Anda di halaman 1dari 7

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

Diagnosis dan Tata Laksana


Hiperemesis Gravidarum

Kevin Gunawan,* Paul Samuel Kris Manengkei,* Dwiana Ocviyanti**


*Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
**Departemen Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Hiperemesis gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat dalam kehamilan
dan sukar dikendalikan. Hingga kini, penyebab pasti hiperemesis gravidarum belum diketahui,
meskipun peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) tampaknya berperan besar.
Dalam mendiagnosis hiperemesis gravidarum, penyebab-penyebab lain mual dan muntah pada
kehamilan harus disingkirkan terlebih dahulu. Tata laksana yang komprehensif meliputi
perubahan pola makan, resusitasi cairan, dan tata laksana farmakologis. Keberhasilan dalam
penatalaksanaan hiperemesis gravidarum tergantung pada diagnosis yang tepat, deteksi
komplikasi, serta penanganan kondisi-kondisi yang menyertai seperti dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam-basa, serta defisiensi nutrisi pada ibu hamil. Hiperemesis
gravidarum dapat menyebabkan asupan nutrisi dan oksigen yang diterima janin berkurang
sehingga tumbuh kembang janin akan terganggu. J Indon Med Assoc.2011:61;458-64.
Kata kunci: hiperemesis gravidarum, mual, muntah, diagnosis, tata laksana

458

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum

Diagnosis and Treatment of Hyperemesis Gravidarum


Kevin Gunawan,* Paul Samuel Kris Manengkei,* Dwiana Ocviyanti**
*Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta
**Obstetrics and Gynecology Department, Faculty of Medicine Universitas Indonesia
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Hyperemesis gravidarum is a condition of severe, uncontrolled nausea and vomiting of


pregnancy. The exact cause of hyperemesis gravidarum is unknown, although the increase of
human chorionic gonadotropin (hCG) levels appears to have a large role. In diagnosing
hyperemesis gravidarum, other causes of nausea and vomiting of pregnancy must first be ruled
out. A comprehensive treatment consists of dietary changes, fluid resuscitation, and pharmacological treatment. The success in treating hyperemesis gravidarum depends on correct diagnosis, detection of complications, and treatment of associated conditions, such as dehydration, acidbase and electrolyte imbalance, and nutritional deficiencies. Hyperemesis gravidarum could
cause a decrease in the fetal nutritional and oxygen intake, impairing its growth and development.
J Indon Med Assoc.2011:61;458-64.
Keywords: hyperemesis gravidarum, nausea, vomiting, diagnosis, treatment

Pendahuluan
Sekitar 50-90% perempuan hamil mengalami keluhan
mual dan muntah. Keluhan ini biasanya disertai dengan
hipersalivasi, sakit kepala, perut kembung, dan rasa lemah
pada badan. Keluhan-keluhan ini secara umum dikenal
sebagai morning sickness. Istilah ini sebenarnya kurang
tepat karena 80% perempuan hamil mengalami mual dan
muntah sepanjang hari.1
Apabila mual dan muntah yang dialami mengganggu
aktivitas sehari-hari atau menimbulkan komplikasi, keadaan
ini disebut hiperemesis gravidarum. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan
penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5% berat badan.1
Mual dan muntah pada kehamilan biasanya dimulai pada
kehamilan minggu ke-9 sampai ke-10, memberat pada minggu
ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-12 sampai
ke-14. Hanya pada 1-10% kehamilan gejala berlanjut melewati
minggu ke-20 sampai ke-22. Pada 0,3-2% kehamilan terjadi
hiperemesis gravidarum yang menyebabkan ibu harus ditata
laksana dengan rawat inap.
Hiperemesis gravidarum jarang menyebabkan kematian,
tetapi angka kejadiannya masih cukup tinggi. Hampir 25%
pasien hiperemesis gravidarum dirawat inap lebih dari sekali.
Terkadang, kondisi hiperemesis yang terjadi terus-menerus
dan sulit sembuh membuat pasien depresi. Pada kasus-kasus
ekstrim, ibu hamil bahkan dapat merasa ingin melakukan
terminasi kehamilan.2
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan


hiperemesis gravidarum antara lain hiperemesis gravidarum
pada kehamilan sebelumnya, berat badan berlebih, kehamilan
multipel, penyakit trofoblastik, nuliparitas dan merokok.
Etiopatogenesis Emesis dan Hiperemesis Gravidarum
Etiologi dan patogenesis emesis dan hiperemesis
gravidarum berkaitan erat dengan etiologi dan patogenesis
mual dan muntah pada kehamilan. Penyebab pasti mual dan
muntah yang dirasakan ibu hamil belum diketahui, tetapi
terdapat beberapa teori yang mengajukan keterlibatan faktorfaktor biologis, sosial dan psikologis. Faktor biologis yang
paling berperan adalah perubahan kadar hormon selama
kehamilan. Menurut teori terbaru, peningkatan kadar human
chorionic gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium
untuk memproduksi estrogen, yang dapat merangsang mual
dan muntah.3 Perempuan dengan kehamilan ganda atau mola
hidatidosa yang diketahui memiliki kadar hCG lebih tinggi
daripada perempuan hamil lain mengalami keluhan mual dan
muntah yang lebih berat. 3-5 Progesteron juga diduga
menyebabkan mual dan muntah dengan cara menghambat
motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos
lambung.4 Penurunan kadar thyrotropin-stimulating hormone (TSH) pada awal kehamilan juga berhubungan dengan
hiperemesis gravidarum meskipun mekanismenya belum
jelas.4,5 Hiperemesis gravidarum merefleksikan perubahan
hormonal yang lebih drastis dibandingkan kehamilan biasa.

459

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum


Langkah-Langkah Diagnosis
Menegakkan Diagnosis Kehamilan dan Hiperemesis
Gravidarum
Penegakan diagnosis hiperemesis gravidarum dimulai
dengan menegakkan diagnosis kehamilan terlebih dahulu 4,6
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan amenorea, serta
mual dan muntah berat yang mengganggu aktivitas seharihari. Pemeriksaan obstetrik dapat dilakukan untuk menemukan tanda-tanda kehamilan, yakni uterus yang besarnya
sesuai usia kehamilan dengan konsistensi lunak dan serviks
yang livid. Pemeriksaan penunjang kadar -hCG dalam urin
pagi hari dapat membantu menegakkan diagnosis kehamilan.
Tabel 1 menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan
untuk membedakan beberapa kondisi mual dan muntah
dalam kehamilan.
Tabel 1. Definisi-Definisi Mual dan Muntah dalam Kehamilan
Emesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum

Mual dan muntah dikeluhkan

terus melewati 20 minggu pertama kehamilan


Tidak mengganggu aktivitas

sehari-hari
Tidak menimbulkan komplikasi
patologis

Mual dan muntah menggangngganggu aktivitas sehari-hari


Mual dan muntah tidak menimbulkan komplikasi (ketonuria, dehidrasi, hipokalemia,
penurunan berat badan

Menyingkirkan Penyebab Hiperemesis Lain


Keluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu
menandakan hiperemesis gravidarum. Penyebab-penyebab
lain seperti penyakit gastrointestinal, pielonefritis dan
penyakit metabolik perlu dieksklusi.1 Satu indikator sederhana
yang berguna adalah awitan mual dan muntah pada
hiperemesis gravidarum biasanya dimulai dalam delapan
minggu setelah hari pertama haid terakhir. Karena itu, awitan
pada trimester kedua atau ketiga menurunkan kemungkinan
hiperemesis gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala
juga bukan merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum.
Pemeriksaan ultrasonografi perlu dilakukan untuk mendeteksi
kehamilan ganda atau mola hidatidosa.3
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum antara lain
ulkus peptikum, kolestasis obstetrik, perlemakan hati akut,
apendisitis akut, diare akut, hipertiroidisme dan infeksi
Helicobacter pylori. Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya
adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami
eksaserbasi sehingga dalam anamnesis dapat ditemukan
riwayat sebelumnya. Gejala khas ulkus peptikum adalah nyeri
epigastrium yang berkurang dengan makanan atau antasid
dan memberat dengan alkohol, kopi atau obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS). Nyeri tekan epigastrium, hematemesis
dan melena dapat ditemukan pada ulkus peptikum.
Pada kolestasis dapat ditemukan pruritus pada seluruh
tubuh tanpa adanya ruam. ikterus, warna urin gelap dan tinja
berwarna pucat disertai peningkatan kadar enzim hati dan
460

bilirubin.1,4,7 Pada perlemakan hati akut ditemukan gejala kegagalan fungsi hati seperti hipoglikemia, gangguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder akibat
ensefalopati hepatik.4-7 Keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut juga dapat menyebabkan gambaran klinis gagal
hati.
Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami
demam dan nyeri perut kanan bawah. Nyeri dapat berupa
nyeri tekan maupun nyeri lepas dan lokasi nyeri dapat
berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus yang
semakin membesar. Apendisitis akut pada kehamilan memiliki
tanda-tanda yang khas, yaitu tanda Bryan (timbul nyeri bila
uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder (apabila pasien
berbaring miring ke kiri, letak nyeri tidak berubah).4
Meskipun jarang, penyakit Graves juga dapat menyebabkan hiperemesis. Oleh karena itu, perlu dicari apakah
terdapat peningkatan FT4 atau penurunan TSH. Kadar FT4
dan TSH pada pasien hiperemesis gravidarum dapat sama
dengan pasien penyakit Graves, tetapi pasien hiperemesis
tidak memiliki antibodi tiroid atau temuan klinis penyakit
Graves, seperti proptosis dan pembesaran kelenjar tiroid. Jika
kadar FT4 meningkat tanpa didapatkan bukti penyakit Graves,
pemeriksaan tersebut perlu diulang pada usia gestasi yang
lebih lanjut, yaitu sekitar 20 minggu usia gestasi, saat kadar
FT4 dapat menjadi normal pada pasien tanpa hipertiroidisme.3,6 Pemberian propiltiourasil pada pasien hipertiroidisme
dapat meredakan gejala-gejala hipertiroidisme, tetapi tidak
meredakan mual dan muntah.
Sebuah studi lain yang menarik menemukan adanya
hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori dengan
terjadinya hiperemesis gravidarum. Pada studi tersebut,
sebanyak 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis
gravidarum menunjukkan hasil tes deteksi genom H. pylori
yang positif,3 namun studi tersebut masih kontroversial.
Sebuah studi lain di Amerika Serikat mendapatkan tidak
terdapat hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan
infeksi H. pylori.8
Deteksi Komplikasi Hiperemesis Gravidarum
Muntah yang terus-menerus disertai dengan kurang
minum yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi.
Jika terus berlanjut, pasien dapat mengalami syok. Dehidrasi
yang berkepanjangan juga menghambat tumbuh kembang
janin.4 Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik harus dicari
apakah terdapat abnormalitas tanda-tanda vital, seperti
peningkatan frekuensi nadi (>100 kali per menit), penurunan
tekanan darah, kondisi subfebris, dan penurunan kesadaran.
Selanjutnya dalam pemeriksaan fisis lengkap dapat dicari
tanda-tanda dehidrasi, kulit tampak pucat dan sianosis, serta
penurunan berat badan.
Selain dehidrasi, akibat lain muntah yang persisten
adalah gangguan keseimbangan elektrolit seperti penurunan
kadar natrium, klor dan kalium, sehingga terjadi keadaan alkalosis metabolik hipokloremik disertai hiponatremia dan
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum


hipokalemia. Hiperemesis gravidarum yang berat juga dapat
membuat pasien tidak dapat makan atau minum sama sekali,
sehingga cadangan karbohidrat dalam tubuh ibu akan habis
terpakai untuk pemenuhan kebutuhan energi jaringan.
Akibatnya, lemak akan dioksidasi. Namun, lemak tidak dapat
dioksidasi dengan sempurna dan terjadi penumpukan asam
aseton-asetik, asam hidroksibutirik, dan aseton, sehingga
menyebabkan ketosis. Salah satu gejalanya adalah bau
aseton (buah-buahan) pada napas. 6,9 Pada pemeriksaan
laboratorium pasien dengan hiperemesis gravidarum dapat
diperoleh peningkatan relatif hemoglobin dan hematokrit,
hiponatremia dan hipokalemia, badan keton dalam darah dan
proteinuria.9
Robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung
dapat terjadi bila muntah terlalu sering. Pada umumnya
robekan yang terjadi kecil dan ringan, dan perdarahan yang
muncul dapat berhenti sendiri. Tindakan operatif atau
transfusi darah biasanya tidak diperlukan.2,3
Perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum dan
kenaikan berat badan dalam kehamilan yang kurang (<7 kg)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah, kecil untuk masa kehamilan,
prematur, dan nilai APGAR lima menit kurang dari tujuh.
Menentukan Derajat Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum dapat diklasifikasikan secara
klinis menjadi hiperemesis gravidarum tingkat I, II dan III.
Hiperemesis gravidarum tingkat I ditandai oleh muntah yang
terus-menerus disertai dengan penurunan nafsu makan dan
minum. Terdapat penurunan berat badan dan nyeri epigastrium. Pertama-tama isi muntahan adalah makanan, kemudian
lendir beserta sedikit cairan empedu, dan dapat keluar darah
jika keluhan muntah terus berlanjut. Frekuensi nadi meningkat
sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistolik menurun.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan mata cekung, lidah kering,
penurunan turgor kulit dan penurunan jumlah urin.4
Pada hiperemesis gravidarum tingkat II, pasien memuntahkan semua yang dimakan dan diminum, berat badan
cepat menurun, dan ada rasa haus yang hebat. Frekuensi
nadi berada pada rentang 100-140 kali/menit dan tekanan
darah sistolik kurang dari 80 mmHg. Pasien terlihat apatis,
pucat, lidah kotor, kadang ikterus, dan ditemukan aseton
serta bilirubin dalam urin.4
Hiperemesis gravidarum tingkat III sangat jarang terjadi.
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari hiperemesis
gravidarum tingkat II yang ditandai dengan muntah yang
berkurang atau bahkan berhenti, tetapi kesadaran pasien
menurun (delirium sampai koma). Pasien dapat mengalami
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung dan dalam
urin ditemukan bilirubin dan protein.3,4
Tata Laksana Emesis Gravidarum
Tata Laksana Awal
Tata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

tanpa komplikasi adalah istirahat dan menghindari makanan


yang merangsang, seperti makanan pedas, makanan berlemak,
atau suplemen besi.1,3 Perubahan pola diet yang sederhana,
yaitu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam porsi yang
kecil namun sering cukup efektif untuk mengatasi mual dan
muntah derajat ringan.1 Jenis makanan yang direkomendasikan adalah makanan ringan, kacang-kacangan, produk
susu, kacang panjang, dan biskuit kering. Minuman elektrolit
dan suplemen nutrisi peroral disarankan sebagai tambahan
untuk memastikan terjaganya keseimbangan elektrolit dan
pemenuhan kebutuhan kalori. Menu makanan yang banyak
mengandung protein juga memiliki efek positif karena bersifat
eupeptic dan efektif meredakan mual.3 Manajemen stres juga
dapat berperan dalam menurunkan gejala mual.1,2,3
Tata Laksana Farmakologis
Pada emesis gravidarum, obat-obatan diberikan apabila
perubahan pola makan tidak mengurangi gejala, sedangkan
pada hiperemesis gravidarum, obat-obatan diberikan setelah
rehidrasi dan kondisi hemodinamik stabil.3 Pemberian obat
secara intravena dipertimbangkan jika toleransi oral pasien
buruk.7 Obat-obatan yang digunakan antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin), antihistamin dan agen-agen prokinetik.
American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah 12,5
mg doxylamine per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi
lini pertama yang aman dan efektif.3,10 Dalam sebuah randomized trial, kombinasi piridoksin dan doxylamine terbukti
menurunkan 70% mual dan muntah dalam kehamilan.
Suplementasi dengan tiamin dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi berat hiperemesis, yaitu Wernickes
encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi perlu
diwaspadai jika terdapat muntah berat yang disertai dengan
gejala okular, seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan
ekstraokular.11
Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin, telah terbukti efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik
seperti proklorperazin, prometazin, klorpromazin menyembuhkan mual dan muntah dengan cara menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Obatobatan tersebut dikontraindikasikan terhadap pasien dengan
hipersensitivitas terhadap golongan fenotiazin, penyakit
kardiovaskuler berat, penurunan kesadaran berat, depresi
sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali, dan glaukoma
sudut tertutup. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi
mengenai efek terapi antiemetik terhadap janin.10
Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika pengobatan
dengan antihistamin gagal. Prochlorperazine juga tersedia
dalam sediaan tablet bukal dengan efek samping sedasi yang
lebih kecil. Dalam sebuah randomized trial, metoklopramid
dan prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama untuk
mengatasi hiperemesis, tetapi metoklopramid memiliki efek
samping mengantuk dan pusing yang lebih ringan.12 Studi
461

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum


kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid
tidak berhubungan dengan malformasi kongenital, berat
badan lahir rendah, persalinan preterm, atau kematian perinatal.13 Namun, metoklopramid memiliki efek samping tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total
dosis kumulatifnya. Oleh karena itu, penggunaan selama lebih
dari 12 minggu harus dihindari.
Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine 3 (5HT3)
seperti ondansetron mulai sering digunakan, tetapi informasi
mengenai penggunaannya dalam kehamilan masih terbatas.
Seperti metoklopramid, ondansetron memiliki efektivitas yang
sama dengan prometazin, tetapi efek samping sedasi
ondansetron lebih kecil.14 Ondansetron tidak meningkatkan
risiko malformasi mayor pada penggunaannya dalam trimester pertama kehamilan.1,3
Droperidol efektif untuk mual dan muntah dalam
kehamilan, tetapi sekarang jarang digunakan karena risiko
pemanjangan interval QT dan torsades de pointes. Pemeriksaan elektrokardiografi sebelum, selama dan tiga jam

setelah pemberian droperidol perlu dilakukan.3


Untuk kasus-kasus refrakter, metilprednisolon dapat
menjadi obat pilihan. Metilprednisolon lebih efektif daripada
promethazine untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam
kehamilan, namun tidak didapatkan perbedaan dalam tingkat
perawatan rumah sakit pada pasien yang mendapat metilprednisolon dengan plasebo. Hanya sedikit bukti yang
menyatakan kortikosteroid efektif.15 Dalam dua RCT kecil,
tidak didapatkan kegunaan metilprednisolon ataupun
plasebo, tetapi kelompok steroid lebih sedikit mengalami readmission.16 Efek samping metilprednisolon sebagai sebuah
glukokortikoid juga patut diperhatikan. Dalam sebuah
metaanalisis dari empat studi, penggunaan glukokortikoid
sebelum usia gestasi 10 minggu berhubungan dengan risiko
bibir sumbing dan tergantung dosis yang diberikan. Oleh
karena itu, penggunaan glukokortikoid direkomen-dasikan
hanya pada usia gestasi lebih dari 10 minggu.
Obat-obat yang dapat digunakan untuk tatalaksana
hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Obat-obatan untuk Tata Laksana Mual dan Muntah dalam Kehamilan 3
FDA kepanjangan dari Food and Drug Administration. Kategori obat menurut FDA adalah sebagai berikut: A, berdasarkan studi kontrol tidak
didapatkan risiko; B, tidak terbukti berisiko untuk manusia; C, risiko tidak dapat disingkirkan; D, terbuki berisiko; dan X, kontraindikasi pada
kehamilan.
Agen

Dosis Oral

Efek Sedang

Kategori
Obat
(FDA)

Vitamin B6 (piridoksin) 10-25 mg setiap 8 jam

Kombinasi vitamin
B6-doxylamine

Piridoksin, 10-25 mg setiap 8 jam; doxy- Sedasi


lamine, 25 mg sebelum tidur, 12,5 mg
pada pagi hari jika dibutuhkan ditambah
12,5 mg pada siang hari jika dibutuhkan
Sedasi
12,5-25 mg setiap 8 jam
25-50 mg setiap 8 jam
25 mg setiap jam
50 mg setiap 4-6 jam
50-100 mg setiap 4-6 jam
Gejala ekstrapiramidal, sedasi
25 mg setiap 4-6 jam

5-10 mg setiap 6 jam

Antihistamin
Doxylamine
Diphenhydramine
Meclizine
Hydroxyzine
Dimenhydrinate
Phenothiazine
Promethazine

Prochlorperazine
Antagonis dopamine
Metoclopramide
Antagonis reseptor
serotonin
Ondansetron
Glukokortikoid
Metilprednison

Ekstrak jahe

462

10 mg setiap 6 jam

Tardive dyskinesia

Keterangan

Vitamin B6 atau kombinasi vitamin B6-antihistamin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.

A
B
B
C
B

Kerusakan jaringan berat dengan pemberian


intravena; lebih disarankan pemberian oral, rectal, atau intramuskular

Pemberian obat lebih dari 12 minggu meningkatkan risiko Tardive dyskinesia

Konstipasi, diare,
sakit kepala, fatigue
4-8 mg setiap jam
16 mg setiap 8 jam selama 3 hari, kemudian dosis diturunkan selama 2 minggu

125-250 mg setiap jam

B
Sedikit meningkatkan risiko bibir sumbing jika digunakan
sebelum 10 minggu
usia gestasi
Refluks, heartburn

Jangan digunakan sebelum usia gestasi 10 minggu; durasi maksimum terapi 6 minggu untuk
membatasi efek samping serius

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum

Inisiasi tata laksana dengan vitamin


B6

pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan


sebelum pemberian cairan dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral
dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium.1,3

Tambahkan doxylamine

Substitusi doxylamine dengan


promethazine atau dimenhydrinate

Tanpa dehidrasi

Dehidrasi

Penggantian cairan intravena

Tambahkan metoclopramide
atau
trimethobenzamide
atau
ondansetron

Tambahkan metoclopramide
atau
ondansetron intravena
atau
promethazine intramuscular

Tambahkan metilprednisolon
setelah 10 minggu usia gestasi

Gambar 1. Algoritme Terapi Farmakologi untuk Mual dan


Muntah dalam Kehamilan 3

Jahe dapat ditambahkan sebagai terapi farmakologi dalam


setiap tahap. Pada setiap tahap, nutrisi enteral atau parenteral
dapat dipertimbangkan jika terjadi dehidrasi atau penurunan
berat badan persisten.
Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum
Penatalaksanaan utama hiperemesis gravidarum adalah
rehidrasi dan penghentian makanan peroral. Pemberian
antiemetik dan vitamin secara intravena dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan. Penatalaksanaan farmakologi emesis gravidarum dapat juga diterapkan pada kasus
hiperemesis gravidarum.
Tata Laksana Awal
Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap di
rumah sakit dan dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium
klorida atau ringer laktat, penghentian pemberian makanan
per oral selama 24-48 jam, serta pemberian antiemetik jika
dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium,
pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan.1,3 Cairan
dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak.7 Untuk

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Pengaturan Diet
Untuk pasien hiperemesis gravidarum tingkat III,
diberikan diet hiperemesis I. Makanan yang diberikan berupa
roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama
makanan tetapi 1-2 jam setelah makan. Diet hiperemesis kurang
mengandung zat gizi, kecuali vitamin C, sehingga diberikan
hanya selama beberapa hari.4
Jika rasa mual dan muntah berkurang, pasien diberikan
diet hiperemesis II. Pemberian dilakukan secara bertahap
untuk makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak
diberikan bersama makanan. Diet hiperemesis II rendah dalam
semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D.4
Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan
hiperemesis ringan. Pemberian minuman dapat diberikan
bersama makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali
kalsium.4
Terapi Alternatif
Terapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti
untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan.
Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah salah satu
pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan
aktifnya, gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh
galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated gene
(Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Empat randomized trials menunjukkan bahwa ekstrak jahe lebih efektif
daripada plasebo dan efektivitasnya sama dengan vitamin
B6. Efek samping berupa refluks gastroesofageal dilaporkan
pada beberapa penelitian, tetapi tidak ditemukan efek samping
signifikan terhadap keluaran kehamilan.15,17 Dosisnya adalah
250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, empat kali sehari.
Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan
muntah masih menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure
pada titik akupuntur Neiguan P6 di pergelangan lengan
menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan penelitiannya
masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. Dalam
sebuah studi yang besar didapatkan tidak terdapat efek yang
menguntungkan dari penggunaan acupressure,4 namun The
Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan
stimulasi akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis
antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual.18
Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar
pergelangan tangan juga dapat menurunkan mual dan
muntah serta merangsang kenaikan berat badan.15,19
Penatalaksanaan pada Kasus Refrakter
Jika muntah terus berlangsung (persisten) pada tata
laksana yang maksimal, kita harus kembali ke proses diagno-

463

Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum


sis dan mencari adanya penyebab lain seperti gastroenteritis, kolesistitis, pankreatitis, hepatitis, ulkus peptikum,
pielonefritis dan perlemakan hati.2020
Nutrisi enteral harus dipikirkan jika terdapat muntah yang
berkepanjangan, namun harus diingat bahwa total parenteral
nutrition (TPN) selama kehamilan meningkatkan risiko sepsis dan steatohepatitis, terutama akibat penggunaan emulsi
lipid. Oleh karena itu, TPN sebaiknya hanya diberikan pada
pasien dengan penurunan berat badan signifikan (>5% berat
badan) yang tidak respon dengan antiemetik dan tidak dapat
ditatalaksana dengan nutrisi enteral.1,20
Evaluasi Keberhasilan Terapi
Tujuan terapi emesis atau hiperemesis gravidarum
adalah untuk mencegah komplikasi seperti ketonuria,
dehidrasi, hipokalemia dan penurunan berat badan lebih dari
3 kg atau 5% berat badan.1 Jika sudah terjadi komplikasi,
perlu dilakukan tata laksana terhadap komplikasi tersebut.
Penilaian keberhasilan terapi dilakukan secara klinis dan
laboratoris. Secara klinis, keberhasilan terapi dapat dinilai
dari penurunan frekuensi mual dan muntah, frekuensi dan
intensitas mual, serta perbaikan tanda-tanda vital dan
dehidrasi. Parameter laboratorium yang perlu dinilai adalah
perbaikan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.
Penutup
Diagnosis dan penatalaksanaan mual dan muntah dalam
kehamilan yang tepat dapat mencegah komplikasi hiperemesis gravidarum yang membahayakan ibu dan janin.
Ketepatan diagnosis sangat penting, karena terdapat
sejumlah kondisi lain yang dapat menyebabkan mual dan
muntah dalam kehamilan. Tata laksana komprehensif dimulai
dari istirahat, modifikasi diet dan menjaga asupan cairan. Jika
terjadi komplikasi hiperemesis gravidarum, penata-laksanaan
utama adalah pemberian rehidrasi dan perbaikan elektrolit.
Terapi farmakologi dapat diberikan jika dibutuhkan, seperti
piridoksin, doxylamine, prometazin, dan meto-klopramin
dengan memperhatikan kontraindikasi dan efek sampingnya.
Beberapa terapi alternatif sudah mulai diteliti untuk penatalaksanaan hiperemesis gravidarum, seperti ekstrak jahe dan
akupuntur, dengan hasil yang bervariasi.

2.

3.
4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.
20.

Daftar Pustaka
1.

464

Jueckstock JK, Kaestner R, Mylonas I. Managing hyperemesis


gravidarum: a multimodal challenge. BMC Medicine. 2010;8:46.

Lacasse A, Rey E, Ferreira E, Morin C, Berard A. Nausea and


vomiting of pregnancy: what about quality of life? BJOG.
2008;115:1484-93.
Niebyl JR. Nausea and vomiting in pregnancy. N Engl J Med.
2010;363:1544-50.
Siddik D. Kelainan gastrointestinal. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi
T, Wiknjosastro GH, editors. Ilmu kebidanan. 4th Ed. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008.p.814-28.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ,
Spon CY. Williams Obstetric. 22nd ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2005.
Quinlan JD, Hill DA. Nausea and vomiting of pregnancy. Am
Fam Physician. 2003;68(1):121-8.
Ogunyemi DA, Fong A. Hyperemesis Gravidarum [monograph
on the Internet]. Medscape; 2010 [cited 2010 November 7].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/254751overview.
Lee RH, Pan VL, Wing DA. The prevalence of Helicobacter
pylori in the hispanic population affected by hyperemesis
gravidarum. Am J Obstet Gynecol. Sept 2005;193(3 Pt 2):10247.
Miller AWF, Hanretty KP. Vomiting in pregnancy. In: Miller
AWF, Hanretty KP, editors. Obstetrics Illustrated. 5th Ed. London: Churchill Livingstone; 1998. p. 102-3.
ACOG Practice Bulletin: Nausea and Vomiting of Pregnancy.
Obstet Gynecol. 2004;103(2):803-14.
Koren G, Maltepe C. Pre-emptive therapy for severe nausea and
vomiting of pregnancy and hyperemesis gravidarum. J Obstet
Gynaecol. 2004;24:530-3.
Bsat FA, Hoffman DE, Seubert DE. Comparison of three out
patient regimens in the management of nausea and vomiting in
pregnancy. J Perinatol. 2003;23:531-5.
Srensen HT, Nielsen GL, Christensen K, Tage-jensen U, Ekbom
A, Baron J, et al. Birth outcome following maternal use of
metoclopramide. Br J Clin Pharmacol. 2000;49:264-8.
Jewell D, Young G. Interventions for nausea and vomiting in
early pregnancy. Cochrane Database Syst Rev. 2003;(4):
CD000145.
Koren G, Maltepe C. Pre-emptive therapy for severe nausea and
vomiting of pregnancy and hyperemesis gravidarum. J Obstet
Gynaecol. 2004;24:530-3.
Heazell AE, Langford N, Judge JK. The use of levomepromazine
in hyperemesis gravidarum resistant to drug therapy - a case
series. Reprod Toxicol. 2005;20:569-72.
Magee LA, Mazzotta P, Koren G: Evidence-based view of safety
and effectiveness of pharmacologic therapy for nausea and vomiting of pregnancy (NVP). Obstet Gynecol. 2002;186:S256.
Duggar CR and Carlan SJ. The efficacy of methylprednisolone in
the treatment of hyperemesis gravidarum: A randomized doubleblind controlled study. Obstet Gynecol. 2001;97:45S.
Hansen WF, Yankowitz J. Pharmacologic therapy for medical
disorders during pregnancy. Clin Obstet Gynecol. 2002;45:136.
Vaisman N, Kaidar R, Levin I, Lessing JB. Nasojejunal feeding in
hyperemesis gravidarum: a preliminary study. Clin Nutr. 2004;
23:53.
DO/MH

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Anda mungkin juga menyukai