LAPORAN KASUS
GAGAL INTUBASI PADA ABSES SUBLINGUALIS
1.1 Resume
Pasien perempuan usia 48 tahun datang Ke RS Pelabuhan Jakarta tanggal 6
Juni 2016 dengan keluhan terdapat bengkak pada leher semenjak 4 hari SMRS. Menurut
Ibu pasien benjolannya dirasakan terus menerus dan semakin hari semakin bertambah besar.
Benjolan terasa nyeri baik saat ditekan ataupun saat tidak ditekan. Awalnya sebelum timbul
keluhan bengkak pada leher, pasien mengeluhkan sakit pada gigi. Hasil pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami Abses Submentalis dan
Sublingualis. Riwayat alergi, asma, hipertensi, DM disangkal.
Operasi direncanakan dilakukan pada tanggal 25 Mei 2016 dengan
teknik General anestesi, dengan gagal operasi dikarenakan kegagalan intubasi. Sebelumnya
pasien telah mendapat obat secara IV yaitu anesfar 2,5 mg, fentanyl 100 mcg, dan propofol
200 mg, namun akibat pembengkakan abses di daerah submentalis dan sublingualis,
sehingga laring tidak dapat terlihat, sehingga pipa endotrakeal sulit dimasukkan ke ostium
laring. Pasien dibangunkan dan operasi ditunda.
Keadaan sebelum operasi pasien memiliki tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 78 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, suhu 36,70C. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium Hb 12.1 g/dL, Ht 37.2 %, leukosit 14.700/uL, trombosit
318.000/uL, masa perdarahan 1.30 menit, masa pembekuan 13.0 menit, protrombin time
(PT) pasien 11 detik, kontrol 10.4 detik. Status fisik pasien yang dinilai dengan ASA adalah
1.
Nama
No. RM
Jenis kelamin
Usia
Alamat
Agama
Suku
Berat Badan
Tinggi Badan
Tanggal masuk RS
Tanggal Operasi
Dr. Anestesi
Dr. Bedah
: Ny. SK
: 476918
: Perempuan
: 48 tahun
: Kampung Bendungan Melayu No.66
: Islam
: Jawa
: 64 kg
: 162 cm
: 24 Mei 2016
: 25 Mei 2016
: Dr. Rinaldy, Sp.An
: Drg. Indra ,Sp.BM
Jenis Pembedahan
: Insisi drainase
:-
Jenis Anestesi
: General anestesi
Lama Operasi
:-
Lama Anestesi
:-
Kelamin
Premedikasi
Anesfar 2,5mg
Medikasi
Propofol 200 mg
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang
dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas.
Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting
dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit
penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 18%
pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 0,35% pasien tidak
dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan
sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang
sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 10 pasien yang memiliki anatomi
jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam
bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi adalah
menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh yang berarti
akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang
terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang
dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan nafas adalah dengan melakukan tindakan intubasi.
2.2
Cavum Nasalis
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang
dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat
(connective
tissue). Bagian
dipisahkan
menjadi lubang
dalam
hidung
merupakan
suatu
lubang
berfungsi
sebagai
penyaring
yang
hidung
(filter) kasar
terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia
yang
mengandung
sel
menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium
aroma karena di dalam lubang hidung
pada cribriform plate, di dalamnya
Olfactorius). Hidung
berfungsi
bau terletak
sebagai
jalan
napas,
pengatur
udara,
pengatur
(naso-faring),
belakang
faring ).
Naso-faring terdapat pada superior
dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut
sebagai
penting
mulut. Pada
bagian ini
terdapat
tonsil
palatina
(posterior)
dan
tonsili
Laring
terletak
di
anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada di
posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi
napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas:
Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
Glotis; lubang antara pita suara dan laring.
Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang membentuk
jakun.
Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid).
Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid.
Pita
suara;
sebuah
ligamen
yang
dikontrol
oleh
pergerakan
otot yang
daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk
ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri.
Segmen dan
kartilago
jaringan
paru-paru.
Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara
8
yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus sehingga
memungkinkan
terdiri
pertukaran
atas bronkhiolus
O2
dan
CO2 .
respiratorius,
duktus
alveolus,
dan
alveolar
saccus
(kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan
CO2 diantara kapiler pulmoner dan alveoli.
kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher
(insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi
goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar
D. Persiapan Intubasi
Prinsip Intubasi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada
pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan
ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai Sniffing
Position dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut
utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak
horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak
hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke
anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut.
Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena
adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada tindakan intubasi endotrakheal antara lain :
1) Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis
laringoskop yaitu :
11
2) Pipa endotrakheal.
besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah
dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa
dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm
dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm.
Pada anak-anak dengan memperkirakan besarnya jari kelingkingnya.
3) Pipa orofaring atau nasofaring.
13
Tindakan Intubasi
1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop
berada dalam satu garis lurus.
2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
denganpemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
3) Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan
lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
15
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan berbentuk huruf V.
4) Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa
tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk
menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5) Mengontrol letak pipa.
17
18
Preparasi
Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan
beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir sama
dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.
Specialized forcep
19
20
LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas
alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi
sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman.
The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube
dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada
percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan
awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu
mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat
digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway
exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.
21
Praktek
Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit
Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar
posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm.
ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian
scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita
suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian
posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme
dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap
pada karina. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena
dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus
bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.
22
2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga
agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli
pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak
dianjurkan.
3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan air sniffing dengan cara
menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan.
Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga
tangan yang dominan.
4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan
kaf.
5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan
bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.
6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan
terasa bila sudah sampai hipofaring.
7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan
posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah
berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati
posisinya.
8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila
ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.
10. Pasang bite block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan
fiksasi
Intubasi Retrograde
Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi
membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat
dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak
23
perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan
dengan jangka waktu yang tidak lama.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan
antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang
sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran cricothyroid
atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam Larynx,
hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama
kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna
merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut.
Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk
dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan
larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan
jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane).
Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45 odari dada. Setelah
dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea.
Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan
melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada
kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke
lubang kecil perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi
suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi
bantuan.
Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk
kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk
dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang
tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup
sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat
24
menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk
melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap
tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.
Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau
terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas.
Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan
thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal
disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan
kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat
menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada
sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan.
Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus
dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah
dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan
asesori port telah ada.
Trakeostomi
Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah
satu cara agar pasien dapat diventilasi.
BAB III
25
DISKUSI KASUS
Pada kasus, didapatkan pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kiri sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Benjolan dirasakan nyeri baik saat ditekan maupun tidak
ditekan. Sesak (-). Berdebar-debar (-). Perubahan suara (-). BB menurun tanpa sebab yg jelas
(-). Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan Abses di daerah sublingualis dan submentalis,
maka dari itu pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi insisi darinase Abses
Sublingualis et Submentalis.
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat
dokter dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta
dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan
akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas. Beberapa cara umum yang
dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan
fisik. Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini mengevaluasi
apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula dan faring posterior
tampak. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan intubasi.
Sedangkan pada pasien didapatkan malampati score adalah 4.
Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat
memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa
dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga
sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari
laringoskop.
Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Sedangkan pada kasus didapatkan laryngoskop grade IV.
26
27
Sehingga berdasarkan skala Lemon pasien memenuhi kriteria kemungkinan sulit intubasi.
Difficult airway didefinisikan sebagai situasi dimana anaestesiologis terlatih
konvensional mengalami kesulitan saat melakukan intubasi, melakukan ventilasi masker atau
keduanya. Difficult airway merupakan interaksi yang kompleks antara faktor pasien, kondisi
klinis, dan kemampuan dari dokter. Analisa pada interaksi ini membutuhkan pengumpulan
dan pengambilan kesimpulan data yang tepat.
Informasi penting dapat dikumpulkan oleh penilaian pra-operasi hati-hati melalui
riwayat pasien, dan pemeriksaan fisik.
Difucult airway terdiri dari 2 kesulitan yakni difficult intubation dan difficult ventilasi
sehingga ASA mengeluarkan alogaritma yang sudah ditampilkan pada bab teori yang dapat
menjadi panduan praktis apabila terjadi kesulitan intubasi yang terjadi meski masih ada
beberapa pertentangan.
Pada pasien ini intubasi gagal dilakukan setelah percobaan dilakukan beberapa kali,
dikarenakan abses pada daerah sublingualis dan submentalis mengahalangi untuk melihat
epiglottis dan laring sehingga terjadi kesulitan saat memasukkan pipa endotrakea ke ostium
laring. Tindakan operasi pada pasien juga ditunda.
28
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1 Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Pediatric Anesthesia. In : Clinical
anesthesiology .5th ed. NewYork : Mc Graw Hill; 2013.p.877-905.
2 American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of
the Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists
Task
Force
on
Management
of
the
Difficult
Airway.
Anesthesiology
3 Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta
4
29