Anda di halaman 1dari 9

Penanganan Ketuban Pecah Dini Aterm dan Preterm

Disusun Oleh:
Alice Pratiwi
11 2014 130
Dokter Pembimbing:
dr. Estya Dewi Widyasari, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANGWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 14 SEPTEMBER 2015-21 NOVEMBER 2015

Bab I
Pendahuluan
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum waktu
persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur. Ketuban pecah dini dapat terjadi dikarenakan
berbagai penyebab dan pada berbagai usia kehamilan. Akibat dari ketuban pecah dini sangat
berpengaruh pada janin, dikarenakan fungsi cairan ketuban sebagai tempat bergerak,
perlindungan terhadap benturan dan infeksi serta menunjang pertumbuhan janin selama masa
kehamilan, jika terjadi kekurangan atau infeksi cairan ketuban maka janin akan mengalami
gangguan dan infeksi, akibat paling buruk janin dapat meninggal. Keadaan ini dapat
membahayakan keselamatan ibu, sehingga diperlukan penanganan yang tepat dan
pemantauan keadaan ibu dan janin yang mengalami ketuban pecah dini.

Bab II
ISI
I.

Definisi dan Insidens


Premature Rupture of Membrane (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
masa persalinan di usia kehamilan 37 minggu atau biasa disebut Ketuban Pecah Dini
(KPD). Apabila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut Preterm
Premature Rupture of Membrane (PPROM).1,2
Insidens PROM terjadi pada 8-10% kehamilan, sedangkan PPROM terjadi pada 2-3%
kehamilan. Sekitar 70% kasus ketuban pecah dini muncul saat kehamilan aterm, tetapi
pada beberapa centers, sekitar 50% kasus muncul pada kehamilan preterm. 3 PPROM
menyebabkan 1/3 kasus persalinan preterm dan salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas neonatus.4

II.

Etiologi
Pada kebanyakan kasus, penyebab KPD tidak dapat dibuktikan secara klinis.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan KPD:2
a.
Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada
b.

c.

servik uteri (akibat persalinan, kuretase, atau tindakan bedah obstetri lainnya).
Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intra uterin meningkat secara berlebihan/over
distensi uterus seperti pada keadaan trauma, kehamilan ganda, polihidramnion).
Kelainan letak janin, misalnya: letak sungsang dan letak lintang, sehingga tidak ada
bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi

d.

e.
f.

tekanan terhadap membran bagian bawah.


Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah (Amnionitis/Korioamnionitis).
Pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh trauma.
Rokok juga dapat meningkatkan risiko KPD karena rokok menyebabkan rendahnya
micronutrient yang penting pada masa kehamilan ( contoh: zinc dan vitamin C atau
asam askorbat), dimana vitamin C penting dalam pembentukan collagen untuk
pembentukan ketuban.5

III.

Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh.1
3

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan


struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor
protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors
metalloproteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan.1
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin.Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya ketuban pada kehamilan
aterm merupakan hal fisiologis.Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan
oleh adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Disamping
itu ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten servik,
serta solusio plasenta.1
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion
dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifas
dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga
terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis,
lemah dan mudah pecah spontan.1
IV.

Diagnosis
Dalam mendiagnosis KPD diperlukan anamnesis secara lengkap, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis biasanya pasien mengeluh adanya cairan
yang banyak berwarna jernih keluar dari vagina secara tiba-tiba. Perlu ditanyakan apakah
pasien merasakan adanya kontraksi, perdarahan pervaginam, apakah melakukan hubungan
seksual, atau adakah demam. Penting untuk memastikan perkiraan waktu lahir karena
informasi ini berkaitan dengan penanganan yang diberikan.4
Pemeriksaan dengan spekulum steril akan tampak keluar cairan dari Orifisium Uteri
Eksterna (OUE) yang berkumpul di forniks posterior atau adanya cairan yang keluar
ketika pasien batuk atau ketika fundus uteri ditekan.4
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi cairan
ketuban yaitu:4,6
1. Fern Test
4

Fern test dapat dilakukan dengan mengambil cairan dari forniks posterior
menggunakan cotton swab lalu dioleskan dengan tipis pada objek glas, lalu dibiarkan
mongering. Apabila sudah kering, maka lihat objek glass di bawah mikroskop dan
akan tampak fern like pattern. Hasil false positive bisa muncul apabila ada cervical
mucus atau dried saline.
2. Nitrazine Test
Nitrazine test dilakukan dengan kertas lakmus. Cairan ketuban memiliki pH
antara 7.0-7.5 ( bersifat alkalis) dibanding sekret vagina normal dengan pH 4.5-5.5
( bersifat acidic). Kertas lakmus akan berubah warna dari merah menjadi biru apabila
terkena cairan ketuban. False positive terjadi bila ada darah, urine, semen, atau
antiseptic cleansing agents.
3. Ultrasonography (USG)
USG digunakan untuk melihat volume cairan ketuban yang biasanya kurang
pada kasus KPD.
4. Amniocentesis
Amniocentesis dapat digunakan untuk mendiagnosis KPD. Caranya dengan
mengencerkan 1 ampul indigo carmine (5mL) dalam 10-20 ml saline steril lalu
dimasukkan ke dalam kantung ketuban (amniotic sac) dengan jarum khusus
amniocentesis. Lalu letakkan tampon ke dalam vagina, tunggu selama 30-40 menit.
Apabila ada bercak biru pada tampon, maka dapat dipastikan KPD. Metilen blue tidak
digunakan

karena

dapat

menyebabkan

anemia

hemolitik

pada

fetus,

hiperbilirubinemia, methemoglobinemia, dan fetal staining.


Amniocentesis dapat dilakukan untuk memeriksa apakah ada infeksi intraamnion, kematangan paru janin, juga kelainan pada janin.
5. Kultur
Kultur cervical untuk infeksi chlamydia dan gonorrhea harus dilakukan karena
pasien dengan infeksi tersebut cenderung terjadi KPD. Vaginal swab dan rectal swab
juga dikultur untuk memeriksa Streptococcus grup B.
V.

Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah memastikan
diagnosis, menetukan umur kehamilan, mengevaluasi ada tidaknya infeksi maternal
ataupun infeksi janin, serta apakah dalam keadaan inpartu, atau terdapat kegawatan janin.
a.
KPD aterm ( usia kehamilan 37 minggu):4

Pada 90% wanita dengan KPD aterm akan memasuki masa persalinan dengan
sendirinya dalam waktu 12 jam -24 jam. Apabila tidak ada tanda-tanda infeksi
maka bisa ditunggu.
5

Apabila tidak ada tanda-tanda persalinan setelah 24 jam maka lakukan terminasi
untuk mengurangi resiko infeksi dan mengurangi kemungkinan bayi dirawat di

NICU.
Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS) :1
Bila PS 5, dilakukan induksi dengan oksitosin drip.
Bila PS < 5, dilakukan pematangan servik dengan misoprostol 50 g setiap 6
jam per oral maksimal 4 kali pemberian.

Tabel 1: Pelvic Score menurut Bishop


SCORE
Pembukaan

0
cervix 0

(cm)
Pendataran cervix
0-30%
Penurunan
kepala -3
diukur

dari

1
1-2

2
3-4

3
5-6

40%-50%
-2

60-70%
-1

80%
+1,+2

bidang

Hodge III (cm)


Konsistensi cervix
Posisi cervix

Keras
Kebelakang

Sedang
Searah

Lunak
sumbu Kearah

jalan lahir
b.

depan

KPD pada preterm usia kehamilan 34-36 minggu:4


Pada usia kehamilan 34-36 minggu, sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan.
Perpanjangan masa kehamilan meningkatkan resiko korioamnionitis. Pemberian
kortikosteroid tidak diindikasikan pada kasus ini, tetapi pasien perlu diberikan

antibiotik intrapartum profilaksis untuk Streptococcus grup B.


Antibiotik intrapartum yang dapat diberikan yaitu Penicillin G, 5 juta units IV
initial dose, lalu 2.53.0 juta units setiap 4 jam sampai bayi lahir. Atau dapat juga
diberikan ampicillin 2 g IV initial dose,lalu 1 g IV setiap 4 jam sampai bayi lahir.
Apabila pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin 2g IV initial
dose, lalu 1g IV tiap 8 jam sampai bayi lahir. Atau pasien yang alergi penisilin dan
cephalosporin dapat diberikan clindamycin 900mg IV tiap 8 jam sampai bayi lahir
atau vancomycin 1g IV tiap 12 jam samapi bayi lahir.

c.

KPD pada preterm usia kehamilan 32-33 minggu:3,4


Pada usia kehamilan 32-33 minggu, apabila tidak diketahui apakah paru janin
sudah matang maka dilakukan expectant management. Terminasi kehamilan pada
usia 34 minggu. Tetapi bila ada tanda-tanda infeksi, abruption plasenta, kompresi
tali pusat, atau keadaan emergensi janin sebaiknya dilakukan induksi persalinan.
6

Pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Regimen yang dapat


diberikan antara lain betamethasone 12 mg IM setiap 24 jam selama 2 hari atau

dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama 2 hari.


Pemberian antibiotik pada PPROM dapat mengurangi infeksi pada neonatus dan
memperpanjang masa kehamilan. Pada meta-analisis menunjukkan pasien yang
mendapat

antiobiotik

korioamnionitis,

neonatal

menurunkan
sepsis,

resiko

neonatal

endometritis
pneumonia,

dan

postpartum,
perdarahan

intraventrikular. Regimen yang diberikan yaitu kombinasi IV 2 gr ampicillin dan


250 mg erythromycin tiap 6 jam selama 48 jam, dilanjutkan dengan 250 mg
amoxicillin PO dan 333 mg erythromycin PO tiap 8 jam selama 5 hari. Pasien yang
diberikan antiobiotik ini dapat mempertahankan kehamilannya selama 3 minggu

walaupun antiobiotik tidak diberikan setelah 7 hari.


Lakukan pemeriksaan rectovaginal swab untuk Group B Streptococcus (GBS).
Berikan antibiotik profilaksis sampai ada hasil. Apabila hasil kultur negatif maka
pemberian antibiotik dihentikan. Apabila hasil kultur positif, maka antibiotic
dilanjutkan selama 48 jam, dihentikan, lalu kultur kembali.

d.

KPD pada usia kehamilan 23-31 minggu:4


Pemberian kortikosteroid dan antibiotik.
Profilaksis GBS sesuai indikasi.
Monitor keadaan fetus dengan USG dan juga ibu. Fetal monitoring untuk kontraksi
dan keadaan fetus. PPROM sebelum 32 minggu sering mengakibatkan kompresi tali
pusat.

Persalinan pada usia kehamilan <32 minggu dapat menyebabkan tingginya


morbiditas dan mortalitas neonatus. Apabila tidak ada infeksi intra-amnion,
abruption plasenta, dan gawat janin sebaiknya kehamilan dipertahankan sampai usia
34 minggu atau 32-33 minggu apabila paru janin sudah matang ( dapat diperiksa
dengan amniocentesis).

e.

KPD pada usia kehamilan <23 minggu:4


Janin yang dilahirkan previable memiliki resiko tinggi morbiditas dan mortalitas.
Masalah jangka panjang yang dapat terjadi seperti penyakit paru kronis, gangguan
perkembangan, hidrosefalus, dan cerebral palsy. Apabila tidak ada tanda-tanda
persalinan ataupun infeksi, pasien boleh dirawat jalan dengan pemberian antibiotik
untuk memperpanjang masa kehamilan. Pemberian kortikosteroid pada usia
kehamilan <23 minggu tidak memberi dampak yang berarti. Apabila sudah usia 24
7

minggu, sebaiknya dipertimbangkan agar pasien dirawat di rumah sakit agar ibu dan
janin dapat di monitor lebih ketat.
VI.

Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia
karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau gagalnya
persalinan normal.3
a. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi
korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini premature,
infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi pada KPD
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.3
b. Hipoksia dan asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.3
c. Deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasi pulmonal.3

Bab III
Kesimpulan
Premature Rupture of Membrane (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
masa persalinan di usia kehamilan 37 minggu atau biasa disebut Ketuban Pecah Dini
(KPD). Apabila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut Preterm
Premture Rupture of Membrane (PPROM). Biasanya pasien mengeluh keluarnya cairan
berwarna jernih yang banyak dari vagina secara tiba-tiba. Untuk mengkonfirmasi apakah
cairan ketuban yang keluar, dapat dilakukan fern test, nitrazine test, USG, dan amniocentesis.
Penanganan dibedakan pada KPD aterm dan preterm berdasarkan usia kehamilan.
Komplikasi yang dapat timbul yaitu infeksi pada ibu maupun janin, hipoksia, dan deformitas
janin.
Daftar Pustaka
1. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010. h.677-80.
2. Daftary SN, Chakravarti S. Manual of obstetric. 3 rd edition. Amsterdam: Elsevier;
2007.p.346-7.
3. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard IE, editors. Danforths Obstetrics and
Gynecology. 10th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p.193-5.
4. Medina TM, Hill DA.(2006) Preterm premature rupture of membranes: diagnosis and
management. 73(4), 659-64.
5. Cancer Council Victoria. Pregnancy and smoking. 2015 [updated 2015 March , cited 2015
October

4].

Available

from:

http://www.tobaccoinaustralia.org.au/chapter-3-health-

effects/3-7-pregnancy-and-smoking
6. Evans AT. Manual of obstetrics. 7th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2007.p.142-4.

Anda mungkin juga menyukai