Anda di halaman 1dari 19

Bagian Ilmu Kedokteran Anestesi

RSUD Undata Palu


Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

REFLEKSI KASUS ANESTESI


“Manajemen Airway Pada Pasien Close Fraktur Radius
1/3 Distal Menggunakan Tehnik General Anestesi
Intubasi Endotrakeal”

Disusun Oleh:
Tirta Kumala Dewi
N 111 18 075

Pembimbing Klinik:
dr. Salsiah Hasan, Sp.An, KIC

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Tirta Kumala Dewi

No. Stambuk : N 111 18 075

Judul Laporan Kasus : MANAJEMEN AIRWAY PADA PASIEN CLOSE

FRAKTUR RADIALIS 1/3 DISTAL MENGGUNAKAN

TEKNIK GENERAL ANESTESI INTUBASI

ENDOTRAKEAL

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako :

Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Desember 2019


Pembimbing Mahasiswa

dr. Salsiah Hasan, Sp.An.,KIC Tirta Kumala Dewi

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa
pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas
menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena
beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa
ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus
diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas
dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam
pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan
komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah
dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang
menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi
pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk.
Teknik dan alat alat anestesi yang dipakai untuk bayi dan anak anak pada
umumnya berbeda dengan alat yang dipakai oleh dewasa. Anatomi dan fisiologi
pada bayi dan anak anak berbeda dengan dewasa juga psikologisnya sangat

3
berbeda. Oleh karena hal tersebut maka pengelolaan dan tehniknya berbeda
dengan dewasa.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. Agus Widodo
Umur : 47 tahun
Alamat : Jl. Darussalam no.20A
Pekerjaan : TNI-AD
Ruangan : Teratai
Tgl Operasi : 20-12-2019
Diagnosa Pra Bedah : Close Fraktur Radius 1/3 Distal Dextra
Tindakan : Pemasangan ORIF
Jenis Anastesi : General Anestesi
Teknik Anastesi : Intubasi

Pre Op
S Anamnesis:
Keluhan utama : Nyeri pada tangan kanan
Riwayat penyakit sekarang : pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri pada tangan kanan akibat jatuh terpeleset dengan posisi badan bertumpu
pada tangan kanan yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Riwayat penyakit dahulu :
1. Diabetes Mellitus (-)
2. Hipertensi (-)
3. Penyakit Jantung (-)
4. Asma (-)
5. Liver (-)
6. Ginjal (-)
7. Alergi Makanan dan Obat (-)
8. Operasi Sebelumnya (-)

5
Riwayat penyakit keluarga :
1. Diabetes Mellitus (-)
2. Hipertensi (-)
3. Penyakit Jantung (-)
4. Asma (-)

O Pemeriksaan Fisik:
B1 (Breath) :
Pergerakan leher bebas, tonsil T1/T1, faring hiperemis (-), gigi palsu (-), skor
mallampati I (pilar faring, fauces uvula, palatum molle, palatum durum masih
terlihat jelas), Pengembangan dada simetris, retraksi dinding dada (-), frekuensi
respirasi 22x/menit, snoring (-), stridor (-), gurgling (-), auskultasi respirasi
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).

B2 (Blood) :
Akral hangat ekstremitas atas (+/+), akral hangat ekstremitas bawah (+/+),
denyut nadi reguler kuat angkat 81x/menit, tenanan darah 130/90 mmHg, bunyi
jantung S1/S2 murni reguler.

B3 (Brain) :
Kesadaran composmentis. GCS 15 (E4V5M6), refleks cahaya (+/+), defisit
neurologis (-).

B4 (Bladder):
Buang air kecil lancar, frekuensi normal, berwarna kuning

B5 (Bowel) :
Keluhan mual (-) muntah (-). Abdomen. Inspeksi tampak datar kesan normal,
Auskultasi peristaltik (+), Perkusi tympani (+), Palpasi nyeri tekan (-), massa (-).

6
B6 (Back & Bone) :
- Deformitas (-)
- Gerakan terbatas (+) pada tangan kanan
- Edema ekstremitas (+) pada pergelangan tangan kanan

Pemeriksaan Laboratorium (21-11-2019)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN

WBC 8,0 L (3,8-10,6) P (3,6-11.0) 103/ µl


RBC 4,96 L (4,4-5,9) P (3,8-5,2) 106/ µl
HGB 14,7 L (13,2-17,3) P (11,7-15,5) g/dL
HCT 46,1 L (40-52) P (35-47) %
PLT 246 (150-440) 103/ µl
Kreatinine 1,58 0,60-1,20 mg/dl
Urea 24,7 18,0-55,0 mg/dl
SGOT 40 8-33 U/L
A Assesment Pre Anastesi:
1. Pasien masuk dalam kategori ASA I
2. Diagnosis pra bedah: Close Fraktur Radius 1/3 Distal Dextra

P : 1. Rencana anastesi : General Anestesi


2. Teknik Anastesi : Intubasi
3. Jenis Pembedahan : Orif
4. Persiapan Anastesi:
a. Ruangan
- surat persetujuan operasi
- surat persetujuan dilakukan tindakan anestesi
- surat persetujuan transfuse darah dan persiapan darah
- puasa 8 jam pre operasi

7
b. Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
- Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
- Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
- Alat-alat resusitasi (STATICS)
- Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natriumbikarbonat dan lain-lainnya.
- Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
- Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh.
- Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
- Kartu catatan medic anestesia.
Tabel Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-


faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

8
Intra OP
Anestesi mulai pada jam 9.30
Dilakukan Premedikasi
a. Pemberian obat sedatif : Midazolam 2 mg
b. Pemberian obat analgesik : Fentanyl 80 mcg
c. Pemberian obat induksi anestesi : Propofol 100mg
d. Oksigenasi : O2 3 Lpm, gas sevofluran
e. Pemberian obat relaksan : atrakurium 25 mg
f. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara lembut
hingga pita suara sudah terlihat
g. Memasukkan pipa ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ETT melewati pita suara dengan kedalaman
pipa ET ± 20 cm , pada pasien ini menggunakan ETT dengan ukuran 7.5
h. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon
dengan udara 4 ml. Waktu intubasi ± 20 detik.
i. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar
bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian
mengecek pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru yang
simetris kiri dan kanan.
j. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di
sebelah kanan mulut pasien.
Operasi dimulai 09.45

9
MONITORING ANESTESI
Sistol Diastol
Jam Pulse Obat Yang Masuk
(mmHg) (mmHg)
131 Midazolam 2 mg, Fentanyl 80 mcg,
09.30 86 78
Propofol 100 mg,
09.35 126 72 86 Sevofluran 2,5 %

09.40 128 82 90 atrakurium 25 mg


09.45 132 80 89
09.50 130 82 90
09.55 129 81 90
10.00 126 80 88
10.05 120 81 76
10.10 128 78 78
10.15 134 87 78
10.20 137 83 75
10.25 130 88 76
10.30 125 84 76
10.35 126 79 80
10.40 115 70 75 Ketorolac 30 mg
10.45 118 73 77
Jam selesai operasi 10.45
TERAPI CAIRAN
BB : 70 kg

EBV : 75 cc/kg BB x 70 kg = 5250 cc

Jumlah perdarahan : ± 100 cc

% perdarahan : 100/5250 x 100% = 1,9%

Cairan yang masuk : 650cc

10
Kebutuhan cairan maintenance
kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:
 Cairan maintenance:
10kg pertama x 4ml/kgbb/jam
10kg kedua x 2ml/kgbb/jam
kg selanjutnya x 1ml/kgbb/jam
(10x4) + (10x2)+(55x1) : 115ml / jam

 Stress operasi
Untuk pengganti cairan sequestra diberikan sesuai derajat operasi.
Pada kasus ini termasuk operasi sedang.
 Operasi kecil : 2-4 ml x kg BB
 Operasi sedang : 4-6 ml x kg BB
 Operasi besar : 6-8 ml x kg BB

5 cc x 75 kg = 375 ml/jam
 Penggantian Puasa
Lama jam puasa (8 jam) x Maintenace (115 ml) = 920 ml
Saat mulai puasa sampai pasien akan diberikan cairan rehidrasi,
pasien mendapatkan cairan Ringer Lactat 950 ml dan ini dianggap
sebagai pengganti puasa.
Kebutuhan cairan menggunakan rumus:
Jam I : M + O  115+ 375 = 490 cc
Jam II : M + O  115 + 375 = 490 cc
Jadi total cairan yang harus diberikan durante operasi jam I dan
jam II, yaitu 980cc. Pada saat durante operasi, jumlah cairan yang
diberikan adalah sejumlah 650 cc, sehingga cairan yang diberikan
masih kurang sekitar 330 cc.

11
Post OP
Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 78 x/menit, pernapasan 20 x/menit, Glasgow
coma scale E4V5M6.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Steward score

Kesadaran: Bangun 2

Pernafasan: Batuk/menangis 2

Aktivitas Motorik: Gerakan tanpa tujuan 2

Skor Steward 6

12
BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi pasien diperiksa terlebih dahulu meliputi :


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan jenis anestesi yang akan dilakukan pada pasien ini,
lalu selanjutnya pasien atau keluarga pasien diberikan informed consent terkait
tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya.
Pasien yang akan mengalami anastesi dan pembedahan dapat
dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik (PS). Status fisik diklasifikasikan
menjadi 6 kelas yaitu:
Kelas I : pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit
yang akan di operasi.
Kelas II : pasien memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain
penyakit yang akan di operasi.
Kelas III : pasien memiliki kelainan sistemik berat selain yang akan di operasi,
tetapi belum mengancam jiwa.
Kelas IV : pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan di operasi.
Kelas V : pasien dalam kondisi yang sangan jelek, dimana tindakan anestesi
mungkin saja menyelamatkan tetapi resiko kematian tetap jauh lebih besar
Kelas VI : pasien yang dinyatakan mati otaknya yang mana organnya masih dapat
diberikan sebagai organ donor.
Untuk operasi darurat, dibelakang angka diberi huruf E (Emergency) atau
D (Darurat). Pada pasien ini termasuk dalam PS ASA kelas I dikarenakan
pasien merupakan pasien bedah dengan diagnosis Close Fraktur Radialis 1/3
Distal Dextra dan tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik lain.
Anastesi yang digunakan pada kasus ini adalah dengan general
anastesi. Sedangkan tekniknya dengan menggunakan intubasi endotrakeal,
Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal

13
tube Ø ukuran 7,5. karena dengan teknik ini saturasi oksigen bisa
ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dan dosis obat anestesi dapat
dikontrol dengan mudah.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi
untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi
anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan
masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek
bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi. Tindakan pembedahan terutama
yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi
endotrakeal maupun nasotrakeal.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
memudahkan pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien untuk
menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang disebut
Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama kali
dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi
menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga mulutnya.

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Gambar.Sistem klasifikasi Mallampati
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan mallampati dan didapatkan
kelas mallampati 1, yang ditandai dengan uvula pasien masih terlihat utuh
juga terlihat palatum molle dan tonsil.

14
Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.
Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,
terutama bila intubasi tersebut gagal.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang
melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama
intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang
menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang
menyebabkan fleksi leher
Pada kasus ini, pasien tidak terdapat kesulitan untuk dilakukan
intubasi yang bisa diakibatkan karena faktor-faktor diatas.
Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan general anestesi dengan teknik
intubasi endotrakeal. Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis
general anestesi dikarenakan lokasi operasi yaitu di pergelangan tangan, sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal. Adapun indikasi dilakukan
general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi
laring akut. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan

15
endotrakeal tube. Posisi Pasien untuk tindakan intubasi adalah leher dalam
keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi.
Pada kasus ini, obat obatan medikasi tambahan yang diberikan adalah
Midazolam 2 mg untuk efek sedatif. Midazolam merupakan golongan
benzodiazepin merupakan agen obat antiansietas yang bekerja dengan cara
berikatan dengan reseptor di beberapa tempat di sistem saraf pusat termasuk
sistem limbik dan formatio retikularis, menghasilkan efek sedasi yang dimediasi
oleh sistem reseptor GABA, meningkatkan permeabilitas membran neuron yaitu
pertukaran ion Cl- sehingga menghambat efek inhibisi GABA. Kemudian pasien
diberikan Fentanil 80 µg intravena digunakan sebagai analgesik opioid. Fentanil
adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk
general anastesi yang memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30
menit setelah dosis tunggal.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol
100 mg I.V Larutan emulsi dengan konsentrasi 1%, metabolism sangat cepat
terutama karena biotransformasi, memiliki efek induksi yang cepat, dengan
distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat
transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek
kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Onset dan
pemulihan cepat seperti halnya pentothal, tetapi tidak ada hangover dan gangguan
psikomotor. Insidens mual dan muntah yang rendah menyebabkan penderita lebih
cepat imobilisasi.
Pemeliharaan atau maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi
inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya
gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang
bisa dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. penggunaan
sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek durasi induksi dan
mempunyai onset durasi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun
lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif

16
stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran bekerja dengan cara menekan
system saraf pusat yang menyebabkan hilangnya kesadaran.

Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni


bisa digunakan golongan non depolarisasi seperti yang diberikan pada pasien ini
yaitu tramus (Atrakurium) 25 mg, non-depolarising agent bekerja antagonis
terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-
plate. Dapat digunakan pada berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi
ventilasi terkendali. Intubasi endotrakeal biasanya sudah dapat dilakukan dalam
90 detik setelah injeksi intravena.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien
dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan
nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus
barulah dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff
nomor 7.5. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan
rumatan atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 +
Sevofluran ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk
mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama
pembedahan.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 100/ 60 mmHG, nadi 78 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi umum dengan
teknik intubasi endotrakeal dengan ETT Ø ukuran 7.5 pada operasi close
fraktur radialis 1/3 distal dextra pada seorang laki-laki, usia 47 tahun, status
fisik ASA I. Indikasi dilakukannya teknik intubasi adalah Untuk patensi
jalan napas, menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin
keutuhan jalan napas.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan
serius.Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2014.


2. Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
3. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan
Anestesi. Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;2010.
4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
5. Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai