Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

RSU ANUTAPURA Maret 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

“Manajemen Anestesi Pada Pasien Vulnus Ictum Abdomen dengan


Teknik General Endotracheal Anestesi (GETA)”

Disusun Oleh:
Dwi Rezky Khairunnisa
15 19 777 14 365

Pembimbing :
dr. Imtihanah Amri, Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dwi Rezky Khairunnisa


No. Stambuk 15 19 777 14 365
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul REFKA : Manajemen Anestesi Pada Pasien Vulnus Ictum Abdomen
dengan Teknik General Endotracheal Anestesi (GETA)

Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Maret 2021


Pembimbing Mahasiswa

dr. Imtihanah Amri, Sp. An Dwi Rezky Khairunnisa, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat,
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1 Anestesi adalah istilah yang di
turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan "esthesia", dan bersama-sama berarti
"hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para ahli saraf memberikan makna pada
istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis bagian tubuh tertentu. Istilah
anestesi dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses
"eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan. Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal
yaitu: anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan
kesadaran (sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat
berjalan dengan lancar.2
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum
dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Masing-masing
anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis
anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut.3,4
Teknik general anestesi dibagi menjadi tiga, diantaranya yaitu general anestesi
intravena, yaitu menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh
darah vena. General anestesi inhalasi yaitu memberikan kombinasi obat anestesi
inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau
mesin anestesi langsung ke udara inspirasi dan general anestesi imbang
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat
anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anastesi umum mungkin tidak selalu
menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien. Suatu keadaan tidak
sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh
akibat pemberian obat anestesia. Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan
anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun
nasotrakeal. 5,6
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan pemberian
anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial. Mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi. 5,6,7
Keuntungan general anestesi yaitu dapat mengontrol penuh ABC, dapat
diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi supine, dapat diberikan secara cepat
dan reversibel serta dapat digunakan untuk pasien yang tidak kooperatif. Adapun
kekurangannya antara lain perlu penyediaan perawatan ekstra, perlu bermacam-
macam mesin dan obat yang harganya mahal serta perlu beberapa tahap persiapan
operasi.6
Vulnus atau luka adalah keadaan hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan. Vulnus ictum adalah luka kecil dengan dasar yang sukar dilihat. Disebabkan
oleh benda yang runcing, jika mengenai abdomen/thorax disebut vulnus panetosum
(luka tembus). Trauma abdomen merupakan penyebab yang cukup signifikan bagi
angka kesakitan dan kematian di Amerika Serikat. Trauma abdomen menempati
peringkat ketiga sebagai penyebab kematian akibat trauma setelah cedera kepala dan
cedera pada dada, di Iran laki-laki dewasa muda usia 20-30 tahun merupakan korban
terbanyak pada trauma abdomen.Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi
menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan
klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen
dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan
dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.Trauma pada abdomen dapat di
bagi menjadi dua jenis yaiutu; trauma tajam (penetrans) dan trauma tumpul (non
penetrans). Adanya luka penetrasi saja sudah menarik perhatian akan besarnya
kemungkinan terjadi trauma pada organ intra abdominal. Trauma panetrasi seperti
(trauma tembak, trauma tusuk).7,8
Lebih dari sepertiga pasien trauma abdomen yang membutuhkan tindakan
operasi segera (emergency laparotomy) pada awalnya mempunyai gejala yang tidak
khas (benign physical examination), sehingga klinisi yang kurang waspada
menganggap bahwa tidak ada trauma abdomen. Laparotomi rutin untuk luka
penetrans abdomen pada mulanya dipopulerkan dinegara-negara dengan kekerasan
fisik yang banyak terdapat sehari-hari seperti di Amerika Utara dan Afrika Selatan.
Sejak tahun 1980 banyak penelitian mengenai efektivitas laparotomi selektif oleh ahli
bedah di Eropa dan Inggris.7,8
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien
Vulnus Ictum Abdomen dengan Menggunakan General Endotracheal Anestesi.
BAB II
LAPORAN KASUS
1) Identitas Pasien

Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 36 tahun
Berat badan : 60 kg
Tinggi Badan : 169 cm 2,8561
IMT : 21,07 (Ideal)
Alamat : Desa Sintuvu
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Vulnus Ictum
Abdomen Jenis Pembedahan : Laparatomi Eksplorasi
Tanggal Operasi : 13/02/2021
Jenis Anestesi : General anestesi
Anestesiologi : dr. Muhammad Rezza, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Mohamad Zulfikar, Sp.B

A. S-O-A-P
1. Subjektif :
 Keluhan Utama : Luka pada perut kanan
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien laki-laki rujukan dari Puskesmas Palolo
dengan keluhan terdapat 2 luka tusuk pada perut kanan setelah ditanduk sapi
±3 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan disertai nyeri pada perut dan
mual (+). Keluhan lain seperti demam (-), pusing (-), sakit kepala (-), batuk(-
), muntah (-). BAB dan BAK lancar.
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hipertensi (-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat merokok (+) pasien merupakan perokok aktif
- Riwayat Kejang (-)
 Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
 Anamnesis tambahan:
Gigi goyang (-), gigi palsu (-), riwayat operasi sebelumnya (-)

2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
 B1 (Breath)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-),
- Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- RR : 20 x/menit.
 B2 (Blood)
- TD :120/70 mmHg
- Nadi : Reguler, kuat angkat, 88 x/menit
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)
 B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex
cahaya (+/+)
- Telinga : Discharge (-)
- Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
- Mulut : Sianosis (-) bibir kering (-), pembesaran tonsil (-),
skor Mallampati II.
- Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
 B4 (Bladder)
- BAK lancar, warna kuning
 B5 (Bowel)
- Inspeksi : Datar, terdapat luka robek pada regio
hipocondrium dan lumbal dextra
- Auskultasi : Peristaltik (+) normal
- Perkusi : Bunyi timpani, Asites : (-)
- Palpasi : Nyeri tekan(+) regio hipocondrium dan lumbal
dextra, Massa (-)
- BAB : Biasa
 B6 (Back & Bone)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), pergerakan : bebas

 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 13/02/2021
Hasil Rujukan
Hemoglobin 14,3 11,7-15,5 g/dl
Leukosit 8,15 3,6-11,0 x 103/ul
Eritrosit 5,02 3,8-5,2 x 106/ul
Hematokrit 41,8 35-47%
Trombosit 226.000 150-440 x 103/ul
Waktu
6’ 4-10 m.det
pembekuan
Waktu
3’ 1-5 m.det
perdarahan

Range
Parameter Hasil Satuan
Normal
Kimia Darah

Glucose 92 70-100 mg/dl

AST/GOT 37,5↑ 8-35 U/L


ALT/GPT 10,7 4-45 U/L

Parameter Hasil Rujukan


Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif
HCV Negatif Negatif
SARS CoV-2 Antigen Non reaktif Non reaktif

 Foto BNO 3 Posisi (12/02/2021):


Kesan : Meteorismus
Emfisema subcutis region abdominal wall lateral dextra
 Foto thorax PA (12/02/2021):
Kesan: Tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax ini

2) Tindakan : Laparatomi Eksplorasi


3) Assesment
 Status fisik ASA II
 Acc. Anestesi
 Diagnosis pra-bedah : Vulnus Ictum Abdomen
4) Plan
- Jenis anestesi : Anestesi Umum
- Teknik anestesi : Anestesi Inhalasi
- Jenis pembedahan : Laparatomi Eksplorasi

A. Persiapan pasien preoperatif diruangan :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan 6 jam pre-operasi
c. IVFD RL 20 tpm dengan menggunakan abocath no. 18G + Transfusi set
d. Siapkan PRC 1 kantong (250cc)

B. Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi ulang status present pasien : tekanan darah, nadi, dan SPO2

Penilaian kesulitan Ventilasi


Definisi standar dari kesulitan ventilasi yaitu didefinisikan sebagai situasi klinis di
mana ahli anestesi yang terlatih secara konvensional mengalami kesulitan dengan
ventilasi sungkup muka jalan napas bagian atas, kesulitan dengan intubasi trakea, atau
keduanya. Dua faktor positif (+) risiko tinggi difficult mask ventilation (DMV)
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous
Pada pasien ini tidak didapatkan faktor risiko sehingga tidak termasuk dalam
risiko tinggi difficult mask ventilation (DMV)

Penilaian kesulitan Intubasi Metode (LEMON)


Penilaian secara eksternal (Look)
 Trauma facial
 Jarak incisor gigi jauh (atas-bawah)
 Adanya kumis atau janggut
 Lidah besar
(Skor 1 tiap masing masing poin faktor)
Pada pasien tidak didapatkan salah satu faktor diatas, skor 0

Pengukuran pembukaan mulut (Evaluate 3-3-2 Rule)


3 - Jari membuka mulut
3 - Jari jarak hipomental.
2 - Jari antara the thyroid dan mandibula

(Skor 1 tiap masing masing poin faktor)


Pada pasien dapat dilakukan ketiga langkah (skor 0)

Skor Mallampati :
 Class I = Visualisasi soft palate, fauces, uvula, pilar anterior dan posterior.
 Class II = Visualisasi soft palate, fauces and uvula
 Class III = Visualisasi soft palate dan base of the uvula
 Class IV = Semua soft palate tidak terlihat
Class I-II skor 0
Class III- IV skor 1

(Pada pasien ini termasuk dalam Class, I Skor 0)


Obstruksi
 Epiglotitis
 Abses peritonsillar
 Obstruksi akibat trauma
(Skor 1 apabila didapatkan minimal salah satu diatas)
Pada pasien tidak didapatkan salah satu faktor di atas, skor 0

Pergerakan Leher (Neck Movement)


Sudut diantara tegak dan memanjang pada ektensi leher "normal" adalah 35
derajat. Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid
arthritis, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan
ekstensi servikal. (jumlah skor apabila terdapat keterbatasan=1)
Pada pasien tidak didapatkan keterbatasan pergerakan leher (skor 0)
Skor penilaian kesulitan intubasi untuk masing-masing prediktor kemudian
dijumlahkan untuk memberikan skor 'L-E-M-O-N' dengan skor maksimum
yang mungkin adalah 10 dan skor minimum nol. Pada pasien ini didapatkan
skor 0
C. Prosedur General Anestesi :
a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan RL
20 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen dan
laju respirasi.
c. Diberikan obat premedikasi yaitu: Midazolam 2 mg, Fentanyl 100 µg /iv,
Ondansentron 4 mg, Dexamethasone 10 mg.
d. Diberikan obat induksi yaitu Propofol 100 mg /iv dan induksi inhalasi
sevoflurance 3 vol/%
e. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
f. Memberikan oksigenasi kepada pasien melalui masker yang melekat pada wajah
dengan aliran 5 lpm selama 3-5 menit.
g. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg /iv tunggu 3-5 menit.
h. Melakukan intubasi. Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis,
dorong blade sampai pangkal epiglottis.
i. Kemudian dimasukan endotrakeal tube no.7,5 dari sebelah kanan mulut ke
faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara suara ± 1
– 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 cm.
j. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5–
10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
k. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi, pertama pada pada lambung, kemudaian pada paru
kanan dan dan kiri kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila
terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti
berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi
setelah melakukan hiperventilasi ulang selama selama 30 detik. Berkurangnya
bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke
dalam bronkus utama kanan dan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa
ET.
l. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, mengembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
m. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
n. Maintenance : O2 5L/menit via ETT, sevoflurane 3 vol%
o. Selang 15 menit diberikan Propofol 50 mg/IV, kemudian menit ke 40 diberikan
fentanyl 50 µg/IV, dan menit ke 60 diberikan lidocaine 20 mg.
p. Sesaat setelah operasi selesai, diberikan ketorolac 30mg/iv dan gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien.
q. Dilakukan ekstubasi
r. Hemodinamik stabil, nafas spontan adekuat. Operasi selesai pasien dalam
keadaan sadar
s. Pasien di transfer recovery room

D. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Vulnus Ictum Abdomen
b) Diagnosis post-bedah : Vulnus Ictum Abdomen Panetrans
c) Jenis pembedahan : Laparatomi Eksplorasi
d) Anestesiologi : dr.Muhammad Rezza, Sp.An
e) Ahli Bedah : dr.Mohamad Zulfikar, Sp.B
f) Persiapan anestesi : Informed consent
g) Jenis anestesi : Anestesi umum
h) Teknik anestesi : General Endotracheal Anestesi (GETA)
i) Premedikasi anestesi : Midazolam 2 mg, Fentanyl 100 µg /iv,
Ondansentron 4 mg, Dexamethasone 10 mg
j) Induksi : Propofol 100 mg
k) Intubasi : ETT No 7,5 auskultasi bunyi nafas kanan= kiri,
kembangkan cuff dan fiksasi
l) Medikasi Tambahan : Atracurium 25 mg, Lidocaine 20 mg, Ketorolac 30
mg
m) Maintenance : O2 5 lpm, sevoflurane 3 vol%, fentanyl 50 µg
n) Posisi : Supinasi
o) Anestesi mulai : 14.05 WITA
p) Operasi mulai : 14.20 WITA
q) Selesai operasi : 15.35 WITA
r) Selesai Anestesi : 15.50 WITA
s) Lama Operasi : 1 jam 15 menit
t) Lama anastesi : 1 jam 45 menit
u) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer Lactat 500 ml
v) Perdarahan : ± 50 cc
w) Urine : 50cc

Tabel 2. Komponen STATICS


Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Tabel 3. Pemantauan Tanda-Tanda Vital selama Operasi


Pukul Tekanan Nadi Saturasi Terapi
(WITA) Darah (kali/menit) Oksigen
(mmHg) (SpO2)
14.00 116/65 79 99% Premedikasi:
Midazolam 2 mg
Fentanyl 100 µg
Ondansentron 4 mg
Dexamethasone 10
mg
14.05 120/70 81 99% General Anastesi
Sevofloran 3 vol /%
Propofol 100 mg,

14.10 125/82 76 99% Atracurium 25 mg


14.15 110/80 87 99%
14.20 105/78 85 100% Operasi dimulai
14.25 119/90 92 100% Propofol 50 mg

14.30 121/79 92 100%

14.35 129/90 82 100%

14.40 140/89 99 100% Fentanyl 50 µg

14.45 127/85 80 100%

14.50 120/87 85 100%

14.55 126/80 83 100%

15.00 130/84 79 100%

15.05 151/92 82 100% Lidocain 20 mg

15.10 133/90 77 100%

15.15 130/81 84 100%

15.20 119/78 79 100%

15.25 120/89 81 100% Ketorolac 30 mg

15.30 110/77 79 100%

15.35 122/79 82 100%


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre  BB: 60 Kg Input:
Operasi  Kebutuhan cairan per jam: RL 500 cc
= 30cc x 60 kg
= 1.800 ml /24 jam
= 75 ml/jam
 Kebutuhan cairan sehari :
= Kebutuhan cairan per jam x 24
= 75 ml x 24
= 1.800 ml
Kebutuhan cairan puasa 8 jam :
75 ml x 8 = 600 ml
Durante Estimasi Blood Volume Input:
Operasi EBV = BB x 65 ml/kg BB - RL: 500 cc
= 60 kg x 65 ml/kg
= 3900 ml
Jumlah perdarahan selama operasi : ± 50 cc x 3=
150 cc Output:
-Perdarahan:
(untuk mengganti kehilangan darah 50 cc diperlukan
± 50 cc
150 cc cairan kristaloid )
-Urine: 50cc
%Perdarahan = Jumlah perdarahan : EBV x 100%
= 50 cc : 3900 x 100%
= 1,28%
Stress Operasi sedang = 6 ml/kgBB/jam x BB (kg)
= 6 ml/kgBB/jam x 60 kg
= 360 ml/jam
Perhitu  Total cairan Masuk (input)
ngan = Preoperatif + Durante Operatif
Cairan = 500 + 500 ml = 1.000 ml
 Total Kebutuhan Cairan selama operasi
= stress operasi + defisit darah selama operasi
= 360 ml + 50 ml
= 410 ml
 Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – (Kebutuhan Cairan selama
operasi+Puasa)
= 1000 ml – (410 + 600 ml)
= -10 ml
Post  Maintenance:
Operasi BB : 60 kg
 Kebutuhan cairan per jam:
= 30 ml x 60 kg
= 1800 ml / 24 jam
= 75 ml / jam

E. Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 122/79 mmHg. nadi:
82x/menit, respirasi: 20x/menit

F. Skor pemulihan pasca anestesi (Aldrette Score):


NO Kriteria Skor Pasien
Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 2
Motorik ekstremitas atas perintah atau
secara sadar. 2
 Mampu menggerakkan 2 1
ekstremitas atas perintah atau
secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan 0
ekstremitas atas perintah atau
secara sadar.
Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang 1 2
adekuat/distress/hipoventilasi
 Apneu/tidak bernafas 0
Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% 2
dari semula 1 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50%
dari semula 0
 Tekanan darah berbeda >50%
dari semula
Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1 2
 Tidak ada respon atau belum 0
sadar
Warna Kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1 2
 Sianosis 0
Total skor Alderette pada pasien ini adalah 10. Aldrette score ≥ 8, tanpa nilai
0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien laki-laki usia 36 tahun dengan diagnosis Vulnus Ictum
Abdomen dilakukan operasi dengan metode Laparatomi Eksplorasi. Tindakan yang
digunakan pada operasi ini yaitu, anestesi endotrakeal umum atau general
endotraceal anesthesia (GETA). Pemilihan endotraceal anesthesia (GETA),
dilakukan dengan alasan tindakan operasi tersebut dilakukan di region abdomen,
termasuk operasi mayor.
Evaluasi pra anestesi dilakukan sebelum operasi yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya, konsultasi
dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital untuk menentukan status fisik ASA
serta ditentukan rencana jenis anastesi yang dilakukan, yaitu general anestesi.
American Society of Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi status fisik pra
anastesi menjadi 5 kelas yaitu:
 ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
 ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
 ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
 ASA 4 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupan
 ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang tidak mungkin di tolong lagi di operasiataupun tidak selama 24 jam pasien
akan meninggal.
Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status pasien
pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) pada pasien dikategorikan
sebagai pasien ASA II karena sesuai dengan teori mengatakan bahwa pasien penyakit
bedah disertai penyakit sistemik ringan yang disebabkan oleh berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam jiwa. Pada pasien ini berdasarkan dari pemeriksaan
penunjang didapatkan peningkatan SGOT.
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada kasus ini
diputuskan untuk melakukan general anestesi dengan teknik intubasi endotrakeal.
Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi
dikarenakan yang membutuhkan waktu lama dan efek anastesia pada daerah yang
bisa dijangkau dengan pemberian anestesi general / umum. Adapun indikasi
dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi
lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk) dan
pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi laring akut. Teknik
anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakeal tube. Posisi pasien
untuk tindakan intubasi adalah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi.
Pada persiapaan perioperatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi yang
bertujuan untuk mengurangi asam lambung tanpa menyebabkan rasa haus. Pada
pasien ini dipuasakan 8 jam sebelum operasi.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu. Pada
pasien ini diberikan Midazolam 2 mg (golongan benzodiazepine), Fentanyl 100 µg/iv
(golongan opioid). Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Obat yang paling sering
diresepkan untuk meredakan cemas adalah benzodiazepine. Obat-obat ini diabsorbsi
dengan baik oleh saluran gastrointestinal, Menghasilkan suatu derajat ansiolisis,
sedasi dan amnesia. Obat analgesia yang paling sering digunakan adalah morfin dan
Fentanyl. Fentanyl dipilih karena memiliki efek analgetik 100 kali lebih kuat
dibanding morfin dan maksimum kerja 5 menit Setelah pemberian intravena dan
lama kerja 30 - 60 menit. Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi. Opioid dosis tinggi yang diberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan laryng, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut. Opioid memiliki kisaran efek
samping yang tidak diinginkan termasuk mual dan muntah. Injeksi ondansentron 4
mg yang bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron
bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan
cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu Propofol 100 mg
I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan
distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat
transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek
kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
Pemberian Injeksi atracurium 25 mg sebagai pelemas otot untuk mempermudah
pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi
yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya mulai
kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium
dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-
lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan
trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa
endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 7.0. Pemasangan
ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 3 vol% secara inhalasi, penggunaan sevofluran disini dipilih
karena sevofluran merupakan halogenisasi eter mempunyai efek durasi induksi dan
mempunyai onset durasi lebih cepat dibanding dengan isofluran, dan baunya pun
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi. Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang
menyebabkan aritmia.
Aliran oksigen sekitar 5 lpm sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
menjelang operasi hampir selesai. Kemudian dilakukan ekstubasi endotrakeal secara
cepat dan pasien dalam keadaan sadar untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut.
Penambahan obat medikasi tambahan adalah Sebagai analgetik digunakan
Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat puasa, sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, dan mengganti
perdarahan yang terjadi. Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan
pasien, BB pasien 60 Kg yaitu sehingga kebutuhan cairan maintenance pasien adalah
(M): 30ml/kgBB/24jam x 60 = 1800 ml/24jam atau 75 ml/jam. Sebelum dilakukan
operasi pasien dipuasakan selama 8 jam, namun pasien telah diberikan cairan
kristaloid RL sebanyak 500 ml sebelum operasi. Tujuan puasa untuk mencegah
terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya
tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anestesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis Laparatomi Eksplorasi, dimana
operasi ini merupakan operasi yang sedang, sehingga diperoleh total cairan pengganti
operasi = 6 ml x 60 Kg = 360 ml/jam. Pada saat operasi jumlah cairan yang
dibutuhkan sebagai pengganti puasa dan yang dibutuhkan selama operasi yaitu 600
ml. Namun pada saat pembedahan cairan yang masuk pada pasien hanya sejumlah
500 ml, sehinggah cairan yang dibutuhkan pasien masih kurang 10 ml. Namun cairan
ini bisa terpenuhi pada saat pasien masuk ke ruang perawatan.
Pasien telah kehilangan darah ± 50 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang
lebih dari 20% EBV harus dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak diberikan
pemberian penggantian cairan dengan darah karena perkiraan perdarahan sekitar 50
cc, dimana EBVnya adalah 691 ml jumlah perdarahan (%EBV) adalah 1,28%
sehingga tidak diperlukan transfusi darah. Dan dapat di ganti dengan cairan kristaloid.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 122/ 79 mmHg, nadi 82 x/menit, dan laju respirasi
20 x/menit. Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama
anestesi 14.05 – 15.50, lama operasi 14.20 – 15.35. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room), selanjutnya dilakukan monitoring sampai
keadaaan pasien stabil dan dilakukan penilaian Aldrette score sebelum pasien
dipindahkan ke ruangan. Aldrette score ≥8 pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
Pada pasien ini aldrette score sebelum dipindahkan keruang perawatan yaitu 10,
maka dapat dipindah ke ruangan.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi Laparatomi Eksplorasi pada pasien
laki-laki berusia 36 tahun. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
maka status fisik pasien yaitu PS. ASA II pasien penyakit bedah tanpa disertai
penyakit sistemik ringan yang disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam jiwa.
2. Pada pasien dilakukan General Endotrakeal Anestesi (GETA). Pemilihan
anestesi umum, dikarenakan waktu pemulihan lebih cepat dan lebih nyaman,
tingkat analgesia memuaskan dimana menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral, serta pasien membutuhkan waktu lama dalam durante operasi.
3. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan dipantau
tanda-tanda vitalnya serta penilaian skor pemulihan anestesi pada pasien ini
dengan Aldrette score dengan hasil 10 sehingga pasien dapat dipindahkan
ruangan perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, A. Said dkk. 2001.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Supardi Sabroto. Ortopedi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, 2009. Jakarta.
Penerbit: Bagian Ilmu Bedah Universitas Indonesia.
3. Jennifer H, Luke B. Patient positioning during anesthesia. General Anesthesia.
2015;1-6
4. Girindro AS, Suwarman, Rudi KK. Perbandingan antara uji mallampati
modifikasi dan mallampati ekstensi sebagai prediktor kesulitan intubasi
endotrakeal di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi Perioperatif.
2017;5(3):164
5. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Persiapan anestesi dan premidaksi.
Makassar : FK UNHAS ; 2010
6. Mangku, Gde dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks
Jakarta : Jakarta
7. Umboh, I. 2016. Hubungan penatalaksanaan operatif trauma abdomen dan
kejadian laparotomi negatif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
8. Susanah, N. 2015. Vulnus Ictum. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai