Anda di halaman 1dari 29

BAB I

LAPORAN KASUS
GAGAL INTUBASI PADA ABSES SUBLINGUALIS

1.1 Resume
Pasien perempuan usia 48 tahun datang Ke RS Pelabuhan Jakarta tanggal 6
Juni 2016 dengan keluhan terdapat bengkak pada leher semenjak 4 hari SMRS. Menurut
Ibu pasien benjolannya dirasakan terus menerus dan semakin hari semakin bertambah besar.
Benjolan terasa nyeri baik saat ditekan ataupun saat tidak ditekan. Awalnya sebelum timbul
keluhan bengkak pada leher, pasien mengeluhkan sakit pada gigi. Hasil pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami Abses Submentalis dan
Sublingualis. Riwayat alergi, asma, hipertensi, DM disangkal.
Operasi direncanakan dilakukan pada tanggal 25 Mei 2016 dengan
teknik General anestesi, dengan gagal operasi dikarenakan kegagalan intubasi. Sebelumnya
pasien telah mendapat obat secara IV yaitu anesfar 2,5 mg, fentanyl 100 mcg, dan propofol
200 mg, namun akibat pembengkakan abses di daerah submentalis dan sublingualis,
sehingga laring tidak dapat terlihat, sehingga pipa endotrakeal sulit dimasukkan ke ostium
laring. Pasien dibangunkan dan operasi ditunda.
Keadaan sebelum operasi pasien memiliki tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 78 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, suhu 36,70C. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium Hb 12.1 g/dL, Ht 37.2 %, leukosit 14.700/uL, trombosit
318.000/uL, masa perdarahan 1.30 menit, masa pembekuan 13.0 menit, protrombin time
(PT) pasien 11 detik, kontrol 10.4 detik. Status fisik pasien yang dinilai dengan ASA adalah
1.

1.2 Identitas pasien


1

Nama
No. RM
Jenis kelamin
Usia
Alamat
Agama
Suku
Berat Badan
Tinggi Badan
Tanggal masuk RS
Tanggal Operasi
Dr. Anestesi
Dr. Bedah

: Ny. SK
: 476918
: Perempuan
: 48 tahun
: Kampung Bendungan Melayu No.66
: Islam
: Jawa
: 64 kg
: 162 cm
: 24 Mei 2016
: 25 Mei 2016
: Dr. Rinaldy, Sp.An
: Drg. Indra ,Sp.BM

Diagnosa Pra Bedah

: Abses sublingualis et submentalis

Jenis Pembedahan

: Insisi drainase

Diagnosa Pasca Bedah

:-

Jenis Anestesi

: General anestesi

Lama Operasi

:-

Lama Anestesi

:-

1.3 Keadaan Pra Bedah


KU
Vital Sign

: tampak sakit sedang, compos mentis


: TD : 120/80 mmHg
RR : 20x/menit
HR : 78x/menit
Suhu : 36,7 0C
Airway/Respirasi
: Airway clear, BND vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-, mallampati 4,
gigi goyang / bolong (+).
Sirkulasi
: akral hangat, CRT<2, konjungtiva anemis -/-,
BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-), riw peny. Jantung (-)
Saraf
: GCS E4V5M6, kesadaran kompos mentis,
pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, kelainan neurologis (-).
GIT
: Mual (-), Muntah (-), BAB tidak ada keluhan, puasa 6 jam
Renal
: BAK tidak ada keluhan , Nyeri ketok CVA -/-, DC (+)
Metabolik
: DM disangkal
Hati
: Riwayat hepatitis disangkal

Kelamin

: Skrotum tampak asimetris, benjolan (+), konsistensi lunak,

nyeri tekan (-) .


Pemeriksaan penunjang terakhir
Laboratorium ( 24 Mei 2016 )
Hb
: 12.1 g/dl
Leukosit
: 14,7 ribu/ul
Hematokrit
: 37,2 %
Trombosit
: 318 ribu/ul
Masa perdarahan
: 3 menit
Masa pembekuan
: 13 Menit
Foto thorax (25 Mei 2016 ): Cor Pulmo dalam batas normal
1.4 Status Fisik : ASA 1
1.5 Medikasi pra bedah :
IVFD : RL (total cairan masuk 100 ml) di dorsum manus sinistra.
Puasa : 6 jam ( dari pukul 04.00 10.00 wib )
Ceftriaxone 1x2gr
Metronidazole 3x500mg
Ketorolac 3x30mg
Ondancentron 2x8mg
1.6 Intraoperatif
Anestesi dengan :
Premedikasi
: Anesfar, fentanyl
Induksi
: Propofol
Maintenance
: O2 8 lpm
Relaksasi dengan
: Teknik Anestesi
: Pasien di induksi, kemudian dilakukan intubasi
Gagal intubasi
Respirasi
: Spontan
Posisi
: Supine
Infus
: RL
Komplikasi selama pembedahan : Keadaan akhir pembedahan: Hipersensivitas/ alergi: (-)
Penggunaan obat-obatan selama operasi :

Premedikasi
Anesfar 2,5mg

Medikasi
Propofol 200 mg
3

Fentanyl 100 mcg


Pemberian : IV
Efek : mengantuk
Pemantauan selama operasi : 1.7 Pemeriksaan Fisik Post Operasi
Operasi batal dilakukan / ditunda
1.8 Anjuran Post Operasi
(-)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang
dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas.
Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting
dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit
penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 18%
pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 0,35% pasien tidak
dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan
sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang
sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 10 pasien yang memiliki anatomi
jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam
bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi adalah
menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh yang berarti
akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang
terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang
dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan nafas adalah dengan melakukan tindakan intubasi.
2.2

Dasar Anatomi dan Fisiologis


A. Anatomi Saluran Nafas Atas
Saluran Pernapasan Bagian Atas (Upper Respiratory Airway) dengan fungsi
utama sebagai berikut:
a. Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yang meneruskan udara menuju saluran
napas bagian bawah untuk pertukaran gas.
b. Protection (perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian bawah agar terhindar
dari masuknya benda asing.

c. Warming, filtrasi, dan humudifikasi yakni sebagai bagian yang menghangatkan,


menyaring, dan memberi kelembaban udara yang diinspirasi.

Cavum Nasalis
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang

rawan (kartilago). Hidung

dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat
(connective

tissue). Bagian

dipisahkan

menjadi lubang

dalam

hidung

merupakan

suatu

lubang

kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga

mengandung rambut (fimbriae ) yang

berfungsi

sebagai

penyaring

yang
hidung

(filter) kasar

terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia
yang

mengandung

sel

goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat

menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium
aroma karena di dalam lubang hidung
pada cribriform plate, di dalamnya
Olfactorius). Hidung

berfungsi

terdapat reseptor. Reseptor

bau terletak

terdapat ujung dari saraf kranial I (Nervous

sebagai

jalan

napas,

pengatur

udara,

pengatur

kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara,


indra pencium, dan resonator suara. 2
Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari dasar
tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan
(kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti pada saat
6

bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu di belakang


hidung

(naso-faring),

belakang

mulut (oro-faring ), dan belakang laring (laringo-

faring ).
Naso-faring terdapat pada superior

di area yang terdapat epitel bersilia (pseudo

stratified ) dan tonsil (adenoid), serta merupakan

muara tube eustachius. Tenggorokan

dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut
sebagai

mata rantai nodus

penting

limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi organisme yang

masuk ke dalam hidung dan tenggorokan.


Oro-faring berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan
dari

mulut. Pada

bagian ini

terdapat

tonsil

palatina

(posterior)

dan

tonsili

lingualis (dasar lidah).


Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epiteliumlined yang
berhubungan dengan faring (di atas) dan

trakhea (di bawah).

Laring

terletak

di

anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada di
posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi
napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas:
Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
Glotis; lubang antara pita suara dan laring.
Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang membentuk
jakun.
Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid).
Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid.
Pita

suara;

sebuah

ligamen

yang

dikontrol

oleh

pergerakan

otot yang

menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.2

B. Anatomi Saluran Pernapasan Bagian Bawah


Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas:
a. Trakhea
Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang vertebre torakal ke-7
yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea
bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago
berbentuk huruf C.
b.

Bronkhus dan Bronkhiolus


Cabang bronkhus kanan lebih

pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertikal

daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk
ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri.
Segmen dan

subsegmen bronkhus bercabang lagi dan

berbentuk seperti ranting

masuk ke paru-paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus,


yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya

kartilago

menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami


kolaps. Agar tidak kolaps alveoli dilengkapi dengan poros/lubang kecil yang terletak
antar alveoli yang berfungsi untu mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak mengalami
pertukaran gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical

Dead Space. Awal dari

proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.


Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari

jaringan

paru-paru.

Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara
8

yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus sehingga
memungkinkan
terdiri

pertukaran

atas bronkhiolus

O2

dan

CO2 .

respiratorius,

Seluruh dari unit alveoli (zona respirasi)

duktus

alveolus,

dan

alveolar

saccus

(kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan
CO2 diantara kapiler pulmoner dan alveoli.

2.3 Intubasi Jalan Nafas Normal


A. Definisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal.
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu
tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing
sebelum laryngoscopy
B. Tujuan
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan dilakukannya intubasi
yaitu sebagai berikut :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,


lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut
C. Indikasi dan kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko
aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan
thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak
anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral,
kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran
napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi
terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan
imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh
karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada
saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan
jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara
membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam
penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii,
khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan
intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya
10

kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher
(insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi
goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar
D. Persiapan Intubasi
Prinsip Intubasi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Jalur intravena yang adekuat


Obatobatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade yang
tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit anestesi
yang berfungsi
Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan darah
noninvasive
Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
Alatalat untuk ventilasi
Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang tepat.

Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada
pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan
ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai Sniffing
Position dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut
utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak
horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak
hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke
anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut.
Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena
adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada tindakan intubasi endotrakheal antara lain :
1) Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis
laringoskop yaitu :

11

Gambar 1 Laryngoscope Macinttosh Blade6


i.

Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

Gambar 2 Laryngoscope Magill Blade6


ii.

Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill)


mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan
anak-anak, karena mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku.
Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

2) Pipa endotrakheal.

Gambar 3 Endotracheal Tube6


Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak
mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher
dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff)
pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan
kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan
mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume
12

besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah
dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa
dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm
dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm.
Pada anak-anak dengan memperkirakan besarnya jari kelingkingnya.
3) Pipa orofaring atau nasofaring.

Gambar 4 Orofaring tube6


Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring
pada pasien yang tidak diintubasi.
4) Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
5) Stilet atau forsep intubasi.

Gambar 5 Stilet Intubasi6


Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat
insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal
nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
6) IV Line.
IV line sangat krusial untuk intubasi terutama untuk memasukkan obat yang digunakan
untuk menunjang intubasi atau untuk mensabilkan pasien.

7) Monitor dan Mesin Gas Anesthesi

13

Gambar 6 Monitor dan Mesin Gas Anesthesi6


Pada intubasi monitor digunakan untuk memeriksa kestabilan pasien saat dilakukannya
intubasi. Sedangkan mesin gas sebagai fasilitator proses oksigenasi sesaat setelah
dilakukannya induksi dan sebelum intubasi.
8) Bantal untuk Intubasi

Gambar 7 Bantal Intubasi dan Pengaplikasiannya6


Bantal ini digunakan untuk memudahkan kita membuat pasien dalam keadaan sniffing
position
9) Alat pengisap atau suction
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong,
gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
14

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula


Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

Tindakan Intubasi
1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop
berada dalam satu garis lurus.
2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
denganpemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
3) Laringoskop.

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan
lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan

15

dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan berbentuk huruf V.
4) Pemasangan pipa endotrakheal.

Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa
tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk
menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5) Mengontrol letak pipa.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan


auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal
akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri,
kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa
lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi
kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadangkadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak m
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
6). Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan
16

2.4 Penanganan Intubasi Jalan Nafas Sulit


Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit
membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan
untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan
semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa
tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:
Algoritma ASA9
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya:
a. Ventilasi sulit.
b. Intubasi sulit.
c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif.
d. Sulit untuk ditrakeostomi.
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas
sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan
penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif.
C. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya

17

18

Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:

Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre


Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.
Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau
Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.
Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi
Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.
Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi termasuk
bekas luka, perubahan akibat radiasi.
Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring
selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki
gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.
Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian
ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak
Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop.
Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan
evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah
merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).
Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi
jalan nafas yang sulit.
Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak
kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi
lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang
mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula
yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit
untuk terlihatnya laring selama intubasi.
Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan
luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas
seperti tumpukan lemak diantara scapula.
Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan
kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada
sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.

Preparasi
Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan
beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir sama
dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.

Specialized forcep
19

Merupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan


retrograde intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan
intubasi fiberoptic.
Airway Exchange Catheter

Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah


karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama
dengan Jet Ventilation untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan
endotracheal tube.
Fiberoptic Laryngoscope

Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes


flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi
dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard
diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk
ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran
besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan
terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube,
Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.
Laryngeal Mask Airway

20

LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas
alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi
sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman.
The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube
dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada
percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan
awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu
mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat
digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway
exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.

Cook Retrograde Intubation Kit

Merupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan


mulai dari jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal
pada trachea.

21

Praktek
Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit

Pemasangan Fiber Optic Intubation

Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar
posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm.
ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian
scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita
suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian
posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme
dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap
pada karina. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena
dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.

Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus
bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.
22

2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga
agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli
pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak
dianjurkan.
3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan air sniffing dengan cara
menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan.
Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga
tangan yang dominan.
4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan
kaf.
5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan
bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.
6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan
terasa bila sudah sampai hipofaring.
7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan
posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah
berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati
posisinya.
8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila
ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.
10. Pasang bite block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan
fiksasi
Intubasi Retrograde

Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi
membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat
dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak
23

perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan
dengan jangka waktu yang tidak lama.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan
antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang
sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran cricothyroid
atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam Larynx,
hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama
kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna
merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut.
Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk
dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan
larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan
jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane).
Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45 odari dada. Setelah
dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea.
Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan
melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada
kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke
lubang kecil perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi
suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi
bantuan.

Ventilasi Transtracheal Jet

Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk
kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk
dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang
tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup
sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat
24

menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk
melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap
tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.
Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau
terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas.
Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan
thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal
disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan
kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat
menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada
sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan.
Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus
dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah
dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan
asesori port telah ada.
Trakeostomi

Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah
satu cara agar pasien dapat diventilasi.

BAB III
25

DISKUSI KASUS
Pada kasus, didapatkan pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kiri sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Benjolan dirasakan nyeri baik saat ditekan maupun tidak
ditekan. Sesak (-). Berdebar-debar (-). Perubahan suara (-). BB menurun tanpa sebab yg jelas
(-). Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan Abses di daerah sublingualis dan submentalis,
maka dari itu pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi insisi darinase Abses
Sublingualis et Submentalis.
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat
dokter dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta
dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan
akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas. Beberapa cara umum yang
dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan
fisik. Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini mengevaluasi
apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula dan faring posterior
tampak. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan intubasi.
Sedangkan pada pasien didapatkan malampati score adalah 4.

Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat
memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa
dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga
sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari
laringoskop.

Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Sedangkan pada kasus didapatkan laryngoskop grade IV.
26

Derajat I : Pita suara terlihat.


Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat sam asekali.
Riwayat Pasien: Pasien tidak ada riwayat dilakukan intubasi sebelumnya.
Pada skala LEMON didapatkan sebagai berikut :

27

Sehingga berdasarkan skala Lemon pasien memenuhi kriteria kemungkinan sulit intubasi.
Difficult airway didefinisikan sebagai situasi dimana anaestesiologis terlatih
konvensional mengalami kesulitan saat melakukan intubasi, melakukan ventilasi masker atau
keduanya. Difficult airway merupakan interaksi yang kompleks antara faktor pasien, kondisi
klinis, dan kemampuan dari dokter. Analisa pada interaksi ini membutuhkan pengumpulan
dan pengambilan kesimpulan data yang tepat.
Informasi penting dapat dikumpulkan oleh penilaian pra-operasi hati-hati melalui
riwayat pasien, dan pemeriksaan fisik.
Difucult airway terdiri dari 2 kesulitan yakni difficult intubation dan difficult ventilasi
sehingga ASA mengeluarkan alogaritma yang sudah ditampilkan pada bab teori yang dapat
menjadi panduan praktis apabila terjadi kesulitan intubasi yang terjadi meski masih ada
beberapa pertentangan.
Pada pasien ini intubasi gagal dilakukan setelah percobaan dilakukan beberapa kali,
dikarenakan abses pada daerah sublingualis dan submentalis mengahalangi untuk melihat
epiglottis dan laring sehingga terjadi kesulitan saat memasukkan pipa endotrakea ke ostium
laring. Tindakan operasi pada pasien juga ditunda.

28

BAB IV
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1 Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Pediatric Anesthesia. In : Clinical
anesthesiology .5th ed. NewYork : Mc Graw Hill; 2013.p.877-905.
2 American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of
the Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists

Task

Force

on

Management

of

the

Difficult

Airway.

Anesthesiology
3 Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta
4

29

Anda mungkin juga menyukai