Penatalaksanaan Gangguan
Saluran Cerna dalam Kehamilan
M. Adi Firmansyah
PPDS Tahap Mandiri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK
Selama kehamilan, hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan
fisiologi. Keluhan gastrointestinal yang muncul pun beragam seperti mual, muntah, hiperemesis
gravidarum, hingga penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal reflux disease/GERD). Mual dan
muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan, hiperemesis terjadi
pada 0,5% kehamilan dan heartburn terjadi pada 50%-80% kehamilan. Patogenesis yang mendasari
gangguan gastrointestinal ini dikaitkan adanya perubahan hormon selama kehamilan, penurunan
tekanan sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung, efek mekanik uterus gravid hingga
faktor psikologis. Terapi yang diberikan tentunya harus memperhatikan manfaat dan risiko terutama
keamanan obat tersebut dalam kehamilan.
Kata kunci: kehamilan, mual, muntah, hiperemesis gravidarum, gerd
PENDAHULUAN
Secara fisiologis, tubuh wanita hamil akan melakukan adaptasi, antara lain dengan perubahan anatomi, fisiologi serta biokimiawi sebagai adaptasi tubuh terhadap kehamilannya. Hampir semua sistem
organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi selama kehamilan. Keluhan gastrointestinal selama kehamilan antara lain muntah, hiperemesis gravidarum, penyakit refluks gastroesofageal, dan konstipasi.1 Mual terjadi pada hampir 50%-90% kehamilan dan muntah sekitar 25%-55% kehamilan Meski begitu keduanya bersifat self-limiting.2 Sebagian besar perubahan yang terjadi selama
kehamilan ini akan kembali normal setelah selesainya masa persalinan dan laktasi.
Secara umum, kehamilan lebih banyak mempengaruhi motilitas saluran cerna dibandingkan pengaruh terhadap fungsi sekresi dan absorbsi.1 Sekresi asam lambung dilaporkan juga mengalami
peningkatan pada kondisi kehamilan,3,4,5 meski laporan lainnya menyebutkan bahwa tidak terjadi peningkatan.6,7 Perubahan motilitas ini terjadi pada hampir seluruh saluran cerna dan dikaitkan dengan
peningkatan hormon selama kehamilan. Selain itu, uterus yang membesar dapat mengganggu waktu
pengosongan lambung dan juga mempengaruhi gambaran klinis gangguan saluran cerna seperti
apendisitis.7 Artikel ini akan membahas gangguan gastrointestinal terkait asam lambung yang terjadi
selama kehamilan yakni mual, muntah, hiperemesis gravidarum dan penyakit refluks gastroesofageal.
PERUBAHAN HORMON SELAMA KEHAMILAN
Tiga hormon yang berperan pada perubahan fisiologi gastrointestinal adalah hormon hCG (human
chorionic gonadotropin), progesterone dan estrogen. Hormon hCG yang disekresi oleh trofoblas dan
kemudian oleh plasenta mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan. Hormon ini berfungsi untuk menyokong corupus luteum sampai plasenta dapat menghasilkan progrestron untuk menyokong implantasi. Kadar puncak hormon ini selama trimester pertama kehamilan diduga berperan
dalam patogenesis terjadinya keluhan mual dan muntah serta hiperemesis gravidarum. HcG memiliki
struktur yang mirip sekitar 85% dengan hormon TSH (thyroid stimulating hormone) sehingga dapat
46
MEDICINUS
medical review
berikiatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meski bersifat stimulator tiroid yang lemah. Diduga terjadinya hiperemesis bertalian langsung dengan kelenjar
tiroid yang hiperaktif bukan dari hCG yang berlebihan karena seiring dengan membaiknya emesis
maka hipertiroidnya juga membaik. Kondisi ini dikenal dengan istilah gestational transient thyrotoxicosis.8,9
Progesteron dan estrogen memiliki efek yang kuat terhadap otot polos uterus untuk mempertahankan miometrium dalam keadaan yang relatif relaksasi. Pengaruh ini juga terjadi pada otot polos sistem
organ lain termasuk gastrointestinal. Selain itu, progestron juga menyebabkan waktu pengosongan
lambung dan waktu transit intestinal memanjang sehingga dipikirkan menjadi faktor predisposisi terjadi mual dan muntah.10
MUAL, MUNTAH, DAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Mual dan muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan. Gejala ini
merupakan bagian dari spektrum normal kehamilan trimester pertama dan umumnya membaik pada
usia kehamilan 12-16 minggu. Istilah morning sickness yang lazim digunakan sehari-hari sebenarnya
tidak terlalu tepat mengingat kondisi dapat terjadi pada setiap waktu bahkan dapat terjadi terus menerus sepanjang hari. Namun begitu, sebagian besar perempuan hamil yang mengalami mual dan
muntah selama kehamilan umumnya dapat tetap cukup minum dan makan. Jika terjadi gejala mual
dan muntah yang berat serta persisten sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam basa dan
elektrolit atau defisiensi nutrisi disebut sebagai hiperemesis gravidarum. Jika mual dan muntah dikatakan sebagai spectrum normal dari kehamilan maka kondisi hiperemesis ini dikatakan sebagai keadaan yang ekstrim. Diperkirakan 0,5% perempuan hamil mengalami kondisi ini. Tidak seperti mual
dan muntah yang lebih ringan dan fisiologis, hiperemesis dapat berakibat buruk pada ibu hamil ataupun janin. Bila tidak ditatalaksana dengan adekuat dan tepat, hiperemesis dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti ensefalopati Wernicke (dikaitkan dengan 40% kematian janin), central pontine
myelinolisis, dan kematian.10,11,12
Patogenesis
Patogenesis mual dan muntah sejatinya masih diperdebatkan namun beberapa teori telah diajukan
seperti peningkatan hormon hCG. Pada sebuah studi komparatif, dilaporkan bahwa perempuan hamil
yang mengalami keluhan mual dan muntah didapatkan peningkatan kadar hormon hCG12 meski studi
lainnya tidak mendukung hal ini.13 Peranan hormon progesterone dan estrogen terhadap timbulnya
mual muntah tampaknya sebagai mediator terjadinya gangguan motilitas lambung. Sebuah studi
yang dilakukan Walsh dkk mendapati bahwa pada perempuan hamil yang mengalami mual muntah
terdapat gangguan irama lambung (gastric dysrithmia) melalui pengukuran elekrogastrografi. Penelitian itu membandingkan dengan perempuan tidak hamil yang diberikan hormon progesterone dan
atau estrogen, yang juga mengalami gangguan irama lambung dan mengalami keluhan mual muntah.14 Peranan sekresi asam lambung terhadap keluhan mual dan muntah tidak banyak dilaporkan.
Peningkatan sekresi asam lambung selama kehamilan tampaknya lebih berperan terhadap patogenesis timbulnya penyakit refluks gastroesofageal selama kehamilan.
Patogenesis hiperemesis gravidarum juga belum sepenuhnya jelas. Studi-studi menunjukkan hubungan langsung antara beratnya hiperemesis (yang ditandai dengan hasil tes fungsi hati dan gangguan
elektrolit) dengan peningkatan kadar tiroksin, kadar homon hCG, dan kadar estriol. Selain itu, overaktif
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, sistem imunitas yang overaktif, defisiensi vitamin, distensi saluran
pencernaan bagian atas, disfungsi otonom, gangguan pengosongan lambung dan faktor psikologi
juga dilaporkan berperan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum.10,15 Infeksi Helicobacter pylori lebih
sering ditemukan pada perempuan hamil dengan komplikasi hiperemesis gravidarum. Hayakawa
dkk mendapati 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis ternyata positif terinfeksi Helicobacter
pylori dan pemberian antibiotik dapat mengurangi keluhan mual dan muntah pada pasien dengan
hiperemesis.17 Penurunan tekanan LES (lower esophageal sphincter), penurunan peristalsis gaster dan
lambatnya pengosongan lambung dapat memperberat gejala hiperemesis meski diduga kondisi ini
MEDICINUS
47
medical review
bukan penyebab tersendiri. Gambar 1 menunjukkan betapa rumitnya patogenesis dari hiperemesis
gravidarum.
Diagnosis
Pada perempuan hamil, kondisi mual, muntah, produksi air liur berlebihan (ptyalism) dan hiperemesis biasanya terjadi antara minggu ke-6 dan ke-8 kehamilan dan membaik pada trimester kedua.
Jika keluhan muncul setelah 12 minggu sejak amenore biasanya tidak berkaitan dengan hiperemesis
gravidarum sehingga sebaiknya dipikirkan penyebab lain mual dan muntah ini. Karena hiperemesis
umumnya berulang maka anamnesis riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya akan membantu mengarahkan diagnosis. Kehilangan berat badan dan massa otot dapat terjadi pada kasus-kasus
yang berat. Begitu juga dengan gangguan cairan dan elektrolit, dehidrasi, keton uria dan asetonuria.
Idealnya, usia kehamilan secara pasti harus diketahui dengan bantuan ultrasonografi uterus yang juga
dapat membantu mengonfirmasi ada tidaknya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa. Tidak ada
pemeriksaan penunjang yang memberikan gambaran spesifik untuk hiperemesis. Umumnya yang dapat ditemui adalah abnormalitas fungsi hati, gangguan elektrolit, gangguan fungsi tiroid (penurunan
kadar TSHs, peningkatan T4 bebas), dan ketonuria. Pada saat hiperemesis perbaikan, umumnya abnormalitas hasil laboratorium kembali normal.10,11
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum yang perlu dipikirkan adalah gastritis, ulkus peptikum,
hepatitis, pancreatitis, obstruksi usus, hiperparatiroidism, hipertiroidism, IBS, nefrolitiasis, infeksi saluran kemih hingga uremia.10
48
MEDICINUS
medical review
Tata Laksana
Umumnya, tata laksana mual dan muntah
disesuaikan dengan beratnya keadaan. Pasien
dapat dianjurkan untuk makan dengan porsi
kecil namun sering (small but frequent) dan
juga menghindari makanan/minuman ataupun kondisi yang dapat mencetuskan mual dan
muntah. Medikamentosa umumnya jarang digunakan. Namun pada kondisi mual dan muntah sehingga timbul dehidrasi dan gangguan
asupan maka terapi cairan intravena dan atau
nutrisi parenteral dapat diberikan. Pemberian
cairan infus dekstrose tidak dianjurkan karena
selain dapat mencetuskan ensefalopati Wernicke, pada hiperemesis umumnya terjadi gangguan elektrolit sehingga cairan yang sesuai adalah normal saline atau ringer lactate atau cairan
Hartmann.10,11,15
Suplementasi vitamin B1 (thiamin) hendaknya
diberikan pada perempuan hamil yang memerlukan perawatan karena hiperemesis. Thiamin
dapat diberikan per oral dalam bentuk tablet thiamin hidroklorida 3 x 2550 mg. Jika tidak dapat
mentolerir pemberian oral maka dapat diberikan secara intravena seminggu sekali dengan
melarutkan 100 mg thiamin dalam 100 cc normal
saline dan diinfus dalam 3060 menit. Sedangkan pemberian vitamin B6 (piridoksin) diketahui
dapat mengurangi mual namun tidak mengurangi muntah secara signifikan.15
Obat antiemetik seperti antagonis dopamine
(metoclopramid dan domperidon misalnya
Vometa), fenotiazin (chlorpromazine dan
prochlorperazine) dan antihistamin (promethazine) dari berbagai penelitian menunjukkan
kurangnya efek teratogenik. Antihistamin (H1
blockers) seperti ranitidin diketahui aman untuk
kehamilan sedangkan omeprazole termasuk kelas C (tidak dianjurkan pada ibu hamil). Meski
infeksi Helicobacter pylori berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, tidak serta
merta menjadikan terapi eradikasi langsung
diberikan. Hal ini terkait karena masalah keamanannya.10,11,15 Terapi alternatif seperti bubuk
jahe (powdered ginger root) diketahui memberikan efek signifikan dibandingkan plasebo dalam
mengurangi gejala hiperemesis gravidarum.10,11
Pada kasus-kasus mual dan muntah yang persisten dengan pemberian terapi anti-emetik maka
pemberian kortikosteroid dapat dibenarkan. Safari dkk melaporkan tingkat keberhasilan pem-
MEDICINUS
49
medical review
50
MEDICINUS
tanil sebagai kategori C serta midazolam dan diazepam sebagai kategori D. Karena alasan inilah,
maka sebaiknya esofagogastroduodenoskopi
sebaiknya dilakukan hanya pada kasus-kasus refrakter dengan obat-obatan atau bila ada komplikasi serius. EGD sebaiknya ditunda sampai
setelah melewati trimester pertama kehamilan.
Tata Laksana
Tujuan utama tata laksana adalah untuk mengurangi refluks dan netralisasi volume lambung. Umumnya untuk gejala yang ringan,
dapat dilakukan dengan modifikasi perilaku
dan diet seperti menghindari berbaring atau
terlentang setelah makan, menghindari makanmakanan tertentu yang mencetuskan sekresi
asam lambung (misalnya kopi, coklat, alkohol,
makanan asam ataupun makanan berlemak,
dan me-rokok), serta dengan meninggikan
kepala saat berbaring.10,18 Pada gejala GERD sedang sampai berat, dapat dilakukan pemberian
obat-obatan dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya terhadap kehamilan. Antacid
dan sukralfat dianggap aman sebagai terapi lini
pertama bila digunakan pada trimester pertama
dan ketiga kehamilan.18,19 Antacid berbasis magnesium harus dihindari karena magnesium sulfat
dapat mengganggu kotraksi otot persalinan dan
dapat menyebabkan kejang. Begitu juga dengan
antacid yang mengandung natrium-bikarbonat,
karena dapat menyebabkan alkalosis metabolik
pada ibu dan janin serta dapat mengakibatkan
retensi cairan. Pada perempuan hamil dengan
anemia defisiensi besi yang mendapatkan preparat besi, pemberian antacid ini sebaiknya
diberikan dengan waktu berbeda untuk menghindari interaksi yang dapat mengganggu absorbsi besi.10
Jika tidak ada respon, maka dapat dilanjutkan
dengan pemberian antagonis reseptor H-2
yakni ranitidine. Simetidin harus dihindari karena adanya efek anti-androgenik. Penghambat
pompa proton (proton pump inhibitorPPI) sebaiknya diberikan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau bila ada komplikasi.18,19 Omeprazol tidak boleh diberikan selama kehamilan
karena termasuk kategori C (menimbulkan efek
teratogenik pada janin) sedangkan golongan
PPI lainnya termasuk kategori B.18 Tabel 1 berikut
menunjukkan keamanan obat GERD dalam kehamilan dan algoritma tata laksana GERD dalam
kehamilan disajikan dalam gambar 2.
medical review
reference
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
MEDICINUS
51