (pH < 7,0) Na bikarbonat i.v. Monitor
jantung dan respirasi

ATROPIN &
BELADONA

- Simptomatik.
Menimbulkan
takikardia,
hipertensi,
hiperpireksia dan mania
- Pertimbangkan fisostigmin salisilat (bila ada) pada kasus
berat karena over dosis, tetapi harus hati-hati

BENZODIAZEPIN

- Simtomatik, suportif dan flumazenil jika berat

BLEACH/Pemutih
(Na hipoklorit)

- Susu dan air untuk mengencerkan dan


menetralkan
- Rangsang muntah atau bilas lambung
- Na tiosulfat 5% menginaktifkan Na hipoklorit

33

KAMFOR

- Rangsang muntah berikan arang aktif


- Diazepam untuk mengontrol kejang

KARBON
MONOKSIDA

- Beri udara segar dan O2 100%


- Awasi 48 jam walaupun sudah tampak membaik

KARBAMAT

- Atropin 0,025 mg/kgBB, diulang setiap 5-10 menit sampai


penderita mengalami atropinisasi (nadi meningkat dan pupil
dilatasi)
- Jangan menggunakan pralidoksim (2-PAM); obidoksim
(toksogonin) atau kolinesterase-reaktivator karena dapat
memperburuk gejala

CHLORINATED HYDROCARBON [DDT, benzena heksaklorid, lindane (gamma


BHC), aldrin, dieldrin]
- Bilas lambung. Antikonvulsan (diazepam). Hindari susu
atau minyak karena dapat meningkatkan absorpsi
- Methylene blue untuk methemoglobinemia
Asetilsistein i.v. (bila ada) atau karbosistein oral untuk
mencegah kerusakan hepar pada kasus yang berat
ETHYLENE GLYCOL

- Bilas lambung diikuti Ca glukonas 10% untuk


mempresipitasi asam oksalat. Alkohol p.o. atau i.v.
menghambat oksidasi dari etilen glikol dan mempermudah
ekskresi
Simptomatik. Hemodialisis pada kasus yang berat

FERO SULFAT

- Jika diduga, beri desferoksamin i.v. dan periksa warna urin,


jika
berubah
menjadi
merah
muda

bilas lambung dengan Na bikarbonat 1%, foto abdomen


sebelum dan sesudah bilas untuk memastikan adanya
tablet besi radioopak. Beri desferoksamin per NGT (untuk
mengikat besi dari lambung) dan i.v. 15 mg/kgBB/jam
perlahan-lahan maks. 80 mg/kgBB/hari).
(100 mg desferoksamin mengikat 8,5 mg besi elemental)

FLUOR

- 150 tablet fluor 0,25 mg aman untuk anak, jika > 150 tablet,
berikan susu, air kapur atau Ca klorid diikuti dengan
pencahar Mg sulfat (garam Inggris)
- Ca glukonat i.v. untuk tetani
-----------------------------------------------------------------------------------------------------LOGAM BERAT (arsen, antimon, bismut, emas, air raksa)
- Dimerkaprol (BAL) atau d-Penisilamin untuk mengikat ion
logam
- Terapi simptomatik
ASAM HIDROSIANIK atau SIANIDA
- Kelocyanor atau Tri-pac Cyano yang mengandung amil
nitrit untuk inhalasi (bila ada), Na nitrit 3% i.v. dan Na
tiosulfat i.v. untuk pemberian segera
- Bilas lambung dengan larutan K-permanganat 1:10.000
- Hilangkan bekuan, cuci kulit dengan sabun dan air

34

menggunakan sarung tangan


- Jika
penderita
mampu
melewati
penyembuhannya sangat baik

masa

krisis,

INSEKTISIDA

- Lihat : Karbamat (Carbaryl)


Organofosfat (Malathion)
Chlorinated hydrocarbon (DDT, gamma BHC)

TIMBAL/TIMAH

- Bilas lambung dengan larutan Mg sulfat (15 g/l air)


- Ca glukonat dapat menghilangkan kolik. Ca dosis tinggi dan
vit D merangsang deposisi timah di tulang, -d-penisilamin
p.o. dapat mengikat timah dan dapat digunakan juga
dimerkaprol i.m.

METHEMOGLOBINEMIA
- Methylene Blue 1% dosis 1-2 mg/kgBB i.v.
METIL SALISILAT (minyak wintergreen, minyak gandapura)
- Terapi seperti keracunan aspirin yang berat

MORFIN & NARKOTIK ANALGETIK lain (petidin, kodein, heroin, pentazosin)


- Nalokson HCl 0,01 mg/kgBB i.v. diulang setiap beberapa
menit sampai pupil dilatasi dan respirasi normal
- Pada neonatus, Nalokson neonatal dapat diberikan 0,020,04 mg i.v.. Monitor sambil dihangatkan-dapat
menimbulkan koma
OPIAT
- Lihat morfin
ORGANOFOSFAT (Malathion, Baygon, Diazinon-TEEP)
- Bebaskan jalan nafas, bila perlu intubasi
- Atropin 0,025-0,05 mg/kgBB i.v. diulang setiap beberapa
menit sampai terjadi atropinisasi
- Untuk menurunkan absorpsi di kulit, hilangkan bekuan dan
cuci kulit. Bilas lambung bila tertelan. Pertimbangkan
memakai Toksogonin pada kasus tertentu (bila ada)
PARASETAMOL

- Kosongkan lambung secepat mungkin


- Arang aktif sangat efektif, hindari bila akan digunakan
antidotum oral (karbosistein); antidotum i.v. dapat pula
digunakan (asetilsistein)
- Ukur kadar parasetamol darah setelah 4 jam, bila diatas
kadar hepatotoksik asetilsistein i.v. (Parvolex) sebelum
10 jam (bila ada)
- Periksa fungsi hati, waktu protrombin, dan glukosa darah
tiap 12 jam
- Overdosis berat terapi di PICU

PARAFIN

- Hindari rangsang muntah atau bilas lambung


- Puasa 12-24 jam, atau sampai anak muntah spontan
- Foto toraks bila terjadi aspirasi (mungkin tidak ada kelainan
dalam 24 jam pertama)

35

- Jangan memberikan antibiotik, kecuali jika ada


super infeksi
- Hindari pemakaian steroid
- Simptomatik
PARAQUAT & DIQUAT
- Arang aktif diikuti bilas lambung berulang dengan larutan
Bentonit 1% 200 ml atau suspensi Fuller 30% (bila ada),
ulang 2 kali/hari selama 48 jam
- Anti oksidan (vitamin C dan E) dosis tinggi diberikan secara
dini
- Hemodialisis atau hemoperfusi sesudah diberikan arang
aktif
- Terapi semua kasus secepatnya, bila tidak akan terjadi
alveolitis pulmonal ireversibel
FENOL

- Bilas lambung dengan minyak zaitun atau minyak


jarak/kastroli untuk melarutkan fenol sebelum fenol tersebut
merusak membran mukosa lambung
- Hilangkan fenol dari kulit dengan minyak zaitun atau minyak
kastroli kemudian cuci dengan air dan sabun
- Terapi simptomatik

FENOTIAZIN (Stemetil, sparine, largactil)


- Bilas lambung
- Posisi kepala rendah, untuk mengatasi hipotensi
- Gejala ekstrapiramidal : Difenhidramin 1 mg/kgBB i.v. atau
biperidin (Akineton) 0,1 mg/kgBB i.v. (bila ada)
ANTIDEPRESAN TRISIKLIK (imipramin, amitriptilin)
- Rangsang muntah atau bilas lambung
- 1 gram arang aktif dapat mengabsorpsi 250 mg imipramin
- Diazepam bila ada kejang
- Anti aritmia sesuai dengan kelainan denyut jantung
- Seringkali diperlukan perawatan intensif

36

TERAPI SIMTOMATIK
Jika sumber racun tidak diketahui, atasi gejala yang timbul
1. Depresi pernafasan
Bebaskan jalan nafas
Bantuan nafas dan beri O2
Beri nalokson (Narcan) jika diduga overdosis narkotika; flumazenil
(Anexate) jika diduga overdosis benzodiazepin
2. Syok
Posisi kaki lebih tinggi dari tempat tidur
Beri cairan untuk menambah volume intravaskular; monitor CVP
(bila ada) dan output urin. Obat-obat yang dapat meningkatkan
tekanan darah hanya digunakan pada keadaan khusus
3. Kejang
Diazepam atau klonazepam (Rivotril) i.v.
Fenitoin i.v. aman jika diberikan perlahan-lahan
Untuk status konvulsivus diatasi dengan anestesia umum
4. Nyeri
Nyeri hebat gunakan analgetik narkotik
5. Aritmia jantung
Anti-aritmia sesuai dengan kelainan klinis dan EKG
6. Keseimbangan air dan elektrolit
Monitor dan koreksi secara hati-hati
Periksa AGD
Diuresis paksa menggunakan furosemid
7. Hipotermia
Selimuti penderita dengan selimut untuk mencegah kehilangan
panas. Selimut plastik mungkin lebih efektif tetapi hal ini dapat
membahayakan anak jika menutupi wajahnya karena anak menjadi
sulit bernafas
ANTIDOTUM SPESIFIK
Hanya sedikit antidotum spesifik yang ada (5-10%), tetapi sebaiknya
tersedia pada setiap Bagian GAWAT DARURAT
1. Asetilsistein (Parvolex)
Overdosis parasetamol berat, i.v. tidak dilakukan jika kadar
parasetamol serum dibawah kadar toksik
Selalu lakukan bilas lambung dan pemberian arang aktif
Jika asetilsistein tidak tersedia antidotum oral, karbosistein
Jangan memberi arang aktif jika menggunakan obat p.o.

37

2. Adrenalin
Untuk anafilaktik akut digunakan larutan 1:1.000
Untuk edema glotis, encerkan 1:10 dalam larutan NaCl fisiologis
i.v. perlahan-lahan
3. Amonium klorida
Asidifikasi urin untuk mempercepat ekskresi amfetamin dan
fensiklidin
4. Atropin sulfat
2 mg untuk mengatasi gejala kolinergik karena overdosis
insektisida organofosfat dan karbamat, dan beberapa kasus
keracunan jamur dimana gejala kolinergik merupakan gejala
predominan
Dosis 0,025-0,05 mg/kgBB i.v. setiap 5 menit sampai penderita
mengalami atropinisasi. Selanjutnya setiap 3 jam
5. Kalsium glukonat 10%
Untuk overdosis fluor dan menetralkan spasme otot karena gigitan
laba-laba black widow
Untuk hipokalsemia berat. Dosis 0,2 ml/kgBB i.v. perlahan-lahan.
Diulang jika perlu
6. Minyak Jarak/Kastroli
Untuk keracunan fenol, untuk menghilangkan fenol dari kulit dan
mengurangi absorpsi setelah tertelan
Dosis 1 ml/kgBB p.o., diikuti dengan Na sulfat
7. Antidotum Sianida
Tri-Pac-Cyano
(Covan
Pharmaceuticals
012
541-2033)
mengandung :
Amil-nitrit 0,3 ml untuk inhalasi
100 ml larutan Na tiosulfat 50% untuk injeksi
Na nitrit 3% untuk injeksi
Cara penggunaan :
Pecahkan tabung amil nitrit diatas kasa/sapu tangan, berikan
kepada penderita untuk diinhalasi dengan nafas dalam
Selanjutnya beri 10 ml larutan Na nitrit i.v. dalam 3 menit, diikuti 5
menit kemudian dengan 50 ml larutan Na tiosulfat i.v. (dosis
dewasa)
Jika perlu dapat diulang setelah 2 jam
Kelocyanor (Restan Labs 789-3978) hanya digunakan jika
penderita sudah pasti keracunan karena sianida
8. Dantrolen
Merupakan pelemas otot yang digunakan untuk hipertermia
maligna yang diinduksi oleh anesthesi

38

9. Desferoksamin (Desferal)
Vial 500 mg + 5 ml air steril untuk membuat larutan 10%
Untuk keracunan dan overload zat besi setelah transfusi darah
yang berulang
10. Diazepam
Untuk kejang (10 mg/2 ml)
Dosis anak 0,2 mg/kgBB i.v. atau
Klonazepam (Rivotril) 0,02 mg/kgBB i.v. perlahan-lahan
11. Dimerkaprol (BAL)
50 mg dalam 5 ml minyak untuk i.m. pada keracunan air raksa,
timah, dan arsen
Harus diberikan dalam 4 jam setelah keracunan
1. Susu Kental (Evaporated milk)
Susu kental atau susu sapi yang tidak diencerkan digunakan
sebagai bufer untuk zat korosif yang tertelan
13. Flumazenil (Anexate)
Antagonis benzodiazepin : Menggantikan benzodiazepin dari
reseptornya
Waktu paruh pendek (53 menit) sering diulang
14. Furosemid
Diuretik untuk edema paru atau overload intravaskular
15. Glukagon
1 mg ampul i.v. untuk meningkatkan gula darah pada koma
hipoglikemia (dosis sama dengan dewasa)
16. Lignokain
Untuk henti jantung dan aritmia tertentu
17. Arang aktif (Activated Charcoal)
Digunakan sesegera mungkin setelah penderita menelan racun
Biasanya 100 g + 400 ml air untuk dewasa, 50 g + 200 ml air
untuk anak
Pada beberapa kasus dosis ulangan dapat diberikan (Charcoal gut
dyalisis)
18. Methylene blue 1%
Dosis 1-4 mg/kgBB i.v.
Untuk Methemoglobinemia. Jangan diberikan secara s.k., i.m. atau
intratekal

39

19. Susu Magnesia


Sebagai bufer untuk keracunan zat korosif yang tertelan.
Merupakan Laksatif ringan
20. Nalokson HCl (Narcan-Boots) (0,4 mg/1 ml/ampul)
Antagonis spesifik untuk narkotik (morfin, heroin, kodein,
pentazosin, difenoksilat dan propoksifen)
Ingat banyak obat batuk anak mengandung kodein
Dosis :
0,01 mg/kg i.v., i.m. atau s.k. setiap 2-3 menit sampai sensorium
dan respirasi membaik
Setelah itu setiap 3 jam selama 12-24 jam
Penggunaan pada pecandu narkotik dapat menyebabkan gejala
ketagihan berat yang mengancam nyawa
21. Nalokson HCl Neonatal (Narcan Neonatal-Boots)(0,04 mg/2 ml
amps)
Dosis : 0,01 mg/kg i.v., i.m. atau s.k. setiap 2-3 menit sampai
terdapat perbaikan respirasi, selanjutnya diberikan setiap 3 jam.
22. Penisilamin (kapsul 250 mg)
Untuk keracunan timah dan tembaga
23. Na Fenitoin (250 mg/5 ml ampul) (Epanutin)
Untuk kejang dan aritmia tertentu
Dosis anak : 3-5 mg/kgBB i.v. dalam 5 menit
Dapat diulang hanya satu kali, setelah 30 menit, sesudah itu dosis
rumatan
24. Na bikarbonat (ampul 1 mmol/ml)
Untuk alkalinisasi urin pada keracunan salisilat, menetralkan
asidosis metabolik berat
Dosis tergantung derajat asidosis, biasanya 0,5-1 mmol/kgBB i.v.
perlahan-lahan
DAFTAR PUSTAKA
de Villiers FPR. Emergency management of accidental poisoning. Practical
management of paediatric emergencies; edisi ke-2. Johannesburgh:
Department of child health University of the Witwatersrand, 1993; 111-22.

40

NILAI RUJUKAN NORMAL PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN DIATESIS HEMORAGIK


Rumple Leede (Torniquet test) :
Negatif < 5 petekia/2,5 x 2,5 cm
Waktu perdarahan : 2 5 menit
Waktu pembekuan : 6 11 menit
Recalfication time : < 5 detik dari kontrol normal
Protrombine consumpt.time : > 40 detik

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
ASAM BASA (ASTRUP)
pO2
: > 90 mmHg
pCO2 darah arteri
: 35-48 mmHg
vena sentral : 35- 55 mmHg
Standar bikarbonat : 22 26 mEq/L
Base Excess
: - 2,5 s/d 2,5 mEq/L
Rumus koreksi asam basa
BB (kg) x 0,3 x Base Excess (mEq/L)

Tabel 53. Nilai Hemoglobin, Eritrosit, Leukosit, Granulosit, Limfosit dan


Monosit Berdasarkan Umur
Umur

HEMOGLOBIN
ERITROSIT
LEUKOSIT GRANU- LIMFO- MONO3
x 1000/mm3 LOSIT
g / 100 ml
Juta/mm
SIT
SIT
%
%
%
Variasi Rata2 Variasi Rata2

Lahir
2 mgg
1 bl
3 bl
6 bl
1 th
2 th
4 th
6 th
8 th
10 th
12 th

18,0-26,5
13,4-19,2
12,1-17,3
9,8-16,2
10,6-15,4
9,6-14,9
9,7-14,2
9,4-14,3
10,5-13,8
10,1-13,3
10,1-14,3
11,0-13,5

22,2
16,1
15,4
11,9
12,7
11,9
11,6
11,7
11,7
11,6
12,4
12,5

4,76-6,95
4,32-6,14
4,08-6,05
3,65-5,22
3,87-5,39
3,96-5,32
3,95-5,26
4,11-5,59
4,19-5,96
4,43-6,02
4,38-6,16
4,47-5,80

6,28
5,55
5,25
4,55
4,83
4,63
4,69
4,89
4,97
5,10
5,05
5,17

20-30
10-18
8-15
8-14
8-14
6-12
6-12
6-10
6-10
6-10
6-10
6-10

NILAI NORMAL URIN


Kejernihan : jernih
Warna
: kuning muda
Berat jenis : 1,015-1,02
pH
: 5,07,3
Protein
: Bilirubin
: Urobilin
: /+
Gula
: - /+
Endapan (pembesaran mikroskopik 400 x) ;
Leukosit
: 05/LPB
Eritrosit
: 03/LPB
Epitel
: 0-1/LPB

41

50-75
40-45
30-40
30-40
30-40
30-40
35-45
40-50
50-65
50-65
50-60
50-60

20-25
40-45
45-60
45-60
45-60
45-60
40-45
40-45
20-35
20-35
25-35
25-35

5-15
4-8
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6
2-6

Tabel 54. Denyut Nadi Istirahat

Tabel 55. Tekanan Darah Ratarata

Umur

Batas
Normal
Rendah/
Menit

Ratarata/
Menit

Batas
Normal
Tinggi/
Menit

Neonatus
1-11 bl
2 th
4 th
6 th
8 th
10 th

70
80
80
80
75
70
70

125
120
110
100
100
90
90

190
160
130
120
115
110
110

12 th
14 th
16 th
18 th

Pr
70
65
60
55

Lk
65
60
55
50

Pr
90
85
80
75

Lk
85
90
75
70

Pr Lk
110 105
105 100
100 95
95
90

Umur

Sistole
2 SD

Diastole
2 SD

Neonatus
6 bl1 th
1 th
2 th
3 th
4 th
56 th
67 th
78 th
8-9 th
9-10 th
1011 th
11-12 th
1213 th
1314 th

80 (16)
89 (29)
96 (30)
99 (25)
100 (25)
99 (20)
94 (14)
100 (15)
101 (15)
105 (16)
107 (16)
111 (17)
112 (18)
115 (19)
118 (19)

46 (16)
60 (10)
66 (25)
64 (25)
67 (23)
65 (20)
55 (9)
56 (8)
56 (9)
57 (9)
57 (10)
58 (10)
59 (10)
59 (10)
60 (10)

Tabel 56. Rentang Respirasi per Menit Waktu Tidur/Bangun


Umur

612 bl
12 th
24 th
46 th
68 th
810 th
1012 th
1214 th

Tidur

Bangun

22-31
17-23
16-25
14-23
13-23
14-23
13-19
15-18

58-75
30-10
23-12
19-36
15-30
15-31
15-28
18-26

Perbedaan antara
Tidur dan Bangun
(Rata-rata)
37
16
12
8
6
3
5
6

42

Tabel 57. Kecepatan Pernafasan per Menit


Umur
(th)

Laki-laki
Rata-rata + SD

Perempuan
Rata-rata + SD

0-1
1-2
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9
9-10
10-11
11-12
12-13
13-14
14-15
15-16
16-17
17-18

31+8
26+4
25+4
24+3
22+2
21+3
20+3
20+3
19+2
19+2
19+3
19+3
19+2
18+2
17+3
17+2
16+3

30+6
27+4
25+3
24+3
21+3
21+3
20+2
20+2
19+2
19+2
19+3
19+2
18+2
18+3
18+3
17+3
17+3

Tabel 58. Pertambahan Berat Badan dan Tinggi Badan (0-5 Tahun)
Umur

Pertambahan Tinggi Badan


(cm)

Pertambahan Berat
Badan (gram)

0-1 bl
1-2 bl
2-3 bl
3-4 bl
4-5 bl
5-6 bl
6-7 bl
7-8 bl
8-9 bl
9-10 bl
10-11 bl
11-12 bl
1-2 th
2-3 th
3-4 th
4-5 th

3,8-4,4
3,2-3,7
2,8-3,2
2,4-2,6
2,2-2,3
1,9-2,1
1,6
1,4-1,5
1,3
1,3
1,3
1,2-1,3
10,8-12,8
6,7-9,7
6,0-7,6
5,6-7,3

500-1.400
500-1.300
500-1.100
500-800
400-700
400-600
400-500
400-500
300-400
300-400
200-400
200-300
1.800-3.000
1.500-2.800
1.200-2.500
1.200-2.200

43

Tabel 59. Pola Perkembangan Bayi-Anak sampai Umur 5 Tahun


Umur
4
mgg

Perkembangan
Motorik

Adaptasi

Melihat sekitarnya
Mata mengikuti
gerak-gerik tetapi
terbatas
16 mgg Kepala tak merebah Mengikuti geraklagi
gerik
Letaknya simetris
Melihat benda dan
Tangan terbuka
memegangnya bila
diberikan
28 mgg Duduk dengan
Memindahkan
sokongan kedua
kubus dari tangan
tangan
satu ketangan yang
Memegang kubus,
lain
melihat dan
menyentuh kancing
40
Duduk tanpa
Bermain dengan
mgg sokongan kedua
dua kubus, yang
tangan
satu disentuhkan
Merangkak
dengan yang lain
Mengangkat badan
dengan kaki
1 th
Berjalan dengan
Memindahkan
bantuan
kubus kedalam
Mengetahui arti
cangkir
kancing
Memasukan dan
mengambilnya dari
botol
1-2 th Berjalan tanpa jatuh Mengeluarkan
Duduk sendiri
kancing dari botol
dikursi kecil
Meniru coretan
Menyusun
potlot lurus
tumpukan dengan
tiga kubus
2 th
Berlari
Meniru coretan
Menyusun
potlot lingkaran
tumpukan dari 6
kubus
3 th
Berdiri dengan satu Membuat jembatan
kaki tanpa jatuh
dengan tiga kubus
Membuat tumpukan Meniru gambar
dengan sepuluh
silang
kubus
4 th
Benjinjit
Membuat pintu
gerbang dengan
lima kubus
Menggambar orang
5 th

Kepala merebah
Tonic neck reflex
Tangan mengepal

Berjinjit dengan kaki Dapat menghitung


berganti-ganti
10 sen

44

Perkembangan
Bahasa

Perkembangan
Sosial

Bersuara,
memperhatikan bel

Melihat muka orang

Tertawa, membikin
dan
memperdengarkan
suara

Bermain dengan
tangan dan pakaian
Mengenal botol
Bersiap-siap untuk
makan
Bermain dengan kaki
Bersiap-siap untuk
makan

Berteriak dengan
senang/membuat
suara
Mendengarkan
suaranya sendiri
Mengucapkan satu
perkataan
Memperhatikan
namanya

Dapat bermain-main
yang sudah-sudah
Dapat makan biskuit
sendiri

Membantu waktu
Dapat
mengucapkan dua berpakaian
atau lebih perkataan Memberikan mainan
bila diminta

Berkata-kata tanpa
arti
Mengenal gambar

Memakai perkataan
yang tidak berarti
Mengerti beberapa
petunjuk mudah
Berbicara lengkap
dalam kalimat
Menjawab
pertanyaan yang
mudah
Memakai kata
penghubung
Mengetahui kata
tambahan

Dapat memakai
sendok dengan sedikit
tumpah
Kencing dan buang
air teratur

Dapat mengatakan
hendak buang air atau
kencing
Bermain boneka
Memakai sendok
dengan baik
Memakai sepatu
sendiri
Berjalan kian kemari
Dapat mencuci dan
mengeringkan muka
Dapat disuruh atau
mengerjakan sesuatu
Bermain bersama
Berbicara lancar
Dapat memakai
Bertanya: Mengapa pakaian tanpa
?
bantuan
Bertanya arti

pertanyaan

45

DIABETES MELITUS (DM)

BATASAN
Kumpulan gangguan metabolisme yang ditandai hiperglikemia yang disebabkan karena
kurangnya sekresi insulin, menurunnya daya kerja insulin, atau kedua-duanya
Sebagian besar DM pada anak termasuk DM tipe 1 atau DM tergantung insulin (DMTI)
DMTI adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang
ditandai hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh suatu proses autoimun yang
merusak sel pankreas sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti
KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologi
DM tipe I (DM tergantung insulin)
DM tipe II (DM tidak tergantung insulin)
DM tipe lain
Defek genetik pada fungsi sel
Defek genetik pada kerja insulin
Penyakit kelenjar eksokrin pankreas
Endokrinopati
Keracunan obat dan kimia
Infeksi
Immune mediated diabetes
Sindroma genetik lain
ETIOLOGI DMTI
Faktor genetik
Faktor lingkungan

: Kerentanan terhadap DM tipe I ditentukan oleh


interaksi banyak gen terutama gen HLA
: Virus/bahan kimia/racun lingkungan

PATOFISIOLOGI
DMTI biasanya disebabkan oleh proses autoimun. Destruksi sel pankreas dicetuskan oleh
faktor lingkungan, terjadi pada individu yang rentan terhadap DMTI (mempunyai kelemahan
genetik). Gejala klinis sebagai akibat defisiensi insulin timbul jika kerusakan sel pankreas
mencapai > 80%. Dari saat permulaan destruksi sel sampai manifestasi gejala bervariasi
dari beberapa bulan sampai tahun

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sbb.
Anamnesis
Badan lemas dan lesu, keluhan sering kencing (ngompol), makan banyak tapi badan
makin kurus, air kencing dikerubungi semut
Fisis
Tanda dehidrasi dan asidosis metabolik (pada ketoasidosis diabetik/KAD)
Hambatan pertumbuhan : Tinggi dan BB di plot pada kurva pertumbuhan
Maturitas kelamin pada anak meninjak remaja dapat terganggu
Tanda infeksi, penyakit autoimun lainnya, atau sindroma genetik bisa ditemukan
Laboratorium

Glukosa darah puasa > 140 mg/dl, dan atau sewaktu (paling cepat 2 jam setelah
makan) > 200 mg/dl
Urin : Ketonuria/mikroalbuminuria (pada KAD dan penyulit ginjal)
HBA1C
C-Peptida , didapatkan autoantibodi (islet cell antibodies/ICA, insulin auto
antibodies/IAA, glutamic acid decarboxylase/GAD)
Asimtomatik : Gula darah sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/l), atau gula darah puasa >
normal dengan uji toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali
pemeriksaan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG pankreas (terlihat kalsifikasi)
C-Peptida dan autoantibodi (ICA, IAA, GAD) bila memungkinkan
PENYULIT
Akut
Hipoglikemia, hiperglikemia, KAD
Subakut
Lipoatrofi dan lipohipertrofi (efek samping suntikan s.k.)
Kelainan tulang dan sendi
Manifestasi pertama limitted joint mobility (kakunya sendi interfalang terutama jari ke5, sebagai akibat dari penebalan kulit), mempunyai korelasi dengan risiko terjadinya
gangguan mikrovaskular
Hambatan pertumbuhan
Terlambatnya maturasi seksual
Kemampuan intelektual
Katarak
Resistensi terhadap insulin
Kronik
Neuropati, nefropati, retinopati dan kardiomiopati

KONSULTASI
Bagian Gizi
Bagian Mata
Psikologi
TERAPI
Umum
Melakukan kontrol diabetik yang baik untuk mencapai tumbuh kembang optimal, baik
fisik/mental dan mencegah penyulit jangka pendek/panjang
Dilakukan oleh satu tim (dokter, edukator diabetes, ahli gizi, psikolog dan perawat)
Khusus
Insulin
Penderita dirawat 7-10 hari untuk penyesuaian dosis terhadap glukosa darah dan
masukan nutrisi. Dosis berkisar 0,5-1 U/kgBB/hari, dimulai dengan dosis rendah,
memakai preparat insulin kerja pendek (regular insulin/RI) 3-4 x/hari, 30 menit
sebelum makan
Gula darah diperiksa sebelum makan dan tengah malam setiap hari atau minimal
3x/hari. Pemeriksaan urin dilakukan pada saat diperiksa gula darah atau setiap
diuresis. Setelah didapatkan profil gula darah harian yang stabil (puasa < 140
mg/dl, setelah makan < 180 mg/dl), suntikan RI diganti dengan campuran short
acting dan intermediate acting insulin dengan perbandingan 1:2, dua pertiga dosis
diberikan pagi hari dan sisanya sebelum makan malam. Setelah stabil penderita
dipulangkan

Kebutuhan insulin bila mendapat infeksi, operasi atau trauma (fisik maupun
psikis) dan pada masa remaja (kebutuhan insulin mencapai 1-1,5 U/kgBB/hari),
sedangkan pada fase honeymoon dosis 0,2-0,5 U/kgBB/hari
Pengaturan makan
Penderita yang mendapat insulin harus mentaati pengaturan makan yang
konsisten (jumlah kalori/komposisi/waktu makan). Jumlah kalori : [1.000 + (umur
dalam th x 100)] dengan komposisi 60% karbohidrat (karbohidrat kompleks dan
tinggi serat), 15% protein dan 25% lemak (rendah kolesterol dan LDL) Porsi makan
diatur 3x/hari, pemberian makanan ringan/snack diantaranya dan sebelum tidur
(20% makan pagi, 20% makan siang, 30% makan malam, makanan ringan
masing-masing 10%)
Edukasi diabetes
Kontinyu menyangkut masalah penyakit DM secara umum, pemberian insulin,
pengaturan/pemilihan makanan, pentingnya olah raga, pemantauan glukosa
darah/urin di rumah, pengenalan gejala hiperglikemia/hipoglikemia serta tindakan
darurat untuk mengatasinya
Olah raga
Dapat menurunkan kadar glukosa darah yang berlangsung sampai beberapa
waktu pasca olah raga
Sensitivitas insulin terhadap jaringan
Pemantauan
Parameter yang sering digunakan :
Kesehatan secara umum
Pemantauan tumbuh kembang dengan mengukur TB dan BB dan merekamnya
pada kurva TB/BB
Pemantauan tingkat maturasi kelamin (TMK) pada anak yang meningkat remaja
Pemantauan laboratorium
Target kontrol gula darah tercapai bila gula darah setelah makan < 180 mg/dl
dan gula darah sebelum makan 80-140 mg/dl
Urin
Tidak bisa memberikan informasi tentang hipoglikemia, tapi sangat berarti
untuk penilaian ada tidaknya ketonuria
Dilakukan di rumah dengan menggunakan kertas lakmus
Darah
Glukosa sebaiknya diukur sebelum makan, 2-3 hari/mgg., dan pemeriksaan
glukosa urin pada hari lainnya
HBA1C : Mencerminkan kontrol glukosa darah 2-3 bl sebelumnya,
pemeriksaan dilakukan setiap 3 bl
Kombinasi pemeriksaan glukosa darah dirumah dengan HBA1C merupakan cara
yang baik untuk mengontrol gula darah pada DM anak dan remaja
Kriteria kontrol yang baik
Tidak terdapat atau glukosuria minimal
Tidak terdapat ketonuria
Tidak ada ketoasidosis
Jarang sekali terjadi hipoglikemia
Glukosa postprandial normal
HBA1C normal
Sosialisasi baik
Pertumbuhan dan perkembangan anak normal
Tidak terdapat penyulit
PROGNOSIS
Merupakan penyakit seumur hidup
Dengan kontrol glikemik yang baik, anak dapat tumbuh dan berkembang seperti anak
normal
Penyulit jangka panjang akan timbul setelah 10-15 th

HIPOGLIKEMIA PADA DM

BATASAN
Sulit untuk menentukan pada kadar berapa penetapan hipoglikemia pada DM. Pada
umumnya diambil sebagai batas glukosa darah 60 mg/dl. Yang lebih penting adanya gejala
klinis hipoglikemia
KLASIFIKASI
Derajat 1 (ringan)
Bila dapat mengetahui dan mengobati hipoglikemianya sendiri tanpa bantuan orang lain
(anak kecil tidak dapat menolong dirinya sendiri, sehingga hipoglikemia anak < 5 th tidak
termasuk dalam derajat 1)
Derajat 2 (sedang)
Hipoglikemia diobati dengan bantuan orang lain, bila mungkin dengan pemberian glukosa
p.o.
Derajat 3 (berat)
Tidak sadar disertai kejang atau tidak dapat minum glukosa p.o., karena sudah terdapat
disorientasi berat. Terapi dengan glukagon secara i.m./i.v.
ETIOLOGI
Masukan makanan yang kurang atau tidak makan
Latihan jasmani tanpa masukan makanan yang cukup
Kelebihan dosis insulin
PATOFISIOLOGI
Masukan makanan yang kurang atau latihan jasmani gula darah Keadaan ini dapat
diperberat dengan pemberian insulin. Demikian juga kelebihan dosis insulin glukosa
darah
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis dan atau
Glukosa darah < 60 mg/dl
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Glukosa darah serial setiap 15-30 menit

TERAPI
Tabel 46. Terapi Hipoglikemia
Derajat
Ringan

Gambaran Klinis
Gambaran
neurologik
ringan
(adrenergik/kolinergik)
:
Lapar,
tremor, gugup, cemas, berkeringat,
pucat, berdebar-debar dan takikardia
Neuroglikopenia ringan : Penurunan

Terapi
Sari
buah,
cairan
manis, atau susu
Makanan ringan/snack

Sedang

Berat

perhatian dan kognitif


Neuroglikopenia/neurogenik sedang :
Sakit kepala/perut, perubahan perilaku/agresif, gangguan penglihatan
atau penglihatan ganda, lemah,
bingung, kesulitan bicara, takikardia,
dilatasi pupil, pucat, berkeringat
Neuroglikopenia berat : Disorientasi
berat, tidak sadar, kejang fokal atau
umum
sehingga
tidak
mampu
menelan makanan

Glukosa instant
(glukotab) 10-20 g diikuti
pemberian makanan
ringan

Di luar RS :
Glukagon i.m./s.k. :
umur < 5 th : 0,5 mg
> 5 th : 1 mg
Bila dalam 10 menit tak
ada respons, ulang
sekali lagi
Di RS : Bolus glukosa
20% i.v. (0,2 g/kgBB)
Catatan : Monitor glukosa darah selama/sesudah terapi
PENYULIT
Otak merupakan organ yang paling sensitif, oleh karena itu kalau tidak diobati kesadaran
, kejang dan kerusakan otak

KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)

BATASAN
Gangguan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin dan sekresi berlebih hormon
stres (hormon kontra insulin)
Sindroma ini ditandai dengan triad
1. Hiperglikemia : Glukosa darah 300 mg/dl
2. Ketonemia
3. Asidosis metabolik : pH < 7,3 dan bikarbonat darah < 15 mEq/l
KLASIFIKASI
Derajat hiperketonemia dan asidosis dapat dibedakan menurut kadar bikarbonat (darah
vena atau kapiler)
KAD ringan
: Bikarbonat 16-21 mEq/L
KAD sedang
: Bikarbonat 10-15 mEq/L
KAD berat
: Bikarbonat < 10 mEq/L
KAD berulang (rekurens) : Bila terjadi 3-4 episode KAD dalam 4 th berturut-turut
ETIOLOGI
Defisiensi dan daya kerja insulin. Pada penderita lama karena dihentikannya suntikan
insulin dan pada penderita baru karena tidak diketahui menderita DM
Faktor pencetus : Stres (trauma, infeksi), muntah atau gangguan psikis
PATOFISIOLOGI
Insulin adalah suatu hormon anabolik utama dalam tubuh. Kekurangan insulin menyebabkan
cadangan energi dimobilisir (glikogenolisis, proteolisis dan lipolisis) dan pemakaian glukosa
oleh jaringan dihambat Karena insulin merupakan hormon antilipolitik kuat, maka defisiensi

insulin berat ketonuria, ketonemia dan asidosis. Di samping defisiensi insulin harus ada
sekresi berlebih hormon kontra insulin (hormon pertumbuhan, glukagon, kortisol dan
katekolamin) untuk dapat menyebabkan KAD. Hormon stres merangsang glukoneogenesis
dan glikogenolisis serta lipolisis dan ketogenesis . Hormon ini juga menyebabkan resistensi
jaringan terhadap insulin (daya kerja insulin ). Hiperglikemia diuresis osmotik yang bila
tidak dikompensasi akan dehidrasi/kehilangan elektrolit. Keadaan katabolik antara lain
lipolisis ketonemia/asidosis metabolik
Perkiraan kehilangan cairan dan elektrolit (/kgBB)
Air
: 100 ml
(60-100 ml)
Na
:
6 mEq (5-13 mEq)
K
:
5 mEq (4-6 mEq)
Klorida
:
4 mEq (3-9 mEq)
Fosfat
:
3 mEq (2-5 mEq)
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klasik DM (polifagia, polidipsia dan poliuria), BB , dehidrasi, syok. Kadangkadang dehidrasi sukar dinilai karena dehidrasi intraselular
Akibat ketonemia : Muntah, asidosis metabolik, nafas bau aseton, pernafasan Kussmaul,
kesadaran
Faktor pencetus : Infeksi, tidak disuntik insulin, stres psikologis
Laboratorium
Glukosa darah 300 mg/dl
Ketonemia (reaksi positif dengan reaksi nitroprusid pada pengenceran 1:2 serum/urin)
Asidosis metabolik (pH < 7,30 ; bikarbonat darah < 15 mEq/L)
Osmolaritas darah
DIAGNOSIS BANDING
Asidosis dan atau gangguan kesadaran karena sebab lain
Hipoglikemia, uremia, diare dengan asidosis, intoksikasi salisilat, ensefalitis dan lesi
intrakranial lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Glukosa, elektrolit dan osmolaritas darah
pH dan status asam basa
Keton urin
Pemeriksaan lain atas indikasi (biakan darah, EKG, foto toraks, CT-scan kepala, urea N dan
kreatinin)
PENYULIT
Merupakan penyulit akibat terapi
Edema serebral
Hipoglikemia
KONSULTASI
Bagian Bedah Saraf
TERAPI
Perawatan sebaiknya di ruang intensif (pada KAD berat, balita dan gangguan konduksi
jantung)
Resusitasi
Bila syok larutan NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
Bila masih syok bisa diulang 1 jam lagi atau diberi plasma ekspander (albumin/hemasel)
10 ml/kgBB selama 30 menit

Rehidrasi

Pemberian cairan harus tepat, baik dari segi tonisitas, jumlah, dan kecepatan pemberian
Sebaiknya cairan isotonis diberikan hati-hati dengan tujuan koreksi defisit cairan/elektrolit
dalam waktu 36-48 jam
Makin berat kekacauan metabolik dan makin tinggi osmolaritas darah (> 320
mOsm/kgBB) makin lambat rehidrasi
Tentukan kebutuhan, defisit maupun pemeliharaan cairan/elektrolit
Kebutuhan pemeliharaan cairan
2-6 th
: 100 ml/kgBB/hari
7-10 th
: 80 ml/kgBB/hari
>10 th
: 60 ml/kgBB/hari
Kecepatan pemberian cairan
50% defisit diberikan dalam 12 jam dan yang 50% sisanya dalam 24-36 jam + cairan
rumatan dan concomitant loss
Bila ada syok, rehidrasi dilakukan setelah resusitasi
Pada jam ke-1 : NaCl 0,9% dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam
Pada jam ke-2 : NaCl 0,9% + KCl 40 mEq/L dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam (maks.
500 ml/jam)
Selanjutnya kecepatan dikurangi bertahap menjadi 5 ml/kgBB/jam dengan NaCl 0,45% +
KCl 30 mEq/L + Dekstrosa 5% (bila kadar gula darah < 250 mg/dl)
24 jam berikut : NaCl 0,45% atau NaCl 0,225% + Dekstrosa 5% + KCl 20-30 mEq/L.
Kecepatan 3-4 ml/kgBB/jam
Selama rehidrasi dihitung masukan dan keluaran cairan tiap 8 jam Pemberian cairan
dalam 24 jam < 4L/m2 luas permukaan tubuh
Insulin
Untuk menghentikan katabolisme dan mengembalikan metabolisme normal secara
bertahap dan terkontrol. Dipergunakan RI
Persiapan infus insulin
50 U + 500 ml NaCl 0,9% 10 ml larutan mengandung 1 U insulin ; atau
20 U + 100 ml NaCl 0,9 % 5 ml larutan mengandung 1 U insulin
Infus insulin dimulai 0,05-0,1 U/kgBB dengan tujuan untuk menurunkan glukosa darah <
100 mg/dl/jam. Bila penurunan glukosa darah < 50 mg/dl/jam, kecepatan infus insulin
dilipat gandakan. Sebaliknya bila penurunan > 100 mg/dl/jam, kecepatan infus dikurangi.
Bila glukosa darah 250 mg/dl dan asidosis belum teratasi infus dikurangi setengahnya
+ dekstrosa 5% kedalam NaCl 0,45%. Kecepatan infus kemudian diatur untuk
mempertahankan glukosa darah 90-180 mg/dl
Bila glukosa darah menurun, tetapi asidosis belum teratasi infus insulin jangan
dikurangi tetapi ditambahkan dekstrosa 5% (kalau perlu dekstrosa 10%)
Insulin bisa diberikan s.k. (beberapa saat sebelum insulin infus dihentikan) bila anak bisa
makan, glukosa darah < 250 mg/dl, pH darah 7,30 dan bikarbonat plasma > 15 mEq/L
Suntikan diberikan jam sebelum makan, dimulai dengan dosis 0,25 U/kgBB setiap 6
jam. Bisa juga diberikan kombinasi RI 2x dan campuran RI-intermediate acting (NPH) 1x.
Selanjutnya suntikan insulin bisa diberikan dengan campuran RI : NPH = 1:2. Dua pertiga
dosis diberikan pada pagi hari, 1/3 nya pada malam hari
Koreksi elektrolit
Na
Defisiensi insulin reabsorpsi Na di tubulus ginjal Hiperglikemia osmolaritas
intravaskular cairan intrasel mengalir ke ekstrasel. Kadar Na yang sebenarnya
pada saat diagnosis KAD tergantung dari gula darah dan lipid Hiperglikemia dan
hiperlipidemia yang sering terjadi pada KAD, akan menekan Na darah sehingga akan
terlihat secara laboratoris sebagai hiponatremia. Koreksi Na yang sesungguhnya
pada situasi tersebut dilakukan dengan rumus : (Na darah dalam mEq/l)
[Na+] sesungguhnya = [Na+] didapat + 2,75 (gula darah 100)
100
7

Bila Na < 140 mEq/l cairan mengandung Na 150 mEq/l (cairan NaCl 0,9%)
Bila Na > 160 mEq/l cairan mengandung Na 75-110 mEq/l (larutan NaCl 0,45%)
Hal ini perlu diperhatikan karena memberikan cairan isotonis pada KAD dengan Na
darah normal (bukan berdasarkan hasil koreksi rumus diatas sehingga Na yang
sesungguhnya > normal) akan memudahkan terjadinya edema serebral
Kalium
Meskipun K plasma normal/sedikit , total K karena diuresis osmotik, asidosis
metabolik dan glikogenolisis serta muntah. K diberikan setelah pemberian insulin
(setelah 1 jam rehidrasi). Pada dehidrasi pemberian KCl 20-40 mEq/L dan bisa
dinaikkan bila K < 3,5 mEq/L. Sebaiknya K diberikan pada jam ke-2 rehidrasi (bila ada
diuresis serta pH > 7,0). Dalam 24 jam pertama, K total belum bisa dikembalikan. Bila
setelah 24 jam masih diperlukan infus dekstrosa 5% + NaCl 0,45% atau NaCl
0,225% + KCl 20 mEq/L. Selanjutnya KCl p.o. perlu diberikan untuk beberapa hari.
Pemeriksaan EKG sangat berguna dalam menilai hipokalemia/hiperkalemia
Ketonemia dan asidosis
Defisiensi insulin dan meningkatnya hormon kontra insulin merangsang lipolisis dan
menghambat sintesis lipid konsentrasi lipid total (kolesterol, trigliserida dan asam
lemak bebas) benda keton yang melampaui kapasitas sekresinya di ginjal
asidosis metabolik
Bikarbonat
Untuk mengatasi asidosis (hanya pada asidosis berat), bila pH < 7,1 dan atau
bikarbonat < 10 mEq/L, dengan tujuan untuk mencapai bikarbonat 15 mEq/L, atau
dosis yang dibutuhkan
Perhitungan pemberian bikarbonat
= 0,3 x (15bikarbonat yang didapat) x BB
Kebutuhan ini setara dengan 2 mEq/kgBB, diberikan i.v. perlahan-lahan selama 60
menit atau per drip tanpa pemberian dosis bolus
Penyulit
Edema serebri
Penyulit yang sering dan fatal (kematian 90%) dan tidak dapat diramalkan. Faktor
penunjang : Pemberian cairan terlalu cepat (> 4 L/m2/hari) dan dosis insulin terlalu
besar
Untuk deteksi dini penting pengenalan gangguan serebral seperti : Sakit kepala,
kesadaran dan dilatasi pupil
Bila terdapat gejala dilakukan tindakan
Membatasi pemberian cairan < 2 l/m2/hari
Manitol 1 g/kgBB
Hiperventilasi sampai PO2 25-27 mmHg
Hipoglikemia (lihat bab hipoglikemia pada DM)
PEMANTAUAN
Klinis
Fungsi vital : Nadi, tekanan darah, respirasi, status neurologik tiap jam.
Derajat dehidrasi : Masukan dan keluaran cairan
Laboratorium
Glukosa darah/jam selama mendapat infus insulin
Elektrolit dan osmolaritas darah/2-4 jam
pH dan status asam basa/2-4 jam
Keton urin tiap diuresis sampai keton (-)
PROGNOSIS
Angka kematian di Amerika Serikat 5-17%

Bagian Anak RSHS selama 5 th : 5 kasus (1 orang meninggal)


PENCEGAHAN
Pencegahan dan pengobatan dini ketonuria cara paling efektif untuk morbiditas dan
mortalitas
Sangat erat hubungannya dengan edukasi dan kepatuhan penderita Dianjurkan untuk
memeriksakan keton urin bila
Anak merasa sakit atau muntah
Glukosa darah > 240 mg/dl
Bila ketonuria sedang : Tambahkan RI 5-10% dosis total/hari
Bila ketonuria berat
: Tambahkan RI 10-20% dosis total/hari
DAFTAR PUSTAKA
Arslanian S, Becker D, Drash A. Diabetis mellitus in the child and adolescent. Dalam: Kappy
MS, Blizzard RM, Migeon CJ, penyunting. Wilkins the diagnosis and treatment of endocrine
disorders in childhood and adolescens; edisi ke-4. Illiones: Charles C Thomas Publisher 1994;
961-1026.
Chase HP, Grag SK, Jelley DH. Diabetic ketoacidosis in children and the role of outpatient
management. Pediatr Rev 1990; 11:297-304.
Consensus Guidelines for the Management of Insulin Dependent (Type I) Diabetes Mellitus
(IDDM) in Childhood and Adolescence. 1995. Freund Publishing House, Ltd.
Ellis EN. Concept of fluid therapy in diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglicemic
nonketotic coma. Ped Clin North Am 1990; 37: 313-21.
Krane EJ. Diabetic ketoacidosis biochemistry, physiology, treatment, and prevention. Ped Clin
North Am 1987; 34:935-60.
Plotnick L. Insulin dependent diabetes mellitus. Pediatr Rev 1994; 15:137- 50.
Silink M. The Management of insulin-dependent (Type I) diabetes mellitus (IDDM). APEG
handbook on childhood and adolescent diabetes. Australian paediatric endocrine group 1996.
Sperling MA. Diabetes mellitus. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co,1996;
1646-66.
Tabel 47. Algoritma Perubahan Dosis Insulin
1.

2.

3.

4.

Glukosa darah sebelum makan siang


Jika > 150 mg/dl naikkan dosis RI pagi 1-2 unit
Jika < 80 mg/dl turunkan dosis RI pagi 1-2 unit
Glukosa darah sebelum makan malam
Jika > 150 mg/dl naikkan dosis NPH pagi 1-3 unit
Jika < 80 mg/dl turunkan dosis RI sore 1-2 unit
Glukosa darah sebelum waktu tidur
Jika > 150 mg/dl naikkan dosis RI sore 1-2 unit
Jika < 80 mg/dl turunkan dosis NPH sore 1-3 unit
Glukosa darah sebelum makan pagi
Jika > 150 mg/dl naikkan dosis NPH sore 1-3 unit
Jika < 80 mg/dl turunkan dosis NPH sore 1-3 unit

Hiperglikemia

Ketoasidosis

Glikosuria

Ekskresi asam

Diuresis
Reabsorpsi H2O

Reabsorbsi Na

Sekresi K+

HIPOTIROID

BATASAN
Keadaan yang disebabkan hormon tiroid tidak memenuhi kebutuhan tubuh yang diperlukan
oleh semua jaringan sejak dalam kandungan, masa anak, remaja sampai umur lanjut
KLASIFIKASI
Primer
Kelainan di kelenjar tiroid, bersifat menetap/sementara (transien)
Sekunder
Kelainan di hipotalamus/hipofisis
Kongenital/didapat
Sporadis/endemis
ETIOLOGI
Hipotiroid kongenital menetap :
Primer
Disgenesis kelenjar tiroid : Aplasia, hipoplasia atau ektopik
Kelainan biosintesis hormon tiroid (dishormonogenesis)
Iatrogenik : Anak lahir dari ibu yang mendapat pengobatan iodium radioaktif ablasia
kelenjar tiroid janin
Sekunder
Kelainan bawaan perkembangan otak tengah : Displasia sefalooptik atau aplasia hipofisis
Defisiensi thyroid stimulating hormon (TSH) yang dapat disertai defisiensi growth hormon
(GH) atau adenocorticotropic hormone (ACTH)
Resistensi jaringan terhadap hormon tiroid
Hipotiroid kongenital sementara/transien
Penggunaan obat pada Ibu yang dapat melalui plasenta dan mempengaruhi sintesis
hormon tiroid bayi (obat goitrogen, iodium antiseptik)
Adanya antibodi anti tiroid dari ibu melalui barier plasenta
Defisiensi iodium penyakit goiter atau hipotiroid di daerah endemis
idiopatik
Hipotiroid didapat
Defisiensi iodium endemis
Penyakit tiroid autoimun
Respons jaringan terhadap hormon tiroid
Obat goitrogen
Setelah tiroidektomi atau radiasi

10

Penyakit sistemik : Gangguan ginjal, sistinosis


Defisiensi TSH

PATOFISIOLOGI
Hipotiroid kongenital
Kekurangan hormon tiroid terjadi pada masa perkembangan otak retardasi mental
yang jelas dan hambatan pertumbuhan
Hipotiroid didapat
Biasanya kekurangan hormon tiroid terjadi setelah berlalunya masa kritis perkembangan
otak gangguan fungsi mental ringan dan yang menonjol adalah gangguan
pertumbuhan fisik
GEJALA KLINIS
A. Gejala dan tanda klinis hipotiroid pada bayi baru lahir
Gejala Klinis
Tanda Klinis
Ikterus lama
Skin mottling
Letargi
Hernia umbilikalis
Konstipasi
Ikterus
Feeding problem
Makroglosia
Tubuh teraba dingin
Fontanel dan sutura melebar
Abdomen membuncit
Hipotonia, kulit kering
Refleks melambat
Goiter
B. Gejala dan tanda klinis hipotiroid didapat
Disamping gejala klasik juga terdapat gejala lain yang menonjol
Hambatan pertumbuhan
Umur tulang lambat
Pseudodistrofi otot
Gangguan maturasi kelamin
Pubertas terlambat atau
Pubertas prekoks
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis hipotiroid
Pemeriksaan perkembangan
Radiologi : Untuk mengetahui umur tulang. Pada hipotiroid kongenital femur bagian
distal dan tibia bagian proksimal
USG kelenjar tiroid
Sidik tiroid
Laboratorium penunjang
Hipotiroid primer : T3, T4 dan TSH
Hipotiroid karena kelainan di hipofisis/hipotalamus : T3, T4 dan TSH
Hipotiroid karena resistensi jaringan terhadap hormon tiroid : T3, T4 dan TSH normal
Thyroid binding globulin (TBG), antibodi anti tiroid (atas indikasi)
Bila pemeriksaan tersebut tidak memungkinkan, untuk mewaspadai kemungkinan
hipotiroid kongenital skrining klinis dengan menggunakan skoring hipotiroid kongenital
(tabel 48)
Tabel 48. Skoring Hipotiroid Kongenital
Tanda/gejala
Feeding problem

Nilai
1

11

Konstipasi
Hipoaktif
Hipotonia
Hernia umbilikalis
Lidah membesar
Skin mottling
Kulit kering
Ubun-ubun besar masih terbuka
Muka khas
Jumlah

1
1
1
1
1
1
1,5
1,5
3
13

Bayi baru lahir normal mempunyai nilai < 3, sedangkan bila nilai > 4 harus dilakukan uji
saring sesuai algoritma dibawah ini

Tinggi
Tinggi
Tidak
Terdeteksi

T4 bebas

Normal

T3 bebas
Normal

TSHs

Hipertiroid
Toksikosis T3

Normal

Hipertiroid
Subklinis
Eutiroid

Normal
Tinggi

Hipotiroid
Subklinis

T4 bebas
Rendah

Hipotiroid

Gambar 37. Algoritma Hipotiroid


(dikutip dari Lancet, 1985)

PENYULIT
Hipotiroid kongenital bila tidak diobati dini, atau dosis obat tidak adekuat (kurang dari
kebutuhan) retardasi mental, gangguan kognitif dan motorik
Hipotiroid didapat gangguan fungsi mental menurunkan prestasi belajar dan hambatan
dalam pertumbuhan fisik termasuk maturitas seksual
KONSULTASI
Psikologi (tes perkembangan/IQ terutama sebelum umur sekolah)
TERAPI
Karena kekurangan/tidak adanya hormon tiroid apapun penyebabnya maka diberikan
penggantian/replacement hormon tiroid dengan Na L-tiroksin
Karena hormon tiroid dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan maka
penggantian hormon tiroid diberikan sedini mungkin
Tabel 49. Dosis Penggantian Na L-tiroksin pada Bayi dan Anak
Umur
06 bl
6-12 bl
1 5 th
512 th
> 12 th

Dosis/hari(gr)
2550
5075
75100
100150
100200

Dosis/kgBB/hari(gr)
10
810
57
35
24

12

PEMANTAUAN
Terapi hipotiroid berbeda untuk setiap individu
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respons klinis serta hasil pemeriksaan T4 dan TSH
Pada 3 bl pertama evaluasi dilakukan setiap bl, kemudian setiap 3 bl
Selanjutnya 6 bl satu kali dan pada umur pra sekolah dilakukan tes IQ
PROGNOSIS
Bila terapi dilakukan pada umur < 1 bl IQ > 90 pada umur 3 atau 4 th
Bila pada umur < 3 bl IQ 85
Bila tidak diterapi/1 bl keterlambatan akan kehilangan 1 point IQ
PENCEGAHAN
Pengenalan dini dengan uji saring tiroid pada bayi baru lahir menghindari cacat mental
dan fisik yang lebih berat
DAFTAR PUSTAKA
Chiovatol, Di Lavro R, Lapi P, Macchia P, Fenzi G, Pinchera A. Recent insight in the
pathogenesis of neonatal hypothyroidism. Dalam: Pinchera A, Mann K, Hostalek U, penyunting.
The thyroid and age. Dipresentasikan pada Merck european thyroid symposium, Italia, 30 April2
Mei 1998.
DussaultJH. Congenital hypothyroidism. Inl Hlth Dis Cntrl, 1994; 1222-8.
Fisher DA. Hypothyroidsm. Ped in rev 1994;15:22732.
Foley T, Malvarex P, Blizzard R. Thyroid disease. Dalam: Kappy MS, Blizzzard RM, Migen CJ,
penyunting. Wilkins. The diagnosis and treatment of endocrine disorders in childhood and
adolescent; edisi ke 4. Illinois: Charles C Thomas, 1994; 457531.
Illig R, Largo RH, Qin Q, Torresani T, Rochiccioli P, Larsson A. Mental development in
congenital hypothyroidism after neonatal screening. Arc Dis Child 1987; 62:10505.
La Franchi S. Hypothyroidism, congenital and acquired. Dalam: Kaplan SA, penyunting. Clinical
pediatrics and adolescent endocrinology. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990; 87126.
Rivkees SA, Bode HH, Crawford JD. Long term growth in juvenile acquired hypothyroidis : The
failure to achieve normal adult stature. N Engl J Med 1988; 318;10:599602.
Rukman Y. Hipotiroidisme pada anak. Kumpulan naskah simposium hipotiroidisme. Semarang:
Universitas Diponegoro, 1995; 1723.
Smith DW, Klien AM, Henderson JR, Myrianthopoulos NC. Congenital hypothyroidismsign
and symptoms in the newborn period. J Pediatr 1975; 87:61:958-62.

HIPERTIROID

BATASAN
Keadaan klinis akibat kelainan yang menyebabkan hipersekresi kelenjar tiroid
KLASIFIKASI UNTUK PENYAKIT GRAVE
Penyakit Grave anak
Penyakit Grave neonatus
ETIOLOGI
Penyakit Grave
Penyakit Grave neonatus
Tiroiditis
Iodine induce hipertiroid

13

Sindroma Mc Cune Albright


Neoplasma tiroid
Hipersekresi TSH
Hipertiroid pada anak dan remaja terutama disebabkan oleh penyakit Grave, lebih banyak
diderita anak wanita. Kejadiannya dengan umur dan ditandai dengan adanya hipertiroid,
goiter, optalmopati dan dermatopati
PATOFISIOLOGI
Antibodi antitiroid termasuk antibodi terhadap reseptor TSH pada sel folikel keadaan yang
menyerupai hiperaktivitas TSH (hipertiroid, tiromegali)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Emosi labil, mudah lelah, intoleransi terhadap panas, otot lemah, tremor, nafsu makan
tetapi BB , buang air besar sering
Fisis
Gelisah, emosi labil, banyak keringat
Gangguan kardiovaskular : Takikardia, palpitasi, tekanan darah tinggi, bising sistole di
apeks
Optalmopati : Proptosis, mata merah, lid-lag dan lid retraction
Pembesaran kelenjar tiroid : Goiter difus, simetris tidak nyeri
Refleks tendon
Anak tampak tinggi, sering mengalami keterlambatan pubertas
Laboratorium : T3 dan T4 (peningkatan T3 lebih bermakna dibandingkan dengan T4),
TSH
EKG : Right axis deviations, takikardia
Radiologi : Umur tulang lebih dari umur kronologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar T3/T4 total/bebas, TSH
EKG
Radiologi (umur tulang)
PENYULIT
Krisis tiroid
TERAPI
Menghentikan sintesis hormon tiroid (obat anti tiroid)
Merusak kelenjar tiroid (Iodium 131)
Mengangkat kelenjar tiroid (tiroidektomi subtotal)
Umum
Sebaiknya dirawat untuk pemeriksaan penunjang diagnosis, menentukan derajat
penyakit dan menilai kemampuan pengertian penderita/orang tuanya sehubungan
dengan penyakit kronik
Khusus
Obat anti-tiroid atau tirourelen
Propiltiourasil (PTU), 5-7 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (maks. 300 mg/hari)
Metimazol (MMI) atau karbimazol (CBI), 0,5-0,7 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
(maks. 30 mg/hari)
Dosis rumatan dosis terapeutik
Terapi dilanjutkan sampai 1-2 th setelah remisi (biasanya 2-3 th)
Indikator remisi
Kelenjar tiroid mengecil
T3, T4 dan TSH normal
Iodium 131 (sebaiknya dihindarkan pada anak)

14

Tiroidektomi dilakukan apabila


Gagal dengan terapi antitiroid
Toksisitas terhadap obat anti tiroid
Ketidakpatuhan pengobatan
Kebutuhan nutrisi ditingkatkan
Jika toksik propanolol 80 mg/m2/hari atau 0,5-2 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis
(kontraindikasi : Asma dan blokade jantung)
Digitalis apabila terjadi gagal jantung
PEMANTAUAN
T3,T4 dan TSH
Refleksogram
Umur tulang
Efek samping obat terutama agranulositosis

setiap 1, 3,
dan 6 bl

PENYAKIT GRAVE NEONATUS

BATASAN
Penyakit Grave pada neonatus
ETIOLOGI
Transfer antibodi dari ibu yang menderita penyakit Grave
PATOFISIOLOGI
Antibodi dari ibu melalui plasenta gangguan pada tiroid fetus hipersekresi hormon
tiroid bayi
KRITERIA DIAGNOSIS

Anamnesis
BKB atau IUGR
Gejala timbul beberapa jam/hari setelah lahir (2-10 hari)

Klinis
Intrauterin
Takikardia (> 160x/menit)
Irritable, tremor, hiperaktif
Flushing
Banyak minum
Gangguan saluran cerna (muntah, diare)
Gangguan kardiovaskular (takikardia, aritmia, gagal jantung)
Tiromegali sufokasi (hambatan untuk bernafas)
Hepatosplenomegali (dapat disertai ikterus)
Kraniosinostosis
Optalmopati
Laboratorium
T3 dan T4
TSH
Hipoprotrombinemia
Antibodi anti tiroid ibu (+) (intrauterin)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
T3,T4, dan TSH
Antibodi antitiroid ibu

15

PENYULIT
Krisis tiroid
TERAPI
Intrauterin : PTU pada ibu sehingga bunyi jantung anak < 160x/menit
Bayi
Lugol, 3x1 tetes
PTU, 5-10 mg/kgBB/hari, dalam 3 dosis atau
MMI, 0,5-1 mg/kgBB/hari, dalam 3 dosis
Propanolol, 10 mg/kgBB/hari, dalam 4 dosis
Bila terjadi gagal jantung digitalis dan diuretik
Terapi dihentikan setelah 3-6 bl
DAFTAR PUSTAKA
Di George AM, Le Franchi S. Hyperthyroidism. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman A,
Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke- 15. Philadelphia: WB Saunders Co,
1996; 1000-2.
Fisher DA. The thyroid. Dalam: Kaplan SA, penyunting. Clinical pediatrics endocrinology.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1990;87-126.
Malvaux P. Hyperthyroidism. Dalam: Bertrand J, Pappaport R, Sizonenko PC, penyunting.
Pediatrics endocrinology: physiology, pathophysiology & clinical aspects; edisi ke-2. Baltimore:
William & Wilkins, 1993;264-9.
Sillo JN. Hyperthyroidism. Pediatr in Rev 1994;15:417-24.
Zimmerman D, Gaisano M. Hyperthyroid in children & adolescent. current issue. Pediatrics and
adolescent endocrinology. Ped Clin North Am 1996;33:1273-93.

KRIPTORKISMUS
(CRYPTORCHIDISM)

BATASAN
Testis tidak berada dalam skrotum
KLASIFIKASI
True undescended testis
Proses penurunan testis terhenti di jalur penurunan normal
Testis retraktil
Testis kadang-kadang turun ke dalam skrotum
Testis ektopik
Testis menyimpang dari jalur penurunan normal
Menurut tempat
Testis letak normal (dalam skrotum)
Testis letak skrotal tinggi/preskrotal
Testis di kanalis inguinalis (kanalikuler)
Testis tidak teraba
Testis ektopik

16

ETIOLOGI
Belum diketahui pasti
Ditemukan pada kelainan yang melibatkan aksis hipotalamus-hipofise-testis
Kelainan anatomi/testis terlihat pada gambar 38 dibawah ini

Penyakit

Organ

Sindroma Kallman
Sindroma Prader-Willi
Anensefali

GnRH
Hipotalamus
Hipofisis
FSH
Testis
Sel Sertoli
MIS

LH

Aplasia pituitari
Anorchia
Sindroma duktus Mullerian persisten

Sel Leydig
Defisiensi 20,22 desmolase
Defisiensi 3 OH steroid dehidrogenase
Defisiensi 17OH
Defisiensi 17, 20 desmolase
Testosteron
Dihidrotestosteron
Reseptor steroid
kompleks
Gubernakulum tetis

Defisiensi17OH steroid dehidrogenase


Defisiensi 5 reduktase
Complete testicular feminization
Sindroma Relfenstein
Sindroma Prune Belly
Testis ektopik

Gambar 38. Bagan Kelainan Anatomi/Testis


PATOFISIOLOGI
Penurunan testis tergantung pada interaksi antara faktor hormonal dan mekanik (tabel 50)

17

Tabel 50. Faktor Hormonal dan Mekanik


Faktor Hormonal
Gonadotropin, LH-FSH
Testosteron
Dihidrotestosteron
Substansi yang menginhibisi saluran Muller

Faktor Mekanik
Gubernakulum
Epididimis
Tekanan abdominal

Pada bl ke-3 kehamilan testis berada di dalam fosa iliaka


Pada bl ke-7 kehamilan testis berada di dalam kanalis inguinalis
Pada bl ke-8 kehamilan testis menuju skrotum sehingga pada saat lahir berada di dalam
skrotum
Keberadaan testis di dalam skrotum sangat penting untuk mempertahankan fungsi
epididimis dan spermatogenesis, karena suhu skrotum 1,5-2oC lebih rendah dari suhu tubuh
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Testis tidak teraba atau pernah tampak/teraba di dalam skrotum (retraktil)
Riwayat keluarga menderita kriptokismus
Fisis
Tidak terabanya testis di dalam skrotum uni/bilateral
Testis teraba
Jalur penurunan normal
Diluar jalur penurunan normal (ektopik)
Apabila tidak teraba, testis mungkin berada di
Intrakanalikuler
Intraabdominal
Agenesis
Pengamatan yang teliti terhadap sindroma tertentu (Kallman, Klinefelter, Prader Willi)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Apabila testis tidak teraba, perlu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan lokasi
USG
CT-scanning
Venografi
MRI
Untuk menentukan ada tidaknya testis dilakukan pemeriksaan uji HCG
TERAPI
Operasi : Di Bagian IKA RSHS biasanya pada umur 2 th
Hormonal (umur 10-24 bl)
Human chorionic gonadotropin (HCG) i.m. selama 5 mgg.
Dosis (menurut International Health Foundation)
Umur 3-12 bl
: 2 x 250 IU/mgg
1-6 th
: 2 x 500 IU/mgg
> 6 th
: 2 x 1000 IU/mgg
Menurut WHO
Umur < 1 th
: 2 x 250 IU/mgg
1- 5 th
: 2 x 500 IU/mgg
> 5 th
: 2 x 1000 IU/mgg
Luteinizing-Hormone-ReleasingHormon
Tetes hidung 3 x 400 g (1,2 g/hari)
Hormonal diikuti operasi
Tanpa terapi (testis retraktil)

18

Bila ditemukan pada bayi baru lahir, tidak dilakukan terapi terlebih dahulu, tetapi dievaluasi
setiap 3 bl. Bila pada umur 10-12 bl belum turun hormonal
PENYULIT
Kesuburan
Keganasan
Torsi testis
Hernia inguinalis
Psikologik
PROGNOSIS
Keberhasilan terapi tergantung pada
Posisi testis sebelum terapi
Umur pada saat mulai terapi
Pemberian HCG pertama tidak berhasil diulang (hasil baik)
DAFTAR PUSTAKA
Elder JS. Cryptorchidism, isolated and associated with other genitourinary defects. Pediatr Clin N
Am 1987;34:103353.
Karpe B, Eneroth P, Ritzen EM. LHRH treatment in unilateral cryptochidism: Effect on testicular
descent and hormonal response. J Pediatr 1983;103: 8927.
Mackellar. Appropiate management of the undescended testis. J Pediatr, Obstet and Gynaec
1985; 238.
Rajfer J, Handelsman DJ, Swerdloff RS dkk. Hormonal therapy of cryptorchidism. A
randomized, double-blind study comparing human chorionic gonadotropin and gonadotropinreleasing hormone. N Engl J Med 1986;314: 46670.
Urban MD, Lee PA, Lanes R, Migeon CJ. HCG stimulation in children with cryptorchidism. Clin
Pediatr 1987;26: 512-4.

19

DIARE AKUT

BATASAN
Buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, > 3
kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak dan
berlangsung kurang dari 2 minggu
ETIOLOGI
Infeksi

: Bakteri : E. coli , Shigela, Salmonela, Vibrio,


Yersinia, Campylobacter
Virus : Rotavirus, Norwalk virus , Adenovirus
Parasit : Ameba, Giardia lamblia, Kriptosporidium
Alergi
: Protein air susu sapi
Intoleransi
: Karbohidrat
Malabsorpsi
: Karbohidrat, lemak, protein
Keracunan makanan
Zat kimia beracun
Toksin mikroorganisme : Clostridium perfringens, Stafilokokus
Imunodefisiensi

KRITERIA DIAGNOSIS
BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekuensi > 3 x/hari
Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
Muntah +/-, nyeri perut, panas
Pemeriksaan fisis
Tanda dan gejala dehidrasi (-) atau
Tanda dan dehidrasi ringan-sedang atau
Tanda dan gejala dehidrasi berat dengan/tanpa syok (renjatan)
Dapat disertai atau tidak tanda dan gejala gangguan keseimbangan
dan/atau gangguan keseimbangan asam basa
Laboratorium
Feses : Dapat disertai darah/lendir
pH asam/basa
Clinitest dapat +/Leukosit > 5 /LPB (birumetilen) invasif
Biakan dan tes sensitivitas untuk etiologi bakteri/terapi
ELISA (bila memungkinkan, untuk etiologi virus)
Darah : Dapat terjadi gangguan elektrolit dan atau gangguan asam basa

elektrolit +/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Feses
Darah : Elektrolit

CARA MENILAI DERAJAT DEHIDRASI


Tabel 27. Cara Menilai Derajat Dehidrasi
PENILAIAN
Lihat :
Keadaan umum
Mata

A
Baik, sadar

B
* Gelisah, rewel

Normal

Cekung

Ada

Tidak ada

C
*

Lesu, lunglai
atau tidak sadar
Sangat cekung
dan kering
Tidak ada

Air mata
Mulut dan lidah
Rasa haus

Basah
Minum biasa, tidak
haus

Kering
* Haus, ingin minum
banyak

2. Periksa turgor
kulit

Kembali cepat

* Kembali lambat

* Kembali sangat
lambat

3. Derajat dehidrasi

TANPA DEHIDRASI

DEHIDRASI
RINGAN/ SEDANG
Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau
lebih tanda lain

DEHIDRASI
BERAT
Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau
lebih tanda lain

4. Terapi

Rencana Terapi A

Rencana Terapi B

Rencana Terapi C

Sangat kering
Malas minum
atau tidak bisa
minum

PENYULIT
Dehidrasi
Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan elektrolit
Gangguan sirkulasi
Gagal ginjal akut
Hipoglikemia
Gangguan gizi
TERAPI
Kausal
Antibiotik hanya untuk
Diare invasif : Kotrimoksazol 50 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis
selama 5 hari
Kolera
: Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari, diberikan dalam 4 dosis selama 2-3 hari
Ameba, Giardia, Kriptosporidium : Metronidazol 30-50 mg/kgBB /hari, dibagi 3 dosis
selama 5 hari (10 hari untuk kasus berat)
Anti diare tidak diberikan

Diet
Sesuai dengan penyebab diare
Intoleransi karbohidrat susu rendah sampai bebas laktosa
Alergi protein susu sapi susu kedelai
Malabsorbsi lemak
susu yang mengandung medium chain trigliceride (MCT)
Apabila dengan terapi dietetik diatas tidak ada respons, gunakan susu protein hidrolisat
Penyulit
Dehidrasi
Tanpa dehidrasi
: Rencana Terapi A (Tabel 28)
Dehidrasi ringansedang : Rencana Terapi B (Tabel 29)
Dehidrasi berat
: Rencana Terapi C (Tabel 30)
Gangguan elektrolit
Hiponatremia (lihat bab hiponatremia)
Hipernatremia (lihat bab hipernatremia)
Hipokalemia (lihat bab hipokalemia)
Hiperkalemia (lihat bab hiperkalemia)
Gangguan keseimbangan asam-basa
Asidosis metabolik
Apabila kadar bikarbonat < 22 mEq/l dan kadar base excess (BE) tidak diketahui
larutan bikarbonat 8,4% (1 mEq = 1 ml) atau 7,5% ( 0,9 mEq = 1ml ) sebanyak
2-4 mEq/kgBB
Bila BE diketahui :
mEq NaHCO3 = BE x BB x 0,3
2

Alkalosis metabolik
Tergantung derajat dehidrasi berikan NaCl 0,9%, 10-20 ml/kgBB dalam 1 jam. Bila
telah diuresis, dilanjutkan dengan cairan 0,45% NaCl atau 2,5% dekstrosa (2A)
40-80 ml/kgBB + KCl 38 mEq/l dalam 8 jam

Tabel 28. Rencana Terapi A


RENCANA TERAPI A
UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH

GUNAKAN CARA INI UNTUK MENGAJAR IBU


Teruskan mengobati anak di rumah
Berikan terapi awal bila terkena diare lagi

MENERANGKAN TIGA CARA TERAPI DIARE DI RUMAH


1. BERIKAN ANAK LEBIH BANYAK CAIRAN DARIPADA BIASANYA UNTUK
MENCEGAH DEHIDRASI
Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti, seperti larutan oralit,
makanan yang cair (seperti sup, air tajin) dan kalau tidak ada air matang. Gunakan
larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam kotak di bawah (Catatan jika anak
berumur kurang dari 6 bl dan belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit
dan air matang daripada makanan yang cair)
Berikan larutan ini sebanyak anak mau. Berikan jumlah larutan oralit seperti di
bawah sebagai penuntun
Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti
2. BERIKAN ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI
Teruskan ASI
Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan. Untuk anak
kurang dari 6 bl dan belum mendapat makanan padat dapat diberikan susu yang
diencerkan dengan air yang sebanding selama 2 hari.
Bila anak 6 bl atau lebih atau telah mendapat makanan padat
Berikan bubur atau campuran tepung lainnya, bila mungkin dicampur dengan
kacang-kacangan, sayur, daging atau ikan
Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menambahkan kalium
Berikan makanan yang segar. Masak dan haluskan atau tumbuk makanan
dengan baik
Dorong anak untuk makan, berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari
Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan berikan makanan
tambahan setiap hari selama 2 minggu
3. BAWA ANAK KEPADA PETUGAS KESEHATAN BILA ANAK TIDAK MEMBAIK
DALAM 3 HARI ATAU MENDERITA SBB.
Buang air besar cair sering sekali
Makan atau minum sedikit
Muntah berulang-ulang
Demam
Sangat haus
Tinja berdarah

JIKA ANAK AKAN DIBERI LARUTAN ORALIT DI RUMAH, TUNJUKKAN KEPADA IBU
JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN SETIAP HABIS BUANG AIR BESAR DAN
BERIKAN ORALIT YANG CUKUP UNTUK 2 HARI
UMUR (th)

<1
1-4
>5
Dewasa

Jumlah Oralit yang


Diberikan Tiap BAB (ml)

Jumlah Oralit yang Disediakan


di Rumah (ml/hari)

50-100
100-200
200-300
300-400

400 (2 bungkus)
600-800 (3-4 bungkus)
800-1000 (4-5 bungkus)
1200-2800

TUNJUKKAN KEPADA IBU CARA MENCAMPUR ORALIT


TUNJUKKAN KEPADA IBU CARA MENCAMPUR ORALIT
Berikan sesendok teh tiap 1-2 menit utuk anak di bawah umur 2 th
Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua
Bila anak muntah, tunggulah 10 menit. Kemudian berikan cairan lebih sedikit
(misalnya sesendok setiap 1-2 menit)
Bila diare berlanjut setelah bungkus oralit habis, beritahu ibu untuk memberikan cairan
lain seperti dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan
untuk mendapatkan tambahan oralit
Jenis oralit : Formula WHO
Resomal
Komposisi Formula WHO (200 ml)
Na Klorida (garam)
: 0,7
Glukosa
: 4
atau
Sukrosa (gula biasa)
: 8
Trisodium citrate, dihidrat : 0,51
atau
Na bikarbonat
: 0,5
K klorida
: 0,3

g
g
g
g
g
g

Tabel 29. Rencana Terapi B


RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DEHIDRASI

JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA


ORALIT yang diberikan dihitung dengan mengalikan BERAT BADAN
penderita (kg) dengan 75 ml
Bila berat badan anak tidak diketahui dan atau untuk memudahkan di lapangan, berikan
oralit paling sesuai tabel di bawah ini

Umur (th)
Jumlah Oralit (ml)

<1
300

1-5
600

>5
1200

Dewasa
2400

Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah


Dorong ibu untuk meneruskan ASI
Untuk bayi di bawah 6 bl yang tidak mendapat ASI berikan juga 100200 ml air masak
selama masa ini

AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN ORALIT


Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan
Tunjukkan cara memberikannya sesendok teh tiap 12 menit untuk anak di bawah 2
th, beberapa teguk dari cangkir untuk anak yang lebih tua
Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah
Bila anak muntah tunggu 10 menit dan kemudian teruskan pemberian oralit tetapi lebih
lambat, misalnya sesendok tiap 23 menit
Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan air masak
atau ASI. Beri oralit sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakkan telah hilang
SETELAH 34 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN PENILAIAN,
KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A, B ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI
Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah hilang, anak
biasanya kencing dan lelah kemudian mengantuk dan tidur
Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi Rencana Terapi B tetapi
tawarkan makanan, susu dan sari buah seperti Rencana terapi A
Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C
BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B

Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah
Berikan bungkus oralit untuk rehidrasi dan untuk 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam
Rencana Terapi A
Tunjukkan cara menyiapkan oralit
Jelaskan 3 cara dalam Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah
Memberikan oralit atau cairan lain hingga diare berhenti
Memberi makan anak
Membawa anak ke petugas kesehatan bila perlu

Tabel 30. Rencana Terapi C


RENCANA TERAPI C
Ikuti arah anak panah. Jika jawaban dari pertanyaan YA, teruskan ke kanan. Bila TIDAK,
teruskan ke bawah
Dapatkah
Saudara
memberikan
cairan i.v.?

YA

Mulai diberi cairan i.v. segera. Bila penderita bisa minum,


berikan oralit, sewaktu cairan i.v. dimulai. Beri 100 ml/kg
cairan Ringer Laktat (atau cairan normal Salin bila RL tidak
tersedia), dibagi sbb.
Umur (th)

Pemberian I

Kemudian

Penyuluhan
Pencegahan diare
Pemberian ASI
Memperbaiki cara penyapihan
Menggunakan air bersih
Mencuci tangan dengan sabun/air mengalir
Menggunakan jamban tertutup
Membuang tinja bayi secara baik dan benar
Imunisasi campak
Pencegahan dehidrasi
Bagaimana mencampur oralit
Bagaimana memberikan oralit

Cairan rumah tangga yang lain


Meneruskan pemberian ASI
Pemberian makanan sebelum dan sesudah diare
Kapan harus kembali
Tanda dehidrasi
PROGNOSIS
Baik
PENCEGAHAN
Air minum yang bersih dari sumur/sumber air yang terjaga kebersihannya dan dimasak
Pengolahan makanan yang dimasak dengan baik, untuk menghindari kontaminasi
Cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, sebelum makan dan sebelum
menyiapkan makanan
Gunakan jamban untuk anak kecil atau yang sakit, buang cepat tinja dengan cara
memasukkannya kedalam jamban atau menguburkan
Berikan hanya ASI selama 4-6 bl pertama, teruskan pemberian ASI paling sedikit untuk 1 th
pertama
Berikan makanan sapihan yang bersih dan bergizi mulai umur 4-6 bl
Anak yang berumur > 9 bl yang tidak menderita campak imunisasi campak
DAFTAR PUSTAKA
DEPKES RI. Modul pelatihan pemberantasan penyakit diare bagi supervisor. Tatalaksana
penderita diare. Jakarta, 1994.
Harris F. Paediatric fluid therapy. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1972;9-21.
WHO. Program for control of diarrhea disease supervisory skills-treatment of diarrhoeal, 1987.
Winters RW. Principles of pediatric fluid therapy; edisi ke-2. Boston: Little Brown & Co, 1982;5764.

HIPONATREMIA

BATASAN
Keadaan kadar Na darah < 130 mEq/L
KLASIFIKASI
lihat tabel 31
ETIOLOGI
KRITERIA DIAGNOSIS
Manifestasi klinis sangat bervariasi
Apabila kadar Na darah < 120 mEq/L, akan terjadi edema
serebral dengan segala akibatnya seperti apati, anoreksia,
nausea, muntah, agitasi, sakit kepala, gangguan kesadaran,
kejang dan koma
Tonus otot umumnya normal, kadang-kadang terjadi kejang otot lurik, kelemahan otot,
ginjal akan mengeksresikan urin yang lebih encer (dilusi)
PENYULIT
Akibat edema serebri akut koma dan kematian 50%
Sekuele : Tergantung dari beratnya hiponatremia
TERAPI
Tergantung dari lama/beratnya hiponatremia serta penyakit yang mendasarinya
(underlying disease)

Pada umumnya bila terdapat gejala pada SSP atau kadar Na < 120 mEq/L larutan
NaCl hipertonis, misalnya : 3% (513 mEq/L) ; 5% (855 mEq/L)
Untuk mencapai kadar Na yang aman (125 mEq/L), maka Na yang dibutuhkan menurut
rumus sbb.
mEq Na = 125 Na darah x 0,6 x BB (kg)
Larutan diberikan dalam 4 jam selanjutnya cairan yang diberikan sesuai dengan
keadaan hiponatremia
Hipovolemik : Larutan isotonik sesuai kebutuhan
Euvolemik
: Umumnya perlu pembatasan cairan
Hipervolemik : Perlu restriksi cairan dan garam
PROGNOSIS
Bila disertai gejala SSP angka kematian + 50%

Tabel 31. Klasifikasi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Hiponatremia


Pseudohiponatremia

Hiponatremia

Hiponatremia

Isotonik

Hipotonik

Hipertonik

Hipovolemik

Euvolemik

Hipervolemik

Kehilangan
melalui ginjal
1. Diuretikum >>
2. Diuresis
osmotik
3. Salt-wasting
nephropathy
4. Insufisiensi
adrenal
5. ATR proksimal
6. Alkalosis
metabolik
7. Pseudohipo
aldosteronism

Kehilangan di
luar ginjal
1. Gastrointestinal
Muntah
Diare
Fistula
Keringat
2. Rongga ketiga
(third space)
Pankreatitis
Luka bakar
Trauma otot
Peritonitis
Efusi
Asites

1. Peningkatan
ADH SIADH
obat-obatan,
nyeri
2. Reset osmostat
3. Defisiensi
glukokortikoid
4. Hipotiroidism
5. Keracunan air
6. Terapi i.v.
7. Tap water
Enema
8. Minum
(psikogenik)

Keadaan
edema
1. Gagal
jantung
2. Sirosis
3. Sindroma
nefrotik

Gagal ginjal
1. Akut
2. Kronik

na < 20
mEq/l

Pembatasan

Pembatasan
cairan

na > 20 mEq/l

Larutan garam

na < 20 mEq/l

Larutan garam

na > 20 mEq/l

Pembatasan
cairan

na > 40
mEq/l

Keterangan :

ATR
: Asidosis tubular renal
ADH
: Anti diuretic hormon
SIADH : Syndrome of inappropriate secretion of ADH
(Dikutip dari Berry dan Belsha, 1990)

DAFTAR PUSTAKA
Berry PL, Belsha CW. Hyponatremia. Fluid and electrolyte therapy. Ped Clin North Am
1990;37:351-64.
Lustig JV. Fluid and electrolyte therapy. Dalam: Hay WW, Groothuis JR, Hayward AR, Levin MJ,
penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment; edisi ke-12. Connecticut: Appleton &
Lange, 1995;1178-89.

Robson AM . Pathophysiology of body fluid. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 179-84.
Winters RW. Disorder of potassium metabolism. Principles of pediatric fluid therapy; edisi ke-2.
Boston: Little, Brown & Co, 1982;57-64.

HIPERNATREMIA

BATASAN
Keadaan apabila kadar Na darah > 150 mEq/L
ETIOLOGI
Masukan cairan yang tidak adekuat
Konsentrasi garam dalam darah yang tinggi
Kehilangan cairan ekstra renal
Kegagalan sistem osmolaritas dan kehilangan cairan secara simultan
(tetapi yang akan ditinjau disini hanyalah yang disebabkan karena diare)
KRITERIA DIAGNOSIS
Dapat disertai diare
Mendapat cairan rehidrasi oral yang mengandung Na tinggi, atau tidak mendapat cukup
cairan
Mendapat obat tertentu yang menyebabkan kehilangan cairan hipotonis, misalnya
laktulosa
Menderita penyakit ginjal kongenital, misalnya disfungsi tubuler, displasia renal
Rewel
Dapat disertai panas badan
Iritabel, high pitched cry bila dehidrasi berat tonus otot meningkat, akan terjadi koma dan
kejang
Pemeriksaan fisis :
Pada keadaan dehidrasi ringan sukar dibedakan dari hiponatremia tetapi apabila
keadaan dehidrasi berat turgor kulit seperti karet
Kadar Na > 150 mEq/L
PENYULIT
Kerusakan SSP
Perdarahan intra serebral
Retardasi mental
Kematian
TERAPI
Bila dehidrasi berat disertai syok/presyok NaCl 0,9% atau Ringer laktat atau Albumin
5%
Setelah syok teratasi larutan yang mengandung Na : 75-80 mEq/L, misalnya NaCldekstrosa (2A) atau DG half strength sampai ada diuresis berikan K 40 mEq/L
Apabila ada hipokalsemia Ca glukonat sesuai kebutuhan
Jumlah cairan

Defisit cairan dikoreksi dalam 2 x 24 jam :

Hari ke-1 : 50% defisit + kebutuhan rumatan menurut rumus Holliday dan Segar
BB : 0-10 kg
100 ml/kg BB
10-20 kg
1.000 ml + 50 ml/kgBB
untuk setiap kg diatas 10 kg
> 20 kg
1.500 ml + 20 ml/kgBB
untuk setiap kg diatas 20 kg
Hari ke-2 : 50% defisit + cairan rumatan seperti diatas
Cairan oral
Anak mau minum segera diberikan cairan oralit
PROGNOSIS
Bila Na > 160 mEq/L dapat menyebabkan kelainan SSP permanen kematian + 10%
DAFTAR PUSTAKA
Conley SB. Hypernatremia. Fluid and electrolyte therapy. Ped Clin North Am 1990;37:365-72.
Harris F. Hypertonic dehydration. Paediatric fluid therapy. Oxford: Blackwell Scientific
Publications, 1972;5564.

HIPOKALEMIA

BATASAN
Keadaan apabila kadar K darah < 3,5 mEq/L
ETIOLOGI
Masukan cairan yang kurang dalam jangka waktu lama
Peningkatan ekskresi renal seperti pada
Penggunaan diuretik
Kerusakan tubuler ginjal
Ketidakseimbangan asam basa
Gangguan endokrin : Cushing syndrome, aldosteronism primer, thyrotoxicosis, diabetic
ketoacidosis
Defisiensi Mg
Ekstrarenal
Gangguan saluran cerna (diare, muntah, fistula enterokutaneus)
Pengeluaran keringat yang banyak
KRITERIA DIAGNOSIS
Terdapat kelemahan pada sistem otot skelet, serabut otot halus dan otot jantung.
Kelemahan otot ini dimulai pada otot ekstremitas bawah sebelum berlanjut pada otot
leher dan otot pernafasan. Ileus paralitik dan refleks dilatasi gaster terjadi karena
kelemahan dari serabut otot halus
Kadar K darah < 3,5 mEq/L
Bila hipokalemia terjadi lama dapat gangguan ginjal yang hampir sama dengan gejala
pielonefritis kronik
EKG : Depresi gelombang T, depresi segmen ST, gelombang U
PENYULIT
Ileus paralitik

10

Takikardia ventrikular, fibrilasi


TERAPI
Bila kadar K darah < 2,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) larutan KCl 3,75% i.v.
dengan dosis 3-5 mEq/kgBB, maksimal K 40 mEq/L
Apabila kadar K 2,5-3,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala), cukup diberikan K : 75
mg/kgBB/hari p.o. dibagi 3 dosis
PROGNOSIS
Bila K < 2,7 mEq/L sudah mulai terdapat kelainan pada EKG dan dapat terjadi fibrilasi pada
kadar yang lebih rendah
DAFTAR PUSTAKA
Brem AS. Disorders of potassium homeostasis. Fluid and electrolyte therapy. Ped Clin North Am
1990;37:419-37.
Winters RW. Disorders of potassium metabolism. Principles of pediatric fluid therapy; edisi ke-2.
Boston: Little, Brown & Co, 1982;57-64.

HIPERKALEMIA

BATASAN
Keadaan apabila kadar K darah > 5,5 mEq/L
ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik
Insufisiensi adrenal
Penggunaan diuretik hemat K
Kerusakan jaringan (akibat trauma, operasi, luka bakar)
Metabolik asidosis
Penggunaan obat suksinilkolin dan digitalis
KRITERIA DIAGNOSIS
Gangguan neuromuskular
Gejala parestesia kelemahan otot dan paralisis
Kadar K darah > 5,5 mEq/L
EKG : Gelombang T tinggi, interval PR memanjang, depresi
segmen ST, kompleks QRS melebar
PENYULIT
Takikardia ventrikular
Fibrilasi
Henti jantung
TERAPI
Kadar K darah
< 6 mEq/L

67 mEq/L

Persiapan dan Cara


Kayeksalat 1 g/kgBB p.o., dilarutkan dalam 2
ml/kgBB larutan sorbitol 70%
Kayeksalat 1 g/kgBB enema, dilarutkan dalam
10 ml/kgBB lautan sorbitol 70% diberikan
melalui kateter folley, diklem selama 30-60
menit
NaHCO3 7,5%, dosis 3 mEq/kgBB secara i.v.
atau 1 unit insulin/5 g glukosa

11

> 7 mEq/L

Ca glukonas 10%, dosis 0,1-0,5 ml/kgBB i.v.,


dengan kecepatan 2 ml/menit
Dialisis

PROGNOSIS
Buruk, bila kadar K darah > 9 mEq/L, karena sudah terjadi fibrilasi atau asistole
DAFTAR PUSTAKA
Brem AS. Disorders of potassium homeostasis. Fluid and electrolyte therapy. Ped Clin North Am
1990;37:419-37.
Winters RW. Disorders of potassium metabolism. Principles of pediatric fluid therapy; edisi ke-2.
Boston: Little, Brown & Co, 1982;57-64.

PERDARAHAN SALURAN CERNA

BATASAN
Perdarahan saluran cerna yang dapat berupa hematemesis (muntah darah), hematokezia
(pengeluaran darah merah segar dari rektum) atau melena (buang air besar dengan tinja
bercampur dengan darah merah tua, berwarna hitam)
KLASIFIKASI
Menurut tempat perdarahan
Perdarahan saluran cerna atas
Perdarahan saluran cerna bawah
ETIOLOGI
Pada masa neonatal
Darah ibu yang tertelan
Penyakit perdarahan
Gastritis hemoragika
Tukak stres lambung
Enterokolitis nekrotikans (EKN)
Kolitis alergi susu
Volvulus
Fisura ani
Setelah masa neonatal
Darah tertelan (epistaksis)
Varises esofagi
Esofagitis (akalasia, hiatus hernia)
Gastritis (asam/alkali kuat, aspirin)
Tukak Mallory Weiss
Tukak lambung/duodenum
Intususepsi
Polip
Divertikulum Meckell
Kolitis ulserativa
Hemoroid
KRITERIA DIAGNOSIS
Perdarahan : Hematemesis, hematokezia atau melena
Anamnesis
Pada neonatus
Kesulitan pada persalinan
Gangguan/penyakit berat lain (sepsis, RDS)

12

Obat-obatan yang diberikan pada ibu (antikoagulan)


Pada bayi dan anak
Epistaksis
Pemberian obat-obatan, zat korosif
Menderita penyakit hati menahun
Pemeriksaan fisis
Keadaan umum : Anemia, tanda syok
Tanda penyakit berat lain (stress ulcer, diatesis hemoragik)
Perdarahan (daerah nasofaring)
Massa di dalam perut
Fisura ani
Hemoroid
Laboratorium
Darah : Hb , eritrosit , Ht , trombosit , gangguan faal pembekuan
Apt Downey test darah ibu warna coklat, Hb fetal warna jernih
Gastroccult test/haemoccult test : Hemoprotein (+) perdarahan
Tes faal hati : Dapat terjadi gangguan SGOT/SGPT dan rasio albumin/globulin
Aspirasi lambung : darah (+) perdarahan saluran cerna atas
darah ( -) perdarahan saluran cerna
atas/bawah
Endoskopi
Esofagogastroendoskopi perdarahan saluran cerna atas
Kolonoskopi, proktosigmoidoskopi perdarahan saluran cerna
bawah
Radiologi
Foto polos perut
Foto kontras/ganda
Angiografi menentukan lokalisasi perdarahan masif
Skintigrafi menentukan lokalisasi perdarahan subakut/
intermiten

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Hb, eritrosit, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit,
faal pembekuan, golongan darah
Apt Downey test (menentukan darah berasal dari ibu atau bayi/ neonatus), caranya
Satu bagian cairan lambung/tinja yang bercampur darah + 5 bagian air dalam tabung
reaksi, dipusing, diambil supernatannya, tambah 1 ml larutan NaOH 1% dan ditunggu
2-5 menit
Hasil : Darah ibu warna coklat, Hb fetal warna jernih
Gastroccult test/haemoccult test untuk konfirmasi perdarahan dengan menunjukkan
adanya hemoprotein
Tes faal hati : SGOT/SGPT dan rasio albumin/globulin
Aspirasi lambung untuk menentukan lokalisasi perdarahan
Endoskopi
Esofagogastroendoskopi
Kolonoskopi, proktosigmoidoskopi
Radiologi
Foto polos perut
Foto kontras/ganda
Angiografi
Skintigrafi
PENYULIT
Syok hipovolemik
KONSULTASI

13

Bagian Bedah

TERAPI
Stabilisasi keadaan umum : Bila terdapat syok atau anemia berat infus RL 10-20
ml/kgBB/jam. Bila syok teratasi, tetesan di perlambat
fresh whole blood (FWB) 10-15 ml/kgBB diberikan pada perdarahan masif untuk
mempertahankan volume intravaskular. Dapat dilanjutkan dengan packed red cell (PRC)
seperlunya
Vitamin K 1 mg/th i.m. (maks. 10 mg) bila ada koagulopati
Suspensi trombosit dapat diberikan bila diperlukan
Tindakan menghentikan perdarahan :
Pembilasan lambung : Dilakukan melalui NGT dengan 50-100 ml NaCl 0,9%
berulang kali tiap 1-3 jam tergantung perdarahannya sampai cairan lambung sebersih
mungkin
Vasopresin dapat diberikan bila perdarahan tetap berlangsung :
Bolus 0,3 U/kgBB dalam 2 ml/kgBB dekstrosa 5% disuntikkan
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan i,v, drip : 0,2-0,4 U/1,73 m2/ menit selama 24 jam,
dilanjutkan dengan 1/2 dosis untuk 24 jam berikutnya
Bila ada varises esofagus :
Pemasangan Sengstaken-Blackmore tube, untuk mempertahankan volume darah
dibutuhkan 10-15 ml/kgBB darah tiap 4 jam
Skleroterapi secara endoskopi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tidak berhenti
Bila ada kelainan peptik dan erosif pada mukosa :
Antasid diberikan tiap 1-2 jam dengan dosis 0,5 ml/kgBB/dosis (maks. 30 ml/dosis) untuk
mempertahankan pH > 5
H2 reseptor antagonis :
Simetidin : 7,5 ml/kgBB tiap 6 jam atau
Ranitidin : 1,25-2 mg/kgBB tiap 12 jam
Pembedahan
Bila tindakan konservatif tidak dapat mengatasi perdarahan
Dapat dipakai sebagai pegangan apabila darah transfusi telah dimasukkan sebanyak
60% perhitungan volume darah penderita, namun perdarahan masih aktif (ditandai Hb
tetap turun)
PROGNOSIS
Pada umumnya baik
Hanya 3% kasus yang memerlukan tindakan bedah. Kematian
tergantung pada penyakit yang mendasarinya

SUSPEK
PERDARAHAN
SALURAN CERNA

STABILISASI K.U.

PASANG NGT
ASPIRASI

TERAPI MEDIS
PERDARAHAN

DARAH (+)

DARAH (-)

14

Gambar 29. Algoritma Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna


DAFTAR PUSTAKA
Berman S. Hematemesis. Pediatric decision making; edisi ke-2. Philadelphia: BC Decker Inc,
1992;342-5.
Berry R, Perrault J. Gastrointestinal bleeding. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR,
Smith JAW, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, pathophysiologydiagnosis-management. Philadelphia: BC Decker Inc, 1991;111-31.
Donhuijsen W, Ismael C. Perdarahan saluran makan pada anak. Gawat darurat di bidang
gastroenterologi. Bandung: FKUP, 1990;127-33.
Hyams JS, Leichtner AM, Schwartz AN. Recent advances in diagnosis and treatment of
gastrointestinal hemorrhage in infants and children. J of pediatr 1985;106:1-9.
Oldham KT, Lobe TE. Gastrointestinal hemorrhage in children. Ped Clin North Am
1985;32:1247- 63.

ABDOMEN AKUT

BATASAN
Keadaan yang menunjukkan kegawatan pada abdomen yang ditandai dengan adanya sakit
perut mendadak
KLASIFIKASI
Bedah
Non Bedah
ETIOLOGI
Obstruksi mekanik
Obstruksi intralumen
Obstruksi ekstralumen

: Benda asing, fecolith, batu empedu, parasit, ileus meconeum,


tumor, fecaloma
: Hernia, intususepsi, volvulus, duplikasi,
tumor, kista
mesenterik, stenosis pilorus

15

Infeksi dan penyakit inflamasi


Penyakit saluran cerna
Apendisitis, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, vaskulitis, ulkus peptikum, divertikuli
Meckell, gastroenteritis akut, enterokolitis pseudomembran
Ileus paralitik
Sepsis, peritonitis, pankreatitis, kolesistitis, batu ginjal dan empedu, limfadenitis
Trauma
Kecelakaan, Battered child syndrome
Lain - lain
Keracunan, Familial mediterranean fever, forfiria, asidosis, diabetes, torsio
testis/pedicle ovarium
Menurut kelompok umur dan frekuensi kejadiannya :
Masa neonatal
Kelainan bawaan yang menimbulkan obstruksi saluran cerna
Perforasi, peritonitis, EKN, trauma abdomen
Bayi/anak < 2 th
Obstruksi saluran makan
Intususepsi
Volvulus dan malrotasi
Hernia inguinalis dengan inkarserasi dan strangulasi
Infeksi
Apendisitis, kolesistitis
Trauma abdomen
Ruptura, perdarahan, perforasi

Anak > 2 th
Obstruksi
Infeksi
Trauma abdomen
Perforasi

: Askariasis, volvulus dan malrotasi


: Apendisitis, pankreatitis
: Ruptura , perdarahan
: Tifus abdominalis, obstruksi dan trauma

KRITERIA DIAGNOSIS
Nyeri perut mendadak
Ketegangan dinding perut
Peristaltik bertambah/(-)
Colok dubur : Lokalisasi rasa nyeri, darah
Laboratorium
Urin, feses, darah rutin
Kadar elektrolit, pH, analisis gas, amilase, ureum, kreatinin darah
Radiologi
Foto polos : Posisi tegak, terlentang dan miring
Foto kontras per enema atas indikasi tertentu, misalnya pada obstruksi mekanik
USG
Atas indikasi tertentu, misalnya pada trauma abdomen (perdarahan), pankreatitis
akut, obstruksi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Urin, tinja dan darah
Radiologi
Foto polos dan kontras
USG

16

KONSULTASI
Bagian Bedah
TERAPI
Non Bedah
Puasa dan pemberian cairan rumat, i.v.
Resusitasi cairan bila ada tanda syok atau dehidrasi
Pemberian O2 bila ada tanda gangguan pernafasan
Dekompresi dengan pemasangan pipa lambung dan pipa dubur bila ada tanda
peninggian tekanan dalam usus dan muntah
Pemberian antibiotik atas indikasi
Bedah
Kolonostomi : Pada atresia ani letak tinggi
Anoplasti : Pada atresia ani letak rendah
Laparotomi eksplorasi : Pada peritonitis

SUSPEK ABDOMEN AKUT

DIAGNOSIS

PENGELOLAAN

KONSERVATIF

PEMBEDAHAN

Gambar 30. Algoritma Pengelolaan Abdomen Akut


DAFTAR PUSTAKA
Sondheimer JM, Silverman A. Acute abdomen. Dalam: Hay WW, Groothuis JR, Hayward AR,
Levin MJ, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment; edisi ke-12. Colorado: PrenticeHall International, Inc, 1995;618-9.
Ross AJ. Acute abdominal pain. Pediatric gastrointestinal disease. Philadelphia: DC Decker Inc,
1991;42-5.

OBSTRUKSI SALURAN CERNA

BATASAN
Gangguan dalam gerakan isi usus ke arah distal
KLASIFIKASI
Obstruksi mekanik (Ileus obstruktif)
Obstruksi non mekanik (Ileus paralitik)
ETIOLOGI

17

Obstruksi mekanik
Bawaan : Sumbatan mekonium, atresia/stenosis, malrotasi, volvulus, pankreas anuler
Didapat : Perlekatan di rongga peritoneum, hernia inguinalis inkarserata, askariasis
Obstruksi non mekanik
Bawaan : Megakolon kongenitum (penyakit Hirschsprung)
Didapat : Peritonitis, hipokalemia, obat-obatan

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Muntah
Tidak ada buang air besar, perut kembung, rasa sakit perut Hidramnion dalam
riwayat kelahiran (pada neonatus)
Pemeriksaan fisis
Tanda dehidrasi
Tanda infeksi berat
Kelainan bawaan lain
Abdomen : Distensi
Ketegangan dinding perut
Nyeri tekan
Bising usus /
Colok dubur : Kelainan anorektal
Kolaps/distensi ampula rekti
Laboratorium
Feses
Darah rutin, elektrolit, urea N, kreatinin, bilirubin, glukosa
Pasang NGT
Aspirasi lambung dan pemeriksaan isi lambung :
Kegagalan dari pemasangan NGT terdapat pada atresia atau stenosis berat dari
esofagus
Jumlah aspirasi 25-30 ml sangat suspek obstruksi usus
Warna hijau aspirasi sangat suspek obstruksi postpilorik
Warna aspirasi tidak hijau sangat suspek obstruksi preduodenal
Radiologi
Foto polos abdomen, foto kontras per enema
DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum
Pankreatitis
Kolik biliaris
Kolesistitis akut
Torsio testis atau ovarium
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Gambaran darah perifer, elektrolit, urea N, kreatinin,
neonatus)
Pasang NGT
Aspirasi lambung dan pemeriksaan isi lambung
Radiologi
Foto polos abdomen
Foto kontras per enema

bilirubin dan glukosa (pada

PENYULIT

18

Perforasi
Peritonitis
KONSULTASI
Bagian Bedah
TERAPI
Konservatif
Obstruksi mekanik (intususepsi baru dan mekonimum ileus tanpa penyulit)
enema/irigasi. Bila tidak berhasil, baru dilakukan pembedahan secepat mungkin
Obstruksi non mekanik didapat (ileus paralitik oleh karena hipokalemia, infeksi berat,
obat-obatan dll)
Terapi kausal terhadap penyakit/gangguan primer
Terapi paliatif : Dekompresi saluran cerna atas/bawah
Terapi cairan i.v. bila muntah-muntah atau terdapat dehidrasi
Pembedahan
Obstruksi mekanik pada umumnya
Obstruksi non mekanik bawaan (penyakit Hirschsprung)
Perforasi/peritonitis
PROGNOSIS
Tergantung dari etiologi dan kecepatan penanganannya
DAFTAR PUSTAKA
Silverman A, Roy CC. Intestinal obstruction of infancy and childhood. Dalam: Berger K,
penyunting. Pediatric clinical gastroenterology; edisi ke-3. London: CV Mosby Co, 1983;105-7.
Wesson D. Acute intestinal obstruction. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton Jr, Smith JAW,
Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, pathophysiology-diagnosismanagement. Philadelphia: BC Decker Inc, 1991;486-94.

HEPATITIS VIRUS AKUT

BATASAN
Inflamasi akut pada hati dengan derajat nekrosis sel hati yang bervariasi
ETIOLOGI
Virus hepatitis A
Virus hepatitis B
Virus hepatitis C
Virus hepatitis D
Virus hepatitis E
Virus hepatitis F

19

Virus hepatitis G
KRITERIA DIAGNOSIS
Fase pre ikterik
Anoreksia, nausea, muntah, lemah, rasa tidak enak pada abdomen, panas badan,
nyeri kepala, dan kadang-kadang diare Pada hepatitis B dapat timbul urtikaria,
atralgia atau artritis
Fase ikterik
Ikterik, depresi mental, bradikardia, pruritus, urin berwarna gelap, feses pucat. Gejala
prodromal berkurang atau menghilang
Pemeriksaan fisis
Hepatomegali, splenomegali kadang-kadang limfadenopati
Laboratorium
Bilirubin urin (+), Bilirubin direk > 10 mg%, SGPT > 10 kali normal, SGOT
Petanda hepatitis
IgM anti HAV
Hepatitis A
HBs Ag, IgM anti HBc Hepatitis B
Anti HCV
Hepatitis C
Anti HDV
Hepatitis D
IgM anti HEV
Hepatitis E
IgM anti HGV
Hepatitis G
DIAGNOSIS BANDING
Drug induced hepatitis
Hepatitis bakterialis
Hepatitis parasitik
Hepatitis oleh karena toksin
Metabolic liver disorders
PENYULIT
Hepatitis kronik persisten (Hepatitis B, C, D)
Hepatitis kronik aktif (Hepatitis B, C, D)
Hepatitis fulminan
Hepatoma (Hepatitis B, C, D)
Sirosis hepatis
Prolonged cholestasis (Hepatitis A)
TERAPI
Penderita Hepatitis A dan E dirawat bila, muntah hebat, kesadaran menurun, kejang
atau dehidrasi
Hepatitis virus lain dirawat
Istirahat di tempat tidur (mengurangi aktivitas) sampai gejala akut hilang
Diet
Bebas menurut selera penderita (gizi seimbang)
Miskin lemak selama anoreksia dan muntah
Bila muntah hebat puasa, infus glukosa 10% sesuai dengan kebutuhan
Obat-obatan
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis, atau
Kolesteramin 1 mg/kgBB/hari bersama-sama dengan makan
Bila ada kolestasis berat (ikterus ++, gatal)
PEMANTAUAN
Bilirubin direk-indirek, SGOT, SGPT, akali fosfatase, gamma GT
Hepatitis B : HBe Ag, Anti HBc, HBsAg
Hepatitis C : Anti HCV

20

PROGNOSIS
Kebanyakan dapat sembuh sempurna terutama pada hepatitis A dan hepatitis E
DAFTAR PUSTAKA
Colon AR. Viral hepatitis. Textbook of pediatric hepatology; edisi ke-2. Chicago: Year Book
Medical Publishers Inc, 1990;78-142.
Mowat AP. Infections of the liver. Liver disorders in childhood; edisi ke-1. Boston: Butterworth
Inc, 1979;94-126.
Krugman MD. Viral Hepatitis : A, B, C, D and E infection. Pediatr Rev 1992;6:203-12.

SINDROMA REYE

BATASAN
Suatu penyakit akut yang ditandai oleh ensefalopati berat non-inflamasi yang disertai
adanya infiltrasi lemak difus pada alat visera
ETIOLOGI
Belum diketahui dengan pasti, tetapi berhubungan dengan
Infeksi virus (influenza, varisela-zoster, diare)
Obat-obatan (salisilat)
Toksin (aflatoksin)
PATOFISIOLOGI
Disebabkan karena kerusakan primer pada mitokondria hati penurunan aktivitas enzim
ornithine transcarbamylase & carbamyl phosphate synthetase
KRITERIA DIAGNOSIS
Prodromal
Infeksi saluran nafas akut/influenza
Varisela
Diare
Riwayat pemakaian salisilat atau makanan yang mengandung aflatoksin
Ensefalopati akut yang bersifat non-inflamasi
Laboratorium
LSS normal
Darah : Aminotransferase > 3 kali, amonia darah
bilirubin < 3,5
mg/dl, gula darah
Tidak ada penyakit hati dan gangguan fungsi otak lainnya yang menyebabkan gangguan
kesadaran
Biopsi hati untuk diagnosis pasti (bila memungkinkan)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

21

Tes fungsi hati


Amonia dan gula darah
Biopsi hati
PENYULIT
Aspirasi pneumonia
Gagal nafas
TERAPI
Infus glukosa 10-15% kebutuhan 1,2 liter/m2/hari
(pertahankan kadar glukosa darah 200-400 mg/dl)
Manitol 1-2 g/kgBB dalam 30 menit, dapat diulang setiap 6 jam
Enema 1-2 kali/hari
Neomisin 50 mg/kgBB/hari, selama 3 hari
Vitamin K 5 mg i.m. atau 1 mg i.v.
PEMANTAUAN
Kadar amonia darah tiap 24 jam
Kadar gula darah tiap 12 jam
Elektrolit darah tergantung keadaan
Masukan dan pengeluaran cairan
Peningkatan tekanan tinggi intra kranial (TTIK)
PROGNOSIS
Tergantung dari derajat koma dan kadar amonia darah
Derajat I dan II umumnya baik
DAFTAR PUSTAKA
Mowat AP. Reyes syndrome. Liver disease in childhood; edisi ke-1. Boston: Butterworth Inc,
1979;138-50.
Silverman A, Roy CC. Reyes syndrome. Pediatric clinical gastroenterology; edisi ke-3. St.
Louis: Mosby CV Company, 1983;630-54.
Colon AR. Fatty liver syndrome. Textbook of pediatric hepatology; edisi ke-2. Chicago: Year
Book Medical Publishers, 1990;151-7.

KOMA HEPATIKUM

BATASAN
Gangguan kesadaran akibat gagal hati
KLASIFIKASI
Stadium koma hepatikum
Stadium I : Perubahan mood, intelektual, dan bicara
Disorientasi, perubahan personalitas, confusious ringan, gangguan tidur
Stadium II : Disorientasi sampai letargi, gangguan perilaku
Stadium III : Pre koma. Stupor tapi masih berespons terhadap rangsang
Inkoheren dan confusion. EEG aktivitas alpha hilang
Stadium IV : Koma, respons terhadap rangsang sangat minimal
Deserebrasi. EEG aktivitas theta lambat dan difus, dan delta aktivitas.
Respons terhadap rangsang nyeri tidak ada atau minimal

22

ETIOLOGI
Hepatitis virus fulminan
Sirosis hepatis
Chronic portal systemic encephalopathy
PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya koma hepatikum sering disebabkan oleh 4 keadaan
Fungsi hati dan gangguan sirkulasi darah pada sistem portal
Amonia darah
Metabolit abnormal yang berasal dari saluran cerna
Faktor presipitasi, misalnya peningkatan nitrogen, penggunaan obat-obatan (diuretik,
narkotik, sedatif), sepsis atau tindakan medis (parasentesis, portosistemik shunt,
transfusi)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Masukan protein yang tinggi
Obat-obatan
Dehidrasi
Infeksi
Perdarahan saluran cerna
Parasentesis atau operasi
Gejala penyakit hati
Gejala neuropsikiatrik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar amonia dan urea darah
Fungsi hati
EEG
PENYULIT
Edema serebral
Gagal ginjal
Gangguan keseimbangan asam basa
Diatesis hemoragik
Infeksi
Gangguan keseimbangan elektrolit
Gangguan respirasi
Kelainan jantung
Pankreatitis
Depresi sumsum tulang
Asites
TERAPI
Umum
Perawatan suportif yang intensif
Khusus
Menekan kadar amonia darah
Masukan protein dihentikan
Eliminasi kuman usus
enema 1-2 kali/hari (menggunakan Mg sulfat atau larutan laktulosa 20%)
oral melalui NGT (neomisin 50-100 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3-4 kali)
selama 5-7 hari, atau laktulosa sirup tiap 4- 6 jam
Terhadap faktor presipitasi

23

Penanggulangan perdarahan saluran cerna dan membersihkan usus dari sisa


perdarahan
Antibiotik terhadap infeksi, bila perlu diberikan transfusi darah dan vitamin K
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa, cairan dan elektrolit
Hentikan pemberian obat hepatotoksik yang mengandung nitrogen atau yang
menimbulkan konstipasi
Cairan parenteral
Glukosa 5-10% 1,5 L/m2/hari
Tutofuchsin CH : 1-2 kolf/hari, diperhitungkan dengan kebutuhan jumlah cairan
sehari
Lamanya pemberian cairan parenteral sampai penderita sadar dan dapat minum
Dietetik
Makan p.o. setelah koma dapat diatasi, menurut kemampuan, dimulai dengan
makanan cair, berangsur-angsur ke makanan padat. Protein dapat diberikan bila
kadar amonia darah sudah menurun, mulai dengan 0,5 g/kgBB/hari sampai
mencapai 1,5 g/kgBB/hari
PEMANTAUAN
Kesadaran
Fungsi kardiovaskular
Pernafasan
Pemasukan dan pengeluaran cairan dan elektrolit
Kadar urea dan amonia darah
PROGNOSIS
Buruk pada koma yang dalam
Koma hepatikum stadium IV 60-70% meninggal
Koma hepatikum berulang angka kematian : Stad II (30%), stad III (60%), stad IV (80%)

DAFTAR PUSTAKA
Mowat AP. Fulminant hepatitic failure, Liver disorders in childhood; edisi ke-1, Boston:
Butterworth Inc, 1979;126-37.
Silverman A, Roy CC. Fulminant hepatic necrosis and hepatic coma. Pediatrical clinical
gastroenterology; edisi ke-3. St. Louis: Mosby CV Company, 1983;655-74.
Colon AR. Hepatic enchepalopathy. Textbook of pediatric hepatology; edisi ke-2. Chicago:
Year Book Medical Publishers, 1990;233-40.

24

ANEMIA DEFISIENSI BESI

BATASAN
Anemia yang disebabkan karena kekurangan besi untuk sintesis Hb
ETIOLOGI
Kebutuhan
Pertumbuhan (bayi, preadolesens)
Menstruasi
Infeksi kronik
Infeksi akut berulang
Masukan besi
Jenis makanan miskin besi
Malabsorpsi (PEM, enteritis, sprue, reseksi lambung)
Kehilangan darah
Perdarahan saluran cerna (infeksi cacing, divertikulum Meckell, pemberian salisilat, dll)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat faktor predisposisi dan etiologi
Pucat, lemah, lesu, gejala lain pica
Pemeriksaan fisis
Spoon nail
Laboratorium
Anemia hipokrom mikrositer
Fe serum , total iron binding capacity (TIBC) , saturasi transferin < 16%
Kadar feritin serum < 10-12%
Nilai free erythrocyte protoporphyrin (FEP) > 40 mg/dl
Pemberian preparat besi Hb
DIAGNOSIS BANDING
Talasemia
Anemia yang disebabkan penyakit kronik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb
Indeks eritrosit : MCV, MCH, MCHC
Apus darah tepi
Retikulosit
FEP
Feritin serum
Fe serum dan TIBC

PENYULIT
Kardiomegali
Gagal jantung kongestif
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
KONSULTASI
Bagian terkait (tergantung kasus)
TERAPI
Umum

Makanan gizi seimbang


Mengatasi faktor penyebab (infeksi dan perdarahan)
Khusus
Preparat besi
Dipakai senyawa fero-sulfat, fero-fumarat atau fero-glukonat dengan dosis 6 mg Fe
elemetal/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis, diberikan diantara waktu makan
Pemberian dilanjutkan minimal 6-8 minggu setelah Hb normal
Asam askorbat 100 mg/15 mg Fe elemental (untuk meningkatkan absorpsi besi)
Bila tidak memungkinkan p.o., diberikan iron-dextran complex i.m. (imferon) dosis
:
Hb normal Hb awal
100

x volume darah (ml) x 3,4 x 1,5

Transfusi PRC 10-15 ml/kgBB, bila terdapat kemungkinan adanya gangguan


kardiovaskular
PROGNOSIS
Baik dengan pemberian preparat besi
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Camitta BM. Iron deficiency anemia. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
1387-8.
Lanzkowsky P. Iron deficiency anemia. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2.
New York: Churchill Livingstone, 1995; 35-50.
Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby Co, 1995; 193219.
William J. Iron defisiensi. Current pediatric diagnosis & treatment; edisi ke-12. Philadelphia:
Practice Hall International, 1995; 824-32.
ANEMIA MEGALOBLASTIK

BATASAN
Anemia yang disebabkan kurangnya vitamin B12 dan atau asam folat yang diperlukan untuk
pematangan sel darah merah
ETIOLOGI
Defisiensi vitamin B12
Defisiensi asam folat
Lain-lain
Kelainan kongenital pada sintesis DNA
Defek pada sintesis DNA didapat
Obat-obatan (sitostatik)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat faktor predisposisi atau etiologi
Pemeriksaan fisis
Pucat, lemah, lesu, anoreksia, glositis
Laboratorium

Darah
Anemia, gambaran eritrosit normokrom-makrositer & makro ovalosit
Leukosit PMN besar dan hipersegmentasi
Trombosit dapat
MCV (110-140 fl), MCHC normal
Defisiensi vitamin B12 (kadar vitamin B12 serum < 100 pg/ml)
Defisiensi asam folat (kadar asam folat serum < 5 ng/ml)
Sumsum tulang
Semua prekursor sel hematopoeitik membesar dengan hiperplasia eritroid
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan sintesis DNA kongenital
Gangguan sintesis DNA didapat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin
Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi
Indeks eritrosit : MCV, MCHC
Kadar vitamin B12/asam folat serum (bila memungkinkan)
Pungsi sumsum tulang
PENYULIT
Kelainan neurologik
Infeksi
TERAPI
Umum
Makanan gizi seimbang
Hindari makanan yang mengandung glutein
Atasi faktor predisposisi
Khusus
Defisiensi asam folat
Asam folat 1-5 mg/hari p.o.
Lama pengobatan tergantung penyebabnya (dapat beberapa bl)
Pada malabsorpsi, pengobatan diberikan sampai malabsorpsi teratasi, atau dapat
dicoba dengan pemberian awal 50 mg/hari selama 7-14 hari
Pada kebutuhan (anemia hemolitik kronik) pengobatan seumur hidup
Defisiensi vitamin B12
Dosis initial optimal 25-100 g/hari selama 2-3 minggu. Dosis pemeliharaan 2001.000 g i.m setiap bl.
Dapat diberikan pada gangguan absorpsi vitamin B12 dengan dosis 1.000 g i.m.
2 kali seminggu
Transfusi PRC 10-15 ml/kgBB, bila ada infeksi atau tanda gagal jantung yang
mengancam
Bila ada infeksi harus segera diatasi, karena selama infeksi sumsum tulang sering
tidak memberikan respons dengan pemberian hematinik
PROGNOSIS
Pada umumnya baik, biasanya dalam 6-8 minggu pengobatan Hb kembali normal
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Hay WW. Megaloblastic anemia. Dalam: Hay WW, Grothvis JR, Anthony, Lewis JM, penyunting.
Current pediatric diagnosis & treatment; edisi ke-12. Colorado: Appleton & Lange, 1995; 824-5.

Kamen BA, Mayers PA. Megaloblastic anemias. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood disease of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby Co, 1995; 22040.
Schwartz E. Anemia of inadequate productions. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM,
Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co,
1996; 1380-90.

ANEMIA APLASTIK

BATASAN
Anemia refrakter yang ditandai dengan adanya anemia yang berat, leukopenia,
trombositopenia dan disertai dengan sumsum tulang yang aplastik atau hipoplastik
KLASIFIKASI
Didapat
Kongenital
ETIOLOGI
Didapat
Idiopatik
Obat
: Kloramfenikol, anti kanker, sulfa, fenilbutazon dll
Radiasi
Infeksi : Hepatitis, mononukleosus infeksiosa
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat pucat, lemah, lesu dan perdarahan
Panas badan (infeksi)
Pemeriksaan fisis
Purpura, petekia, ekimosis, epistaksis, perdarahan saluran cerna
Tanpa limfadenopati dan hepatosplenomegali
Laboratorium
Darah tepi ditemukan trias : Anemia, leukopenia, dan trombositopenia (pansitopenia)
Retikulosit
Morfologi eritrosit : Normokrom normositer
Sumsum tulang hiposelular (aplasia/hipoplasia sumsum tulang)
DIAGNOSIS BANDING
Preleukemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tepi : Hb, Leukosit, trombosit, retikulosit, morfologi darah.
Pungsi sumsum tulang
PENYULIT
Infeksi
Perdarahan hebat

TERAPI

Umum
Mencari dan menghindarkan bahan yang mungkin menjadi penyebab
Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma istirahat dan pembatasan
aktivitas
Mencegah infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang (mulai makanan lunak)
Khusus
Androgen
Hanya efektif untuk anemia aplastik ringan
Oksimetolon (dihidrotestosteron) 2,0-6,5 mg/kgBB/hari atau metandrostenolon
(dianabol) 0,25-0,5 mg/kgBB/hari, atau sejenisnya
Bila 4 bl respons (-) pengobatan harus dihentikan
Kortikosteroid
Prednison 1 mg/kgBB/hari pada penderita yang mendapat androgen > 4 bl untuk
menghambat kecepatan pematangan umur tulang yang distimuli oleh androgen
Anemia aplastik berat berikan metilprednisolon dosis tinggi (20 mg/kgBB/hari)
selama 5 hari
Antithymocyte globulin (ATG)
Dosis 15 mg/kgBB/hari selama 10 hari
Siklosporin A
Dosis 8 mg/kgBB/hari p.o. selama 14 hari selanjutnya 15 mg/kgBB/hari p.o.
selama 14 hari
Transplantasi sumsum tulang
Transfusi darah
PRC 10-15 ml/kgBB, untuk mengatasi anemia. Fresh whole blood 10-15 ml/kgBB
bila anemia disebabkan oleh perdarahan hebat
Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB pada perdarahan akibat trombositopenia (tiap
unit diharapkan dapat menaikkan jumlah trombosit 50.000-100.000/mm3)
Antibiotik spektrum luas yang tidak mendepresi sumsum tulang (misalnya ampisilin
100 mg/kgBB/hari dan garamisin 5 mg/kgBB/hari, sampai 3 hari bebas panas)
untuk mengatasi infeksi
PROGNOSIS
Tergantung dari respons terapi
Infeksi dan perdarahan sering kematian setelah 6-12 bl diagnosis ditegakkan
Bila transplantasi sumsum tulang berhasil survival rate 80%
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Baehner RL. Aplastic anaemia. Dalam: Gellis, Kagan, penyunting. Current paediatric therapy;
edisi ke-12. WB Saunders Co, 1984;246.
Hay WW. Aquired aplastic anemia. Dalam: Hay WW, Grothovis JR, Anthony, Levin JM,
penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment; edisi ke-12. Colorado: Appleton & Lange,
1995; 817-8.
Miller DR, OReilly RJ. Aplastic anaemia. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting.
Blood disease of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby Co, 1995; 499-538.
Pizzo PA. The Pancytopenias. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
1412-7.
Tauro GP. Aplastic anemia, congenital dyserythropoetic anaemia and osteoporosis. Dalam: Ekert
H, penyunting. Clinical paediatric haematology and oncology. Blackwell Scientific Pub, 1982; 98107.

THALASSEMIA
(TALASEMIA)

BATASAN
Golongan penyakit yang bersifat keturunan (herediter) yang ditandai dengan adanya
defisiensi pembentukan rantai globin spesifik dari Hb
KLASIFIKASI
Talasemia mayor
Talasemia minor
ETIOLOGI
Defisiensi rantai globin yang bersifat herediter
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Pucat, gangguan pertumbuhan
Riwayat keluarga
Pemeriksaan fisis
Facies cooley pada anak yang lebih besar, ikterik ringan, hepatosplenomegali tanpa
limfadenopati
Laboratorium
Anemia berat (Hb < 3 g/dl atau 4 g/dl)
Morfologi eritrosit : Gambaran hemolitik (anisositosis, poikilositosis, polikromasi, sel
target, normoblas)
Dapat terjadi leukopenia dan trombositopenia
Retikulosit
MCV rendah (< 65 fl), MCHC
Hb F atau Hb A2
Sumsum tulang aktivitas eritropoesis
DIAGNOSIS BANDING
Hemoglobinopati
Anemia defisiensi besi
Anemia diseritropoetik kongenital
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi, retikulosit
Indeks eritrosit : MCV, MCHC (bila memungkinkan)
Pungsi sumsum tulang
Hb-elektroforesis
PENYULIT
Hemosiderosis
TERAPI
Umum
Makanan gizi seimbang
Dietetik
Makanan, obat yang banyak mengandung zat besi sebaiknya dihindarkan
Khusus

Dapat dicoba transplantasi sumsum tulang


PRC 10-15 ml/kgBB setiap 4 minggu mengatasi anemia, sehingga kadar Hb > 10
g/dl
Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung atau Hb < 5 g/dl
maka dosis untuk satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan
kecepatan tidak lebih dari 2 ml/kgBB/jam. Sambil menunggu transfusi darah,
diberikan O2 dengan kecepatan 2-4 L/menit
Iron chelating agent (desferioksamin) mengatasi kelebihan Fe dalam jaringan
tubuh, dengan dosis 1-2 g/hari, s.k.
Splenektomi
Dilakukan bila didapat hipersplenisme atau jarak pemberian transfusi yang makin
pendek
Asam folat 1 mg/hari p.o.
PROGNOSIS
Buruk
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Benz EJ, Giardina PJV. Thalasemia syndrome. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995; 460-98.
Cohen AR. Thalasemia mayor (Cooleys anaemia). Synopsis of pediatric emergency medicine;
edisi International. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 391-2.
Hay WW. Congenital hemolitik anemia. Dalam: Hay WW, Grothnis JR, Anthony, Lewis JM,
penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment; edisi ke-12. Printice-Hall Inc. 1995; 827-31.
Honig GR. Thalasemia syndromes. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
1401-4.
Lanzkowsky P. Haemolytic anemia. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2.
New York: Churhill Livingstone Inc, 1995; 97-152.

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP)

BATASAN
Purpura yang terjadi akibat berkurangnya jumlah trombosit di dalam darah yang
penyebabnya tidak diketahui dengan sumsum tulang yang normal
KLASIFIKASI
Akut
Kronik
ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui
Diduga merupakan reaksi imunologik
Pada 50-80% kasus didahului infeksi virus (dalam 3 minggu sebelumnya)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis

Kadang-kadang disertai perdarahan nyata


Pemeriksaan fisis
Purpura, petekia, ekimosis
Limpa teraba (< 10% kasus)
Laboratorium
Trombositopenia tanpa kelainan eritrosit dan leukosit
Waktu perdarahan , waktu pembekuan normal
Retraksi bekuan buruk, tourniquet (+)
Gambaran sumsum tulang normal, megakariosit atau normal
DIAGNOSIS BANDING
Amegakaryocyte trombositopenic purpura (ATP)
Anemia aplastik
Purpura trombositopenia sekunder
Leukemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skrining perdarahan : Waktu perdarahan, waktu pembekuan, tourniquet, retraksi bekuan
Pungsi sumsum tulang
PENYULIT
Perdarahan intrakranial (0,5-1%), terutama bila trombosit < 20.000/mm3
TERAPI
Umum
Mencegah dan mengatasi perdarahan. Trauma dihindarkan dengan istirahat dan
pembatasan aktivitas
Menghindari penggunaan preparat yang dapat mengganggu fungsi trombosit (aspirin
dan sejenisnya)
Makanan gizi seimbang (dimulai makanan lunak)
Khusus
Kortikosteroid
Dosis 2 mg/kgBB/hari selama 14 hari, kemudian tapering off selama 7 hari, kecuali
bila jumlah trombosit menjadi normal sebelum 14 hari langsung tapering off
Jika perdarahan hebat/kemungkinan perdarahan intrakranial, prednison dapat
menjadi 5 mg/kgBB/hari
Bila dalam 3 minggu tidak sembuh monitor tanpa steroid (hanya diberikan terapi
suportif)
Bila setelah 6 bl tetap trombositopenia diagnosisnya ITP kronik
Gamaglobulin (IgG) 400 mg/kgBB/hari, perinfus 4-6 jam, selama 5 hari. Diberikan
pada penderita yang tidak memberikan respons dengan kortikosteroid yang
disertai perdarahan berat/risiko tinggi perdarahan intrakranial
Imunosupresif (siklofosfamid) dapat diberikan bila tetap tidak sembuh (ITP kronik).
Siklofosfamid dengan dosis awal 1-2 mg/kgBB/hari. Bila terjadi remisi, dosis
diturunkan 50 mg setiap minggu dan pengobatan dihentikan
Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB bila terjadi perdarahan hebat/ risiko perdarahan
intrakranial
PROGNOSIS.
Pada umumnya baik
Perbaikan dalam 1 bl (50%), dan dalam 6 bl (70-80%)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

DAFTAR PUSTAKA
Corrigan JJ. Hemorrhagic and thrombotic diseases. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman
RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of paediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1996; 1432-3.
Corrigan JJ. Idiopathic thrombocytopenic purpura. Blood diseases of infancy and childhood;
edisi ke-6. St. Louis: Mosby Co, 1990; 786-98.
Ekert H. Thrombositopenic purpura. Clinical paediatric haematology and oncology. Ekert:
Blackwell Scientific Pub, 1982; 37-43.
Lanzkowsky P. Disorders of platelets. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2.
New York: Churhill Livingstone Inc. 1995; 195-238.
Bussel JB, Corrigan JJ. Platelet and vascular disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller
LP, penyunting. Blood diseases in infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995; 866923.

HEMOFILIA

BATASAN
Penyakit perdarahan yang disebabkan oleh kelainan pembekuan darah yang herediter
akibat adanya defisiensi faktor VIII, IX, dan XI
KLASIFIKASI
Hemofilia A (defisiensi faktor VIII)
Hemofilia B (defisiensi faktor IX)
Hemofilia C (defisiensi faktor XI)
ETIOLOGI
Herediter (Hemofilia A dan B bersifat sex linked resesif, hemofilia C autosomal resesif)
KRITERIA DIAGNOSIS
Tendensi perdarahan yang sukar berhenti/kebiru-biruan baik spontan maupun sesudah
trauma ringan/tindakan seperti hematoma, perdarahan atau hemartrosis
Riwayat keluarga
Waktu pembekuan memanjang
PT normal, PTT
Thrombin generation test (TGT)/PTT substitution test : Abnormal
DIAGNOSIS BANDING
Defisiensi faktor XII
Penyakit Von Willebrand
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin : Hb, leukosit, trombosit, morfologi darah tepi
Waktu perdarahan, waktu pembekuan
PT, PTT
TGT/PTT substitution test
PENYULIT
Perdarahan hebat
Artritis kronik karena hemartrosis berulang
Penyulit setelah terapi : Infeksi, hepatitis B atau C post transfusi, peningkatan kadar
SGOT, SGPT, infeksi HIV, timbulnya inhibitor setelah transfusi
berulang
KONSULTASI

Bagian terkait : Ortopedi


TERAPI
Umum
Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma
Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan seperti mencabut
gigi atau sirkumsisi tanpa persiapan
Khusus
Hemofilia A
Transfusi konsentrat faktor VIII atau kriopresipitat
Dosis : 0,5 x BB(kg) x kadar yang diinginkan (%)
Satu kantong kriopresipitat mengandung 100-150 unit faktor VIII
Sebagai patokan kadar faktor VIII yang diperlukan
Lesi/tindakan (% normal)
Kadar Faktor VIII
Hemartrosis ringan, hematoma
15-20%
Hemartrosis berat, hematoma luas
20-40%
Operasi berat
80-100%
Lama pemberian tergantung derajat beratnya perdarahan
Pencabutan gigi dan epistaksis 2-5 hari
Operasi atau luka laserasi luas 7-14 hari
Bila tidak tersedia dapat diberikan plasma segar 10-15 ml/kgBB, dan bila terjadi
perdarahan masif dapat diberikan darah segar 10-20 ml/kgBB disusul dengan
pemberian kriopresipitat
Bila terjadi hemartrosis berat harus dilakukan sinovektomi untuk mencegah
terjadinya kontraktur akibat fibrosis
Bila tersedia preparat faktor VIII komersial (koate) dapat diberikan dengan dosis 25
ml/kgBB
Prosedur pemberian faktor VIII sebelum operasi
Bedah minor
Dosis : Sampai kadar dalam plasma 100% 1 jam sebelum prosedur dilakukan
(50 Unit/kgBB)
Kadar plasma dipertahankan > 60% selama 4 hari
Kadar plasma dipertahankan > 20% selama 4 hari berikutnya
Bedah mayor
Dosis : Sampai kadar dalam plasma 100% 1 jam sebelum prosedur dilakukan
(50 Unit/kgBB)
Kadar plasma dipertahankan > 60% selama 4 hari
Kadar plasma dipertahankan > 40% selama 4 hari berikutnya atau sampai
jahitan dan drainase membaik
Prosedur ortopedi
Dosis : Sampai kadar dalam plasma 100% 1 jam sebelum prosedur dilakukan
(50 Unit/kgBB)
Kadar plasma dipertahankan > 80% selama 4 hari (40 Unit/kgBB 3 kali/hari)
Kadar plasma dipertahankan > 40% selama 4 hari berikutnya (40 Unit/kgBB 2
kali/hari)
Bila penderita di gips, pengobatan dihentikan
Bila penderita tidak di gips, kadar plasma dipertahankan 20% selama ambulasi
Selama rehabilitasi kadar plasma dipertahankan > 10% selama 3 minggu
Prosedur gigi
EACA 100 mg/kgBB 4 jam sebelum pembedahan
Faktor pembekuan sampai kadar plasma mencapai 100% 1 jam sebelum
prosedur
Hemofilia B

10

Transfusi konsentrat faktor IX


Hemofilia C
Plasma segar 10-15 ml/kgBB
PROGNOSIS
Tergantung penyulit
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

DAFTAR PUSTAKA
Hilgartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995; 924-86.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churhill
Livingstone Inc. 1995; 254-62.

KOAGULASI INTRAVASKULAR DIFUSA (KID)

BATASAN
Keadaan terjadinya koagulasi intravaskular difus yang dicetuskan oleh penyakit utama
sehingga timbul deposit fibrin dengan akibat timbul iskemia, nekrosis jaringan, perdarahan
luas dan anemia hemolitik
ETIOLOGI
Infeksi
Keganasan
Metabolik
Lain-lain

:
:
:
:

Bakteri, virus, parasit, jamur, riketsia


Leukemia promielositik akut
Anoksia, asidosis, kerusakan jaringan yang luas
Purpura fulminans, gigitan ular, heat stroke, ketidak cocokan transfusi

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Sedang menderita penyakit tertentu yang berat
Pemeriksaan fisis
Perdarahan pada bekas suntikan, petekia, purpura, ekimosis
Laboratorium
Anemia dengan gambaran hemolitik
Trombositopenia, prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT) dan
thrombine time memanjang
Ditemukan produk degenerasi fibrin (FDP)
D Dimer > 200 ng/ml
DIAGNOSIS BANDING
Defisiensi vitamin K
Penyakit hati
Efek heparin
Fibrinogenolisis primer
Cardiopulmonary bypass
Penyakit mikroangiopati
PEMERIKSAAN PENUNJANG

11

Darah rutin : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis sel, morfologi sel, PT, PTT, thrombine
time, D Dimer
Kultur darah
Analisis gas
PENYULIT
Gagal organ
KONSULTASI
Dengan bagian terkait (tergantung kasus)
TERAPI
Umum
Bila penderita tidak sadar posisi tidur diubah-ubah untuk mencegah timbulnya
dekubitus
Makanan disesuaikan dengan keadaan umum (bila perlu dipuasakan)
Khusus
Fresh frozen plasma 10-15 ml/kgBB + susp. trombosit 1 U/5 kgBB
FWB 10-15 ml/kgBB : Bila terdapat anemia/perdarahan hebat sehingga terjadi
gangguan perfusi jaringan atau kardiovaskular
Heparin
Dibatasi pada perdarahan yang mengancam jiwa yang gagal dengan pemberian
diatas
Dosis awal 50 unit/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan infus kontinyu 10-20
unit/kgBB/jam, atau 50100 ml/kgBB/4 jam
Lain-lain
Antifibrinolitik (aminocaproic acid), anti pletelet, dekstran, penghambat adrenergik
alfa, dan anti thrombin III concentrate
Pengobatan intensif terhadap penyakit yang mendasarinya
PROGNOSIS
Tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya KID
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Corrigan JJ. Consumption coagulopathy. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
1430-1.
Hilgartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995; 960-4.
Pearson HA. Disease of blood. Dalam: Behrman RE, Vaughan III VC, Nelson WE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 1073-4.

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

BATASAN
Keganasan alat pembuat sel darah berupa proliferasi patologik sel-sel hematopoetik muda
seri limfoblas yang ditandai dengan adanya kegagalan sumsum tulang pembentuk sel darah
normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh lainnya
KLASIFIKASI

12

Menurut French-American-British (FAB)


L1 (84%)
L2 (14%)
L3 (1%)
ETIOLOGI
Tidak diketahui dengan pasti, diduga berhubungan dengan faktor genetik, lingkungan,
infeksi virus dan defisiensi imunologik
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Pucat, lemah, lesu
Panas badan atau infeksi berulang/menetap
Perdarahan
Pemeriksaan fisis
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Laboratorium
Darah tepi
: Anemia, granulositopenia, trombositopenia dan limfoblas > 3%
Sumsum tulang : Selularitas didominasi oleh limfoblas
Pungsi lumbal
: Pemeriksaan sitologi (limfoblas)
DIAGNOSIS BANDING
Leukemia non limfoblastik akut (LNLA)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Rutin
Tes fungsi hati/ginjal
Biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal
PENYULIT
Perdarahan
Infeksi
Metastasis SSP, saluran genito-urinarius, saluran cerna, tulang/sendi dan kulit
TERAPI
Umum
Menjaga kebersihan kulit, mulut dan gigi
Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi
Harus dirawat di rumah sakit dengan monitoring
Disesuaikan dengan kondisi penderita
Induksi remisi
Deksametason (deksa-M) 4 mg/m2/hari, p.o. selama 6 mgg, dilanjutkan dengan
tapering off
Vinkristin 1,5 mg/m2, i.v. sekali/mgg. selama 6 mgg
Daunorubisin 30 mg/m2 i.v. sekali/mgg. selama 4 mgg
L-asparginase 6.000 U/m2, i.v. 3x/mgg. setiap 2 hari, selama 3 mgg
Metotreksat, sitosin arabinose (Ara-C), deksametason, intratekal, sekali/mgg.
selama 2 mgg
SSP profilaksis

13

Metotreksat, Ara-C, Deksa-M intra tekal, sekali/mgg, selama 3 mgg


Radiasi kranial 1.800 rad sebanyak 10 kali
6-merkaptopurin 50 mg/m2/hari, p.o. selama 4 mgg
Pemeliharaan
Metotreksat 15 mg/m2/mgg., p.o. selama 3 mgg
6-merkaptopurin 50 mg/kgBB/hari, p.o. selama 4 mgg, diselang 2 mgg.,
kemudian dilanjutkan dengan dosis dan jangka waktu yang sama selama
masa pemeliharaan
Imunoterapi (bila memungkinkan)
Bertujuan untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemia dengan mengaktifkan
sistem kekebalan selular
Biasanya berupa imunisasi BCG dengan dosis 0,1 ml, diberikan setelah terapi
induksi dan profilaksis SSP (setelah terjadi remisi)
Pemberian antibodi monoklonal
Transplantasi sumsum tulang
Transfusi darah
Untuk mempertahankan Hb > 10 g/dl, diberikan PRC 10-15 ml/kgBB
Bila terjadi perdarahan akibat trombositopenia, diberikan suspensi trombosit 1
unit/5 kgBB
Mencegah/mengatasi infeksi
Fokus infeksi, misalnya abses gigi harus dihilangkan dan hindari kontak dengan
penderita varisela atau morbili
Antibiotik berspektrum luas, i.v., harus diberikan bila febris dengan
granulositopenia (granulosit < 500/mm3)
Kotrimoksasol 25 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis untuk mencegah terjadinya
pneumonia oleh Pneumocystis carinii
Mencegah terjadinya hiperurikemia
Alopurinol 10 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi
Dianjurkan banyak minum (2-3 liter/m2/hari)
Dukungan psikososial, untuk penderita maupun keluarga
PROGNOSIS
Kemungkinan hidup bebas leukemia 5 th : 65-70%
Bila dihubungkan dengan klasifikasi FAB, maka L1 mempunyai prognosis paling baik dan L2
& L3 buruk
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 293-345.
Miller DR. Hematologic malignancies: leukemia and limphoma. Dalam: Miller DR, Baehner RL,
Miller LP, penyunting. Blood disease of infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995;
660-804.

LEUKEMIA NON LIMFOBLASTIK AKUT (LNLA)

14

BATASAN
Keganasan alat pembuat sel darah yang mengenai seri sel darah selain limfosit, berupa
proliferasi patologik sel hematopoetik muda yang ditandai dengan adanya kegagalan
sumsum tulang membentuk sel darah normal dan infiltrasi ke jaringan tubuh yang lainnya
KLASIFIKASI
Klasifikasi leukemia mieloblastik akut menurut French-American-British (FAB ) :
Tipe M1 : Leukemia mieloblastik tanpa maturasi
M2 : Leukemia mieloblastik dengan diferensiasi
M3 : Sel promielosit abnormal, pada sitoplasma terdapat Auer rod
M4 : Diferensiasi mielositik dan monositik dengan proporsi yang bervariasi
M5 : Leukemia monositik dengan sel monositoid yang kurang berdiferensiasi dan/atau
berdiferensiasi baik
M6 : Eritroleukemia
M7 : Leukemia megakarioblastik
ETIOLOGI
Tidak diketahui dengan pasti
Diduga berhubungan dengan pemakaian alkilating agent pada pengobatan kanker, kelainan
kromosom, penyakit herediter dan sindroma konstitusional
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat pucat, lemah, lesu, panas badan atau infeksi berulang
Perdarahan (petekia, ekimosis, perdarahan gusi)
Pemeriksaan fisis
Hipertrofi gusi, infiltrasi ke kulit
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Laboratorium
Darah tepi : Anemia, trombositopenia, leukositosis, ditemukan sel blas selain
limfoblas
Sumsum tulang : Selularitas , didominasi oleh sel leukemia selain limfoblas
(tergantung tipenya)
Pungsi lumbal (pemeriksaan sitologi)
DIAGNOSIS BANDING
LLA
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Hb, leukosit, gambaran darah tepi, tes fungsi hati/ginjal
Biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal
Radiologi : Foto toraks
PENYULIT
Perdarahan
KID
Tanda-tanda infeksi
Penyebaran ke : SSP, saluran genito-urinarius, ginjal, saluran cerna, tulang/sendi, kulit,
jantung serta paru

TERAPI

15

Umum
Menjaga kebersihan kulit, gigi dan mulut
Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi
Induksi remisi
Sitosin arabinosa 100 mg/m2/hari, selama 2 hari (hari ke-1-2) perinfus, dan 200
mg/m2/hari perinfus selama 5 hari (hari ke-3-8)
Daunorubisin 60 mg/m2/hari, i.v. selama 3 hari (hari ke-3-5)
VP-16 150 mg/m2/hari, dalam infus 60 menit, selama 3 hari (hari ke-6-8)
Bila VP-16 tidak tersedia dapat diganti dengan Vinkristin 1,5 mg/m2
Setelah 2 mgg. (hari ke-15) dilakukan aspirasi sumsum tulang, bila terjadi
remisi (sel blas < 5%) pengobatan dilanjutkan dengan pemeliharaan
Belum remisi (sel blas > 10%) konsolidasi dimulai pada hari ke-15 dan 21
dan 2 mgg. kemudian aspirasi ulang sumsum tulang
Konsolidasi/intensifikasi
Deksametason 4 mg/m2/hari p.o. atau prednison 40 mg/m2/hari, selama 28 hari
6-tioguanin (6-TG) 60 mg/m2/hari p.o. selama 28 hari
Bila 6-TG tidak tersedia dapat diganti 6-merkaptopurin (6-MP) 65 mg/m2
Vinkristin 1,5 mg/m2/mgg. (maks. 2 mg), i.v. selama 28 hari
Adriamisin (Doksorubisin) 30 mg/m2/minggu, i.v. selama 28 hari
Sitosin arabinosa 75 mg/m2/hari, i.v. bolus, 4 hari dalam semgg. selama 8 mgg.
Siklofosfamid 500 mg/m2/hari, i.v. hari ke-1 dan 28
Untuk profilaksis SSP
Iradiasi dengan 1.800 rad, selama 4 mgg., atau
Sitosin arabinosa, metotreksat dan deksametason yang diberikan bersama
secara intratekal, sekali/mgg., selama 4-5 mgg.
Pemeliharaan : Selama 2-3 th dengan siklus setiap 4 mgg.
Sitosin arabinosa 40 mg/m2/hari s.k. 4 hari/mgg selama 4 mgg.
6-TG 40 mg/m2, p.o. selama 2 th
Daunorubisin 25 mg/m2, i.v. 8 mgg sekali sebanyak 4 kali
Transplantasi sumsum tulang
Transfusi darah
PRC 10-15 ml/kgBB bila terjadi anemia
Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB bila perdarahan karena trombositopenia
Mencegah dan mengatasi infeksi
Fokus infeksi harus dihilangkan
Antibiotik spektrum luas, i.v. harus diberikan bila terjadi febris dengan
granulositopenia (granulosit < 700/mm3)
Kotrimoksazol (25 mg/kgBB/hari) dibagi 2 dosis, untuk mencegah pneumonia oleh P.
carinii
Menghindari kontak dengan penderita varisela atau morbili.
Mencegah terjadinya hiperurikemia
Alopurinol 10 mg/kgBB/hari (dalam dosis terbagi)
Dianjurkan banyak minum (2-3 liter/m2/hari)
Dukungan psikososial, baik untuk penderita maupun keluarga
PROGNOSIS
Remisi (80% kasus)
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian remisi
Jumlah leukosit > 100.000/mm3
Hepar > 5 cm

16

Relaps
Faktor risiko yang mempengaruihinya belum diketahui
Disease-free survival (40%)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 293-345.
Miller DR. Hematologic malignances leukemia and lymphoma. Dalam: Miller DR, Baehner RL,
Miller LP, penyunting. Blood disease in infancy and childhood; edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995;
660-804.

LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK)

BATASAN
Penyakit keganasan sel darah, ditandai dengan proliferasi abnormal dan akumulasi sel
hematopoetik (sel leukemia) yang dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang.
Proliferasi sel leukemia tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah dan menginfiltrasi
organ tubuh lainnya sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ
KLASIFIKASI
Menurut Lanzkowsky
Tipe dewasa
Fase kronik
Fase akselerasi, blastik atau fase akut
Tipe juvenil
ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti
Berkaitan dengan abnormalitas kromosom, yaitu kromosom Philadelphia (hasil translokasi
antara kromosom 9 dan 22)
KRITERIA DIAGNOSIS
Lelah, lemah, pucat, penurunan berat badan, demam, ruam kulit dan nyeri tulang
terutama daerah sternum
Hepatosplenomegali
Limfadenopati
Laboratorium
Alkali fosfatase
Hitung granulosit : 50.000 sampai > 500.000/mm3
Hitung trombosit : 500.000 sampai > 1 juta/mm3

17

Gambaran darah tepi : Anemia, penuh dengan prekursor granulosit, mulai dari
mieloblas sampai neutrofil matang 20-50%. Jumlah basofil dan eosinofil , Auer
rods (+)
Gambaran sumsum tulang : Hiperplasia granulosit, lebih banyak sel muda dan
sejumlah besar megakariosit
Sitogenetik sumsum tulang dan darah tepi ditemukan kromosom Philadelphia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb, leukosit, trombosit, gambaran darah tepi dan profil koagulasi
Kimia darah : Urea N, kreatinin, alkali fosfatase, tes fungsi hati
Aspirasi/biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal : Sitologi
Sitogenetik : Kromosom Philadelphia (bila memungkinkan)
Radiologi : Foto toraks, survei tulang
PENYULIT
Perdarahan
Infeksi
Metastasis ke SSP, saluran pernafasan, mata, kulit dan tulang
KONSULTASI
Bagian terkait
TERAPI
Umum
Menjaga kebersihan kulit, mulut dan gigi
Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi
Busulfan (1,4-dimethanesulfonyloxybutane; Myleran)
Dosis : 0,06-0,1 mg/kgBB/hari p.o. (maks. 2 mg/hari)
Bila jumlah leukosit menjadi 15.000-20.000/mm3 turunkan dosis menjadi
setengahnya
Hidroksiurea
Pada penderita resisten busulfan, dosis : 20-30 mg/kgBB/hari p.o.
Interferon Alfa (IFN-A; Inferon)
Sebagai anti proliferatif/mempengaruhi diferensiasi sel
Interferon leukosit manusia efektif dalam mengontrol granulositosis dan
trombositosis
Dosis : 5 x 106 unit/m2/hari i.m., s.k. selama 9-15 bl, dihentikan bila jumlah leukosit
neutrofil < 750/mm3 atau trombosit < 40.000/mm3
Splenektomi
Pada hipersplenisme, nyeri limpa, trombositopenia berat atau anemia berat yang
sudah terlalu sering dilakukan transfusi
Transplantasi sumsum tulang
PROGNOSIS
Rata-rata dapat bertahan hidup 3-4 th dari saat diagnosis ditegakkan
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 330-8.

18

Miller DR, Miller LP. Chronic myelogenous leukemia and myelodysplastic syndromes. Dalam:
Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood disease in infancy and childhood; edisi ke-1.
Mosby Co, 1995; 721-31.

LIMFOMA NON-HODGKIN

BATASAN
Proses proliferatif ganas pada jaringan limfoid yang menyerang sel limfosit
KLASIFIKASI
Menurut Murphy
Stadium I : Tumor tunggal (ekstranodus) atau daerah anatomik tunggal (nodus) dengan
pengecualian daerah mediastinum atau abdomen
Stadium II : Tumor tunggal (ekstranodus) disertai nodus limfe regional
Mengenai 2 atau lebih nodus pada sisi diafragma yang sama
Dua tumor (ekstranodus) yang terpisah dengan atau tanpa mengenai nodus
limfe regional pada sisi diafragma yang sama
Tumor saluran cerna primer yang dapat direseksi, biasanya di daerah
ileosekal dengan atau tanpa mengenai nodus mesenterikus yang
berhubungan
Stadium III : Dua tumor (ekstranodus) yang terpisah diatas atau dibawah diafragma
Dua atau lebih daerah nodus diatas atau dibawah diafragma
Semua tumor primer daerah intratoraks (mediastinum, pleura, timus)
Semua tumor primer intra abdomen
Semua tumor paraspinal atau epidural
Stadium IV : Mengenai SSP atau sumsum tulang atau keduanya
ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui, diduga
Kelainan imunologik
Infeksi virus (Epstein-Bar virus, HIV)
Genetik
Obat-obatan
Lingkungan (radiasi)
KRITERIA DIAGNOSIS
Limfadenopati progresif dan tidak nyeri
Histopatologik : Ditemukan limfosit, atau sel stem yang difus, tanpa
diferensiasi/berdiferensiasi buruk
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin
Neuroblastoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat
Biopsi jaringan yang adekuat dan/atau
Aspirasi sumsum tulang
Sitologi cairan likuor
Sitologi cairan pleura, peritoneum atau perikardium
Radiologik
Foto toraks, tomografi mediastinum
Survei tulang
USG atau CT- scan daerah leher dan abdomen

19

PENYULIT
Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, kelenjar getah bening di luar mediatinum dan
abdomen
KONSULTASI
Bagian terkait
TERAPI
Umum
Mencegah terjadinya infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang
Khusus
Kemoterapi
Induksi remisi
Vinkristin 1,5 mg/m2 iv, sekali/mgg. (6 mgg.)
Adriamisin 45 mg/m2 i.v, sekali/mgg. (2 mgg.)
Siklofosfamid 1.200 mg/m2 i.v, sekali/mgg. (2 mgg.)
Prednison 40 mg/m2/hari, po, 5 mgg. tappering off
Metotreksat 12 mg/m2 intratekal, sekali/mgg. (6 mgg.)
Pemeliharaan
Metotreksat 30 mg/m2/mgg. p.o (18 bl)
6-Merkaptopurin 75 mg/m2/hari p.o (18 bl)
Radioterapi
Hanya dilakukan untuk mencegah terjadinya relaps pada penderita dengan tumor
kelenjar mesenterial atau terdapat sisa tumor yang > 5 cm
Operasi
Selain untuk mengangkat lesi intraabdominal yang terlokalisir, operasi dibatasi
hanya untuk biopsi saja
PRC 10-15 ml/kgBB, untuk mengatasi anemia
Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB, diberikan bila terjadi trombositopenia
Na bikarbonas dan allopurinol 10 mg/kgBB/hari pada tumor yang besar, untuk
menghindari terjadinya nefropati asam urat akibat lisis tumor akut
PROGNOSIS
Baik
Pada lokasi primer dan stadium I, II
Kepala dan leher (tanpa parameningeal), nodus limfe perifer, abdominal > 80% (rekurens
jarang terjadi setelah 2 th)
Buruk
Stadium III atau IV
Stadium IV dengan penyebaran ke SSP (prognosis sangat buruk)
Stadium II parameningeal
Remisi inisial inkomplit dalam waltu 2 bl
Kadar LDH > 1.000 U/L
Kadar asam urat > 7,1 g/dl
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 375-96.
Miller LP. Hodgkin and non Hodgkin lymphoma. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood disease in infancy and childhood; edisi ke-7. St Louis: CV Mosby Co, 1995;
749.

20

PENYAKIT HODGKIN

BATASAN
Proses neoplastik ganas dari sistem limforetikular dengan penyebab yang tidak diketahui
dan ditandai dengan adanya sel Reed-stenberg ke organ yang terkena
KLASIFIKASI
Menurut Modified Ann Arbor Classification
Stadium I : Mengenai salah satu nodus limfe (I) atau organ ekstra limfatik (IE)
Stadium II : Mengenai 2 atau lebih regio nodus limfe pada sisi yang sama dari diafragma
(II) atau pada organ atau satu tempat ekstralimfatik serta satu regio nodus
limfe atau lebih pada sisi diafragma yang sama (IIE)
Stadium III : Mengenai regio nodus limfe pada kedua sisi diafragma (III), bisa juga
mengenai organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau mengenai lien (IIIS)
atau keduanya
Stadium IV : Mengenai secara difus satu organ atau jaringan ekstralimfatik dengan atau
tanpa mengenai nodus limfe
ETIOLOGI
Tidak diketahui
Diduga berhubungan dengan infeksi virus, radiasi dan faktor genetik
KRITERIA DIAGNOSIS
BB > 10% dalam waktu 6 bl tanpa sebab
Panas badan > 380C, hilang timbul tanpa sebab
Berkeringat malam
Limfadenopati dengan predileksi daerah servikal, yang tidak terasa nyeri
Histopatologi : Ditemukan sel Reed-stenberg
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma non-Hodgkin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat
Biopsi jaringan yang adekuat dan/atau
Aspirasi sumsum tulang
Sitologi cairan likuor
Sitologi cairan pleura, peritoneum atau perikardium
Radiologi
Foto toraks, tomografi mediastinum
Survei tulang
USG atau CT-scan daerah leher dan abdomen
PENYULIT
Infeksi
Perdarahan
Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, KGB di luar mediastinum dan organ
intraabdomen
Karena terapi
Kerusakan paru, jantung, ginjal, hormonal, jaringan lunak dan pertumbuhan tulang akibat
dari radiasi dan/atau kemoterapi

21

Infeksi setelah splenektomi


Tumor ganas sekunder
TERAPI
Umum
Mencegah infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang
Khusus
Radioterapi
Pilihan untuk stadium I dan II
Bila keadaan klinis memerlukan, pada stadium II dapat ditambahkan kemoterapi
Kemoterapi
Adriamisin atau doksorubisin 25 mg/m2, i.v hari ke-1, 14
Bleomisin 10 U/m2 i.v., hari ke-1, 14
Vinblastin 6 mg/m2 i.v. hari ke-1, 14
Dekarbazin 150 mg/m2 i.v. hari ke-1 sampai 5
Siklus diulang tiap 28 hari
PRC 10-15 ml/kgBB pada anemia
Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB pada trombositopenia
FWB 10-15 ml/kgBB pada perdarahan hebat
Kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis mencegah pneumonia
Pneumocystis carinii
PROGNOSIS
Umur lebih muda lebih baik
Jenis kelamin perempuan lebih baik
Stadium kurang baik
Gejala sistemik (demam, BB dan keringat malam) dan LED kurang baik
Remisi komplit lebih baik dibandingkan dengan penderita yang mengalami remisi parsial
atau tanpa remisi
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 347-73.
Miller LP. Hodgkin and non Hodgkin lymphoma. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood disease in infancy and childhood; edisi ke-7. St Louis: CV Mosby Co, 1995;
660-804.

NEUROBLASTOMA

BATASAN
Tumor yang berasal dari jaringan neural crest dan dapat mengenai susunan saraf simpatis
sepanjang aksis kraniospinal
KLASIFIKASI
Menurut Evan (staging system) :
Stadium 0
: Tumor setempat/terlokalisir
Stadium I
: Tumor mengenai organ atau struktur organ
Stadium II
: Tumor menyebar keluar organ atau struktur organ
Stadium III : Tumor menyebar keluar organ berseberangan

22

Stadium IV

: Adanya metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, kulit, hati, paru,


jaringan lunak
Stadium IV-S : Umur < 1 th, tumor stadium I - II tetapi penyebaran ke hati, kulit atau
sumsum tulang
ETIOLOGI
Tidak diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras dan genetik
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Banyak keringat
Muka merah
Nyeri kepala
Palpitasi
Diare berkepanjangan gagal tumbuh
Fisis
Distensi abdomen
Tumor didaerah abdomen, pelvis atau mediastinum, dan biasanya melewati
tengah
Hipertensi
Laboratorium
Darah
: Hipokalemia, feritin serum
Urin
: Katekolamin (VMA, HVA)
Histopatologik
: Neuroblas yang tak berdiferensiasi dengan pseudorosette
Sumsum tulang : Sel ganas pseudorosette

garis

DIAGNOSIS BANDING
Rabdomiosarkoma
Limfoma
Tumor Wilm
Hepatoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
: Rutin, Urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan feritin serum
Urin
: Urinalisis, katekolamin (VMA, HVA)
Radiologi : Foto toraks/abdomen
Survei tulang
USG, CT- scan
Biopsi
PENYULIT
Metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, hepar, paru, kelenjar getah bening, kulit dan
jaringan lunak
Residif
KONSULTASI
Bagian terkait
Bedah Anak untuk tindakan operasi
TERAPI
Umum
Makanan dengan gizi seimbang
Khusus
Operasi
Hasil baik untuk tumor yang terlokalisir (stadium I dan II)
Radioterapi

23

Tidak bermanfaat untuk stadium I dan II


Pada stadium II : Preoperatif untuk mengecilkan tumor dan postoperatif untuk
menghilangkan sisa tumor yang tertinggal
Pada stadium IV : Paliatif
Kemoterapi (pilihan pertama untuk tumor luas)
Vinkristin 1,5 mg/m2, i.v., hari ke-1, 21 dan 29
Siklofosfamid 250 mg/m2 p.o., hari ke-21 sampai 28
Adriamisin 40-60 mg/m2, i.v, hari ke-2 (maks. 500 mg/m2)
PRC 10-15 ml/kgBB pada anemia
Mencegah dan mengatasi infeksi
Untuk pneumonia P. carinii diberikan kotrimoksasol 25 mg/ kgBB/hari
Bila terdapat panas dengan granulositopenia (granulosit < 500/mm3) antibiotik
spektrum luas i.v.
PROGNOSIS
Histologis favorable lebih baik dari pada unfavorable
Umur saat diagnosis : < 2 th lebih baik
Kadar feritin normal (0-150 mg%) lebih baik
Rasio VMA/HVA tinggi ( > 1) lebih baik
Stadium I atau II atau IV-S lebih baik dari III atau IV
Lokalisasi : Tumor primer dileher, mediastinum posterior lebih baik dari abdominal
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Leventhal B.G. Neoplasms and neoplasm-like structures. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Vaughan III VC, penyunting. Nelson textbook of paediatrics, edisi ke-14.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 1304-8.
Monfardini S, Brunner K, Crowther D, dkk. Neuroblastoma. Dalam: Monfardini S, penyunting.
Manual of cancer chemotherapy; edisi ke-3. Jenewa :UICC, 1981; 177-82.
Water KD. Neuroblastoma. Dalam: Ekert H, penyunting. Clinical paediatrics haematology and
oncology. Blackwell Scientific Pub, 1982; 190-6.
TUMOR WILM (NEFROBLASTOMA)

BATASAN
Tumor ginjal yang mengenai jaringan epitel maupun jaringan parenkim
KLASIFIKASI
Pembagian stadium tumor Wilm (NWTS)
I
Tumor pada ginjal, dapat dieksisi sempurna, permukaan kapsul
intak, tidak terjadi ruptur, tidak terdapat sisa tumor diluar tepi
reseksi
II
Tumor dapat keluar dari ginjal tapi dapat dieksisi sempurna; tumor
lokal ekstensif, infiltrasi ke v. renalis, tumor tercecer (spillage)
tetapi terbatas di daerah ginjal/flank, tidak ditemukan sisa tumor di
luar daerah eksisi
III Terdapat sisa tumor ke dalam abdomen : Terdapat infiltrasi tumor
ke kelenjar getah bening hilus, paraaorta atau yang lain, tumor
dapat tercecer dan menginfiltrasi peritoneum, dapat melewati
batas eksisi baik mikroskopik maupun makroskopik, tumor tidak
dapat dieksisi sempurna karena menginfiltrasi struktur yang vital
IV Ditemukan metastasis hematogen ke paru, hati, tulang dan otak
V
Tumor bilateral pada saat terdiagnosis

24

ETIOLOGI
Tidak diketahui pasti
Diduga mempunyai hubungan dengan kelainan kongenital, terutama kelainan urogenital,
hemihipertrofi dan aniridia
KRITERIA DIAGNOSIS
Massa intraabdominal, berbatas tegas dan biasanya tidak melewati garis tengah
Disertai gejala hipertensi dan hematuria
USG : Massa tumor didaerah ginjal
Histopatologi : Gambaran bifasik dari unsur epitel dan mesenkim ginjal
DIAGNOSIS BANDING
Hepatoblastoma
Tumor adrenokortikal
Neuroblastoma
Hidronefrosis
Kista renal
Mesoblastik nefroma
Renal cell carcinoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, Urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, LDH, alkali fosfatase
Urin
Radiologi : BNO, IVP, foto toraks
USG, CT-scan abdomen/toraks/kepala
PENYULIT
Penyebaran regional (penetrasi melalui kapsula renal ke jaringan lunak perirenal)
Perdarahan di luar ginjal
Penyebaran ke peritoneal
Penyebaran hematogen ke paru, hati, tulang dan otak
KONSULTASI
Bagian terkait a.l : Bedah Anak
TERAPI
Umum
Makanan gizi seimbang
Khusus
Operasi
Nefrektomi merupakan tindakan utama
Bila terlalu besar (inoperable) radioterapi preoperatif 1.200-1.260 rad (150
rad/hari, selama 8 hari atau 180 rad/hari, selama 7 hari) agar tumor cukup kecil
untuk diangkat seluruhnya
Radioterapi
Segera setelah operasi 2.000 rad diberikan pada semua stadium kecuali stadium I
Kemoterapi
Bila tumor besar, untuk mengecilkan dan mengurangi risiko ruptur preoperatif
diberikan
Aktinomisin-D 15 ug/kgBB/hari i.v. selama 5 hari
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v., sekali/mgg. selama 3-4 mgg.
Post-operatif

25

Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v., sekali/mgg. dimulai 1 mgg. setelah operasi selama 4-6
mg
Aktinomisin-D 15 ug/kgBB/hari i.v., selama 5 hari
Dosis pemeliharaan (6 mgg. kemudian)
Vinkristin 1,5 mg/m2/hari i.v, pada hari ke-1 dan ke-5
Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hari i.v., selama 5 hari
Adriamisin (ADR) 20 mg/m2/hari i.v., 3 x/mgg. pada mgg. ke-6
Siklus pemeliharaan diulang tiap 6-8 mgg. sampai 5-6 siklus

PROGNOSIS
Persentase dari disease-free survival tergantung dari stadium penyakit dan histologinya
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
KEPUSTAKAAN
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 437-51.
Leventhal BG. Wilms tumor. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of paediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
1307-9.

RABDOMIOSARKOMA

BATASAN
Tumor ganas yang berasal dari jaringan mesodermal dan mengenai setiap jaringan tubuh
yang mengandung serabut jaringan otot serat lintang, seperti muka dan leher, ekstremitas,
traktus urogenitalia, batang tubuh dan retroperitoneal
KLASIFIKASI
Berdasarkan sistem kelompok menurut The Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS)
Kelompok
I
: A Terlokalisir, reseksi komplit, terbatas pada lokasi
primer
B Terlokalisir, reseksi komplit, infiltrasi sekitar lokasi
primer
II

A Terlokalisir, grossly resected, mikroskopik masih ada


sisa tumor
B Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening,
reseksi komplit
C Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening,
reseksi komplit, mikroskopik terdapat sisa tumor

III

A Tumor besar, lokal atau regional setelah biopsi


B Masa tumor > 50% setelah operasi

IV
ETIOLOGI

Metastasis jauh

26

Tidak diketahui pasti


Diduga berhubungan dengan kelainan kongenital
KRITERIA DIAGNOSIS
Massa yang dapat disertai rasa nyeri, tergantung dari lokalisasi tumor primer maupun
metastasisnya
Histopatologik dibedakan 4 subtipe (embrional, alveolar, pleimorfik dan undifferentiated)
DIAGNOSIS BANDING
Neuroblastoma
Limfoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, elektrolit, SGOT,SGPT, LDH, alkali fosfatase
Urin
Foto toraks dan kepala
Aspirasi sumsum tulang
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan sitologi (bila perlu)
Biopsi kelenjar getah bening (bila perlu)
Lain-lain : Sesuai dengan lokalisasi tumor (CT- scan, USG, IVP, limfangiografi, foto tulang)
PENYULIT
Metastasis
Paru, SSP, KGB, tulang, sumsum tulang, hati dan jaringan lunak
KONSULTASI
Bagian Bedah, Klinik Kanker
TERAPI
Umum
Makanan gizi seimbang
Khusus
Operasi pengangkatan tumor secara utuh
Bila tidak memungkinkan hanya biopsi, diikuti kemoterapi dan radioterapi untuk
mengecilkan tumor reseksi tumor
Radioterapi
Tergantung umur dan ukuran tumor
Kemoterapi
Kombinasi vinkristin (VCR), aktinomisin D (AMD) dan siklofosfamid (VAC-pulse
regimen)
Vinkristin 2 mg/m2 i.v., hari ke-1 dan ke-5
Aktinomisin D 15 g/kg/hari i.v., 5 hari
Siklofosfamid 300 mg/m2/hari i.v., 5 hari
Pengobatan diberikan setiap 4-6 mgg. selama 12-18 bl
PROGNOSIS
Tergantung
Stadium tumor
Tipe histologis dan sitologis
Lokasi tumor primer
Lokasi metastasis
Umur
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

27

DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 453-75.
Monfardini S, Brunner K, Crowther D, dkk. Rhabdomyosarcoma. Dalam : Monfardini S,
penyunting. Manual of cancer chemotherapy; edisi ke-3. Jenewa: UICC, 1981; 183-7.

SARKOMA EWING

BATASAN
Tumor tulang terutama mengenai anak dan dewasa
KLASIFIKASI
Stadium I : Terlokalisir
Stadium II : Metastasis
ETIOLOGI
Tidak diketahui
KRITERIA DIAGNOSIS
Pembengkakan dan nyeri di daerah tumor
Panas badan hilang timbul, lemah dan BB
Radiologi
: Gambaran destruksi dan sklerosis yang dikelilingi oleh lapisan
periosteal tulang baru (onion skin). Bila tumor menembus periosteum
akan terlihat gambaran sinar matahari (sun ray appearance)
Histopatologik : Ditemukan sel tumor berwarna gelap tanpa struktur lapisan
DIAGNOSIS BANDING
Rabdomiosarkoma
Limfoma
Neuroblastoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, Urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase, LDH
Urin
Aspirasi/biopsi sumsum tulang
Radiologi : Bone scan
CT-scan dada
PENYULIT
Perdarahan
Fraktura patologis
KONSULTASI
Bagian terkait
TERAPI
Umum
Mencegah fraktura patologis dengan cara
Membatasi aktivitas
Pemasangan verband elastik
Mengurangi beban BB pada tulang yang terkena
Perawatan luka dan perdarahan yang terjadi pada tumor
Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak

28

Khusus
Kemoterapi
Disesuaikan dengan kondisi penderita
Dipergunakan kombinasi sitostatika sesuai protokol T2 :
Hari ke-1-5
: Aktinomisin-D 450 g/m2/hari
Hari ke-19,20,21 : Adriamisin 20 mg/m2/hari
Hari ke-39,40,41 : Adriamisin 20 mg/m2/hari
Hari ke-58
: Vinkristin 1,5 mg/m2/hari + siklofosfamid 1200 mg/m2/hari
Hari ke-65
: Vinkristin
Hari ke-72
: Vinkristin + siklofosfamid
Hari ke-79
: Vinkristin
Istirahat selama 15 hari dan pengobatan diulangi selama 18 bl
Radioterapi
Merupakan tumor yang responsif terhadap radioterapi
Dosis tinggi diberikan pada lokasi tumor primer bersamaan dengan kemoterapi
Operasi
Bila lesi terdapat di fibula, skapula, tulang iga, tulang lengan dan kaki serta lesi
yang kecil pada ileum dan pelvis. Amputasi dilakukan bila lesi terdapat di femur,
tibia dan fibula bagian distal serta tidak menyebabkan gangguan fungsi organ
tersebut

Transfusi PRC 10-15 ml/kgBB : Mempertahankan Hb > 10 g%


Suspensi trombosit 1 unit/5 kgBB : Bila terjadi perdarahan dan/atau
trombositopenia
PROGNOSIS
5-year disease free survival tumor terlokalisir yang mendapat terapi operasi, radiasi dan
kemoterapi : 55-60%
5-year survival penderita tumor yang terlokalisir : 75%
5-year survival tumor yang metastasis : 20-30%
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 484-92.
Leventhal B.G. Neoplasms and neoplasm-like structures. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Voughan III VC, penyunting. Nelson textbook of paediatrics; edisi ke-14.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 1313-4.
Monfardini S, Brunner K, Crowther D, dkk. Ewings sarcoma. Dalam: Monfardini S, penyunting.
Manual of cancer chemotherapy; edisi ke-3. Jenewa: UICC, 1981; 190-2.

OSTEOSARKOMA

BATASAN
Keganasan primer tulang, sel neoplasma menghasilkan osteoid
KLASIFIKASI
Berdasarkan respons histologik setelah kemoterapi preoperatif

29

Derajat
I
II
III
IV

Kelainan
Tidak ada atau hanya sedikit efek terhadap kemoterapi
Respons parsial terhadap kemoterapi dan 50% tumor
mengalami nekrosis
Respons hampir lengkap terhadap kemoterapi dan 90%
tumor mengalami nekrosis
Respons lengkap terhadap kemoterapi dan tidak tampak
lagi sel tumor

ETIOLOGI
Belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
Pertumbuhan tulang
Faktor genetik
Faktor lingkungan
KRITERIA DIAGNOSIS
Nyeri, bengkak dan berkurangnya pergerakan, biasanya mengenai tulang panjang
Fraktur patologis
Enzim alkali fosfatase
Radiologi : Sklerosis daerah metafisis diikuti dengan kelainan jaringan lunak, kalsifikasi
atau gambaran sunburst, gambaran lesi campuran, blastik atau lisis
Biopsi
DIAGNOSIS BANDING
Sarkoma Ewing
Giant cell tumor
Fibrosarkoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Rutin, Urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase dan bilirubin
Urin
Radiologi tulang yang terkena
CT- scan tulang/dada atau MRI tulang yang terkena
Skaning tulang
PENYULIT
Penyebaran ke paru
KONSULTASI
Bagian terkait
TERAPI
Umum : Makanan gizi seimbang
Khusus
Kemoterapi
Preoperatif (4 mgg. sebelum operasi)
Metotreksat dosis tinggi : 8-12 g/m2 perinfus, sekali/mgg. selama 4 mgg. (mgg.
ke-1 sampai ke-4)
Vinkristin 1,5 mg/m2/hari i.v, sekali/mgg. (maks. 2 mg/kali) selama 4 mgg. (mgg.
ke-1 sampai ke-4)
Sebelum pemasangan protesis
Bleomisin (B) 15 mg/m2/hari i.v, 2 hari berturut-turut pada mgg. ke-6
Siklofosfamid (S) 600 mg/m2/hari i.v, 2 hari berturut-turut pada mgg. ke-6
Daktinomisin (D) 600 g/m2/hari i.v, 2 hari berturut-turut pada mgg. ke-6

30

Metotreksat dosis tinggi 8-12 g/m2 perinfus, sekali/mgg. selama 4 mgg. dengan
selang waktu 4 mgg. setelah pemberian ke-2 (mgg. ke-9, 10, 14 dan 15)
Vinkristin 1,5 mg/m2/hari i.v, sekali/mgg. selama 4 mgg. dengan selang waktu 4
mgg. setelah pemberian ke-2 (mgg. ke-9, 10, 14 dan 15)
Adriamisin 30 mg/m2/hari i.v, 3 hari berturut-turut dalam seminggu (mgg. ke-11)
Operasi
Meliputi biopsi dilanjutkan dengan amputasi
Pasca operasi
Stadium I - II
Adriamisin 30 mg/m2/hari i.v, 2 hari berturut-turut dalam seminggu, selama 2
mgg. (mgg. ke-1 dan 3)
CDDP 120 mg/m2 atau 3 mg/kgBB i.v, sekali/mgg. selama 2 mgg. (mgg. ke-1
dan 3)
BSD 2 hari berturut-turut dalam seminggu, mgg. ke-6
Siklus diatas diulangi lagi 2 kali
Stadium III-IV
BSD 2 hari berturut-turut dalam seminggu selama 2 mgg.
Metotreksat dosis tinggi 8-12 g/m2/hari i.v, sekali/mgg. selama 4 mgg. (mgg. ke3, 4, 8 dan 9, metotreksat tidak diberikan lagi setelah 12 atau 16 dosis)
Vinkristin 1,5 mg/m2/hari i.v, sekali/mgg. selama 4 mgg. (mgg. ke-3, 4, 8 dan 9)
Adriamisin 30 mg/m2/hari i.v, 3 kali berturut-turut dalam seminggu (mgg. ke-5)
Siklus diatas diulangi 2 kali
PROGNOSIS
Tanpa metastasis, mendapat kemoterapi ajuvan kesembuhannya 55-85% dan meningkat
15-20% bila dioperasi
Dengan metastasis buruk, tetapi dengan kemoterapi dan reseksi jaringan paru yang
terkena kesembuhannya 20-40%
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 477-84.
Leventhal BG. Osteosarcoma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
1311-2.

HEPATOMA

BATASAN
Tumor ganas primer pada hepar
KLASIFIKASI
Hepatoblastoma
Karsinoma hepatoselular
Stadium
I.
Tumor dapat diangkat secara keseluruhan
II. Tumor dapat diangkat secara keseluruhan, tetapi mikroskopik terdapat sisa sel
tumor
III. Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening
IV. Terdapat metastasis jauh ke sumsum tulang, otak, dan paru

31

ETIOLOGI
Infeksi virus hepatitis B
Sirosis hepar
Kelainan metabolik : Defisiensi Alfa-1 tripsin, tipe-1 glikogen
Drug induced
Kelainan kromosom
Terapi androgen
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri di abdomen, BB , muntah, demam
Pemeriksaan fisis
Pembesaran abdomen kanan atas
Hepatomegali
Ditemukan anemia, ikterik (jarang)
Laboratorium
Alfa feto-protein serum (> 500 ng/ml)
Biopsi : Hepatoblastoma atau karsinoma hepatoselular
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Alfa-fetoprotein serum
Foto polos abdomen, USG/CT-scan hati
Fungsi hati
Biopsi hati
PENYULIT
Umumnya terjadi post operasi
Perdarahan
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Hipofibrinogenemia
KONSULTASI
Bagian Patologi Anatomi, Radiologi, Bedah
TERAPI
Umum
Makanan gizi seimbang
Khusus
Operasi
Terapi terbaik untuk tumor yang terlokalisir (stadium I dan II)
Operasi dan kemoterapi
Setelah dilakukan operasi lanjutkan kemoterapi
Tumor stadium I (reseksi komplit), kemoterapi harus diberikan selama 1 th
Bila tumor sulit diangkat karena mempunyai ukuran yang cukup besar, maka preoperasi diberikan kemoterapi untuk mengecilkan ukuran tumor
Kombinasi kemoterapi dapat diberikan dengan pedoman sbb.:
Siklus A : Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hari ke-1
Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hari ke-2
Adriamisin 25 mg/m2 i.v. hari ke-1-3
Siklus A dan B bergantian setiap 3 mgg.
Siklus B : Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hari ke-1
Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hari ke-2
5- Fluorourasil 500 mg/m2 p.o. hari ke-3-9
Atau
Diulang
setiap
3 mgg.
32

Adriamisin 30 mg/m2 i.v.hari ke-1-2


Sisplatin 90 mg/m2 i.v.hari ke-1
Atau
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hari ke-1&5
Diulang
DTIC 200 mg/m2 i.v.hari ke-1-5
2
Siklofosfamid 300 mg/m i.v. hari ke-1 setiap 4
mgg.
Adriamisin 30 mg/m2 i.v.hari ke-1
Kemoterapi dan radioterapi
Pada tumor stadium lanjut (III dan IV), sekalipun tumor bersifat radioresisten
Untuk mengecilkan ukuran tumor yang cukup besar
Transplantasi hepar
Bila belum terdapat mestatasis tumor ke kelenjar limfe atau organ lain (stadium II)
Transfusi : PRC 1015 ml/kgBB, bila terdapat anemia
Penyulit
Vitamin K 5 mg/hari dan fresh frozen plasma 1015 ml/kgBB, untuk mencegah
perdarahan
Dekstrosa 10% dalam 0,25% NaCl infus, untuk mencegah hipoglikemia
Human albumin 25% 1 g/kgBB/24jam untuk hipoalbuminemia
PROGNOSIS
Tergantung stadium
Hepatoblastoma bila dapat diangkat komplit survival rate 60%
Karsinoma hepatoselular survival rate 33%
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Bowman LC. Neoplasma of the liver. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
1472-3.
Hay WW. Hepatoma. Dalam: Hay WW, Grothvis JR, Anthony, Lewis JM, penyunting. Current
pediatric diagnosis & treatment; edisi ke-12. Colorado: Appleton & Lange, 1995; 671-2.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology; edisi ke-2. New York: Churchill
Livingstone, 1995; 547-56.
Leventhal BG. Neoplasma of the liver. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 1316-7.
Rowe MI, ONell JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG. Liver tumor. Essential of
pediatrics surgery. St. Louis: Mosby Co,1995; 278-85.

33

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

BATASAN
Penyakit multiorgan yang bersifat periodik, ditandai dengan adanya inflamasi pembuluh
darah dan jaringan ikat yang menyebar di seluruh tubuh
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, perjalanan penyakitnya sukar diikuti dan tidak dapat
disembuhkan
KLASIFIKASI
Lupus laten
LES
Lupus diskoid
Lupus obat
Lupus stadium lanjut
Sindroma anti fosfolipid (SAF)
ETIOLOGI
Tidak diketahui, kecuali pada tipe tertentu misalnya drug induced LES
Faktor risiko genetik dan lingkungan dapat mencetuskan manifestasi klinis, antara lain
Genetik
Hormonal
Sinar ultra violet
Imunitas
Obat tertentu
Stres
Infeksi
KRITERIA DIAGNOSIS
Bila ditemukan 4 dari 11 kriteria menurut American Rheumatism Association (ARA), maka
diagnosis LES dapat ditegakkan
1. Bercak malar (butterfly rash)
2. Bercak diskoid
3. Fotosensitif
4. Ulser mulut/hidung biasanya tidak sakit
5. Artritis non erosif
6. Nefritis
Proteinuria > 0,5 g/hari
Sedimen urin : Eritrosit/leukosit/Hb
7. Ensefalopati/kelainan neurologik
Konvulsi bukan karena
Obat
Kelainan metabolik
Gangguan elektrolit
Psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Lekopenia
Trombositopenia
10. Salah satu kelainan imunologik
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Sel LE (+)
Tes sifilis (+) palsu
11. Tes ANA (+)

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit paru seperti TB
Penyakit ginjal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Hb, leukosit, dan trombosit
Anemia, leukopenia dan trombositopenia. merupakan keadaan yang didapatkan pada
anak dengan LES
Anemia dan leukopenia terjadi pada 50% anak
Trombositopenia terjadi pada 15% anak
LED dan CRP
Merupakan indikator reaksi inflamasi nonspesifik
Pada LES, keduanya sering
Retikulosit
PT dan PTT
Biasanya memanjang
Hal ini disebabkan adanya circulating anticoagulant yang menghambat aktivitas
prothrombin activator complex
Komplemen C3, C4 dan CH50
Selama masa aktif, fraksi komplemen akan terpakai sehingga kadar komplemen akan
terutama bila disertai gangguan ginjal
Kadar komplemen C3 dan C4 bersama-sama dengan anti ds-DNA dapat dipakai
untuk menilai respons terapi dan aktivitas penyakit terutama pada penderita dengan
lupus nefritis
Uji Coomb
Positif pada 10% penderita dengan anemia hemolitik
Positif pada 30% penderita tanpa anemia hemolitik
Uji ANA (antibodi antinuklear)
Merupakan pemeriksaan skrining LES yang sangat membantu
Akan positif pada semua anak dengan penyakit yang aktif
Hasil positif bukan merupakan dasar diagnosis LES
Anti ds-DNA
Terdapat pada 50-70% anak LES
Lebih spesifik untuk penyakit ini dibandingkan dengan uji ANA, dan jarang terjadi
pada penyakit lain
Kenaikan titer berhubungan dengan aktivitas penyakitnya, terutama pada lupus
nefritis
Sangat bermanfaat untuk menilai respons terapi
Sel LE
Kurang sensitif dibandingkan uji ANA
Anti Smith
Hanya terdapat pada 30% penderita
Hasil positif merupakan diagnostik untuk LES
Antibodi antiplatelet
Terdapat pada 75% penderita tanpa trombositopenia
Antibodi anti-neutrofil
Menyebabkan neutropenia
Antibodi antifosfolipid
Meningkatkan risiko trombosis dan tromboemboli vena bagian dalam dengan jalan
bereaksi dengan bagian fosfolipid yang ada pada prothrombin activator complex
Antibodi antihiston
Titer yang tinggi sering dihubungkan dengan drug induced LES
Uji ATA (antibodi antitiroid)
Didapatkan pada 40% penderita LES

VDRL
Hasil positif palsu disebabkan karena adanya reaksi silang antara
antibodi
antifosfolipid dengan antibodi antikardiolipin
SGOT dan SGPT
Peningkatan ringan sesaat transaminase serum (25% penderita)
Biasanya dihubungkan dengan pengobatan aspirin
Kadar T3 dan T4
Hipotiroid didapatkan pada 10-15% penderita
Urea N dan kreatinin
Untuk menilai sejauh mana kelainan ginjal yang terjadi
Protein dan albumin darah
Harus diperiksa secara teratur pada penderita LES
Urin
Rutin (mid stream)
24 jam (total protein dan klirens kreatinin)
Biakan kuman
Fototoraks
Untuk melihat ada/tidaknya pleuritis, efusi pleura, pneumonitis akut dan infiltrasi
interstitial
Untuk melihat ada/tidaknya perikarditis, efusi perikardium dan kardiomegali
Foto persendian
Untuk menentukan ada/tidaknya artritis

Elektrokardiografi
Untuk melihat bentuk gangguan jantung
Elektroensefalografi
Untuk menentukan ada/tidaknya gangguan SSP (ensefalopati)
Biopsi kulit
Dilakukan pada penderita suspek LES dengan uji ANA (-)
Dengan lupus band test dapat dideteksi adanya deposit kompleks imunoglobulin dan
komplemen pada dermal-epidermal junction
Biopsi ginjal
Untuk menentukan derajat berat ringannya nefritis
Pemeriksaan mata
Untuk melihat cotton wool exudates, episkleritis dan skleritis
PENYULIT
Kelainan
Jantung
Paru
Otak
KONSULTASI
Tergantung organ yang terserang
Bagian Kulit dan Kelamin
Bagian Mata
TERAPI
Efektivitas obat yang digunakan pada pengobatan LES sulit untuk dievaluasi karena sering
terjadi remisi spontan
Pengobatan tergantung dari berat ringannya penyakit
A. OBAT-OBATAN
SISTEMIK
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) bila ada gejala artritis

Salisilat
Dosis < 20 kg : 8090 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3-4x bersamaan dengan
makan
> 20 kg : 6080 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3-4x bersamaan dengan
makan
Karena hepatotoksik, SGOT/SGPT harus dimonitor
Kontra indikasi
Trombositopenia
Gangguan homeostasis
Naproksen
Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari
Tolmetin sodium (Tolektin)
Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari
Hidroksiklorokuin bila kelainan dominan pada kulit/mukosa, dengan atau tanpa
artritis
Dosis 5 mg/kgBB/hari p.o. (maks.300 mg/hari)
Dosis tinggi (6-8 mg/kgBB/hari) dapat diberikan untuk mengurangi pemberian
dosis kortikosteroid
Karena bersifat toksik pada retina kontrol oftalmologik setiap 6 bl untuk melihat
degenerasi makula
Kortikosteroid
Prednison (p.o.)
Dosis rendah < 0,5 mg/kgBB/hari
Diberikan pada penderita dengan gejala
Pleuritis
Demam berkepanjangan
Kelainan kulit
Gejala konstitusional yang berat
Dosis tinggi 1-2 mg/kgBB/hari (maks. 6080 mg/hari) p.o., dibagi dalam 3-4 x
bersama dengan makanan
Diberikan pada penderita dengan
Lupus fulminan akut
Lupus nefritis akut
Lupus SSP akut
Anemia hemolitik autoimun akut
Purpura trombositopenia
Metil prednisolon (Solu-medrol) (parenteral)
Dosis 1530 mg/kgBB/hari i.v. untuk 3 hari berturut-turut
Diberikan pada penderita dengan penyakit aktif yang berat yang tidak terkontrol
dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi peroral
Obat sitotoksik/imunosupresif pada penderita yang tidak responsif atau mendapat
efek simpang yang serius pada pemberian kortikosteroid
Obat yang biasa digunakan
Azatioprin (Imuran)
: 1,252,5 mg/kgBB/hari p.o.
Siklofosfamid (Sitoksan) : 13 mg/kgBB/hari p.o.
1020 mg/kgBB/hari i.v., 13 bl
Merkaptopurin
: 50-100 mg/hari
Klorambusil (Leukeran) : 0,1 mg/kgBB/hari
Karena efek simpang yang berat antara lain sterilitas, infeksi dan keganasan, maka
penggunaan obat-obatan tersebut hanya untuk yang berat dan diberikan hati-hati
Penggunaan untuk lupus nefritis masih kontroversial, namun biasanya diberikan pada
anak dengan kelainan ginjal berat atau keterlibatan organ vital lain yang berat
(susunan saraf pusat/SSP)

TOPIKAL
Diberikan apabila ada kelainan kulit
Obat yang biasa digunakan
Betametason 0,05%
Fluosinosid 0,05%
untuk 2 minggu, selanjutnya diganti dengan hidrokortison
B. Pencegahan terhadap pemaparan sinar matahari
Sunscreen yang mengandung UV Light blocking seperti para amino benzoic acid
(PABA), antara lain
Aramis SPF 20 Sun Protector
Clinique SPF 19 Sun Block
Elizabeth Arden Sun Blocking Cream
Pakaian lengan panjang dan celana panjang serta memakai kacamata hitam
C. Fisioterapi
Segera apabila ada artritis
D. Terapi penyulit
Antihipertensi
Antikonvulsi
Antipsikotik
E. Suportif
Diet : Setiap pemberian kortikosteroid apalagi jangka panjang, harus disertai diet
rendah garam, gula, restriksi cairan dan suplemen Ca dan K
F. Pendidikan/Edukasi
Penting untuk penderita/keluarganya agar mengerti penyakit/ penyulitnya yang
mungkin terjadi, serta pentingnya berobat secara teratur
PROGNOSIS
Mayoritas kematian disebabkan oleh penyulit ginjal, otak, paru dan jantung yang berat
Dengan diagnosis dini dan terapi mutahir, 80-90% penderita dapat mencapai harapan hidup
10 th dengan kualitas hidup yang hampir normal
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Cassidy JT, Petty RE.Textbook of pediatric rheumatology, edisi ke-2. New York : Churchill
Livingstone, 1990;261-314.
Lang BA, Silverman EDA. Clinical overview of systemic lupus erythematosus in childhood .
Pediatrics in Rev ; 14:194-201.
Schaller JG. Systemic lupus erythematosus. Dalam : Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
673-6.

SINDROMA STEVENS JOHNSON


(ERITEMA MULTIFORME MAYOR)

BATASAN
Bentuk eritema multiforme bulosa yang sangat berat, tersebar luas pada kulit, selaput lendir
orifisium (mulut, lubang hidung, anus) dan mata, disertai dengan demam tinggi dan gejala
konstitusional
ETIOLOGI
Hipersensitivitas terhadap infeksi
Virus
Herpes simpleks
Campak
Influenza
Limfogranuloma venereum
Hepatitis B
Vaccinia
Adenovirus
Bakteri
Streptokokus kelompok A
Pseudomonas
Francisella tularensis
Infeksi gigi
Pneumokokus
Yersinia

Mononukleos infeksiosa
Milker's nodules
Psittacosis
Enterovirus
Mumps
Varisela/Herpes zoster
Epstein-Barr

Demam tifoid
Proteus
Vibrio parahemolyticus
Angina vincent
Legionaire

Mikobakterium : TBC, Bacille Calmette Guerin


Spirochaeta syphilis
Mycoplasma pneumonia
Protozoa : Trichomonas
Jamur : Histoplasmosis , Coccidioidomycosis, Dermatofita
Imunisasi/hiposensitisasi
Serum kuda, vaksin difteria, pertusis, polio, tifoid, campak
Hiposensitisasi serbuk sari, racun ivy
Sensitivitas terhadap
Makanan
: Margarin (emulsifying agent)
Obat-obatan/kimia : Reaksi 1-3 minggu setelah terpapar (penting pada anak)
Lokal
Sulfonamid
9-Bromofluoren
Antikolinergik tetes mata
Sistemik
Sulfonamid
Penisilin
Difenilhidantoin
Fenilbutazon
Klorpropamid
Fenobarbitalum
Fenolftalen
Tetrasiklin
Asam asetilsalisilat
Alkylating agents
Estrogen
Arsen
Etanol
Karbamazepin
Tiourasil
Kodein
Trimetadion
Kloramfenikol
Tiasetazon
Meprobamat
Glutetimid
Kinin
Isoniazid
Furosemid
Rifampisin
Glukokortikoid
Zomepirak
Simetidin
Klindamisin
Metotreksat

Tiabendazol
Etosuksimid
Fenoprofen
Sulindak
Dapson
Kaptopril
Etoposid

Ibuprofen
Benoksaprofen
Minoksidil
Metakualon
Glukagon
Fenitoin

Neoplasma (penting pada dewasa)


Leukemia, limfoma, tumor pelvis, leiomioma
Penyakit jaringan ikat : Lupus eritematosus
Rangsang fisis : Sinar matahari, sinar X terhadap tumor
Penyakit/kondisi lain
Inflamatory bowel disease, sarkoidosis, kehamilan, haid
PATOFISIOLOGI
Belum jelas
Kemungkinan kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat penggunaan obat atau infeksi sebelumnya
Trias kelainan
Kulit
Eritema, vesikel, bula atau purpura
Vesikel dan bula dapat pecah erosi luas
Penyebarannya simetris lokal general
Selaput lendir
Vesikel dan bula yang dapat pecah erosi, ekskoriasi, krusta merah kehitaman
dan pseudomembran pada mulut/bibir (paling sering), lubang genital, hidung atau
anus. Juga dapat terjadi pada faring, saluran nafas bagian atas dan esofagus
Mata
Konjungtivitis kataralis atau purulenta, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis,
iridosiklitis atau uveitis. Pada kornea dapat terbentuk vesikel, erosi, ulkus, perforasi,
kekeruhan dan berakhir dengan kebutaan
DIAGNOSIS BANDING
Nekrolisis epidermal toksik (NET)
Erupsi bulosa oleh obat
Pemfigoid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada yang spesifik
Purpura
: Hb, leukosit, trombosit, waktu perdarahan dan pembekuan, tes tourniquet
Leukositosis : Kemungkinan infeksi, periksa hitung jenis dan morfologi darah tepi, dapat
dilakukan kultur darah
Eosinofilia
: Kemungkinan karena atopi
Biopsi
: Histopatologi
Imunofluoresensi
Elektrolit
Kultur
: Erosi kulit, mulut, darah dan sputum
Polymerase chain reaction (PCR) deteksi virus pada lesi kulit, bila dicurigai penyebabnya
Herpes simpleks
PENYULIT
Sepsis
Bronkopneumonia (tersering), sindroma distres pernafasan

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


Perdarahan
Kebutaan
Syok
Drug induced DM (efek simpang kortikosteroid)
Striktura esofagus
Striktura/fusi vagina, anus, uretra
KONSULTASI
Bagian Kulit dan Kelamin
Bagian Mata
Bagian THT
Bagian Kebidanan dan Kandungan
TERAPI
Dirawat di PICU
Hentikan faktor penyebab
Topikal
Kulit
Kompres NaCl 0,9%/larutan burowi
Mulut
Gliserin
Kumur-kumur dengan klorheksadin
Anestesia topikal : Difenhidramin, diklonin, lidokain
Kortikosteroid
Pada keadaan sopor/koma atau tak dapat menelan
Triamsinolon asetonid 1 mg/kgBB/hari i.m. atau
Deksametason 5 mg/kali i.v., sehari 4-6 kali
Bila keadaan membaik (dapat menelan)
Prednison 1,5-2 mg/kgBB/hari p.o., dalam 4 dosis
Penyembuhan klinis tercapai kortikosteroid bertahap
Infus/transfusi
Bila terdapat vesikel dan bula yang luas infus Darrow glukosa, bergantian dengan
Dekstrosa 5%
Bila terdapat purpura bila perlu transfusi darah
Antibiotik sistemik
Indikasi : Infeksi traktus urinarius dan kulit, suspek bakteremia
Gentamisin : 5 mg/kgBB/hari i.v., dalam 2 dosis
Bila resisten terhadap gentamisin
Netilmisin sulfat 6 mg/kgBB/hari i.v., dalam 2 dosis
Diet
Rendah garam dan tinggi protein karena pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi
Na dan kehilangan protein
PENCEGAHAN
Hindarkan faktor penyebab/pencetus
Infeksi (terutama Herpes simpleks)
Penggunaan asiklovir profilaksis dapat dibenarkan
Obat
PROGNOSIS
Tindakan tepat dan cepat baik
Penyebab utama infeksi kematian 5-15%
Rekurensi 22-37%
DAFTAR PUSTAKA

Arnold HL, Odom RB, James WD. Erythema and urticaria. Dalam : Andrew, penyunting.
Andrews diseases of the skin, clinical dermatology, 1983;6:763-73.
Darmstadt GL, Lane A. Vesicobullous disorders. Dalam : Berhman RE , Kliegman RM, Arvin
AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co,
1996;1850-2.
Djuanda A, Makarim Z. Sindroma Steven-Johnson. Maj. Kedokt. Indon, 1974; 11/12:522-6.
Elias PM, Fritsch PO. Erythema multiforme. Dalam : Fitztpatrick TB, Eisen AZ, Wolff, Freedserg
IM, Austin KF, penyunting. Dermatology in general medicine, textbook and atlas, edisi ke-3.
McGraw Hill Information Services Co, 1987;555-62.
Hurwitz S. A textbook of skin disorders of childhood and adolescence, 1981 : 392.
Jorizzo JL, Hurley HY. Dermatology, edisi ke-3. Philadelphia : WB Saunders Co, 1992;580-3.
Morrison L, Hanifin JM. Dermatologic disorders. Dalam : Stiehm ER, penyunting. Immunologic
disorders in infant and children, edisi ke-4. Philadelphia : WB Saunders Co, 1990;649-51.

ANAFILAKSIS/ANAFILAKTOID

BATASAN
Anafilaksis
Respons klinis akut, sangat berat, berpotensi mengancam kehidupan, menyerang
berbagai organ tubuh akibat reaksi hipersensitivitas tipe I (atopi), yang merupakan efek
farmakologik zat mediator yang dilepaskan dengan cepat dari sel mast dan basofil
karena interaksi alergen dengan antibodi IgE spesifik yang terikat pada sel tersebut
Anafilaktoid
Gejala klinis sama dengan anafilaksi
Pelepasan mediator karena efek langsung terhadap sel mast dan basofil, bukan karena
interaksi alergen dan IgE
KLASIFIKASI
Secara imunopatologik reaksi anafilaksi/anafilaktoid dibagi menjadi
Yang diperankan oleh IgE atau IgG
Karena lepasnya mediator secara langsung
Transfusi
Yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain
ETIOLOGI
Antibiotik
Penisilin dan derivatnya
Basitrasin
Neomisin
Tetrasiklin
Streptomisin, dll
Ekstrak alergen
Rumput-rumputan atau jamur
Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)
Bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis
Zat radioopak
Bromsulfalein
Benzilpenisiloil-polilisin
Bisa (racun)
Ular
Semut api
Lebah
Kumbang
Darah

Lengkap
Produk
Gamaglobulin
Kriopresipitat
Serum
Imunoglobulin i.v.
Makanan
Susu sapi
Kerang
Kacang-kacangan
Ikan
Telur
Udang
Lateks
PATOGENESIS
Reaksi hipersensitivitas tipe I
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi
Pemeriksaan darah lengkap
Ht hemokonsentrasi
SGOT
Kerusakan miokardium
CPK (fosfokinase kreatin)
LDH (dehidrogenase laktat)
Foto toraks
Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru
EKG
Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium)
Depresi gelombang S-T
Bundle branch block
Fibrilasi atrium
Berbagai aritmia ventrikular
TERAPI
Tindakan harus segera
Resusitasi kardiopulmonal
Trakeostomi sesuai indikasi
Adrenalin (epinefrin) 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000), bila perlu ulangi
dengan interval 15-30 menit
Bila syok/kolaps vaskular 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan 1:10.000), suntikan
perlahan-lahan (1-2 menit)
Bila penyebabnya suntikan adrenalin 0,10,2 ml (larutan 1:1000) s.k. pada daerah
suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen
Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan)
Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang disuntikkan pada
ekstremitas
Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit
O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi
Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung
Difenhidramin 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-lahan selama 5-10
menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah keadaan gawat teratasi

10

Bila penderita masih hipotensi, dispnea, gawat rawat di PICU


Cairan intravena
Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan
perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling lama 2 jam
Setelah syok teratasi, infus diteruskan sesuai berat badan dan umur anak
Aminofilin
Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam dekstrosa 5%
paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-20 menit)
Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB/jam atau 4-5
mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam. Kalau memungkinkan, monitor
kadar aminofilin darah
Vasopresor
Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah ini
Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis tunggal, i.v.
secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi aritmia jantung,
hentikan segera
Dosis dapat diulang
Levaterenol bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan
0,5 ml/menit
Dopamin
Berikan bersama infus, kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam
Kortikosteroid
Diberikan setelah fase akut teratasi, memperpendek lama sakit dan mencegah
rekurensi
Hidrokortison 7-10 mg/kgBB i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam. Hentikan
setelah 2-3 hari
Suportif
Setelah stabil

PENCEGAHAN
Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan
Anamnesis teliti mengenai alergi obat
Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat
Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o.
daripada suntikan
Bacalah label obat dengan teliti
Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur
Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva
Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Frick OL. Immediate hypersensitivity. Dalam: Stites DP, Fudenberg HH, penyunting. Basic
clinical immunology. Singapore : Lange/Maruzen, 1984; 241-70.
Henson PM. Mechanisms of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti
JA, penyunting. Immunology II, edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co, 1985;218-60.
Saxon A. Immediate hypersensitivity : approach to diagnosis. Dalam: Lawlor GJ, Fisher TJ,
penyunting. Manual of allergy and immunology diagnosis and therapy, edisi ke-2. Boston: Little
Brown, 1988;15-35.

11

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL


(ARJ)

BATASAN
Penyakit (kelompok penyakit) yang ditandai dengan artritis kronik disertai sejumlah
manifestasi ekstra artikular
Artritis disebabkan oleh inflamasi sinovia, bersifat asimetris, kronik, menetap pada lebih dari
satu sendi selama beberapa minggu/bl/ th
KLASIFIKASI
Berdasarkan gangguan fungsional
Klas I : Melaksanakan seluruh aktivitas
Klas II : Melaksanakan secara adekuat dengan beberapa keterbatasan
Klas III : Aktivitas hanya terbatas pada pemeliharaan diri
Klas IV : Tergantung/terikat kursi roda atau tempat tidur
Berdasarkan manifestasi klinis menurut American Rheumatism
Association (ARA)
Tabel 16. Pembagian JRA menurut ARA
Sub
Kelompok
Sistemik

+O:O

Onset
Semua
umur

Kelainan
sendi
Banyak sendi,
besar dan kecil

Laboratorium
ANA (-)
RF(-)

Kelainan
Ekstraartikular
Demam tinggi,
ruam,
poliserositis,
organomegali,
leukositosis

20

8/10

Poliartritis
RF negatif

25-30

8/1

Semua
umur

Banyak sendi,
besar dan kecil

ANA 25%
RF (-)

Subfebris,
malaise,
anemia ringan

Poliartritis
RF positif

10

6/1

Akhir
masa
anak

Banyak sendi,
besar dan kecil

ANA 75%
RF 100%

Subfebris,
malaise, nodul
reumatoid

Oligoartritis
iridosiklitis
kronik
(tipe I)

25

7/1

Awal
masa
anak

Beberapa sendi
besar (femur &
sakroiliaka)

ANA 50%
RF(-)

Gejala
konstitusional,
iridosiklitis
kronik 50%

Oligoartritis
sakroilietis
(tipe II)

15-20

1/10

Akhir
masa
anak

Beberapa sendi
besar (femur &
sakroiliaka)

ANA (-)
RF (-)
HLA-B27
75%

Gejala
konstitusional,
iridosiklitis akut
5-10% pada
masa anak

ETIOLOGI
Belum diketahui pasti

12

PATOGENESIS
Masih memerlukan penelitian lebih lanjut
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya peranan
Faktor genetik
HLA-AR
banyak ditemukan
HLA-DRw 8; dengan alel DRB1 * 0801
pada tipe oligoartritis
HLA-DPw 2; dengan alel DPB1 * 0201
HLA-DRB1*1104, disertai risiko kelainan iridosiklitis yang meningkat
HLA-DRB 1 * 0801
berhubungan dengan progresivitas
HLA-DRB 1 * 1301
dari oligoartritis menjadi poliartritis
HLA-DR 4, lebih banyak ditemukan pada tipe poliartritis dengan faktor reumatoid (+)
Reaktivitas imun selular
Ditemukan adanya reaktivitas sel limfosit T dalam darah dan cairan sinovia terhadap
beberapa antigen bakteri pada penderita oligoartritis tipe II
Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya infeksi pada penderita yang rentan secara genetik
dapat menyebabkan artritis kronik
KRITERIA DIAGNOSIS
Menurut ARA
Onset pada umur < 16 th
Artritis pada > 1 sendi
Definisi
Pembengkakan atau efusi pada sendi
Adanya > 2 tanda pada sendi
Keterbatasan gerakan
Nyeri tekan atau nyeri pada pergerakan
Palpasi lebih panas (kalor)
Lama sakit > 6 minggu
Tipe onset penyakit selama 6 bl pertama di klasifikasi sebagai
Poliartritis (> 4 sendi)
Oligoartritis ( 4 sendi)
Penyakit sistemik artritis desertai demam intermiten
Eksklusi bentuk artritis juvenil lain
DIAGNOSIS BANDING
Demam reumatik akut/artritis reumatik (DRA/AR)
Artritis reaktif streptokokus (ARS)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik untuk ARJ
Berguna untuk menyingkirkan penyakit lain
Hb
Pada umumnya anemia ringan
Anemia berat dapat terjadi pada penyakit sistemik yang berat
Sebab anemia mungkin
Hipoproliferasi eritrosit
Defisiensi Fe
Destruksi eritrosit
Perdarahan saluran cerna (efek simpang obat)
Bila anemia (+), skrining jenis anemianya (hemolitik, hipoplastik, Fe defisiensi, post
hemoragik)
Trombosit
pansitopenia pada terapi metotreksat
Leukosit
monitor tiap minggu
Eritrosit

13

SGOT dan SGPT pada pemberian OAINS dan metotreksat (mengalami hepatotoksik)
monitor tiap 4-6 minggu
Bernilai rendah untuk
LED
: Umumnya meninggi pada fase aktif
memonitor
perjalanan
Pada oligoartritis sering normal
penyakit
CRP : Dapat pada fase aktif
ASTO : Post infeksi streptokokus DD/ dengan DRA/RA dan ARS
ANA (antinuclear antibody)
(+) : Risiko terjadinya iridosiklitis lebih tinggi indikasi segera untuk konsultasi dengan
Bagian Mata
(Lihat tabel klasifikasi berdasarkan ARA)
RF (rheumatoid factor)
(+) : Hanya pada 5-10% penderita ARJ
Indikasi fisioterapi lebih intensif mencegah terjadinya fusi dan deformitas.
Tidak spesifik untuk diagnostik ARJ
(Lihat tabel klasifikasi berdasarkan ARA)
C3, titer (berbeda dengan pada dewasa)
Analisis cairan sendi
Indikasi : Bila cairan sendi berlebihan
Penting untuk DD/ atau eksklusi penyakit lain
ARJ : Agak keruh, warna kuning hijau, leukosit (5.000-8.000/mm3) dengan predominan
PMN
Patologi Anatomi
Biopsi sinovium, tidak biasa dilakukan histologik
Tidak spesifik
Berguna untuk eksklusi
Artritis septik kronik
Artritis tuberkulosa
Sarkoidosis
Tumor sinovia
Radiografi/radiologi
Sendi
Deteksi kerusakan sendi/tulang yang berdekatan
Th pertama
Edema jaringan lunak, osteoporosis periartikularis, kadang-kadang periostitis
juksta-artikularis
Lebih lanjut
Kerusakan sendi, hilangnya cartilage space, erosi subkondrium tulang
Deformitas dan fusi tulang-tulang yang berdekatan
Toraks
Dapat terjadi pleuritis ringan, perikarditis pada onset sistemik
CT scan
Tulang, DD/dengan infeksi, keganasan
USG
Berguna untuk deteksi efusi sendi, penebalan sinovia, kista poplitea pada sendi lutut
MRI
Lebih sensitif untuk deteksi
Kehilangan kartilago atau erosi tulang yang terlalu kecil dan belum terlihat pada
radiografi
Sinovitis
PENYULIT
Gangguan fungsi sendi
Kontraktur
Fusi tulang sendi
Iridosiklitis kronik, kerusakan mata, buta (30% pada oligoartritis tipe I)

14

Spondiloartropati kronik (pada oligoartritis tipe II)


Gangguan
Psikologik
Sosial
Amiloidosis (6% penderita)
Iatrogenik
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Asam asetil salisilat
Gastritis
Ulkus peptikum
Perdarahan mikroskopik gastrointestinalis (karena gangguan agregasi trombosit)
Salisilism
Hepatotoksik : SGOT dan SGPT
Sindroma Reye
Pencegahan hentikan salisilat, bila terpapar infeksi varisela, morbili atau
menderita penyakit serupa influenza
OAINS lainnya
Iritasi lambung, ulkus peptikum, hepatotoksik, nefrotoksik, gangguan fungsi
trombosit, sakit kepala, disfungsi SSP
Khusus pada naproksen : Scarring pseudoporphyria kulit rentan terhadap
goresan, terutama kulit berwarna terang, bila terpapar sinar matahari

Kortikosteroid
Destruksi kartilago
Nekrosis aseptik tulang, khususnya pada capitis femoris
Supresi adrenal menghambat pertumbuhan
Rekurensi
Hidroksiklorokuin
Deposisi obat pada
Mata
Kornea
Bersifat ireversibel
Retina degenerasi makula
Kulit : Muddy appearance (keruh seperti lumpur)
Metotreksat
Gangguan saluran cerna
Ulkus oral
Supresi sumsum tulang pansitopenia
Alopesia
Hepatotoksik
Transaminase serum
Kerusakan permanen jarang terjadi pada anak
Fibrosis paru (jarang terjadi)
Garam emas
Ruam
Lesi/ulkus membran mukosa
Leukopenia
Trombositopenia
Anemia
Proteinuria
KONSULTASI
Bagian Bedah Tulang
Bagian Rehabilitasi Medik
Bagian Mata
Genetik

15

Bagian Bedah Mulut


TERAPI
OAINS
Gunakan secara rutin sebagai anti inflamasi (bukan hanya untuk antipiretik/analgetik)
Bila respons kurang efektif/gagal (setelah 2-3 bl) diganti jenis OAINS lain
Jangan menggunakan kombinasi > 1 jenis OAINS
Preparat yang biasa digunakan :
Asam asetil salisilat (aspirin)
Dosis
Berat badan < 25 kg, 100 mg/kgBB/hari p.o., dalam 3-4 dosis bersama
makanan
Berat badan > 25 kg, total 2,4-3,6 g/hari
Untuk mengatasi efek simpang terhadap saluran cerna, dapat diberi tambahan
terapi protektif antasida, H2-blocker
Bila tidak efektif, setelah penggunaan rutin selama 2-3 bl, ganti OAINS lain
Tolmetin sodium
Dosis 15-30 mg/kgBB/hari p.o., dalam 4 dosis, maks. 1800 mg/hari
Naproksen
Dosis 10-20 mg/kgBB/hari p.o., dalam 2-3 dosis, maks. 1250 mg/hari
Sulfasalazin (kombinasi 5-aminosalicylic acid + sulfapyridane)
Dosis 10 mg/kgBB/hari p.o., ditingkatkan tiap minggu sebesar 10 mg/kgBB/hari
sampai efektivitas tercapai, dosis maks. 30-50 mg/kgBB/hari
Diperlukan uji terapi selama minimal 3 bl, untuk mengetahui efektivitas obat
Metotreksat
Dosis 10 mg/m2/minggu p.o./i.m.
Indikasi pada penderita non responsif terhadap OAINS
Sarat : Monitor klinis dan laboratorium sehubungan dengan efek simpang
Pemeriksaan darah
Hb, Ht, eritrosit, leukosit, trombosit, hitung jenis setiap minggu dan sebelum
pemberian obat
SGOT/SGPT tiap 4-6 minggu
Pemeriksaan fungsi ginjal
Chrysotherapy (garam emas)
Gold sodium thiomalate dan Aurothioglucose
parenteral myochrysine : 1 mg/kgBB/kali, tiap minggu
peroral
auronofin
Hidroksiklorokuin (Plaquenil)
Dosis 5-7 mg/kgBB/hari p.o., dosis tunggal, maks. 300 mg/hari
Konsultasi ke Bagian Mata begitu pengobatan dimulai
Untuk mencegah kebutaan yang ireversibel monitor lapang pandang secara teratur
Kortikosteroid
Sebaiknya dihindarkan, hanya pada indikasi tertentu
Penyulit gawat yang mengancam hidup
Tipe onset sistemik berat yang non responsif terhadap OAINS
Iridosiklitis yang tak teratasi dengan kortikosteroid topikal
Gangguan pita suara
Pemberian intraartikular
Perikarditis/miokarditis dekompensasio kordis
Dosis sangat bervariasi
Gunakan dosis minimal efektif selama fase aktif
Terapi > 5 hari diperlukan penurunan secara bertahap dalam penghentiannya
Preparat yang biasa digunakan
Prednison
Dosis rendah : < 0,5 mg/kgBB/hari p.o.
Dosis tinggi : 1-2 mg/kgBB/hari p.o.

16

pada miokarditis, perikarditis, dekompensasio kordis


Dosis tunggal/alternate
Bila peradangan akut/gejala hilang > 5 hari, dosis diturunkan secara bertahap
Metil prednisolon
Indikasi : Kehidupan terancam
Dosis 30 mg/kgBB/kali i.v. bolus, maks. 1 g/kali, tiap hari selama 5 hari berturutturut
Triamcinolon hexacitonide
Dosis 40 mg intraartikular
Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Dosis 1,5-2,0 g/kgBB, maksimal 100 g
Selama 2 bl pertama 2 kali/bl, dilanjutkan 1 kali/bl sampai 6 bl
Terapi fisis dan kerja (sedini mungkin)

17

Iridosiklitis yang dapat menyebabkan


kebutaan atau penyakit sistemik yang
mengancam kehidupan (perikarditis) ?

Steroid bolus,
dilanjutkan oral

Ya

Tidak
O A I N S + fisioterapi

Respons adekuat dalam 6 minggu

Lanjutkan

Ya

Tidak

Kontraktur atau sinovitis pada


beberapa sendi ?

Ya

Tambahkan steroid intraartikular


dan fisioterapi secara intensif

Tidak

Respons adekuat dalam 6 minggu ?

Tidak
O A I N S diganti,
fisioterapi intensif

Respons adekuat dalam 6


minggu ?

Ya

Lanjutkan O A I N S dan fisioterapi

Tidak
Oligo

Poli, sistemik

Ya

Tambahkan MTX 10 mg/m2/minggu


Pertimbangkan pemberian steroid
jangka pendek (4-8 minggu) bila
Hb < 6,5 g%

Respons adekuat dalam 3 bl

Tidak

Tidak

Lanjutkan

Pertimbangkan pengobatan
eksperimental sitotoksik, atau
kombinasi
Respons adekuat dalam 3 bl ?

Dosis MTX dinaikkan sampai maksimum


50 mg atau 1 mg/kg/minggu.
Bila dosis > 15 mg/m2, s.k.

Ya

Lanjutkan

Gambar 20. Algoritma Penatalaksanaan ARJ


(dikutip dari Giannini dan Cawkwell, 1955)
PENCEGAHAN
Pemeriksaan dengan slit lamp pada tiap kunjungan
Pada penyakit sistemik dan poliartritis minimal tiap th
Oligoartritis minimal tiap 3 bl
KONSULTASI
Bagian Mata
PROGNOSIS

18

Pada umumnya baik


Dengan perawatan/terapi adekuat selama periode penyakit aktif kecacatan dapat dicegah
pada 75% penderita
Amiloidosis dapat berakhir dengan kematian (2-4%) akibat gagal ginjal
Poliartritis seronegatif [RF (-)] 80-90% baik tanpa cacat saat dewasa
Poliartritis seropositif [RF (+)] 50% berlanjut dengan artritis destruktif persisten disertai
gangguan fungsi sendi
ARJ sistemik 25% berkembang menjadi artritis seronegatif berat dengan gangguan fungsi
sendi
Oligoartritis tipe I
Pada umumnya fungsi sendi berakhir baik
Menjadi poliartritis berat 10-20%
30% menderita iridosiklitis kerusakan mata
Oligoartritis tipe II
Prognosis tidak tetap
Sejumlah besar mungkin menderita spondyloarthropathy dimasa anak, meskipun tanpa
gangguan fungsi yang hebat
Morbiditas jangka panjang ARJ
Kerusakan iatrogenik terutama kortikosteroid
Gangguan psikososial akibat penyakit kronik
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Ashman RF. Manual of allergy and immunology, edisi ke-1. Little Brown & Co. Tokyo Asian.
Medical sciences international ltd. Co, 1981;291.
Brewer EJ. Pitfalls in the diagnosis of juvenile rheumatoid arthritis. Pediatr. Clin. North Am,
1988;33:1022.
Cassidy JT, Petty RE.Textbook of paediatric rheumatology, edisi ke-2. New York: Churchil
Livingstone, 1990;113-200.
Giannini EH, Cawkwell GD. Drug treatment in children with juvenile rheumatoid arthritis : past,
present and future. Pediatr Clin North Am. 1995; 42:1099-126.
Schaller JG. Juvenile rheumatoid arthritis. Dalam: Begrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
661-70.
Schaller JG, Szer I. Rheumatic disorders. Dalam: Stiehm ER, penyunting. Immunologic
disorders in infants and children; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;551-9.
Tucker LB, Miller LC, Schaller JG. Rheumatic disorders Dalam: Stiehm ER, penyunting.
Immunologic disorders in infants and children; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co,
1996;752-60.

SARKOIDOSIS

BATASAN
Gangguan multisistem berupa jaringan granulomatosa yang tidak diketahui penyebabnya,
umumnya terjadi pada dewasa muda dengan gejala klinis yang paling sering terjadi berupa
limfadenopati bilateral pada hilus, infiltrasi ke jaringan paru, lesi pada kulit atau mata
ETIOLOGI
Belum diketahui pasti

19

PATOGENESIS
Faktor kombinasi antara lingkungan dengan pejamu, antara lain
Infeksi virus dan mikobakterium
Genetik
Lingkungan
KRITERIA DIAGNOSIS
Gambaran klinis
Laboratorium (tidak mempunyai gambaran khas), biasanya
Hiperglobulinemia
LED
Eosinofilia
Leukopenia
Hiperkalsemia
Hiperkalsiuria
Tes fungsi hati
Titer fiksasi komplemen
Radiologik
Gambaran radiologik toraks dibedakan menjadi 4 stadium
Stadium 0 : Gambaran paru normal
1 : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus bilateral tanpa kelainan
paru
2 : Pembesaran KGB hilus bilateral disertai infiltrasi ke paru, berupa nodul
milier atau cotton-wool appearance
3 : Fibrosis parenkim paru dan bula dengan/tanpa disertai pembesaran KGB

Histologik : Granulomatous noncaseating, terdiri dari sel epiteloid yang membentuk


tuberkel tanpa nekrosis.
Bahan : KGB perifer, KGB mediastinum, kulit, otot, tulang, paru, hati, konjungtiva,
kelenjar ludah minor dan mukosa hidung
Tes kulit Kveim-Siltzbach (+)
Tes tuberkulin (-)
Imunoglobulin normal atau
Bilasan bronkoalveolar
Limfositosis, terutama limfosit T
T helper : T supresor = 10 : 1

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis
Penyakit yang disebabkan oleh mikroba dan jamur
Keganasan
Reaksi alergi
Proses autoimun
Idiophatic pulmonary fibrosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Angiotensin-converting enzym serum
Kontras galium (menilai aktivitas paru)
TERAPI
Spesifik belum ada
Banyak penderita yang sembuh sendiri
Kortikosteroid
Hanya simtomatik

20

Menekan proses granuloma dan mencegah terjadinya lesi yang menetap


Prednison/prednisolon
Dosis inisial : 40-60 mg/hari (1-2 mg/kgBB/hari), dibagi 3-4 dosis p.o.
Dosis diturunkan secara bertahap setelah manifestasi klinis hilang
Dosis rumatan : 10-20 mg/hari sampai paling sedikit 6 bl
Triamsinolon
Dosis 0,75 mg/kgBB/hari, dibagi 3-4 dosis p.o.
Kelainan mata
Kortikosteroid topikal (salep atau tetes mata 0,5-1%) + preparat atropin 1%,
disertai terapi sistemik
Kelainan kulit
Kortikosteroid topikal disertai terapi sistemik
Obat pengganti
Oksifenbutazon
Klorokuin
Potassium para-aminobenzoat
Azatioprin
Metotreksat
Colchichine

PROGNOSIS
Berhubungan dengan onset penyakit
Akut disertai eritema nodosum sembuh spontan
Perlahan timbul jaringan fibrosis yang progresif
Pemberian kortikosteroid
Meredakan gejala serta menekan proses inflamasi dan pembentukan granuloma
Kebanyakan berjalan jinak, tetapi dapat menjadi ganas kanker paru & limfoma
Gejala sisa
Kebutaan
Penyakit paru restriktif yang berat
Kematian karena penyakit paru berat
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Arnold WJ. Sarcoidosis. Dalam: Kelley WN, Harris ED JR, Ruddy S, Sledge CB, penyunting.
Textbook of rheumatology; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co, 1993;1429-33.
Bravermann IM. Sarcoidosis. Dalam: Bravermann IM, penyunting. Skin and sign of systemic
disease; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981;516-30.
Fieselmann JF, Richerson HB. Respiratory diseases. Dalam: Stites DP, Terr AI, Parslow TG,
penyunting. Basic and clinical immunology; edisi ke-8. Norwalk: Appleton & Lange, 1994;533-4.
Hedfors E. Sarcoidosis. Dalam: Parker CW, penyunting. Clinical immunology; edisi ke-1.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1980;556-80.
Pattishall EN, Kendig EL Jr. Sarcoidosis. Dalam: Chernik V, Kendig EL Jr, penyunting.
Kendig's disorders of the respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co,
1990;769-80.
Stanberg ET, Klien MW, Shearer WT. The secondary immunodeficiencies. Dalam: Stehm ER,
penyunting. Immunologic disorders in infant & children; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders
Co, 1996;575-7.

HENOCH SCHONLEIN PURPURA (HSP)

21

BATASAN
Penyakit yang ditandai purpura, artritis, nyeri abdomen dan nefritis tanpa disertai
trombositopenia. Manifestasi primer penyakit ini terjadi akibat adanya vaskulitis pada
pembuluh darah kecil
ETIOLOGI
Belum diketahui
KRITERIA DIAGNOSIS
Bila ditemukan minimal 2 dari 4 kriteria menurut The American College of Rheumatology
1990
Purpura non trombositopenia
Umur 20 th pada saat onset
Gejala abdominal/gangguan saluran cerna
Ditemukan sel granulosit pada biopsi
Laboratorium
LED
Leukosit , ditemukan eosinofilia
DIAGNOSIS BANDING
Tergantung gejala yang lebih menonjol
Purpura dengan penyakit diatesis hemorhagik (ITP) atau sepsis
Gejala abdominal dengan akut abdomen
Nefritis dengan glomerulonefritis akut
Artritis dengan artritis reumatoid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
IgA serum
Urin rutin
: Untuk melihat kelainan ginjal (diperiksa tiap 3 hari)
Feses rutin : Untuk melihat perdarahan saluran cerna (tes Guaiac /benzidine)
Radiologi : Bila ada gejala akut abdomen atau artritis
PENYULIT
Perdarahan saluran cerna, obstruksi, intususepsi dan perforasi
Gagal ginjal akut
Gangguan neurologik
TERAPI
Tidak ada pengobatan spesifik
Bersifat simtomatik dan suportif
Penggunaan asam asetil salisilat harus dihindarkan, karena dapat menyebabkan
gangguan fungsi trombosit
Petekia bertambah banyak
Perdarahan saluran cerna
Prednison : 12 mg/kgBB/hari p.o. dalam 34 dosis selama 5-7 hari
Penyakit dengan gejala sangat berat
Artritis
Manifestasi vaskulitis pada SSP, paru, testis
Nyeri abdomen
Perdarahan saluran cerna
Sindroma nefrotik
Pemberian dini pada fase akut dapat mencegah perdarahan, obstruksi, intususepsi
dan perforasi saluran cerna

22

PROGNOSIS
Bervariasi, tergantung beratnya gejala klinis
Bila timbul penyulit pada saluran cerna, gagal ginjal akut, atau gangguan neurologik pada
fase akut dapat timbul kematian , walaupun hal ini jarang terjadi
Dapat timbul remisi dan eksaserbasi
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Hurwitz S. Collagen vascular diseases of childhood. Ped Clin North Am 1991,38;1019-39.
Lanzkowsky S, Lanzkowsky L, Lanzkowsky P. Henoch-schonlein purpura. Pediatr Rev
1992,13;130-7.
Schaller JG. Henoch-schonlein purpura. Dalam: Berhman R.E, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
676-82.

URTIKARIA/ANGIOEDEMA

BATASAN
Urtikaria
Kelainan kulit yang berbatas jelas ditandai oleh peninggian kulit (bagian atas korium)
yang berwarna merah (eritema) atau kepucatan, biasanya disertai dengan gatal
Angioedema
Lesi yang sama tapi terutama mengenai jaringan subkutan yang
dalam dan biasanya tidak disertai dengan gatal
KLASIFIKASI
Berdasarkan lamanya gejala
Urtikaria akut : Berlangsung < 6 minggu
Urtikaria kronik : Berlangsung > 6 minggu
Berdasarkan etiologi
Imunologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Anafilaktoid
Angioedema herediter
Zat yang menyebabkan lepasnya histamin
Zat kontras untuk X-ray
Opiat : Kodein, morfin
Zat anti infeksi : Klortetrasiklin, polimiksin, quinin
Muscle relaxant : Kurare
Obat vasoaktif : Atropin, amfetamin, hidralazin
Lain-lain : Garam empedu, tiamin, dekstran, deferoksamin
Makanan : Putih telur, tomat, lobster, dll
Aspirin
Fisis
Dermatografia
Cold urticaria

23

Cholinergic urticaria
Heat urticaria
Solar urticaria
Pressure urticaria dan angioedema
Vibratory angioedema
Aquagenic urticaria
Lain-lain
Urtikaria papula
Urtikaria pigmentosa
Mastositosis sistemik
Urtikaria karena infeksi
Urtikaria menyertai penyakit sistemik
Faktor psikogenik
Urtikaria dan angioedema idiopatik
PATOFISIOLOGI
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (reaksi anafilaksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 (sitotoksik)
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 (imun kompleks)
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak atau penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi
Kelainan kulit yang khas
KONSULTASI
Bagian Kulit dan Kelamin
TERAPI
Urtikaria akut
Idealnya adalah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi hal ini sering
tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari faktor yang memberatkan timbulnya
gejala
Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberikan antihistamin H1
Bila tidak ada perbaikan dapat ditambahkan kortikosteroid oral jangka pendek
Pada kasus berat dengan gejala distres pernafasan, asma atau edema laring
diberikan pengobatan adrenalin s.k., kortikosteroid p.o. atau parenteral dan
antihistamin H1 i.m.
Urtikaria kronik
Idealnya adalah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi hal ini sering
tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari faktor yang memberatkan gejala
Harus dikelola oleh dokter spesialis
Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberikan antihistamin H1
Bila tidak ada perbaikan dapat diberikan
Kombinasi antihistamin H1 non sedasi dan sedasi (pada malam hari)
Kombinasi antihistamin H1 dengan anti depresan trisiklik (mis. doksepin)
Kombinasi antihistamin H1 dan H2
Pada kasus berat diberikan antihistamin H1 ditambah kortikosteroid oral jangka
pendek
PROGNOSIS
Baik (self limitting disease)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

24

Fineman SM. Urticaria and angioedema. Dalam: Lawlor GJ, Fischer TJ, penyunting. Manual of
allergy and immunology, diagnosis and therapy; edisi ke-1. Boston: Little Brown and Co,
1981;205-14.
Monroe E. Therapy of acute and chronic urticaria. JEADV 1997,8 (Suppl 1); S11-S17.
Sly MR. Urticaria - angioedema. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM , Arvin AM, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 644-6.
Identifikasi dan hilangkan
faktor penyebab bila mungkin

Kurangi faktor non spesifik yang menyebabkan


vasodilatasi kulit : alkohol, aspirin,
latihan dan emosi

Antihistamin H 1

tidak membaik
dalam 3 minggu,
rujuk ke spesialis

Sedang-Berat

Berat
+ distres pernafasan,
asma atau edema laring

Antihistamin H 1
tidak
membaik
Adrenalin s.k.
Antihistamin H 1
Kortikosteroid oral
jangka pendek

Kortikosteroid
oral atau i.v.

tidak membaik
dalam 3 minggu,
rujuk ke spesialis

PERAWATAN SPESIALIS

Ringan

Antihistamin H 1
i.m.
tidak
membaik

Gambar 21. Algoritma Penatalaksanaan Urtikaria Akut


(dikutip dari Monroe, JEADV, 1997)

Identifikasi dan hilangkan


faktor penyebab bila mungkin

Kurangi faktor non spesifik yang dapat


menyebabkan vasodilatasi kulit : alkohol,
aspirin, latihan dan emosi

25

Tabel 17. Obat Anti Histamin


Klasifikasi
Generasi
pertama

Nama generik
Alkilamin
Klorfeniramin

Deksklorfeniramin

Dosis
0,35 mg/kgBB/hr
Untuk BB < 40 kg
2-6 th : 0,5 mg/hari, maks. 3 mg/hari
6-12 th : 1 mg/hari, maks. 6 mg/hari
diberikan 3 - 4 kali

Nama dagang
Chlorphenom
Cohistan
Dextamin
Celestamine
Lorson
Nilacetin
Polacel
Polamec
Polaramin
Polarist

26

Dimentinden

Feniramin

Etanolamin
Karbinoksamin

Dipenhidramin

Piperidin
Siproheptadin
Piperazin
Hidroksizin
Fenotiazin
Mekuitazin
Prometazin

Generasi
kedua

Kardiotoksik*
Terfenadin
Astemizol
Non Kardiotoksik
Feksofenadin
Loratadin

Setirizin
Akrivastin
Ketotifen
Azelastin
Ebastin
Levokabastin

0-1 th : 10-30 tetes


1-3 th : 30-45 tetes
> 3 th : 45-60 tetes
diberikan 2 kali/hari
sebelum sarapan dan sebelum tidur
>12 th : 15-30mg/hr
<12 th : 15 mg/hari
1-3 th : 7,5 mg/hari
diberikan 2-3 kali/hr

Yekazone
Fenistil

Avil
Benohist

6-12 th : 10 mg/hr
1-5 th : 5 mg/hari
diberikan 2 kali/hr
5 mg/kgBB/hr

Cortian
Kenantist

2 mg, 3 kali/hari

Bimacypron

2 mg/kgBB/hr

Bestalin
Ataraks
Iterak

2,5 mg/10kgBB
dibagi 2 dosis
5-10 th : 10-25 mg/hr
1-5 th : 5-15 mg/hr
dibagi 2 dosis

Meviran

3-6 th : 15 mg, 2x/hari


7-12 th : 20 mg, 2x/hari
> 12 th : 60 mg, 1x/hari
0,2 mg/kgBB/hr dosis tunggal

Seldane
Hiblorex
Nadane
Hismanal
Scantihis

> 12 th : 60 mg/hari dosis tunggal


< 2 th : 0,11- 0,21 mg/kgBB/hari
2-12 th : 5 mg/hr
> 12 th : 10 mg/hr

Telfast-BD
Claritin
Clarinase
Lesidus
Zeos

< 12 th : 0,25mg/kgBB/hr
> 12 th : 5-10 mg/hr
dibagi 2 dosis
> 12 th : 8 mg 3x/hr
> 3 th : 1 mg 2x/hr

Reactine
Riztec
Ryzen
Semprex
Zaditen
Astifen
Profilas
Astelin

0,137mg/semprot
2 semprot tiap lubang hidung/ hari
1-2 x/hari
10-30 mg
0,5 mg/ml semprot
2 semprot/ tiap lubang hidung
2-4 x/hari

Arcodryl
Benadryl
Delladryl
Inadryl
Siliadryl

Conmergan
Phenergan
Prome

Livostin

Keterangan
( * ) : Bersifat kardiotoksik bila :

Berinteraksi dengan obat :


Makrolid : Eritromisin
Klaritromisin
Obat Jamur/Imidazol : Ketokonazol
Itrakonazol
Jus Anggur

Dan atau sudah ada kelainan jantung sebelumnya

27

(dikutip dengan modifikasi dari Simons dan Simons, 1996)

ALERGI OBAT
BATASAN
Respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologik yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas, yang terjadi selama atau setelah
pemakaian obat
ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu serta tempat dan
jenis penelitian yang dilaporkan
Obat-obatan yang sering terlibat dalam reaksi alergi yaitu
Aspirin dan antiinflamasi non steroid lainnya
Antibiotik golongan -laktam
Sulfonamid
Anti tuberkulosis
Nitrofurantoin
Anti malaria
Griseofulvin
Anti konvulsan
Anestesia umum
Enzim (kimopapain, asparaginase, streptokinase)
Neuroleptik
Hidralazin
Metildopa
Kuinidin
Prokainamid
Media radiokontras
Antisera dan vaksin
Alopurinol
Penisilamin
Antitiroid
Fenoftalein
Kelompok antibiotik yang mengandung -laktam :
Sefalosporin
Monobaktams
Penisilin
Sefalotin
Aztreonam
Penisilin G
Sefazolin
Karbapenems
Penisilin V
Sefaloridin
Imipenem
Metisilin
Sefaleksin
Klavams
Oksasilin
Sefuroksim
Asam Klavulanat
Nafsilin
Seftriazon
Ampisilin
Seftazidim
Amoksisilin
Karbenisilin
Tikarsilin
Kloksasilin
PATOGENESIS
Reaksi hipersensitivitas tipe I s/d IV
KRITERIA DIAGNOSIS
Apabila reaksi hanya terjadi pada sebagian kecil dari mereka yang mendapat obat

28

Adanya periode laten antara pemberian obat dan timbulnya gejala klinis (umumnya 710
hari) setelah obat diberikan. Pada penderita yang telah tersensitasi sebelumnya, reaksi
akan timbul lebih cepat dan berat
Manifestasi klinis dapat terjadi walaupun dengan pemberian obat dalam dosis rendah
dan bila pernah terjadi, reaksi semacam akan terulang bila diberi obat yang sama atau
obat yang mempunyai struktur kimia yang sama. Manifestasi yang terjadi tidak sama
dengan efek farmakologik obat yang diberikan
Sistemik
Drug fever
Anafilaksis
Serum sickness syndrome
Drug induced lupus syndrome
Manifestasi pada paru : Drug induced asthma
Manifestasi hematologik: Drug induced hemolytic anemia, trombositopenia,
granulositopenia, eosinofilia
Manifestasi pada hepar : Kolestasis intrahepatik dan nekrosis sel hepar
Manifestasi jaringan kolagen, vaskular
Nefropati : Glomerulonefritis dan nefritis interstitial
Manifestasi neurologik
Kulit
Gambaran yang eritematosus
Urtikaria dan/angioedema
Dermatitis kontak
Fixed drug eruption
Eritema multiforme
Sindroma Steven-Johnson (eritema multiforme mayor)
Toxic epidermal necrolysis
Kelainan fotodermatitis
Gejala klinis biasanya berkurang dalam 35 hari setelah obat dihentikan
Adanya antibodi atau limfosit T yang berhubungan dengan obat atau metabolitnya
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus (eksantem subitum/roseola infantum)
Reaksi anafilaktoid
Lupus eritematosus sistemik oleh sebab lain
Dermatitis atopik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-obatan
Uji kulit
Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
Uji tempel (Patch test)
Uji provokasi
PENYULIT
Kolaps kardiovaskular : Hipotensi, syok dan koma
Obstruksi saluran pernafasan
Kerusakan hepar ireversibel
Kelainan ginjal
Kelainan saraf pusat dan perifer
Infeksi pada kelainan kulit yang luas dan berat

29

KONSULTASI
Bagian Kulit dan Kelamin
TERAPI
Penghentian obat
Jika mungkin semua obat dihentikan kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai
sebagai penyebab alergi. Jika obat harus tetap diberikan, sedangkan reaksi alerginya
berat, maka obat yang dicurigai diganti dengan obat alternatif lain yang berasal dari
golongan yang berbeda. Bila obat tersebut sangat penting dan alternatif tidak ada dapat
diberikan obat dari golongan yang sama dengan struktur kimia yang berbeda
Simtomatik
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus
Untuk pruritus dan urtikaria antihistamin
Untuk dermatitis kontak kortikosteroid topikal
Jika kelainan cukup berat adrenalin
Kortikosteroid harus diberikan pada reaksi sistemik yang berat
Suportif
Pengobatan suportif diperlukan untuk menjaga kebutuhan nutrisi, cairan dan elektrolit
Desensitisasi
Oral dan parenteral
PENCEGAHAN
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting, terutama bila mempunyai
riwayat atopi. Perlu dibuat surat keterangan tentang alergi obat tertentu
Pemakaian obat hendaknya dengan indikasi yang kuat, hindarkan obat yang dikenal sering
menimbulkan alergi
Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang
potensial dapat menjadi penyebab alergi
Uji kulit
Jika alergi terhadap obat tertentu, maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain yang
tidak memberikan reaksi silang dengan obat yang dicurigai. Jika obat sangat diperlukan
sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi
PROGNOSIS
Dengan penatalaksanaan adekuat maka prognosisnya baik, bahkan pada kasus berat
angka kematian dilaporkan 1 : 10.000 kejadian, tetapi pada sindroma Stevens-Johnson dan
toxic epidermal necrolysis keterlibatan organ visera mempunyai prognosis yang buruk,
dengan angka kematian masing-masing dapat meningkat sampai 5-15% dan 30-40%
DAFTAR PUSTAKA
Bellanti JA. Allergic drug reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III; edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1985;37988.
Blacker KL, Stern RS, Wintroub BU. Cutaneuos reactions to drugs. Dalam: Fitzpatrick TB,
Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austin KF, penyunting. Dermatology in general medicine; edisi
ke-4. New York: Mc Graw-Hill, 1993;178395.
Blaiss MS dan deShazo RD. Drug allergy. Pediatr Clin North Am 1988; 35:1133-47.
DeShazo, Kemp SF. Allergic reactions to drugs and biologic agents. JAMA 1997;278:1895-906.
Pearlman DS, Bierman CW. Allergic disorders. Dalam: Stiehm ER, penyunting. Immunologic
disorders in infant & children; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 60343.
Sly M. Allergic disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 610-56.
Sullivan TJ. Drug allergy. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF, Adkinson NF, Yunginger JW,
penyunting. Allergy principles and practice; edisi ke-3. St Louis: Mosby, 1988;1523-36.

30

Terr AI. Mechanism of hypersensitivity. Dalam: Stites DP, Terr AI, Parslow TG, penyunting. Basic
& clinical immunology; edisi ke-8. Norwalk: Appleton & Lange, 1994;314-26.
Tabel 18. Desensitisasi Oral
Dosis*
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Penisilin G (unit)
Cara
p.o.
100
p.o.
200
p.o.
400
p.o.
800
p.o.
1600
p.o.
3200
p.o.
6400
p.o.
12.500
p.o.
25.000
p.o.
50.000
p.o.
100.000
p.o.
200.000
p.o.
400.000
p.o.
800.000
Tunggu 30 menit
i.v.
100.000
15
i.v.
200.000
16
i.v.
400.000
17
i.v.
800.000
18
* Jarak waktu antara setiap dosis : 15 menit
(dikutip dari Mellon dkk.,1988)
DESENSITISASI PARENTERAL PADA PEMBERIAN PENISILIN
A.

Pembuatan larutan dengan aqueous crystalline Penisilin G


Larutan 5 juta unit sampai dengan 5 ml = 1 juta unit/ml (larutan 1)
Larutkan 1 ml larutan 1 s/d 10 ml = 100.000 unit/ml (larutan 2)
Larutkan 1 ml larutan 2 s/d 10 ml = 10.000 unit/ml (larutan 3)
Larutkan 1 ml larutan 3 s/d 10 ml = 1000 unit/ml (larutan 4)
Larutkan 1 ml larutan 4 s/d 10 ml = 100 unit/ml (larutan 5)

B.

Cara pemberian
1. Uji gores (scratch test) : 1 tetes larutan 3 pada lengan bawah bagian dalam. Jika dalam
15 menit negatif, lanjutkan pada langkah 2
2. Uji intradermal dengan 0,02 ml larutan 5. Jika negatif, lanjutkan dengan pemberian
penisilin seperti tampak pada bagan C. Catat tekanan darah, nadi dan respirasi setiap 5
menit

C. Jenis larutan
Tabel 19. Jenis Larutan
Larutan

Volume

Konsentrasi
(unit/ml)
100

0,05
0,1
0,2
0,4
0,8

Suntikan s.k. setiap 15 menit


(unit)
5
10
20
40
80

1000

0,15
0,3

150
300

31

0,6
1,0

600
1.000

10.000

0,2
0,4
0,8

2.000
4.000
8.000

100.000

0,15
0,3
0,6
1,0

15.000
30.000
60.000
100.000

1.000.000

0,2
0,4
0,8

200.000
400.000
800.000

D. Terapi penisilin G i.v. dapat dimulai pada saat ini. Diharapkan reaksi yang berat tidak terjadi,
meskipun reaksi lambat dapat terjadi
Hentikan semua obat yang tidak
mempunyai indikasi yang jelas,
perkirakan obat yang paling sering
menimbulkan alergi

Reaksi ringan

Terapi
simtomatik

Hentikan penggunaan obat yang


sering menyebabkan alergi dan
diganti dengan obat yang
mengandung rumus kimia yang
berbeda (dalam satu golongan)

Observasi perbaikannya, jika tidak ada perbaikan


segera pilih obat yang tepat berikutnya, ganti
seperti di atas dan siklus diulangi sampai
terdapat perbaikan reaksi

Reaksi berat

Hentikan penggunaan obat


yang sering menyebabkan
alergi dan diganti dengan
obat dari golongan lain

Observasi
perbaikannya

Jelaskan pada penderita tentang obat yang alergi


dan catat pada catatan medis penderita

Gambar 23. Pendekatan Penatalaksanaan Penderita Alergi jika


Mendapat Beberapa Obat
(dikutip dari Deshazo dan Kemp, 1997)

32

33

Riwayat alergi terhadap penisilin

Reaksi lambat :
Dermatitis eksfoliatif
Sindroma Stevens-Johnson
Serums sickness
Nefritis interstitial

Reaksi segera
atau reaksi akselerasi

Obat alternatif
tersedia

Menghindari penisilin

Penisilin merupakan
indikasi absolut

Pemberian obat dari kelas yang berbeda harus


hati-hati seperti : Penisilin semisintetik (ampisilin,
amoksisilin, oksasilin) dan generasi I Sefalosporin

Uji kulit dengan determinan


mayor dan minor atau
determinan mayor + Pottasium
Penicillin G

Hasil uji kulit


positif

Keadaan darurat

Desensitisasi
penisilin parenteral

Hasil uji kulit


negatif

Keadaan bukan darurat

Desensitisasi
penisilin oral

Pemberian penisilin harus


hati-hati di bawah
pengawasan riwayat alergi
terhadap penisilin

Dipertimbangkan uji ulang


sebelum pemberian berikutnya

Gambar 24. Penatalaksanaan Penderita yang Sensitif Terhadap


Penisilin yang Mendapat Antibiotik Laktam
(dikutip dari Deshazo dan Kemp, 1997)

Penentuan tipe reaksi obat yang tidak diinginkan yang pernah dialami

Tidak dapat diperkirakan

Intoleransi atau
idiosinkrasi

Dapat diperkirakan :
dosis dimodifikasi atau pilih obat lain

Hindari obat dan beri


tanda pada catatan
34

Alergik atau
pseudoalergik

Obat dari golongan lain tersedia :


gunakan obat tersebut

Gambar 25.

Pendekatan Penatalaksanaan Penderita yang Diperkirakan


akan Mendapat Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan tetapi
Harus Mendapat Pengobatan untuk Indikasi yang Sama
(dikutip dari Deshazo dan Kemp, 1997)

35

Tabel 20. Interpretasi Uji Kulit


Reaksi
(intradermal)
0

Uji Prick

Uji intrakutan

Tidak ada edema


Tidak ada eritema

Sama seperti kontrol

1+

Tidak ada edema


Eritema < 20 mm

Edema > 2 kali kontrol;


Eritema < 20 mm

2+

Tidak ada edema


Eritema > 20 mm

Edema > 2 kali kontrol


Eritema > 20 mm

3+

Edema dan eritema

Edema > 3 kali kontrol;


eritema

4+

Edema dengan
pseudopodi eritema

Keterangan :

Edema dengan pseudopodi


eritema

Uji Prick dianggap positif, bila hasil 2+


Bila hasil uji Prick 0 atau 1+ , diulang dengan menggunakan uji intrakutan (intradermal)
(dikutip dari Terr, 1994)

Tabel 21. Uji Kulit Antibiotik Laktam


Reagen uji kulit
Penicilloyl polylysine

Cara
Prick
Intradermal

Pengenceran
konsentrasi penuh
konsentrasi penuh

Dosis
1 tetes
0,02 ml

Penicllin G
potassium

Prick
Intradermal
Serial

10.000 U/ml
10.000 U/ml
10, 100, 1000 U/ml

1 tetes
0,02 ml
0,02 ml/x

Gabungan determinan
minor penisilin

Prick
Intradermal
Serial

10-2 mol/l
10-2 mol/l
10, 100, 1000 U/ml

1 tetes
0,02 ml
0,02 ml/x

Prick

0,05 , 0,1 , 0,5 , 1,0


mg/ml (uji serial)
0,1 , 0,5 , 1,0 mg/ml
(uji serial)

1 tetes/x

Penisilin lain atau


sefalosporin

Intradermal

0,02 ml/x

(dikutip dari Deshazo dan Kemp, 1997)

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

BATASAN
Suatu peradangan jaringan interstisial konjungtiva yang terjadi bilateral, berulang,
berhubungan dengan musim, terutama musim panas dan yang berperan adalah reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui IgE
KLASIFIKASI
Bentuk palpebral

36

Bentuk limbal
ETIOLOGI
Belum dapat dipastikan, diduga reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas tipe I) terhadap
beberapa alergen udara
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Penyakit terjadi pada musim panas
Adanya atopi dalam keluarga/penderita
Umur muda (< 14 th)
Klinis
Rasa gatal pada ke-2 mata
Hiperemia konjungtiva
Produksi air mata
Fotopobia, pedih, rasa ada benda asing
Cobblestones pada bentuk palpebral, Trantas dots pada limbal
Laboratorium
Kerokan konjungtiva (eosinofilia)
Kadar IgE air mata (RAST, ELISA, RIST)
Tes Kulit : Dapat positif terhadap alergen yang dicurigai
DIAGNOSIS BANDING
Rinokonjungtivitis
Keratokojungtivitis atopik
Giant papillary conjunctivitis
KONSULTASI
Bagian Mata
TERAPI
Menghindari alergen
Obat-obatan
Simtomatik
Vasacon A, 4 kali sehari 1 tetes
Na kromolin tetes mata 1-4%
Levokabastin tetes mata (Conver)
Pencegahan
Loteprednol etabonat 0,5% tetes mata
PROGNOSIS
Baik, dapat terjadi penyembuhan total, self limitted dengan perjalanan penyakit 5-10 th
DAFTAR PUSTAKA
Abelson M, Allasmith M, Friedlaender M. Effects of topically applied ocular decongestan and
antihistamine. Am J Opthalmol 1980;90:254-7.
Abelson M, Paradis A, George M, Smith L, Maguire L, Burns R. Effects of vasacona in the
allergen challenge model of acute allergy conjungtivitis, Arch Opthalmol 1990;108:520-4.
Allansmith M. Vernal conjungtivitis. Dalam: Duane T, Jaeger E, penyunting. Clinical
ophtamology; edisi perbaikan. Philadelphia: Library congress catalog, 1987;1-7.
Arentsen J. Disorders of conjungtiva in children. Dalam: Harley R, penyunting. Pediatric
opthalmology; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983;438-48.
Berman B. Cromolyn past, present, future. Peditr Clin North Am 1983;30: 915-31.

37

Dell S, Shulma D, Lowry G, Howes J. A controlled evaluation of the efficcacy and safety of
Loteprednol etabonate in the prophylactic treatment of the seasonal allergic conjungtivitis. Am J
Ophtalmol 1997;123:791-7.
Pearlman D, Bierman C. Allergic disorders. Dalam: Stiehm R, penyunting. Immunologic
disorders in infant and children; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;613-21.
Theodore F, Bloomfield S, Mondino B. The conjungtiva. Dalam: Theodore F, Bloomfield S,
Mondino B, penyunting. Clinical allergy and immunology of the eye. London: William dan Wilkins,
1983;36-62.

38

DIFTERIA

BATASAN
Penyakit infeksi akut yang disebabkan Corynebacterium diphtheriae
KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan anatomis dapat dibagi atas
Difteria nasal
Difteria kulit
Difteria tonsil
Difteria vulvovaginal
Difteria faring
Difteria konjungtiva
Difteria laring
Difteria aural
ETIOLOGI
Corynebacterium diphtheriae
PATOFISIOLOGI
Infeksi dimulai dengan masuknya kuman ke dalam hidung/mulut, dan menetap pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas
Kadang-kadang melalui kulit atau membran mukosa mata atau genital
Sesudah 2-4 hari dikeluarkan toksin. Respons peradangan lokal dan nekrosis jaringan
menimbulkan patchy exudate
Dengan bertambahnya pembentukan toksin, daerah infeksi meluas dan mendalam,
membentuk pseudomembran
Edema jaringan lunak meluas ke dalam membran memberikan gambaran bullneck
Toksin yang dihasilkan menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita difteria
Tonsilitis, faringitis, rinitis
Suara serak
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
Demam tak begitu tinggi
Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
Sangat penting untuk diagnosis ditemukannya membran pada tempat infeksi yang
berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat
Hitung leukosit darah tepi dapat
Kadang-kadang timbul anemia
Protein likuor pada neuritis difteria sedikit
Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat
Pada EKG dapat terjadi aritmia, perubahan segmen S-T dan gelombang T bila terjadi
miokarditis
Diagnosis pasti : Kuman difteria pada sediaan langsung/biakan (+)
DIAGNOSIS BANDING
Common cold
Sinusitis
Adenoiditis
Faringitis karena Streptokokus
Mononukleosus infeksiosa
Tonsilitis membranosa non bakterial
Post tonsilectomy faucial membrane
Croup penyebab lain
Aspirasi benda asing
Epiglotitis

Abses perifaring/retrofaring
Leukemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hitung leukosit darah tepi
Hb
Protein likuor
Urea N darah
EKG
PENYULIT
Obstruksi pernafasan dan kematian mendadak
Infeksi bakteri sekunder karena S. pyogenes
Miokarditis
Bendungan jantung dan peninggian enzim miokardium
Penyulit neurologik
Paralisis otot palatum lunak dan faring regurgitasi nasal
Paralisis otot mata penglihatan kabur, kesulitan dalam akomodasi, strabismus internal
Neuritis saraf frenikus paralisis diafragma
Hipotensi dan gagal jantung
Gastritis
Hepatitis
Nefritis
KONSULTASI
Bagian THT
TERAPI
1. Sesegera mungkin menetralisasi toksin bebas
2. Sesegera mungkin membunuh kuman (eradikasi kuman)
Netralisasi toksin bebas
ADS (Anti difteri serum)
Dosis : Difteria hidung/faring ringan 40.000 U
Difteria faring 60.00080.000 U
Difteria faring berat/laring/dengan bullneck 100.000-120.000 U
Cara pemberian :
Dosis tunggal dilarutkan dalam 100-200 ml dekstrosa i.v dalam waktu 1-2 jam,
sebelumnya dilakukan uji kepekaan
Uji kepekaan dengan pemberian 1 tetes antitoksin pengenceran 1:10 pada
konjungtiva atau 0,02 ml penyuntikan intradermal pengenceran 1:100
Uji kepekaan (+) bila ditemukan indurasi > 3 mm pada tempat suntikan sesudah 20
menit atau timbul konjungtivitis/berair mata
Bila uji kepekaan (+) berikan ADS secara desensitisasi, masing-masing dengan
interval 20 menit
0,05 ml larutan 1:20 s.k.
0,10 ml larutan 1:20 s.k.
0,10 ml larutan 1:10 s.k.
0,10 ml tanpa pengenceran s.k.
0,30 ml tanpa pengenceran i.m.
0,50 ml tanpa pengenceran i.m.
0,10 ml tanpa pengenceran i.v.
Bila tidak ada reaksi alergi, sisa diberikan i.v. lambat
Eradikasi kuman :
Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari i.m., tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-)
Eritromisin 40 mg/kgBB/hari, maks. 2 g/hari, p.o., tiap 6 jam selama 14 hari

Amoksisilin
juga efektif
Rifampisin
Klindamisin
Isolasi
Suportif
Tirah rebah 2-3 minggu atau lebih lama bila terjadi miokarditis
O2 bila sesak nafas
Diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan kalori tinggi
Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
Roboransia
Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari
PENCEGAHAN
Waktu dipulangkan : Imunisasi DPT 0,5 ml, i.m. untuk anak < 7 th
DT 0,5 ml, i.m. untuk anak > 7 th
Untuk kontak
Semua anak yang kontak dengan penderita harus dilakukan pemeriksaan sediaan
langsung dari hidung dan tenggorokan

Bila hasil (-)


Eritromisin 40 mg/kgBB/hari, maks. 2 g/hari, p.o. selama 7 hari
Imunisasi DPT/DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang
telah mendapat imunisasi
Bila hasil (+)
Pada anak tanpa gejala (karier) : Eritromisin 40 mg/kgBB/hari, (maks. 2 g/hari), p.o., tiap
6 jam selama 7 hari
Imunisasi seperti di atas
Selama pemberian obat, anak harus diawasi ketat
Bila anak kemudian menunjukkan gejala segera dirawat
PROGNOSIS
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum
Penyebab strain gravis prognosisnya buruk
Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/mm3 prognosis buruk
Mortalitas 5% (terutama disebabkan miokarditis)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC III, Nelson WE. Diphtheria. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;593-6.
Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III. Diphtheria. Nelson textbook of
pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;720-4.
Feigin RD, Stechenberg BW, Strandgaard RH. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co,
1992;1110-6.

TETANUS DAN TETANUS NEONATORUM

BATASAN
Penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani
KLASIFIKASI
Berdasarkan manifestasi klinis
Tetanus lokal
Tetanus sefal
Tetanus umum (general)
Tetanus neonatorum
Berdasarkan berat-ringannya penyakit
Derajat I
: Ringan
II : Sedang
III : Berat
IV : Sangat berat
ETIOLOGI
Clostridium tetani (Gram-positif)
PATOFISIOLOGI
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh toksin terhadap SSP, berupa
gangguan terhadap inhibisi presinaps timbul generator of pathological enhanced
excitation
Tetanospasmin juga berpengaruh terhadap
Sistem saraf autonom, pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih dan neuromuskular perifer
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat mendapat trauma, pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril
Riwayat tidak diimunisasi tetanus (tidak lengkap)
Derajat I
Trismus ringan sampai sedang
Kekakuan umum
Spasme (-)
Disfagia (-)/ringan
Gangguan respirasi (-)
Derajat II
Trismus sedang
Kekakuan jelas
Spasme hanya sebentar
Takipnea
Disfagia ringan
Derajat III
Trismus berat
Otot spastis
Spasme spontan
Takipnea
Apneic spell
Disfagia berat
Takikardia
Aktivitas sistem autonom
Derajat IV (Derajat III ditambah dengan)

Gangguan autonom berat


Hipertensi berat dan takikardia atau
Hipotensi dan bradikardia
Hipertensi berat atau hipotensi berat

DIAGNOSIS BANDING
Abses gigi
Abses parafaring/retrofaring/peritonsiler
Poliomielitis
Meningitis bakterialis stadium awal
Ensefalitis
Rabies
Keracunan strihnin
Efek simpang fenotiazin
Tetani
Epilepsi
PENYULIT
Gangguan ventilasi paru
Aspirasi pneumonia
Bronkopneumonia
Atelektasis
Emfisema mediastinal
Pneumotoraks
Sepsis
Fraktura vertebra
Laserasi mukosa lidah/bukal
Hematoma intramuskular
Miokarditis, aritmia
Hipertensi, hipotensi
Syok
Malnutrisi/dehidrasi
Apnea, anoksia kerusakan otak
Cerebral palsy
Tromboemboli
KONSULTASI
Bagian Bedah
Bagian THT
TERAPI
Tetanus ringan
Penderita diberikan penanganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/antitoksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
Tetanus sedang
Penanganan umum tetanus seperti diatas
Bila diperlukan : Intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik
dalam anestesia umum
Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral
Tetanus berat dan sangat berat
Penanganan umum seperti diatas
Perawatan dilakukan di ruang intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian
ventilator sangat dibutuhkan serta diberikan balans cairan yang adekuat
Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB i.v. diikuti 0,05
mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam

Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan beta bloker seperti propanolol atau
alfa dan beta bloker labetolol

Penanganan dasar
Antibiotik
Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/kali i.m. tiap 12 jam, atau
Ampisilin 150 mg/kgBB/hari i.v. dibagi dalam 4 dosis, atau
Tetrasiklin 25-50 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 4 dosis (maks. 2 g), atau
Sefalosporin generasi ke-3, atau
Metronidazol loading dose 15 mg/kgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/kgBB tiap 6 jam,
atau
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari p.o dibagi dalam 4 dosis
Catatan
Tetanus neonatorum + gentamisin 5-7 mg/kgBB/hari i.v. dibagi dalam 2 dosis
Bila ada sepsis atau pneumonia + antibiotik lain (metisilin, sefalosporin dll)
Netralisasi toksin
Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3.000-6.000 IU i.m. (untuk tetanus
neonatorum 500 IU i.v.)
Bila tidak tersedia anti tetanus serum (ATS) 50.000-100.000 IU, i.m. dan
i.v. (terlebih dahulu dilakukan tes kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU i.v.)

Anti kejang
Diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum 0,3-0,5
mg/kgBB/kali
Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU
Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosis
Perawatan luka
Dilakukan setelah diberi anti toksin dan anti kejang

Penanganan umum
Bebaskan jalan nafas dan pemberian O2
Perawatan dengan stimulasi minimal
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
Bantuan nafas pada tetanus berat dan sangat berat/tetanus neonatorum
Pemantauan/monitoring kejang dan tanda-tanda penyulit
PENCEGAHAN
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
Luka sedang/berat dan kotor
Imunisasi (-)/tidak jelas : TIG 250-500 U, atau TAT (tetanus anti toksin) 3.000-5.000 U,
i.v.
Toksoid tetanus pada sisi lain
Imunisasi (+)
Lamanya sudah > 5 th
: Ulangan toksoid
> 10 th : Ulangan toksoid
TIG atau TAT
Luka ringan dan bersih
Imunisasi (+) : Tidak perlu TIG/TAT
(-) : Imunisasi
PROGNOSIS
Tergantung skoring Black (1991)
Skor 0-1 (ringan)
kematian
2-3 (sedang)

< 10%
10-20%

4 (berat)
5-6 (sangat berat)
Sistem skoring
Masa inkubasi
Awitan penyakit
Tempat masuk

Spasme
Panas badan
Aksilar
Rektal
Takikardia

20-40%
> 50%

1
< 7 hari
< 48 jam
Tali pusat
Fraktur terbuka
Sesudah operasi
Sesudah suntikan i.m.
(+)

0
> 7 hari
> 48 jam
Selain tempat
tersebut

> 38,40C
> 40,00C
(+)

< 38,40C
< 40,00C
(-)

(-)

SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Adams JM, Kenny JD, Rudolph AJ. Modern management of tetanus neonatorum. Pediatr 1979;
64:472-7.
Bleck TP. Tetanus. Dalam: Scheld WM, Whitley RJ, Durack DT, penyunting. Infectious of central
nervous system. New York: Reven Press, 1991; 603-20.
Feigin RD, Finta KM. Tetanus. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
747-50.
Udwadia FE. Tetanus. Bombay: Oxford university press, 1994
Weinstein L. Tetanus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious
diseases; edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;1102-10.

PERTUSIS

BATASAN
Penyakit infeksi saluran nafas akut yang ditandai dengan batuk hebat yang disebabkan
Bordetella pertussis
ETIOLOGI
Bordetella pertussis
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita pertusis
Stadium kataral : Panas tidak tinggi, pilek, konjungtiva merah, lakrimasi, batuk ringan
Stadium paroksismal : Batuk makin sering/berat, terutama malam hari berupa serangan
mendadak, menimbulkan whoop, diakhiri muntah
Muka merah atau siaosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi
vena leher selama serangan
Anak apatis, berat badan
Stadium konvalesens :
Batuk , muntah
Dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva
Dapat terjadi ronki difus
Leukositosis (20.000-50.000/mm3)
Limfositosis absolut
Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
Foto toraks : Infiltrat perihiler, atelektasis, atau empiema
Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme pada apus nasofaring (bahan media
Bordet-Gengou)
DIAGNOSIS BANDING
Adenovirus
Bordetella parapertussis
Bordetella bronchiseptica
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukosit
Hitung jenis sel
IgG terhadap toksin pertusis
Foto toraks
PENYULIT
Pneumonia
Atelektasis
Ruptur alveoli
Emfisema
Bronkiektasis
Pneumotoraks
Tuberkulosis laten menjadi aktif
Otitis media
Perdarahan : Epistaksis, melena, subkonjungtiva, hematoma, epidural, intrakranial
Kejang
Ruptur diafragma
Hernia umbilikalis
Hernia inguinalis
Prolapsus rekti

Meningoensefalitis, ensefalopati, koma


Dehidrasi dan gangguan nutrisi
KONSULTASI
Bedah Saraf
TERAPI
1. Suportif
Isolasi (2-3 minggu)
Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok)
Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
Oksigen bila sesak nafas
Pengisapan lendir
Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid (betametason) dan
salbutamol (albuterol)
2. Eradikasi bakteri
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari (maks. 2 g/hari), p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14
hari
Dapat pula dicoba kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari, p.o., dalam 2 dosis, selama 14
hari, atau
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, p.o., dalam 4 dosis, selama 14 hari
PENCEGAHAN
Kontak dengan penderita pertusis
Anak < 7 th
: DPT/Ulangan DPT, eritromisin 50 mg/kgBB/hari, selama 14 hari
: Eritromisin 50 mg/kgBB/hari, selama 14 hari
Anak > 7 th
PROGNOSIS
Mortalitas terutama oleh karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia, dan penyulit
paru lain
Pada anak besar prognosisnya baik
Dapat timbul sekuele berupa wheezing selama kehidupan dewasa
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Feigin RD. Pertusis (whooping cough). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 724-9.
Feigin RD, Cherry JD. Pertussis. Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;1208-17.

DEMAM TIFOID

BATASAN
Suatu penyakit infeksi yang disebabkan Salmonella typhi dan masih merupakan penyakit
yang terdapat baik secara endemik maupun epidemik di berbagai negara
ETIOLOGI

S. enteridis
S. typhi
S. choleraeseus dll
PATOFISIOLOGI
Kuman difagositosis monosit kelenjar limfe mesenterial/RES lainnya peyer packers
dan kelenjar mesenterial bengkak infeksi bagian distal ileum atau jejunum
aliran
darah bakteremia primer kelenjar limfe, sumsum tulang, hepar dan lien aliran darah
bakteremia sekunder menyerang lebih banyak organ
Catatan :
Monosit yang mengandung kuman rose spot di kulit
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Panas > 7 hari
Batuk
Malaise, letargi, anoreksia, BB
Nyeri otot/kepala/perut
Mencret atau obstipasi, muntah, nyeri perut, perut kembung
Penurunan kesadaran
Dapat timbul kejang, ikterus, epistaksis
Fisis
Kesadaran (delirium sampai stupor)
Hepatomegali, splenomegali
Terdengar ronki
Ruam makula papula pada kulit dada bagian bawah/perut (rose spot) menghilang
dalam 2-3 hari
Laboratorium
Anemia
: Biasanya karena perdarahan usus, supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe
Leukopenia
: Jarang < 3000/mm3
Limfositosis relatif
Trombositopenia
Serologi (Widal) : Titer O (4x atau > 1:160)
Biakan Salmonela
Darah/sumsum tulang/kel. limfe/jaringan fagosit : (+)
Urin/feses : Sesudah bakteremia sekunder
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis
Bronkopneumonia
Gastroenteritis
Influenza
TB
Infeksi jamur sistemik
Bruselosis
Tularemia
Sigelosis
Malaria
Septikemia, dll
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
: Hb. leukosit, hitung jenis, trombosit, dan biakan
Urin/feses
Biakan
Kelenjar limfe jaringan

10

Fagosit
Serologi (Widal)
Foto toraks/abdomen
TERAPI
Umum
Isolasi
Tirah rebah selama panas
Diet makanan lunak yang mudah dicerna
Khusus
Eradikasi kuman
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari (bayi < 2 mgg 25 mg/kgBB/ hari) p.o. dibagi 4
dosis selama 10-14 hari
Kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari p.o. dalam 3 dosis selama 10-14 hari
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari p.o. dalam 3-4 dosis selama 10-14 hari
Seftriakson dan sefoperazon memberikan hasil baik, dosis 125-250 mg p.o. dalam
2 dosis, untuk anak > 5 th
Kortikosteroid
Pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (stupor, koma), gangguan sirkulasi
dan gejala berkepanjangan
Korton 10 mg/kgBB/hari, i.v. dibagi dalam 3-4 dosis,
atau 3-6 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 2 dosis
Deksametason 4-20 mg/kgBB/hari, i.v.
Prednison 1-2 mg/kgBB/hari, p.o. dibagi dalam 3 dosis
Lain-lain
Vitamin
Perdarahan usus
Puasa selama 24 jam sampai tak ada perdarahan
Antibiotik i.v.
Transfusi bila diperlukan
Operasi (bila ada indikasi)
PENYULIT
Perforasi usus
Syok septik
Ensefalopati toksik
Trombosis serebral
Neuritis optik/perifer
Kolesistitis akut
Meningitis
Pneumonia
Pielonefritis
Endokarditis
Osteomielitis
Artritis septik
Flebitis
KONSULTASI
Bagian terkait
PENCEGAHAN
Kebersihan
Pribadi, cuci tangan
Pengamanan pembuangan limbah feses dan urin
Penyediaan air bersih
Vaksinasi

11

Kontak dengan penderita


Kejadian luar biasa
Bepergian ke daerah endemik

Typa s.k. 2 kali (masa antara 4-6 minggu)


Umur
I
II
6 bl-12 bl
: 0,15 ml
0,3 ml
1-2 th
: 0,2 ml
0,4 ml
2-12 th
: 0,5 ml
0,5 ml
Dewasa
: 1,0 ml
1,0 ml
Ty 21 attenuated mutant strains S. typhosa p.o.
PROGNOSIS
Umumnya baik
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Feigin RD. Typhoid fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Voughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
731-4.

DEMAM SKARLET
(SKARLATINA)

BATASAN
Penyakit yang terjadi karena infeksi Streptokokus yang membebaskan satu dari 3 toksin
pirogenik (eritrogenik)
ETIOLOGI
Streptococcus beta haemolyticus group A
PATOFISIOLOGI
Setelah kuman masuk melalui inhalasi atau ingesti melekat pada sel epitel saluran
pernafasan. Kuman mempunyai selaput (kapsul) yang bisa terhindar dari fagositosis, serta
mengeluarkan berbagai enzim yang dapat menyebabkan perluasan infeksi. Toksin pirogenik
(AC) dapat menimbulkan ruam pada penderita yang tidak kebal. Timbulnya ruam
tergantung kepada reaksi hipersensitivitas dan berkurang dengan adanya antitoksin spesifik
KRITERIA DIAGNOSIS
Bersifat akut disertai dengan demam, muntah, nyeri kepala, sakit menelan, menggigil
Tonsilofaringitis berat, terdapat eksudat
White strawberry tongue pada permulaan penyakit, yang berubah menjadi red strawberry
tongue beberapa hari kemudian
Ruam berwarna merah, berupa pungtata atau papula, memucat pada penekanan, mulamula pada ketiak, lipat paha dan leher
Pada penyakit berat, ruam berupa vesikula kecil (miliaria sudamina)
Ruam diakhiri dengan deskuamasi

12

Dapat terjadi sesudah infeksi luka, luka bakar atau infeksi kulit karena streptokokus
Laboratorium
Leukositosis
Titer ASLO (ASTO)
LED
CRP dapat (+)
Biakan apus tenggorok : Streptococcus haemolyticus group A
DIAGNOSIS BANDING
Morbili
Rubela
Mononukleosis infeksiosa
Penyakit Kawasaki
Toxic shock syndrome
Terkena sinar matahari yang berat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukosit darah
Titer ASLO (ASTO)
Biakan apus tenggorok
LED dan CRP
PENYULIT
Penyebaran langsung dari nasofaring
Sinusitis
Otitis media
Mastoiditis
Adenitis servikal
Abses retrofaring atau parafaring
Bronkopneumonia
Penyebaran hematogen
Meningitis
Osteomielitis
Artritis septik
Penyulit non supuratif
Demam reumatik
Glomerulonefritis
KONSULTASI
Bagian THT
TERAPI
Mengurangi gejala dan mencegah penyulit
Antibiotik
Penisilin merupakan obat pilihan
Penisilin V, 125250 mg/kali, 3 kali/hari p.o. selama 10 hari
Long-acting benzathine penicillin G 600.0001.200.000 U i.m. dosis tunggal
Keadaan berat pemberian i.v. dosis bisa sampai 400.000 U/kgBB/hari
Bila alergi penisilin
Eritromisin
: 40 mg/kgBB/hari p.o.
Linkomisin
: 40 mg/kgBB/hari p.o.
Klindamisin
: 30 mg/kgBB/hari p.o.
Sefadroksil monohidrat : 15 mg/kgBB/hari p.o.
PENCEGAHAN
Kontak dengan penderita streptokokus (+) penisilin G/V, 4400.000 U p.o. selama 10 hari

13

Sebagai alternatif : Long-acting benzathine penicillin 600.000 U + prokain penisilin


(aqueous) 600.000 U dosis tunggal i.m.
PROGNOSIS
Bila pengobatan adekuat baik
Penyulit non supuratif dapat dicegah bila pengobatan cepat diberikan
Bila respons imun terganggu terjadi penyulit berat (pneumonia dan sepsis) bahkan
kematian, meskipun mendapat pengobatan yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Kliegman RM, Feigin RD. Streptococcal infectious. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson
WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatric; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 700-2.

MENINGITIS BAKTERIALIS

BATASAN
Peradangan meningen yang disertai adanya bukti terdapatnya bakteri didalam likuor
serebrospinal (LSS)
Meningitis purulenta adalah peradangan meningen yang ditandai dengan LSS yang keruh
dengan jumlah leukosit > 1.000/mm3 dengan predominasi PMN ; meningitis purulenta
hampir selalu disebabkan oleh bakteri
Meningitis bakterialis bentuk atipik adalah meningitis bakterialis dengan kelainan pada LSS
yang minimal sehingga sulit dibedakan dari meningtis aseptik, bentuk ini dapat ditemukan
pada meningitis bakterialis yang timbul pada saat anak sedang mendapat terapi antibiotik
(meningitis during antibiotic therapy/meningitis bacterialis partial treatment), stadium awal
meningitis bakterialis, atau karena adanya proteksi partial dari imunisasi Haemophyllus
influenzae tipe B
Meningitis bakterialis rekrudesens adalah munculnya kembali tanda atau gejala klinis
meningitis bakterialis dalam masa pengobatan yang sebelumnya memberikan respons yang
baik. Meningitis bakterialis relaps adalah munculnya kembali tanda dan gejala meningitis
bakterialis dalam waktu 3 minggu setelah penghentian pengobatan. Kedua bentuk
meningitis ini pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang sama dengan meningitis
bakterialis sebelumnya, biasanya disebabkan adanya bakteri yang persisten didalam LSS
Meningitis bakterialis rekurens/berulang adalah episode baru dari meningitis bakterialis yang
terjadi setelah melewati masa penyembuhan dari suatu meningitis bakterialis sebelumnya,
pada keadaan ini bakteri penyebab bisa sama atau berbeda dari bakteri penyebab
meningitis bakterialis sebelumnya. Pada umumnya meningitis bakterialis rekurens lebih
sering disebabkan oleh adanya reinfeksi dibanding dengan adanya infeksi yang persisten
ETIOLOGI
Tergantung dari umur (lihat tabel 22)

14

FAKTOR RISIKO
Utama : Umur muda
Lain-lain
Kolonisasi bakteri
Kontak erat
Kemiskinan
Ras (kulit hitam)
Jenis kelamin (laki-laki)
Tidak diberi ASI
Bakteremia
Infeksi sistemik
Gangguan imunitas (bawaan/didapat)
Disfungsi limpa (seperti sickle cell anemia)
Adanya hubungan antara meningen/LSS dengan jaringan mukokutan (meningomielokel,
trauma penetrans, sinus dermoid lumbosakral).
Shunt ventrikulo-peritoneal
Mungkin faktor genetik
Faktor risiko untuk meningitis bakterialis rekurens antara lain adanya defek anatomis baik
yang bersifat kongenital seperti sinus dermoid, meningokel, ensefalokel, maupun yang
bersifat didapat seperti fistula pasca operasi/traumatik. Faktor risiko lain dapat berupa
gangguan imunologik, infeksi parameningeal (seperti sinusitis, mastoiditis, dan osteomielitis
tulang tengkorak), dll (LES, sickle cell anemia)
PATOGENESIS
Sebagian besar kasus didahului oleh infeksi didaerah saluran nafas, hanya sebagian kecil
yang disebabkan oleh penyebaran langsung dari tempat yang berdekatan seperti sinusitis
atau mastoiditis. Pada neonatus dilaporkan satu dari empat kasus sepsis kemudian akan
menderita meningitis bakterialis. Mekanisme dan tempat masuknya bakteri kedalam LSS
belum diketahui pasti
KRITERIA DIAGNOSIS
Klinis
Bervariasi tergantung dari umur, lama sakit sebelum berobat, dan daya tahan penderita
Pada neonatus gejala mungkin minimal, menyerupai sepsis dapat berupa malas minum,
letargi, distres pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus),
ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus)
Pada anak yang lebih besar dapat timbul secara akut atau secara insidious, dapat
berupa demam, kejang, mual-muntah, sakit kepala, fotofobi, ubun-ubun besar menonjol,
tanda gangguan status mental seperti gelisah, letargi dan penurunan kesadaran
Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak < 2
th. Manifestasi klinis lain bisa berupa defisit neurologik fokal, edema otak, syok septik,
septik artritis, dll
Analisis LSS
Karena tidak ada manifestasi klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterialis, maka
diagnosis terutama ditegakkan atas dasar analisis LSS
Warna biasanya keruh, pada bentuk yang atipik dapat ground glass appearance
Jumlah sel leukosit dan hitung jenis
Harga normal jumlah sel leukosit pada anak > 3 bl : 6/mm3 dan tidak mengandung PMN.
Terjadi pleositosis, biasanya > 1.000/mm3, dan pada hitung jenis predominasi PMN.
Pada bentuk atipik pleiositosis biasanya < 1000/mm3
Pada pungsi lumbal traumatik, jumlah leukosit dan eritrosit dihitung kemudian eritosit
dilisiskan dengan asam asetat, selanjutnya jumlah sel leukosit dihitung kembali. Bila rasio

15

leukosit terhadap eritrosit lebih tinggi dari rasionya dalam darah diasumsikan terjadi
pleiositosis
Absolut neutrophyl count (ANC)
Bila jumlah leukosit LSS x %PMN LSS x 10-2/mm3 , hasilnya > 1 sangat mendukung
kemungkinan meningitis bakterialis
Kadar glukosa LSS, kadar normal + 66% kadar gula darah
Terjadi hipoglikorazia (kadar gula LSS rendah) pada kebanyakan kasus, dengan rasio
kadar gula LSS dengan gula darah < 0,40 memberi nilai sensitivitas 80% dan spesifisitas
98% didalam menapis kasus meningitis bakterialis
Kadar protein
Pada umumnya terjadi peninggian kadar protein > 200 mg/mm3
Preparat langsung (pewarnaan Gram)
Bila dilakukan dengan baik, hasil pemeriksaan konsisten dengan hasil biakan LSS anak
kecil dengan meningitis bakterialis
Pewarnaan dengan tinta India dipertimbangkan bila Kriptokokus diduga sebagai
penyebab meningitis bakterialis pada anak dengan defisiensi sistem imun
Biakan
LSS harus dibiak pada media agar, agar darah, agar coklat, media Fildes atau media
Leventhal
Rapid diagnostic test
Dilakukan untuk menilai adanya infeksi bakteri secara cepat misalnya dengan cara
counter current immunoelectrophoresis (CIE), Uji aglutinasi lateks, ELISA, dsb
Pemeriksaan ini banyak dilakukan dinegara yang telah maju
Karena pemeriksaan biakan memerlukan waktu maka diagnosis sangat tergantung dari
analisis hasil pemeriksaan nomor 1 sampai dengan 6 di atas, dengan perkataan lain
pemeriksaan tersebut harus dilakukan segera dan dengan seksama
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin
Biakan darah
Biakan nasofaring
Foto taraks, tulang tengkorak, sinus, tulang belakang
CT scan dilakukan atas indikasi
Pungsi lumbal ulang tidak diindikasikan secara rutin untuk menilai keberhasilan terapi, tetapi
dilakukan pada
Neonatus
Respons terhadap pengobatan dalam 24 jam pertama buruk
Penyebab infeksi tidak diketahui
Masih ada kecurigaan bakteri spesifik sebagai penyebab meningitis
DIAGNOSIS BANDING
Meningitis tuberkulosa
Meningitis aseptik
Abses otak
Abses epidural
Empiema subdural dengan atau tanpa tromboflebitis
Endokarditis bakterialis dengan embolisme
Tumor otak
Ruptura kista dermoid
TERAPI
A. Antibiotik
Inisial : Harus segera setelah diagnosis ditegakkan, dan mencakup bakteri yang
paling sering sebagai penyebab meningitis sesuai dengan umur dan faktor risiko
Tabel 22. Rekomendasi Terapi Antibiotik Inisial pada Meningitis Bakterialis

16

Umur

Penyebab tersering

Terapi Inisial

< 1 bl

E.coli, grup B Streptococcus,


L. monocytogenes

Ampisilin + sefotaksim/
seftazidim atau
Ampisilin+aminoglikosida

13 bl

E.coli, group B Streptococcus,


L. monocytogenes, H. influenzae
tipe b, S. pneumoniae

Ampisilin +
sefotaksim/seftriakson

H. influenzae, N. meningitidis,
S. pneumoniae

Sefotaksim/seftriakson
atau ampisilin +
kloramfenikol

S. pneumoniae, N. meningitidis

Penisilin G atau ampisilin


atau sefotaksim/seftriakson

S. pneumoniae, N. meningitidis,
L. monocytogenes, batang Gram
negatif enterik

Ampisilin,
sefotaksim/seftriakson

3 bl18 th

18 th50 th

> 50 th

Antibiotik setelah hasil biakan LSS didapat :


Antibiotik dapat dipertahankan atau dirubah sesuai dengan respons klinis terhadap
terapi inisial dan atau hasil uji kepekaan
Tabel 23 memperlihatkan dosis antibiotik untuk meningitis bakterialis dan tabel 24
memperlihatkan rekomendasi pemilihan antibiotik setelah hasil biakan diperoleh
Lama pengobatan antibiotik dapat dilihat pada tabel 25

Tabel 23. Dosis Antibiotik untuk Meningitis Bakterialis


Antibiotik
Penisilin G
Ampisilin
Kloramfenikol
Sefotaksim
Seftriakson
Seftazidim
Vankomisin
Gentamisin, tobramisin
Amikasin
Nafsilin, oksasilin

Dosis (kgBB/hari)
250.000 unit
200300 mg
75100 mg
200 mg
100 mg
125150 mg
5060 mg
6 mg
2030 mg
200 mg

Interval (jam)
4
6
6
68
1224
8
6
8
8
6

Tabel 24. Terapi Antibiotik untuk Menigitis Bakterialis dengan Penyebab Diketahui
Mikroorganisme
H.influenzae
(B laktamase negatif)
H.influenzae
(B laktamase positif)
S.pneumoniae
(peka terhadap ampisilin)
S. pneumoniae
Sangat resisten terhadap
penisilin (MIC > 1 g/ml)
Resisten relatif terhadap
Penisilin (MIC 0,1-1,0 g/ml)

Antibiotik terpilih
Ampisilin
Sefalosporin generasi
ke-3
Penisilin G atau
Ampisilin

Alternatif
Sefalosporin generasi
ke-3 atau Kloramfenikol
Kloramfenikol
Sefalosporin generasi
ke-3 atau Kloramfenikol

Vankomisin

Seftriakson atau
Sefotaksim (bila MIC <
0,25 g/ml)

Vankomisin

17

N. meningitidis
Peka terhadap penisilin

Penisilin G atau
Ampisilin

Sefalosporin generasi
ke-3 atau Kloramfenikol

B laktamase positif

Vankomisin

Resisten relatif terhadap


penisilin (MIC 0,1-0,7 ug/ml)

Penisilin

Sefalosporin generasi
ke-3
Sefalosporin generasi
ke-3 atau Kloramfenikol

Streptococcus group B
S. aureus
Metislin sensitif
Metisilin resisten
Staphylococcus coagulase negatif
P.aeruginosa
Enterobacteriaceae

Penisilin/ampisilin +
Gentamisin

Sefalosporin generasi
ke-3 atau Kloramfenikol

Nafsilin atau Oksasilin,


Vankomisin
Vankomisin

Vankomisin

Vankomisin + Rifampin
Seftazidim +
Aminoglikosida
Sefalosporin generasi
ke-3

TMP-SMZ + Kuinolon
atau Rifampin
Kuinolon
Kuinolon
TMP-SMZ +
Aminoglikosida atau
Kuinolon

Tabel 25. Lama Pemberian Antibiotik


Jenis bakteri
H.influenzae
N.meningitidis
S.pneumoniae
Basil Gram-negatif

S.aureus
L.monocytogenes

Prober, 1996
710 hari
57 hari
1014 hari
3 minggu atau 2
minggu setelah
LSS steril

Gormley, 1996
10 hari
7 hari
10 hari
1014 hari setelah
LSS steril

Moffet, 1989
10 hari
7 hari
10 hari

1420 hari
34 minggu

B. Suportif
Monitoring tanda vital setiap 1530 menit sejak saat perawatan sampai keadaan
umum stabil, setelah itu setiap jam untuk 12 hari. Suhu tubuh diukur setiap 4 jam
Evaluasi pemeriksaan neurologik harus dilakukan setiap hari
Pada hari pertama penderita dipuasakan, jumlah cairan infus dibatasi 800-1.000
ml/m2 luas permukaan tubuh, dalam keadaan dehidrasi harus diatasi terlebih dahulu
dengan hati-hati (lebih sering menilai status hidrasi dan elektrolit penderita)
Masukan dan keluaran cairan harus dicatat
Berat badan ditimbang setiap hari untuk menilai adanya SIADH
Berat jenis urin, kadar Na dan K urin, kadar Na dan K serum, kadar karbon dioksida
serum diukur tiap 12-24 jam selama 48 jam pertama
Lingkar kepala diukur setiap hari dan transiluminasi kepala pada anak < 18 bl
dilakukan setiap hari untuk melihat kemungkinan adanya efusi subdural atau
penyebab lain dari hidrosefalus
Antikonvulsan bila didapat kejang :
Fenobarbital 7 mg/kgBB sebagai dosis inisial dilanjutkan dengan fenitoin 5
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis i.v.
Valium dapat diberikan 0,25-0,5 mg/kgBB/kali atau 1 mg/th maks. 10 mg. Lorazepam
dapat diberikan dengan dosis 0,05 mg/kgBB i.v.
Bila penderita mendapat terapi kloramfenikol, pemberian fenobarbital dan fenitoin
dapat meninggikan metabolisme kloramfenikol sehingga akan menurunkan
konsentrasi obat tersebut didalam serum
Dukungan gizi melalui nasogastrik biasanya dapat diberikan setelah hari ke-2 bila
tidak ada muntah

18

Deksametason diberikan pada anak berumur > 2 bl dengan dosis 0,15 mg/kgBB/kali
15 menit atau bersamaan dengan pemberian antibiotik selama 4 hari
Pemberian kortikosteroid harus ditunda bila didapat tanda perdarahan atau bila
kemungkinan meningitis tuberkulosa belum dapat disingkirkan
PENYULIT
Yang paling berat adalah syok septik dan edema otak yang biasanya terjadi pada hari
pertama perawatan
Penyulit dini lain dapat berupa DIC, miokarditis, hiponatremia, kejang, hemiparesis, defisit
neurologik fokal lain, dan anemia
Penyulit lambat dapat berupa efusi/empiema subdural, hidrosefalus, kerusakan otak dengan
retardasi mental, gangguan pendengaran, perdarahan dan trombosis, imun/artritis reaktif,
kebutaan kortikal (menetap atau sementara), kuadriplegia, endoftalmitis, dan endokarditis
PROGNOSIS
Tergantung dari umur, lama sakit sebelum mendapat pengobatan antibiotik, bakteri
penyebab, jumlah bakteri, adanya penyakit lain yang memperlemah daya tahan tubuh, dan
adanya defisit neurologik fokal pada pemeriksaan pertama
Gejala sisa yang mungkin ditemukan adalah
Gangguan pendengaran
Kebutaan
Gangguan bicara dan belajar
Gangguan tingkah laku
Retardasi mental
Kejang yang berkelanjutan
Hemi/kuadriparesis
Hipertoni otot
Ataksia
Hidrosefalus
KONSULTASI
Bagian Bedah Saraf dan Bagian THT
PENCEGAHAN
Antibiotik profilaksis :
H. influenzae type B
Rifampisin 20 mg/kgBB (maks. 600 mg) dosis tunggal selama 4 hari diberikan pada
semua anak dan dewasa yang tinggal serumah dengan penderita terutama bila ada anak
selain penderita yang berumur < 4 th
Karena evaluasi laboratorium yang belum memadai dinegara kita maka bila ada anak
selain penderita yang menderita demam harus segera mendapat antibiotik yang bisa
mencakup H. influenzae type B, walaupun anak tersebut telah mendapat profilaksis
rifampisin
N. meningitidis
Semua anggauta keluarga yang tinggal serumah dengan penderita, sebaiknya dalam
waktu 24 jam setelah diagnosis ditegakkan harus mendapat profilaksis antibiotik
Antibiotik yang biasa dipakai adalah sulfadiazin 5001.000 mg 2 x sehari selama 3-5 hari
atau sulfisuksazol setiap 12 jam dengan dosis 500 mg/hari untuk anak < 1 th, 1.000 mg
untuk 112 th dan 2.000 mg untuk > 12 th dan dewasa
Rifampisin dapat diberikan selama 4 hari dengan dosis 2 x 600 mg untuk dewasa, 10
mg/kgBB/kali untuk anak 112 th, dan 5 mg/kg BB/kali untuk 3 bl1 th
Seftriakson diberikan dengan dosis 125 mg i.m dosis tunggal untuk anak < 12 th dan 250
mg untuk > 12 th
Siprofloksazin dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 500 mg tiap 12 jam
Imunisasi

19

Untuk H. influenzae type B ActHIB atau Pedvax HIB, dapat mengurangi insidens
meningitis bakterialis karena kuman tersebut
Untuk N. meningitidis diperlukan bila akan bepergian kedaerah endemis
DAFTAR PUSTAKA
Feigin RD, Mc Cracken Jr GH, Klein JO. Diagnosis and treatment of meningitis bacterialis.
Pediatr infect dis J 1992; 11:785-814.
Feigin RD. Bacterial meningitis beyond the neonatal period. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co,
1992;401-45.
Gormley WB, del Busto R, Saravaluzt LD, Rosenblum RL. Cranial and intra cranial infection.
Dalam: Youman, penyunting, Neurological surgery; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co,
1996;3191-220.
Moffet HL. Neurologic syndrome. Dalam: Moffet, penyunting. Pediatric infectious diseases : a
problem oriented approach; edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincot, 1989;197-284.
Prober GG. Infection of the central nervous system. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman
RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders
Co, 1996; 644-713.
Snyder RD. Bacterial infection of the central nervous system. Dalam: Schwaiman KE,
penyunting. Pediatric neurology : principle and practice. St Louis: CV Mosby, 1989:447-73.

20

SEPSIS BAKTERIALIS

BATASAN
Untuk memahami batasan sepsis diperlukan pengertian dari suatu rangkaian kejadian
mengenai interaksi antara bakteri yang masuk kedalam tubuh dengan tuan rumah sbb. :
Kolonisasi
: Keadaan terdapatnya bakteri namun tidak disertai adanya respons imun
dan gejala klinis
Infeksi
: Keadaan terdapatnya bakteri yang disertai adanya respons imun namun
tidak disertai dengan gejala klinis
Penyakit infeksi : Keadaan terdapatnya bakteri yang disertai dengan timbulnya respons
imun dan gejala klinis
Sepsis
: Merupakan respons sistemik terhadap suatu penyakit infeksi yang berat,
ditandai dengan hipotermia atau hipertermia, takikardia dan hiperventilasi
Sindroma sepsis : Sepsis yang sudah disertai dengan gangguan perfusi organ seperti
gangguan status mental, oliguria, hipoksemia, dan peninggian kadar
asam laktat darah
Syok septik dini : Sindroma sepsis yang sudah disertai dengan hipotensi atau capillary refill
yang masih memberi respons yang baik dengan pengobatan cairan intra
vena atau intervensi farmakologi
Syok septik lanjut/berat : Syok septik yang telah berlangsung > 1 jam sekalipun telah
diberikan pengobatan dengan cairan intravena dan intervensi
farmakologi lain, sehingga memerlukan dukungan vasopresor
Kegagalan organ berganda : Kombinasi dari DIC, ARDS (adult respiratory distress
syndrome/shock lung), gagal ginjal mendadak, dan gagal hati mendadak
FAKTOR RISIKO
Pengetahuan mengenai faktor risiko untuk terjadinya sepsis sangat diperlukan didalam
menegakkan diagnosis, karena tidak jarang pada penderita penyakit infeksi tidak ditemukan
adanya fokus/sumber infeksi yang jelas
Faktor risiko yang penting antara lain
Umur muda
Prematuritas
Defisiensi sistem imun
Asplenia
Neutropenia dengan imunosupresi
Defisiensi komplemen
Sickle cell anemia
Defek neutrophyl chemotactic factor
Malnutrisi
Agamaglobulinemia
AIDS
Severe combine immunodefficiency syndrome
Penyakit yang diderita
Sindroma nefrotik
Galaktosemia
Paraplegia
Luka bakar luas
Infeksi traktus urinarius (gonore)
Pecandu obat intra vena
Keganasan
Prosedur/instrumentasi medik
Indwelling kateter intra vena
Indwelling kateter urin
Intubasi endotrakea
Shunt atrioventricular

21

Pemasangan katup jantung protesis


Pembedahan
Bakteremia berat (> 100-1.000 CFU/ml)
ETIOLOGI
Bakteri penyebab sepsis tergantung dari umur, status imunitas anak, jenis
prosedur/instrumentasi medik, dan tempat kejadian infeksi (nosokomial atau bukan)
Neonatus
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Streptococcus group B
Listeria monocitogenes
Anak lebih besar
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenzae B
Neisseria meningitidis
Salmonella spp
Staphylococcus aureus
Streptococcus group A
Gangguan imunitas, dengan instrumentasi medik tertentu dan infeksi nosokomial, sepsis
dapat disebabkan oleh bakteri yang tidak biasa
PATOFISIOLOGI
Sepsis merupakan salah satu penyebab systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
yang diduga disebabkan karena tingginya kadar mediator seperti tumor necrosis factor
(TNF), IL-1, IL-6, IL-8, Platelet activating factor, dan gamma interferon yang dihasilkan oleh
tubuh sebagai bagian dari sistem pertahanan terhadap penyakit infeksi berat
KRITERIA DIAGNOSIS
Adanya penyakit infeksi
Faktor risiko
Sumber infeksi : Pneumonia, meningitis, artritis, selulitis, pielonefritis, dsb
Laboratorium
Bakteri dapat ditemukan pada pemeriksaan preparat langsung pus, kultur darah atau
sediaan lain. Bakteremia bukan prasyarat untuk diagnosis sepsis
Penyakit Infeksi berat dapat disertai dengan anemia, trombositopenia, leukositosis
atau leukopenia. Leukopenia yang disertai dengan neutropenia biasanya
menunjukkan penyakit infeksi berat
Shift to the left pada pemeriksaan apus darah tepi atau rasio PMN imatur : PMN matur
> 0,20 pada umumnya menunjukkan proses penyakit infeksi berat, demikian juga bila
ditemukan vakuolisasi leukosit atau granula toksis atau Dohle bodies pada
pemeriksaan morfologi leukosit
Adanya respons sistemik terhadap penyakit infeksi
Hipertermia/hipotermia
Takikardia
Hiperventilasi
Adanya gangguan status mental dan atau oliguria, peninggian kadar asam laktat,
hipoksemia menunjukkan penderita sudah jatuh kedalam sindroma sepsis
Kegelisahan dan agitasi biasanya menunjukkan bahwa anak akan jatuh kedalam stadium
syok septik
DIAGNOSIS BANDING
SIRS dapat disebabkan oleh penyakit infeksi lain seperti sepsis karena jamur, virus,
protozoa atau riketsia seperti Rocky Mountain spot fever, leptospirosis, Lyme disease,
kriptokokosis, malaria dan kandidiasis

22

Sedangkan penyebab bukan infeksi dari SIRS antara lain intoksikasi (sindroma Kawasaki)
SEPSIS WORK-UP
Merupakan upaya untuk menilai adanya penyakit infeksi berat dan kondisi sepsis yang
menyertainya
Pemeriksaan biakan darah berulang dengan uji kepekaan untuk melihat adanya
bakteremia
Biakan dari abses, kulit, cairan sendi dll, sesuai dengan fokus infeksi yang ditemukan
Pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit dengan hitung jenis, rasio leukosit imatur : matur,
jumlah trombosit, morfologi apus darah tepi, diperlukan untuk mendukung adanya infeksi
berat
Urinalisis dan foto toraks untuk melihat adanya fokus infeksi
Pemeriksaan lain seperti analisis gas, elektrolit, faktor pembekuan darah dan EKG
TERAPI
1. Pengendalian infeksi
Antibiotik inisial
Tergantung dari faktor risiko, fokus infeksi dan pola bakteri penyebab tersering
Antibiotik yang diberikan harus mempunyai spektrum yang luas sehingga mampu
mengeradikasi bakteri penyebab baik yang bersifat gram-negatif, gram-positif maupun
anaerob. Pemilihan jenis antibiotik juga harus mempertimbangkan kemampuan
penetrasi antibiotik ketempat infeksi
Status imunologik baik
Nafsilin 150 mg/kgBB/hari atau penisilin semisintetik lain seperti ampisilin 200
mg/kgBB/hari + sefotaksim 150200 mg/kgBB/hari atau seftriakson 75100
mg/kgBB/hari atau seforoksim 150 mg/kgBB/hari, pada umumnya dapat
mengatasi infeksi yang disebabkan oleh S. aureus, H. influenzae type B, S.
pyogenes dan S. pneumoniae sebagai penyebab pneumonia, selulitis, artritis
piogen, dan perikarditis
Didaerah dengan prevalens S. aureus yang resisten terhadap metisilin, penisilin
semisintetik dapat diganti dengan vankomisin 4060 mg/kgBB/hari
Bila penyebab infeksi diduga berasal dari saluran kemih, terapi inisial harus
mengandung antibiotik yang sensitif terhadap bakteri gram-negatif seperti
amino glikosida atau sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim)
Bila penyakit infeksi diduga berasal dari saluran cerna atau rongga panggul
perlu ditambahkan antibiotik untuk bakteri anaerob seperti metronidazol atau
klindamisin
Pada bayi < 1 bl yang diduga menderita sepsis dapat diberikan kombinasi
ampisilin + aminoglikosida atau ampisilin + sefotaksim
Status imunologik terganggu
Anak yang dirawat diruang intensif, biasanya mudah terkena infeksi nosokomial
(penyebab tersering P. aeruginosa dan S. aureus)
Antibiotik inisial biasanya berupa kombinasi ampisilin + aminoglikosida, atau
ampisilin + seftazidim. Bila prevalens S. aureus yang resisten terhadap metisilin
cukup tinggi maka ampisilin diganti dengan vankomisin
Pemberian antibiotik lanjutan
Setelah didapatkan hasil biakan dan uji kepekaan, antibiotik dapat dilanjutkan
atau diganti tergantung dari hasil biakan, uji kepekaan dan respons klinis
2. Monitoring tanda vital
Monitor terutama dalam 24 jam pertama perawatan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok septik
Gelisah dan agitasi dapat merupakan tanda awal bahwa anak akan mengalami syok
septik
3. Kortikosteroid

23

Pada anak masih kontroversi, kebanyakan penelitian dilakukan pada orang dewasa
dengan hasil yang berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lain
4. Resusitasi cairan, koreksi asam basa, terapi farmakologi kardiovaskular diberikan pada
keadaan syok septik (lihat bab syok septik)
PENCEGAHAN
Pengenalan dini suatu penyakit infeksi, kehati-hatian didalam pengenalan dan pengelolaan
faktor risiko sepsis
PENYULIT
Tanpa pengobatan yang cepat dan tepat penderita sepsis dapat jatuh kedalam keadaan
yang lebih buruk seperti syok septik, DIC, ARDS dan kegagalan organ berganda lainnya
PROGNOSIS
Angka kematian pada anak kecil lebih tinggi dibandingkan anak besar. Pada prematur bisa
mencapai 50%. Pada syok septik bisa mencapai 50%, dan bila sudah didapat kegagalan
organ berganda mencapai 90100%
KONSULTASI
Bagian Bedah Anak
Bedah Ortopedi
Bedah Saraf

Tergantung dari ada tidaknya fokus


infeksi yang berkaitan

DAFTAR PUSTAKA
Jaffari HS, McCracken Jr GH. Sepsis and septic shock : A review for clinicicians. Pediatr Infect
Dis J 1992;11: 739-49.
Kaplan SL. Bacteriemia and endotoxin shock. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3., Philadelphia: WB Saunders Co, 1992.
Powell KR. Sepsis and shock. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996.

MORBILI
(CAMPAK, RUBEOLA, MEASLES)

BATASAN
Penyakit menular akut yang secara khas terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium prodromal,
erupsi dan konvalesens
ETIOLOGI
Morbilli virus, salah satu virus RNA dari famili Paramyxoviridae
PATOFISIOLOGI
Infeksi dimulai di mukosa hidung/faring virus bermultiplikasi RES (virus menyerang
limfosit) viremia sel epitel gejala klinis Sebagian virus terus bermultiplikasi di RES
terbentuk sel raksasa multinuklear
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat kontak dengan penderita morbili
Stadium prodromal : Enantema (kopliks spots) dan tanda 3 C (conjungtivitis, coryza dan
cough) disertai demam ringan sampai sedang

24

Stadium erupsi : Ruam makulopapular, biasanya dimulai dari leher/belakang telinga


kemudian ke daerah muka, badan, anggota badan disertai panas tinggi
Stadium akhir : Ruam menjadi hiperpigmentasi dan kadang-kadang deskuamasi, gejala
menghilang
Laboratorium : Jumlah leukosit biasanya rendah dan limfositosis relatif
Kultur dan serologik : Atas indikasi
DIAGNOSIS BANDING
Rubela (campak Jerman)
Eksantem subitum (Roseola infantum)
Skarlatina
Ruam karena alergi (alergi obat/sindroma Stevens-Johnson, serum sickness)
Penyakit Kawasaki
Ruam karena infeksi virus lain (enterovirus)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jumlah leukosit dan hitung jenis sel
Kultur dan serologik : Atas indikasi/bila memungkinkan
PENYULIT
Otitis media akut
Bronkopneumonia
Laringotrakeobronkitis
Ensefalitis
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE)
Diare persisten (bersifat protein losing enteropathy)
Reaktivasi atau memberatnya penyakit TB
Miokarditis
Trombositopenia
Hemorrhagic (black) measles
Memperburuk status gizi
TERAPI
Sampai saat ini belum ada terapi (antivirus) yang dianjurkan
Simtomatik : Antipiretika, antikonvulsi bila diperlukan
Suportif
Istirahat cukup
Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
Perawatan kulit dan mata
Perawatan lain sesuai penyulit yang terjadi
Antibiotik bila ada infeksi sekunder bakteri
Vitamin A dosis tinggi (rekomendasi WHO dan UNICEF)
Umur 6 bl1 th
: 100.000 Unit dosis tunggal p.o.
Umur > 1 th
: 200.000 Unit dosis tunggal p.o.
Dosis tersebut diulangi pada hari ke-2 dan 4 minggu kemudian bila telah didapat
tanda defisiensi vitamin A
PENCEGAHAN
Imunisasi aktif
Biasanya diberikan pada umur 15 bl, tetapi dapat diberikan lebih awal (di Indonesia umur
9 bl)
Imunisasi pasif
Dengan serum dewasa, serum konvalesens, globulin plasenta, atau gama globulin efektif
untuk pencegahan dan meringankan morbili

25

Immune serum globulin (gama globulin), dosis 0,25 ml/kgBB i.m. dalam waktu 5 hari
sesudah terpapar, tetapi lebih disukai sesegera mungkin
PROGNOSIS
Biasanya sembuh dalam 710 hari setelah timbul ruam. Bila ada penyulit infeksi
sekunder/malnutrisi berat penyakit berat
Kematian disebabkan karena penyulit (pneumonia dan ensefalitis)
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Dalam: Pets G, penyunting. Red book: Report of the
committee on infectious diseases; edisi ke-23. Elk Grove Village: American Academy of
Pediatrics, 1994;308-23.
Plotkin SA. Measles (rubeola). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
791-4.
Levin MJ, Romero JR. Measles, infections : viral & rickettsial. Current pediatric diagnosis &
treatment; edisi ke-10. USA: Prentice Hall International Inc, 1992;820-2.

MUMPS
(PAROTITIS EPIDEMIKA)

BATASAN
Penyakit virus yang bersifat akut dan umum, terjadi pembesaran kelenjar liur (saliva)
terutama kelenjar parotis yang disertai rasa sakit
ETIOLOGI
Virus termasuk grup Paramyxovirus, yang juga termasuk virus para influenzae dan measles
(morbili)
PATOFISIOLOGI
Infeksi virus menyebar melalui saluran pernafasan (umumnya masuk melalui hidung atau
mulut) (kontak langsung atau droplet) bermultiplikasi dalam sel traktus respiratorius
peredaran darah berbagai jaringan terutama kelenjar (diantaranya kelenjar liur)
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita
Belum pernah mendapat imunisasi mumps
Panas, nyeri otot (terutama otot leher) nyeri kepala, malaise, dan anoreksia
Pembesaran pada satu atau kedua kelenjar parotis atau kelenjar liur lain yang disertai
rasa sakit
Laboratorium
Leukopenia dengan limfositosis relatif, amilase serum
Serologik : Uji fiksasi komplemen, inhibisi hemaglutinasi
Isolasi virus dari saliva, urin, cairan otak dan darah
DIAGNOSIS BANDING
Parotitis karena infeksi virus lain
Parotitis supurativa karena bakteri
Parotitis rekurens (idiopatik karena alergi)
Kalkulus saliva
Limfadenitis servikal anterior atau preaurikuler

26

Limfosarkoma atau tumor parotis lain


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jumlah leukosit dan hitung jenis sel darah
Kadar amilase serum
Serologik : Uji fiksasi komplemen, inhibisi hemaglutinasi
Isolasi virus dari saliva, urin, cairan otak dan darah
PENYULIT
Meningoensefalitis
Orkitis atau orkido-epididimitis
Oovoritis
Pankreatitis
Nefritis
Miokarditis
Tiroiditis
Artritis
Mastitis
Tuli
Purpura trombositopenia
TERAPI
Simtomatik : Analgetika-antipiretika
Suportif
Tirah rebah
Diet disesuaikan dengan kesanggupan untuk mengunyah
Penatalaksanaan penyulit yang terjadi
PENCEGAHAN
Imunisasi aktif, biasanya disatukan dengan vaksin measles dan rubela (MMR atau
Trimovax)
PROGNOSIS
Umumnya baik
Meningoensefalitis biasanya ringan dan jarang diikuti sekuele
Orkitis sangat jarang didapatkan gangguan kesuburan
DAFTAR PUSTAKA
Levin MJ, Romero JR. Mumps, infections : viral & rickettsial. Current pediatric diagnosis &
treatment; edisi ke-10. USA: Prentice Hall International Inc, 1992;818.
Phillips CF. Mumps (epidemic parotitis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 808-10.

RUBELA

BATASAN
Penyakit infeksi virus dengan gejala umum ringan disertai timbulnya erupsi, pembesaran
kelenjar limfe yang disertai rasa nyeri di daerah oksipital, retroaurikular dan servikal
posterior

27

KLASIFIKASI
Rubela
Sindroma rubela kongenital
ETIOLOGI
Rubella virus masuk famili Togaviridae, genus Rubivirus
PATOFISIOLOGI
Virus epitel nasofaring berbiak viremia primer RES
sekunder kulit, organ

berbiak viremia

KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita
Demam
Pembesaran kelenjar yang nyeri di daerah retroaurikular, servikal posterior dan oksipital
Erupsi makula papula dalam 24 jam menyerang seluruh tubuh dan pada hari ke-3
menghilang
Laboratorium (bila memungkinkan)
Isolasi virus
Tes serologik
DIAGNOSIS BANDING
Skarlatina
Roseola infantum
Drug rashes
Mononukleosus infeksiosa
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Isolasi virus
Tes serologik
Hemaglutination inhibition (HI)
Latex agglutination
Enzyme immunoassay
Fluorescent immunoassay
PENYULIT
Neuritis
Artritis
Ensefalitis (jarang)
Sindroma rubela kongenital
KONSULTASI
Bagian Saraf
TERAPI
Simtomatik
PROGNOSIS
Baik (jarang penyulit)
Rubela kongenital tergantung dari beratnya infeksi
PENCEGAHAN
Pasif : Immune serum globulin (ISG)
0,25-0,50 ml/kgBB i.m, dalam 7-8 hari setelah kontak
Aktif : Vaksinasi, subkutan

28

Measles mumps rubella vaccin (MMR), mulai pada umur 15 bl


SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Phillip CP. Rubella (German for three day measles). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM, penyunting. Nelson textbook of pediatric; edisi ke-12. Philadelpia: WB Saunders Co,
1982;658-60.
Cherry JD. Rubella. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious
diseases; edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co 1981;1370-400.

VARIOLA
(SMALL POX)
BATASAN
Penyakit infeksi virus akut dan menular ditandai khas timbulnya erupsi berupa papula,
vesikula, pustula dengan gejala umum yang berat
KLASIFIKASI
Variola major
Variola minor (alastrim)
Variola modifikasi (varioloid)
Abortif
ETIOLOGI
Variola major virus
Variola minor virus
PATOFISIOLOGI
Virus epitel saluran nafas atas berbiak viremia primer RES berbiak viremia
sekunder kulit, selaput lendir, organ
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita
Panas mendadak
Nyeri kepala, nyeri otot
Malaise

29

Mual, muntah, nyeri perut


Timbul erupsi makula dan papula vesikula pustula (umbilicated) krusta (pada
satu saat hanya ada satu stadium)
Laboratorium (bila memungkinkan)
Isolasi virus
Serologik
DIAGNOSIS BANDING
Varisela
Vaksinia generalisata
Eksema vaksinatum
Impetigo
Skabies
Eritema multiforme
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Isolasi virus
Tes serologik
Tes antibodi fluoresens
Precipitation in gel (PIG)
Reaksi fiksasi komplemen
PENYULIT
Perdarahan
Infeksi bakteri sekunder
Impetigo
Pneumonia
Empiema
Otitis media
KONSULTASI
Bagian Kulit
TERAPI
Isolasi
Simtomatik
Kulit harus bersih
Makanan/cairan cukup
Kausatif
Anti virus belum ada
Antibiotik : Pada kasus berat
Convalescent smallpox serum dan vaccinia immune globulin :
Efektif untuk mencegah penyakit sesudah kontak tetapi tidak berpengaruh terhadap
perjalanan penyakit
Kasus berat dan perdarahan : Cairan i.v., darah, plasma
PENCEGAHAN
Imunisasi aktif : Vaksin variola
Goresan : 2 goresan sejajar sepanjang 0,5 cm dengan jarak 0,3 cm
(menggunakan vaccinostyle)
Tusukan : 10 tusukan pada satu titik di daerah deltoid kiri atas dengan
jarum bifurkasio
Imunisasi pasif : Vaccinia immune globulin
PROGNOSIS
Angka kematian pada variola minor 1% dan variola major 10%

30

Angka kematian tinggi terutama pada anak balita, ibu hamil dan umur > 45 th
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Wehrle PF. Smallpox. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting.Textbook of pediatric infectious
diseases; edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981;1276-9.
Phillips CP.Smallpox (variola). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-12. Philadelphia: WB Saunders Co, 1982;759-63.
CACAR AIR / VARISELA
(CHICKEN POX)

BATASAN
Penyakit infeksi virus dengan gambaran khas berupa erupsi vesikel diseluruh tubuh yang
timbul berurutan dengan gejala umum yang ringan
ETIOLOGI
Varicella zoster virus (VZV)
PATOFISIOLOGI
Virus masuk saluran nafas bagian atas kelenjar getah bening viremia primer organ
viremia sekunder kulit
KRITERIA DIAGNOSIS
Adanya kontak dengan varisela
Prodromal : Panas ringan
Malaise
Anoreksia
Ruam 24 jam sesudah prodromal
Papula merah vesikula (nonumbilicated) dalam 24 jam isinya mengeruh, mudah
pecah krusta
Limfadenopati generalisata
Varisela bulosa : Pada anak < 2 th
Laboratorium
Leukositosis ringan
Sel raksasa pada kerokan dasar vesikula yang baru
Isolasi virus (bila memungkinkan)
DIAGNOSIS BANDING
Variola
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukosit
Kerokan dasar vesikula yang baru
PENYULIT
Infeksi bakteri sekunder (paling sering)
Trombositopenia perdarahan kedalam kulit/selaput lendir/purpura fulminans
Pneumonia
Laringitis
Miokarditis, perikarditis, endokarditis
Hepatitis
Glomerulonefritis

31

Miositis ekstremitas akut


Keratitis, konjungtivitis
Artritis
Ensefalitis
Bayi kecil
Kelainan kongenital : Kulit keriput, keloid, atrofi otot, korioretinitis, kejang-kejang, gangguan
mental
KONSULTASI
Bagian Kulit
TERAPI
Simtomatik : Lotion, antihistamin untuk gatal
Antivirus : Asiklovir 30 mg/kgBB/hari dibagi 3-5 dosis, selama 5 hari
PENCEGAHAN
Isolasi
Vaksinasi aktif
Vaksinasi pasif

: Varilrix
: Varicella zoster immunoglobulin (VZIG), 125 u/10 kgBB, efektif bila
diberikan dalam 72 jam setelah kontak

PROGNOSIS
Baik
DAFTAR PUSTAKA
Phillips CF. Varicella and herpes zoster. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 800-3.
Weston WL. Varicella zoster infection. Practical pediatric dermatology; edisi ke-2. Boston: Little
Brown & Co, 1988;129-35.

HERPES ZOSTER

BATASAN
Radang kulit akut yang mempunyai sifat khas yaitu vesikel yang tersusun berkelompok
sepanjang persarafan sensoris kulit sesuai dermatom, bersifat nyeri dan umumnya unilateral
KLASIFIKASI
Herpes zoster generalisata
Herpes zoster oftalmikus
Sacral zoster
Ramsay Hunt syndrome (Herpes zoster otikus)
ETIOLOGI
Varicella zoster virus (VZV)
PATOFISIOLOGI
Diduga sesudah timbulnya infeksi varisela, Varicella zoster virus dalam bentuk laten akan
berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Adanya reaktivasi
virus menyebabkan perkembangan virus sepanjang saraf hingga ke kulit sehingga muncul
vesikel berkelompok sebagai ciri penyakit ini
Reaktivasi virus dapat disebabkan infeksi penyakit virus, varicella zoster, trauma fisik tulang
belakang, terapi sinar X, obat imunosupresif, kanker, leukemia atau penyakit Hodgkin

32

KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita
Demam
Nyeri neuralgik disepanjang dermatom
Erupsi kulit pada dermatom torakal, kranial, lumbal atau sakral : Eritema papula
vesikula yang cepat membesar/menyatu bula krusta makula hilang
berangsur-angsur
Limfadenopati regional
DIAGNOSIS BANDING
Pleuritis
Infark miokardium
Kolesistitis
Apendisitis
Kolik renal
Zosteriform herpes simpleks
Kontak dermatitis
Luka bakar
Infeksi kulit oleh bakteri yang terlokalisir
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sel raksasa berinti banyak
Sel mengandung acidophilic intranuclear inclusion bodies
PENYULIT
Nyeri post herpetik
Keratitis, uveitis
Infeksi bakteri sekunder
KONSULTASI
Bagian Kulit

TERAPI
Simtomatik
Istirahat
Analgetika
Antiseptik lokal
Antiseptik topikal
Infeksi sekunder
Antibiotik topikal
Antibiotik sistemik
Kortikosteroid sistemik : Prednison 30 mg/hari bila terasa nyeri
Asiklovir 30-50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis, selama 7 hari
PROGNOSIS
Umumnya baik (self limitted disease)
Kematian karena gagal membatasi replikasi dan penyebaran virus
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

33

Philps CF. Herpes zoster. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
800-3.
Weston WL. Varicella zoster infection. Practical pediatric dermatology; edisi ke-2. Boston: Little
Brown & Co, 1988;129-35.

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)

BATASAN
Penyakit demam akut yang disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus dengue yang
ditandai dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan
kematian
KLASIFIKASI
Menurut WHO (1997) dibagi atas :
Derajat I : Demam dan uji tourniquet (+)
Derajat II : Demam dengan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan/atau
perdarahan di tempat lain
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi (< 20 mmHg) atau hipotensi dengan kulit dingin, lembab dan
gelisah
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tensi yang tidak dapat diukur
ETIOLOGI
Virus Dengue tipe 1, 2, 3 dan 4 (gol. Arthropod borne virus group B) yang ditularkan melalui
gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara lain Aedes aegypti dan Aedes albopictus)
PATOFISIOLOGI
Permeabilitas pembuluh darah volume plasma syok
Trombositopenia dan diatesis hemoragik perdarahan
KRITERIA DIAGNOSIS
Kontak dengan penderita DBD atau DSS
Kriteria WHO
Gejala klinis
Demam tinggi mendadak 2-7 hari
Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet (+)
Perdarahan spontan : Petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan melena
Hepatomegali
Tanpa atau dengan gejala renjatan
Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Tekanan darah
Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung hidung, jari, kaki)
Sianosis sekitar mulut
Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000 /mm3)

34

Hemokonsentrasi (Ht > 20%)


Diagnosis klinis ditegakkan bila didapatkan > 2 gejala klinis dengan trombositopenia dan
hemokonsentrasi
Diagnosis pasti
Hemaglutination inhibition test (HI)

Tabel 26. Interpretasi HI


Respons
antibodi
> 4x

Interval
S1-S2
> 7 hari

> 4x

Setiap
spesimen
< 7 hari

> 4x
Tidak
berubah
Tidak
berubah
Tidak
berubah
Tidak
diketahui

setiap
spesimen
> 7 hari

Titer
Interpretasi
Konvalesens
< 1 : 1280
Infeksi flavivirus akut
primer
> 1 : 2560
Infeksi flavivirus akut
sekunder
< 1 : 1280
Infeksi flavivirus akut
primer atau sekunder
> 1 : 2560
Baru terkena Infeksi flavi
virus sekunder
< 1 : 1280
Bukan dengue

< 7 hari

< 1 : 1280

Tidak bisa diinterpretasi

satu
spesimen

< 1 : 1280

Tidak bisa diinterpretasi

Tes netralisasi
Dot-blot immunoassay
Tes fiksasi komplemen
DIAGNOSIS BANDING
Demam tifoid
Infeksi virus lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HI
IgG
IgM
Isolasi virus
PENYULIT
KID
Perdarahan organ
TERAPI
A. Tanpa renjatan
Pengawasan

35

Tanda vital setiap 1-2 jam


Ht setiap 3-4 jam
Monitor intake, output dan kondisi pasien
Bila dapat minum dianjurkan banyak minum (air teh, teh gula, sirop, susu, oralit,
juice orange, dll). Bila penderita muntah, nyeri ulu hati, Ht cenderung
meningkat, kejang atau trombosit menurun infus glukosa 5% dilarutkan
dalam 1 : 2 atau 1 : 1 larutan Nacl fisiologis
Dengan kebutuhan
Inisial : 10 ml/kgBB untuk setiap kehilangan cairan 1% dari BB normal
Rumatan (Holliday segar)
BB (kg)
Volume rumatan (ml) untuk 24 jam
010
100 ml/kgBB
11-20
1000 ml + 50 ml/kgBB
> 20
1500 ml + 20 ml/kgBB
Simtomatik
Antipiretik : Parasetamol tiap 6 jam bila hiperpireksia (> 390C) atau mempunyai
kecenderungan kejang demam
< 1 th
:
60 mg/dosis
3-6 th
:
120 mg/dosis
6-12 th
:
240 mg/dosis
B. Renjatan
Diberikan RL, Ringer asetat atau glukosa 5% dilarutkan dalam NaCl fisiologis 1:1 atau
1:2 secara cepat (< 20 menit) i.v bolus 10-20 ml/kgBB (bisa diulang bila perlu)
Bila masih terdapat syok, O2 bisa diberikan dan periksa Ht. Jika Ht berikan
plasma/plasma pengganti atau albumin 5% sebanyak 10-20 ml/kgBB secara bolus,
bisa diulangi bila perlu dengan cairan koloid 20-30 ml/kgBB
Bila masih terdapat juga syok, diberikan fresh whole blood 10 ml/kgBB (jika Ht tetap
diatas 35%)
Bila terdapat renjatan lagi pemberian cairan sesuai dengan terapi cairan tanpa
renjatan
Koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Sedativa : Kloral hidrat 12,5-50 mg/kgBB p.o./rektal
PEMANTAUAN
Observasi tanda vital dan keadaan klinis
Periksa secara serial Hb, Ht dan trombosit. Pada kasus ringan setiap 4 jam. Bila ditemukan
sakit ulu hati, mual, Ht , trombosit , lakukan pemeriksaan setiap 2 jam atau lebih sering
Pada renjatan dilakukan pemeriksaan
Tanda vital setiap 15-30 menit
Intake dan output
Elektrolit serum, analisis gas
PT, PTT, TT, FDP untuk menilai timbulnya penyakit dan derajat KID yang akan
mempengaruhi prognosis
Tes fungsi hati : Aspartat aminotransferase, alanin aminotransferase dan protein serum

Catatan
Hemokonsentrasi biasanya terjadi mendahului gangguan sirkulasi
Bila Ht tidak bisa ditentukan, maka Hb bisa memperkirakan besarnya Ht, walaupun tidak
sensitif
Perubahan Ht bermakna bila terjadi peningkatan PCV > 20% dibandingkan rata-rata
berdasarkan jenis kelamin, umur dan populasi setempat

36

Bila terdapat peningkatan PCV > 20% maka penggantian cairan pada DBD dapat dilihat
pada gambar diagram
DBD derajat I atau derajat II tanpa peningkatan Ht

Gejala klinis : Demam 2-7 hari


Uji tourniquet positif atau
Perdarahan spontan
Lab
: Ht tidak meningkat
Trombositopenia (ringan

Penderita masih dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1
sdm tiap 5 menit
Jenis minuman : Air putih, teh manis,
sirup, jus buah, susu, oralit
0
Bila suhu > 38,5 C beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsif

Penderita tidak dapat minum


Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,9% :


Dekstrosa 5% (1:3),
tetesan rumatan sesuai
berat badan
Periksa Hb, Ht, trombosit
tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti ringer laktat


(tetesan disesuaikan)
Perbaikan klinis dan laboratorium

Pulang

Gambar 26. Tatalaksana DBD Derajat I dan Derajat II Tanpa


Peningkatan Hematokrit
(dikutip dari Hadinegoro dkk, 1999)

DBD derajat I dengan peningkatan Ht > 20%


Cairan awal
RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%
+ D5, 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam


Tidak ada perbaikan

Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tekanan darah stabil
Diuresis cukup
(12 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2 kali pemeriksaan)

Gelisah
Distres pernafasan
Frekuensi nadi naik
Ht tetap tinggi/naik
Tek. nadi < 20 mmHg
Diuresis kurang/tidak
ada
Tanda vital memburuk
Ht meningkat

Tetesan dikurangi

37
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam

Perbaikan
Sesuaikan tetesan

DBD derajat III & IV

Oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)


Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9% 20 ml/kgBB secepatnya (bolus
dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat keseimbangan cairan selama pemberian cairan i.v.

Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kg/jam

Cairan dan tetesan disesuaikan


10 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit

Syok tidak teratasi


Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstremitas dingin
Periksa kadar gula darah

Lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam
Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FPP
10-20 (maks. 30) ml/kgBB/jam
Koreksi asidosis

38

INDIKASI PERAWATAN
Takikardia
Capillary refill (> 2 detik)
Dingin dan pucat
Tekanan nadi perifer
Perubahan status neurologik
Oliguria
Ht mendadak
Tekanan nadi (< 20 mmHg)
Hipotensi
KRITERIA PASIEN PULANG
Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perubahan klinis
Output urin baik
Ht stabil
Melewati 2 hari setelah syok
Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites
Trombosit > 50.000/mm3
PROGNOSIS
Buruk pada DSS dengan renjatan berulang/berkepanjangan, dan KID
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Chan Y, Lai OF , Ngoh BL, Tan HC, Seah C, Chan L. Rapid diagnosis on acute sera of DHF
patients by dengue blot and IgM Elisa. Proc. international symposium on dengue and dengue
hemorrhagic fever, Bangkok,1990.
Suroso T. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Simposium
demam berdarah dengue, Jakarta:1986;97-106.

39

World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever. Diagnosis, treatment, prevention and
control; edisi ke-2. WHO, 1997.
Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam
berdarah dengue pada anak. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, penyunting. Demam berdarah
dengue. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999;82-137.

TOKSOPLASMOSIS

BATASAN
Penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii dengan gejala bervariasi
dari asimtomatik sampai limfadenopati di daerah servikal disertai panas tinggi dan malaise
berat
KLASIFIKASI
Toksoplasmosis kongenital
Toksoplasmosis didapat
Toksoplasmosis rekrudesens
ETIOLOGI
Toxoplasma gondii
PATOFISIOLOGI
Kista dalam daging termakan atau dalam udara terhisap usus (bentuk vegetatif)
saluran limfe saluran darah keseluruh tubuh di dalam leukosit kulit dan organ
KRITERIA DIAGNOSIS
Panas
Malaise berat
Limfadenopati servikal
Erupsi makula papula
Tes serologik
Isolasi
PA : Perubahan sitologik spesifik
DIAGNOSIS BANDING
Cytomegalovirus
Mononukleosus infeksiosa
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes serologik
Dye
Indirect fluorescent antibody (IFA)
Direct aglutination
Direct hemagglutination (IHA)
IgM IFA
Isolasi parasit hidup dari preparat segar saluran limfe, otot, plasenta
PA

40

TERAPI
Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin (p.o.)
Pirimetamin : 1 mg/kgBB/hari, selang sehari
Sulfadiazin : 120-190 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis
Spiramisin : 100 mg/kgBB/hari, p.o. dibagi 3 dosis selama 4-6 minggu
PROGNOSIS
Baik
PENCEGAHAN
Hindari kucing (penghasil ookista yang merupakan sumber penularan terutama untuk wanita
hamil)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Feldman HA, Remington JS. Toxoplasmosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-12. Philadelphia: WB Saunders Co, 1982;
722-81.
Feldman HA. Toxoplasmosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting.Textbook of pediatric
infectious disease; edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981;722-81.

MALARIA

BATASAN
Merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu atau lebih dari 4 spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten disertai anemia dan
splenomegali
KLASIFIKASI
Malaria tertiana benigna
Malaria tertiana maligna/subtertiana/tropikana
Malaria kuartana
ETIOLOGI
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae
PATOFISIOLOGI
Gigitan nyamuk Anofeles Plasmodium masuk saluran darah hati (berkembang biak)
masuk kedalam eritrosit (berkembang biak) eritrosit pecah masuk kembali ke
eritrosit
Khusus P. vivax dan P. ovale setelah eritrosit pecah sebagian parasit masuk kembali ke
hati relaps
KRITERIA DIAGNOSIS

41

Penderita berasal dari daerah endemis malaria


Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria
Demam tinggi (intermiten) disertai menggigil, rasa kaku, berkeringat, sakit kepala
Nausea, muntah, sakit punggung, sakit daerah perut, pucat, ikterus, atralgia, anemia dan
splenomegali
Ditemukan parasit malaria pada apusan darah tebal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Apus darah tepi
Tebal ada tidaknya Plasmodium
Tipis identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
PENYULIT
Umumnya disebabkan P. falcifarum
Malaria serebral
Black water fever (Hb-uria masif)
Malaria algida syok
Malaria biliosa gangguan fungsi hati
P. malariae sindroma nefrotik
TERAPI
Untuk semua spesies Plasmodium, kecuali Plasmodium falciparum yang resisten
terhadap klorokuin
Obat
Dosis
Pilihan p.o.
Klorokuin fosfat
10 mg basa/kgBB (maks. 600 mg
basa), 6 jam kemudian 5 mg/kgBB
(maks. 300 mg), dan selanjutnya 5
mg/kgBB/hari pada hari ke-2 dan 3
Pilihan parenteral
Kuinidin glukonat

atau
Kuinin dihidroklorid

10 mg/kgBB loading dose, i.v. (maks.


600 mg) diberikan selama 1-2
jam(drips), kemudian 0,02 mg/kgBB/
menit sampai terapi oral dapat dimulai
30 mg/kgBB/hari, pertama diberikan
1/3 dosis dalam 2-4 jam (drips), dapat
diulang setiap 8 jam dengan dosis
yang sama sampai terapi oral dapat
dimulai (maks. 1800 mg/hari)

Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin


Obat
Dosis
Pilihan p.o.
Kuinin sulfat
30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis selama
3-7 hari
ditambah
Tetrasiklin
5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari selama 7
hari (maks. 4 x 250 mg/hari)
Regimen alternatif
Obat

Dosis

42

Pilihan p.o.
Kuinin sulfat
Pilihan parenteral
Kuinidin glukonat

atau
Kuinin dihidroklorid

ditambah
Pirimetamin sulfadoksin
(Fansidar)
Dosis tunggal

atau
Meflokuin hidroklorid

30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis selama


3 hari
10 mg/kgBB loading dose, i.v. (maks.
600 mg) diberikan selama 1-2 jam
(drips), kemudian 0,02 mg/kgBB/menit
sampai terapi oral dapat dimulai
30 mg/kgBB/hari, pertama diberikan 1/3
dosis dalam 2-4 jam(drips), dapat
diulang setiap 8 jam dengan dosis yang
sama sampai terapi oral dapat dimulai
(maks. 1800 mg/hari)
< 1 th : tablet
1-3 th : tablet
4-8 th : 1 tablet
9-14 th : 2 tablet
> 14 th : 3 tablet
15-25 mg/kgBB dosis tunggal p.o.
(maks. 1250 mg)

Pencegahan relaps : Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale


Obat
Dosis
Primakuin fosfat
0,3 mg basa/kgBB/hari selama 14 hari
(maks. 26,3 mg basa/hari)

PROGNOSIS
Umumnya baik, malaria berat paling sering menyebabkan kematian karena malaria serebral
PENCEGAHAN
Hindari gigitan nyamuk dewasa
Membunuh nyamuk/jentik dengan insektisida
Pencegahan dengan obat-obatan yang diminum 2 minggu sebelum, selama tinggal dan 8
minggu sesudah meninggalkan daerah endemis
DAFTAR PUSTAKA
Clyde DF. Malaria. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelpia: WB Saunders Co, 1996; 4-8.
American Academic of Pediatrics. Malaria. Dalam: Peter G, penyunting. 1997 Red book:
Report of the committee on infectious diseases; edisi ke-24. Elk Grove Village IL: American
Academic of Pediatrics, 1997;335-42.

AMEBIASIS

DEFINISI
Infeksi akut dan kronik pada manumur yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica

43

KLASIFIKASI
Amebiasis usus
Amebiasis diluar usus
ETIOLOGI
Entamoeba histolytica (bentuk kista dan trofozoit)
PATOFISIOLOGI
Kista yang tertelan metakista metakista trofozoit dalam kolon koloni trofozoit dalam
serum dan kolon prekista kista dengan 4 inti evakuasi dalam feses lingkungan
KRITERIA DIAGNOSIS
Amebiasis usus
Diare dengan tenesmus
Feses berlendir/darah
Kolik abdomen
Demam tinggi
Amebiasis hati
Nyeri kuadran kanan atas/epigastrium
Teraba hepar dan peninggian hemidiafragma kanan
Atelektasis pada lobus kanan bawah, efusi pleura
Tes fungsi hati : Alkali fosfatase dan SGOT
Amebiasis paru
Batuk, nyeri dada, pleuritis, panas dan sesak
Abses paru, efusi pleura, empiema sekunder dari abses hati
Perikarditis ameba
Abses hati ruptur ke kantung perikardium
Timbul gejala tamponade jantung
Peritonitis ameba
Perforasi yang multipel
Ruptur abses amebiasis hati
Amebiasis kulit
Radang granulomatous pada kulit dan jaringan subkutan
Amebiasis otak
Peradangan berasal karena penyebaran dari usus, hati, paru
Laboratorium : Trofozoit/kista dalam feses
Trofozoit dalam pus aspirasi/spesimen jaringan
Leukosit dapat (> 15.000/mm)
pada
LED
abses ameba
SGOT dan SGPT sedikit
USG menghasilkan rongga kistik
Serologik
Sigmoidoskopi : Ditemukan ulkus yang khas
DIAGNOSIS BANDING
Kolitis ulseratifa
Crohn disease of the colon
Disentri basiler
Kolitis tbc
Abses piogenik
Neoplasma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Feses
Aspirasi dan spesimen jaringan

44

Darah : Leukosit, LED, SGOT, SGPT


USG
Tes serologik
Hemaglutinasi indirek
Imunofluoresens indirek
Countercurrent immunoelectrophoresis
Fiksasi komplemen
Agar gel difussion
Sigmoidoskopi
PENYULIT
Abses hati
Abses paru
Perikarditis
Peritonitis
Amebiasis kulit
Abses otak
TERAPI
Infeksi usus asimtomatik
Diloksanid furoat (furamide) : 7-10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis atau
Iodokuinol (diiodohidroksikuin) : 10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
Paramomisin (humatin) : 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari
Efek simpang kebanyakan ringan, berupa ruam, kadang-kadang ataksia atau
parestesia
Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol : 15 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari
Efek simpang kebanyakan ringan, berupa ruam, kadang-kadang ataksia atau
parestesia
Infeksi usus berat dan abses hati
Metronidazol : 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, p.o. atau i.v., selama 10 hari, atau
Dehidroemetin : 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis i.m., selama 5 hari, maksimal 90
mg/hari. Dapat menimbulkan aritmia jantung, sakit dada dan selulitis pada tempat
suntikan
Klorokuin fosfat : 10 mg/kgBB/hari/p.o. dalam 3 dosis untuk 21 hari maks. 600
mg/hari, efektif untuk abses hati, tapi tidak untuk amebiasis usus. Dapat terjadi gatal,
muntah, kerusakan kornea mata, tetapi efek simpang yang paling serius ialah injury
retina yang reversibel
PROGNOSIS
Amebiasis usus : Baik (bila tidak ada penyulit)
Tanpa amebiasis hati, kematian 1-2%, akibat nekrosis usus dan perforasi
usus. Tindakan bedah segera dapat menurunkan angka kematian dari
100% 28%
Abses hati
: Case fatality rate 10-15%, bila terjadi ruptur ke
dalam rongga pleura
maka angka kematiannya 20%
Amebiasis otak angka kematiannya 96%
DAFTAR PUSTAKA
Feigin RD, Cherry JD. Parasitic disease. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Texbook of
pediatric infectious diseases; edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981;1543-8.
Gryboski J, Walker WA. Amubiasis. Dalam: Walker WA, Durie, Hamilton, penyunting.
Gastrointestinal problems in infant; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983;565-7.
Sherlock S. Hepatic amoebiasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver
and biliary system; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1981;431-5.

45

PENYAKIT CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH

BATASAN
Nematoda usus yang penularannya melalui tanah yang tercemar tinja penderita kecacingan
KLASIFIKASI
Askariasis
Ankilostomiasis
Trikuriasis

ASKARIASIS

ETIOLOGI
Ascaris lumbricoides
PATOGENESIS
Bila keadaan lingkungan menguntungkan bagi kelangsungan hidup cacing, telur yang
dikeluarkan bersama tinja akan matang dan infektif setelah 510 hari di dalam tanah. Larva
dari telur infektif yang termakan akan menembus dinding usus sirkulasi darah paru
larva naik melalui percabangan bronkus trakea tertelan dan masuk ke dalam saluran
cerna dan tumbuh menjadi seekor cacing dewasa yang hidup di dalam usus. Di dalam usus
seekor cacing dewasa mengisap 0,14 g karbohidrat/hari dan mengganggu penyerapan
vitamin A
KRITERIA DIAGNOSIS
Loeffler like syndrome
Keluarnya cacing dewasa melalui anus atau mulut
Feses : Mikroskopik ditemukan telur Ascaris lumbricoides
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sediaan feses dan muntahan
PENYULIT
Obstruksi usus
TERAPI
Anti helmintik
Mebendazol 2 x 100 mg p.o., selama 3 hari berturut-turut
Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o., dosis tunggal
Albendazol 200 mg/kgBB p.o., untuk anak > 2 th dosis tunggal
Garam piperazin 5075 mg/kgBB (obat terpilih untuk obstruksi intestinal karena Ascaris
lumbricoides) 2 hari berturut-turut

ANKILOSTOMIASIS
ETIOLOGI
Ancylostoma duodenale
Necator americanus

46

Ancylostoma ceylonicum
PATOGENESIS
Pada kondisi yang menguntungkan, telur yang dikeluarkan bersama tinja menetas menjadi
larva menembus kulit sirkulasi darah paru larva naik melalui percabangan
bronkus trakea tertelan masuk ke dalam saluran cerna. Cacing dewasa hidup di dalam
usus dengan cara menempel pada dinding usus. Seekor cacing dewasa diperkirakan
mengisap 0,10,2 ml darah/hari
KRITERIA DIAGNOSIS
Ground itch
Feses : Ditemukan telur cacing Ancylostoma duodenale, Necator americanus atau
Ancylostoma ceylonicum
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Feses
PENYULIT
Anemia
Hipoalbuminemia
Gagal jantung
TERAPI
Hb < 5 g/dl elemen zat besi 23 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
Anemia berat dan gagal jantung : Transfusi PRC dan diuretik
Anti helmintik : Mebendazol 2 x 100 mg p.o., 2 hari berturut-turut
Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o. dosis tunggal
TRIKURIASIS

ETIOLOGI
Trichuris trichiura
PATOGENESIS
Pada keadaan yang menguntungkan, telur yang keluar bersama tinja menjadi matang dalam
waktu 24 minggu. Setelah tertelan, telur akan menetas dan larva akan tinggal di dalam
usus kecil selama 310 hari, kemudian turun secara perlahan-lahan ke dalam usus besar
tempat cacing dewasa hidup. Cacing dewasa terutama hidup di daerah sekum dan kolon
asendens. Di tempat ini seekor cacing mengisap zat makanan dan 0,005 ml darah/hari
KRITERIA DIAGNOSIS
Kebanyakan kasus tanpa gejala, kadang-kadang kolik abdomen dan perut kembung
Pada penderita infeksi berat pernah dilaporkan diare berdarah, anemia dan prolapsus
rekti
Feses : Mikroskopik ditemukan telur Trichuris trichiura
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Feses
PENYULIT
Prolapsus rekti
TERAPI
Anti helmintik : Mebendazol 2 x 100 mg, p.o., 3 hari berturut-turut

47

INFEKSI NOSOKOMIAL

BATASAN
Setiap infeksi yang didapat selama perawatan di rumah sakit yang terjadi sesudah 48 jam
perawatan, atau karena perawatan di RS sebelumnya, dan bukan dalam stadium inkubasi.
Menurut Depkes sesudah 72 jam perawatan.
KLASIFIKASI
Berdasarkan organ tempat terjadinya infeksi, dapat dibagi atas infeksi nosokomial
Traktus urinarius
Traktus respiratorius
Traktus digestivus
Luka post operasi
Bakteremia dan infeksi karena pemakaian i.v.
Kulit, dll
ETIOLOGI
Dapat disebabkan oleh setiap mikroorganisme patogen (bakteri, virus, fungi, protozoa),
terutama yang berasal dari flora endogen penderita sendiri
Dapat pula disebabkan mikroorganisme lain yang mungkin didapat di rumah sakit termasuk
bakteri, fungi, virus dan protozoa
PATOFISIOLOGI
Kebanyakan infeksi nosokomial adalah autochthonous (berasal dari flora endogen penderita
sendiri), tetapi cross-infection antara penderita yang dirawat juga berperan baik langsung
(kontak atau udara), atau tidak langsung (orang benda orang, atau benda orang)
Kontak tak langsung terutama menyebar melalui tangan petugas rumah sakit
Kejadian luar biasa infeksi nosokomial juga terjadi karena transfusi darah, larutan intravenus
yang tercemar, dll
KRITERIA DIAGNOSIS
Infeksi post operasi : Memenuhi kriteria luka yang merah dan atau purulen walaupun
tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan mikrobiologik
Infeksi kulit/jaringan lunak (diluar post operasi) : Memenuhi kriteria kulit/jaringan yang
merah, bengkak, atau sakit disertai pembentukan pus, walaupun tidak ditemukan kuman
pada pemeriksaan mikrobiologik
Bakteremia : Memenuhi kriteria demam atau hipotermia dan ditemukan kuman pada
kultur darahnya
Infeksi traktus respiratorius (pneumonia) : Memenuhi kriteria
klinis dan
radiologik
Infeksi traktus urinarius : Memenuhi kriteria jml. leukosit > 5/LPB urin midstream
dengan jumlah kuman > 10.000 /mm3 urin
Infeksi traktus digestivus : Memenuhi kriteria definisi WHO tentang diare
Lain-lain : Memenuhi kriteria klinis, pemeriksaan mikrobiologik, mikroskopik atau
serologik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENYULIT
KONSULTASI
TERAPI
PROGNOSIS

Tergantung dari jenis infeksi nosokomial

48

FAKTOR RISIKO
Umur
Berat badan lahir
Perubahan mikroflora normal (berhubungan dengan lama perawatan di rumah sakit)
Interupsi barier anatomi karena infeksi
Implantasi benda asing
Gangguan metabolik dan sirkulasi
Perubahan respons imun
Bayi yang mendapat minuman buatan
PENCEGAHAN
Sterilisasi dan desinfeksi
Cleaning
Cuci tangan
Cara-cara aseptik
Supervisi, latihan dan pendidikan
Pembatasan pengujung penderita
Isolasi
Pembatasan pemberian antibiotik
Perhatian lebih besar pada neonatus
Penanganan alat yang sering dipakai bersama
Kesehatan staf rumah sakit
Pemeriksaan medis sebelum menjadi petugas rumah sakit
Pemeriksaan medis secara teratur
Imunisasi penyakit tertentu (tuberkulosis, poliomielitis, rubela dll)
Melaporkan penyakit yang diderita
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Causay WA, Gardner P. Hospital control of infections. Nosocomial infections. Dalam: Feigin RD,
Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-1. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1981;1655-70.

49

GAGAL JANTUNG

BATASAN
Keadaan jantung tidak mampu menghasilkan curah jantung yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
KLASIFIKASI
Klasifikasi didasarkan atas kemampuan kerja fisis penderita
Klas I : Tidak memerlukan pembatasan aktivitas fisis
Tidak timbul keluhan sesak pada saat melakukan aktivitas ringan maupun sedang
Klas II : Memerlukan sedikit pembatasan aktivitas fisis, sesak timbul bila melakukan
aktivitas sedang (misal : Naik tangga dengan cepat), saat istirahat atau aktivitas
ringan tidak menimbulkan keluhan
Klas III : Perlu pembatasan aktivitas yang lebih banyak, waktu istirahat tidak ada keluhan,
pekerjaan ringan (misal : Naik tangga perlahan-lahan) sudah menimbulkan sesak
Klas IV : Waktu istirahat sudah timbul keluhan sesak nafas dan sama sekali tidak
memungkinkan melakukan aktivitas
ETIOLOGI
Neonatus : Sindroma Hipoplasia jantung kiri, Koarktasio Aorta,
Stenosis Aorta
Bayi
: Defek Septum Ventrikel, Duktus Arteriosus Persisten, Defek Septum
Atrioventrikuler (DSAV), Transposisi Komplet Arteri Besar, Double outlet right
ventricle (DORV), Atresia Trikuspid, Trunkus Arteriosus
Anak
: Penyakit Jantung Reumatik, Miokarditis, Endokarditis, Kardiomiopati, Hipertensi
PATOFISIOLOGI
Terdapat 4 faktor yang dapat menerangkan terjadinya kegagalan jantung tersebut, yaitu
Beban volume (preload)
Beban tekanan (after load)
Gangguan fungsi jantung
Denyut jantung
KRITERIA DIAGNOSIS
Pada bayi
Takipnea, banyak berkeringat, kesulitan minum, BB sukar naik, menangis lemah
Retraksi interkostal, suprastrenal, substernal
Pernafasan cuping hidung
Hepatomegali
Kardiomegali
Takikardia
Irama derap
Jarang ditemukan edema
Pada anak
Lemah, anoreksia, nyeri perut, batuk
Dispnea, ortopnea
Hepatomegali
Tekanan vena jugularis
Edema
Kardiomegali dan irama derap
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
: Dengan sedikit perkecualian, gagal jantung selalu disertai kardiomegali
yang nyata

Elektrokardiografi : Disamping frekuensi QRS yang cepat, atau disritmia, dapat ditemukan
pembesaran ruang jantung serta tanda penyakit miokardium atau
perikardium, sesuai dengan penyakit atau keadaan patologis yang
mendasari
Ekokardiografi
: Berbagai kelainan jantung dapat ditegakkan diagnosisnya secara
akurat melalui pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi dan M mode
TERAPI
Umum
Istirahat dengan posisi setengah duduk
O2 lembab
Batasi masukan cairan
Diet : Cair, porsi kecil, miskin garam. Berat puasa
Monitor tanda vital
Khusus
Pilihan pertama :
Kaptopril (ACE inhibitor)
Dosis : 0,1-2,0 mg/kgBB/dosis 2-3x/hari, dimulai dengan dosis rendah, dinaikkan
bertahap
Pilihan kedua :
Digitalis
Bentuk obat : Lanoksin tablet (0,25mg) ; ampul (0,025 mg/ml)
Dosis total : Prematur : 35
g/kgBB/hari, p.o.
< 2 th
: 50-70 g/kgBB/hari, p.o.
> 2 th
: 30-50 g/kgBB/hari, p.o.
Dosis i.v. 75% dosis p.o.

Cara pemberian

^
dosis

8 jam

^
dosis

8 jam

^
dosis

Mulailah dengan dosis rendah, bila belum ada perbaikan (dalam 12 jam) dosis boleh
dinaikkan secara bertahap sampai dosis tertinggi, bila tidak ditemukan tanda
intoksikasi digitalis
Bila ada perbaikan, lanjutkan dengan dosis tetap 1/4 atau 1/3 dari dosis digitalisasi,
dibagi 2 dosis dalam 24 jam
Apabila terdapat tanda keracunan digitalis, obat segera dihentikan
Pemeliharaan :
Kalau sudah tercapai digitalisasi kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan :
8-10 g/kgBB/hari 2 dosis
Obat inotropik lain :
Golongan beta receptor agonist, misalnya isoproterenol atau dopamin. Diberikan bila
terdapat gagal jantung yang berat disertai penurunan perfusi sistemik
Dosis isoproterenol : 0,1 g/kgBB/menit dalam 5-10% G&W
Dopamin
: 5 -10 g/kgBB/menit dalam 5% G&W
Cara pengenceran dopamin :
1 ml dopamin (50 mg/5ml) + 24 ml D5%, didapatkan larutan 400 ug/ml
1 ml dopamin (200 mg/10 ml) + 24 ml D5%, didapatkan larutan 800 ug/ml

Cara pemberian :
Dimulai dengan dosis rendah, ditunggu 15-30 menit, kalau belum teratasi dosis
dinaikkan secara bertahap sampai keadaan stabil (selanjutnya dosis
dipertahankan)
Pilihan pertama dan kedua ditambah diuretik :
Furosemid
Dosis awal : 1,0 mg/kgBB/hari p.o. 3-4 dosis
Dosis pemeliharaan : Dapat diulang 1-7 hari dengan dosis yang sama dengan
dosis awal
Spironolakton (antagonis aldosteron)
Dosis awal
: 2,0-3,0 mg/kgBB/hari p.o., 2 dosis
Dosis pemeliharaan : Sama dengan dosis awal (sering dikombinasikan dengan
golongan tiazid)
Catatan
Bersamaan dengan diuretik diberikan KCl, dosis 75 mg/kgBB/hari p.o. 3 dosis
untuk mengganti kehilangan K akibat pemakaian diuretik atau bila ditemukan
disritmia atrium akibat intoksikasi digoksin
Penyakit yang mendasari
Monitoring :
Elektrokardiografi
Dilakukan 2 jam setelah dosis ke-1, 2 jam sebelum/sesudah dosis ke-2, 2 jam
sebelum dosis ke-3. Selanjutnya tiap 12 jam sampai dosis terapeutik tercapai
Kadar digoksin serum
Kadar terapeutik : 3 ng/ml
Kadar toksik
: 7 2 ng/ml
Elektrolit darah : K
DAFTAR PUSTAKA
Freed MD. Nadas pediatric cardiology. Philadelphia: Hanley & Belfus Inc, 1992; 63-72.
Friedman WF, George BL. New concept and drugs in the treatment of congestive heart failure.
Ped Clin North Am 1984; 31:1197-227.
Coday A Jr. Heart failure. Dalam: Lily LS, penyunting. Pathophysiology of heart disease.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1993; 147-65.

KELAINAN JANTUNG BAWAAN

BATASAN
Merupakan kelainan bawaan yang paling sering dijumpai, meliputi hampir 30% dari seluruh
kelainan bawaan
KLASIFIKASI
Kelainan Jantung Bawaan Tipe Non Sianotik
Defek Septum Atrium
Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Atrioventrikularis (Endocardial Cushion Defect)
Duktus Arteriosus Persisten
Stenosis Pulmonal Valvular dengan Septum Ventrikel Utuh
Stenosis Pulmonal Infundibular tanpa Defek Septum Ventrikel
Stenosis Pulmonal Distal

Koarktasio Aorta
Stenosis Aorta
Prolaps Katup Mitral
Kelainan Jantung Bawaan Tipe Sianotik
Tetralogi Fallot
Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel
Atresia Pulmonal tanpa Defek Septum Ventrikel
Atresia Trikuspid
Hypoplastic Left Heart Syndrome
Transposisi Arteri Komplet
Trunkus Arteriosus Persisten
ETIOLOGI
Pada sebagian besar kasus tidak diketahui, tetapi diduga karena beberapa faktor. Penyakit
Ibu (mis. rubela), obat yang diminum, paparan sinar x pada trimester pertama kehamilan
diduga sebagai faktor eksogen. Faktor endogen berhubungan dengan penyakit genetik dan
sindroma tertentu. Pada sebagian besar kasus karena multifaktorial yaitu gabungan antara
faktor endogen dan eksogen
KRITERIA DIAGNOSIS
Lihat masing-masing kelainan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
EKG
Ekokardiografi
Kateterisasi
PENYULIT
Gagal Jantung
Endokarditis Bakterial Subakut
Gangguan pertumbuhan
Tromboemboli

KELAINAN JANTUNG BAWAAN TIPE NON SIANOTIK


DEFEK SEPTUM ATRIUM

BATASAN
Defek septum dari ostium sekundum bervariasi, bisa akibat terlalu besarnya ostium
sekundum atau tidak adekuatnya perkembangan septum sekundum. Biasanya asimtomatik
dengan murmur yang ditemukan pada waktu pemeriksaan fisis, jarang menyebabkan gagal
jantung
KRITERIA DIAGNOSIS
Pada pirau yang berat dapat ditemukan precordial bulging
Bunyi jantung I normal
Bising sistolik tipe ejeksi di tepi kiri atas sternum dan pada pirau yang besar terdengar
diastolic flow murmur di daerah trikuspid
Bunyi jantung II : Wide fixed spliting
TERAPI
Operasi penutupan defek dianjurkan bila rasio aliran darah pulmonal : sistemik > 1,2

Biasanya dilakukan pada umur 2-4 th


Pencegahan terhadap terjadinya endokarditis bakterial subakut
Pengobatan bila terjadi gagal jantung

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL


KLASIFIKASI
Defek septum ventrikel kecil dengan tahanan vaskular paru normal
Defek septum ventrikel sedang dengan tahanan vaskular paru normal
Defek septum ventrikel besar dengan hipertensi dinamik
Defek septum ventrikel besar dengan hipertensi paru dan meningginya pembuluh darah
paru
Klinis bervariasi tergantung besar/kecilnya defek
KRITERIA DIAGNOSIS
Gambaran klinis defek septum ventrikel sangat bervariasi, dari yang ringan sampai gagal
jantung berat disertai dengan gagal tumbuh
Bila defek septum ventrikel sangat kecil, terutama defek muskular, ditemukan bising
sistole dini pendek yang mungkin didahului early systolic click
Defek septum ventrikel kecil biasanya bunyi jantung normal, tetapi dapat terdengar bising
pansistole yang biasanya keras, disertai getaran bising, dengan pungtum maksimum di
sela iga III-IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang garis sternum kiri, bahkan
ke seluruh prekordium
TERAPI
Bila ada gagal jantung penanganan seperti yang sudah diuraikan
Operasi biasanya pada umur 2-5 th (dilakukan bila tidak ditemukan tanda hipertensi
pulmonal persisten yaitu rasio aliran pulmonal dan sistemik < 1)

DEFEK SEPTUM ATRIOVENTRIKULARIS


(ENDOCARDIAL CUSHION DEFECT)

BATASAN
Timbul akibat defek penggabungan bantalan endokardium, septum interatrial maupun
septum interventrikel
Endocardial cushion berperan dalam pembentukan septum membran, septum ventrikel,
daun anterior katup mitral serta daun katup trikuspid dan bagian bawah septum primum
KLASIFIKASI
Menurut beratnya abnormalitas
Tidak komplit
: Defek septum primum
Komplit/Transisi : Common atrioventricular
KRITERIA DIAGNOSIS
Umumnya simtomatik

Anomali ditemukan pada saat pemeriksaan berupa pirau sedang


inkompetensi mitral
ringan seperti halnya defek septum tipe sekundum dengan penambahan apical systolic
murmur
Pada pirau kiri ke kanan yang besar dengan inkompetensi mitral yang berat didapatkan
keluhan cepat lelah dan timbul pneumonia rekurens

TERAPI
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung
Operasi

PERSISTEN DUKTUS ARTERIOSUS

BATASAN
Terjadi hubungan antara a. pulmonalis dan aorta dibawah a. subklavia sinistra melalui
duktus arteriosus yang tetap terbuka
Hemodinamika
Karena tekanan pada aorta lebih tinggi, maka terjadi aliran darah dari aorta ke a.
pulmonalis baik pada waktu sistole maupun diastole
KRITERIA DIAGNOSIS
Ditentukan oleh besar/kecilnya ukuran duktus dan resistensi pembuluh darah paru
Duktus kecil : Umumnya asimtomatik, tekanan nadi lebar, bising kontinyu
Duktus besar dengan resistensi pembuluh darah paru normal : Takipnea, cepat lelah,
poor feeding, banyak berkeringat, sering infeksi saluran nafas, failure to thrive, gagal
jantung, tekanan nadi lebar
Duktus besar dengan resistensi pembuluh darah paru tinggi : Takipnea, dispnea,
sianosis, bunyi jantung II keras dan tunggal
TERAPI
Obat
Bayi prematur
Indometasin
Dosis : 0,1-0,3 mg/kgBB i.v. tiap 8-24 jam
0,1-0,3 mg/kgBB i.v. tiap 12 jam
Diberikan bila fungsi ginjal, hepar dan hematologik baik
Tidak diberikan bila ditemukan
Hiperbilirubinemia, dengan bilirubin > 12 mg%
Gagal ginjal, syok, EKN, perdarahan intrakranial, penyakit perdarahan
Ibuprofen
Dosis : Hari ke-1
: 10 mg/kgBB i.v.
Hari ke-2 dan 3 : 5 mg/kgBB i.v.
Operasi
Bila indometasin/ibuprofen, restriksi cairan dengan/tanpa diuretik gagal operasi (ligasi)
Bila tidak ditemukan obstruksi pembuluh darah pulmonal
Pada Duktus Arteriosus Persisten sederhana, operasi dilakukan pada umur 1 th
Operasi dilakukan bila rasio tahanan pulmonal : sistemik > 1,2

STENOSIS PULMONAL VALVULAR


DENGAN SEPTUM VENTRIKEL UTUH

BATASAN
Paling sering dari obstruksi anatomik outflow ventrikal kanan
KRITERIA DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisis tergantung berat ringannya stenosis
Pada stenosis ringan komponen pulmonal bunyi jantung II normal
Pada stenosis berat terdengar wide splitting S II
TERAPI
Valvotomi elektif

KOARKTASIO AORTA

BATASAN
Akibat penyempitan yang bervariasi panjangnya pada setiap tempat dari arkus aorta ke
bifurkasio aorta
KRITERIA DIAGNOSIS
Tekanan darah ekstremitas atas > bawah
Perabaan ekstremitas atas lebih panas dari pada bawah
Pulsasi femoral, poplitea, tibialis posterior atau dorsalis teraba lemah sampai tak teraba
TERAPI
Bila terdapat gagal jantung penanganan gagal jantung
Operasi
Sebelum operasi, untuk mengurangi afterload diberikan
Nitroprusid 50-180 mg/l, infus/titrasi, mulai 10 tetes/menit
Propanolol 0,01-0,015 mg/kgBB i.v. dalam 10 menit, dapat diulang setelah 6-8 jam,
dilanjutkan p.o. dosis 0,2-0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali

STENOSIS AORTA

BATASAN
Obstruksi ejeksi ventrikel kiri dengan terdapatnya perbedaan tekanan sistole antara ventrikel
kiri dan aorta
Berdasarkan lokasi anatomisnya dibagi atas
Supra valvular
Valvular (tersering)
Subvalvular
Hemodinamika
Tanpa melihat lokasi obstruksi, beban tekanan ventrikel kiri meningkat, beban tekanan
makin besar dengan makin beratnya obstruksi
KRITERIA DIAGNOSIS
Bayi : Gejala timbul pada umur 2 bl (berupa gagal jantung)
Anak : Sering asimtomatik, biasanya pertumbuhan dan perkembangan tidak terganggu
Stenosis berat nyeri dada, kadang-kadang sinkope

TERAPI
Propanolol
Operasi hasil memuaskan

PROLAPS KATUP MITRAL

BATASAN
Penonjolan/protrusi daun katup mitral, terutama daun posterior ke atrium kiri pada akhir
sistole. Penonjolan ini disebabkan adanya jaringan katup yang berlebihan atau disfungsi m.
papilaris dan atau korda tendina
KRITERIA DIAGNOSIS
Biasanya asimtomatik
Anak sering mengalami sinkope
Kadang-kadang menimbulkan keluhan palpitasi
Adanya klik midsistole dan late systolic apical murmur, kelainan bervariasi pada tiap
penderita, kadang-kadang hanya terdengar klik
TERAPI
Propranolol
Profilaksis terhadap Endokarditis Bakterial Subakut

KELAINAN JANTUNG BAWAAN TIPE SIANOTIK


TETRALOGI FALLOT (ToF)

BATASAN
Klinis menunjukkan 4 kelainan anatomi berupa : Defek Septum Ventrikel, Stenosis Pulmonal
berat, Overriding aorta dan Hipertrofi Ventrikel Kanan
Hemodinamika
Perubahan hemodinamika tergantung beratnya obstruksi outflow ventrikel kanan. Jarang
sekali menunjukkan gagal jantung. Arah dan volume pirau menunjukkan beratnya
stenosis pulmonal Stenosis yang tidak terlalu berat memungkinkan pirau kiri ke kanan
dengan arterial unsaturation sistemik minimal (precyanotic atau pink Fallot)

KRITERIA DIAGNOSIS
Lk. 1/3 bayi sangat sianotik segera setelah lahir
Kadang-kadang sianotik baru timbul setelah umur 6 bl
Sianosis serta gejala dispnea dan hiperpnea baru timbul pada akhir umur 1 th yang
makin bertambah jelas dengan bertambahnya umur
Jari tabuh
Tanda hypoxic spell

Failure to thrive
TERAPI
Medikamentosa
Bila ditemukan hypoxic spell yang merupakan keadaan emergensi, segera
O2 melalui masker 5-8 L/menit
Posisi knee-chest pada tempat tidur atau bahu ibunya dan anak diusahakan untuk
ditenangkan
Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis/s.k., dapat diulang dengan dosis dan cara yang
sama setelah 4 jam
Na bikarbonat 3 mEq/kgBB i.v.
Infus cairan rumatan (bila berat)
Bila ada anemia (absolut atau relatif) koreksi dengan transfusi darah
Propanolol mulai dengan i.v. dalam infus (dosis 0,01-0,015 mg/kgBB, dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama setelah 6-8 jam), selanjutnya p.o. (dosis 0,2-0,5
mg/kgBB /dosis dalam 3-4 dosis, maks. 1,5 mg/kgBB /hari
Bila urutan tindakan tersebut di atas tidak berhasil, perlu tindakan untuk
mempertahankan Hb 16-18 g/dl (Ht 55-60%) dengan cara
Flebotomi : Mengeluarkan darah vena 10% dari volume darah total
Transfusi tukar parsial (dengan plasma) :
Jumlah plasma yang diberikan =
(volume darah penderita) x (Ht penderita-Ht yang diharapkan)
Ht penderita
Operasi
Asimtomatik/tanpa sianosis pada umur 8-12 th
Asimtomatik dengan sianosis ringan bila mungkin pada umur 6-8 th
Simtomatik dengan sianosis
bertahap dan segera
Bayi

ATRESIA PULMONAL DENGAN DEFEK SEPTUM VENTRIKEL


BATASAN
Bentuk kelainan Tetralogi Fallot berat, bayi tampak sangat sianosis segera setelah lahir,
kadang-kadang dengan duktus yang tertutup/ konstriksi
KRITERIA DIAGNOSIS
Sianosis terlihat lebih dini (hari pertama lahir)
Tidak terdengar bising pada daerah jalan keluar ventrikel kanan, namun mungkin
terdengar bising di daerah jalan keluar di daerah anterior atau posterior
Bila kolateral banyak, tidak terlihat sianosis
Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung (pada umur bayi)
TERAPI
Mempertahankan Duktus Arteriosus Persisten dengan infus prostaglandin E, sebelum
tindakan operasi
Operasi

ATRESIA PULMONAL TANPA DEFEK SEPTUM VENTRIKEL


BATASAN
Kelainan Jantung Bawaan yang sangat jarang, dikelompokkan menjadi 2 jenis
Dengan orifisium trikuspid kecil dan ventrikel kanan juga kecil
Dengan insufisiensi trikuspid dan ventrikel kanan besar
Hemodinamika
Darah masuk ventrikel kanan dalam jumlah kecil melalui sinusoid miokardium ke
pembuluh koroner dan aorta, tapi sebagian besar regurgitasi ke atrium kanan melalui
katup trikuspid yang inkompeten. Pirau kiri ke kanan melalui duktus sangat esensial
untuk kelangsungan hidup bayi tersebut. Aliran darah ke paru tergantung pada
persistensi duktus arteriosus
KRITERIA DIAGNOSIS
Sianosis jelas pada bayi segera setelah lahir dan tampak makin jelas selama masa
neonatus
TERAPI
Mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka dengan infus prostaglandin E, sebelum
tindakan operasi
Operasi
ATRESIA TRIKUSPID

BATASAN
Sebagai akibat kegagalan perkembangan/pembentukan katup trikuspid sehingga tidak
terdapat hubungan antara atrium kanan dan ventrikel kanan. Aliran darah vena sistemik
harus melewati septum atrium ke bagian kiri jantung
Hemodinamika
Tergantung dari kelainan penyerta. Dasarnya pada semua kasus, aliran darah sistemik
harus melewati septum atrium ke atrium kiri selanjutnya ke ventrikel kiri, darah akan
bercampur dengan darah dari pulmonal sistemik, sedangkan sirkulasi paru tergantung
dari kelainan yang menyertainya
KRITERIA DIAGNOSIS
Tergantung dari kelainan anatomi dasar, sebagian besar menunjukkan sianosis sedangberat, biasanya terjadi dalam minggu I-II kehidupan secara progresif
Serangan hipoksia terjadi pada masa bayi
TERAPI
Bila aliran darah ke a. pulmonalis besar penanganan gagal jantung
Bila aliran darah ke a.pulmonalis kurang infus prostaglandin E
Operasi

HYPOPLASTIC LEFT HEART SYNDROME


BATASAN
Merupakan malformasi obstruksi bagian kiri jantung dengan hipoplasia hebat pada ventrikel
kiri. Sering disertai hipoplasia dan atresia katup mitral atau stenosis aorta. Kebanyakan
meninggal pada masa neonatus
Hemodinamika

10

Aliran darah ke jantung kiri tidak mungkin terjadi baik pada masa fetal maupun setelah
lahir. Darah yang masuk aorta merupakan campuran darah sistemik dan venous return
paru, sehingga selalu ada sianosis. Setelah lahir, darah dari ventrikel kanan terus ke paru
dan sirkulasi sistemik
KRITERIA DIAGNOSIS
Seringkali bayi hanya takipnea segera setelah lahir yang kemudian cepat memburuk
dalam 48-72 jam
Sianosis
Tampak gejala gagal jantung
TERAPI
Operasi dengan teknik yang kompleks

TRANSPOSISI KOMPLET ARTERI BESAR

BATASAN
Anomali yang kompleks berupa posisi abnormal dari arteri besar : Aorta berasal dari bagian
anterior ventrikel kanan dan a. pulmonalis dari bagian posterior ventrikel kiri. Akibatnya
darah vena sistemik masuk ke aorta, sedangkan darah v. pulmonalis yang kaya O2 kembali
lagi ke paru. Pada masa fetal, dengan adanya foramen ovale dan duktus arteriosus
memberikan efek yang minimal. Pada masa neonatus kelangsungan hidup tergantung dari
adanya jalan pintas (pathway) berupa defek septum atrium, defek septum ventrikel,
persistensi duktus arteriosus atau kolateral bronkopulmonal
KRITERIA DIAGNOSIS
Klinis bergantung pada adanya pencampuran adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru,
dan apakah terdapat stenosis pulmonal
Apabila pencampuran hanya melalui foramen ovale atau duktus arteriosus yang kecil
maka keadaan tidak adekuat dan bayi akan tampak sianosis
Sianosis akan tampak pada minggu pertama, dan menjadi progresif apabila duktus
arteriosus menutup gagal jantung
Bayi menjadi sesak nafas dan sering mengalami pneumonia
Pertumbuhan lambat
Squating sering terjadi
Bunyi jantung 1 terdengar normal, sedang bunyi jantung ke-2 terdengar tunggal dan
keras
Tidak terdengar bising jantung kecuali jika terdapat stenosis pulmonal atau defek septum
ventrikel
TERAPI
Kateterisasi jantung
Neonatus : Bila PO2 < 20-25 mmHg infus prostaglandin untuk memperbaiki
oksigenasi, ulangan dilakukan pada
Umur 4-6 bl : Jika perlu dilakukan septotomi
Umur 8-10 bl : Jika kepastian operasi belum dapat ditentukan
Koreksi operasi komplit
Operasi elektif
: Umur 6 bl
Operasi dini
: Umur 1 mgg-6 bl, setelah keteterisasi jantung ke-2
Operasi lanjut
: Untuk Defek Septum Ventrikel dengan Stenosis Pulmonal

11

Koreksi operasi paliatif


Koreksi anatomis

TOTAL ANOMALOUS PULMONARY VENOUS RETURN


DENGAN/TANPA OBSTRUKSI

BATASAN
Pada kelainan ini drainase ke-4 v. pulmonalis yang seharusnya ke atrium kiri, secara
abnormal, langsung atau tidak langsung bermuara ke dalam atrium kanan
KLASIFIKASI
Tipe supradiafragmatik, yang dapat dibagi menjadi
Suprakardiak : Vena pulmonalis bermuara ke v. kava superior, v. inominata kiri, v.
azigos
Kardiak
: V. pulmonalis bermuara ke atrium kanan, sinus kornarius
Tipe infradiafragmatik : V. pulmonalis bermuara ke v. kava inferior, V. porta, atau v. hepatika
KRITERIA DIAGNOSIS
Pada hari ke-1 kehidupan menunjukkan sianosis dengan gejala kongesti paru berupa
dispnea, takipnea dan retraksi
Pada auskultasi terdengar bunyi jantung II yang keras dan split lebar, namun tidak ada
bising
TERAPI
Operasi segera

TRUNKUS ARTERIOSUS PERSISTEN

BATASAN
Keluarnya pembuluh tunggal dari jantung yang menampung aliran darah dari ke-2 ventrikel,
yang memasok darah sistemik paru dan koroner
KRITERIA DIAGNOSIS
Pada masa bayi, sewaktu tahanan vaskular paru masih rendah, gejala klinis pada
trunkus arteriosus dapat mirip dengan defek septum ventrikel yang besar
Dispnea
Sering mengalami infeksi saluran nafas
Pertumbuhan terganggu
Bila terdapat aliran darah paru yang meningkat akan didapatkan pulsus seler
Bunyi jantung 1 normal, bunyi jantung ke-2 tunggal, bising ejeksi sistole dengan klik
ejeksi, juga sering didapatkan bising diastolic flow murmur
Pada sebagian kasus terdengar bising kontinyu bila terdapat stenosis pulmonal
TERAPI
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung

12

Koreksi total pada umur 6 bl

TERAPI PROSTAGLANDIN (MINPROG) PADA


PENYAKIT JANTUNG BAWAAN (PJB)

INDIKASI
Prostaglandin diindikasikan sebagai terapi paliatif sementara sebelum koreksi bedah
dilakukan pada PJB tertentu yang mana duktus arteriosus perlu dipertahankan, misalnya
1. Atresia/Stenosis pulmonalis
2. Atresia trikuspid
3. ToF
4. Koartasio aorta
5. Transposisi Komplet Arteri Besar dengan/tanpa defek lain
Perhatian : Prostaglandin harus diberikan oleh tenaga terlatih di Ruang Perawatan Intensif
!
KONTRA INDIKASI
Tidak ada yang mutlak
PERHATIAN KHUSUS
Pada bayi dengan tendensi perdarahan, karena prostaglandin dapat menghambat agregasi
trombosit
Bayi dengan sindroma distres pernafasan (HMD). DD/ antara HMD dan PJB harus betulbetul diyakinkan
MONITORING
Semua neonatus harus dimonitor tekanan arterinya melalui kateter a. umbilikal atau dengan
tranduser Doppler. Bila tekanan arteri turun secaca bermakna, kecepatan infus harus segera
dikurangi
Bayi dengan aliran darah paru berkurang, sebelum terapi harus dilakukan pengukuran PO2,
bila nilainya < 40 torr respons terapi biasanya baik, sedangkan bila > 40 torr biasanya
kurang baik
Bayi dengan aliran darah sistemik berkurang, efek terapi dilihat dari perbaikan tekanan
darah dan pH
INTERAKSI OBAT
Tidak ada interaksi dengan obat-obatan yang sering digunakan pada neonatus seperti
antibiotik, dopamin, digoksin dan diuretik
EFEK SIMPANG
Sistem saraf pusat
Apnea terjadi 12% kasus, demam pada 14%, dan kejang pada 4%. Reaksi yang lebih
jarang berupa perdarahan intrakranial, hiperitabilitas, hipotermia, jitteriness, letargi dan
kekakuan otot
Sistem kardiovaskular
Dapat terjadi flushing pada 10% kasus, terutama setelah pemberian intra arteri. Dapat
pula terjadi bradikardia, hipotensi, takikardia, henti jantung dan edema. Reaksi yang lebih
jarang adalah dekompensasio kordis, hiperemia, heart block tk. II, syok, spasme
infundibulum dari ventrikel kanan, takikardia supra ventrikular, dan fibrilasi ventrikel
Sistem respirasi
Biasanya jarang, berupa bradipnea, hiperkapnea, wheezing dan depresi pernafasan
Sistem saluran cerna (jarang)

13

Paling sering berupa diare, dapat pula regurgitasi lambung dan hiperbilirubinemia
Hematologi (jarang)
Yang paling sering adalah KID (1%), yang lebih jarang bisa berupa anemia, perdarahan
dan trombositopenia
Sistem urinarius
Berupa anuria dan hematuria (jarang, insidens + 1%)
Pada tulang dapat terjadi proliferasi korteks tulang panjang
Lain-lain : Sepsis (2%), peritonitis (< 1%), hipokalemia, hipoglikemia dan hiperkalemia
OVERDOSIS
Apnea, bradikardia, pireksia, hipotensi dan flushing
Jika terjadi apnea atau bradikardia hentikan infus, lakukan resusitasi. Bila akan dimulai
lagi, harus lebih hati-hati
Jika terjadi hipotensi dan pireksia infus dikurangi sampai gejala hilang
Flushing biasanya terjadi akibat salah letak keteter intraarteri (reposisi kateter sampai benarbenar tepat)
DOSIS DAN CARA PEMBERIAN
Minprog diberikan i.v. secara kontinyu melalui vena besar, bisa juga melalui a. umbilikalis
dengan menggunakan kateter, dan ujung kateter ditempatkan pada muara duktus
arteriosus. Dosis dimulai dengan 0,1 ug/kgBB/menit sampai respons terapi tercapai
(peningkatan PO2, pH dan tekanan darah). Kemudian dosis dikurangi secara bertahap
sampai serendah mungkin, tetapi efek terapi tetap dipertahankan
Contoh pengurangan dosis : 0,1 0,05 0,025 0,01 g/kgBB/menit jika respons terapi
dengan dosis 0,1 g/kgBB/menit tidak adekuat, dosis dapat dinaikkan secara bertahap
sampai 0,4 g/kgBB/menit
Tabel 32. Pengenceran/Kecepatan Infus Minprog (dosis 0,1 g/kgBB/menit)
1 Ampul Minprog (500 g) Konsentrasi larutan Kecepatan infus
(ml/menit/kgBB)
dlm NaCl 0,9%/Dekstrosa
(g/ml)
(ml)
250
2
0,05
100
5
0,02
50
10
0,01
25
20
0,005
Contoh

: Untuk mendapatkan dosis 0,1 g/kgBB/menit pada bayi BB 2,8 kg dengan


menggunakan larutan 1 ampul minprog dalam 100 ml NaCl fisiologis/dekstrosa
Kecepatan infus : 0,02 ml/menit x 2,8 kg = 0,056 ml/menit atau 3,36 ml/jam

Catatan
Setelah diencerkan, larutan minprog hanya dapat digunakan sampai 24 jam, bila melebihi
24 jam harus dibuang
DAFTAR PUSTAKA
Fyler DC. Nadas pediatric cardiology. Info acces and distribution. St Louis: Mosby-Year Book,
1992.
Park MK. Pediatric cardiology of practitioner; edisi ke-2. Philadelphia: Yearbook Medical
Publisher, 1989; 92-107.

14

DEMAM REUMATIK AKUT

BATASAN
Penyakit yang belum jelas diketahui etiologinya, tetapi berhubungan erat dengan penyakit
peradangan akut (faringitis) yang disebabkan Beta hemolyticus streptococcus group A, dan
termasuk golongan penyakit autoimun
ETIOLOGI
Belum jelas, tetapi diduga ada hubungannya dengan infeksi oleh Beta hemolyticus
streptococcus group A pada tenggorok, oleh karena hanya ditemukan 50-60% dari kultur
tenggorok dan tidak pernah didapatkan dalam darah, sendi serta jantung
PATOFISIOLOGI
Partikel streptokokus yang masuk dalam tubuh hospes akan merangsang timbulnya antibodi
terjadi reaksi silang antara antibodi terhadap streptokokus dengan organ tubuh yang
mempunyai susunan antigen mirip antigen streptokokus
KRITERIA DIAGNOSIS
WHO study group (1988) merekomendasikan
1.
Kriteria Jones yang direvisi (1982), atau
2.
Ditemukan salah satu kriteria dibawah ini
Korea
Insidious atau late onset carditis
Rheumatic recurrence
(tidak perlu ditemukan adanya satu kriteria mayor dan atau satu kriteria mayor dan
dua minor)
Kriteria Jones yang direvisi (1982)
Dua kriteria mayor
Manifestasi mayor
Karditis
Korea
Poliartritis migrans
Nodul subkutan
Eritema marginatum
Satu kriteria mayor + 2 kriteria minor
Manifestasi minor
Klinis : Demam
Artralgia
Pernah demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
Laboratorium : LED , leukositosis, CRP (+)
EKG : Interval PR memanjang
Ditambah dengan satu bukti adanya infeksi Beta hemolyticus streptococcus group A
sebelumnya, berupa
Menderita Demam Skarlet
Kultur tenggorok : Beta hemolyticus streptococcus group A
ASTO atau antibodi Streptokokus lainnya
DIAGNOSIS BANDING
Artritis reumatoid

15

Artritis septik
Sistemik lupus eritematosus
Post Streptococcal reactive arthritis (PSRA)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hitung leukosit, LED, CRP
Biakan apus tenggorok
ASTO
Foto toraks
EKG
PENYULIT
Penyakit Jantung Reumatik
Endokarditis Bakterial Subakut
Tromboemboli
TERAPI
Episode akut
Tirah rebah (bed rest)
Tanpa karditis 2 minggu, ambulasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa kardiomegali 4 minggu, ambulasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dan kardiomegali 6 minggu, ambulasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dan gagal jantung total selama terdapat gagal jantung (biasanya 6
minggu), ambulasi dilakukan bertahap, sampai gejala hilang, biasanya selama 3 bl
Catatan :
Pembatasan aktivitas dilanjutkan bila proses masih aktif, yaitu bila terdapat
Kelainan sendi
Murmur organik baru
Kardiomegali
Nadi > 100 x/menit waktu tidur
Nodul subkutan
Diet
Masukan cairan tidak lebih dari 1.000 ml/hari
Mengandung NaCl tidak lebih dari 50-100 mg/hari dan KCI 1,5-2 g/hari
Selama masih panas makanan cair
Jika panas turun dan dalam terapi steroid diet tinggi protein, karbohidrat dan
vitamin C
Antibiotik : Untuk eradikasi Streptokokus
Penisilin prokain
: 50.000 Ul/kgBB i.m. maks. 900.000 UI/x 2 x/hari, selama
10-14 hari
Penisilin benzatin : 600.000-1.200.000 U i.m. dosis tunggal 10-14 hari
Penisilin oral
: 4 x 125-250 mg/hari 10 hari
Bila alergi penisilin : Eritromisin 4 x 250 mg/hari (10 hari)
Anti inflamasi
Bila artralgia Analgesik
Bila artritis
Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis
75 mg/kgBB/hari, selama 4 minggu, kadang-kadang bila perlu
khusus dapat sampai 150 mg/kgBB/hari dilanjutkan dengan
tappering off
Bila karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung Prednison 1-2 mg/kgBB untuk
2 minggu, selanjutnya dosis tappering off sampai 2 minggu
(penurunan dosis 5 mg tiap 2-3 hari). Pada saat dosis tappering
prednison dimulai, diberikan salisilat 75 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, dilanjutkan selama 6-8 minggu dengan pengurangan dosis
sampai akhir pengobatan atau sampai CRP (-) dan LED

16

Bila korea

Prednison 0,5-1,0 mg/kgBB


Barbiturat atau klorpromazin
Akhir-akhir ini dipakai haloperidol

Setelah episode akut


Pencegahan : Infeksi Streptokokus dan rekurensi timbulnya demam reumatik, yaitu
dengan :
Penisilin benzatin : 1.200.000 U tiap 4 minggu
Bila alergi penisilin
Sulfadiazin BB < 30 kg : Dosis 0,5 g/hari
BB > 30 kg : Dosis 1,0 g/hari
Penisilin oral : 2 x 200.000 U/hari (dapat menyebabkan resisten pada kuman
Streptokokus di mulut, hal ini potensial untuk risiko timbulnya endokarditis bakterialis
pada penderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik)
Bila alergi penisilin atau sulfa : Eritromisin 2 x 250 mg
Terhadap gejala sisa/kerusakan katup
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung
Bila ditemukan kerusakan katup yang berat, dipertimbangkan tindakan operatif
PROGNOSIS
Ditentukan oleh kelainan jantung pada fase akut dan gejala sisa pada katup jantung.
Prognosis lebih buruk bila pemberian profilaksis sekunder tidak adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Nadas AS, Fyler DC. Rheumatic heart disease. Dalam: Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric
cardiology. Philadelphia: Hanley & Belfust Inc, 1992; 141-58.

PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)

BATASAN
Kelainan jantung yang menetap akibat demam reumatik sebelumnya
ETIOLOGI
Demam reumatik akut
PATOFISIOLOGI
Meskipun karditis pada demam reumatik dapat mengenai perikardium, miokardium dan
endokardium tetapi kelainan yang menetap hanya ditemukan pada endokardium terutama
katup
Katup yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta. Kelainan dapat berupa insufisiensi,
tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis
KRITERIA DIAGNOSIS
Adanya riwayat demam reumatik pada waktu yang lampau
Ditemukannya kelainan katup berupa insufisiensi atau stenosis pada pemeriksaan fisis
Tergantung beratnya kelainan, dapat ditemukan hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri,
dapat juga ditemukan hipertrofi atrium kiri kanan
EKG, ekokardiografi, foto toraks tergantung kelainan katup

17

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan katup oleh sebab lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Foto toraks
Ekokardiografi
PENYULIT
Gagal jantung
Endokarditis Bakterial Subakut
Tromboemboli
TERAPI
Kalau terjadi episode akut, pengobatan seperti demam reumatik akut ditambah prednison
Operasi
PENCEGAHAN
Penisilin benzatin dengan dosis 1.200.000 U/4 minggu seumur hidup
PROGNOSIS
Tergantung berat ringannya kelainan katup
DAFTAR PUSTAKA
Nadas AS. Fyler DC. Rheumatic heart diseases Dalam: Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric
cardiology. Philadelphia: Hanley & Belfust Inc, 1992; 141-58.

RENJATAN KARDIOGENIK

BATASAN
Kegagalan sirkulasi sebagai akibat ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
ETIOLOGI
Post operasi jantung
Disritmia
Intoksikasi obat
Hipoksia/iskemia otot jantung
Asidosis
Hipotermia
Kelainan metabolik
Tamponade
Gagal jantung berat karena kelainan jantung bawaan
KRITERIA DIAGNOSTIK
Hipotensi
Takikardia
Tanda perfusi jaringan yang kurang
Kulit dingin
Kesadaran
Oliguria
Asidosis metabolik
Dispnea

18

Ditemukan adanya kelainan jantung yang dapat menyebabkan renjatan kardiogenik


EKG, foto toraks tergantung kelainan jantung yang menyebabkan renjatan kardiogenik

DIAGNOSIS BANDING
Renjatan oleh sebab lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Foto toraks
Central venous pressure (CVP)
TERAPI
Tujuannya adalah dengan meningkatkan curah jantung akan dapat meningkatkan perfusi
jaringan di perifer, sehingga dapat mencegah terjadinya iskemia organ vital dalam waktu
yang lama. Peningkatan curah jantung tergantung pada denyut jantung dan isi sekuncup,
sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh preload, kontraktilitas jantung atau afterload (curah
jantung = denyut jantung x isi sekuncup)
Prinsip penanganan renjatan kardiogenik terdiri dari 2 kelompok
Primer : Koreksi ditujukan pada faktor penyebab
Kelainan anatomi
Obstruksi (tamponade perikardial) : Perikardiosentesis
Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri (miokarditis, kardiomiopati, infark miokardium)
Perbaikan oksigenasi
Menurunkan kebutuhan O2
Peningkatan pembuangan metabolit yang tertimbun di jantung
Melindungi miokardium yang iskemik dan mencegah perluasan infark
Memberi kesempatan berkembangnya kolateral koroner
Sekunder : Koreksi ditujukan pada gangguan hemodinamika
Preload
Manifestasi fisiologik abnormal
Tekanan vena sentral dan atau PCWP rendah
Curah jantung dan tekanan darah
Penatalaksanaan volume expansion
Plasma
Whole blood
Kontraktilitas Jantung
Manifestasi fisiologik abnormal
Tekanan vena sentral dan atau PCWP
Curah jantung, tekanan darah
Penatalaksanaan dengan pemberian golongan katekolamin
Isoproterenol : 0,05-2 g/kgBB/menit, perinfus atau
Dopamin
: 5-10 g/kgBB/menit, perinfus (dosis > 10 g/kgBB/menit
menyebabkan tekanan darah dan resistensi pembuluh darah
pulmonal ) atau
Dobutamin
: 2,5-20 g/kgBB/menit, perinfus
Cara pemberian :
Berikan dosis kecil, monitor 15-30 menit. Kalau tekanan darah belum
meningkat dosis dinaikkan secara bertahap (1-2 g/kgBB/menit) sampai
tekanan darah normal. Hentikan bila tekanan darah stabil tanpa dopamin
Afterload
Manifestasi fisiologik abnormal
Tekanan vena sentral dan atau PCWP
Curah jantung , tekanan darah atau normal
Penatalaksanaan dengan pemberian vasodilator

19

Nitroprusid : 0,5-8 g/kgBB/menit, dosis dinaikkan tiap 10-15 menit sampai


tekanan pengisian ventrikel yang diinginkan tercapai
Hidralazin : 0,5 mg/kgBB
Catatan
Pada penderita renjatan kardiogenik yang resistensi pembuluh darah
sistemiknya meninggi persisten dan pemberian obat inotropik positif saja tidak
memperbaiki perfusi jaringan, dianjurkan pemberian nitroprusid dikombinasikan
dengan dopamin
Pemantauan
1. Tekanan darah arteri
Langsung dengan arterial line
Tak langsung dengan mengukur mean arterial blood pressure (MABP) dengan rumus
:
Tekanan darah sistole + 2 tekanan darah diastole
MABP =
3
2. CVP : Menunjukkan tekanan pengisian jantung kanan, dengan syarat tidak terdapat
penyakit kardiopulmonal
3. Curah jantung :
Menggunakan kateter Swan-Ganz, computerized tiap 2-4 jam
4. Analisis gas
5. Diuresis
6. Tanda vital lain : Denyut jantung, nadi, respirasi, kesadaran dll
Bila pemantauan data hemodinamika tidak dapat dilakukan
Tes pemberian cairan kristaloid : NaCl 0.9% atau Ringer laktat 5 ml/kgBB selama 30
menit, sambil melihat perkembangan tekanan darahnya, sebelum diberikan obat-obatan
untuk meningkatkan kontraktilitas jantungnya
PROGNOSIS
Tergantung luas dan beratnya pengaruh renjatan, penanganan dan etiologinya

DAFTAR PUSTAKA
Bushore M, Seidel J, Fleisher G, Wagner D. Shock. Advanced pediatric life support. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatric, 1991; 31-45.
Crone RK. Acute circulatory failure in children. Ped Clin North Am 1980; 27: 4: 525-38.
Kliegman RM, Behrman RE. Circulatory collaps (shock). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Voughan III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia:
WB Saunders Co, 1992; 229-30.

MIOKARDITIS

BATASAN
Peradangan yang mengenai miokardium oleh sebab apapun, baik oleh invasi langsung
kuman, toksinnya atau kompleks reaksi antigen antibodi
ETIOLOGI
Bakteri : Streptokokus, Corynebacterium diphtheriae, Salmonella typhi, dll

20

Virus

: Coxsackie B, vaccinia, mononucleosis infectiosa, rubella neonatal, parotitis,


Cytomegalovirus, herpes, influenza, dengue
Parasit : Toksoplasmosis, trikinosis
KRITERIA DIAGNOSIS
Secara klinis ditandai dengan adanya perubahan pada miokardium/proses peradangan
yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya
Pembesaran jantung tanpa murmur
Kelainan EKG berupa PR interval memanjang, QTc memanjang, gelombang T datar,
amplitudo QRS < 5 mm pada lead ekstremitas, aritmia
Foto toraks : Pada stadium permulaan jantung masih dalam batas normal, kardiomegali
baru terlihat bila terjadi gagal jantung akibat dilatasi umum yang disertai kongesti paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Foto toraks
PENYULIT
Gagal jantung
Renjatan kardiogenik
TERAPI
Memperbaiki oksigenasi ke jantung dengan pemberian O2
Tirah baring untuk menurunkan kebutuhan O2
Meningkatkan proses pembuangan metabolik yang tertimbun di miokardium
Melindungi miokardium dan membatasi perluasan daerah infark
Memberikan kesempatan berkembangnya sistem koroner
Pemasangan intra-aortic baloon counterpulsation
Digitalisasi (bila ada tanda gagal jantung) :
Segera dimulai digitalisasi dengan dosis 2/3 dosis total digitalis (pemantauan melalui
EKG, bila ditemukan tanda intoksikasi digitalis, maka digitalis dihentikan sampai tanda
intoksikasi menghilang. Bila tanda intoksikasi tidak ada, tetapi tidak ada perbaikan, maka
dosis digitalis dinaikkan secara bertahap
Diuretik :
Diberikan hati-hati karena mempunyai efek potensial terhadap terjadinya intoksikasi
digitalis
Kortikosteroid
Penatalaksanaan terhadap penyakit jantung penyebab (misalnya difteria terhadap
difterianya)
PROGNOSIS
Tergantung berat ringan, etiologi dan penanganannya. Biasanya bila tirah rebah cukup dan
terapi etiologinya tepat, fungsi jantung dapat kembali normal
DAFTAR PUSTAKA
Jordan SC, Scott O. Heart disease in pediatrics; edisi ke-3. London: Butterworths, 1989.
Bushore M, Seidel J, Fleisher G, Wagne. Shock. Advanced life support. Elk Grove Village:
American Academy of Pediatric, 1991; 31-45.
Crone RK. Acute circulatory failure in children. Ped Clin North Am 1980; 27: 4: 525-38.
Crone RK. Acute circulatory failure in children. Ped Clin North Am 1980; 27: 4: 528-38.
Kliegman RM, Behrman RE. Circulatory collapse (shock). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Voughan III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia:
WB Saunders Co, 1992; 229-30.

21

DISTRIMIA JANTUNG

BATASAN
Gangguan irama jantung yang bisa disebabkan oleh gangguan pada pembentukan impuls
dan atau konduksi
KLASIFIKASI
I. Disritmia Dengan Sinus Pace Maker
Disritmia Sinus
Sinus Takikardia
Sinus Bradikardia
II. Disritmia Dengan Pace Maker Ektopik
Ectopic Beat
Kontraksi Prematur Supraventrikular
Kontraksi Prematur Ventrikel
Takikardia Ektopik
Takikardia Supraventrikular Paroksismal
Takikardia Ventrikular Paroksimal
Geletar Atrium (Atrial Flutter)
Fibrilasi Atrium
III. Disritmia Akibat Gangguan Konduksi
Blok Sinoatrial
Blok A -V
Blok A-V Derajat I
Blok A-V Derajat II
Mobitz Tipe I
Mobitz Tipe II
Blok A-V Derajat III (Blok A-V Total)
PATOFISIOLOGI
Terjadi sebagai akibat gangguan pada pembentukan impuls atau pada konduksi

KRITERIA DIAGNOSIS
I. Disritmia dengan Sinus Pace Maker
A. Disritmia Sinus
Klinis : Irama jantung ireguler, dipengaruhi oleh pernafasan (nadi cepat pada saat
inspirasi)
Pada EKG didapatkan
Gelombang P (konfigurasi normal)
Tidak ada perubahan interval PR
Gelombang QRS selalu didahului oleh gelombang P
B. Sinus Takikardia
Klinis : Frekuensi denyut jantung cepat reguler
Pada EKG : Gelombang P diikuti kompleks QRS
C. Sinus Bradikardia
Klinis : Denyut jantung reguler dengan frekuensi
Bayi
: < 100x/menit

22

Anak
: < 80x/menit
Dewasa : < 60x/menit
EKG : Kompleks QRS didahului gelombang P
PR interval normal
II. Disritmia Dengan Pace Maker Ektopik
A. Ectopic Beat
Kontraksi prematur supraventrikular
Impuls berasal dari atrium atau atrioventriculer node
Bila sinus node secara permanen atau temporer mengalami gangguan/tekanan,
maka fungsi pace maker diambil alih oleh A-V node nodal rhythm sehingga
ditemukan gelombang P dan kompleks QRS yang lebih awal dengan pause
kompensatoar yang inkomplit
Kontraksi prematur ventrikel
Tidak ada korelasi antara kontraksi atrium dan ventrikel
Bentuk gelombang P normal, kompleks konfigurasi QRS aneh dengan duration >
0,10 detik, QRS dan gelombang T pada arah yang berlawanan. Pause
kompensatoar yang komplit
B. Takikardia Ektopik
Bila fokus ektopik mengeluarkan impuls lebih cepat dari pada sinus discharge
Takikardia supraventrikular paroksismal
Frekuensi 160-300x/menit, yang onsetnya cepat dan berakhir dengan tiba-tiba.
Frekuensi jantung tersebut tetap dan tidak berubah dari waktu ke waktu. Stimulasi
refleks vagal dapat mengembalikan ke irama sinus. Jarang didapat gelombang P
Takikardia ventrikular paroksismal
Ventricular premature beat dengan frekuensi 120-128x/menit. Jarang terjadi pada
anak.
Harus
segera
dapat
dibedakan dengan takikardia supraventrikular paroksismal, karena perbedaan
dalam penanganannya, walaupun kadang-kadang sulit dibedakannya
C. Geletar Atrium (Atrial Flutter)
Bentuk disritmia supraventrikular dengan frekuensi kontraksi atrium 200-350x/menit.
Respons ventrikel bervariasi antara 140-300x/menit
Pada EKG didapatkan : Saw toothed flutter wave
Takikardia supraventrikular
Takikardia ventrikular
Dipengaruhi stimulasi refleks
Tidak dipengaruhi
(Sinus karotis atau manuver)
Hubungan antara gelombang
Tidak ada hubungan
P dan kompleks QRS, reguler.
yang beraturan
Frekuensi gelombang dan
Tidak sama
kompleks QRS, sama
D. Fibrilasi Atrium
Bentuk disritmia supraventrikular yang paling hebat dengan frekuensi 400-700x/menit.
Baik atrium maupun ventrikel berkontraksi tidak beraturan
III. Disritmia Akibat Gangguan Konduksi
A. Blok Sinoatrial
Kegagalan impuls nodus SA untuk mencapai atrium
Pada EKG : Gelombang P tidak ada
B. Blok A -V
Blok A-V derajat I
Klinis irama reguler
EKG : PR interval memanjang
Gelombang P dan kompleks QRS normal
Blok A-V derajat II
Mobitz tipe I

23

EKG : Wenckebach fenomena PR interval secara bertahap memanjang


sampai suatu saat gelombang P tidak dikonduksikan, terdapat pause,
kemudian PR interval mulai memendek lagi
Mobitz tipe II
Gelombang atrium kadang-kadang tidak dikonduksikan ke ventrikel
Blok A-V derajat III (Blok A-V total)
Tidak ada impuls yang sampai ke ventrikel
PENYULIT
Gagal jantung
TERAPI
I. Disritmia Dengan Sinus Pace Maker
Disritmia Sinus tidak perlu pengobatan
Takikardia Sinus tidak perlu pengobatan khusus
Untuk menurunkan HR bisa diberikan
Fenobarbital
Propranolol 0,2-0,5 mg/kgBB/hari p.o., dibagi 3-4 dosis
Guanetidin 0,2 mg/kgBB/hari p.o., dibagi 3-4 dosis
Bradikardia Sinus tidak perlu pengobatan khusus
Perlu dicari penyakit yang mendasari
II. Disritmia Dengan Pace-Maker Ektopik
Ectopic Beat : Perlu dirawat
Kontraksi prematur supraventikuler digitalis
Kontraksi prematur ventrikel
Pronestil atau dilantin : Mulai dengan i.v., bila memberi respons yang baik
selanjutnya p.o.. Bila tidak efektif, berikan kuinidin atau propranolol p.o..
Berikan KCI p.o.
Pronestil/prokainamid
p.o. : Awal 14 mg/kgBB, selanjutnya 0,05-0,3 g, tiap 6 jam
i.m. : Awal 0,1 mg/kgBB, selanjutnya tiap 6 jam
i.v. : Awal 0,1 g, dilarutkan dalam dekstrosa 5% perlahan-lahan (cara ini
hanya untuk keadaan emergensi)
Dilantin
i.v. : 2-4 mg/kgBB dalam 5 menit, dapat diulang setelah 10-20 menit
p.o. : 2 - 5 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis
Kuinidin sulfat
p.o. : 0,1-0,4 g, tiap 3-6 jam, biasanya hari pertama 8 x 0,1 g selanjutnya
4- 8 x 0,2 g
Kuinidin glukonas
p.o. : 0,15-0,6 g, tiap 8-12 jam

Takikardia Ektopik
Takikardia supraventikuler paroksismal
Tindakan merangsang refleks vagal :
Mulai dengan penekanan sinus karotis, yaitu palpasi dan tekanan selama 20
detik, bagian kanan kemudian bagian kiri bergantian, sambil monitoring bunyi
jantung dengan auskultasi, segera tindakan dihentikan bila ritme berubah
Bila tindakan pertama tidak berhasil, dilakukan tekanan pada bola mata,
kelopak mata tertutup, penekanan dilakukan tepat di bawah tepi supraorbital
satu sisi selama 20 detik
Pada anak besar, bila kedua manuver tersebut di atas tidak berhasil, maka
dilanjutkan dengan manuver valsalva atau membuat refleks muntah dengan
pemberian 1-2 sendok teh sirup ipekak

24

Pemberian digitalis
Dalam keadaan emergensi pemberian i.v.
Bila tidak emergensi p.o.
Dosis : Mulai dengan dosis total digitalis, diberikan selama periode 18 jam,
dibagi dengan interval 6 jam
Bila belum ada perbaikan digitalis diberikan lagi dengan dosis 1/6 total,
tiap 4 jam sampai efek yang diinginkan tercapai atau sampai ada tanda
intoksikasi digitalis. Bila ada takikardia supraventrikular pada sindroma
WPW, selain digitalisasi juga kadang-kadang diberikan kuinidin 400-800 mg
5 x/hari)
Takikardia atrium kronik
Diberikan kombinasi digitalis dengan serpasil (serpasil 3-4 x 0,1-0,25
mg/hari p.o., memberikan efek dalam 1 mgg. Bila diberikan i.m., dosis 12,5 mg, memberikan efek dalam beberapa jam)
Tidak efektif dengan kuinidin, pronestil, KCI atau prostigmin
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung
Tidak efektif dengan countershock
Takikardia atrium paroksismal dengan blok
Sering terjadi pada intoksikasi digitalis, bila akibat intoksikasi digitalis,
hentikan digitalis dan diuretik, beri KCI mulai dengan dosis setengahnya.
Dapat diulang 2 kali lagi dengan interval 4 jam
Bila berat dan penderita muntah, KCI i.v./drip. KCI dihentikan bila ada tanda
intoksikasi
KCI (larutan KCI i.v. mengandung 1 g KCI dalam 250 ml dekstrosa 5%
diberikan pada anak dengan berat badan 50 kg dalam 1 jam)
Bila tidak berhasil dengan KCI, beri prokainamid, dilantin dan propranolol
mulai dengan i.v., bila efektif dilanjutkan dengan p.o.
Setelah digitalis dihentikan, dilakukan countershock
Takikardia ventrikular paroksismal
Rangsangan untuk refleks vagal tidak memberikan respons
Obat yang dapat diberikan adalah kuinidin, dilantin, propanolol, prokainamid
atau mekolil
Akhir-akhir ini silokain dan pronestil dianggap pilihan pertama
Dosis silokain (lidokain) :
Larutan 2% (100 mg/4ml) 0,5-1,0 mg/kgBB/x, dapat diulang tiap 20-60 menit
(dosis tidak boleh lebih dari 200 mg/jam) selanjutnya diberikan perinfus
larutan 0,1% dalam dekstrosa, dengan dosis 0,5-1,0 g/kgBB/ menit
Bila dengan pemberian obat tidak berhasil countershock
Bila akibat intoksikasi digitalis, hentikan obat, beri KCI dan pronestil atau
dilantin, bila memungkinkan tanpa countershock
Profilaksis : Bertujuan agar tidak timbul aritmia/rekurens
Setelah irama normal obat dilanjutkan selama 1 bl
Bila dalam periode tersebut tampak lagi disritmia, diberikan kuinidin 200-400
mg 4x/hari (dilanjutkan selama 6 bl)
Geletar Atrium
Digitalis
Bila tetap ada respons, diberi kuinidin
Terakhir digunakan countershock, dilanjutkan dengan kuinidin sebagai profilaksis
Fibrilasi Atrium
Digitalis : Kadang-kadang dapat memberikan respons baik

25

Langsung countershock lebih efektif


Penanganan gagal jantung (jika perlu)
Dosis pemeliharaan kuinidin 1-2 g/hari
Koreksi penyakit dasar
III. Disritmia Akibat Gangguan Konduksi
Blok Sinoartrial
Jarang memerlukan pengobatan
Atropin, isuprel mungkin efektif
Blok Atrioventrikular
1. Blok A-V derajat I :
Bila hanya ada kelainan ini tidak memerlukan pengobatan
Bila dalam pengobatan digitalis, pengobatan tidak perlu dihentikan
2. Blok A-V derajat II :
Tidak perlu pengobatan, kecuali bila ada indikasi terhadap penyakit jantung yang
mendasarinya. Pada penyakit Adam Stoke, perlu pemasangan alat pacu jantung
3. Blok A-V derajat III :
Pemberian efedrin dilanjutkan alupent
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung
Digitalisasi diberikan bila sangat perlu
Klorotiazid dapat menurunkan denyut jantung
Perlu alat pacu jantung
Pemberian isoprel i.v. (isoproterenol 1 g dalam 250 ml dekstrosa 5%)
PROGNOSIS
Tergantung dari jenis disritmianya, yang paling ringan tidak perlu pengobatan dan sembuh
sendiri. Sedangkan yang berat bisa bermanifestasi sebagai gagal jantung dan renjatan
kardiogenik, yang bisa berakibat kematian
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong W, Boulis N. Mechanisms of cardiac arrhytmias. Dalam: Lily LS, penyunting.
Pathophysiology of heart disease. Philadelphia: Lea & Febiger, 1993; 180-93.
Dick M, Campbell RM. Advances in the management of cardiac arrhytmias in children. Ped Clin
North Am 1984; 31;6: 1175-96.

HENTI JANTUNG

BATASAN
Berhentinya denyut jantung dan aktivitas listrik jantung
ETIOLOGI
Suddent infant death syndrome (SIDS)
Tenggelam
Gangguan sistem pernafasan
Kelainan jantung kongenital dan kelainan jantung lainnya
Keganasan
Overdosis obat
Anafilaksis
Endokrinopati
KRITERIA DIAGNOSIS
Tidak ada denyut jantung

26

EKG tidak menunjukkan adanya aktivitas listrik jantung


Pada penderita yang sesaat sebelumnya terdapat kedua hal di atas

TERAPI
Henti jantung dapat terjadi setiap saat. Cepatnya dan tepatnya tindakan akan
mempengaruhi prognosis, 30-45 detik sudah mulai terlihat dilatasi pupil. Pada saat ini harus
diambil tindakan
Resusitasi
Bebaskan jalan nafas
Lakukan pernafasan buatan (mulut ke mulut atau dengan intubasi/ventilasi
mekanik)(efektif bila tampak pengembangan dinding dada yang adekuat dan warna
kulit berangsur normal)
Masase jantung (efektif bila nadi teraba dan pupil menjadi normal)
Memperbaiki irama jantung
Bila dasar henti jantung adalah fibrilasi atau takikardia ventrikel lakukan defibrilasi
Obat-obatan
O2
Na bikarbonat
1-2 mEq/kgBB untuk mengatasi asidosis bila ventilasi telah
baik. Dapat diulangi 5-10 menit kemudian bila belum tampak sirkulasi spontan
Epinefrin 0,01 mg/kgBB s.k. pada bayi dan 0,05 mg pada anak besar, dapat
merangsang kontraksi spontan pada asistole, menaikkan tonus miokardium dan
membuat tindakan defibrilasi lebih efektif
Atropin 0,01-0,02 mg/kgBB i.v. pada bradikardia berat
Lidokain : Pada fibrilasi atau takikardia ventrikel
Dosis pada bayi : 0,5 mg/kgBB; pada anak : 1 mg/kgBB i.v., dilanjutkan dengan
infus 20 g/kgBB/menit
CaCl yang bersifat inotropik positif, 20 mg/kgBB i.v. (hati-hati pada penderita yang
mendapat digitalis)
Obat yang bermanfaat
Obat vasoaktif (untuk mengatasi hipotensi)
Levarterenol 0,1-1g/menit
Metaraminol 2-20 g/kgBB /menit
Isoproterenol 0,4-1 g/kgBB/menit, bersifat inotropik dan kronotropik positif
Propanolol 0,1 mg/kgBB i.v.
Dopamin 6-10 g/kgBB/menit, bersifat inotropik positif, untuk life saving, dosis
dapat langsung 15 g/kgBB /menit, jika berhasil dosis diturunkan secara
bertahap. Bila tidak menolong ditambahkan dobutamin 2,5-20
g/kgBB/menit (total dosis dopamin + dobutamin = 15 g/kgBB/menit)
Diuretik juga dapat digunakan
Perawatan dan pengobatan penyulit
Monitor intensif terhadap tanda vital, jalan nafas, memasang pipa nasogastik untuk
mencegah aspirasi, monitor tanda anuria
Monitor EKG terus dipasang sampai keadaan stabil
Pengobatan penyulit :
Gagal ginjal akut, edema otak dan gagal nafas
PROGNOSIS
Dengan resusitasi yang baik, keberhasilan kurang dari 50%, bahkan kebanyakan kurang
dari 15%
DAFTAR PUSTAKA
Crone RK. Acute circulatory failure in children. Ped Clin North Am 1980;27:4: 528-38.
Schleien CL, Kuluz JW, Shaffner DH, Rogers MC. Cardipulmonary resuscitation. Dalam:
Rogers MC, penyunting. Textbook of pediatric intensive care; edisi ke-3. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1996; 3-49.

27

ENDOKARDITIS INFEKTIF

BATASAN
Infeksi bakteri atau jamur pada endokardium terutama katup jantung
ETIOLOGI
Streptokokus terutama S.viridans
Stafilokokus
Kuman lainnya lebih jarang
Jamur
PATOFISIOLOGI
Umumnya terjadi pada kelainan anatomi jantung. Aliran darah yang cepat melalui pirau akan
merusak endotel pada ruangan jantung yang bertekanan rendah (yang menerima aliran
deras). Pada endotel yang rusak tersebut akan terjadi deposisi trombosit dan fibrin
membentuk vegetasi steril. Bila terjadi bakteremia (meskipun transien), bakteri akan
menempel pada vegetasi dan berkembang biak sehingga terjadi endokarditis. Selain
endokarditis/valvulitis, juga bisa menyebabkan emboli trombus infeksi di tempat lain
Port dentree bisa berasal dari
Tindakan bedah mulut (pasca ekstraksi gigi, manipulasi ortodental)
Tonsilektomi
Reposisi fraktur terbuka
Luka bakar
KRITERIA DIAGNOSIS
Penderita kelainan/penyakit jantung menunjukkan demam, yang seringkali merupakan
manifestasi tunggal. Biasanya onset-nya bersifat akut atau intermiten, tapi kadangkadang tidak begitu tinggi, meninggi pada sore/malam hari disertai mialgia, artritis dan
sakit kepala
Splenomegali
Petekia
Meningismus (kadang-kadang)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab rutin
Anemia normokrom normositer (hampir selalu ditemukan),
Leukositosis (tidak selalu ditemukan) : Pada endokarditis akut lebih nyata daripada
subakut
LED
Biakan darah (+) 70-85% kasus
Foto toraks untuk memastikan kardiomegali
EKG tergantung kelainan yang dialami
Ekokardiografi
PENYULIT
Abses otak/infeksi pada organ lain
TERAPI
Tirah baring
Bila ada gagal jantung penanganan gagal jantung
Tergantung kuman penyebab (tersering S. viridans)
Streptococcus viridans
Kombinasi penisilin G + streptomisin atau gentamisin
Penisilin G 300.000 U/kgBB/hari, i.v. diberikan tiap 4 jam selama 14 hari.
Selanjutnya penisilin p.o. selama 14 hari

28

Streptomisin 4-6 mg/kgBB/hari, i.v. diberikan tiap 8-12 jam selama 6 minggu
Gentamisin 4-6 mg/kgBB/hari, i.v. tiap 8-12 jam, selama 6 minggu
Streptococcus faecalis
Kombinasi penisilin G atau ampisilin + gentamisin
Penisilin G : sama dengan diatas
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari i.v. tiap 4 jam, selama 6 minggu
Staphylococcus aureus
Sensitif terhadap penisilin
Penisilin G dengan cara dan dosis yang sama
Resisten terhadap penisilin
Kombinasi oksasilin, nafsilin atau metisilin + rifampisin atau gentamisin
Oksasilin/nafsilin/metisilin : 200-300 mg/kgBB/hari, i.v., tiap 4-6 jam, selama 6-8
minggu
Rifampisin : 10 mg/kgBB/hari p.o. (maks. 600 mg/hari) diberikan tiap 12 jam
selama 6-8 minggu, atau
Gentamisin : 4-6 mg/kgBB/hair i.v. tiap 8-12 jam, selama 2 minggu
Resisten terhadap metisilin
Kombinasi vankomisin + rifampisin
Vankomisin 50 mg/kgBB/hari i.v. tiap 6 jam selama 6-8 minggu
Rifampisin 10 mg/kgBB/hari p.o. tiap 12 jam selama 6-8 minggu
Tidak diketahui kumam penyebabnya :
Kombinasi penisilin G + oksasilin + gentamisin atau kombinasi vankomisin + gentamisin
Penisilin G 300.000 U/kgBB/hari i.v. (maksimal 20 juta unit/hari), tiap 4 jam, selama 6-8
minggu
Oksasilin 200 mg/kgBB/hari i.v., tiap 4-6 jam, selama 6-8 minggu
Gentamisin 4-6 mg/kgBB/hari i.v. tiap 8-12 jam, selama 6-8 minggu
Vankomisin 50 mg/kgBB/hari i.v., tiap 6 jam, selama 6-8 minggu
Jamur
Sulit dikelola
Amfoterisin B i.v.
Operasi (bila perlu) selalu didahului antibiotik selama mungkin
PENCEGAHAN
Pada berbagai tindakan (operasi, tindakan gigi, tindakan pada saluran nafas bagian atas,
saluran cerna atau saluran kemih)
Tindakan/operasi di daerah gigi/mulut dan saluran nafas atas
Penisilin p.o. (Pen V) untuk anak < 30 kg
1 jam sebelum tindakan : 1.000 mg
6 jam setelah dosis awal : 500 mg
Bila alergi penisilin
Eritromisin 20 mg/kgBB, p.o. 1 jam sebelum tindakan, kemudian 10 mg/kgBB, p.o.
6 jam setelah dosis awal
Golongan risiko lebih tinggi (dengan katup jantung protese)
Tidak alergi penisilin
Kombinasi ampisilin + gentamisin
Ampisilin 50 mg/kgBB, i.v. dan gentamisin 2 mg/kgBB, i.v. diberikan bersamasama 30 menit sebelum tindakan, selanjutnya Pen. V 1 g, p.o.. 6 jam setelah dosis
awal
Alergi penisilin
Vankomisin 20 mg/kgBB, i.v. dalam 60 menit, diberikan 60 menit sebelum
tindakan, tidak perlu diberikan dosis ulangan
Tindakan/operasi di daerah saluran cerna dan saluran kemih
Tidak alergi penisilin

29

Kombinasi ampisilin 50 mg/kgBB, i.v. dengan gentamisin 2 mg/kgBB i.v. diberikan


30 menit sebelum tindakan, diulang 1 kali, 8 jam kemudian
Alergi penisilin
Vankomisin 20 mg/kgBB, i.v. dalam 60 menit, kombinasi dengan gentamisin 2
mg/kgBB, i.v., bersama-sama diberikan 60 menit sebelum tindakan, diulang 1 kali
8-12 jam kemudian
Tindakan ringan pada penderita yang mempunyai risiko rendah
Amoksisilin 50 mg/kgBB, p.o. 1 jam sebelum tindakan, 6 jam kemudian diulang
dengan dosis 25 mg/kgBB
PROGNOSIS
Tergantung dari etiologi dan penyulit yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE. Infective endocarditis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Voughan
III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co,
1992; 1199-204.
Newburger JW. Infective endocarditis. Dalam: Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric cardiology.
Philadelphia: Hanley & Belfust Inc, 1992; 369-75.

30

HIPERTENSI
(TEKANAN DARAH TINGGI)

BATASAN
Bila rata-rata tekanan sistole dan atau diastole > persentil ke-95 untuk umur dan jenis
kelamin
Hipertensi krisis
Tekanan darah (TD) mendadak pada seseorang yang sebelumnya normotensi atau
yang sebelumnya hipertensi (TD sistole > 180 mmHg dan TD diastole > 120 mmHg)
Hipertensi ensefalopati
Tekanan darah mendadak yang disertai tanda tekanan intrakranial (sakit kepala
hebat, gangguan visus, muntah, kejang), gejala akibat terkenanya organ lain dan
kesadaran
KLASIFIKASI
Hipertensi ringan
Bila tekanan darah baik sistole maupun diastole 10 mmHg di atas persentil ke-95 (khusus
remaja 140/90-149/99 mmHg)
Hipertensi sedang
Bila tekanan darah baik sistole maupun diastole diantara 10-20 mmHg di atas persentil
ke-95 (khusus remaja 150/100-159/109 mmHg)
Hipertensi berat
Bila tekanan darah baik sistole maupun diastole lebih besar 20 mmHg di atas persentil
ke-95 (khusus remaja > 160/110 mmHg)
ETIOLOGI
Hipertensi primer
Bila tidak ditemukan penyakit yang mendasari. Faktor yang berperan antara lain
keturunan, masukan garam, stres dan obesitas
Hipertensi sekunder
Hipertensi yang diakibatkan penyakit yang mendasari (pada anak 80%)
PATOFISIOLOGI
Hipertensi primer
Faktor berperan adalah :
Kerusakan sistem transport Na dalam tubulus
Defisiensi zat vasodilator ginjal (kalikrein, bradikinin)
Hipertensi sekunder
Tergantung penyakit yang mendasarinya

KRITERIA DIAGNOSIS
Hipertensi : Sistole persentil ke-95
Diastole persentil ke-95
Syarat pemeriksaan tekanan darah
Keadaan penderita harus tenang dan nyaman
Ukuran manset 3/4 dari lengan bagian atas
Sistole sesuai bunyi korotkoff I
Diastole sesuai bunyi korotkoff IV
Dilakukan beberapa kali pengukuran
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk mencari etiologi dan penyulit


PENYULIT
Hipertensi retinopati
Fungsi ginjal dengan berbagai derajat
Payah jantung kongestif
KONSULTASI
Bagian Mata
TERAPI
Hipertensi ringan :
Non farmakologis
Dietetik
Menurunkan BB bagi yang overweight
Olah raga
Farmakologis (jika cara diatas tidak menunjukkan perbaikan)
Diuretik
Anti hipertensi lain
Bila diuretik tidak berhasil
Hipertensi sedang
Diuretik, dilanjutkan dengan obat anti
hipertensi lain bila tidak berhasil
Hipertensi berat
(lihat tabel 39)
Krisis hipertensi :
Klonidin drip/katapres
0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 ml Dekstrosa 5% (mikro drip). Tetesan awal 12
mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun, tetesan dinaikkan 6 mikrodrip/menit
tiap 30 menit (maks. 36 mikrodrip/menit). Bila 30 menit setelah tetesan 36 mikrodrip
tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril (kapoten) dosis awal 0,3 mg/kgBB/kali,
diberikan 2-3 kali sehari (maks. 2 mg/kgBB/kali)
Furosemid/Lasix
1-5 mg/kgBB i.v. diulang tiap 6-12 jam kecepatan maks. 4 mg/menit
Nifedipin sublingual
0,25 - 0,5 mg/kgBB (kemasan kapsul 5 mg dan 10 mg)
Anak > 5 th
Dosis sesuai dengan BB, diambil dengan alat suntik tanpa jarum dan disemprotkan
perlahan-lahan di bawah lidah. Bila dosis sesuai dengan 1 kapsul, dapat dipecah
diantara gigi, lalu dihisap dibawah lidah
Anak < 5 th
Sebaiknya melalui alat suntik dan diletakkan atau disemprotkan dibawah lidah. Bila
belum berhasil, ulangi setelah 6 jam dengan cara yang sama
Diazoksid
2-5 mg/kgBB. Bila dalam 30 menit respons (-) diulang (lama respons 4-24 jam)
Berhasil bila tekanan sistole turun 20 mmHg atau diastole < 100 mmHg
Hipertensi ensefalopati :
Prinsip penanganan hipertensi
Bila kejang : Diazepam 0,25-0,5 mg/kgBB/kali i.v.
Diazepam 5-10 mg/kali per rektal
Fenobarbital 8-10 mg/kgBB/kali p.o.
PROGNOSIS
Tergantung penyakit yang mendasarinya
DAFTAR PUSTAKA

Ingelfinger JR. Hypertension. Dalam: Edelmann CM, penyunting. Pediatric kidney disease; edisi
ke-2. Boston: Little Brown & Co, 1989; 904.
Ingelfinger JR. Hypertension. Dalam: Edelmann CM, penyunting. Pediatric kidney disease; edisi
ke-2. Boston: Little Brown & Co, 1992; 581-8.
Pruitt AW. Systemic hypertension. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III
VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB. Saunders Co,
1992; 1222-7.
Report of the second task force in Blood pressure control in children. Pediatrics, 1987; 25.

Tabel 39. Daftar Obat Anti Hipertensi


JENIS OBAT
Diuretik
Hidroklorotiazid
Klortalidon
Furosemid
Spironolakton
Triamteren
Adrenergik inhibitor
Antagonis adrenergik
Metoprolol (Lopresor)
Atenolol (Tenormin)
Propanolol(Inderal)
Inhibitor sentral adrenergik
Metil dopa (Aldomet)
Klonidin (Setapres)
Guanabenz
1 Antagonis adrenergik
Prazosin Hcl (Minipres)
Vasodilator
Hidralazin (Apresolin)
Minoksidil
Diazoksid
Nitroprusid

Angiotensine converting enzyme


inhibitor
Kaptopril

DOSIS
(mg/kgBB)

PEMBERIAN
/HARI

RUTE

1-2
0,5-2
0,5-2
1-2
1-2

2
1
2
2
2

p.o.
p.o.
p.o., i.v.
p.o.
p.o.

1-4
1-2
1-3

2
1
2

p.o.
p.o.
p.o.

5-10
0,05-0,4
0,03-0,08

2
2
2

p.o.
p.o.
p.o.

0,5-7

p.o.

1-5
0,1-1
3-5
1-8

2 atau 3
2

p.o./i.m./i.v.
p.o.
i.v. (bolus)
i.v. (drip)

0,5-3,0

p.o.

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)

BATASAN
Sindroma klinis kegagalan mendadak fungsi ginjal dalam mempertahankan homeostasis
cairan tubuh, dengan manifestasi klinis gangguan keseimbangan asam-basa, air dan
elektrolit serta gangguan eliminasi zat-zat sisa
Oliguria produksi urin < 240 ml/m2/hari
Anuria tidak ada produksi urin dalam 24 jam
ETIOLOGI
Prerenal : Gagal ginjal akut fungsional
Renal
: Gagal ginjal akut intrinsik/organik
Postrenal : Gagal ginjal akut obstruktif
PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan etiologi GGA :
Prerenal
Kegagalan fungsi ginjal akibat perfusi ginjal yang disebabkan volume intravaskular,
tekanan darah atau curah jantung
Renal
Kegagalan fungsi ginjal akibat kerusakan ginjal, baik langsung maupun berasal dari GGA
prerenal atau postrenal
Postrenal
Obstruksi saluran kemih yang menyebabkan peningkatan tekanan intratubular filtrasi
glomerulus
KRITERIA DIAGNOSIS
Diuresis (oliguria, anuria). Pada kasus tertentu bisa non oliguria
Pucat, aritmia, perdarahan saluran cerna
Retensi air dan garam (edema, hipertensi, payah jantung kongestif)
Kejang, koma, perubahan perilaku ensefalopati uremia
Laboratorium
Urea N , kreatinin, hiponatremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis metabolik,
anemia, leukopenia, trombositopenia
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal kronik (GGK) eksaserbasi akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Hb, leukosit, trombosit, elektrolit, urea N, kreatinin, analisis gas
Foto toraks
EKG

TERAPI
Perbaiki diuresis
GGA prerenal
Bila dehidrasi segera atasi dengan cairan yang sesuai, misalnya NaCl fisiologis
20-30 ml/kgBB selama 30-60 menit
Jika hipovolemia diakibatkan oleh kehilangan darah atau hipoproteinemia, maka
cairan yang dipakai adalah plasma ekspander (plasma fusin, polygeline, darah).
Biasanya diuresis timbul setelah 2 jam infus
Selanjutnya bila diuresis tetap (-)

Evaluasi
Status dehidrasi (perlu pemasangan tekanan vena sentral 3-6 mmHg)
Adanya retensi urin (evaluasi dengan kateterisasi)
Gagal ginjal
Bila gagal ginjal
Manitol 20% sebanyak 0,5 g/kgBB i.v. selama 1-2 jam
Bila terdapat diuresis 6-10 ml/kgBB gagal ginjal (tipe prerenal)
Atau diuretik kuat (furosemid) dosis awal 1-2 mg/kgBB dengan kecepatan 4
mg/menit. Jika tidak berhasil naikkan dosis sampai 10 mg/kgBB. Apabila
diuresis tetap (-), pemberian dihentikan. Bila tidak ada hipertensi pemberian
diuretik dapat disertai dopamin 5 g/ kgBB/menit
Bila diuresis tetap (-) GGA renal
GGA renal
Restriksi cairan : 400 ml/m2/hari + diuresis 24 jam sebelumnya + kehilangan cairan
ekstrarenal
Cairan yang digunakan adalah Dekstrosa 10-30%
Koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
Hiperkalemia
Bila K serum > 5,5-7 mEq/l
Kayeksalat (kalitake) 1 g/kgBB
Cara : p.o.: Dilarutkan dalam 2 ml/kgBB sorbitol 70%
Enema : Dilarutkan dalam 10 ml/kgBB sorbitol 20%, diberikan melalui
foley kateter kemudian di klem selama 30-60 menit selanjutnya
dilepaskan
Dapat diulangi tiap 2-6 jam sampai kadar K normal
Bila K serum > 7 mEq/l
Disamping kayeksalat juga harus diberikan
Ca glukonas 10% : 0,5 ml/kgBB i.v. perlahan-lahan (10-15 menit). Perlu
dimonitor detak jantung. Jika terdapat bradikardia ( detak jantung
20x/menit) infus dihentikan sampai detak jantung kembali normal
Na bikarbonat 7,5% : 3 mEq/kgBB i.v.
Glukosa 50% : 1 ml/kgBB + 1 Unit regular insulin untuk setiap 5 g glukosa
(monitor tanda hipoglikemia)
Asidosis
Koreksi asidosis dilakukan pada keadaan
pH darah 7,15
Kadar HCO3- < 8 mEq/l
Kebutuhan NaHCO3 = 0,3 BB ( 12- HCO3 serum) mEq/l
Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia Al OH3 60 mg/kgBB/hari (3-4 dosis)
Bila kadar fosfat sudah normal namun tetap hipokalsemia suplemen Ca dosis
50 mg/kgBB/hari
Jika terdapat tetani : Ca glukonas 10%, dosis 0,5 ml/kgBB i.v. selama 5-10 menit
Hiponatremia
Koreksi Na diberikan jika kadar Na serum < 120 mEq/l
Cara : Larutan NaCl 3% (ml) = 0,6kgBB(125 - Na serum) mEq/l
Hipertensi
Furosemid 1-2 mg /kgBB, p.o. atau i.v., dapat diulang tiap 6-8 jam
Reserpin 0,02-0,07 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

Bila terjadi krisis hipertensi penatalaksaan krisis hipertensi (lihat bab hipertensi)
Kejang
Diazepam 0,25-0,5 mg/kgBB/kali i.m./i.v./supositoria, dapat diulang tiap 15 menit atau
Fenobarbital 8-10 mg/kgBB/kali p.o.
Anemia
Bila Hb < 7 g/dl transfusi PRC 10 ml/kgBB
Dialisis
Lihat bab dialisis peritoneal
Dietetik
Kebutuhan nutrisi ditentukan/tergantung frekuensi dan cara dialisis yang dipakai

Tabel 40. Dietetik Penderita GGA


Predialisis

Dialisis

Air

Restriksi
2
400 ml/m /hari + diuresis/hari
20-30 ml/100 kal + diuresis

Restriksi
400 ml/m2/hari + diuresis/hari
20-30 ml/100 kal + diuresis

Kalori

> 35 kal/kgBB/ hari


10 kg pertama 100 kal/kgBB
Berat selisihnya 50 kal /kgBB

> 35 kal/kg BB/hari


10 kg pertama 100 kal/kgBB
10 kg kedua 50 kal/kgBB
10 kg selebihnya 20 kal/kgBB

Protein

0,5-1 g/kgBB/hari

0,51 g/kgBB/hari + hilangnya


protein dalam dialisis
0,2-1 g/liter cairan dialisis

1 mEq/kgBB/hari

1-2 mEq/kgBB/hari

Na

12 mEq/kgBB/hari atau
60120 mg/kgBB/hari

1-2 mEq/kgBB/hari atau


60-120 mg/kgBB/hari

PROGNOSIS
Tergantung etiologi, ketepatan dan kecepatan pengelolaan
Umumnya GGA prerenal dan postrenal yang belum terjadi kerusakan ginjal prognosis
lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Bergstein JM. Renal failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
1352-8.
Gauthier B, Edelman CM, Barnett HL. Nephrology and urology for the pediatrician. Boston:
Little Brown and Co,1982; 179-91.
Sehic A, Russel W, Chesney. Acute renal failure: diagnosis. Pediatr in Rev 1995; 101-6.
Sehic A, Russel W, Chesney. Acute renal failure: therapy. Pediatr in Rev 1995; 137-41.

Tabel 41. Penyesuaian Dosis Obat pada Gagal Ginjal


Nama Obat

Antibiotik
Amoksisilin
Ampisilin
Karbenisilin
Sefaklor
Sefamandol
Sefaleksin
Sefalotin
Doksisiklin
Gentamisin
Kanamisin
Metilsilin
Asam nalidiksik
Nitrofurantoin
Penisilin G & V
Sulfasoksazol
Tikarsilin
Tobramisin
Trimetoprim &
Sulfametoksazol
Obat lain
Asetaminofen
Alopurinol
Aspirin
Kaptopril
Klortalidon
Klonidin
Digitoksin
Digoksin
Difenhidramin
Asam etakrinik
Insulin
Metildopa
Nadolol
Fenobarbital
Spironolakton
Tiazid diuretik

GFR ml/menit/1,73 m2

Penyesuaian
Normal

> 50

10 50

< 10

Interval
Interval
Dosis
Dosis
Dosis
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Dosis
Interval
Dosis
Interval

(Jam)
(Jam)
( %)
( %)
( %)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
( %)
(Jam)
( %)
(Jam)

8
6
100
100
100
6
6
12
4
6
8
100
6
100
12

8
6
75
100
100
6
6
12
4
6
8
100
6
75
12

8-12
8-12
50
50-100
25-50
6
6
12-18
4
6
hindari
75
8-12
50
18

12-16
12-16
20
33
25
6-12
8-12
18-24
8-12
hindari
hindari
25-50
12-24
25
24

Interval
Dosis
Interval
Dosis
Interval
Dosis
Dosis
Dosis
Interval
Interval
Dosis
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval

(Jam)
( %)
(Jam)
( %)
(Jam)
( %)
( %)
(%)
(Jam)
(Jam)
( %)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
(Jam)
(Jam)

4
100
4
100
24
100
100
100
6
6
100
6
8
8
6-12
12

4-6
100
4
50-100
24
100
100
100
6
6
100
6
8-16
8
6-12
12

6
100
4-6
30-50
24
100
100
25-75
6-9
6
75
9-18
hindari
8
12-24
12

8
50
hindari
12,5
48
50-75
50-75
10-25
9-2
hindari
50
12-24
hindari
8-16
hindari
hindari

GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

BATASAN
Keadaan memburuknya fungsi ginjal disertai tanda klinis yang nyata dan kecepatan filtrasi
glomerulus menetap < 30 ml/menit/1,73 m2
ETIOLOGI
Berhubungan erat dengan umur saat pertama kali gagal ginjal ditemukan
< 5 th : Umumnya karena kelainan anatomis
> 5 th : Penyakit glomerulus didapat
PATOFISIOLOGI
Belum jelas
Diduga beberapa faktor berperan
Gangguan imunologik terus menerus
Hiperfiltrasi glomerulus yang masih sehat
Diet tinggi protein dan fosfor
Proteinuria persisten
Hipertensi sistemik
KRITERIA DIAGNOSIS
GFR < 30 ml/menit/1,73 m2 yang menetap
Hipertensi, gangguan pertumbuhan/perdarahan/neurologik
Hiperfosfatemia, asidosis, anemia, azotemia, hiperkalemia, osteodistrofi ginjal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Klirens kreatinin, Hb, trombosit, waktu perdarahan/pembekuan, urea N, kreatinin,
Na, K, fosfat, Ca, analisis gas
Renografi
Foto : Lengan kiri dan jari tangan
Toraks
EKG
USG
PENYULIT
Gagal ginjal terminal
Risiko infeksi

TERAPI
Prinsip pengobatan dietetik dan substitusi
Dietetik (lihat tabel 42)
Tabel 42. Dietetik Penderita GGK

Jenis/Bahan
Protein
Kalori
Lemak
Karbohidrat
Air
Zat lain
Besi
K
Na
Fosfat
Ca

Jumlah
1,2-1,5 g/kgBB/hari, 2/3nya nilai biologis
tinggi
30-35 kal/kgBB/hari
1/3 dari total kalori
sisa kalori (sedikit gula)
600-1.200 ml/hari
100 mg/hari
60 mEq/hari
50-60 mEq/hari
600-1.200 mg/hari
1.000-1.200 mg/hari

Substitusi
Vitamin D
1,25 (OH)2D3 (Rocaltrol), dosis 0,25 g/hari
Ca karbonat
100-300mg/kgBB/hari sewaktu makan
Selama pemberian dimonitor fosfor darah
Recombinant human gowth hormone/rHGH
0,125 mg/kgBB/kali (3 x/mgg.) sampai penutupan epifise
Recombinant human erithropoetin/rHuEPO
50-150 g/kgBB/kali (3 x/mgg.) sampai Hb 10-12 g/dl
Asidosis
Na bikarbonat p.o. efektif untuk pencegahan/terapi asidosis
Dosis awal 1-3 mEq/kgBB/hari, diberikan 2-4x tergantung derajat asidosis
Catatan
Bila GFR menetap < 10 ml/menit/1,73 m2 disebut gagal ginjal terminal dialisis
berkesinambungan sebelum transplantasi ginjal
PROGNOSIS
Tergantung pengelolaan dietetik dan substitusi agar tidak terjadi gagal ginjal terminal

DAFTAR PUSTAKA
Bergstein JM. Renal failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
1352-8.
Gauthier B, Edelman CM, Barnett HL. Nephrologi and urologi for the pediatrician. Boston: Little
Brown and Co, 1982; 172-91.
Fine RN. Recent advance in the management of the infant, child, and adolescent with chronic
renal failure. Pediatr in Rev 1990; 277-83.

DIALISIS PERITONEAL

BATASAN

Teknik pemisahan molekul besar (koloid) dari molekul kecil dalam suatu larutan karena
perbedaan kemampuan difusi melalui selaput semi permeabel
INDIKASI
Hiperkalemia berat dan persisten (K > 8 mEq/liter)
Hipertensi yang menetap
Hipervolemia berat yang disertai dengan payah jantung kongestif, edema pulmonal atau
hipertensi
Asidosis berat dan persisten (kadar HCO3-< 10 mEq/liter)
Penyulit neurologik akibat uremia (disorientasi, stupor, kejang)
Urea N > 150 mg%
KONTRA INDIKASI
Relatif : Riwayat operasi abdomen
Ventricoperitoneal shunt
PENYULIT
Sakit perut
Perdarahan
Malfungsi kateter
Kebocoran cairan dialisis
Obstruksi
Peritonitis
Hiperglikemia dan hipernatremia
KONSULTASI
Bagian Bedah, Gizi, Fisioterapi

TERAPI
Dialisis Peritoneal
Evaluasi predialisis
Keseimbangan cairan, sesuai kriteria WHO. Jika terdapat dehidrasi dilakukan
rehidrasi dahulu
Timbang BB (tanpa pakaian), selanjutnya timbang BB 2-3 kali sehari
Catat jumlah cairan masuk dan keluar (tidak perlu menunggu selama 24 jam, bisa
6 jam)
Sebelumnya cairan dialisis dihangatkan (37-380C) dengan memakai water bath,
untuk menghindarkan rasa sakit saat inflow
Teknik
Macam cairan dialisis yang dipakai tergantung keseimbangan cairan tubuh. Jika
hipervolemia, larutan dialisis yang dipakai adalah larutan dengan konsentrasi
tinggi, yaitu glukosa 2,5-4,25% (umumnya glukosa 1,5%)
Dosis cairan 15-20 ml/kgBB, yang dinaikkan bertahap sampai 40-50 ml/kgBB
(neonatus dan bayi) dan 30-40 ml/kgBB (anak > 1 th)
Kedalam 1.000 ml cairan dimasukkan heparin (500-1.000 U), diberikan selama 3
siklus pertama atau selama cairan outflow dialisis menunjukkan cairan merah
berdarah
Pada siklus 3-6 pertama tidak diberikan cairan KCl, kecuali pada hipokalemia. Bila
kadar K darah normal (< 4 mEq/l), KCl diberikan sebanyak 3 mEq/l tiap 1.000 ml
dialisat
Tiap siklus selesai sekitar 1 jam, terdiri dari : inflow (5-10 menit), indwelling (30
menit) dan outflow (10-20 menit)
Catatan :

10

Pada 3 siklus pertama dianjurkan waktu siklus diperpendek agar sisa perdarahan
cepat dikeluarkan (misalnya : Inflow 5 menit, indwelling 15 menit, outflow 10 menit)
Total waktu dialisis biasanya 36-48 jam, bila masih diperlukan bisa diperpanjang
48 jam lagi. Jika selanjutnya terjadi gagal ginjal terminal dialisis dilanjutkan dengan
cara : CAPD, CCPD
Monitoring selama dialisis
Perlu diantisipasi BB sampai 1-1,5% setiap hari akibat massa otot (tanpa perubahan
cairan intravaskular)
Bila dialisis telah dimulai, keseimbangan cairan tiap siklus harus dicatat
Cairan dialisis (warna, kekeruhan, perdarahan)
Tanda vital tergantung kegawatan
Laboratorium : Hb, eritrosit, leukosit, Ht, hitung jenis, Ca, fosfor, Mg, glukosa,
elektroforesis protein, elektrolit, urea N dan kreatinin
Indikator keberhasilan
Klinis : Penderita merasa lebih baik, tekanan darah terkontrol, keseimbangan cairan
baik, tidak ada gejala uremia
Laboratorium : Kreatinin serum < 16-20 mg/dl (untuk yang gemuk) ; < 12-15 mg/dl
(untuk yang kurus), elektrolit/albumin serum normal, konduksi saraf stabil
Penyulit
Sakit perut
Cairan dialisis sebaiknya tidak terlalu dingin atau panas
Kurangi kecepatan inflow
pH < 5,5, tambahkan 2,5-5 ml Na bikarbonas 50% per 1.000 ml cairan dialisis
Jika cairan hipertonis, ganti dengan cairan isotonis
Analgetika lokal/sistemik ke dalam peritoneum (lidokain 2%)
Jika perlu : Reposisi kateter
Perdarahan
Tambahkan heparin 500-1.000 U/1.000 ml cairan dialisat untuk 3 siklus pertama
atau sampai perdarahan berhenti
Obstruksi
Tambahkan heparin 5 U/ml cairan dialisis, biarkan indwelling selama 4-12 jam. Bila
bertambah baik teruskan pemberian heparin sebanyak 1 U/ml cairan dialisis
sampai beberapa hari
Kebocoran cairan dialisis
Umumnya berhenti sendiri bila kebocorannya sedikit. Usahakan kebersihan pada
tempat masuk kateter dan berikan betadin untuk mencegah infeksi
Peritonitis
Diagnosis dibuat bila didapat 2 dari 3 kriteria dibawah ini
Tanda/gejala : Sakit perut, nyeri tekan dll
Cairan dialisis yang keruh (leukosit > 100/ml, PMN > 50%)
gram/kultur (+)
Antibiotik awal : Kombinasi sefalotin dan tobramisin, loading dose i.v., kemudian
dosis rumatan melalui cairan dialisis. Pemberian antibiotik selanjutnya tergantung
hasil tes kultur dan sensitivitas (lihat tabel 43)
PROGNOSIS
Tergantung ada tidaknya penyulit selama dialisis serta pengelolaannya
DAFTAR PUSTAKA
Fine RN. Recent advance in the management of the infant, child, and adolescent with chronic
renal failure. Pediatr in Rev 1990; 277-83.
Gruskin AB, Baluarte HJ, Dabbagh S. Hemodyalisis and peritoneal dyalisis. Dalam: Edelmann
CM, penyunting. Pediatric kidney disease; edisi ke-2. Boston: Little Brown and Co, 1992; 827-94.

11

Tabel 43. Dosis Antibiotik pada Peritonitis


Nama Obat

Loading Dose (i.v.)


mg/kgBB

Dosis Rumatan
mg/l cairan dialisis

7,5
50
20
20
20
20
20
50
1,7
2,5
50
1,7
20
20

25
5
125
200
125
250
125
125
250
1-2
125
4-8
4-8
250
4-8
15-25
25

Amikasin
Amfoterisin
Ampisilin
Karbenisilin
Sefazolin
Sefotaksim
Sefuroksim
Seftazidim
Sefalotin
Klindamisin
Kloksasilin
Gentamisin
Netilmisin
Tikarsilin
Tobramisin
Vankomisin
Baktrim

SINDROMA NEFRITIS AKUT (SNA)

BATASAN
Suatu sindroma yang ditandai dengan gejala hematuria, hipertensi, edema dan berbagai
derajat insufisiensi ginjal
ETIOLOGI
Paling sering setelah infeksi Beta hemolyticus Streptococcus group A
PATOFISIOLOGI
Belum diketahui pasti, tetapi diduga proses imunologik
KRITERIA DIAGNOSIS
Periode laten infeksi saluran nafas bagian atas 1-3 mgg. sebelumnya (rata-rata 10 hari),
atau infeksi kulit yang umumnya lebih lama (> 3 mgg.)
Edema
Hematuria : Mikroskopik atau gross hematuria
Hipertensi dengan berbagai tingkatan
Oliguria atau anuria

DIAGNOSIS BANDING
Hematuria idiopati
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Nefritis herediter
LES
HSP
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin

12

Kultur/apus tenggorok
ASTO , antibodi DN-ase B
C3
PENYULIT
GGA
Edema paru, gagal jantung (overload)
Hipertensi ensefalopati
Hiperkalemia, hipokalsemia
Asidosis
Uremia
TERAPI
Umum
Istirahat di tempat tidur bila edema berat dan GGA
Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme endogen dan
diet rendah garam
Obat
Tidak ada spesifik
Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/kali i.m. 2 kali/hari, atau
Penisilin V 50 mg/kgBB/hari p.o. dibagi 3 dosis untuk infeksi aktif. Apabila hipersensitif
penisilin eritromisin 50 mg/kgBB/hari (4 dosis), selama 10 hari
Hipertensi
Ringan (130/80 mmHg) : Tidak diberikan anti hipertensi
Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m./p.o.
Nifedipin sublingual
Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip/nifedipin sublingual
(dosis lihat bab hipertensi)
Bila terdapat tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oliguria
diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgBB/kali)
PROGNOSIS
Diperkirakan > 95% akan sembuh sempurna
Kematian dapat terjadi pada fase akut dan 2% menjadi kronik

DAFTAR PUSTAKA
Travis LB, Kalia A. Acute nephrotic syndrome Dalam: Postlethwaite
RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology; edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994; 201-9.
Bergstein JM. Condition particularly asociated with hematuria. Dalam: Nelson WE, Bergman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1996; 1483-8.

SINDROMA NEFROTIK (SN)

BATASAN
Penyakit/sindroma yang mengenai glomerulus, ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia
dan edema disertai hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang didapat
hipertensi, hematuria dan penurunan fungsi ginjal

13

KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologi
SN primer
SN sekunder
Berdasarkan histopatologi
SN perubahan minimal
SN perubahan non minimal
Berdasarkan respons pengobatan terhadap steroid
Steroid responsif
Tidak steroid responsif
ETIOLOGI
SN primer
Idiopatik, diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik dan alergi
SN sekunder
Berasal dari ekstra renal
PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui secara pasti. Diduga ada hubungan dengan kelainan imunologik yang
mengakibatkan permeabilitas glomerulus terhadap protein proteinuria
Terdapat 3 macam mekanisme yang mendasari proteinuria
Hilangnya muatan polianion pada dinding kapiler glomerulus
Perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus
Perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler
KRITERIA DIAGNOSIS
Edema
Proteinuria masif
Urin : BANG atau DIPSTIX > + 2 (kualitatif)
Protein > 40 mg/m2/jam, atau > 2 g/hari (kuantitatif)
Rasio protein : kreatinin > 2,5
Hipoalbuminemia (< 2,5 g%)
Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin
: Protein kualitatif/kuantitatif, kreatinin
Darah : Albumin, protein total, kolesterol
PENYULIT
Infeksi
Trombosis
GGA
KONSULTASI
Bagian Gizi
TERAPI
Dirawat untuk evaluasi diagnostik awal dan rencana terapi
Tidak ada pembatasan aktivitas
Dietetik
Protein sesuai kebutuhan (menurut umur). Pemberian berlebih akan mempercepat
terjadinya GGK
Rendah garam : 1-2 g/hari selama edema
Bila tidak ada nafsu makan boleh diberi diet garam normal (tanpa garam diatas meja
dan makanan asin lain)
Kalori berasal dari lemak < 35%

14

Albumin dan diuretik diberikan apabila


Volume darah hebat dengan gejala hipotensi postural (sakit perut, mual dan
muntah), sesak dan edema hebat yang disertai edema skrotum/labia
Dosis human albumin 25% : 0,5-1 g/kgBB/i.v. dalam 2-4 jam, diikuti pemberian
furosemid 1-2 mg/kgBB/i.v. dapat diulang tiap 4-6 jam bila diperlukan
Kortikosteroid (prednison/prednisolon)
Tahap I (4 mgg. pertama) : 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) dibagi dalam 3-4 dosis,
diteruskan selama 4 mgg. (28 hari) tanpa memperhitungkan adanya remisi atau tidak
(maks. 80 mg/hari)
Tahap II (4 mgg. kedua)
: 40 mg/m2/hari diberikan dengan cara alternate (selang
sehari) dosis tunggal setelah makan pagi
Bila relaps : 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) dibagi dalam 3-4 dosis sampai 3 hari berturutturut proteinuria negatif/+, selanjutnya menggunakan tahap II
Bila ada TB, diberikan bersama dengan antituberkulosis
Alternatif
Pada NS relaps frekuens atau tidak steroid responsif yang disertai gangguan
pertumbuhan, hipertensi, cushingoid atau perubahan sikap
Siklofosfamid
: 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal, selama 8-12 mgg., bersama
prednison 40 mg/m2/hari secara alternate
Hati-hati efek simpang periksa leukosit darah tiap mgg.
Leukosit < 3.000/m3 obat stop, dilanjutkan lagi bila leukosit >
5.000/m3
Klorambusil
: 0,15-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 mgg.
Nitrogen mustard : 0,1 mg/kgBB/hari/i.v., 4 hari berturut-turut + prednison 40
mg/m2/hari, dosis alternate untuk 5 dosis
Siklosporin A
: 4-5 mg/kgBB/hari, minimal selama 1 th
Levamisol
: Obat cacing (ascaridil) mempunyai efek imun stimulasi sel T.
Dosis 2-3 mg/kgBB/hari, selang sehari (6-18 bl)
PROGNOSIS
Tergantung etiologi, berat penyakit, dan umur
SN steroid responsif prognosis cukup baik
SN tidak steroid responsif biasanya GGK
DAFTAR PUSTAKA
Haycock GB. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Postlethwaite RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology; edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994; 210-5.
Nash MA. Edelman JR, Bernstein J, Bernett HL. The nephrotic syndrome.
Dalam:
Edelmann CM, penyunting. Pediatric kidney disease; edisi ke-2.
Boston: Little Brown Co,
1992; 137-74.
Kher KK. Nephrotic syndrome. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting.
Clinical pediatric
nephrology. New York: Mc Graw Hill Inc, 1992; 137-74.
Kelsch RC, Sedman AB. Nephrotic syndrome. Pediatri in Rev 1993; 30-7.

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

15

BATASAN
Adanya pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih
KLASIFIKASI
Berdasarkan anatomi/lokasi
ISK atas
ISK bawah
Berdasarkan ada atau tidaknya kelainan struktur
ISK penyulit
ISK non penyulit
Berdasarkan ada atau tidaknya gejala
ISK simtomatik
ISK non simtomatik
Berdasarkan onset klinis
ISK akut
ISK berulang atau kronik
ETIOLOGI
Terbanyak E. coli : ISK akut (90%) dan ISK berulang (70-80%)
PATOFISIOLOGI
Terbanyak asenderens, jarang perkontinuitatum atau limfogen
Pada neonatus : Terbanyak hematogen
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis :
Asimtomatik
Simtomatik
Neonatus
Gambaran sepsis dengan gejala tidak khas seperti : Panas, ikterus, malas minum,
muntah, mencret, BB tidak dan kesadaran
Anak
Disuria, frekuensi , urgensi, polakisuria, nyeri perut/pinggang, gangguan
pertumbuhan, muntah, panas yang tidak diketahui penyebabnya dan enuresis

Bakteriuria bermakna
Tergantung dari metode pengambilan

Tabel 44. Bakteriuria Bermakna Berdasarkan Metode Pengambilan

Metode
Pengambilan

Biakan
(frek.)

Jumlah Koloni
/ml Urin

Pancar tengah
Suprapubis

1
2
1

Kateterisasi

> 105
> 105
> 1 kuman Gram (-)
>1.000 kuman Gram (+)
5
> 10

Kemungkinan
ISK (%)
80
95
99
99
95

Pemeriksaan untuk meningkatkan kewaspadaan kemungkinan ISK


Adanya kuman pada air kemih tidak dipusing dengan atau tanpa pewarnaan : Bila
ditemukan 2 kuman/10 LPB atau 5 kuman/LPB

16

Adanya piuria atau leukosituria


Sedimen air kemih : Leukosit > 5/LPB
Jumlah leukosit dalam air kemih tidak dipusing
Laki-laki > 10/mm3
Wanita > 50/mm3
Tes kimiawi
Nitrit, reduktase biru metilen
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin
Leukosit
Kuman (Gram/biakan/jumlah koloni)
Kimia
PENYULIT
Sepsis
Abses perinefrik
GGK
KONSULTASI
Bagian Bedah Urologi
TERAPI
Antibiotik : Eradikasi kuman patogen penyebab infeksi
Sebelum ada hasil biakan dan tes kepekaan berikan antibiotik yang efektif dan
mempunyai efek simpang kecil. Pengobatan infeksi akut 5-7 hari. Cara pemberian
obat tergantung pada berat ringannya infeksi. Pengobatan dianggap efektif bila gejala
klinis hilang disertai biakan menjadi (-) paling lama 4 hari setelah pengobatan. Obat
pilihan pada anak lihat tabel 45
Mencari kemungkinan kelainan anatomis atau fungsional pada saluran urin (kelainan
kongenital, vesico-ureteral reflux (VUR), obstruksi)
Mencegah kekambuhan
Perawatan umum
Cairan/minuman yang cukup
Kebersihan daerah perineum
Hindari pakaian dalam terlalu ketat
Jangan mandi berendam
Hindari konstipasi
Hindari kebiasaan menahan buang air kecil
Antibiotik
Follow up
2-3 hari setelah terapi selesai
Ulang biakan setelah 2-3 mgg.
setiap 3 bl/1 th pertama
setiap th
Pengobatan ISK dengan penyulit
Antibiotik profilaksis
ISK dengan penyulit berulang > 3x/th selama 1-2 th
ISK tanpa penyulit berulang > 3x/th selama 3-6 bl
Nitrofurantoin dan kotrimoksazol dengan dosis 1/4-1/3 dosis terapeutik, dalam 2
dosis/dosis tunggal
Pencegahan infeksi berulang
Nitrofurantoin
: 1-2 mg/kgBB/hari
Trimetoprim
: 1-2 mg/kgBB/hari
Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgBB/hari

17

Catatan :
Bayi < 6 mgg. jangan diberikan nitrofurantoin/sulfa, tetapi dapat diberikan sefalosporin
generasi I (sefaleksin), 10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, diberikan pada malam hari
sampai bayi berumur 6 mgg.
Pemeriksaan radiologik untuk menentukan kelainan obstruktif meliputi IVP, mixtio
cystourethrography (MCU), USG, kedokteran nuklir dan tomografi komputer yang
dilakukan setelah 4-6 mgg. sesudah infeksi teratasi. Intervensi urologis dilakukan jika ada
tindakan bedah
PROGNOSIS
Tergantung ada/tidaknya kelainan anatomi, umur dan kecepatan/ ketepatan terapi

Tabel 45. Obat Pilihan ISK pada Anak


Nama Obat

Dosis
mg/kgBB/hari

Amoksisilin

50100

Ampisilin
Trimetoprim
Sulfametoksazol
Nitrofurantoin

50100
100200
612
3060
57

12 jam
12 jam, p.o., i.v.
6-8 jam, p.o., i.v.

Karbenisilin
Sefaleksin
Safazolin
Tobramisin

200400
25100
25100
57

6 jam, p.o.
6 jam, p.o.
6-8 jam, i.m., i.v.
8 jam, i.m.

Asam nalidiksat
Gentamisin
Amikasin
Sefiksim
Seftriakson
Sefotaksim
Seftazidim

60
37
7
8
75
150
150

Interval
8 jam, p.o., i.v.,
i.m.
6-8 jam, p.o., i.v.

6-8 jam, p.o.


8-12 jam, i.m.,i.v.
12 jam, i.v.
12 jam
12-24 jam, i.m.,i.v.
6-8 jam, i.m., i.v.
6-8 jam, i.m., i.v.

Catatan
tidak pada alergi penisilin
tidak pada alergi penisilin
tidak pada umur < 6 mgg.
tidak pada umur < 6 mgg.
tidak pada umur < 4 mgg.
/GFR < 50%
untuk Pseudomonas
pengganti ampisilin
untuk Klebsiela
Infeksi Gram (-),
Pseudomonas
cepat resisten

DAFTAR PUSTAKA
Gonzales RR. Urinary tract infection. Dalam: Bergman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan
III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co,
1992; 1360.
Winberg J. Urinary tract infection in infant and childhood. Dalam: Edelmann CM, penyunting.
Pediatric kidney disease; edisi ke-1. Boston: Little Brown Co, 1978; 1123.

INTOKSIKASI JENGKOL

18

BATASAN
Gejala klinis yang terjadi akibat intoksikasi asam jengkol
KLASIFIKASI
Berdasarkan gejala klinis
Ringan
: Disuria, hematuria, diuresis
Berat
: Disertai oliguria
Sangat berat : Jelas GGA
ETIOLOGI
Asam jengkol yang terdapat pada buah jengkol
PATOFISIOLOGI
Belum jelas, diduga akibat pengendapan kristal asam jengkol dalam saluran kemih
KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat makan buah jengkol
Keluhan muntah, nyeri perut/supra pubis dan disuria
Bau khas jengkol di mulut dan urin
Dapat disertai oliguria atau anuria
Laboratorium urin
Hematuria mikroskopik/makroskopik
Kristal asam jengkol
DIAGNOSIS BANDING
Urolitiasis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sedimen urin
PENYULIT
GGA
KONSULTASI
Bagian Bedah Urologi (bila diperlukan)
TERAPI
Ringan
Banyak minum
Na bikarbonat 1 mEq/kgBB/hari atau 1-2 g/hari (p.o.)
Berat/sangat berat
Dirawat
Bilas buli-buli dengan Na bikarbonat 1,5% melalui indwelling catheter (kateter folley)
Oliguria tanpa GGA
Tidak ada pembatasan diet
Na bikarbonat 2-5 mEq/kgBB/i.v. (4-8 jam)
Furosemid 1-2 mg/kgBB/hari
Anuria
Restriksi cairan : Infus dekstrosa 5-10% (selama 4-8 jam)
Bila setelah 8 jam dengan cara di atas tidak dapat diatasi dialisis peritoneal
PROGNOSIS
Baik
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H. Acute renal failure due to jengkol intoxication in children. Pediatr Indones 1967; 90-4.

19

Tambunan T. Keracunan jengkol pada anak. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
penyunting. Nefrologi anak. Jilid ke-1, Jakarta: IDAI, 1993; 199-208.
Sjamsudin U, Darmansjah I, Handoko T dkk. Beberapa masalah keracunan jengkol pada anak.
Dalam: Tjokronegoro A, penyunting. Pengobatan intensif pada anak. Jakarta: FKUI, 1982; 21-39.

20

KEJANG

BATASAN
Gerakan abnormal pada neonatus oleh karena gangguan fungsi sistem neuron
KLASIFIKASI
Klonik
: Fokal
Multifokal
Migratory
Tonik
: Unilateral
Dekortisasi
Deserebrasi
Mioklonik : Fokal
Bilateral
Subtle
: Nistagmus
Deviasi mata
Gerakan mengisap, mengunyah
Gerakan seperti mengayuh sepeda
Gerakan seperti berenang
Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak mata
Apnea
ETIOLOGI
Penyulit perinatal
Ensefalopati neonatal
Trauma susunan saraf pusat (SSP) dan perdarahan intrakranial
Gangguan metabolisme
Hipoglikemia
Hipokalsemia
Hipomagnesemia
Hipo/hipernatremia
Ketergantungan piridoksin
Gangguan metabolisme asam amino
Asidemia organik
Gangguan yang berkaitan dengan biotin
Intoleransi fruktosa
Kelainan mitokondria
Storage disease
Penyakit Menkes kinky hair
Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
Abses otak
Gangguan perkembangan
Obat-obatan/toksin
Polisitemia/hiperviskositas
Infark fokal
Familial
Ensefalopati hipertensif
Tidak diketahui
PATOFISIOLOGI

Kejang terjadi akibat pelepasan elektrik secara berlebihan, yaitu oleh karena depolarisasi
dari neuron dalam SSP. Depolarisasi terjadi akibat masuknya Na pada proses Na-K pump.
Untuk mempertahankan proses Na-K pump diperlukan energi
Depolarisasi yang berlebihan disebabkan
Kegagalan proses Na-K pump oleh karena penurunan produksi energi, misalnya pada
keadaan hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia
Perubahan permeabilitas membran neuron peningkatan masukan Na dan terjadi
depolarisasi yang berlebihan, misalnya pada keadaan hipokalsemia dan
hipomagnesemia
Eksitasi neurotransmiter lebih kuat dari inhibisinya peningkatan depolarisasi, misalnya
pada keadaan ketergantungan piridoksin
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis yang terperinci mengenai aktivitas kejang :
Kejang klonik fokal
Hentakan klonik yang bersifat fokal dan tidak disertai penurunan kesadaran. Gerakan
klonik berlangsung lambat (1-3 kejang/detik) sering terjadi pada sebelah lengan atau
satu sisi wajah dan mungkin menyebar kebagian tubuh yang lain pada satu sisi yang
sama
Kejang klonik multifokal
Gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah dari satu
ke anggota gerak lainnya dan sering terlihat pada bayi normal < 34 minggu
Kejang tonik
Gerakan bersifat fokal atau umum dan dapat menyerupai posisi dekortisasi atau
deserebrasi, pergerakan sering berupa deviasi mata, gerakan klonik atau apnea, dan
sering pada bayi prematur
Kejang mioklonik
Berupa gerakan menyentak yang sinkron, tunggal atau multipel pada tangan, kaki
atau keduanya dan biasanya berhubungan dengan kelainan SSP
Kejang subtle
Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak mata
Gerakan mulut dan lidah berupa mengisap-isap, mengunyah dan menguap
Posisi ekstremitas dengan posisi tonik
Apnea
Pemeriksaan fisis, terutama status neurologik
Laboratorium
Metabolik : Glukosa , Na /, Ca , Mg
Work-up sepsis : Leukositosis/leukopenia, kultur darah, urin dan cairan likuor (+)
Work-up TORCH
Skrining sekresi obat dalam urin dan kadar teofilin dalam darah bila memugkinkan
Analisis gas : Asidosis, hipoksia
Pungsi lumbal : Menyokong kearah etiologi
Radiologi (jika memungkinkan)
USG kepala : Perdarahan intraventrikular daerah yang lebih ekogenik di
intraventrikular
CT scan
: Perdarahan subaraknoid lesi hiperdens di subaraknoid
Magnetic resonance imaging (MRI) : Perdarahan intraventrikular akut gambaran
signal yang isodens
EEG
Kejang tonik gambaran EEG berupa lesi multifokal yang abnormal
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sesuai dengan etiologi
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
Darah : Gambaran darah tepi, kultur, infeksi TORCH, metabolik (glukosa, Na, K, Ca)
dan analisis gas
Urin
: Rutin, kultur dan resistensi
Likuor : Jumlah sel, protein, kultur
Radiologi
USG kepala, CT scan dan MRI
EEG
TERAPI
Mempertahankan ventilasi, oksigenasi, tekanan, elektrolit, pH darah
Penyebab
Hipoglikemia atau hipokalsemia lihat penanganan hipoglikemia atau hipokalsemia
Anti kejang
Fenobarbital
Dosis awal 20 mg/kgBB i.v./i.m. Jika setelah 60 menit, kejang masih ada berikan
dosis ke-2 (10 mg/kgBB)
Jika kejang masih ada, 2-4 jam kemudian dapat diberikan luminal 10 mg/kgBB.
Dosis maksimum loading dose fenobarbital 30-40 mg/kgBB
Jika fenobarbital tidak memberikan respons fenitoin
Dosis fenobarbital rumatan 3,5-4,5 mg/kgBB, dosis tunggal atau 2x/hari i.m./p.o.,
diberikan 12 jam setelah loading dose
Pemberian dihentikan jika pemeriksaan fisis normal, tidak ada kejang rekurens dan
gambaran EEG normal. Pada penderita yang mempunyai risiko untuk terjadinya
kejang rekurens
(hipoxic ischemic encephalopaty/HIE, malformasi korteks
serebri) pemberian fenobarbital dilanjutkan sampai umur 2 bl
Fenitoin
Loading dose 15-25 mg/kgBB i.v., kecepatan tidak melebihi 0,5 mg/kgBB/menit.
Selanjutnya 5 mg/kgBB/hari
Rumatan diberikan 4-8 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis i.v.
Diazepam
Hanya untuk menghentikan kejang dengan segera
Pemberian harus dengan monitoring ketat, sebaiknya di rawat di ruang intensif
Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB pengenceran dengan NaCl fisiologis (1:4), i.v., perlahanlahan sampai kejang berhenti
Lorazepam
Bila resisten terhadap fenobarbital dan fenitoin
Dosis 0,05 mg/kgBB/dosis, i.v. dalam 2-5 menit
Paraldehid
Bila tidak berhasil dengan antikonvulsan lain
Dosis 0,1-0,3 ml/kgBB, diencerkan dalam minyak mineral (rasio 1:1 atau 2:1),
dalam bentuk rektal/supositoria dan tidak boleh diberikan > 3x/hari
Obat lain
Ca
Untuk mengatasi kejang karena hipokalsemia lihat bab hipokalsemia
Mg
Bila penyebabnya hipomagnesemia
Dosis Mg-sulfat 50% 0,1-0,2 ml/kgBB i.m. setiap 12 jam
Piridoksin
Bila penyebabnya defisiensi/ketergantungan piridoksin, dosis 50 mg i.v.
Selama pemberiannya harus dimonitor EEG
Rumatan : Untuk ketergantungan 10-100 mg/hari p.o.(4 dosis) Untuk defisiensi 5
mg/hari p.o. (4 dosis)
PROGNOSIS

Secara umum baik bila


Penyebabnya gangguan metabolik
Pemeriksaan neurologik normal
EEG normal
Kejang bersifat familial ringan

Prognosis buruk bila


Penyebabnya malformasi kongenital, asfiksia berat dan perdarahan intraventrikular berat
Kejang berlangsung > beberapa hari
Pemeriksaan neurologik abnormal
EEG abnormal
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Disturbance of repiratory tract. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
Fenichel GM. Seizures. Neonatal neurology; edisi ke-3. New York: Churchill Livingstone Inc,
1990; 17-34.
Gomella TL. Neurologic diseases. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 382-7.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Neurological problems. Neonatal intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 224-8.
Kuban K, Filiano J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 493-504.
Menkes JH. Paroxysmal disorder. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME, penyunting.
Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 445-9.

HIPOGLIKEMIA

BATASAN
Pada bayi kurang bulan (BKB) dan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai kadar
glukosa darah < 20 mg/dl dan bayi cukup bl < 30 mg/dl pada umur 72 jam pertama atau <
40 mg/dl setelah umur 72 jam kehidupan
KLASIFIKASI
Hipoglikemia asimtomatik
Hipoglikemia simtomatik
Hipoglikemia persisten
ETIOLOGI
Penggunaan glukosa , misalnya bayi dari ibu diabetes melitus (DM) dan eritroblastosis
Cadangan glukosa , misalnya prematur dan pertumbuhan intra uterin yang terlambat
Penggunaan glukosa dan atau produksi atau sebab lain, misalnya stres perinatal,
defisiensi endokrin dan transfusi ganti
FAKTOR RISIKO
Cadangan glikogen yang terbatas
Prematur
Stres perinatal
Starvation
Glycogen storage disease
Hiperinsulinism

Bayi dengan ibu DM


Sindroma Beckwith-Wiedemann
Penggunaan obat pada ibu
Eritroblastosis fetalis
Produksi glukosa
Bayi kecil masa kehamilan (KMK)
Gangguan metabolisme
Lain-lain
Hipotermia
Sepsis
Gangguan hipotalamus
Insufisiensi adrenal
Polisitemia
PATOFISIOLOGI
Pada bayi dengan ibu DM terjadi hiperinsulinism perubahan pertumbuhan sel langerhans
berupa hiperplasia sel dan hipoplasia sel hipoglikemia
Eritroblastosis : Rhesus hipertrofi dan hiperplasia sel hiperinsulinism relatif
Penggunaan obat pada ibu seperti tokolitik akan menghambat kerja sel adrenergik
hipoglikemia yang kemungkinan karena glikogen hati , respons terhadap insulin ,
hiperglikemia sekunder dan hiperplasia sel langerhans yang disebabkan hiperinsulinism
sekunder
Ibu dengan pre-eklamsi dan hipertensi gangguan pertumbuhan intrauterin
KRITERIA DIAGNOSIS
Dapat tanpa/dengan gejala
Letargi, apati
Tremor atau jitterines
Apnea
Sianosis
Kejang, koma
Menangis lemah atau high-pitched cry
Poor feeding
Laboratorium
Kadar gula darah sesuai dengan batasan
DIAGNOSIS BANDING
Insufisiensi adrenal
Obat yang dimakan ibu
Penyakit jantung
Gagal ginjal
Gagal hepar
Kelainan metabolisme
Hipokalsemia
Hipo/hipernatremia
Hipomagnesemia
Defisiensi piridoksin
Sepsis
Asfiksia
Penyakit SSP
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Gula darah (dekstrostik atau kadar glukosa serum)

TERAPI
Asimtomatik
Kadar glukosa dekstrostik < 25 mg/dl atau serum < 20 mg/dl infus glukosa kecepatan
6 mg/kgBB/menit dan ulang glukosa setiap 30 menit sampai kadarnya stabil. Kecepatan
infus dapat dinaikkan sampai kadar glukosa normal (sesuai definisi)
Kadar glukosa dekstrostik 25-45 mg/dl atau serum 20-40 mg/dl, jika keadaan bayi stabil
dan tidak mempunyai risiko untuk hipoglikemia early feeding dengan Dekstrosa 5%
atau susu formula. Pemeriksaan glukosa ulang setiap 30 menit sampai kadarnya stabil,
kemudian diperiksa setiap 4 jam. Jika kadar glukosa tetap rendah infus glukosa,
kecepatan 6 mg/kgBB/menit
Simtomatik
Infus glukosa 10% kecepatan 2-4 mL/kgBB, selama 2-3 menit, lanjutkan dengan 6-8
mg/kgBB/menit, kecepatan dapat dinaikkan lagi sampai kadar glukosa 40 mg/dl
Pemeriksaan kadar glukosa ulang dilakukan setiap 30 menit sampai stabil
Hipoglikemia persisten
Jika pemberian infus glukosa sampai 16-20 mg/kgBB/menit, kadar glukosa darah tetap
rendah, harus dicari penyebabnya. Terapi selanjutnya tergantung etiologi
PROGNOSIS
Cerebral palsy dan gangguan intelektual (30%), jika kadar glukosa darah tetap < 20 mg/dl
dan disertai kejang
DAFTAR PUSTAKA
Dransfield DA. Neonatal hypoglycemia and hypocalcemia. Dalam: Polin RA, Burg FB,
penyunting. Work book in practical neonatology. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983; 40-56.
Downey SC, Cloherty JP. Hypoglycemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 545-52.
Gomella TL. Hypoglycemia. Neonatology, management, procedures, on-call problems, diseases
and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 217-20.

HIPOKALSEMIA

BATASAN
Kadar Ca total serum < 7 mg/dl dan kadar ion Ca < 4 mg/dl
KLASIFIKASI
Hipokalsemia dini (< 24 jam)
Hipokalsemia lanjut (minggu pertama)
Lain-lain
Hipokalsemia dapat terjadi setiap saat, berhubungan penyakit dan terapi tertentu
ETIOLOGI
Hipokalsemia dini
Prematuritas
Asfiksia
Ibu DM
Hipokalsemia lanjut
Hiperfosfatemia
Ibu dengan defisiensi vit D
Ibu hiperparatiroid
Hipomagnesemia
Hipoparatiroid primer

Lain-lain
Terapi bikarbonat
Transfusi darah sitrat
Penggunaan furosemid
Fototerapi dengan white light
Penyakit ginjal

PATOFISIOLOGI
Hipokalsemia dini
Pada BKB/bayi dari Ibu DM, kadar ion Ca yang rendah dan gangguan produk metabolit
aktif {1,25(OH)2D} tidak dapat dikompensasi karena disfungsi kelenjar paratiroid
Pada bayi asfiksia, peningkatan konsentrasi fosfat atau kalsitonin menimbulkan
hipokalsemia
Hipokalsemia lanjut
Pemakaian susu sapi penuh kadar fosfat darah hipokalsemia
Disfungsi kelenjar paratiroid karena ibu menderita hiperparatiroid/ agenesis kelenjar
paratiroid pada bayi hipokalsemia
Malabsorbsi usus dan retensi Mg tidak adekuat
Defisiensi dan gangguan metabolisme vit D
Lain-lain
Iatrogenik (akibat pemberian obat dan tindakan)
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis
Asimtomatik
Simtomatik : Tetani, apnea, takikardia, takipnea dan edema
Laboratorium
Ca serum total < 7 mg/dl
Ion Ca 4 mg/dl
Radiologi : Demineralisasi tulang, yang paling mudah terlihat pada lutut dan ujung
tulang iga anterior
EKG : Interval QT memanjang atau aritmia
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan etiologi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Ca darah
EKG
Radiologik tulang
PENYULIT
Fraktur tulang iga
TERAPI
Hipokalsemia dini
Bayi prematur dan tidak ada gejala, tidak memerlukan terapi karena akan membaik
dalam waktu 3 hari
Ca darah < 6,5 mg/dl : Ca glukonas 10% 45 mg/kgBB/hari, i.v. sampai kadar Ca serum 7
mg/dl

Jika ada gejala : Ca glukonas 10% 1-2 ml/kgBB (9-18 mg/kg) i.v. selama > 5 menit, Jika
tidak ada respons setelah 10 menit, dosis yang sama diulang, dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebanyak 200-800mg/kgBB/hari i.v./p.o.(4 dosis)
Jika tidak berhasil, dapat diberikan Mg sulfat 50% 0,1-0,2 ml/kgBB/ dosis i.v./i.m.,
diulang setiap 6 atau 12 jam
Dosis rumatan Mg : 0,2 ml/kgBB/hr p.o.
Hipokalsemia lanjut
Hipokalsemia dengan hiperfosfatemia
Mempertahankan cadangan vit D ibu yang adekuat
Mengurangi masukan fosfat dengan menggunakan ASI atau susu formula yang
rendah fosfat
Ca suplemen peroral untuk meningkatkan rasio Ca fosfat 4 : 1
Pemberian Ca harus diturunkan secara bertahap 2-4 minggu
Hipoparatiroid
Diet rendah fosfat dengan suplemen Ca dan koreksi jika ada defisiensi vit D
Kelainan vit D : Vit D2 5000 U/hr p.o.
Defek metabolisme vit D : Analog vit D, seperti calcitriol

PROGNOSIS
Secara efektif dapat dikendalikan dengan monitoring yang ketat masukan Ca, fosfat, vit D
dan ekskresi Ca melalui urin
DAFTAR PUSTAKA
Anas CS. Disorder of calcium and phosphorous metabolism. Dalam: Tausch HW, Ballard RA,
Avery ME, penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991;
827-37.
Dransfield DA. Neonatal hypoglycemia and hypocalcemia. Dalam: Pollin RA, Burg FB,
penyunting. Work book in practical neonatologi. WB Saunders Co, 1983; 40-56.
Rubin PL. Hypocalcaemia and hypercalcemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting.
Manual of neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 553-61.

ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS (EKN)

BATASAN
Kelainan saluran cerna yang didapat pada BKB berupa kerusakan mukosa, iskemia dan
toksik yang diduga karena imaturitas usus dan sistem imunologik yang belum matang
KLASIFIKASI
Berdasarkan Modifikasi Bell (1986)
Stadium I (tersangka)

Gejala sistemik

: Tidak spesifik, yaitu suhu yang tidak stabil, apnea, bradikardia


dan letargi
Gejala intestinal
: Retensi lambung, muntah (bercampur empedu atau darah),
distensi abdomen ringan, darah segar dalam feses
Gambaran radiologik (foto polos abdomen, lateral dekubitus, cross table lateral dan
upper X-ray abdomen) : Distensi abdomen dengan ileus ringan
Stadium II (diagnosis pasti)
Gejala sistemik
: Sama dengan di atas
Gejala intestinal
: Sama dengan di atas, tetapi darah segarnya persisten, distensi
abdomen yang jelas
Gambaran radiologik : Distensi intestinal dengan ileus, separasi usus halus (edema
pada dinding usus atau cairan peritoneum), gambaran usus yang
kaku dan persisten, pneumatosis intestinalis dan gas dalam vena
porta
Stadium III (lanjut)
Gejala sistemik
: Sama dengan di atas, tetapi disertai dengan memburuknya tanda
vital dan renjatan septik
Gambaran radiologik : Sama dengan gambaran radiologik stadium II disertai adanya
pneumoperitoneum
ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti
Faktor risiko yang diduga berperan
Prematuritas
Asfiksia
Sindroma distres pernafasan
Polisitemia
Pemberian susu formula yang terlalu cepat dan banyak
PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini belum ada teori yang memuaskan. Umumnya teori yang disetujui yaitu
kehilangan integritas mukosa usus yang merupakan mekanisme terpenting untuk terjadinya
EKN, termasuk diantaranya imaturitas saluran cerna/imunologi, iskemia, kolonisasi, invasi
bakteri usus, pertumbuhan bakteri usus yang berlebih dan toksin bakteri
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis
Intoleransi makanan
Distensi abdomen
Darah segar pada tinja/perubahan bentuk tinja
Tidak spesifik : Apnea, bradikardia dan letargi
Laboratorium
Darah : Neutropenia, trombositopenia, kultur positif (tergantung etiologi), dapat
terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa
Feses : Perubahan konsistensi, disertai darah, kultur positif (tergantung etiologi)
Radiologi
Sesuai dengan klasifikasi Bell (lihat diatas)
DIAGNOSIS BANDING
Volvulus
Malrotasi usus
Kolitis pseudomembran
Kolitis Hirschsprung
Perforasi usus spontan
Mekonium ileus
Sepsis dengan ileus

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Hitung jenis sel, trombosit, kultur, analisis gas dan elektrolit
Feses : Rutin dan kultur
Radiologi
PENYULIT
Perforasi
Peritonitis
Sepsis
Short bowel syndrome
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Striktur intestinal
KONSULTASI
Bagian Bedah Anak

TERAPI
Pengelolaan Dasar
Menghentikan nutrisi peroral
Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik
Monitoring tanda vital, perdarahan saluran cerna, masukan/keluaran cairan, elektrolit dan
tanda sepsis
Antibiotik kombinasi
Ampisilin diberikan p.o., i.m. atau i.v.
Umur < 7 hari, 50 mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis
Umur > 7 hari, 75 mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis
Gentamisin diberikan i.m. atau i.v.
Umur < 7 hari
BB < 1000 g dan umur kehamilan < 28 mgg,
2,5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
BB < 1500 g dan umur kehamilan < 34 mgg,
2,5 mg/kgBB/dosis, diberikan setiap 18 jam
BB > 1500 g dan umur kehamilan > 34 mgg,
2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 12 jam
Umur > 7 hari
BB < 1200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 18-24 jam
BB > 1200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 8 jam
Foto abdomen serial (setiap 6-8 jam)
Stadium I
Nutrisi p.o. dihentikan dan pemberian minum dapat diberikan setelah 3 hari perbaikan
Antibiotik diberikan selama 3 hari
Stadium II
Nutrisi p.o. dihentikan selama 2 minggu. Pemberian minum dapat mulai diberikan 710 hari setelah pemeriksaan radiologik tidak tampak pneumatosis
Nutrisi parenteral 90110 kal/kgBB/hari
Oksigen
Antibiotik selama 7-10 hari
Na bikarbonat 2 mEq/kgBB, jika terjadi asidosis metabolik
Dopamin 2-4 g/kgBB/menit memperbaiki sirkulasi darah usus
Stadium III
Sesuai stadium II, disertai ventilator mekanik jika dibutuhkan

10

Jika terdapat syok, atasi sesuai penyebab


Pembedahan dilakukan bila
Keadaan klinis memburuk
Tidak memberikan respons terhadap pengobatan diatas
Sentinel loop menetap selam 24 jam
Massa di abdomen kuadran bawah kanan
Eritema dinding abdomen (tanda peritonitis)
Perforasi usus spontan

PROGNOSIS
Angka kematian bervariasi (0-55%)
DAFTAR PUSTAKA
Byrne JW. Disorders of the intestine and pancreas. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 681-92.
Fanaroff AV. Neonatal enterocolitis. Dalam: Behrman RE, Vaughan III VC, Nelson WE,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Co, 1996;
970-2.
Grittlin J. Necrotizing enterocolitis. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 609-17.
Kendrick MW, Caplan M. Necrotizing enterocolitis. New thoughts about pathogenesis and
potential treatment. Ped Clin North Am 1993;40: 1047-56.
Tindall B. Gastrointestinal problem. Handbook of neonatal
intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1986; 137-47.
Walsh CM, Kleigman MR. Necrotizing enterocolitis: treatment based on staging criteria. Ped Clin
North Am 1986;33: 179-98.

PENYAKIT PERDARAHAN PADA NEONATUS


(HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/HDN)

BATASAN
Perdarahan pada neonati yang disebabkan defisiensi vit. K atau faktor II, VII, IX dan X
KLASIFIKASI
HDN klasik
HDN dini
: Terjadi < 24 jam
HDN lanjut : Terjadi 1-12 bl
ETIOLOGI
HDN klasik (biasanya terjadi pada umur 1-7 hari)
Defisiensi vit. K
Imaturitas hepar sintesis faktor koagulasi
HDN dini
Pemakaian obat (fenitoin, fenobarbital, INH, rifampisin) oleh ibu yang mengganggu
oksidasi vit K neonatus
HDN lanjut
Gangguan absorbsi vit K pada kistik fibrosis, atresia biliaris, defisiensi -1 anti tripsin,
hepatitis dll
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis

11

Tidak diberikan vit. K setelah lahir


Ibu minum obat (fenitoin, fenobarbital, salisilat, warfarin)
Bayi mendapat antibiotik jangka lama
Fisis
Perdarahan tali pusat, perdarahan saluran cerna dll, yang pada awalnya bayi tampak
sehat
Laboratorium
Hb dapat
PT dan PTT
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Hb, PT dan PTT
TERAPI
Vit. K 1 mg i.m.
Jika perdarahan berlanjut : Fresh frozen plasma 10 ml/kgBB
PENCEGAHAN
Pada Ibu yang mendapat pengobatan anti epilepsi
vitamin K 10 mg/hr p.o. selama 2 minggu sebelum melahirkan
Pada neonati yang baru lahir diberikan vit. K 1 mg p.o. atau i.m.
PROGNOSIS
Baik
DAFTAR PUSTAKA
Gladder BE, Amylon MD. Hemostatic disorders in the newborn. Dalam: Tausch HW, Ballard RA,
Avery ME, penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991;
777-81.
Gomella TL. Bloody management. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 184-8.
Goorin AM, Cloherty JP. Bleeding. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 342-7.
Kelnar CJH, Harvey D, Simpson C. Bleeding disordes. The sick newborn baby; edisi ke-3.
London: Bailliere Tindal, 1995; 307-16.

ASPIRASI MEKONIUM

BATASAN
Terhisapnya cairan amnion yang tercemar mekonium kedalam paru pada bayi yang
mengalami stres intrauterin, yang dapat terjadi pada saat intrauterin dan persalinan
KLASIFIKASI
Obstruksi
Infeksi
ETIOLOGI

12

Adanya cairan mekonium dalam mulut atau saluran nafas atas


FAKTOR RISIKO
Hamil lebih bulan
Ibu pre-eklamsi/eklamsi
Ibu hipertensi
Ibu DM
Ibu perokok berat, penyakit saluran nafas kronik, kelainan jantung
Bunyi jantung anak abnormal
Bayi KMK

PATOFISIOLOGI
FISIOLOGI PASASE
MEKONIUM

FETAL COMPROMISE (Hipoksia,


kompresi tali pusat PASASE
MEKONIUM

CONTINUED
COMPROMISE

CAIRAN AMNION YANG


TERCEMAR MEKONIUM

ASPIRASI POST
PARTUM

GASPING
IN UTERO

ASPIRASI MEKONIUM

OBSTRUKSI
SAL. NAFAS
PERIFER

KOMPLIT

OBSTRUKSI
SAL. NAFAS
PROKSIMAL

PNEUMONITIS
INFLAMASI &
KIMIA

PARSIAL
REMODELING OF
PULMONARY
VASCULATE

ATELEKTASIS

EFEK
BALL-VALVE

13

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis : Adanya faktor risiko (lihat diatas)
Cairan amnion tercemar mekonium
Gawat janin
Bayi mengalami asfiksia dan setelah lahir menunjukkan sindroma gawat nafas
Biasanya disertai tanda bayi lebih bulan (BLB)
Analisis gas asidosis metabolik, asidosis respiratorik, hipoksemia dan hiperkapnia
Radiologi foto toraks : Hiperinflasi, atelektasis, pneumonia atau pneumomediastinum
DIAGNOSIS BANDING
Takipnea sementara pada neonatus
Pneumonia
Penyakit membran hialin (PMH)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Analisis gas
Radiologi
PENYULIT
Pneumotoraks
Hipertensi pulmonal
Sepsis
TERAPI
Pengelolaan di ruang bersalin/kamar operasi
Mekonium dalam cairan amnion

Pada saat intra partum, lendir diisap dari


mulut, faring & hidung

Cair

Bayi aktif

Observasi

Kental

Bayi depresi
Isap lendir trakea

14

Gambar 11.

Pengelolaan Aspirasi Mekonium di Ruang


Bersalin/Kamar Operasi
(dikutip dari Neonatal resuscitation,1994)

Umum
Optimalisasi suhu tubuh
Koreksi jika ada kelainan metabolik, misalnya hipokalsemia, hipoglikemia, asidosis
metabolik
Monitoring fungsi ginjal dan kardiopulmonal
Terapi cairan (retriksi)
Antibiotik (tergantung keadaan)
Pencegahan penyulit karena asfiksia
Oksigen
Mempertahankan oksigenasi adekuat, PaO2 antara 50-80 mmHg (jika memungkinkan)
untuk memenuhi kebutuhan normal fungsi jaringan dan mencegah asidosis (laktat),
syok serta pirau dari kanan ke-kiri (misalnya patent ductus arteriosus/PDA)
Untuk mempertahankan keadaan tsb, dapat dicapai melalui pemberian O2 dengan
menggunakan head box atau continuous positive airway pressure/CPAP atau
pernafasan buatan, tergantung hasil analisis gas

PROGNOSIS
Bervariasi, tergantung berat ringannya penyakit
DAFTAR PUSTAKA
Bloom RS, Cropley C. AAP Neonatal resuscitation. Textbook of neonatal resuscitation. The
American heart association and American pediatrics. 1994; 6-51.
Eichenwald E. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 388-92.
Gomella TL. Meconium aspiration. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 425-7.
Kelnar CJ, Harvey D, Simpson C. Meconium aspiration. The sick newborn baby; edisi ke-3.
London: Baillere Tindall, 1995; 65-6.
Korones SB, Bada-Ellzey HS. Meconium aspiration. Neonatal decision making. St Louis: The
Mosby Co, 1993; 128-9.
Welty Se, Hansen TN. Meconium aspiration syndrome. Neonatal respiratory diseases, edisi ke1. Pennsylvania : Handbooks in Health Care Co, 1995;121-9.

POLISITEMIA

15

BATASAN
Ht darah vena 65%
KLASIFIKASI
Asimtomatik
Simtomatik
FAKTOR RISIKO
Insufisiensi plasenta
Pertumbuhan intra uterin terlambat
Kehamilan lebih bulan
Ibu dengan pengobatan propanolol
Sindroma Down dan kelainan kromosom lain
Hiperplasia adrenal kongenital
Tirotoksikosis neonatal
Ibu DM
Twin to twin transfusion
Maternal to fetal transfusion
Kelambatan penjepitan tali pusat
PATOFISIOLOGI
Anoksia
intrauterin

Keadaan
hiperdinamik

Transfusi

Eritropoetin

Fluid loss

Polisitemia

HIPERVISKOSITAS

Deformability
sel darah merah

Sludging

Asidosis
Hipoksia

SSP
Oliguria
Sianosis
Hipoglikemia
Bilirubin
Trombosit

Gambar 12.

Patofisiologi Polisitemia
(dikutip dari Gross dkk., 1973)
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Ibu dengan faktor risiko (lihat diatas)
Bayi (kehilangan cairan, BLB)
Gejala klinis
Tanpa gejala
Dengan gejala
Feeding problems
Pletora
Letargi

16

Sianosis
Takipnea
Hipotonia
Iritabilitas
Laboratorium : Ht vena 65%
EKG bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, depresi segmen ST
DIAGNOSIS BANDING
Ht palsu
Ht pada keadaan dehidrasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah : Ht vena
EKG
PENYULIT
Hiperbilirubinemia
Iskemia serebral
Kejang
Gawat kardiopulmonal
EKN
Gagal ginjal
Gangren perifer
Priapism
TERAPI
Tanpa gejala
Observasi (Ht dengan penambahan cairan 20-40 ml/kgBB/hari)
Jika Ht > 70% transfusi ganti parsial
Dengan gejala
Transfusi ganti parsial menggunakan larutan NaCl fisiologis atau fresh frozen plasma
(FFP) dengan jumlah :
volume darah = (Ht sekarang - Ht yang diharapkan) x volume darah
Ht sekarang

PROGNOSIS
Jika tidak diberikan terapi akan menimbulkan gejala sisa berupa gejala neurologik
DAFTAR PUSTAKA
Black VD, Lubchenco LO. Neonatal polycythemia and hyperviscosity. Ped Clin North Am 1982;
1137-46.
Glader BE, Naiman JL. Polycythemia in erythrocyte disorders in infancy. Dalam: Taeusch HW,
Ballard RA, Avery ME, penyunting. Diseases of the newborn, edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1991; 822-3.
Goorin AM. Polycythemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care;
edisi ke-4. Boston: Little Brown and Co, 1998; 466-9.
Gross GP, Hathway WE, Mc Gaughey HR. Infectious and hematologic disease of the neonate.
J Ped 1973;82: 1004-8.
Hathway WE. Neonatal hyperviscosity. Pediatrics 1983;72: 567-9.
Ramamurthy RS, Brans YW. Criteria for diagnosis and treatment in neonatal polycythemia,
Pediatrics 1981;68: 168-73.
Shohat M, Melob P, Reeisner SH. Early diagnosis and incidence relating to time of sampling in
neonatal polycythemia, Pediatrics 1984;73: 10.

17

Wiswill TE. Frequency of clinical manifestations and other associated findings in neonatal
polycythemia, Pediatrics 1986;78: 26-9.

TAKIPNEA SEMENTARA PADA NEONATUS


TRANSIENT TACHYPNEA OF THE NEWBORN (TTN)

BATASAN
Disebut juga wet lung dan sindroma gawat pernafasan (SGP) tipe II, terutama terjadi pada
bayi cukup bulan, dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri
PATOFISIOLOGI
Clearance cairan paru janin terlambat oleh karena gangguan fungsi saluran limfe paru dan
tekanan vena sentral
Imaturitas paru (ditandai dengan tidak adanya fosfatidil gliserol paru)
Defisiensi surfaktan ringan
FAKTOR RISIKO
Lahir seksio sesaria
Laki-laki
Penjepitan tali pusat terlambat
Penggunaan obat sedasi berlebihan
Ibu DM
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Bayi cukup bulan
Riwayat dengan faktor risiko diatas
Klinis
Takipnea (> 60 x/mnt)
Dapat juga disertai dengan gangguan nafas
Laboratorium
Analisis gas hipoksemia ringan-sedang dengan asidosis respiratorik yang
menghilang dalam 8-24 jam
Foto toraks
Hipererasi disertai kardiomegali ringan
Pembuluh darah paru menyerupai gambaran sunburst yang dimulai dari hilus
Fisura interlober tampak melebar dan dapat disertai efusi pleura
Kadang-kadang disertai dengan gambaran perselubungan yang kasar akibat edema
alveolar
Gambaran radiologik tersebut menghilang dalam 2-3 hari
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia bakteri
Sindroma aspirasi mekonium
Penyakit membran hialin (PMH)
Edema paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Analisis gas
Foto toraks

18

TERAPI
Sembuh sendiri, biasanya dalam 48-72 jam
Restriksi cairan : 60 ml/kgBB/hari
Jika memerlukan O2, biasanya 30-50%
PROGNOSIS
Baik
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Distrubance of repiratory tract. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
Gomella TL. Pulmonary diseases. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 428-31.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Acute acquired parenchymal lung disease. Neonatal intensive
care; edisi ke-3. Philadelphia : Bailliere Tindall, 1989;224-8.
Hansen T, Corbet A. Disorder of the transition. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 504-5.
Moise AA, Gest AL. Respiratory therapy-general consideration. Contemporary diagnosis and
management of neonatal respiratory disease. Pennsylvania : Handbook in Health Care Co,
1995;80-96.
Stark AR, North JM. Respiratory distress syndrome/transient tachypnea of newborn. Dalam:
Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown &
Co, 1998; 369-70.

PNEUMONIA

BATASAN
Infeksi paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa dan jamur
ETIOLOGI
Bakteri : Streptococcus hemolyticus group B, E. coli, dll
Virus : Rubella, herpes, dll
Toxoplasma gondii
Klamidia
Listeria monositogenes
Lain-lain
KLASIFIKASI
Pneumonia kongenital
Pneumonia intra uterin
Pneumonia didapat intra partum
Pneumonia didapat post partum
FAKTOR PREDISPOSISI
Prematuritas
Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW)
Pemeriksaan digital yang sering
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat ibu (infeksi peri partum)
Gejala klinis
Letargi

19

Tanda gawat nafas


Ronki, dll
Laboratorium
Darah : Kultur dapat (+)
Gram dan kultur aspirat cairan trakea/lambung/faring bisa ditemukan kuman
Foto toraks
Kasus berat : Tampak densitas homogen dan difus
Kasus lain : Seperti gambaran PMH (retikulogranular dan difus) kadang-kadang
seperti pneumonia pada bayi
DIAGNOSIS BANDING
PMH
TTN
Aspirasi mekonium
Edema paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Kultur
Cairan aspirat trakea/faring/lambung : Gram dan kultur
Foto toraks
PENYULIT
Meningitis
Efusi pleura
Sepsis
TERAPI
Mempertahankan suhu bayi 36-370C
Mempertahankan oksigenasi adekuat, jika memungkinkan PaO2 50-80 mmHg
Mempertahankan sirkulasi darah
Jika Ht < 40% transfusi darah
Antibiotik (jika diduga ada infeksi bakteri)
Terapi awal : Penisilin + aminoglikosida
Penisilin i.m., i.v.
0-7 hari
< 2000 gram : 50.000 U/kgBB/hari dibagi 2 dosis
> 2000 gram : 50.000 U/kgBB/hari dibagi 3 dosis
> 7 hari
< 2000 gram : 75.000 U/kgBB/hari dibagi 3 dosis
> 2000 gram : 100.000 U/kgBB/hari dibagi 4 dosis
Aminoglikosid (Netromisin) i.m., i.v.
0-7 hari
< 1000 gram, < 28 mgg umur kehamilan :
2,5 mg/kgBB/dosis setiap 24 jam
< 1500 gram, < 34 mgg umur kehamilan :
2,5 mg/kgBB/dosis setiap 18 jam
> 1500 gram, > 34 mgg umur kehamilan :
2,5 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam
> 7 hari
< 1200 gram : 2,5 mg/kgBB/dosis setiap 18-24 jam
> 1200 gram : 2,5 mg/kgBB/dosis setiap 8 jam
Jika infeksi nosokomial Sefalosporin generasi III (claforan)
0-7 hari : 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis i.m., i.v.
> 7 hari : 150 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis i.m., i.v.

20

Selanjutnya tergantung hasil kultur dan resistensi kuman


PROGNOSIS
Tergantung etiologi
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Distrubance of repiratory tract. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
Gomella TL. Pulmonary diseases. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 415-7.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Respiratory problems. Neonatal intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 123-41.
Hansen T , Corbet A. Lung development and function. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery
ME, penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 350.
Liley GH, Stark AR. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting.
Manual of neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 358-63.
Moise AA, Gest AL. Respiratory therapy-general consideration. Contemporary diagnosis and
management of neonatal respiratory disease. Pennsylvania : Handbook in Health Care Co, 1995;
80-96.

ANEMIA

BATASAN
Anemia pada neonati dengan masa kehamilan > 34 minggu, dengan kadar Hb darah vena <
13 g/dl atau kadar Hb darah kapiler < 14,5 g/dl
KLASIFIKASI
Anemia fisiologis
Anemia prematuritas
Anemia hipoplastik
Anemia perdarahan
Anemia hemolitik karena proses imunologik
Anemia karena defek eritrosit herediter atau didapat
ETIOLOGI
Perdarahan
Obstetrik
Solusio plasenta, plasenta previa, ruptur anomali pembuluh darah/tali pusat,
hematoma tali pusat

21

Tersembunyi
Perdarahan fetomaternal (akut/kronik), perdarahan fetoplasental, transfusi antar janin
pada kehamilan kembar
Masa neonatus
Perdarahan intrakranial
Hematoma sefal masif
Perdarahan retroperitoneal
Ruptur hati atau limpa
Perdarahan adrenal/renal
Perdarahan saluran cerna
Perdarahan umbilikus
Iatrogenik
Pengambilan darah berulang untuk pemeriksaan
Hemolitik
Imun
Inkompatibilitas Rhesus, ABO, gol. darah minor, penyakit ibu
Gangguan eritrosit herediter
Defek membran eritrosit/metabolik, hemoglobinopati
Didapat
Infeksi, koagulasi intravaskular diseminata (KID), defisiensi vitamin E, anemia
hemolitik, mikroangiopati
Produksi eritrosit kurang
Sindroma Diamond-Blackfan
Leukemia kongenital
Infeksi
Osteoporosis
Supresi eritrosit karena obat
Anemia fisiologis atau anemia prematuritas
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Umur terjadinya anemia
Keluarga : Anemia, ikterus, batu empedu, splenektomi
Ibu : Infeksi
Obstetrik : Riwayat kehamilan sebelumnya, lama kehamilan, cara dan kesulitan
selama persalinan
Gejala klinis
Perdarahan akut : Syok, asidosis, perfusi buruk
Perdarahan kronik : Pucat, gawat nafas ringan, iritabel
Hemolisis kronik : Pucat, ikterus, hepatosplenomegali
Laboratorium : Lihat gambar 13
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding etiologi

22

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium sesuai dengan gambar (jika memungkinkan)
Konsentrasi Hb

Jumlah retikulosit

Rendah
Anemia hipoplastik kongenital

Normal atau meningkat


Tes Coomb

Positif
Anemia hemolitik imunologik :
ABO
inkompatibilitas
Rhesus
Gol.darah minor

Negatif

MCV

Rendah

Normal atau meningkat

Perdarahan intrauterin yg kronik


Sindr - thalassemia

Apus darah tepi

Normal

Penyebab lain :
Def. Heksokinase

Kehilangan darah
Infeksi :
Iatrogenik
C.welchii
Fetomaternal/
Fetoplasental
Twin to twin
Perdarahan internal

Abnormal

Sferosit herediter
Eliptositosis herediter
Def. Piruvat kinase
Def. G6PD
KID

Gambar 13. Pendekatan Diagnosis Anemia pada Neonatus


(dikutip dari Blachet & Zipursky,1984)

23

PENYULIT
Syok
Gagal jantung
KONSULTASI
Bedah
Bedah saraf jika penyebabnya kasus bedah/bedah Saraf
TERAPI
Transfusi (berdasarkan pertimbangan klinis)(lihat tabel 12)
Tabel 12. Transfusi PRC Berdasarkan Kondisi Klinis Bayi
Ht harus dipertahankan
> 40%

> 30%
> 25%

Keadaan klinis
Penyakit kardiopulmonal berat
Bayi prematur, BB < 1500 g dan
umur < 1 minggu
Penyakit kardiopulmonal sedang
Bedah major
Anemia simtomatik disertai gejala
yang tidak dapat dijelaskan (penyakit
pernafasan, tanda vital abnormal,
pertumbuhan buruk, bayi tidak aktif)

Pada bayi yang dirawat di ruang intensif, kehilangan 5-10% volume darah harus
diberikan transfusi pack red cell (PRC)
Pada bayi prematur terjadi anemia fisiologis (kadar Hb sampai 7-8 g/dl), transfusi tidak
perlu diberikan, kecuali jika terdapat manifestasi klinis (gagal tumbuh, lelah, takikardia,
dll)
Transfusi ganti
Indikasi : Anemia hemolitik kronik atau perdarahan dengan tekanan vena sentral
,
anemia hemolitik berat, koagulopati konsumtif
Jenis darah yang diberikan
PRC maksimum 10 ml/kgBB
Jumlah = BB(kg) x volume darah/kg x (Ht yang diinginkan-Ht sekarang)
Ht donor

Indikasi : Flebotomi, anemia kronik, memperbaiki kemampuan transport O2 pada


penyakit jantung atau paru
Whole blood
Indikasi : Perdarahan akut (10-20 ml/kgBB/jam)
Transfusi ganti (2x volume darah penderita)
PROGNOSIS
Tergantung etiologi serta kecepatan dan ketepatan penatalaksanaan
DAFTAR PUSTAKA
Blanchette VS, Zipursky A. Assessment of anemia in newborn infants. Perinatal hematology.
clinics in perinatology, volume 11/No. 2. WB Saunders Co, 1984;489-510.
Cloherty JP. Anemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care; edisi
ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 453-9.
Glader BE, Naiman JL. Erythrocyte disorder in infancy. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery
ME, penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 798825.

24

Gomella TL. Anemia. Neonatology, management, procedures, on-call problems, diseases and
drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 265-70.
Halliday HL, Clure G, Rud M. Hematologi problem. Handbook of neonatal intensive care; edisi
ke-3. London: Balliere Tindal, 1987; 276-82.
Korones SB, Bada Ellzey HS. Anemia. Neonatal decision making. St Louis: The Mosby Co,
1993; 178-81.
Strauss RG,MD. Red blood cell tranfusion practices in the neonate. Perinatal hematology. WB
Saunders Co, 1995;22: 641-55.

APNEA

BATASAN
Tidak adanya aliran udara pernafasan selama 20 detik dengan atau tanpa bradikardia atau
sianosis
KLASIFIKASI
Apnea sentral
Apnea obstruktif
Apnea campuran
ETIOLOGI
Penyakit/kelainan organ
Kepala dan sistem saraf pusat
Asfiksia perinatal
Perdarahan intraventrikular
Meningitis
Hidrosefalus dengan tekanan intrakranial
Kejang
Sistem respirasi
Hipoksia
Obstruksi jalan nafas
Penyakit paru
Ventilasi tidak adekuat atau ekstubasi terlalu dini
Sistem kardiovaskular
Gagal jantung kongestif
PDA
Penyakit jantung kongenital
Saluran cerna
EKN
Refluks gastroesofageal
Sistem hematologi
Anemia
Polisitemia
Penyakit dan kelainan lainnya
Suhu tidak stabil (hipotermia, hipertermia)
Infeksi (sepsis)
Kelainan metabolik/elektrolit (hipoglikemia/hiponatremia)
Refleks vagal (efek sekunder tube nasogastrik)
Obat (dosis tinggi fenobarbital, diazepam dan pengaruh obat ibu misalnya MgSO4 dan
anestesia umum)

25

Umur kehamilan (seperti tampak pada tabel 13)


Tabel 13. Penyebab Apnea dan Bradikardia Tersering Sesuai Umur Kehamilan
Kurang Bulan
Apnea pada prematur
PDA
PMH
Hidrosefalus post perdarahan
Perdarahan periintraventrikular

Cukup Bulan
Infark serebri
Polisitemia

Semua Umur
Sepsis
EKN
Meningitis
Aspirasi
Refluks
gastroesofagus
Kejang
Asfiksia

Umur postnatal
Terjadi beberapa jam setelah lahir : Pengaruh obat ibu, asfiksia, kejang, PMH
Terjadi < 1 minggu : PDA, perdarahan intra/peri-ventrikular
Terjadi > 1 minggu : Hidrosefalus post-perdarahan, kejang
Terjadi 6-10 minggu : Anemia karena prematuritas
Terjadi dalam waktu yang bervariasi : Sepsis, EKN, meningitis
PATOFISIOLOGI
Ketidakmatangan pusat pernafasan
Keutuhan/obstruksi jalan nafas
Pompa pernafasan
FAKTOR PREDISPOSISI
BKB
Saudara dengan riwayat sudden infant death syndrome (SIDS)
Kelainan neurologik

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Bayi dengan faktor risiko (kurang bulan, kelainan neurologik)
Gejala klinis
Letargi
Hipotermia
Tanda tekanan tinggi intra kranial
Distensi abdomen
Laboratorium
Gambaran darah tepi/hitung jenis/trombosit (DD/ sepsis)
Analisis gas : Mengetahui hipoksia
Glukosa, elektrolit darah : Mengetahui gangguan metabolik
Radiologi
Foto toraks
: Atelektasis, pneumonia
Foto abdomen : Tanda EKN
USG kepala
: Perdarahan intrakranial/kelainan SSP
CT scan
: Infark serebri
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan etiologi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Morfologi, hitung jenis, elektrolit, glukosa, analisis gas

26

Radiologi
Foto toraks, abdomen, USG dan CT scan kepala
TERAPI
Pencegahan
Manipulasi yang minimal
Pengaturan suhu lingkungan
Jika memungkinkan, letakkan bayi dalam posisi tengkurap
Monitoring pernafasan dan denyut jantung
Umum
Oksigen per nasal
Stimulasi taktil
Perhatikan posisi leher (tidak boleh terlalu fleksi/ekstensi)
Nasal CPAP : Dengan tekanan 3-4 cm H2O, dapat ditingkatkan s/d 10 cm H2O dan
kecepatan aliran O2 5 l/menit
Medikamentosa (jika usaha diatas gagal)
Teofilin i.v./p.o. : 1,5 - 2 mg/kgBB/6 jam
Jika serangan apnea dan berat aminofilin, dosis awal 5-6 mg/kgBB i.v.
perlahan dalam 15-30 menit, 12 jam kemudian dilanjutkan dosis rumatan 4-8
mg/kgBB/hari (dibagi 2-3 dosis)
Kafein sitrat i.v./p.o., dosis awal 20 mg/kgBB, 24 jam kemudian dilanjutkan dosis
rumatan 2,5-5 mg/kgBB/hr, dosis tunggal
Doksapram. Jika dengan pemberian teofilin/kafein, apnea tidak berkurang
infus/drip, kecepatan 0,5-1,5 mg/kgBB/jam
Setelah apnea teratasi kecepatan dapat , sedangkan pada penderita yang
tetap apnea, dosis sampai maks. 2,5 mg/kgBB/jam
Ventilasi mekanik, jika semua usaha diatas gagal
Khusus
Tergantung etiologi
PROGNOSIS
Pada umumnya baik, tanpa disertai gejala sisa
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC. Apnea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan
VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co,
1992; 462-3.
Gomella TL. Apnea and bradycardia. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 173-6.
Hansen T, Corbert A. Control of breathing. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 470-3.
Hansen TN, Coper TR, Welsman LE. Control of breathing in the neonate. Neonatal respiratory
diseases; edisi ke-1. Pensylvania: Handbook in Health Care Co, 1995; 203-12.
Kelnar CJH, Harvey D, Simpson C. Respiratory problems. The sick newborn baby; edisi ke-3.
London: Bailiere Tindall, 1995; 164-95.
Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care; edisi ke4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 374-7.

27

IKTERUS NEONATORUM

BATASAN
Diskolorasi kulit, membran mukosa dan sklera oleh karena bilirubin serum (> 2 mg/dl).
Secara klinis akan tampak pada bayi baru lahir bila bilirubin serum 5-7mg/dl
KLASIFIKASI
Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada BCB nilai puncak 6-8 mg/dl biasanya tercapai pada
hari ke-3-5. Pada BKB nilainya 10-12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dl/hari
Ikterus patologis (non fisiologis)
Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum > 5 mg/dl/hari
Bilirubin total serum > 17 mg/dl pada bayi yang mendapat ASI
Ikterus menetap setelah 8 hari pada BCB atau setelah 14 hari pada BKB
Bilirubin direk > 2 mg/dl
ETIOLOGI
Ikterus fisiologis
Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar
Volume eritrosit/kgBB bayi > dewasa
Masa hidup eritrosit bayi (90 hari) lebih pendek daripada dewasa (120 hari)
Early labeled bilirubin
Resorbsi bilirubin dari usus (sirkulasi enterohepatik)
Glukoronidase akan mengubah bilirubin terkonyugasi menjadi tak terkonyugasi
dalam usus yang selanjutnya diresorbsi
Early feeding
Defek pengambilan bilirubin plasma
Defek konjugasi bilirubin
Ekskresi bilirubin
Ikterus patologis
Anemia hemolitik
Ekstravasasi darah (misalnya hematoma)
Polisitemia
Sirkulasi enterohepatik berlebihan
Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar
Defek konjugasi
Gangguan transportasi bilirubin direk yang keluar dari hepatosit
Obstruksi aliran empedu

PATOFISIOLOGI
Produksi berlebihan (pre-hepatik)
Sekresi
Campuran (post-hepatik)
FAKTOR PREDISPOSISI

28

Keadaan yang mengurangi kapasitas ikat bilirubin


Asidosis
Asfiksia
Hipoalbuminemia
Infeksi
Prematuritas
Hipoglikemia
Obat yang menghambat daya kerja glukoronil transferase (misalnya novobiosin)
KRITERIA DIAGNOSIS
Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama
BCB nilai puncak 6-8 mg/dl, biasanya tercapai hari ke-3-5 ;
BKB nilainya 10-12 mg/dl, bahkan sampai 15 mg/dl
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dl/hari
Ikterus patologis (non fisiologis)
Terjadi dalam 24 jam pertama
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum > 5 mg/dl/hari
Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum > 17 mg/dl
Ikterus menetap setelah 8 hari pada BCB dan setelah 14 hari pada BKB
Bilirubin direk > 2 mg/dl
DIAGNOSIS BANDING
Ikterus fisiologis
Ikterus patologis
Pre hepatik
Post hepatik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Klinis : Ikterometer Kramer atau dengan bilirubinometer
Laboratorium : Jenis pemeriksaan lihat gambar 14

Ikterus secara klinis (+)


Periksa bilirubin serum

Bilirubin > 12 mg/dl

Bilirubin < 12 mg/dl

Tes Coomb

Observasi

(+)

Periksa antibodi
untuk
Rh
ABO
Kell, dll
> 2 mg/dl
Kemungkinan :
Hepatitis
TORCH
Sepsis
Obstruksi

(-)
Bilirubin direk

< 2 mg/dl

29
Ht

Pada prolonged jaundice dianjurkan pemeriksaan fungsi hepar (SGOT/SGPT, alkali


fosfatase), fungsi tiroid (tiroksin/T4), pemeriksaan terhadap infeksi virus/bakteri dan
pemeriksaan urin untuk galaktosemia
PENYULIT
Kern Icterus
Stadium 1 : Refleks Moro jelek, hipotonia, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry,
kejang
Stadium 2 : Opistotonus, kejang, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung
deviasi keatas
Stadium 3 : Spastisitas
Stadium 4 : Gejala sisa lanjut spastisitas, atetosis, tuli parsial/ komplit, retardasi mental,
paralisis bola mata ke atas, displasia dental
TERAPI
Prinsipnya segera menurunkan bilirubin indirek untuk mencegah kern icterus
Fototerapi
Indikasi profilaksis
Bayi kecil (BB < 1500 g)
Bayi prematur dengan memar yang hebat
Bayi dengan proses hemolisis, sementara menunggu transfusi ganti
Indikasi terapeutik (lihat tabel 14)
Tabel 14. Indikasi Terapeutik Hiperbilirubinemia
Berat Badan Lahir
Indikasi Terapi Sinar
(gram)
< 1500
Mulai disinar dalam 24 jam pertama, tanpa
melihat bilirubin serum
1500 1999
Tanpa hemolisis, terapi sinar dimulai pada
bilirubin 10 mg/dl
Dengan hemolisis, terapi sinar dimulai pada
bilirubin 8 mg/dl

30

2000 2499

Tanpa hemolisis, terapi sinar dimulai pada


bilirubin 12 mg/dl
Dengan hemolisis, terapi sinar dimulai pada
bilirubin 10 mg/dl
Terapi sinar dimulai pada bilirubin 15 mg/dl

2500

Kontraindikasi
Hiperbilirubinemia karena bilirubin direk (hepatitis)
Hiperbilirubinemia obstruktiva (atresia biliaris)
Teknik fototerapi
Bayi dalam keadaan telanjang dalam boks/inkubator (mata dan testis ditutup dengan
penutup yang tidak tembus cahaya)
Jarak bayi dengan lampu 45-50 cm
Bagian bawah unit fototerapi ditutup lapisan termoplastik setebal 0,6 cm
Posisi bayi diubah-ubah dalam 24 jam 3 posisi
Ukur suhu bayi tiap 2 jam (pertahankan 36,5-37,50C)
Waktu minum fototerapi distop dulu
Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit (timbang BB 2x/hari)
Periksa bilirubin total setiap 12-24 jam (bila memungkinkan)
Berikan ekstra minum 10-15 ml/kgBB, bila di infus tambahkan 10% dari kebutuhan
Fototerapi distop jika diduga bilirubin cukup rendah untuk risiko terjadinya kern icterus
atau bila bilirubin toksik telah teratasi dan bila bayi telah cukup umur untuk
menanggulangi bilirubin yang sesuai dengan bilirubin fisiologis
Penyulit Terapi Sinar
Kelainan
Bronze baby
syndrome
Diare
Hemolisis
Dehidrasi
Ruam kulit

Mekanisme yang mungkin terjadi


Berkurangnya ekskresi hepatik dari photoproduct
bilirubin
Bilirubin indirek menghambat laktase
Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Bertambahnya insensible water loss karena
menyerap energi foton
Gangguan fotosensitisasi terhadap sel mast kulit
dengan pelepasan histamin

Transfusi ganti
Indikasi Trasfusi Ganti sesuai kadar bilirubin (mg/dl)
Berat lahir (gram)
Bayi

< 1250

1250 1499

1500 1999

2000 2499

> 2500

Sehat
Risiko

13
10

15
13

17
15

18
17

20
18

Teknik pelaksanaan transfusi ganti


Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya asfiksia, hipoglikemia)
Bayi anemia (Ht < 35%) partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kgBB) sampai Ht
naik menjadi 40%. Bila keadaan sudah stabil transfusi ganti untuk mengatasi
hiperbilirubinemia. Jika mungkin, albumin miskin garam (salt poor albumin) 1 g/kgBB
diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti
Sebelum transfusi ganti ukur tekanan vena dengan variasi 4-9 cm (jika
memungkinkan)
Gunakan darah segar (< 24 jam). Darah yang digunakan mengandung sitrat atau
heparin dan dihangatkan pada suhu 27-370C. Pemilihan darah donor disesuaikan
dengan penyebab ikterus, misalnya pada ketidakcocokan Rh, dipakai darah dengan
Rh negatif, sedangkan pada ketidakcocokan ABO, digunakan golongan O yang
sedikit mengandung anti A dan anti B

31

Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi
terlentang, kerjakan melalui v. umbilikalis/v. safena magna. Volume transfusi ganti
biasanya 2x volume darah bayi (160 ml/kgBB) (diharapkan dapat menggantikan 87%
darah bayi). Darah dipasang dengan set transfusi yang dihubungkan dengan threeways pada ujung-ujungnya. Selanjutnya dihubungkan dengan alat suntik (10/20 ml)
dan kateter v. umbilikalis/kanula yang terpasang pada v. safena magna. Sebelum
melakukan transfusi ganti, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan lab. pra-transfusi :
Hb, urea N, Na, K, Ca, gula, BT, SGOT, SGPT dan kultur, sedangkan untuk
pemeriksaan osmolaritas dan analisis gas sesuai indikasi dan sarana. Kemudian
masukkan darah 20 ml kedalam v. umbilikalis/v. safena magna perlahan-lahan
dengan jarum suntik setelah three-ways diatur sedemikian rupa. Tergantung toleransi
bayi diambil atau dimasukkan darah sebanyak 10-20 ml. Setiap pemasukan 100 ml,
kocok darah donor hati-hati. Untuk pemakaian darah sitrat, setiap 100 ml darah ganti
diberi 1 ml Ca glukonas 10%, monitor jantung dan tanda vital lainnya
Jika pemasangan dilakukan pada v. umbilikalis, tali pusat dipotong + 1 cm diatas
dasar. Jika tali pusat sudah kering, lunakkan dengan kompres NaCl fisiologis selama
1/2-1 jam. Cari v. umbilikalis dan masukkan kateter sampai tampak darah mengalir
keluar, kemudian kateter difiksasi dan diklem (kateter hanya dimasukkan sejauh
keperluan yang diinginkan). Sewaktu kateter v. umbilikalis dimasukkan, lakukan
jahitan melingkari kulit tali pusat dengan benang sutra. Jika kateter gagal dipasang di
v. umbilikalis, transfusi bisa dilakukan di v. safena magna. Kateter vena jangan
terbuka, sebab jika bayi menangis akan menyebabkan emboli. Tahapan ganti ini
diteruskan sampai transfusi ganti selesai
darah yang ditukar dan diobservasi tanda vital
Waktu yang diperlukan untuk tiap tahapan 3-5 menit
Setelah transfusi ganti selesai, ambil darah bayi untuk pemeriksaan lab. Lakukan
jahitan silk purse string atau ikatan kantung melingkar vena. Ketika kateter dicabut,
jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan selama 1 jam (hal ini berguna untuk
menghindari lepasnya jahitan tersebut sehingga bahaya nekrosis dapat dikurangi)
Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil bayi dapat diberi minum
Penghentian transfusi ganti
Emboli (udara, bekuan darah), trombosis
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
Perforasi pembuluh darah
Penyulit transfusi ganti
Vaskular : Emboli udara atau trombus, trombosis
Kelainan jantung : Aritmia, overload, henti jantung
Gangguan elektrolit : Hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
Koagulasi : Trombositopenia, heparinisasi berlebih
Infeksi : Bakteremia, hepatitis (cytomegalovirus/CMV), EKN
Lain-lain : Hipotermia, hipoglikemia, trauma mekanik terhadap sel donor
Perawatan pasca transfusi ganti
Lanjutkan dengan terapi sinar
Awasi ketat kemungkinan terjadinya penyulit
PROGNOSIS
Buruk bila terdapat kern icterus
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

32

DAFTAR PUSTAKA
Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 175-210.
Glasgow LA. Jaundice and hyperbilirubinemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1992; 501-4.
Gomella TL. Hyerbilirubinemia. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 311-20.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Fetal and neonatal infection. Neonatal intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: Bailire Tindall, 1989; 181-92.
Oski FA. Disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 749-75.
Poland RL, Ostrea EM. Neonatal hyperbilirubinemia. Care of the high risk neonate; edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1993; 306.

SEPSIS PADA NEONATUS

BATASAN
Sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteremia
KLASIFIKASI
Sepsis awitan awal : Segera setelah lahir - 7 hari
Sepsis awitan lanjut : Infeksi nosokomial dan terjadi > 7 hari
ETIOLOGI
Bakteri Gram-positif
Streptokokus grup B : Penyebab paling sering
Stafilokokus koagulase negatif : Penyebab utama bakteremia nosokomial
Streptokokus bukan grup B
Bakteri Gram-negatif
Escherichia coli K1 : Penyebab nomor 2 terbanyak
Listeria monocytogenes
H. influenzae
Pseudomonas
Klebsiela
Enterobakter
Salmonela
Bakteri anaerob
Gardenella vaginalis

33

PATOFISIOLOGI
Sepsis awitan awal
Transplasental (antepartum)
Asenderens kuman vagina (partus lama, KPSW)
Waktu melewati jalan lahir (kuman dari vagina dan rektum)
Sepsis awitan lanjut
Tindakan manipulasi (intubasi, kateterisasi, pemasangan infus, dll ) Defek kongenital
(omfalokel, meningokel, labioskizis, labiopalato-skizis, dll). Koloni kuman berasal dari
saluran nafas atas, konjungtiva, membran mukosa, umbilikus dan kulit yang
menyebabkan invasi/menyebar secara sistemik
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor ibu
KPSW
Infeksi peri partum
Partus lama
Infeksi intra partum

Faktor bayi
BBLR
Prematuritas
KMK
Defek kongenital
Bayi laki-laki lebih banyak dari perempuan
Tindakan resusitasi saat melakukan intubasi
Kehamilan kembar
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis
Umum
Bayi tidak tampak sehat (not doing well)
Bayi tidak mau minum (poor feeding), retensi cairan lambung banyak
Suhu badan labil (hipo/hipertermia)
Saluran cerna
Muntah, diare, distensi abdomen, hepatomegali
Gangguan pernafasan
Merintih
Pernafasan cuping hidung (dispnea, takipnea), retraksi
Apnea
Gangguan kardiovaskular
Takikardia, bradikardia, hipotensi
Gangguan SSP
Penurunan kesadaran (letargis koma)
Tremor, jettery, kejang, irritable, hipotonia, apnea
Gangguan hematologik
Pucat, ikterus, perdarahan, pembesaran limpa
Kulit
Petekia, purpura, sklerema, mottling
Laboratorium
Anemia
Leukopenia < 4.000/mm3, leukositosis > 25.000-30.000/mm3 pergeseran kekiri
Neutropenia absolut < 1.000/mm3, rasio neutrofil imatur : total > 0,2, granular toksik
Trombositopenia
LED dan C-reactive protein (CRP)

34

Kultur darah, cairan serebrospinal, dll (+)


Cairan serebrospinal : Jika meningitis keruh disertai leukosit

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kultur dan Gram pada lesi fokal, misalnya tali pusat
Darah
Gambaran darah tepi
Pewarnaan Gram
LED, CRP dan haptoglobin (jika memungkinkan)
Tes deteksi antigen (jika memungkinkan)
Kultur
Urin
Rutin dan kultur
Cairan serebrospinal : Gram dan kultur
PENYULIT
Meningitis bakterialis
EKN
KID
Syok septik
TERAPI
Umum
Rawat dalam ruang isolasi/inkubator
Cuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi
Pemeriksa harus memakai pakaian ruangan yang telah disediakan
Pengaturan suhu dan posisi bayi
Khusus
Suportif : Menjaga stabilitas hemodinamik dan oksigenasi jaringan vital
O2 : Bila sianosis, distres pernafasan, apnea dan serangan kejang
Pemberian cairan dan elektrolit
Pada keadaan umum jelek nutrisi parenteral sesuai dengan umur dan BB bayi
Bila keadaan umum baik nutrisi enteral secara bertahap dan parenteral dikurangi
sampai kebutuhan rumatan terpenuhi
Atasi kejang (lihat terapi kejang pada neonatus)
Atasi hiperbilirubin (lihat terapi hiperbilirubinemia pada neonatus)
Atasi anemia dan syok
Antibiotik
Sebelum pemberian antibiotik, periksa kultur dan tes resistensi
Antibiotik spektrum luas untuk Gram (+) dan (-) selama belum ada hasil kultur.
Terapi awal (sebelum ada hasil kultur dan resistensi) :
Kombinasi ampisilin + aminoglikosida
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis, i.v.
Bayi < 7 hari diberikan 2 dosis
Bayi 7 hari diberikan 3-4 dosis
Aminoglikosida
< 2500 g : 1,5 mg/kgBB/ dosis, i.v. 2x/hari
2500 g : 2,5 mg/kgBB/ dosis, i.v. 2x/hari

Kombinasi sefotaksim + aminoglikosida (sepsis diduga karena Gram (-)


Sefotaksim
7 hari : 100 mg/kgBB/hari, i.v. dibagi 2 dosis

35

> 7 hari : 150 mg/kgBB/hari, i.v. dibagi 3 dosis


Untuk meningitis : 200mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
Bila klinis dan laboratorium tidak ada perbaikan setelah 48 jam antibiotik
diganti dengan antibiotik alternatif sesuai dengan gambaran klinis penderita
Imunoterapi
Imunoglobulin
Infus granulosit
Transfusi ganti
Asimtomatik (lihat bagan dibawah)
PROGNOSIS
Kematian akibat sepsis > pada BKB dibandingkan BCB

Faktor
risiko

Ibu
terkolonisasi oleh
GBS

Tidak ada
tambahan
faktor
risiko

Diagnosis
dan
pengobatan

Sepsis
screen
(leukosit)
Lateks
GBS urin
observasi
Protokol

KPSW
> 18-24

Suspek atau
terbukti
korioamnionitis

ditambah 1 faktor
risiko atau ibu
tidak mendapat
pengobatan

Screen
atau
lateks

Prematur
< 37 mgg

3 faktor risiko
atau ibu tidak
mendapat
pengobatan

Kultur darah
dan CSF
Sepsis screen
Lateks GBS
urin
Terapi
antibiotik

Screen
atau
lateks
+

APGAR
5 mnt
<6

1 atau 2
faktor
risiko

Sepsis
screen
(leukosit)
Lateks
GBS urin
Observasi
Protokol

36

Keterangan
Korioamnionitis : Demam, uterus lembut, cairan amnion purulen/berbau, takikardia fetus
Sepsis screen : Leukosit, rasio imatur neutrofil dan total neutrofil, CRP, haptoglobin, mikroLED
Lateks urin
: Deteksi antigen bakteri group beta streptococcus (GBS) dengan
menggunakan aglutinasi partikel latex particle aglutination test (LPA) jika
memungkinkan
DAFTAR PUSTAKA
Cole FS. Bacterial infection. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME, penyunting. Disease of
the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 350-9.
Gomella TL. Infectious diseases. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 339-42.
Gotoff SP. Neonatal sepsis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992;
501-4.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Fetal and neonatal infection. Neonatal intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 181-92.
Klein JO , Marcy SM. Bacterial sepsis and meningitis. Dalam : Remington, Klein, penyunting.
Infectious diseases of the fetus & newborn infant; edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co,
1995; 835-90.

37

PENYAKIT MEMBRAN HIALIN (PMH)


(HYALIN MEMBRAN DISEASE)

BATASAN
Disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau sindroma gawat pernafasan (SGP)
tipe 1. Merupakan gawat nafas pada BKB yang terjadi segera atau beberapa saat setelah
lahir, ditandai dengan adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung,
dispnea/takipnea, retraksi suprasternal, interkostal, epigastrik dan sianosis) yang menetap
atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. Pada pemeriksaan radiologik
ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang uniform dengan air bronchogram
ETIOLOGI
Defisiensi surfaktan
PATOFISIOLOGI
Prematuritas
Sintesis dan pelepasan surfaktan
Tegangan permukaan alveoli
Atelektasis
Hipoksemia, hiperkarbia
Asidosis (respiratorik dan metabolik)
Resistensi pulmonal dan vasokonstriksi
Kebocoran kapiler pulmonal
Membran Hialin (hambatan difusi )

Gambar 16. Patofisiologi Penyakit Membran Hialin


FAKTOR RISIKO
Prematuritas
Ibu DM
Lahir dengan seksio sesaria
Asfiksia perinatal
Genetik (riwayat PMH pada saudara kandung, jenis kelamin laki-laki)
KRITERIA DIAGNOSIS
BKB disertai kesukaran pernafasan : Takipnea (> 60 x/menit), retraksi kostal, sianosis
pada udara kamar yang menetap atau menjadi progresif setelah 48-96 jam pertama
kehidupan (skor Silverman > 7), hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki
halus inspiratoir
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan BB bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan
derajat pirau PDA-nya

38

Gambaran khas pada foto toraks : Retikulogranular uniform dengan air bronchogram
Laboratorium
Darah : Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda infeksi
Kultur streptokokus (-)
Analisis gas : Hipoksemia, asidemia yang berupa metabolik, respiratorik
atau kombinasi
Rasio lesitin-spingomielin < 2 : 1 (jika memungkinkan)
Aspirat lambung (jika memungkinkan) : Tes kocok/foam test (+)
Ketuban (jika memungkinkan) : Foam test (+)
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia
TTN
Sindroma aspirasi mekonium
Pneumotoraks
Perdarahan paru
Hernia diafragmatika
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah : Hb, Ht, glukosa, work up sepsis, elektrolit, Ca, faktor rhesus, tes Coomb dan
analisis gas
Rasio lesitin spingomielin
Aspirat lambung : Tes kocok
Ketuban : Tes kocok
Foto toraks
PENYULIT
Kebocoran udara
Infeksi
Perdarahan intra kranial
Retrolental fibroplasia
Displasia bronkopulmonal
TERAPI
Pertahankan suhu bayi + 36,50C
Pertahankan oksigenasi adekuat, PaO2 50-70 mmHg (jika memungkinkan) untuk
memenuhi kebutuhan normal fungsi jaringan dan mencegah asidosis (laktat), syok serta
pirau dari kanan ke kiri (PDA)
Untuk mempertahankan keadaan tsb. dapat dicapai melalui pemberian O2 dengan
menggunakan head box, CPAP atau pernafasan buatan, tergantung hasil analisis gas
Cairan dan elektrolit
Hari ke-1 : Glukosa 5-10%, 60-70 ml/kgBB/24jam
Hari ke-2 : Ditambah NaCl 3%, 2-3 mEq/kgBB, KCl 2 mEq/kgBB dan Ca 100-200
mg/kgBB/hr
Na bikarbonat dapat diberikan sesuai analisis gas
Pertahankan sirkulasi darah, jika Ht turun < 40% transfusi
Antibiotik (dihentikan jika bukan karena infeksi)
Atasi setiap penyulit
Pemantauan
Observasi tanda vital
Laboratorium
Analisis gas setiap hari bila memungkinkan sampai terapi O2 distop
Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
Ca, gula darah tiap hari (3 hari)

39

USG kepala (jika memungkinkan)


Jika sudah memungkinkan, O2 distop secara bertahap
PROGNOSIS
Sangat tergantung pada BB lahir dan umur gestasi (berbanding terbalik dengan
kemungkinan timbulnya penyulit)
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Disturbance of respiratory tract. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics; edisi ke14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
Gomella TL. Pulmonary diseases. Neonatology, management, procedures, on-call problems,
diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 421-4.
Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Respiratory problems. Neonatal intensive care; edisi ke-3.
Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 123-41.
Hansen T, Cobert A. Lung development and function. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery
ME, penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991; 18995.
Moise AA, Hansen TN. Acute acquired parenchymal lung disease. Contemporary diagnosis and
management of neonatal respiratory diseases. Pensylvania: Handbook in Health Care Co, 1995;
80-96.

ASFIKSIA

BATASAN
Keadaan hipoksia yang progresif, akumulasi CO2 dan asidosis
KLASIFIKASI
Tanpa asfiksia
: Nilai APGAR 8-10
Asfiksia ringan - sedang : Nilai APGAR 4-7
Asfiksia berat
: Nilai APGAR 0-3
PATOFISIOLOGI
Tahap awal asfiksia ditandai dengan periode pernafasan cepat, bunyi jantung dan tekanan
darah diikuti oleh apnea primer
Asfiksia redistribusi aliran darah ke jantung, otak, dan adrenal agar kebutuhan O2 dan
substrat terhadap organ vital tsb. terpenuhi. Mekanisme terjadinya redistribusi tsb. melalui
keadaan hipoksia dan CO2, aktivitas simpatis dan kemoreseptor bersama-sama dengan
pelepasan vasopresin arginin
Hipoksia juga akan merangsang kemoreseptor melalui regulasi n. vagus bradikardia. Jika
hipoksia berlanjut pH dan asidosis metabolik
Jika asfiksia sangat berat gagal autoregulasi aliran darah ke otak dan jantung tekanan
darah dan curah jantung . Selama asfiksia berat aliran darah ke otak lebih banyak ke
batang otak daripada ke serebrum, terutama korteks. Akibat pengiriman O2 yang berkurang
ke otak focus injury di kolateral korteks (parasagital watershed area). Akibat redistribusi
darah ke otak dan jantung, ginjal akan mengalami ischemic injury pada tubulus ginjal
proksimal. Jika proses berlanjut nekrosis epitel tubulus
ETIOLOGI
Asfiksia antepartum atau intrapartum disebabkan oleh insufisiensi plasenta, sedangkan
asfiksia postpartum biasanya merupakan akibat sekunder dari insufisiensi paru, jantung dan
pembuluh darah, serta neurologik

40

FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor ante partum
Umur > 35 th
Ibu DM
Hipertensi pada kehamilan
Hipertensi kronik
Anemia atau iso imunisasi
Kematian janin/neonatus
sebelum kehamilan ini
Perdarahan semester ke-2/ke-3
Infeksi pada ibu
Oligohidramnion
KPSW
Faktor intra partum
Seksio sesaria darurat
Sungsang atau kelainan letak
Persalinan kurang bulan
Ketuban pecah dini > 24 jam
Persalinan presipitatus
Persalinan lama
Fase ke-2 persalinan > 2 jam

Kehamilan lebih bulan


Kehamilan ganda
Dismaturitas
Pengobatan pada ibu
Magnesium
Adrenergic blocking drug
Kecanduan obat pada ibu
Hidramnion
Cacat bawaan janin
Janin kurang aktif
Prenatal care/PNC (-)

Denyut jantung janin kurang


baik
Pemakaian anestesia umum
Kejang otot uterus
Obat narkotika pada ibu 4 jam
sebelum persalinan
Cairan
amnion
bercampur
mekonium
Prolaps tali pusat
Abrupsio plasenta
Plasenta previa

KRITERIA DIAGNOSIS
Sesuai dengan batasan dan klasifikasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Darah : Analisis gas, elektrolit, glukosa (dekstrostiks)
Radiologi
: Foto toraks, USG, CT scan kepala
PENYULIT
Hipoksia, edema dan nekrosis serebral
Perdarahan intra ventrikular
Shock lung dan/atau sindroma distres
pernafasan, perdarahan paru
KID
Perforasi usus
EKN
Perdarahan adrenal

Bangkitan
Gagal ginjal
Gagal jantung
Hipertensi pulmonal
Gangguan metabolik
Hipoglikemia
Hiperglikemia
Hipokalsemia
Hiponatremia
Asidosis metabolik

TERAPI
Resusitasi yang efektif akan dapat merangsang pernafasan awal dan mencegah asfiksia
progresif. Tujuan tindakan resusitasi adalah memberikan ventilasi adekuat, O2 dan curah
jantung yang cukup untuk menyalurkan O2 ke otak, jantung dan alat vital lainnya. Skor
APGAR tidak dipakai untuk menentukan kapan kita memulai resusitasi. Intervensi tidak
menunggu hasil penilaian APGAR satu menit. Walaupun demikian, skor APGAR dapat
membantu dalam upaya penilaian keadaan bayi lebih lanjut, rangkaian upaya resusitasi dan
efektivitas upaya resusitasi. Skor APGAR dinilai pada 1 dan 5 menit. Bila skor APGAR < 7,

41

penilaian skor tambahan masih diperlukan tiap 5 menit - 20 menit atau sampai dua kali
penilaian menunjukkan skor 8 atau lebih. Penyesuaian tahap dan intensitas upaya resusitasi
harus terus dilakukan berdasar perubahan nilai APGAR.
Langkah-langkah resusitasi (lihat gambar 17)
Langkah pertama : Penatalaksanan bayi baru lahir adalah mencegah terjadinya
kehilangan panas
Letakkan bayi dibawah radiant warmer
Keringkan tubuh dan kepala bayi dengan cepat
Sisihkan kain yang basah dan ganti dengan kain atau handuk lembut yang lain
Langkah kedua : Ventilasi (membuka jalan nafas)
Letakkan bayi terlentang pada alas datar
Posisi dalam keadaan slightly extended, yang dapat dilakukan dengan cara meletakkan
handuk dibawah bahu setinggi atau 1 inchi
Jika cairan ketuban tidak tercemar mekonium, isap mulut dan hidung dengan
menggunakan ekstraktor mukus, bulb syringe atau suction mekanik dengan tekanan
tidak lebih dari 100 mmHg. Pada saat memasukkan alat pengisap, harus diperhatikan
kedalamannya dalam mulut dan hidung, oleh karena stimulasi pada dinding faring
posterior akan merangsang refleks vagal yang dapat menyebabkan terjadinya
bradikardia atau apnea
Prosedur langkah pertama dan kedua harus selesai maksimal 20 detik
Jika cairan ketuban tercemar mekonium, isap mulut, faring dan hidung pada saat kepala
lahir
Jika cairan mekonium kental atau bayi depresi, segera bayi diletakkan dibawah radiant
warmer, isap mekonium dari hipofaring dan daerah trakea dengan menggunakan
endotracheal tube (ETT)
Jika cairan mekonium encer dan bayi aktif, penghisapan dari mulut dan hidung saja dan
kemudian bayi diobservasi. Pada saat penghisapan, untuk menjaga agar tidak terjadi
hipoksia, diberikan O2 melalui hidung
Langkah ketiga : Menilai pernafasan
Jika pernafasan terjadi secara spontan adekuat, penilaian dilanjutkan dengan
menghitung denyut jantung. Perhitungan denyut jantung mutlak dilakukan, walaupun bayi
dapat bernafas spontan. Perhitungan denyut jantung dapat dilakukan dengan
menggunakan stetoskop atau palpasi nadi pada umbilikus atau arteri brakialis dan
perhitungannya dilakukan selama 6 detik
Jika frekuensi denyut jantung > 100 x/menit, dilanjutkan dengan penilaian warna kulit, jika
kulit biru segera berikan O2 dan jika merah atau sianosis perifer, tidak perlu diberikan O2
cukup dengan observasi saja
Jika frekuensi denyut jantung < 100 x/menit, diberikan ventilasi tekanan positif (positive
pressure ventilation/PPV).
Jika bayi apnea atau pernafasan megap-megap, dapat dicoba dengan memberikan
stimulasi taktil pada telapak kaki atau tubuh belakang. Jika tidak memberikan respons,
segera dilakukan PPV dengan O2 100% melalui ambu bag & masker atau ambu bag &
ETT. Kecepatan PPV 40-60x/menit selama 15-30 detik. Masker yang dipilih adalah
masker yang menutup jembatan hidung sampai dagu tanpa menutup mata
Jika bayi depresi berat langsung dilakukan PPV
Setelah dilakukan PPV selama 30 detik, kemudian dinilai frekuensi denyut jantung
Jika frekuensi denyut jantung > 100x/menit dan bayi nafas spontan, PPV dihentikan, O2
diberikan secara free flow dan pemberian O2 dihentikan sampai kulit bayi berwarna
merah secara menetap
Jika frekuensi denyut jantung 60-100 x/menit dan kemudian cenderung meningkat,
pemberian PPV dilanjutkan, sedangkan jika tidak meningkat, tindakan PPV disertai
dengan kompresi jantung. Demikian pula jika frekuensi denyut jantung < 60 x/menit
(langkah keempat)
Langkah keempat : Kompresi jantung

42

Kompresi jantung harus selalu disertai ventilasi. Rasio kompresi jantung dan ventilasi
adalah 3:1, yaitu kompresi jantung selama 1 detik dan ventilasi detik
Kompresi jantung dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
Ibu jari
Dua jari
Pada tehnik dengan menggunakan ibu jari, ke-2 ibu jari menekan sternum dengan
kedalaman - inchi dan tangan yang lain mengelilingi tubuh bayi, umumnya cara ini
lebih sering digunakan
Tehnik kedua yaitu dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk kemudian menekan
sternum dan tangan yang lain menahan belakang tubuh bayi
Penilaian denyut jantung dilakukan setiap 30 detik setelah kompresi
Jika denyut jantung > 80 x/menit, kompresi jantung dihentikan dan ventilasi dilanjutkan
sampai denyut jantung > 100 x/menit dan bayi dapat nafas spontan
Jika denyut jantung nol atau tetap < 80 x/menit, kompresi jantung dan ventilasi
dilanjutkan. Resusitasi bayi baru lahir selanjutnya ke langkah kelima
Langkah kelima : Pemberian obat dan cairan
Obat yang pertama kali diberikan adalah epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,20,3
ml/kgBB i.v. atau ETT. Pemberian epinefrin akan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan perfusi darah ke jantung dan otak. Denyut jantung kemudian dinilai, jika >
100 x/menit, pemberian obat dihentikan. Jika denyut jantung tetap < 80 x/menit,
pemberian epinefrin dapat diulang setiap 3-5 menit.
Pada bayi yang mengalami henti nafas yang lama, tidak memberikan respons terhadap
pengobatan diatas dan jika tidak terdapat tanda hipovolemia, diberikan Na bikarbonat
dengan dosis 2 mEq/kgBB i.v., selama 2 menit
Jika terdapat tanda hipovolemia seperti adanya pucat, nadi lemah, respons terhadap
resusitasi buruk dan penurunan tekanan darah, diberikan volume expander (whole blood,
albumin salin, NaCl fisiologis, Ringer laktat) dengan dosis 10 ml/kgBB i.v., diberikan
selama 5-10 menit
Jika dengan pemberian epinefrin, volume expander, ventilasi dan kompresi jantung tidak
memberikan respons, frekuensi denyut jantung tetap < 100 x/menit dan hipotensi yang
menetap, maka bayi diberikan dopamin
Obat dan cairan yang digunakan pada bayi baru lahir lihat tabel
Pasca resusitasi asfiksia berat :
Restriksi cairan : 60 ml/kgBB/hari

PROGNOSIS
Sering sulit diperkirakan. Bayi dengan APGAR 5 menit < 5 33% menderita HIE. BCB
dengan APGAR 0-3 pada pemeriksaan 10, 15 dan 20 menit setelah lahir angka
kematiannya 18%, 48% dan 59%. Prognosis buruk apabila terjadi gagal nafas spontan
dalam 1 jam setelah lahir, kejang menetap, gangguan metabolik berat dan adanya
gambaran radiologik abnormal (perdarahan serebral, infark serebral, atropi serebral)

43

Letakkan dibawah radian heater


Keringkan tubuh bayi
Sisihkan kain yang basah
Tempatkan bayi pada posisi yang benar
Penghisapan dari mulut lalu hidung
Stimulasi taktil (bila perlu)

Nilai
pernafasan

tidak ada
atau
megap-megap

Nilai bunyi jantung

< 60

60 - 100
Bunyi
jantung
tak
meningkat

Bantuan
nafas
kompresi
jantung

bantuan
nafas
kompresi
jantung
bila BJ
< 80

Bunyi
jantung
meningkat

bantuan
nafas

PPV-O2
100%
selama
15-30 detik

spontan

< 100
Nilai bunyi jantung

> 100

Amati
nafas
spontan,
hentikan
bantuan
nafas

Nilai warna kulit

44
Obat-obatan bila bunyi jantung
< 80 setelah 30 detik PPV dan
kompresi jantung

merah
atau
sianosis

biru

Mekonium di dalam
air ketuban

Penghisapan intra partum dari


mulut, faring dan hidung

Kental

Encer

Bayi aktif

Bayi depresi
Penghisapan
trakea

Observasi

Resusitasi PRN

Gambar 18.

Resusitasi PRN

Bagan Penghisapan Bayi dengan Mekonium dalam Air


Ketuban

45

Bunyi jantung = 0
atau
Bunyi jantung < 80 setelah 30 detik PPV
dan kompresi dada

Dapat diulang
setiap 3-5 detik

Beri epinefrin

Nilai bunyi jantung

> 100

Hentikan obat

< 100

Henti nafas lama


yang tidak
berrespons terhadap
pengobatan lain

Terjadi/diduga terdapat
kehilangan darah
dengan tanda-tanda
hipovolemia

Beri bikarbonas
natrikus

Beri volume expander

Dapat diulang
bila tanda
hipovolemia
menetap

Terjadi depresi
yang lama

Pertimbangkan penyebab lain


pneumotoraks
hernia diaphragmatika
hipertensi pulmonal persisten
Pemberian dopamin
Konsultasi

Gambar 19.

Bagan Ikhtisar Penggunaan Obat selama Resusitasi


Neonatus

46

FARINGITIS AKUT

BATASAN
Peradangan akut pada saluran nafas bagian atas yang meliputi faring dan tonsil
ETIOLOGI
Virus
Streptococcus hemolyticus group A
KRITERIA DIAGNOSIS
Demam
Lesu
Anoreksia
Nyeri menelan
Batuk
Pilek
Tonsil dan faring hiperemis, kadang-kadang disertai eksudat
Petekia pada palatum mole
Pembesaran kelenjar getah bening colli anterior, nyeri pada penekanan
TERAPI
Istirahat
Analgetik
Antibiotik (pada infeksi bakteri)

OTITIS MEDIA AKUT

BATASAN
Peradangan akut saluran telinga bagian tengah
ETIOLOGI
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Streptococcus hemolitycus group A
Staphylococcus aureus
Branhamella catarrhalis
PATOFISIOLOGI
Sering merupakan penyebaran dari infeksi akut pada saluran nafas atas
KRITERIA DIAGNOSIS
Demam tinggi
Nyeri telinga
Pendengaran berkurang
Membran timpani hiperemis dan menonjol
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kultur sekret telinga
TERAPI
Istirahat

Analgetik
Antibiotik
Miringektomi

PROGNOSIS
Dengan pengobatan yang adekuat baik

SINDROMA CROUP (LARINGITIS)

BATASAN
Penyakit yang ditandai dengan gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan
sampai berat berupa stridor, batuk menggonggong, suara parau sampai gejala distres
pernafasan
Yang termasuk sindroma croup
Spasmodic croup
Laringitis virus (laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, croup)
istilah yang sering dipakai yaitu laringotrakeobronkitis
Epiglotitis (supraglotitis)
Trakeitis bakteri (pseudomembranous croup)

SPASMODIC CROUP
BATASAN
Penyakit yang ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari, menunjukkan
stridor, batuk menggonggong dan atau suara parau akibat adanya edema subglotis
ETIOLOGI
Belum jelas, berhubungan dengan infeksi virus yang berupa reaksi hipersensitivitas
terhadap infeksi terdahulu (misalnya terhadap parainfluenzae virus). Mungkin juga ini
berhubungan dengan alergi
KRITERIA DIAGNOSIS
Biasanya terjadi pada anak umur 1-3 th
Gejala muncul tiba-tiba, biasanya anak terbangun dari tidurnya pada malam hari
Biasanya tidak ada panas badan
Gejala obstruksi saluran nafas berupa stridor, batuk menggonggong dan suara parau
dapat bersifat ringan atau sedang, jarang menjadi berat atau progresif. Keadaan ini dapat
sembuh spontan atau cenderung timbul berulang
Laringoskopi : Mukosa laring tampak pucat
DIAGNOSIS BANDING
Laringotrakeobronkitis
Epiglotitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto leher posisi AP dan Lateral (soft tissue technique)
PENYULIT
Apabila penyumbatan saluran nafas berat gangguan pasase udara
KONSULTASI

Bila tidak menunjukkan respons dengan epinefrin rasemat (racemic epinephrine),


penguapan adrenalin dan atau steroid sistemik, diperlukan konsultasi ke Bagian THT
TERAPI
Pra-pengobatan : Teliti berat-ringannya penyakit
Tindakan dan obat-obatan
O2 lembab
Epinefrin rasemat dengan nebulizer (bila tidak ada, berikan
penguapan adrenalin).
Dosis adrenalin dengan nebulizer : 4 mg (4 ml dalam larutan 1:1000)
Kortikosteroid
Deksametason 0,15-0,6 mg/kgBB i.m. atau p.o., dosis tunggal atau prednisolon, atau
Budesonid dengan nebulizer : 2 mg dalam 4 ml
Jarang rawat inap ; diberikan penerangan kepada orang tua bahwa penyakit dapat
berulang
PROGNOSIS
Baik. Penyakit ini biasanya sembuh spontan, jarang menjadi berat dan kadang-kadang
cenderung berulang. Rekurensi jarang terjadi pada anak umur > 5 th
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
LARINGOTRAKEOBRONKITIS

BATASAN
Penyakit infeksi saluran nafas akut disebabkan oleh virus dengan gejala/tanda stridor, suara
parau, batuk menggonggong disertai demam akibat peradangan hanya pada laring saja
(laringitis), laring dan trakea (laringotrakeitis), atau laring, trakea, bronki dan bronkioli
(laringotrakeobronkitis)
ETIOLOGI
Para-influenzae virus tipe 1 (penyebab terbanyak)
Virus lainnya yaitu influenzae virus A dan B, adenovirus, parainfluenzae tipe 2 dan 3 serta
respiratory syncytial virus
KRITERIA DIAGNOSIS
Biasanya terjadi pada anak 0-5 th (tersering 1-2 th)
Mulai timbulnya gejala penyakit bertahap, biasanya didahului batuk, pilek dan panas
badan dan setelah 3-4 hari kemudian timbul batuk menggonggong, stridor inspirasi;
sesak dapat bertambah tetapi tidak begitu progresif
Pemeriksaan fisis bervariasi tergantung derajat tanda/gejala distres pernafasan yaitu
dispnea, pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal dan interkostal sampai timbul
megap-megap (air hunger), perubahan tingkat kesadaran dan sianosis
Radiologi : Foto leher posisi AP tampak bagian atas trakea di daerah subglotis runcing
seperti menara (steeple sign), sedangkan pada posisi lateral tampak penyempitan
subglotis
Laringoskopi : Tampak mukosa laring berwarna merah dengan pembengkakan subglotis
DIAGNOSIS BANDING
Spasmodic croup
Epiglotitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto leher AP dan lateral
Laringoskopi

Pulse oxymetri (bila alat tersedia)


PENYULIT
Gagal nafas
KONSULTASI
Bagian THT

TERAPI
Pra-pengobatan : Tentukan berat ringannya penyakit
Tindakan dan obat-obatan
O2 lembab bila sesak nafas
Kasus berat atau toksik diberikan IVFD (perhatikan ada/tidaknya dehidrasi untuk
menentukan jumlah cairan. Bila tidak ada dehidrasi, diberikan 80-90% cairan rumat)
Epinefrin rasemat dengan nebulizer (bila tidak ada, berikan penguapan adrenalin)
Boleh diberikan deksametason 0,6 mg/kgBB i.m. dosis tunggal atau metilprednisolon
Trakeostomi : Bila obstruksi saluran nafas berat/tidak responsif dengan terapi
konvensional
PROGNOSIS
Tergantung berat ringannya gejala
Biasanya prognosis baik dan tidak menimbulkan sekuele
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

EPIGLOTITIS

BATASAN
Keadaan yang mengancam jiwa anak akibat obstruksi saluran nafas yang disebabkan
peradangan akut disertai edema pada daerah supraglotis laring yang meliputi epiglotis
beserta plika ariepiglotika dan hipofaring; disebut juga supraglotitis
ETIOLOGI
Haemophilus influenzae type b (paling sering)
Streptococcus beta haemolyticus
Stafilokokus (jarang)
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala klinis timbul tiba-tiba dengan panas badan tinggi, sakit tenggorokan dan nyeri
menelan, batuk, dan dalam beberapa jam cepat menjadi progresif sehingga timbul stridor
inspirasi, disfagia, megap-megap, pucat, gelisah, sianosis dan tampak toksik
Pada anak yang besar biasanya berada dalam posisi duduk membungkuk ke depan,
mulut terbuka, lidah menjulur dan air liur menetes
Biasanya tidak didahului infeksi saluran nafas atas
Pemeriksaan fisis menunjukkan tanda distres pernafasan
Laboratorium : Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
Paling sering terjadi pada anak 2-6 th

Radiologi : Foto leher menunjukkan pembesaran dan pembengkakan epiglotis serta


pelebaran hipofaring. Gambaran radiologik yang khas yaitu thumb print like pada
epiglotis yang membengkak
Laringoskopi : Epiglotis tampak merah dan edema pada plika ariepiglotika

DIAGNOSIS BANDING
Laringotrakeobronkitis oleh virus
Supraglotitis oleh penyebab Streptococcus group A
Trakeitis bakteri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laringoskopi
Foto leher AP, lateral (soft tissue technique) serta foto toraks AP dalam posisi tegak
Darah : Rutin, kultur (darah diambil sebelum diberikan antibiotik), analisis gas (bila
memungkinkan)
Tindakan ini dilakukan di ruang perawatan intensif (berbahaya karena dapat menyebabkan
laringospasme)
PENYULIT
Edema paru
Atelektasis fokal
Pneumonitis
HIE
Gagal nafas
Pneumotoraks dan emfisema mediastinum akibat trakeostomi
KONSULTASI
Bagian THT
TERAPI
Trakeostomi
Perawatan di ruang intensif
Diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi
O2 lembab
Antibiotik diberikan 10 hari (7 hari secara i.v., selanjutnya p.o.)
Kloramfenikol 75-100 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis atau sefotaksim 100-200
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau sefuroksim 75-150 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Catatan : Epinefrin rasemat tidak ada gunanya
Kortikosteroid masih kontroversil (tidak diberikan)

PROGNOSIS
Tergantung penilaian dan cepatnya tindakan gawat darurat
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

TRAKEITIS BAKTERI

BATASAN
Keadaan yang juga dapat mengancam jiwa seperti halnya epiglotitis akibat infeksi bakteri
akut pada saluran pernafasan bagian atas yang tidak melibatkan epiglotis sehingga
menimbulkan obstruksi saluran pernafasan yang berat dan dapat berakhir dengan kematian.

Biasanya epiglotitis dapat juga ditemukan pada trakeitis bakteri. Sering juga
sebagai pseudomembranous laryngitis

disebut

ETIOLOGI
Staphylococcus aureus (terbanyak)
S. pneumoniae
KRITERIA DIAGNOSIS
Stridor inspirasi, batuk menggonggong, dan panas tinggi diawali dengan infeksi saluran
nafas atas ringan atau laringotrakeobronkitis 1 jam-6 hari sebelumnya
Panas tinggi dan tampak toksis, memberi petunjuk kemungkinan adanya infeksi bakteri,
bahkan cenderung seperti epiglotitis
Banyak sekret kental di trakea pada waktu aspirasi sekret
Biasanya menyerang anak < 3 th
Laboratorium : Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
Radiologi : Penyempitan daerah subglotis
Laringoskopi : Tampak banyak sekret kental di trakea
DIAGNOSIS BANDING
Epiglotitis
Laringotrakeobronkitis
Difteria
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin
Laringoskopi
Foto leher posisi AP dan Lateral serta toraks AP
Kultur dan tes sensitivitas sekret trakea
PENYULIT
Gagal nafas
KONSULTASI
Bagian THT
TERAPI
Trakeostomi atas indikasi
Perawatan di ruang intensif
O2 lembab
Membersihkan trakea (tracheal toilet) berulang-ulang dengan pengisapan sekret
Antibiotik
Kombinasi nafsilin (100 mg/kgBB/hari) dan kloramfenikol (75 mg/kgBB/hari), atau
Kloksasilin 100 mg/kgBB/hari
Sefalosporin generasi ketiga
PROGNOSIS
Tergantung cepatnya penilaian dan tindakan gawat darurat
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Adis International. Croup. The role of corticosteroids. JPG 1997; 23: 29-31.
Cruz MN, Stewart G, Rosenberg N. Use of dexamethasone in the outpatient management of
acute laryngotracheitis. Pediatrics 1995; 96:220-3.
Custer JR. Croup and related disorders. Pediatr Rev 1993; 14:19-29.

Grad R, Taussig LM. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Chernick V
dan Kendig EL, penyunting. Kendigs disorders of the respiratory tract in children ; edisi ke-5.
Philadelphia: WB Saunders, 1990; 336-49.
Levine SD, Springer MA. Croup and epiglottitis. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders, 1993; 238-40.
Mobley SL, Mansmann HC. The croup syndrome. Dalam: Gellis SS, Kagan BM, penyunting.
Current pediatric therapy; edisi ke-12. Philadelphia: WB Saunders, 1986; 111-3.

BRONKITIS

BATASAN
Sulit untuk diberikan batasan yang tegas karena peradangan tidak hanya terbatas pada
bronkus, tetapi meliputi saluran nafas lainnya; seringkali sulit membedakan antara bronkitis
dan asma karena mempunyai gejala terutama batuk-batuk dan pada keduanya terdapat
peradangan pada saluran nafas. Merupakan bagian utama dari penyakit asma dan fibrosis
kistik
KLASIFIKASI
Bronkitis akut
Bronkitis kronik
Catatan : Sulit untuk memberikan batasan tegas karena sulit menentukan saat penyakit
bronkitis akut berakhir atau awal dari bronkitis kronik

BRONKITIS AKUT
BATASAN
Proses peradangan sementara pada trakea dan bronkus yang menimbulkan batuk-batuk
dan biasanya tanpa pengobatan akan sembuh dalam waktu 2 minggu
ETIOLOGI
Virus : Rhinovirus merupakan penyebab tersering, selain itu para-influenza, influenza,
Respiratory syncytial virus (RSV) dan adenovirus
Bakteri : Biasanya sebagai infeksi sekunder dari infeksi virus : S. pneumoniae, S.aureus, H.
influenzae, M. pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, B. pertussis, M. tuberculosis,
C. diphtheriae
Aspirasi makanan
Inhalasi/keterpajanan asap
KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan gejala klinis

Batuk : Mula-mula kering, non produktif, beberapa hari kemudian batuk produktif
mengeluarkan mukus/dahak yang purulen, bisa disertai muntah berisi mukus; gejala
batuk ini hilang setelah 10-14 hari
Gejala lain yang merupakan gejala penyakit sistemik, bila bronkitis merupakan penyulit
penyakit sistemik tersebut
Biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, kadang-kadang ditemukan
ronki kering, ronki basah kasar atau suara lendir, suara mengi (wheezing)
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan etiologi
Keterpajanan/inhalasi asap dan sumber polusi udara dalam rumah (asap rokok, asap
dari tungku pembakaran, debu dll)
Iritasi bahan kimiawi misalnya aspirasi makanan
Asma bronkial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks AP dan Lateral
PENYULIT
Pneumonia
Atelektasis
TERAPI
Hindarkan asap rokok, asap lainnya serta sumber polusi udara lainnya
Istirahat cukup
Posisi bayi diubah-ubah
Teofilin (sering bermanfaat karena anak biasanya menderita asma)
Catatan
Hindarkan penggunaan obat batuk yang menekan pusat/refleks batuk
Antibiotik diberikan hanya pada kasus yang dicurigai secara klinis atau terbukti
terdapat infeksi bakteri dari preparat Gram atau kultur sputum (bila ada sputum pada
anak besar)
PROGNOSIS
Baik

BRONKITIS KRONIK
BATASAN
Merupakan istilah yang tidak tepat; istilah yang sering digunakan untuk penyakit yang
menunjukkan gejala batuk-batuk produktif yang berlangsung selama 3 bl atau lebih dalam
setahun (seperti batasan untuk orang dewasa). Batasan lain yang dikemukakan yaitu
apabila gejala bronkitis akut menetap dan berlangsung > 2-3 minggu
ETIOLOGI
Sama dengan bronkitis akut
PATOFISIOLOGI
Gabungan faktor hospes (host factor) dan faktor ekstrinsik berperan dalam peradangan
kronik dan kerusakan saluran nafas. Pajanan saluran nafas yang berlangsung terus
menerus setelah terjadi kerusakan saluran nafas sebelumnya akibat infeksi akut
menyebabkan timbulnya peradangan kronik
KRITERIA DIAGNOSIS

Riwayat penyakit : Batuk yang menetap > 2-3 minggu, bagaimana hubungan dengan
makan/minum, adanya episode sebelumnya, sumber kontak, sumber pencetus dari
lingkungan dan riwayat keluarga
Pemeriksaan fisis : Pertumbuhan dan perkembangan, ronki kering, suara mengi,
clubbing jari, pembengkakan sinus
DIAGNOSIS BANDING
Asma bronkial
Tuberkulosis
Benda asing
Aspirasi (akibat kelainan anatomi kongenital, misalnya fistula trakeoesofagus, celah
palatum, paralisis pita suara dan disfungsi menelan lainnya dengan/tanpa refluks
gastroesofagus)
Kerusakan akibat inhalasi (asap rokok dan asap lainnya)
Fibrosis kistik
Immotile cilia syndrome
Defisiensi imun (IgA, IgG atau kombinasi keduanya)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
Darah
Tes tuberkulin
Pewarnaan Gram/kultur dari sputum
Tes fungsi paru, sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
Foto daerah sinus
Barium swallow (bila memungkinkan)
Sweat choride test
Imunoglobulin (IgE dan IgG) (bila memungkinkan)
Bronkoskopi
PENYULIT
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan fungsi paru
Untuk jangka panjang penyakit paru kronik di umur dewasa
TERAPI
Sama dengan bronkitis akut
PROGNOSIS
Tergantung penyakit yang melatar belakanginya (underlying disease)
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Black P. Evaluation of chronic or recurrent cough. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders 1993; 143 -52.
Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendigs disorders of the
respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990; 349-59.

BRONKIOLITIS
BATASAN

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut


peradangan bronkioli

bagian bawah dengan gejala utama akibat

KLASIFIKASI
Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum, dibagi menjadi
Bronkiolitis ringan
Bronkiolitis berat (R 60x/menit)
ETIOLOGI
Respiratory syncytial virus (RSV) (tersering)
Parainfluenzae virus
KRITERIA DIAGNOSIS
Biasanya terjadi pada umur 2 bl-2 th (terutama 2-6 bl)
Selama 2-4 hari terjadi batuk pilek, hidung tersumbat, panas badan yang diikuti sesak
nafas dan mengi. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah muntah, gelisah, tidak mau
makan/minum
Pemeriksaan fisis dapat ditemukan merintih (grunting), sianosis, suhu tubuh normal,
subfebris atau tinggi, frekuensi pernafasan meningkat, pernafasan cuping hidung,
retraksi subkostal, interkostal dan suprasternal, hiperresonans pada perkusi, suara
pernafasan mungkin normal, ekspirasi memanjang, mengi dan ronki. Hepar dan lien
dapat teraba akibat hiperinflasi toraks
Foto toraks normal atau tampak hiperinflasi dengan depresi/ pendataran diafragma,
atelektasis atau konsolidasi. Yang khas terlihat depresi diafragma dan hiperinflasi
Pulse oximetry : Saturasi O2
Laboratorium : - Analisis gas : Hipoksemia, pada bronkiolitis berat bisa didapatkan
hiperkapnia dan asidosis
- Antigen RSV (+) dari sekret hidung dengan pemeriksaan enzyme
linked immunosorbent assay (EIA) atau immunofluorescence
- Virus dapat diisolasi pada biakan sel
DIAGNOSIS BANDING
Asma serangan pertama
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks PA
Pulse oximetry (bila alat ada)
Analisis gas (bila memungkinkan)
Antigen RSV dari sekret hidung dengan EIA atau immunofluorescence (bila alat dan sarana
ada atau memungkinkan)
Isolasi virus pada biakan sel (bila memungkinkan)
PENYULIT
Menetapnya gangguan fungsi paru timbulnya serangan mengi berulang dan
hiperreaktivitas bronkial
TERAPI
Pada dasarnya suportif
Bronkiolitis ringan rawat jalan
Nasehat untuk orangtua : Teruskan pemberian makanan, tingkatkan pemberian cairan.
Bila memberat rawat
Bronkiolitis berat rawat
Bila p.o. tidak memungkinkan atau ada risiko aspirasi i.v.
O2 lembab selama sesak
Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri

10

Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari, i.v. dibagi 4 dosis


Bila ada konjungtivitis dan bayi berumur 1-4 bl, kemungkinan infeksi sekunder oleh
Chlamydia trachomatis
Pneumonitis interstitialis eritromisin 40
mg/kgBB/hari p.o. dibagi 4 dosis
Bronkodilator : -2 agonis boleh dicoba, bila mengurangi sesak dapat diteruskan
Kortikosteroid masih kontroversi (diberikan bersama dengan 2-agonis)
PROGNOSIS
Tergantung pada berat-ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan
latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas)

adanya penyakit

SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Black-payne C. Bronchiolitis. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory disease:
diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders Co, 1993; 205- 18.
La Via WV, Marks MI, Stutman HR. Respiratory syncytial virus puzzle: Clinical features,
pathophysiology, treatment, and prevention. J Pediatr 1992; 121:503-10.
Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam : Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendigs disorders of the
respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990; 360-70.

PNEUMONIA

BATASAN
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut dengan tanda/gejala utama akibat radang pada
parenkim paru
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan berat ringannya penyakit
Sesuai dengan beratnya sesak nafas dan keadaan umum
Pneumonia ringan
: Batuk dan sedikit sesak/takipnea tapi masih aktif bermain,
mampu makan minum dan tidur seperti biasanya
Pneumonia sedang-berat : Sesak dengan retraksi otot pernafasan, lemah dan tidak
mampu makan minum
sesuai kebiasaannya, serta
gelisah
Pneumonia sangat berat : Sesak hebat, penurunan kesadaran dan sianosis
2. Berdasarkan etiologi
Virus
Bakteri
Aerob
: Golongan stafilokokus, streptokokus, hemofilus, batang gram-negatif,
pneumokokus, dll
Anaerob : Peptostreptococcus, fusobacterium, dll
Mikoplasma : M. pneumoniae
Jamur
Klamidia
3. Berdasarkan lokalisasi kerusakan anatomis/perbedaan diagnostik fisis
Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Pneumonia lobaris/segmental
Pneumonia interstitialis
ETIOLOGI

11

Karena kesulitan mendapat bahan pemeriksaan, etiologi pneumonia sulit dipastikan


Organisme penyebab tersering
Bayi 0-2 bl
: Streptococcus group B, Enterokokus Gram-negatif, klamidia
Umur 2-60 bl
: Pneumokokus dan H. influenzae
Anak sekolah/remaja : Pneumokokus dan M. pneumoniae
Penderita imunodefisiensi
Kokus/batang Gram (-)
Sedang mendapat steroid
(Pseudomonas sp, Klebsiella
Antibiotik lama
pneumoniae , E. coli ) dan
Nutrisi parenteral
Candida albicans
Sedang dipasang ventilator
Tabel 33. Etiologi Pneumonia Dilihat dari Penyakit Penyerta
Gejala/penyakit penyerta
Abses kulit atau
ekstrapulmoner
Petekia pada kulit
Petekia pada palatum
Lesi purpura pada perianal
Otitis media
Fibrosis kistik

Kemungkinan etiologi
Staphylococcus aureus
Neiserria meningitidis
Streptococcus group A
Pseudomonas sp
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus
influenzae Pseudomonas sp
Haemophilus influenzae

DASAR DIAGNOSIS
Tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis organisme penyebab. Pada bayi/anak
kecil (balita) pemeriksaan auskultasi sering tidak jelas, maka nafas cepat dan
retraksi/tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dipakai sebagai parameter
Kriteria nafas cepat
Umur < 2 bl
: 60x/menit
2 bl-< 12 bl
: 50x/menit
12 bl-5 th
: 40x/menit
Klasifikasi
< 2 bl Pneumonia berat
Bukan Pneumonia
2 bl-5 th Pneumonia berat
Pneumonia
Bukan Pneumonia

Nafas cepat
+
+
+
-

Retraksi
+
+
-

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut


1. Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2. Panas badan
3. Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara pernafasan bronkial
(pada daerah yang dengan perkusi bernada pekak) pada pneumonia lobaris
4. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak (bronko) difus merata
(lober) pada satu atau beberapa lobus
5. Leukositosis
Dapat ditemukan gejala/penyakit penyerta
Pada bayi yang tidak panas dengan takipnea, batuk disertai riwayat rinitis dan
konjungtivitis harus dipikirkan adanya pneumonitis klamidia
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan etiologi
Atelektasis

12

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks posisi PA dan Lateral
Kultur darah dan tes sensitivitas (darah diambil sebelum pemberian
antibiotik)
Analisis gas (bila diperlukan)
Elektrolit serum (bila diperlukan)
PENYULIT
Empiema
Abses paru
Pneumotoraks
Efusi perikardial
KONSULTASI
Unit Rehabilitasi Medis
TERAPI
Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu :
Berat ringannya penyakit
Riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap pengobatan tersebut
Adanya penyakit yang mendasarinya
Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :
Umur 1-2 bl
: Ampisilin + aminoglikosida (gentamisin), kalau respons baik
dilanjutkan 10-14 hari
Umur > 2 bl
: Penisilin/ampisilin + kloramfenikol, kalau respons baik dilanjutkan
sampai dengan 3 hari klinis sembuh (biasanya cukup 5-7 hari)
Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari ampisilin +
aminoglosida (gentamisin)
Hipersensitif dengan penisilin/ampisilin : Eritromisin, sefalosporin (5-16% ada reaksi
silang) atau linkomisin/klindamisin
Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap respons klinis
dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal
Kalau penyakit menunjukkan perbaikan antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari
klinis baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7 hari, bayi < 2 bl biasanya 10-14 hari)
Kalau penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 72
jam antibiotik awal dihentikan dan diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat
(sebelumnya perlu diyakinkan dulu tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll,
yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab
Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin
Diganti dengan
sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau vankomisin
H. influenzae
: Diganti dengan sefuroksim, sefazolin,
sefotaksim, eritromisin,
linkomisin atau klindamisin
S. aureus
: Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin, sefazolin,
klindamisin atau linkomisin
Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)
Mikoplasma
: Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)
Catatan : Gambaran klinis pneumonia dan dosis serta cara pemberian antibiotik lihat
tabel 34
Simtomatik (untuk panas badan dan batuk)
Sebaiknya tidak diberikan terutama pada 72 jam pertama karena dapat mengacaukan
interpretasi reaksi terhadap antibiotik awal

13

Suportif
O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak nafas hilang (analisis gas
sampai dengan PaO2 60 Torr)
Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau infus. Jenis
cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila elektrolit normal berikan
larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian dekstrosa 5%)
Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v.
Dosis awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) mEq
Dosis selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base excess
) 4-6 jam setelah dosis awal
Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat diperiksa, berikan
bikarbonat i.v. =
0,5 x 2-3 mEq x BB (kg) sebagai dosis awal, dosis selanjutnya tergantung
gambaran klinis 6 jam setelah dosis awal
Fisioterapi
PROGNOSIS
Tergantung pada ada/tidaknya penyulit, penyakit yang mendasarinya, cepat dan tepatnya
antibiotik yang diberikan
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Arguedas AG, Stutman HR, Marks MI. Bacterial pneumonias. Dalam: Chernick V, Kendig EL,
penyunting. Kendigs disorders of the respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1990; 371-80.
Chin TW, Nussbaum E, Marks M. Bacterial pneumonia. Dalam: Hilman BC, penyunting.
Pediatric respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders Co, 1993;
271-81.
Tabel 34. Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia
CARA
PEMBERIAN

DOSIS

FREK.
(jam)

INDIKASI

i.v., i.m.
p.o.
p.o.
i.v., i.m.

100-200
40-160
25-100
300-600

4-6
6
8
4-6

Pneumonia berat
disebabkan Gram (+), Gram
(-) ; Bakteri anaerob
Fibrosis kistik (kombinasi
dengan aminoglikosida)

Azlosilin
Neonatus <7 hr
Neonatus >7 hr

i.v.

300-600
50-150
200

4
12
4-8

Sama dengan tikarsilin

Mezlosilin
Neonatus >2.000 g
Neonatus <2.000 g

i.v.

300
75
75

4
6-12
8-12

Sama dengan tikarsilin

Piperasilin

i.v.

300

Sama dengan tikarsilin

Oksasilin

i.v.

150

4-6

Kloksasilin

i.v.

50-100

4-6

Dikloksasilin

i.v.

25-80

4-6

GOL. SEFALOSPORIN
Sefalotin

i.v.

75-150

Sefuroksim

i.v.

100-150

6-8

OBAT
Gol. PENISILIN
Ampisilin
Amoksisilin
Tikarsilin

Pneumonia, abses paru,


empiema, trakeitis yang
disebabkan oleh S. aureus

Pneumonia oleh S. aureus


(bila alergi penisilin)
Terapi awal infeksi oleh

14

Sefotaksim
Seftriakson

i.v.
i.v., i.m.

50-200
50-100

6
12-24

patogen Gram (-) :


K. pneumoniae, E. coli

Seftazidim

i.v.

100-150

Diduga Pseudomonas
aeruginosa

Terapi inisial untuk


Pneumonia dan abses paru
karena bakteri Gram (-)
Patogen Gram (-) resisten
dengan gentamisin dan
tobramisin
Gram (-) yang resisten
terhadap gentamisin

GOL. AMINOGLIKOSIDA
Gentamisin
i.v., i.m.
Tobramisin

i.v., i.m.

8-10

Amikasin

i.v., i.m.

15-20

6-8

Netilmisin

i.v.

4-6

12

30-50
40-70

6
6

Roksitromisin
Klaritromisin
Azitromisin

p.o.
i.v. (infus
lambat)
p.o.
p.o.
p.o.

5-8
10

12
12
24

KLINDAMISIN

i.v.

15-40

p.o.

10-30

i.v.
p.o.

75-100
50-75

6
6

GOL. MAKROLID
Eritromisin

KLORAMFENIKOL

M. pneumoniae, B.
pertussis, C. diphtheriae, C.
trachomatis, Legionella
pneumophila

S. aureus, Streptokokus,
Pneumokokus yang alergi
penisilin dan efalosporin
Abses paru karena bakteri
anaerob
Epiglotitis, abses paru,
pneumonia

EMPIEMA

15

BATASAN
Adanya penimbunan pus/nanah di dalam rongga pleura
ETIOLOGI
Bakteri aerob : Golongan Stafilokokus (penyebab tersering)
Haemophilus influenzae (biasanya berkaitan dengan pneumonia dan otitis media terutama
pada anak < 2 th)
Bakteri parakolon dan golongan pneumokokus (terutama pada bayi)
Bakteri anaerob
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala akibat peradangan pleura berupa nyeri dada, dada terasa penuh dan sesak nafas.
Anak yang besar dapat mengeluh nyeri dada saat inspirasi atau batuk dan nyeri dapat
menjalar ke bahu atau perut. Nyeri dada yang hebat akan mengganggu gerak
pernafasan dan menimbulkan sesak nafas. Bila cairan bertambah banyak nyeri dada
akan berkurang, tetapi anak makin bertambah sesak
Panas badan, lemas, muntah, anoreksia, letargi dan tampak sakit berat
Dapat ditemukan distensi abdomen akibat ileus paralitik
Pemeriksaan fisis :
Bila jumlah cairan sedikit terdengar pleural friction rub pada inspirasi atau ekspirasi dan
bunyi ini akan menghilang dengan bertambahnya cairan
Bila cairan cukup banyak : Sisi toraks yang terkena tampak cembung, ruang interkostal
melebar, trakea dan apeks jantung terdorong ke sisi kontralateral, vokal fremitus , pekak
pada perkusi, pada auskutasi vokal resonans dan suara pernafasan vesikuler sampai
hilang
Radiologi
Bila cairan hanya sedikit tampak sinus kostofrenikus tumpul, gambaran ini lebih jelas
pada posisi foto toraks lateral tegak
Bila cairan agak banyak akan tampak gambaran densitas cairan pada sisi lateral dinding
dada. Bila tidak ada perlekatan pleura, maka pada perubahan posisi foto toraks lateral
tegak ke lateral dekubitus akan tampak perubahan gambaran densitas cairan tersebut.
Bila foto lateral dekubitus tidak ada perubahan gambaran cairan maka disebut
encapsulated empyema
Bila cairan sangat banyak memenuhi hampir seluruh rongga dada, akan tampak
mediastinum terdorong ke sisi toraks kontralateral
Foto toraks juga penting untuk melihat adanya piopneumotoraks yang tampak sebagai
air-fluid level
Setelah dilakukan pungsi pleura harus dibuat foto toraks ulang untuk melihat penyulit
atau kelainan parenkim paru
USG
Membantu menentukan tempat yang tepat untuk pungsi pleura atau torakosentesis dan
penempatan slang closed chest tube drainage (CTT) bila cairan sedikit atau terlokalisir
Dapat membedakan penebalan pleura dengan cairan
Pemeriksaan cairan pungsi pleura
Makroskopik : Tampak pus/cairan purulen, keruh dan berbau
Mikroskopik : Jumlah leukosit banyak terutama PMN
Gram dan atau kultur bakteri aerob dan anaerob positif
Biokimia : Glukosa < 50 mg/dl ; protein > 3 g/dl ; pH < 7,3
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan etiologi
Abses paru (bila terdapat udara akibat fistula bronkopleural)

16

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks posisi PA, Lateral tegak dan Lateral dekubitus
Pungsi pleura/torakosentesis
Cairan pleura dinilai secara makroskopik, dibuat sediaan Gram, jumlah leukosit dan hitung
jenisnya, biokimia dan kultur bakteri aerob dan anaerob serta tes sensitivitas
Ultrasonografi toraks bila cairan sedikit/bila dengan foto toraks masih belum jelas antara lain
karena ada penebalan pleura
Kultur darah dan tes sensitivitas (darah diambil sebelum antibiotik diberikan)
Computed tomography toraks (bila diperlukan dan memungkinkan) untuk membedakan
piopneumotoraks akibat fistula bronkopleural dan abses paru
PENYULIT
Piopneumotoraks
Penebalan pleura
Fistula bronkopleural
Pneumatokel
Abses paru
Perikarditis
KONSULTASI
Bedah toraks
TERAPI
Umum
Istirahat di tempat tidur
Pemberian cairan, makanan dan vitamin yang cukup
O2 diberikan bila dan selama sesak nafas dan hipoksia
Bila panas tinggi dapat diberikan parasetamol
Khusus
Pengaliran pus (drainage) harus dilakukan dengan semprit atau
dengan
pemasangan CTT. Pengaliran pus dihentikan bila secara klinis keadaan penderita
membaik, jumlah pus < 50 ml dalam 24 jam, foto toraks menunjukkan pengembangan
paru tanpa menunggu perbaikan lengkap secara radiologik ( 4-10 hari setelah awal
terapi)
Bila tidak ada perbaikan, karena cairan yang sangat kental atau ada
penebalan/perlengketan sebaiknya dilakukan pengeluaran pus dengan cara open
thoracotomy
Antibiotik diberikan sesuai hasil pemeriksaan Gram dan bau pus (dosis dan cara lihat
tabel 34) sambil menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas
Fisioterapi dilakukan setelah slang CTT dicabut
PROGNOSIS
Tergantung pada
Umur penderita
Cepat dan tepatnya tindakan dan pemberian antibiotik
Penyulit
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Pagtakhan RD, Montgomery MD. Pleurisy and empyema. Dalam: Chernick V dan Kendig EL,
penyunting. Kendigs disorders of the respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1990; 436-45.

17

Shields TW. Parapneumonic empyema. General thoracic surgery; edisi ke-4. Philadelphia:
William & Wilkins 1994; 684-93.

PNEUMOTORAKS

BATASAN
Akumulasi udara didalam rongga pleura karena terdapat hubungan langsung rongga pleura
dengan atmosfir akibat defek pada dinding dada atau pecahnya alveoli atau keduanya
ETIOLOGI
Idiopatik
Trauma tumpul toraks
Prosedur diagnostik dan terapi
Torakosentesis
Biopsi paru (cara aspirasi)
Biopsi paru (cara perkutaneus)
Tindakan bedah kardiotoraks
Tindakan resusitasi
Penggunaan ventilator
Penyakit saluran pernafasan bagian bawah
Penyakit membran hialin
Sindroma aspirasi
Asma
Fibrosis sistik
Tuberkulosis
Pneumonia dan bronkiolitis
Keganasan
KLASIFIKASI
Tension pneumothorax
Non tension pneumothorax
Ringan-sedang (bagian paru yang kolaps < 30%)
Berat (bagian paru yang kolaps 30-70%)
Total (curigai adanya tension pneumothorax)
PATOFISIOLOGI
Trauma pada dinding dada dapat merobek jaringan paru yang mengakibatkan udara dari
dalam alveoli masuk kedalam rongga pleura.
Pada penyakit saluran nafas bagian bawah sering didapatkan penyumbatan saluran
inkomplit atau adanya konsolidasi parenkim paru. Peningkatan tekanan intraalveolar akan
menyebabkan jaringan ikat perivaskular di daerah tersebut akan teregang dan menipis
sehingga apabila tekanan tersebut melewati batas kemampuan peregangan jaringan maka
akan terjadi robekan pada dasar alveoli yang mengakibatkan udara akan memasuki ruangan
perivaskular dan menjalar kearah hilus dan masuk kedalam mediastinum
(pneumomediastinum) atau merobek pleura viseralis dan memasuki rongga pleura
Pada penderita tuberkulosis tipe kavernosa atau yang progresif maka infiltrat yang terletak
subpleural akan larut dan meyebabkan nekrosis serta robekan pada pleura

18

Penyebaran/metastasis sarkoma ke jaringan paru akan menyebabkan nekrosis bronkus,


sedangkan emboli oleh tumor akan menyebabkan infark paru yang berakibat terjadinya air
leak

DIAGNOSIS
Anamnesis
Terjadi secara mendadak
Riwayat trauma pada toraks
Penggunaan ventilator mekanik
Resusitasi
Penyakit paru yang dapat menjadi latar belakang
Nyeri pada dada yang menyebar ke pundak
Pemeriksaan fisis
Sesak
Pernafasan cepat
Sianosis
Pergeseran letak trakea
Retraksi
Bagian dada yang terkena lebih cembung (bulging)
Pergeseran letak pulsasi jantung
Pergerakan dada yang asimetris
Timpani pada perkusi di bagian dada yang terkena
Suara pernafasan melemah
Radiologik
Bayangan lucent yang dikelilingi oleh jaringan paru yang opaque
General, lokal, multipel
Ruang interkostal melebar
Penekanan mediastinum dan jantung ke sisi yang sehat
DIAGNOSIS BANDING
Kista paru yang sangat besar
Obstruksi paru parsial yang disertai hiperinflasi sekunder
Hernia diafragmatika
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
TERAPI
Pengobatan terhadap penyakit primer
Evakuasi mekanik (torakotomi)
KONSULTASI
Bedah toraks
PROGNOSIS
Tergantung kecepatan diagnosis dan pengobatan

KOR PULMONALE

19

BATASAN
Hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit pada parenkim paru, pembuluh darah pulmonal
atau kelainan fungsi paru
ETIOLOGI
Hipoksia
Penyakit pada parenkim paru
Penyakit paru obstruktif
Penyakit fibrokistik
Asma
Bronkitis kronik
Penyakit paru restriktif
Fibrosis interstitial
Pnemonia kronik
Sarkoidosis
Hemosiderosis
Fibrosis paru yang luas (Sindroma Hamman-Rich)
Penyakit Wilson-Mikity
Penyakit paru lainnya
Displasia bronkopulmonal
Faktor ekstrinsik
Obstruksi saluran nafas atas
Hipertrofi tonsil dan adenoid
Mikrognatia
Glosoptosis
Makroglosia
Penyakit Crouzon
Penyakit Hurler
Laryngeal web
Laryngotracheomalacia
Sindroma Pierre Robin
Penyakit neuromuskular
Sindroma Werdnig-Hoffmann
Sindroma Guillain-Barre
Miastenia gravis
Poliomielitis
Deformitas dinding dada
Kyphoscoliosis
Pectus excavatum
Paralisis diaphragma
Disfungsi pusat pernafasan
Sindroma Pickwickian
Ketinggian (high altitude)
Penyakit vaskular paru
Tromboemboli
Hipertensi pulmonal primer
Penyakit paru veno-oklusif
PATOFISOLOGI
Hipoksia vasokonstriksi/interstitial fibrosis pada pembuluh darah paru
hipertensi pulmonal hipertrofi ventrikel kanan
KRITERIA DIAGNOSIS
Adanya penyakit yang menjadi latar belakang

20

Takipnea
Takikardia
Sianosis
Edema
Hepatomegali
Sistolik murmur sepanjang tepi kanan sternum
Irama gallop
Hipertensi pulmonal
Hipertrofi ventrikel kanan

DIAGNOSIS BANDING
Gagal jantung kongestif oleh sebab lainnya
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks
: Hiperinflasi atau proses infiltratif yang luas
EKG
: RVH
Ekokardiografi : Insufisiensi katup trikuspid
RVH
Penebalan dinding ventrikel kanan
TERAPI
Terhadap penyakit yang menjadi latar belakang
O2
Diuretik
Digitalis
Nifedipin
PROGNOSIS
Tergantung penyakit yang menjadi latar belakang
Obstruktif umumnya reversibel
Restriktif reversibel parsial
Penyakit pembuluh darah pulmonal ireversibel

ABSES PARU

BATASAN
Adanya rongga yang berbatas tegas berdinding tebal pada jaringan paru, berisi cairan
purulen yang berasal dari supurasi dan nekrosis parenkim paru
KLASIFIKASI
Abses primer
Abses sekunder
ETIOLOGI
Hampir semua jenis mikroorganisme yaitu bakteri, virus, protozoa dan fungi dapat
menyebabkan abses. Penyebab tersering baik abses primer maupun sekunder adalah : S.
aureus dan biasanya resisten terhadap penisilin
KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala utama pada abses primer maupun sekunder yaitu panas tinggi mencapai 400C
disertai lemah, muntah, dan berat badan
Beberapa hari atau minggu sebelumnya anak sudah sakit

21

Gejala yang berhubungan dengan saluran nafas berupa batuk berdahak, nyeri dada,
dispnea, pernafasan berbau dan hemoptisis
Pemeriksaan fisis daerah toraks bervariasi dari tidak ditemukan apa-apa sampai
menunjukkan takipnea, tarikan dinding dada, pergerakan toraks , pekak pada perkusi,
serta suara pernafasan , ronki, pernafasan bronkial pada auskultasi
Dapat ditemukan clubbing jari
Radiologi
Sebaiknya dibuat foto toraks posisi PA, Lateral, Oblik dan Dekubitus
Tampak rongga berdinding tebal di paru, bisa soliter atau multipel. Abses primer hampir
selalu soliter, sering pada lobus atas dan bawah paru kanan, sedangkan abses sekunder
bisa soliter atau multipel
Bisa unilokuler atau multilokuler
Tampak gambaran radio opak bila tidak ada hubungan antara rongga abses dengan
cabang bronkus. Bila terdapat hubungan dengan bronkus tampak gambaran rongga
abses dengan air fluid level
Bila absesnya besar akan tampak atelektasis alveoli sekitarnya
USG dan CT toraks bila diperlukan
Laboratorium
Peninggian jumlah leukosit dengan PMN yang dominan
Kultur darah jarang ditemukan organisme penyebab terutama pada abses primer

DIAGNOSIS BANDING
Empiema dengan fistula bronkopleural
Kista paru kongenital
pada bayi baru lahir
Emfisema kongenital
Neoplasma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks PA, Lateral tegak, Oblik dan Lateral dekubitus
USG toraks bila dengan foto toraks tidak jelas
CT scan toraks bila ingin mengetahui lokalisasi yang pasti
PENYULIT
Pneumotoraks
Ekspansi abses dengan pergeseran mediastinum
KONSULTASI
Bedah toraks
TERAPI
Umum
Makanan dan cairan yang cukup
O2 bila sesak nafas
Vitamin
Khusus
Antibiotik harus segera diberikan. Karena penyebab terbanyak S. aureus antibiotik
penghasil penisilinase (flukloksasilin). Bila diduga kemungkinan bakteri anaerob,
ditambahkan penisilin atau penisilin semisintetis atau sefalosporin (lihat tabel 34)
Lama pemberian antibiotik 2-4 mgg
Operasi : Bila antibiotik yang optimal tidak berhasil
Lobektomi jarang diperlukan kecuali bila terjadi
ekspansi masif abses yang mengakibatkan kompresi jaringan sekitarnya
Postural drainage

22

PROGNOSIS
Abses primer umumnya baik, rongga biasanya menghilang bila pus sudah keluar karena
dibatukkan (melalui bronkus)
Abses sekunder bervariasi bergantung pada penyakit yang mendasarinya
SURAT PERSETUJUAN
Diperlukan

DAFTAR PUSTAKA
Asher MI, Beaudry PH. Lung abscess. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendigs
disorders of the respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990;
429-36.
Campbell PW. Lung abscess. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory disease :
diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders Co, 1993; 257-62.

ASMA
(ASMA BRONKIAL)

DEFINISI
Banyak definisi dikemukakan. Berikut ini 2 definisi yang dapat dijadikan acuan untuk
diagnosis/terapi asma
Definisi yang dapat dijadikan acuan untuk diagnosis asma pada bayi/ anak, terutama di
sarana kesehatan yang tidak dilengkapi laboratorium/peralatan lengkap, dirumuskan oleh
The International Paediatric Asthma Consensus Group (IPACG) th 1988 dan ditegaskan
kembali th 1991
Asma ialah penyakit saluran nafas yang secara klinis ditandai serangan akut mengi dan
atau batuk episodik, berulang dan telah dapat dibuktikan bukan disebabkan oleh penyakit
lain
Definisi yang dapat dijadikan acuan untuk terapi asma dirumuskan oleh The National Heart
Lung and Blood Institute International Asthma Consensus (NHLBI) th 1992
Asma ialah inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel termasuk sel
mast dan eosinofil. Pada individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan obstruksi yang
tersebar luas dengan derajat yang bervariasi, biasanya reversibel, dapat membaik secara
spontan maupun akibat terapi dan meningkatkan reaktivitas saluran nafas terhadap
berbagai stimulus
KLASIFIKASI
Berdasarkan tujuan dan penggolongannya banyak klasifikasi. Dikemukakan 3 macam
klasifikasi yang berguna untuk terapi
1. Klasifikasi untuk menetapkan cara pemberian dan jenis obat berdasarkan golongan umur
Asma pada bayi < 1 th
Asma pada umur 1-3 th
Asma pada umur 3-6 th
Asma pada umur > 6 th
2. Klasifikasi untuk menetapkan terapi berdasarkan frekuensi serangan akut, gangguan
aktivitas/sekolah dan respons terhadap obat profilaksis

23

Asma ringan

: Jarang mengalami serangan akut dan atau kegiatan sekolah/olah


raga/bermain setara dengan sebayanya yang tidak menderita asma
Asma sedang : Sering mengalami serangan akut, atau bila serangan akutnya jarang
tetapi berat, sehingga aktivitas sehari-harinya sering terganggu
Asma berat
: Tidak pernah bebas dari serangan, mengganggu aktivitas seharihari dan bergantung pada steroid

3. Klasifikasi berat ringannya serangan akut asma


Serangan akut asma ringan : Serangannya hanya berupa batuk atau sesak ringan
sehingga anak masih tetap dapat bermain/ melakukan
aktivitas sehari-hari
Serangan akut asma sedang : Serangan akutnya berupa sesak yang menyebabkan
anak tidak mampu bermain tapi masih mampu
makan/minum seperti biasanya
Serangan akut asma berat
: Pada saat mengalami serangan anak sesak hebat
Serangan akut asma berat yang masih responsif terhadap pemberian 1-2x
bronkodilator kerja cepat (short acting bronchodilators)
Status asmatikus
Status asmatikus dan gagal paru
ETIOLOGI
Belum diketahui pasti. Diperkirakan disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan
faktor yang didapat (inducer atau inciter berupa infeksi, polusi, dan alergi)
Seperti tertulis pada definisi dari NHLBI dan IPACG di atas, hipersensitivitas, inflamasi dan
gejala klinis akan tercetus apabila individu yang rentan terpajan oleh > 1 stimulus. Apabila
tidak pernah kontak dengan > 1 stimulus, penderita tidak akan mengalami serangan akut
asma. Oleh karena itu ada ahli yang menyatakan bahwa stimulus sebagai etiologi
Terdapat banyak etiologi (stimulus, triggers, pencetus yang dapat mencetuskan serangan
akut asma, antara lain exercise, infeksi virus, asap rokok, debu rumah/tungau, tepung sari,
bulu binatang, makanan/minuman, cuaca, emosi, obat-obatan dll)
Kebanyakan penderita mengalami serangan akut asma karena terpajan oleh banyak etiologi
; jarang yang hanya mengalami episode karena 1 macam stimulus. Hal ini sering
menyulitkan untuk menetapkan etiologi serangan akut. Kesulitan ini ditambah lagi karena
serangan tidak selalu segera terjadi setelah kontak, kadang-kadang 6-9 jam setelah kontak
(reaksi asmatik lambat)
PATOFISIOLOGI
Kemajuan iptek telah dan masih akan terus menyebabkan berkembangnya teori mengenai
patofisiologi asma. Sebelum th 80-an, hiperreaktivitas bronkial dianggap sebagai kelainan
primer; sekarang diketahui terjadinya sekunder akibat inflamasi. Dari definisi yang
dirumuskan th 1992 di atas terlihat bahwa pada saat ini, inflamasi inilah yang dianggap
sebagai kelainan primer
Akibat bronkospasme, timbunan sekret kental dalam lumen, edema dan infiltrasi sel di
dalam dinding sumbatan parsial saluran nafas dengan derajat yang bervariasi.
Tergantung dari derajat penyempitan dapat sesak ringan, hebat, atau hanya batuk-batuk
saja
Derajat beratnya penyempitan dapat diukur dengan flow meter yang hasilnya ditulis sebagai
peak expiratory flow rate (PEFR)/deras arus puncak ekspirasi, atau spirometer yang
hasilnya ditulis sebagai forced expiratory volume in 1 second (FEV1)
Apabila penyumbatannya cukup hebat sehingga mengganggu pertukaran O2 dan CO2
terjadi hipoksemia/hipoksia jaringan dengan atau tanpa hiperkarbia. Karena difusi CO2 lebih
baik (20,7x) dari O2,, maka hiperkarbia baru terjadi pada serangan akut asma yang telah
lanjut, sedangkan hipoksemia sudah terjadi pada awal serangan. Karena itu asidosis yang
terjadi pada serangan akut stadium awal (belum mengalami gagal nafas kronik) adalah

24

asidosis metabolik akibat peningkatan asam piruvat/laktat ; asidosis respiratorik baru terjadi
pada stadium lanjut
Akibat hipoksia/hiperkarbia serangan akut asma berat terjadi sianosis, penurunan
kesadaran, kelemahan otot ekstremitas atau pernafasan dan gagal nafas
DIAGNOSIS
Apabila berpegang pada definisi NHLBI 1992, diagnosis asma yang pasti baru dapat
ditegakkan bila telah dapat dibuktikan bahwa serangan akut (batuk dan/atau sesak)
berhubungan erat dengan obstruksi saluran nafas yang reversibel (dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan PEFR atau FEV1), yang disebabkan inflamasi (dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan cairan bronkus melalui bronkoskopi). Tanpa peralatan canggih, pemeriksaan
di atas tidak dapat dilaksanakan pada bayi dan anak < 5 th Karena itu untuk dapat
mendiagnosis asma pada bayi dan anak, cukup mengacu pada definisi IPACG 1988/1991
Terutama untuk penderita asma klasik yang serangan akutnya berupa sesak disertai
mengi, diagnosis asma sudah dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisis saja
Pada bayi dan anak dengan serangan akut, diagnosis asma dapat ditegakkan bila :
1. Anamnesis : Serangan akut seperti ini sudah terjadi 2 x atau lebih
2. Pemeriksaan fisis : Mengi ekspirasi yang difus dan stadium ekspirasi memanjang
(normal : rasio inspirasi/ekspirasi = 2/1, pada asma menjadi 1/1 atau bahkan 1/2)
Kesulitan diagnosis dapat terjadi bila penderita
Datang di luar serangan akut
Mengalami serangan akut untuk pertama kali
Serangan akut bukan sesak yang disertai mengi ekspirasi, melainkan hanya batuk
atau mengi ringan (asma varian)
Menghadapi 3 macam kasus terakhir diatas, untuk diagnosis asma dapat ditempuh
beberapa cara, yaitu :
1. Pada saat mengalami serangan akut diberikan bronkodilator kerja cepat, misalnya
adrenalin s.k. atau -2-agonis s.k. atau secara inhalasi. Apabila serangan mereda
atau berkurang, diagnosis asma dapat ditegakkan. Apabila serangan tidak berkurang,
kemungkinan asma belum dapat disingkirkan, mungkin bukan asma, serangan akut
karena reaksi asmatik lambat (RAL), atau selain serangan akut asma juga ada
penyebab lain yang menyebabkan anak sesak dan/atau batuk
Untuk kasus yang tidak berespons terhadap bronkodilator kerja cepat ini, penilaian
perlu dilanjutkan dengan (tergantung dugaan terkuat)
Ditambahkan steroid sistemik (p.o./i.v.)
Ditambahkan ipratropium bromida (inhalasi)
Pemeriksaan foto toraks atau sinus, tes keringat (untuk menyingkirkan diagnosis
banding)
Pemeriksaan 2
2. Pemeriksaan peak flow meter atau spirometer untuk mengukur derajat obstruksi
(hambatan terhadap aliran udara) dalam lumen saluran udara besar/sentral dan
saluran udara kecil/perifer. Pemeriksaan yang lebih mudah, murah, dan dapat
dilaksanakan di rumah yaitu dengan peak flow meter untuk mengukur PEFR
Dengan pemeriksaan ini, diagnosis asma dapat ditegakkan apabila pada penderita
yang dicurigai asma didapatkan hasil PEFR dan/atau FEV1 yang
Dengan pemeriksaan secara berkala dalam waktu singkat terdapat variasi hasil
pengukuran > 20%
Setelah diberi bronkodilator terjadi peningkatan > 20%
Dengan bronchial provocation test hipersensitivitas (telah terjadi penurunan
FEV1 > 20% pada konsentrasi histamin yang rendah; lebih rendah dari untuk
orang normal)

25

Pemeriksaan spirometri hanya dapat dilaksanakan pada anak > 5 th yang sudah
mengerti dan mampu mematuhi perintah pemeriksa. Selain untuk diagnosis,
pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit dan hasil
terapi
DIAGNOSIS BANDING
Bronkiolitis
Perlu dipikirkan bila bayi < 2 th mengalami serangan mengi dan sesak untuk pertama
kali. Untuk membedakan bronkiolitis dengan serangan akut asma yang pertama kali
dapat dilakukan tes adrenalin. Bila sesak segera menghilang, diagnosisnya asma akut
serangan pertama, tapi bila tidak membaik kemungkinan asma belum dapat disingkirkan
Aspirasi benda asing (susu, makanan dll)
Pada anamnesis ada riwayat keselek
Tuberkulosis kelenjar yang menekan trakea atau bronki (kadang-kadang menyebabkan
mengi persisten)
Tumor atau kista di mediastinum
Sindroma hiperventilasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Faal paru (peak flow meter mini dan atau spirometer) : Untuk menetapkan ada tidaknya
serta derajat hiperreaktivitas bronkus. Selain untuk menegakkan diagnosis, juga berguna
untuk evaluasi perjalanan penyakit atau keefektivan terapi
Radiologi : Untuk menyingkirkan diagnosis banding dan mendeteksi ada tidaknya penyulit
(atelektasis, emfisema, pneumotoraks, bronkiektasis)
IgE dan radio allergosorbent test (RAST) bila memungkinkan
Tes kulit
PENYULIT
Emfisema
Atelektasis
Bronkiektasis
Pneumotoraks dan pneumomediastinum
Gagal nafas
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM)
Permanent hypoxic brain damage
TERAPI
Dasar terapi yang rasional
Kenikmatan hidup, aktivitas/pertumbuhan bayi dan anak akan terganggu bila
mengalami serangan akut karena terpajan faktor pencetus
Serangan akut akan muncul jika saat terpajan sel radang (sel mast) mengeluarkan
mediator yang menyebabkan bronkospasme (reaksi asma dini/RAD) dan/atau
edema/infiltrasi sel radang/timbunan sekret kental pada dinding lumen (RAL)
Penderita asma tidak akan mengalami serangan akut, dan akan mampu hidup setara
dengan sebayanya apabila :
1. Dihindarkan dari kontak dengan faktor pencetus
2. Diberi obat yang dapat mencegah dilepaskannya mediator yang menyebabkan
RAD dan RAL (disodium chromoglycate, nedocromil dan sejenisnya; steroid
inhalasi, dan steroid p.o.)
3. Diberi obat yang dapat menetralisir bronkospasme (bronkodilator lepas lambat)
4. Imunoterapi jarang memberikan hasil yang diharapkan, karena:
Faktor pencetus biasanya multipel. Tidak semua faktor dapat diketahui dengan tes
kulit dan dibuat ekstraknya yang bisa disuntikkan pada kulit

26

Hasil pengobatan baru akan terlihat setelah beberapa th sehingga sering terjadi
dropped-out
Serangan akut asma dapat diatasi/diredakan dengan obat yang dapat menghilangkan
bronkospasme (bronkodilator kerja cepat) dengan atau tanpa antiinflamasi (steroid
peroral atau parenteral)
Serangan akut
Ringan :
Bronkodilator kerja cepat; yang terbaik adalah -2-agonis
Dapat diberikan p.o., s.k., atau inhalasi (inhaler, inhaler + spacer, rotahaler, diskhaler,
atau nebulizer); yang terbaik adalah inhalasi.
Jenis dan dosis obat lihat tabel 35
Pengelolaan dapat dilaksanakan di rumah oleh orang tua yang telah diberikan
pendidikan. Setiap dokter mempunyai kewajiban untuk melakukan penyuluhan
mengenai penanganan asma kepada masyarakat, terutama keluarga penderita, guru
sekolah dan petugas lain yang mengurus anak
Apabila serangan akut tidak dapat diatasi dengan bronkodilator harus dirujuk ke
rumah sakit/sarana kesehatan lain
Berat (sesuai gambar 31)

O2

Sebelumnya sudah
diantisipasi

Belum diantisipasi,
tidak diduga

Obat sehari-hari + B-2-A


via inh.

B-2-A s.k.
atau neb.

Tidak ada respons


Steroid p.o
jangka pendek

Dosis steroid
p.o atau i.v
Rujuk ke Emergensi
B-2-A parenteral atau neb. dosis
tinggi
Tidak ada respons
Rujuk ke ruangan
Steroid p.o atau i.v
Aminofilin i.v.

27

Catatan : Jenis dan dosis obat lihat lampiran


Respons dapat dinilai dengan PEFR, frekuensi nafas, sianosis, kesadaran,
pulsus paradoksus, analisis gas darah arteri dan pulse oxymetri
Penjelasan Skema
Asma merupakan penyakit menahun. Penanganannya harus dilaksanakan oleh suatu
tim, minimal terdiri dari dokter dan orang tua penderita. Orang tua penderita harus diberi
pendidikan mengenai banyak hal, antara lain memprediksi dan mengantisipasi serangan
akut
Penderita yang mengalami ISPA oleh virus, terpajan oleh faktor pencetus atau
menunjukkan penurunan PEFR > 20% dari nilai dasar seharusnya diantisipasi dengan
pemberian bronkodilator atau obat profilaktik sebelum serangan akut muncul. Untuk
penderita seperti ini serangan akut dapat diatasi di rumah dengan pemberian beta-2agonis melalui inhaler + spacer, rotahaler, diskhaler atau nebulizer setiap 4 jam. Bila
dianggap perlu, dokter dapat menambahkan steroid oral jangka pendek selama 4 hari
Jika dengan pengobatan di atas serangan akut tidak berhasil diatasi, penderita harus
dirujuk ke rumah sakit untuk pemberian O2, cairan infus, mengatasi asidosis, pemberian
aminofilin/beta-2-agonis/steroid i.v.
Penderita yang mengalami sesak hebat biasanya mengalami hipoksemia. Pemberian O2
untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mmHg sangat penting, antara lain karena :
Bila kadar O2 arteri rendah, pemberian obat tertentu (a.l. adrenalin) akan menyebabkan
konsumsi O2 oleh miokardium meningkat; mediator leukotrien menyebabkan aliran darah
koroner menurun sehingga dapat menimbulkan depresi miokardium
Penderita yang mengalami sesak yang hebat tanpa diduga biasanya tidak dapat diatasi
dengan beta-2-agonis melalui inhaler/diskhaler/ turbohaler (apalagi dengan p.o.). Pada
keadaan yang sangat sesak penderita tidak akan sanggup menghisap nebul (uap)
sampai ke saluran napas perifer. Bahkan dengan nebulizer-pun seringkali tidak berhasil,
terutama bila PEFR menurun > 25%. Pada keadaan ini kadang-kadang pemberian
adrenergik (-2-agonis atau adrenalin) s.k. lebih berhasil
Adrenalin s.k. kerjanya lebih singkat dan efek sampingnya lebih banyak. Tapi kalau
diberikan dengan 0,01 ml/kgBB/dosis (maks. 0,3 ml/dosis), setiap 15-20 menit sampai
paling banyak 3 kali biasanya cukup aman apabila nadi < 180x/menit. Apabila dengan 1x
pemberian nebulizer/injeksi s.k. sesak tidak mereda, dapat dimulai pemberian dosis
steroid p.o. atau perenteral

28

Apabila dengan pemberian nebulizer/injeksi s.k. dalam 1 jam tidak ada perbaikan, harus
dirujuk ke ruangan untuk di infus, penanganan asidosis, serta pemberian aminofilin/beta2-agonis/steroid i.v.
Status asmatikus di Ruangan
Ambil sampel darah untuk pemeriksaan analisis gas arteri, pH arteri, kadar elektrolit,
kadar teofilin (bila mungkin), leukosit dan hitung jenisnya
Penderita yang dalam 6 jam terakhir tidak mendapat aminofilin preparat polos/hari
terakhir tidak mendapat preparat lepas lambat, berikan aminofilin 5-7 mg/kgBB dengan
bolus i.v. selama 20-30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus (memakai infusion
pump) dengan kecepatan 0,85 mg/kgBB/jam untuk anak umur 1-6 th dan 0,65
mg/kgBB/jam untuk 6-16 th
Periksa kadar teofilin darah pada jam ke-1, 6, 12 dan 24 sejak pemberian aminofilin
dimulai
Catatan : Untuk bolus i.v. aminofilin 5-7 mg/kgBB dilarutkan dalam 25-50 ml NaCl 0,9%
Untuk penderita yang telah mendapat teofilin sebelumnya, bolus i.v. jangan
diberikan
Berikan salah satu steroid di bawah ini secara i.v. :
Metilprednisolon 2 mg/kgBB dengan bolus i.v. selama 10 menit dilanjutkan dengan 4
mg/kgBB/hari (infus) dengan kecepatan tetap, atau dibagi 4 dosis i.v. setiap 6 jam
Hidrokortison hemisuksinat 7 mg/kgBB i.v., dilanjutkan dengan 7 mg/kgBB/hari (infus)
dengan kecepatan tetap atau dibagi 4 dosis i.v. setiap 6 jam
Deksametason atau betametason 0,3 mg/kgBB i.v. dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/hari
(infus) dibagi 4 dosis i.v. setiap 6 jam
Infus dan koreksi asidosis
Pada jam pertama berikan 10 ml/kgBB larutan NaCl fisiologis dalam larutan glukosa 5%.
Untuk selanjutnya berikan larutan 1:4 dengan dosis rumat; setelah diuresis tambahkan K
2 mEq/100ml cairan infus
Untuk koreksi asidosis (pH < 7,30 dan defisit basa > 5 mEq/l) berikan bikarbonas dengan
dosis :
negative base excess x 0,3 x kg BB = mEq bikarbonat
Dosis diberikan setengahnya, dan setengah sisanya setelah ada hasil pH/analisis gas
ulangan
Pemantauan hasil pengobatan
Status mental/kesadaran
Catat nadi, tekanan darah, frekuensi nafas dan pulsus paradoksus
Perhatikan kontraksi otot sternokleidomastoideus dan retraksi supraklavikula setiap
15 menit
Ulangi analisis gas darah/pH arteri setiap 30-60 menit dan elektrolit bila perlu
Pengukuran PEFR
Foto toraks untuk melihat penyulit dan/atau penyakit lain
Apabila terjadi perbaikan, beta-2-agonis dengan nebulizer diberikan setiap 4 jam;
aminofilin dan kortikosteroid dapat diberikan p.o. setelah 24 jam. Penderita dapat
dipulangkan setelah 36-48 jam, tapi pengobatannya harus diteruskan > 7-10 hari :
Bronkodilator p.o./ inhalasi around the clock + prednison setiap jam 08.00 pagi dengan
tapering off (dikurangi 5 mg/hari)
Apabila dengan terapi di atas (lihat urutan 2, 3, 4) tidak terjadi perbaikan, maka selain
aminofilin, kortikosteroid, koreksi asidosis dan oksigenasi yang akurat, tambahkan -2agonis i.v atau constant infusion pump (salbutamol, terbutalin atau isoproterenol).

29

Isoproterenol dapat dimulai dengan 0,1 mikrogram/kgBB/menit, kemudian dinaikkan 0,1


mikrogram/kgBB/menit setiap 15-20 menit sampai terjadi perbaikan atau takikardia
(200x/menit) pada pantauan EKG
Jika tidak ada respons terhadap -2-agonis i.v., dilakukan intubasi dan pemasangan
ventilator
Asma jangka panjang (terapi profilaksis)
Tujuan umum terapi asma ialah memelihara penderita agar mampu menjalani kehidupan
sehari-hari seperti sebayanya yang tidak asma. Untuk penderita asma ringan yang jarang
mengalami serangan, cukup diberikan bronkodilator kerja cepat bila kena serangan;
sedangkan untuk penderita yang sering mengalami serangan (penderita asma sedang
dan berat) perlu diberikan obat profilaksis setiap hari
Karena perbedaan fisiologi, farmakologi dan imunologi, maka pemberian obat profilaksis
harus disesuaikan dengan umur penderita. Berikut ini diperlihatkan beberapa skema
terapi asma jangka panjang untuk bayi dan anak golongan umur 0-1 th, 1-< 3 th, 3-< 5 th,
dan 5-18 th

30

Gejala ringan, jarang, tidak mengganggu tidur, dll

Tidak perlu obat

Asma ringan/sedang yang mengganggu

B-2-A dan/atau xanthine p.o.

B-2-A inh. + sp. atau neb.


Ganti atau tambah dengan IB via Inh. + sp

Persisten

Berat tapi
jarang

DSCG via neb.

Steroid via inh. + sp/neb.


Asma berat
Steroid p.o

+ steroid p.o alternate

Gambar 32. Skema Terapi Asma pada Bayi 0-1 Tahun

Asma ringan
B-2-A dan atau xanthine p.o.
bila perlu

Asma sedang intermiten

31

B-2-A via Inh. + sp./neb.


bila perlu

Asma sedang terus-terusan


atau jarang tapi berat

DSCG melalui inh. + sp./neb.

Bila respons tidak memuaskan

Steroid inh. + sp. dan B-2-A bila perlu

Bila respons tidak memuaskan

Steroid dosis rendah p.o. alternate


Gambar 33. Skema Terapi Asma pada Umur 1- < 3 Tahun

32

Asma ringan

B-2-A p.o. atau inh. + sp.


bila perlu
Asma sedang

DSCG via inh. + sp. atau neb.

+ xanthine

Asma berat,
serangan tetap sering

Preparat lepas lambat steroid inhalasi


B-2-A via inh. + sp. bila perlu
Preparat lepas lambat B-2-A/xanthine

Steroid inh. dosis tinggi

Steroid p.o. dosis terendah, alternate


Gambar 34. Skema Terapi Asma pada Umur 3- < 5 Tahun

Asma ringan
B-2-A via inh
bila perlu
Bila > 3 dosis per minggu
(asma sedang)
+ DSCG via inh.
33
Bila dalam 6 minggu respons tak memuaskan

Keterangan
B-2-A
IB
DSCG
Inh + sp
Neb.

: -2-agonis
: Ipratropium bromide
: Disodium chromoglycate
: Inhaler + spacer
: Nebulizer

34

Tabel 35. Dosis, Cara dan Interval Pemberian Obat


Obat

Dosis

rute

keterangan

0,01 mg/kgBB/dosis
(1/1000 : 1mg/ml)

s.k.

bila tidak ada perubahan dapat


diulang setelah 20 menit sampai
total 3x pemberian

Aminofilin
Bolus
1-6 th
7-16 th

3-7 mg/kgBB/dosis
0,85 mg/kgBB/jam
0,65 mg/kgBB/jam

i.v.
infus
infus

Teofilin

6-14 mg/kgBB/hari

p.o.

dibagi 3-4 dosis


preparat lepas lambat : dosis
sama, hanya dibagi 2

MDI
puder kering
nebulizer

Lihat leaflet
Lihat leaflet
Bila tidak ada perubahan dapat
diulang setelah 30 menit, maks.
3x pemberian

Adrenalin

B-2-agonis
Salbutamol
0,02 ml/kgBB (maks.0,5
ml) larutan 1/200 (5 mg/
ml)
0,15 mg/kgBB/x
Terbutalin
1ml + 1ml NaCl5% lar
1/1000 (1 mg/ml)

Ipratropium
bromida
< 6 th
6-14 th

s.k.
p.o.
MDI
puder kering
nebulizer

0,01 mg/kgBB/dosis
(maks. 0,25 mg)

s.k.

0,075 mg/kgBB/x

p.o.

8-20 tetes
8-20 tetes

inhalasi

Setiap 8 jam
Lihat leaflet
Lihat leaflet
Bila tidak ada perubahan dapat
diulang setelah 30 menit, maks.
3x pemberian
Bila tidak ada perubahan dapat
diulang
setelah
20
menit,
maksimum 2x bila PEFR > 40%
dan predicted (dosis maks. 0,5
mg)
Setiap 6-8 jam

3 x/hari
3 x/hari

TUBERKULOSIS (TB)

BATASAN
Penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan M. tuberculosis
KLASIFIKASI
Menurut The American Thoracic Society th 1981 dengan modifikasi

35

0 : Tidak menderita penyakit TB, tidak pernah terinfeksi, dan tidak pernah terpajan TB
I : Tidak menderita penyakit TB, tidak pernah terinfeksi, tapi terancam kena infeksi karena
terpajan TB
II : Terinfeksi TB/tes tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB/gejala TB (-), radiologi tidak
mendukung, dan bakteriologik (-)
III : Sedang menderita TB
TB paru
TB diluar paru
Meningitis TB
TB kelenjar
Pleuritis TB
Perikarditis TB
TB abdomen
TB tulang
TB ginjal
TB saluran kelamin
TB kulit
IV : Pernah TB, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
V : Dicurigai TB
ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis tipe humanus
Jarang oleh tipe bovinus atau africanus
PATOFISIOLOGI
Penularan umumnya melalui inhalasi lesi primer 95% di paru, meskipun dapat juga
ditempat lain. Pada anak yang belum pernah terinfeksi lesi primer yang ditandai oleh
penimbunan sel PMN dan proliferasi sel epiteloid yang berbentuk khas (tuberkel). Kemudian
akan tampak sel raksasa Langhans dan seluruh daerah tersebut dikelilingi limfosit
Saat onset infeksi, basil TB dibawa makrofag dari fokus primer ke kelenjar limfe regional
(biasanya hilus/paratrakea). Fokus di parenkim dan pembesaran kelenjar limfe regional
disebut kompleks primer. Selama 2-10 minggu fokus primer tumbuh membesar, pada saat
yang sama terjadi hipersensitivitas. Sebelum terjadi kekebalan /hipersensitivitas, basil dari
lesi primer dapat masuk ke aliran darah dan tersangkut serta membiak di berbagai organ;
bakteremia ini hanya berlangsung sebentar (transient bacilemia) karena akan menghilang
kembali pada saat kekebalan spesifik/hipersensitivitas timbul. Bila telah terjadi
hipersensitivitas, reaksi perifokal lebih menonjol dan kelenjar limfe regional membesar.
Fokus primer dapat mengalami perkijuan (caseosa). Material perkijuan akan memadat dan
mengalami kalsifikasi. Lesi dapat hilang tanpa meninggalkan bekas. Fokus primer biasanya
tunggal, tetapi dapat juga dua atau lebih. Meskipun umumnya TB paru primer cenderung
sembuh, tetapi dapat juga mengalami progresivitas. Lesi tumbuh membesar, timbul
pneumonitis di jaringan sekitarnya dan penebalan pleura. Kemudian bagian tengah
perkijuan akan mencair dan isinya akan masuk ke dalam bronkus rongga (kavitas) dan
daerah peradangan baru. Pada tahap perkijuan dapat terjadi penyebaran kuman secara
hematogen TB milier. Bakteremia ini dapat terjadi karena basil secara langsung masuk ke
pembuluh darah atau melalui kelenjar limfe regional dan duktus torasikus. Pembesaran
kelenjar hilus dapat mengakibatkan penyumbatan saluran nafas atelektasis
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Kontak dengan sputum BTA (+)
Reaksi kemerahan dalam 3-7 hari setelah penyuntikan BCG
Gejala umum TB
Berat badan tanpa sebab jelas, atau tidak dalam 1-3 bl dengan penanganan
gizi yang baik

36

Anoreksia
Demam hilang timbul-tanpa sebab jelas
Keringat malam
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak nyeri
Batuk lama (> 30 hari)
Gejala spesifik (tergantung organ yang terkena)
Fisis (tergantung organ yang terkena)
Laboratorium
Darah
Likuor
atas indikasi
Aspirasi jarum
Tes tuberkulin
Radiologi
Mikrobiologi/serologi

MENINGITIS TUBERKULOSIS

MANIFESTASI KLINIS
Dikelompokkan dalam 3 stadium
Stadium I (non-spesifik)
Apatis, anoreksia, iritabel, demam, seringkali disertai muntah dan konstipasi. Pada anak
yang lebih tua dapat memperlihatkan perubahan suasana hati secara mendadak,
prestasi sekolah menurun, letargis dan apatis. Manifestasi awal ini terjadi hilang timbul,
seringkali diabaikan atau tersamar dengan penyebab lain. Umumnya berlangsung 13
minggu. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam subaraknoid maka stadium I akan
berlangsung singkat, sehingga terabaikan cepat stadium III
Stadium II (stadium transisional)
Ditandai oleh kelainan neurologik akibat eksudat yang terbentuk di atas lengkung serebri
Peradangan meningen kaku kuduk, refleks Kernig dan Brudzinski (+). Dengan
berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak tanda
gangguan otak/batang otak : strabismus, ptosis, reaksi pupil lambat, gangguan
penglihatan
Peradangan/penyempitan arteri di otak bingung, disorientasi, kesadaran , tremor,
kejang , dan hemiparesis
Stadium III (koma)
Pernafasan iregular, panas tinggi, edema papil, hiperglikemia
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat kejang atau kesadaran (tergantung stadium penyakit)
Fisis
Tergantung stadium penyakit
Tes tuberkulin (+) (40% kasus negatif)
Laboratorium
Darah
Anemia ringan

37

Jumlah leukosit N//


Likuor (pungsi lumbal)
Ground glass appearance/santokrom, tetapi bisa jernih/sedikit opalesens
Jumlah sel 101.000/mm3 (stadium awal sel PMN dominan ; stadium lanjut
limfosit dominan)
Protein > 40 mg/dl
Glukosa biasanya < 40 mg/dl, (rasio dalam likuor : darah < 1/2)
Klorida normal pada stadium awal, kemudian
Sarang laba-laba (pellicle)
Bilasan lambung
BTA (+)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
USG kepala hidrosefalus
CT-scan kepala

DIAGNOSIS BANDING
Meningitis atipik
Stadium awal meningitis bakterialis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilasan lambung
Foto toraks
Pungsi lumbal
USG kepala
bila memungkinkan
CT-scan kepala
TERAPI
Lihat tabel obat anti tuberkulosis (OAT)
Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 4-8 minggu) tappering off selama 2-3
minggu
KONSULTASI
Bagian Mata
Bagian Bedah Saraf
Bagian Radiologi
PROGNOSIS
Tergantung umur dan stadium penyakit
Umur < 2 th mortalitas/insidens sekuele tinggi
Stadium I kesembuhan 100% ; insidens sekuele rendah
Stadium II mortalitas 15-30% ; insidens sekuele 75%
Stadium III mortalitas 50% ; insidens sekuele > 80%

TUBERKULOSIS KELENJAR LIMFE SUPERFISIALIS

MANIFESTASI KLINIS
Dikelompokkan dalam 3 stadium
Stadium I : Satu kelenjar limfe besar dikelilingi oleh beberapa kelenjar kecil, teraba kenyal,
kulit pada daerah pembesaran tidak terkena

38

Stadium II : Kelenjar limfe bersatu dan kulit di daerah pembesaran kelenjar menjadi
terfiksasi. Kelenjar melunak abses, bila kulit terbuka akan keluar pus
Stadium III : Kelenjar terus membesar, teraba kenyal dan tidak menjadi lunak
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pembesaran kelenjar di leher/submandibular, tidak nyeri
Fisis
Pembesaran kelenjar limfe superfisial, nyeri tekan (-), sekitarnya dikelilingi kelenjar
kecil (menyerupai satelit)
Abses
Tes tuberkulin
Laboratorium
Darah
Pus dari abses
BTA (+)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Aspirasi jarum PA : Granuloma (+)
Bilasan lambung
BTA (+)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
DIAGNOSIS BANDING
Peradangan septik akut
Limfoma Burkit
Leukemia
Limfadenoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilasan lambung
Pemeriksaan pus
Foto toraks
Aspirasi jarum
KONSULTASI
Bagian Patologi anatomi
PROGNOSIS
Baik

TERAPI
OAT (lihat tabel terapi)
Eksisi bila memungkinkan

TUBERKULOSIS TULANG

39

MANIFESTASI KLINIS
Tergantung tulang yang terkena (sering pada kaput femur, vertebra, dan sendi lutut)
Vertebra
Abses leher daerah sternokleidomastoid
Abses psoas
Gibbus
Paresis/paralisis (akibat penekanan medula spinalis)
Kaput femur
Nyeri/kaku pada otot otot mengecil, berjalan pincang
Mulai terlihat setelah anak dapat berjalan
Sendi lutut
Nyeri/bengkak pada lutut
DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri leher/bahu
Nyeri/kaku pada punggung
Paresis/paralisis
Nyeri/kaku pada otot otot mengecil, berjalan pincang
Nyeri/bengkak pada lutut
Fisis
Abses leher daerah sternokleidomastoid
Abses psoas
Gibbus
Paresis/paralisis
Tes tuberkulin
Laboratorium
Bilasan lambung
BTA (+)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
Foto daerah lesi (vertebra/femur/lutut AP dan Lateral)
Biopsi

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi piogenik
Keganasan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilasan lambung
Foto toraks
Foto sesuai lesi (AP-Lateral)
TERAPI
Lihat tabel OAT
Operasi (dipertimbangkan walaupun diberikan OAT, bila terdapat penekanan medula
spinaslis, abses paravertebra, dan progresivitas penyakit )
KONSULTASI
Bagian ortopedi

40

PLEURITIS TUBERKULOSIS

MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada pada saat bernafas (pleuritic pain)
Demam tinggi, biasanya menetap dalam 23 minggu
Batuk
Sesak nafas
Takikardia efusi yang masif
DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat nyeri dada saat bernafas
Fisis
Daerah lesi di paru dulness, suara pernafasan /hilang
Bila efusi masif bulging, interkostal melebar
Tes tuberkulin (+)
Laboratorium
Torakosentesis Warna kekuningan/santokrom
Eksudat
Sel 20010.000/mm3 dominan limfosit, pada stadium awal PMN
Protein > 4 g/dl
Glukosa < 30 mg/dl
LDH
Kultur M. tuberculosis
Radiologi
Foto toraks AP tegak/Lateral efusi
Biopsi pleura
DIAGNOSIS BANDING
Tumor
Infeksi lain : Pneumonia, efusi pleura akibat abses hepar ameba
Penyakit jantung
Emboli paru dan infark
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilas lambung
Torakosentesis
Foto toraks
PENYULIT
Penebalan pleura dan fibrosis
Pneumotoraks
Pleuritis kaseosa
Empiema
PROGNOSIS
Tergantung dari ekstensif dan beratnya penyakit dasar
Biasanya diresorpsi komplit (sekuele yang minimal)

41

PERIKARDITIS TUBERKULOSIS

MANIFESTASI KLINIS
Terbagi menjadi 3 kelompok
Perikarditis kering
Nyeri akut di daerah belakang sternum berkurang bila duduk menopang ke depan
Perikardial efusi
Sesak nafas
Demam
Asites
Perikarditis konstriktiva
Sesak nafas
Asites
Edema tungkai
DIAGNOSIS
Anamnesis (manifestasi klinis)
Fisis
Pulsus paradoksikus
Tekanan darah
Tekanan vena jugularis
Bunyi jantung redup
Pericardial friction rub terdengar pada perikarditis kering, menghilang setelah
timbul efusi
Hepatomegali
Asites
Tes tuberkulin (+)
Laboratorium
Pungsi perikardial kultur M. tuberculosis
Radiologi
Efusi perikardial
Perikarditis konstriktiva kalsifikasi
Elektrokardiografi
Gelombang T memanjang
Biopsi perikardium
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Pungsi perikardial
Foto toraks
EKG
Biopsi perikardial

TUBERKULOSIS ABDOMEN

MANIFESTASI KLINIS
Nyeri abdomen (intermiten/kolik)
Distensi abdomen

42

Muntah
Teraba massa di abdomen
Tenesmus
Diare kronik
Konstipasi
Hematokezia
Demam
Anemia
Malaise
DIAGNOSIS
Anamnesis (tidak spesifik dan bervariasi)
Perut membesar
Nyeri perut, dll
Fisis
Teraba massa di abdomen (20%)
Asites (75%)
Limfadenopati
Hepatomegali
Tes tuberkulin
Laboratorium
Darah
Pungsi asites
Santokrom
Sel > 250/ml
Protein > 2,5 g/dl
BTA (+)(5%)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Bilasan lambung
BTA (+)
Kultur M. tuberculosis (+) untuk diagnosis pasti
Biopsi
Granuloma (+)
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
Foto abdomen
USG abdomen (asites, massa intra abdomen)
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit Crohn
Apendisitis akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilasan lambung
Pungsi asites
Foto toraks
Foto abdomen dengan kontras
USG abdomen
TERAPI
Lihat tabel OAT
KONSULTASI
Bagian Bedah abdomen (bila diperlukan)

43

PROGNOSIS
Baik

TUBERKULOSIS GINJAL

MANIFESTASI KLINIS
Disuria
Hematuria
Piuria
Nyeri lokal daerah ginjal
DIAGNOSIS
Anamnesis
Fisis
Tes tuberkulin (+)
Laboratorium,
Urin albuminuria, hematuria, piuria steril
Kultur M. tuberculosis
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Urin
Foto toraks

TUBERKULOSIS KULIT

MANIFESTASI KLINIS
Infeksi primer pada kulit
Kuman masuk melalui kulit yang luka, abrasi ulkus yang dangkal
Kelenjar getah bening (KGB) regional membesar secara perlahan dan lunak
Kulit disekitar area pembesaran KGB nyeri, penebalan kulit, dikelilingi spot
kekuningan, bila infeksi skar dengan tepi iregular
Abses, 2 tipe abses tuberkulosis
Peradangan lunak di bawah kulit ruptur ulkus tepi iregular dengan dasar yang jernih
Injeksi intramuskular
Lesi tunggal besar
Daerah yang terkena (lengan, muka)
Lesi dalam
Lesi mula-mula kecil membesar 2,55 cm, tertutup oleh scaly rough skin
Biasanya tidak sembuh dalam beberapa bl sampai peradangan reda skar tebal
Eritema nodosum
Tipe reaksi hipersensitivitas tuberkulin
Lesi pada kulit sedikit terang pada kulit yang gelap
Lesi kenyal, dusky red, sedikit nodular, diameter 520 mm
Lesi Miliar
Umumnya pada penderita dengan infeksi HIV dan TB

44

Terdapat 3 bentuk
Bintik kecil multipel berwarna tembaga
Papula multipel, pecah pustula
Abses subkutan multipel lengan, tungkai, dinding dada, perianal
Verucous TB
Terjadi pada penderita dengan imunitas terhadap TB yang baik
Lesi kutil
KGB regional tidak membesar
Ulkus pada mulut, hidung dan anus
Terjadi pada penderita TB yang lanjut
Lesi terasa nyeri
Skrofuloderma
Terjadi akibat invasi langsung TB biasanya pada KGB, terkadang tulang atau epididimis
Kulit pecah sinusis skar
Lupus vulgaris
Daerah lesi di kepala, leher atau area yang melewati jembatan hidung dan pada pipi
Tampak nodul seperti jelly
Terkadang timbul ulserasi
Menyebabkan skar yang ekstensif dan destruksi pada muka
Tuberculides
Daerah lesi di belakang kepala
Lesi nyeri, menimbul, warna merah kebiruan dikelilingi kulit yang tebal
DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan pada kulit
Fisis
Tergantung jenis lesi
Tes tuberkulin (+)
Laboratorium
Apus pus pada lesi kuman M. tuberculosis
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Pemeriksaan mikrobiologi
Bilasan lambung
Foto toraks
KONSULTASI
Bagian Kulit-Kelamin

TUBERKULOSIS SALURAN KELAMIN

MANIFESTASI KLINIS
Infeksi primer
Terjadi pada anak yang dilakukan sirkumsisi luka terinfeksi kuman M. tuberculosis
Peradangan pada luka pecah fokus primer
Pembesaran KGB regional di ke-2 sisi
Penyakit akibat penyebaran hematogen
Laki-laki
Sebelum pubertas, epididimis area di atas testis terjadi peradangan, mula-mula keras

45

Lesi menjadi lunak dan keluar melalui kulit


Pada anak yang muda lesi pada satu testis
Pada anak yang tua lesi pada kedua testis, membesar dan menempel pada kulit
Prosesnya lambat, kronik dan relatif tidak nyeri
Perempuan
Terjadi pada uterus, tuba fallopi akibat penyebaran hematogen dari infeksi primer di
paru yang terjadi setelah pubertas, dapat juga pada TB abdomen akibat ruptur KGB
Mesenterial
Nyeri daerah abdomen bagian bawah
Berat badan
Nafsu makan
Distensi abdomen
Amenore
DIAGNOSIS
Anamnesis
Fisis
Testis membesar (laki-laki)
Teraba massa di daerah pelvis (perempuan)
Tes tuberkulin (+)
Laboratorium
Radiologi
Foto toraks lesi di paru
Foto pelvis massa
DIAGNOSIS BANDING
Dibedakan dengan infeksi akut bakterial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes tuberkulin
Bilas lambung
Foto toraks
Foto pelvis
Tabel 36. Dosis Obat Antituberkulosis
Obat

Jangka Pendek (mg/kgBB)


Harian *
Intermiten **

Jangka Panjang
(mg/kgBB)

Isoniazid

1020
(maks. 300 mg)

2040
(maks. 900 mg)

1020
(maks. 300 mg)

Rifampisin

1020
(maks. 600 mg)

1020
(maks. 600 mg)

1520
(maks. 600 mg)

Pirazinamid

1530
(maks. 2 g)

5070

1530
(maks. 2 g)

1525
(maks. 1.500 mg)

50

1525
(maks. 1.500 mg)

2040
(maks. 1 g)

2530

2040
(maks. 1 g)

200
(maks. 12 g)

12

12

Etambutol

Streptomisin

PAS

Prednison

46

(maks. 60 mg)

(maks. 60 mg)

* : Dosis per 24 jam


** : Dua kali seminggu
Jika INH dan Rifampisin diberikan bersamaan dosis perhari INH 10 mg/kgBB dan rifampisin 15
mg/kgBB
(dikutip dari Inselman & Kendig, 1990)

Tabel 37. Kemoterapi Tuberkulosis


Jangka Pendek
Obat
Lama (bl)

Macam dan Tahap Penyakit


Reaksi tes kulit
Tuberkulin (+)

Jangka Panjang
Obat
Lama (bl)
INH

12

69
69
2

INH dan
RIF atau
EMB

12
12
12

INH
RIF
PZA

69
69
2

INH dan
RIF atau
EMB

12
12
12

INH
RIF
PZA

69
69
2

INH dan
RIF atau
EMB

12
12
12

INH

TB paru primer

INH
RIF
PZA

TB paru primer progresif

TB pneumonia

TB endobronkial
69
69
2
1.53

INH
RIF
Prednison

12
12
1,53

TB pleura

INH
RIF
PZA
Prednison

TB paru kronik

INH
RIF
PZA
Prednison

69
69
2
*

INH dan
RIF atau
EMB
Prednison

1218
1218
1218
*

TB milier

INH
RIF
PZA

69
69
2

INH dan
RIF atau
EMB

1218
1218
1218

Meningitis TB

INH
RIF
PZA
SM
Prednison

9
9
2
13
1,53

INH
RIF dan
PZA atau
SM atau
EMB
Prednison

1218
1218
2
13
36
1,53

INH
RIF dan
PZA dan
atau SM
Prednison

12
12
2
13
1,53

INH
RIF dan
PZA
dan/atau
SM
Prednison
INH dan
RIF atau
EMB

1218
12-18
2

INH dan
RIF atau
EMB

1824
1824
1824

TB kelenjar

TB tulang, ginjal, abdomen

INH
RIF
PZA

69
69
2

TB pada neonatus

INH
RIF
PZA

9
9
2

13
1,5-3
1218
1218
1218

47

INH
RIF

12
12

* Sampai cairan diabsorbsi


INH : Isoniazid ; RIF : Rifampisin ; PZA : Pirazinamid ; EMB : Etambutol ; SM : Streptomisin
(dikutip dari Inselman & Kendig, 1990)

Untuk pengobatan jangka pendek 6 atau 9 bl yang diterapkan di Poliklinik Sub-bagian


Pulmonologi RSUP Dr. Hasan Sadikin sbb :
1. INH
INH
setiap hari atau
+
setiap hari selama 2 bl
+
2 x seminggu
RIF
RIF
selama 7 bl
(+ EMB bila diduga ada resisten terhadap INH)
ATAU
2. INH
INH
setiap hari atau
+
setiap hari selama 2 bl
+
2 x seminggu
RIF
RIF
selama 4 bl
+
PZA
(+ EMB bila diduga ada resisten terhadap INH)

Tabel 38. Dosis Obat Antituberkulosis untuk TB Anak


(Konsensus Nasional TB anak Indonesia Th 1999)
Obat
INH
RIF

PZA

Ukuran
100
300
150
300
400
250
500

BB < 10 kg BB 10-20 kg BB 20-30 kg BB 30-40 kg


1/2 tablet
1 tablet
2 tablet
1 tablet
1/2 kaplet
1 kaplet
1 kaplet
1 kaplet
1/2 tablet 1 1/2 tablet
1 tablet
1 1/2 tablet

PENYULIT
Atelektasis
Pneumotoraks spontan
Pleuritis kaseosa
Skoliosis
Empiema
Hidrosefalus
Paraparesis
KONSULTASI
Bagian Mata
Bagian Bedah tulang/Ortopedi (bila diperlukan)
Bagian Bedah saraf (bila diperlukan)

PROGNOSIS
Tergantung umur penderita dan stadium penyakit
< 2 th
mortalitas lebih besar dan insidens sekuele neurologik tinggi
Stadium I kesembuhan 100%; insidens sekuele neurologik rendah
Stadium II mortalitas 15% ; insidens sekuele neurologik 75%

48

Stadium III mortalitas 50% ; insidens sekuele neurologik > 80%


DAFTAR PUSTAKA
Inselman LS, Kendig EL JR. Tuberculosis. Dalam: Chernick V, Kendig EL JR, penyunting.
Disorders of the respiratory tract in children; edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990;
730-69.
Crofton J, Horne N, Miller F. Clinical tuberculosis. Macmillan Education LTD, 1992.
Harries A, Maher D, Uplekar M. TB : A clinical manual for south east asia. WHO, 1997.
Zuger A, Lows FD. Tuberculosis of the central nervous system. Dalam: Scheld WM, Whitley RJ,
Durack DT, penyunting. Infections of the central nervous system. New York: Raven press, Ltd.
1991; 425-56.

49

Anda mungkin juga menyukai