Anda di halaman 1dari 9

EVALUASI ASPEK SOSIAL TERHADAP KEGIATAN

PENANGKAPAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus) DAN


PENGEMBANGANNYA DI SEKITAR PERAIRAN SINJAI
TELUK BONE
Erika Lukman
Staf Pengajar FAPERIK UNIDAR-Ambon, e-mail: -

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kegiatan penangkapan ikan
Kakap (Lutjanus) di sekitar perairan Sinjai Teluk Bone dan kemungkinan
pengembangannya. Pengambilan sampel diambil secara keseluruhan dengan
jumlah responden sebanyak 30 nelayan yang menangkap ikan kakap dengan tiga
jenis alat tangkap yang digunakan yaitu pancing tangan, jaring insang tetap, dan
bubu. Analisis untuk aspek sosial menggunakan analisis kualitatif dan
kuantitatif yang didasarkan pada kriteria-kriteria sosial dengan menggunakan
pendapat responden. Berdasarkan hasil penelitian jaring insang dapat diterima
secara sosial. Berdasarkan tinjauan dari aspek sosial, alat tangkap terbaik untuk
dikembangkan di perairan Sinjai Teluk Bone untuk penangkapan ikan kakap
adalah alat tangkap jaring insang tetap.
Kata Kunci: Ikan Kakap, Alat Tangkap, Aspek Sosial
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Sinjai adalah salah satu
kabupaten atau kota dalam wilayah propinsi
Sulawesi Selatan terletak di pantai Timur
bagian Selatan Jazirah Sulawesi Selatan,
berjarak lebih kurang 223 KM dari kota
Makassar (Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan).
Secara geografis Kabupaten Sinjai terletak
antara 501930 sampai 503647 Lintang Selatan
dan antara 11904830 sampai 1200200 Bujur
Timur. Produksi ikan di Kabupaten Sinjai
merupakan salah satu sumber produksi sub
sektor perikanan yang cukup menjanjikan. Hal
ini disebabkan karena daerah ini merupakan
salah satu daerah penghasil ikan yang cukup
besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain
di Sulawesi Selatan.
Salah satu jenis ikan yang banyak
dieksploitasi nelayan Sinjai adalah ikan kakap
yang fishing groundnya di perairan Sinjai Teluk
Bone. Ada beberapa jenis alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan di desa Sanjai
kecamatan Sinjai Timur yaitu Pancing Ulur

(Hand Line), Bubu Dasar (Bottom Trap) dan


Jaring insang (Gill Net).
Pemanfaatan sumberdaya ikan Kakap
secara optimal dan lestari memerlukan suatu
pengelolaan yang baik. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan
evaluasi
kegiatan
penangkapan
yang
dilakukan di perairan Sinjai Teluk Bone. Dari
aspek sosial dapat diterima oleh masyarakat
sehingga prospek pengembangan alat tangkap
tersebut bisa memberikan hasil optimal dalam
penangkapan ikan kakap di Desa Sanjai
Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengevaluasi aspek sosial dari kegiatan
penangkapan ikan kakap merah di perairan
Sinjai Teluk Bone.
I.

METODE PENELITIAN
Data
yang
dikumpulkan
dalam
penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

observasi langsung di lokasi penelitian dengan


mengadakan wawancara terhadap responden
dengan berpedoman pada daftar pertanyaan
yang telah disusun untuk keperluan penelitian.
Penelitian ini mengambil sampel pada
nelayan di desa Sanjai Sinjai Timur yang
melakukan penangkapan di sekitar perairan
Sinjai teluk Bone. Kegiatan penangkapan
dengan menggunakan alat pancing tangan
(Hand line), Bubu Dasar, dan Jaring Insang (Gill
net). Teknik pengambilan sampel diambil
secara keseluruhan jumlah nelayan yang
menangkap ikan kakap sebanyak 30 responden
di desa Sanjai Pasar Takalala Kecamatan Sinjai
Timur.
Data yang dikumpulkan untuk analisis
aspek sosial antara lain :
a. Penerimaan masyarakat nelayan terhadap
suatu jenis alat
tangkap (Tingkat
Pendidikan dan Ketrampil an nelayan).
b. Penyerapan
tenaga
kerja
per
unit
penangkapan dari masing-masing alat
tangkap.
c. Kemampuan nelayan menjangkau investasi
unit penangkapan.
d. Tidak menimbulkan konflik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinjauan dari aspek sosial difokuskan
pada penerimaan suatu jenis alat tangkap oleh
masyarakat nelayan setempat, daya serap
tenaga kerja dari setiap unit alat tangkap, dan
besarnya pendapatan nelayan per unit alat
tangkap.
3.1. Penerimaan Masyarakat Nelayan Terhadap
Jenis Alat Tangkap
Berdasarkan data responden dengan tiga
pilihan jawaban yang diberi skor 1-3-5
menunjukan bahwa jaring insang tetap
memiliki nilai tertinggi 337,5, disusul pancing
tangan dengan nilai 333,34, dan yang terakhir
bubu
dengan
nilai
300.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa alat yang paling
diminati masyarakat nelayan adalah jaring
insang tetap terbukti dengan jumlah responden
terbanyak
yaitu
16
orang
(53,33%)
menggunakan alat tangkap jaring insang, dan
alat ini dapat memberikan hasil yang cukup
baik dan dapat mempererat rasa kekeluargaan
antar sesama masyarakat nelayan.

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

Alat tangkap yang memiliki nilai


terendah 300 yaitu bubu kurang diminati
masyarakat karena selain hasil produksi yang
terbilang rendah dan kurang menjanjikan
dengan jumlah biaya produksi yang relatif
seimbang dengan alat tangkap lainnya.
3.2. Jumlah Tenaga Kerja dan Pendapatan
Nelayan per Unit Alat Tangkap
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang
diserap jaring insang menempati urutan
pertama dengan jumlah tenaga kerja 2 orang
per unit penangkapan. Tenaga kerja ini
diperlukan untuk menarik jaring biasanya
terdiri dari pemilik kapal dan seorang ABK.
Sedangkan alat tangkap lainnya yaitu pancing
tangan dan bubu hanya membutuhkan satu
orang tenaga kerja, tapi ada juga beberapa
kapal yang beroperasi dengan alat tangkap
pancing yang mempunyai ABK satu sampai
dua orang. Nelayan-nelayan ini memiliki usaha
skala kecil tapi mempunyai kemampuan teknis,
kesadaran pelestarian lingkungan yang tinggi
dan manajerial yang baik sehingga sangat
potensial untuk dibina.
Salah satu indikator sosial lainnya adalah
pendapatan nelayan dalam menentukan pilihan
terhadap suatu usaha perikanan. Pendapatan
yang dimaksud disini adalah pendapatan
bersih. Hasil perhitungan rata-rata pendapatan
bersih nelayan per bulan menunjukan bahwa
jaring insang memberikan hasil terbesar yaitu
Rp. 1.200.000,00, kemudian diikuti oleh pancing
tangan Rp. 610.842,00, dan yang terakhir alat
tangkap bubu memiliki pendapatan terkecil
yaitu Rp. 193.300,00 per bulan (Gambar 1.)
3.3. Kemampuan Nelayan berinvestasi
Alat tangkap pancing tangan memiliki
nilai tertinggi 216,67 yang mempunyai
kemampuan nelayan untuk berinvestasi,
diikuti oleh jaring insang dengan nilai 150, dan
yang paling rendah adalah bubu dengan nilai
100, investasi alat tangkap ini sangat rendah
mengingat biaya investasi yang dibutuhkan
untuk mengusahakan dan biaya produksi alat
tangkap bubu cukup tinggi.
3.4. Tidak Menimbulkan Konflik
Berdasarkan
wawancara
langsung
dengan nelayan di desa Sanjai dalam sistem
54

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

sosial tidak pernah terjadi konflik yang berarti


antar nelayan pancing tangan, jaring insang,
dan bubu. Hal ini disebabkan karena
masyarakat nelayan memiliki hubungan
kekerabatan yang kuat dan erat, yang
umumnya terikat melalui perkawinan ke dalam
(perkawinan antar keluarga). Sehingga dalam
operasi penangkapan ketiga alat tangkap
tersebut dan kehidupan sehari-haripun tidak
pernah terjadi konflik yang besar, tetapi ada
kemungkinan konflik yang timbul dengan alat
tangkap lain misalnya yang menggunakan bom
untuk menangkap ikan karena dianggap
merusak habitat karang dan mengurangi hasil
tangkapan nelayan setempat.
3.5. Standarisasi Nilai Kriteria Aspek Sosial
(Lihat Tabel 1)
3.6. Prioritas Pengembangan Alat Tangkap
Hasil standarisasi nilai keseluruhan
kriteria aspek sosial dapat dilihat pada Tabel 1,
hasil tersebut menempatkan jaring insang
sebagai urutan prioritas pengembang-an
pertama, disusul pancing tangan, dan bubu.
Dengan demikian berdasarkan aspek sosial
jaring insang lebih tepat untuk dikembangkan
di perairan Sinjai Teluk Bone.
Dengan demikian terlihat bahwa alat
tangkap jaring insang memiliki urutan prioritas
pengembangan pertama, keduanya adalah
pancing tangan, sedangkan bubu tidak
menguntungkan untuk dikembangkan. Alat
tangkap jaring insang ditinjau dari aspek sosial
jauh lebih unggul karena dalam pengoperasian
alat membutuhkan ABK lebih dari satu orang,
sehingga
dapat
mengurangi
angka
pengangguran di desa tersebut. Memiliki
respon nelayan terhadap alat tangkap tertinggi
dibanding kedua alat tangkap lainnya,
pendapatan nelayan per unit alat tangkap per
bulan yang juga lebih tinggi dibanding kedua
alat tangkap yang ada.
Pengembangan yang bisa dilakukan
untuk kedua alat tangkap tersebut yaitu jaring
insang adalah :

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

a. Mekanisasi yang diperlukan pada saat


setting dan hauling, yaitu dengan
pemanfaat net hauler untuk meringankan
kerja nelayan sehingga lebih cepat dan
mudah bagi nelayan pada waktu penarikan
jaring yang berimplikasi juga pada ukuran
kapal.
b. Jika memungkinkan kapal yang digunakan
dilengkapi dengan alat pendeteksi ikan
atau fish finder.
c. Daerah penangkapan yang dipilih oleh
nelayan
hanya
didasarkan
pada
pengalaman
dan
sistem
coba-coba,
sehingga tidak jarang alat tangkap yang
telah beberapa jam lamanya dioperasikan
ternyata tidak menghasilkan ikan seekor
pun. Hal ini perlu dibantu dengan
meningkatkan
ketrampilan
dan
pengetahuan
nelayan,
khususnya
mengenai tingkah laku ikan, musim yang
ada di perairan Sinjai.
d. Tenaga kerja pada satu kapal yang
menggunakan alat tangkap jaring insang
haruslah lebih dari dua sehingga luasan
jaring yang digunakan bisa lebih maksimal
sehingga hasil produksi per trip juga
semakin meningkat.
e. Sinjai
Timur
merupakan
kecamatan
percontohan
yang
dikenal
dengan
pelestarian hutan bakau sepanjang pantai,
sehingga nelayan setempat diharapkan
mampu memberdayakan sumberdaya hutan
bakau tersebut dengan segala biota yang ada
di dalamnya sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat nelayan.
IV. KESIMPULAN
Usaha penangkapan ikan Kakap dengan
menggunakan alat jaring insang dan pancing
tangan dapat diterima secara sosial bagi
masyarakat nelayan di desa Sanjai Kecamatan
Sinjai Timur Sulawesi Selatan.

55

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

Gambar 1. Histogram Pendapatan Bersih per Bulan dari Jenis Alat


Tangkap Jaring Insang, Pancing Tangan, dan Bubu.
Tabel 1. Standarisasi Nilai Aspek Sosial dari Setiap Jenis Alat Tangkap
No
1.
2.
3.

Jenis Alat
Tangkap
Pancing
Tangan
Jaring
Insang
Bubu

X1

V1(X1)

X2

V2(X2)

X3

V3(X3)

X4

V4(X4)

V(A)

UP

333,34

0,708

0,000

610.000

0,415

216,67

1,000

2,123

337,5

1,000

1,000

1.200.000

1,000

150

0,429

3,429

300

0,000

0,000

193.300

0,000

100

0,000

0,000

Keterangan :
X1 : Nilai berdasarkan penerimaan alat tangkap oleh nelayan
X2 : Jumlah TK per unit alat tangkap (orang)
X3 : Pendapatan nelayan per unit alat tangkap per bulan (Rp)
X4 : Nilai berdasarkan kemampuan nelayan menjangkau investasi.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. G. dan Talbot, H. F. 1985. Review Of The Snappers Of The Genus Lutjanus (Pisces :
Lutjanidae) From The Indo-Pacifik, With The Description Of A New Spesies. Bernice
Pauahi Bishop Museum Honolulu, Hawaii.s
Allen, R. G. FAO Spesies Catalogue. Vol 6 Snapper Of The World. Annotted And Illustated
Catalogue Of Ludjanid Spesies Know To Date. FAO Fish. Synop. No. 125. Rome.
Bengen, G. D. 2002. Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
FAO. 1995. Pengelolaan Perikanan. FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries.
Departemen Pertanian Republik Indonesia end Japan International Cooperation Agency.
Mallawa, A. dan Najamuddin. 2003. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan berkelanjutan. Makalah
pada seminar Nasional Pemanfaatan Sumberdaya perikanan bertanggungjawab dan
Berbasisi Masyarakat, Oleh badan Eksekutif Mahasiswa Perikanan Unhas
Nelson, J. S. 1976. Fish Of Yhe World. Demartemen Of Zoologi. The University Of Alberta.
Idmonton.
Nikijuluw, P. H. V. 2002. Rezim pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Diterbitkan atas kerjasam
Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT. Pustaka Cidensindo.
Jakarta.
Pasaribu, H. P. A. 2003. DEPNAKERTRANS Kerjasama Me-Relokasi Nelayan. DKP, Hak Cipta
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Sparre, P. dan Venema, S. C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta. Indonesia.
Tribawono, D. 2002. Hukum Perikanan Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

56

ASPEK BIO-REPRODUKSI IKAN LOLOSI BIRU (C.caeulaureus)


YANG DI DARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA
TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA
Irham
Staf Pengajar FAPERIK UNKHAIR-Ternate, e-mail: -

ABSTRAK
Ikan lolosi biru (Caesio caerulaureus) adalah salah satu spesies ikan karang yang
mempunyai nilai ekonomis pentingyang usaha penangkapannyaoleh nelayan di
Maluku Utara di lakukan di secara intensif dan dalam jumlah yang besar secara
bebas. Sehingga kecendrungan terjadi eksploitasi yang berlebihan demi
memenuhi permintaan yang terus meningkat.Tujuan penelitian ini adalah
menentukan pola pertumbuhan ikan lolosi biru dan menentukan tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad serta fekunditas ikan lolosi
biru.Penelitian dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Desember
2011,dengan lokasi pengambilan data di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate. Parameter yang di amati adalah hubungan panjang berat, tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad dan fekunditas dari ikan lolosi
biru.Hasil penelitian menunjukan bahwa pola pertumbuhan dari ikan lolosi
biru baik jantan maupun betina adalah "allometrik mayor" yaitu pertambahan
berat lebih cepat dari pertambahan panjang.Tahapan kematangan gonad yang
mendominasi pada ikan lolosi biru betina adalah TKG III dan IV, sehinga
menunjukan bahwa ikan lolosi biru betina yang tertangkap dibulan Desember
tahun 2009 semakin mendekati waktu pemijahan. Adapun rata-rata fekunditas
yang di peroleh berkisar antara 7.11788 - 7581.51 butir.
Kata Kunci: Ikan lolosi biru, pola pertumbuhan, TKG dan Fekunditas
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan Lolosi Biru (Caesio caerulaureus),
adalah salah satu spesies ikan karang yang
mempunyai nilai ekonomis penting di
Indonesia (Peristiwady 2006). Lebih lanjut
dikatakan Wilian dan Hatcher (1983) dalam
Djamali dan Mubarak (1998), dari sepuluh
famili ikan karang (Caedionidae, Holocentridae,
Serranidae, Sidanidae, Scaridae, Letrinidae,
Priacanthidae,
Labridae,
Lutjanidae,
Haemulidae), family Caesionidae (ekor dan
pisang-pisang) merupakan kelompok ikan
karang yang dieksploitasi secara besar-besaran
karena pemakan plankton dan membentuk
kelompok yang relatif besar. Jenis ikan karang
yang umum ditemukan dalam jumlah yang
banyak dan dijadikan sebagai ikan hias air laut
adalah dari jenis Caesionidae.

Usaha penangkapan ikan lolosi biru


(C. caeulaureus) bagi nelayan di perairan
Maluku Utara di lakukan di secara intensif dan
dengan berbagai cara. Umumnya usaha
penangkapan ikan lolosi biru di lakukan dalam
jumlah yang besar dan bebas.Dengan demikian
kecendrungan
terjadi
eksploitasi
yang
berlebihan demi memenuhi permintaan yang
terus meningkat.
Permintaan
ikan
yang
meningkat
tentunya memiliki makna positif bagi
pengembangan perikanan. Namun demikian,
tuntutan
pemenuhan
kebutuhan
akan
sumberdaya tersebut akan diikuti oleh tekanan
eksploitasi sumberdaya ikan yang juga
semakin intensif. Jika tidak dikelola secara
bijaksana, sangat dikhawatirkan pemanfaatan
sumberdaya secara intensif akan mendorong
usaha perikanan kejurang kehancuran dan

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

terjadinya berbagai konflik dalam upaya


memperoleh sumberdaya ikan.
Upaya untuk mengatasi pemanfaatan
sumberdaya ikan yang secara intensif, maka di
perlukan upaya pengelolaan dan seoptimal
mungkin dan secara berkesinambungan tanpa
mengganggu kelestarian dari sumberdaya ikan.
Pada perinsipnya pengelolaan sumberdaya
perikanan dimaksudkan untuk mengatur
intensitas penangkapan agar diperoleh hasil
yang optimal. Untuk mendukung hal tersebut
perlu adanya data dan informasi yang cukup
mengenai aspek biologi dari sumberdaya ikan
yangdi kelola termasuk ikan lolosi biru
(C. caerulaureus) yang ada di perairan Maluku
Utara.
Salah satu aspek biologi yang menjadi
perhatian dalam mengelola sumberdaya ikan
adalah biologi reproduksi.Data dan informasi
tentang aspek biologi reproduksi di harapkan
menjadi informasi yang sangat penting dalam
penerapan perikanan yang bertanggung jawab,
khususnya
dalam
upaya
mengelola
sumberdaya ikan lolosi biru, sehingga usaha
penangkapan
yang
dilakukan
dapat
menguntungkan
secara
lestari.Untuk
memperolah data dan informasi tersebut, maka
perlu diketahui secara detil aspek-aspek
bioreproduksi
dari
ikan
lolosi
biru
(C. caerulaureus) di perairan Maluku Utara. Hal
tersebut perlu dilakukan dalam suatu kajian
ilmiah yang dalam hal ini merupakan inti
penelitian ini.

W = aLb

1.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Menentukan pola pertumbuhan ikan lolosi
biru (C. caerulaureus) yang di daratkan di
PPN Ternate.
2) Menentukan tingkat kematangan gonad,
indeks kematangan gonad dan fekunditas
ikan lolosi biru (C. caerulaureus) yang di
daratkan di PPN Ternate.
2.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama satu
bulan yaitu pada bulan Desember 2011,
bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Ternate provinsi Maluku Utara. Analisis
sampel di lakukan dilaboratorium Karantina
Ikan Bandara Babullah Ternate.

Sampel ikan lolosi biru untuk penelitian


ini didapatkan dari nelayan yang dipasarkan di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate (PPN).
Sampel ikan selanjutnya dimasukan kedalam
wadah berupa cool box yang berisi es agar
sampel tersebut tidak mudah rusak dan dalam
keadaan segar ketika sampai di Laboratorium
Karantina Ikan bandara Babullah Ternate.
Setelah sampel tiba di Laboratorium
Karantina Ikan, dilakukan penimbangan berat
dengan menggunakan timbangan duduk serta
pengukuran panjang total ikan. Pengukuran
panjang total dimulai dari ujung mulut ikan
hingga sampai sirip ekor. Selanjutnya ikan
dibedah untuk menentukan volume gonad
yang mengisi rongga perut, bentuk serta warna
gonad diamati untuk menentukan Tingkat
Kematangan Gonad (TKG). Gonad ditimbang
dengan menggunakan timbangan Ohausse,
setelah itu gonad tersebut dimasukan kedalam
botol plastik lalu diberi larutan formalin untuk
diawetkan dan diberi nomor sesuai dengan
data panjang dan berat ikan contoh.
Selanjutnya untuk mengetahui fekunditas
maka dihitung jumlah telur pada ikan lolosi
biru betina pada tingkat kematangan gonad III
dan IV.
Analisis
pola
pertumbuhan
pada
penelitian ini dengan melihat hubungan
panjang berat digunakan formula Hille (1976)
dalam Effendi (1979) yaitu sebagai berikut :

Keterangan :
W
= Berat tubuh (gram)
L
= Panjang Total (mm)
a dan b = konstanta

Selanjutnya nilai a dan b


dengan merubah parameter di atas
bentuk transformasi logaritma
terbentuk persamaan regresi linear
sebagai berikut :

diperoleh
ke dalam
sehingga
sederhana

Log W = Log a + b Log L


Untuk melihat apakah model
linear tersebut dapat digunakan
penduga hubungan berat tubuh
panjang
total,
model
diuji
analisiskeragaman pada Tabel 1.

regresi
sebagai
dengan
dengan

58

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

Tabel 1. Analisis keragaman hubungan panjang dan berat tubuh


Sumber
Keragaman
Regresi

Derajat
bebas
K

Jumlah
Kuadrat
xy

Kuadrat
tengah
JKR/dbR

Galat

n-2

JKT/JKR

JKG/dbG

Total

n-l

y2

Untuk menguj i nilai b terhadap 3


dilakukan menurut kaidah Carlender (1969)
dalam Effendie (1979) sebagai berikut :
Kaidah Pengambilan Keputusan
> F tabel (0,5) b 3

< F tabel (O,5) b = 3


Menurut Ricker (1975) dalam Effendie
(1979), jika nilai b = 3 disebut pola
pertumbuhan isometrik yaitu pertambahan
panjang dan berat seimbang. Jika nilai b 3

F Tabel

F hitung

0.05%

0.01%

KTR/KTG

disebut pola pertumbuhan allometrik yaitu


pertambahan berat dan panjang tidak
seimbang. Jika nilai b < 3 maka pertambahan
panjang lebih cepat dari pertambahan berat
(allometrik minor). dan jika nilai b > 3 maka
pertambahan
berat
lebih
cepat
dari
pertambahan panjang (allometrik mayor).
Tingkat kematangan gonad ian ini
dianalisis secara visual dan diklasifikasikan ke
dalam ima tingkat gonad seperti yang
dikemukakan oleh Tester dan Takata (1953)
dalam Effendie (2002) pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasikan Tingkat Kematangan Gonad (Tester dan Takata (1953) dalam Effendie 2002).
Tingkat
Keadaan Gonad
Deskripsi
Gonad sangat kecil seperti benang dan transparan, penampang pada betina
I
Tidak masak
bulatdengan warna kemerah-merahan.
Gonad mengisi 1/4 rongga tubuh warnanya kemerah-merahan atau kuning dan
II
Permulaan masak
bentuknyabulat. Telur tidak tampak.
Gonad mengisi V2 rongga tubuh bentuk telur tampak melalui dinding ovarium dan
III
Hampir masak
berwarna kuning
Gonad mengisi 3/4 rongga tubuh berwarna kuning, hampir bening atau bening.
Telur
IV
Masak
dapat terlihat.kadang-kadang dengan tekanan halus pada perutnya ada yang
menonjol pada lubang pelepasnya.
Hampir sama dengan tahap kedua dan sukar di bedakan. Gonad berwarna merah,
V
Salin
lembik
dan telur tidak tampak.

Adapun Indeks kematangan gonad


dianalisis dengan menggunakan formula dari
Effendie (1979) sebagai berikut:
IKG = Wg / W x 100%
Keterangan :
MG = Indeks Kematangan Gonad
Wg
= Berat Gonad
W
= Berat Tubuh

Perhitungan fekunditas dihitung


dengan mengunakan cara gabungan
grafimetrik dan volumetrik kemudian dihitung
sesuai dengan formula Effendie (1979) sebagai
berikut.

GxVxX
Q

Keterangan:
F
= Fekunditas
G
= Berat gonad (gr)
V
= Isi pengenceran (cc) X = Jumlah telur

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1
Distribusi Frekuensi Panjang dan Berat
Ikan Lolosi Biru
Ikan lolosi biru (C. caerulaureus) yang
digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini
didapatkan dari nelayan yang didaratkan di
Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

Ternate

(PPN).Jumlah total sampel ikan Lolosi Biru


(C. caerulaureus) yang digunakan sebanyak 50
59

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

ekor yang di ambil secara acak. Dari 50

Sedangkan ikan Lolosi biru (C. caerulaureus)

tersebut terdiri dari 37 ekor jantan dan 13 ekor

jantan ukuran panjang terbesar 290 dengan

betina. Hasil pengukuran panjang total tubuh

berat 364. Hasil tabulasi data panjang dan berat

dan

biru

ikan lolosi biru (C. caerulaureus) jantan dan

(C. caerulaureus) betina di peroleh ukuran

betina dalam distribusi selang kelas di sajikan

panjang terbesar 295 mm dengan berat 376 gr.

pada Tabel 3 dan 4.

berat

tubuh

ikan

lolosi

Tabel 3. Distribusi frekuensi panjang berat ikan lolosi biru betina (C. caerulaureus)
Panjang
Kelas

Interval Kelas

1
2
3
4
5

205-223
224-242
243-261
262-280
281-299
Jumlah

Nilai
Tengah
214.0
233.00
2252.0
271.0
288.5

kelas

1
0
0
7
5
13

1
2
3
4
5

Berat (gr)
Interval
Nilai
Kelas
Tengah
112- 160
136.0
161-209
185.0
210-258
234.0
259-307
283.0
308-356
332.0
Jumlah

F
1
0
1
7
4
13

Tabel 4. Distribusi frekuensi panjang - berat ikan lolosi biru jantan (C. caerulaureus).
Panjang

Berat (gr)

Kelas

Interval Kelas

Nilai Tengah

kelas

Interval Kelas

1
2
3
4
5
6
7

180-196
197-213
214-230
231-247
248-264
265-281
282-298
Jumlah

188.0
205.0
222.0
239.0
256.0
273.0
290.0

10
11
3
0
1
4
8
37

1
2
3
4
5
6
7

78-118
119-159
160-200
201-241
242-282
283-323
324-364
Jumlah

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat


ukuran panjang Ikan lolosi biru betina dengan
frekuensi panjang tertinggi pada kelas ke- 4
sebanyak 7 ekor dan frekuensi terrendah pada
kelas ke-2 dan 3 dimana tidak memiliki jumlah
individu. Untuk ukuran berat frekuensi
tertinggi pada kelas ke-4 sebanyak 7 ekor dan
terendah pada kelas ke-2 dimana tidak
memiliki jumlah individu.
Distribusi frekuensi panjang - berat ikan
lolosi biru jantan pada Tabel 4, menunjukkan
bahwa ikan
jantan memiliki
frekuensi
panjang tertinggi pada kelas ke-2 sebanyak 11
ekor dan frekuensi panjang terendah pada
kelas ke4 dimana tidak memiliki jurnlah
individu. Sedangkan ukuran berat dengan
frekuensi tertinggi pada kelas ke- 1 sebanyak
21 dan ter rendah pada kelas ke 3 dan 4 dimana
tidak memiliki jumlah individu.
Berdasarkan hasil analisis distribusi
frekuensi panjang- berat Ikan lolosi biru baik
jantan maupun betina sebagaimana yang telah

Nilai
Tengah
98.0
139.0
180.0
221.0
262.0
303.0
344.0

F
21
3
0
0
4
8
1
37

dijelaskan diatas, menunjukan bawah adanya


variasi frekuensi panjang dan berat. Hal ini
diduga di sebabkan oleh karena cara dalam
beradaptasi serta strategi hidup dari masingmasing individu ikan berbeda-beda terutama
dalam hal kualitas makanan dan kemampuan
ikan itu dalam menyesuaikan dirinya terhadap
habitat serta faktor -faktor lainya seperti umur
ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya
(2004) bahwa ukuran organisme tidak selalu
sama yang disebabkan oleh perbedaan strategi
hidup dan pola adaptasi organisme tersebut.
3.2 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Lolosi
Biru
Berdasarkan hasil analisis hubungan
panjang
dan
berat
ikan
lolosi
biru
(C. caerulaureus) betina dengan total sampel 13
ekor, diperoleh hasil dengan nilai b > 3, 1100
dan nilai konstanta a = - 5,1224. Sedangkan
untuk ikan lolosi biru (C. caerulaureus) jantan

60

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

dengan total sampel 37 ekor, diperoleh nilai b >


3, 1389 dan nilai konstanta a = - 5,2135.
Hasil analisis hubungan panjang berat
tersebut kemudian dimasukan ke dalam
logaritma dengan persaman linier sederhana
sesuai dengan Effendie (1997)sebagai berikut :
untuk ikan lolosi biru betina nilai W = - 5,1224
3,1100. Kemudian persamaan di atas diubah
dalam
bentuk
penjumlahan
melalui
tranformasi logaritma sehingga terbentuk

Volume 6 Edisi 2 (Oktober 2013)

persamaan linier garis lurus : Log W = - 5,1224 +


3,1100 Log L. Untuk Ikan Lolosi Biru jantan
nilai W = - 5, 2135 3,1389. Kemudian persamaan
diatas diubah dalam bentuk penjumlahan
melalui
tranformasi
logaritma
sehinga
terbentuk persamaan linier garis lurus Log W =
- 5, 2135 + 3,1389 Log L. Dari persamaan tersebut
dapat dibuat hubungan panjang berat ikan
lolosi biru seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Hubungan panjang berat ikan lolosi biru jantan (C. caerulaureus)

Gambar 2 .Hubungan panjang berat ikan lolosi biru betina (C. caerulaureus).

Berdasarkan persamaan regresi linear


yang diperoleh, kemudian dilanjutkan dengan
melakukan pengujian terhadap hasil analisis
hubungan panjang berat ikan lolosi biru
terhadap nilai(b) dan untuk melihat koofesien
korelasi r dengan menggunakan kaidah yang di
kemukakan oleh Carlender (1968) dalam
Effendie (1979) maka diperoleh nilai T hitung
untuk ikan lolosi biru betina sebesar -0.1100
dan nilai b sebesar 3, 1100 atau b > 3 dengan
nilai korelasinya sebesar 0,9381. Sedangkan

untuk ikan Lolosi Biru jantan nilai T hitung


sebesar -0.1389.dan nilai b sebesar 3, 1389
dengan nilai korelasi 0,9820.Maka dapat
dikatakan bahwa pola pertumbuhan dari ikan
lolosi biru baik jantan maupun betina yang
didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Ternate adalah allometrik mayor yang artinya
pertambahan
berat
lebih
cepat
dari
pertambahan panjang.
Pertumbuhan allometrik mayor dari ikan
lolosi biru yang terbentuk diduga dipengaruhi
61

Anda mungkin juga menyukai