Anda di halaman 1dari 45

ORASIPENGUKUHAN PROFESOR RISET

BIDANG SmA TIGRAFI -P ALEONTOLOGI



PERAN ILMU STRATIGRAFI DAN PALEONTOLOGI DALAM PENERAPAN ILMU KEBUMIAN:

Pemahaman Peran Biostratigrafi dalam Proses Penentuan Umur Batuan

OLEH:

M. SAPRI IIADIWISASTRA

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jakarta, Desember 2006

ORASI PENGUKUHAN PROFESOR RISET

BIDANG STRATIGRAFI-PALEONTOLOGI

PERAN ILMU STRA TIGRAFI DAN P ALEONTOLOGI DALAM PENERAPAN ILMU KEBUMIAN:

Pemahaman Peran Biostratigrafi. dalam Proses Penentuan Umur Batuan

OLEH:

M. SAPRI HADIWISASTRA

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA JAKARTA, DESEMBER 2006

© Indonesian Institute ofSeiences

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 2006

ISBN: 979-799-020-6

Katalog dalam Terbitan(KD1)

Peran Dmu Stratigrafi dan Paleontologi da1am Penerapan Dmu Kebumian:

Pemahaman Peran Biostratigrafi. da1am Proses Penentuan Umur Batuan/M. Sapri Hadiwisastra.

iV+39hlm.; 14,8 x 20,5 em ISBN 979-799-020-6

1. Dmu Stratigrafi

2~ Paleontologi

3. Biostratigrafi

560

Penerbit

CD

LIPI Press, anggota Ikapi

n. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350 Telp. (021) 3140228,3146942. Fax. (021) 3144591 E-mail: bmrlipi@uninet.net.id

lipipress@uninet.net.id press@lipLgo.id penerbit@lipLgo.id

LlPI

BIOGRAFI

Mochamad Sapri Hadiwisastra lahir di Sumedang pada tanggal 14 April 1944, sebagai anak ke tiga dati pasangan Bapak Mas Sapi'i (alm.) danIbu Raden Emmy Padmi (almh.).

Mulai masuk Sekolah Rakyat tahun 1951 di Ciamis yang diselesaikan pada tahun 1957, tarnat pendidikan Sekolah Menengah Pertama tahun 1960 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Ciamis. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas N egeri bagian B di Ciamis. Pada tahun 1962 pindah ke SMA Negeri 4 bagian B di Bandung yang ditarnatkan pada tahun 1963. Pada tahun 1963 masuk di Universitas Padjadjaran Bandung dalam bidang Geologi, lulus sebagai sarjana geologi pada tahun 1974. Pada saat masih kuliah tahun 1972 mulai bekerja di Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional (LGPN)-LIPI Bandung, menekuni bidang stratigrafi dan paIeontologi. Pada tahun 1998 mendapat kesempatan melanjutkan studi di Osaka City University, Osaka-Jepang, se1esai pada tahun 2002 dengan gelar Doctor of Science dalam bidang stratigrafi dan paIeontologi.

Penugasan strukturaI yang pernah dijabat adalah KepaIa Laboratorium Stratigrafi pada perioda 1977-1987, dan Kepala Bidang Geologi Teknik pada periode 1987-1992.

Jabatan fungsional peneliti dimulai sebagai Asisten Peneliti tahun 1974-1977, Ajun Peneliti pada tahun 1977-1983, Ajun Peneliti Madya tahun 1983-1986, Peneliti Muda 1986-1990, Peneliti Madya 1990-1995, Ahli Peneliti Muda 1995-2000, Ahli Peneliti Madya tahun 2000-2004, dan Ahli Peneliti Utama tahun 2004.

Keanggotaan organisasi profesi meliputi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), IAAI (Ikatan AhU Arkeologi Indonesia),

iii

MAPIN (Masyarakat Ilmiah Penginderaan Jauh Indonesia) dan IAMG (International Association of Mathematical Geology).

Selama melakukan penelitian dalam kapasitasnya sebagai karyawan LIPI juga banyak membantu penelitian-penelitian dalam bidang arkeologi kerja sarna dengan Pusat Penelitian ArkeologiNasional. Selain .itu juga mengajar sebagai dosen tamu di Jurusan .Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Universitas Padjadjaran.

Jumlah karya tulis ilmiah dan semi populer yang telah diterbitkan, ditulis sendiri ataupun bersama dengan peneliti lain, baik dalam negeri maupun luar negeri sebanyak 89buah. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, diterbitkan di jurnal nasional atau intemasional serta terbitan khusus Puslit Geoteknologi- LIPI dan prosiding seminar atau workshop.

lV

BIOGRAFI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. .. .. .. .. .. . . .. . . . . .. iii

Daftar lsi. . . .. .. . . . v

PERAN ILMU STRATIGRAFI DAN PALEONTOLOGI DALAM PENERAPAN ILMu KEBUMIAN: Pemahaman Peran Biostratigrafi dalam Proses

Penentuan Umur Batuan 1

1. PENDAHULUAN . . .. 2

2. KAIDAH 1LMu STRATIGRAFI . . .. . . .. . .. . . . 3

3. STRATIGRAFI DALAM RUANG DAN W AKTU . . . . . . . . 4

4. BIOSTRATIGRAFIMENYANGKUTREN'rANGWAKTUKEHIDUPAN 10

5. KESIMPULAN 21

6. PENurUP . .. . . . . . . . . . . . . .. 22

7. UCAPAN'TERIMAKASm 23

DAFTAR PUSTAKA 26

DAFTARRIWAYAT HIDUP 29

v

ORASI PENGUKUHAN PROFESOR RISET

BIDANG STRATIGRAFI~P ALEONTOLOGI

Yang terhormat,

Pimpinan dan Anggota Maj elis Pengukuhan Profesor Riset, Para Hadirin yang saya muliakan

Assalamu 'alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh,

Pertama-tama perkenanlah saya bersama para hadirin dan hadirat memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul menghadiri upacara pengukuhan saya sebagai Ahli Peneliti Utama (profesor Riset) Bidang Stratigrafi-Paleontologi di Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Atas ridho dan perkenan-Nya jua pada hari ini saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang Ahli Peneliti Utama (Profesor Riset), Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul:

PERAN ILMU STRATIGRAFI DAN PALEONTOLOGIDALAM PENERAPAN ILMU KEBUMIAN:

Pemahaman Peran Biostratigrafi dalam Proses Penentuan Umur Batuan

1

1. PENDAHULUAN

Ilmu geologi terbagi ke dalam dua bagian utama meliputi geologi fisis (physical geology) dan geologi sejarah (historical geology). Geologi fisis menyangkut bagian material penyusun bumi dan proses-prosesnya, pembentukan, perubahan, pengw angkutan, dan perkembangan bentang alamo Adapun geologi sejarah berkaitan dengan catatan kehidupan flora ataupun fauna di atas bumi mulai dari awal terbentuknya hingga sekarang termasuk kehidupan manusia.

Hampir semua penyelidikan yang berkaitan dengan ilmu kebumian akan berujung kepada mendapatkan informasi mengenai waktu atau sejarah kejadian. Sejumlah upaya dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai umur peristiwa geologi tertentu, baik menyangkut aspek paleontologi yang terkait kehidupan fauna dan flora ataupun waktu yang diperlukan untuk membentuk urut-urutan Iapisan dalam sedimen. Dari urutan perlapisan sedimen tersebut akan terungkap j enis batuan serta proses pengendapan yang sangat berperan dalam pencarian mineral energi, seperti minyak bumi, batu bara, dan sedimen pembentuk mineral ekonomis lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, dua aspek stratigrafi yang tidak: bisa dipisahkan adalah

w lithostratigrafi : penelaahan mengenai ciri fisik dari lapis-

biostratigrafi

an

penelaahan mengenai kandungan fosil dalam lapisan untuk mengetahui umur dan kondisi ekologi keberadaan fosilnya

2

2. KAmAH ILMU STRATIGRAFI

Paleontologi dan stratigrafimerupakan iImu yang saling terkait satu sama lain. Kajian stratigrafi terutama terkait era! dengan batuan sedimen yang mencakup tiga aspek penting, yaitu petrografi sedimen, sedimentasi, dan . urut-urutan perlapisan (stratigrafi). Petrografi sedimen mencakup penelaahan material pembentuk batuan seperti komposisi, tekstur, dan struktur. Sedimentasimenyangkut proses dimana sedimen terbentuk, terangkut, dan diendapkan. Sedangkan· stratigrafi mencakup hubungan secara keseluruhan yang berkaitan dengan perlapisan batuan, tempat, dan catatan sejarahnya

Ide penggunaan stratigrafi sebagai ilmu dalam geologi muncul secara bersamaan di Inggris dan Perancis pada awal tahun 1800. Pemahaman iImu stratigrafi ini pertama kali dikemukakan oleh Leonardo da Vinci (c. 1550) yang didasarkan atas observasi fosil di daerah Apenines, Italy. TImuwan yang pertama mencatat dan mengenalkan pemikiran ciri suatu lapisan atau strata adalah Steno pada tahun 1669, sedangkan yang berkaitan dengan kepentingan penggunaan fosil dikemukakan oleh Lister (1671) dan Hooke (1705).

Sejumlah kaidah yang dianut para geolog dalam menelaah ilmu stratigrafi seperti dikemukakan oleh Steno (1669), mengenai Prinsip Superposisi (Principle a/Superposition) dan Prinsip Kesejajaran (Principle of Original Horizontally). Dalam kaidah ini dikemukakan bahwa dalam suatu sekwensi yang berlapis datar, lapisan paling tua terletak di bagian bawah, dan lapisan paling muda terdapat di bagian atasnya, awal pembentukan lapis an diendapkan dalam kondisi yang hampir horizontal. Selain itu dalam mengamati permasalahan ilmu stratigrafi perIu dicermati prinsip lain dalam ilmu geologi seperti dikemukakan oleh James Hutton (1726-1797) yang dikenaI dengan kaidah uniformitarianisme. Prinsip ini merupakan konsep siklus geologi, dimana proses tektonik, erosi, pengangkatan sedimen, dan pengendapan merupakan perulangan

3

siklus berkelanjutan dalam waktu ·geologi. Dalam kaidah irii diungkapkan pula bahwa proses-proses yang terjadi pada saat sekarang juga berlangsung sama pada masa lalu (the present is

the key to the past). ,

Stratigrafi merupakan ilmuyang mempelajari perlapisan, paleogeografi dan paleoekologi, Pada dasamya stratigrafi itu menyangkut perlapisan, baik pada batuan sedimen, volkanik, ataupun batuan malihan, terutamaberkaitan dengan ' sekwensi waktu, sifat batuan dan korelasi lapisan dari berbagai lokasi (Dunbar dan Rogers, 1957; Whitten rum Brooks; 1972). Penelaahan batuan ini selain nienyangkut kondisi perlapisan (stratifikasi) yang nyata terlihat, jugayang paliugpenting adaIah penafsiran kejadian dari perlapisan itu sendiri. Berkaitan dengan itu, pemerian deskriptif stratigrafi tidak berarti apa-apa tanpa mengetahui kaitan dengan pencatatan sejarahnya.

3. STRATIGRAFI DALAM RUANG DAN W AKTU

Dengan berpegaug pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum seperti yang telah diuraikan di atas, kitadapat menafsirkan kej adian dimana batuan sedimen diendapkan, apakah dalam lingkungan darat atau Iaut Bahasan utama dalam stratigrafi didasarkan atas Iapisan atau strati Prosesperlapisan ak:an terjadi bilamana materi pengendapan memperlihatkan perbedaan besar butir, komposisi, biokimia, bahan pembentuk.dan struktur di dalam lapisan, sedangkan bilamana materi pembentuknya homogenmaka tidak akan memperlihatkan perlapisan yang

signifikan., .

Di darat sedimen dapat diendapkan dari aktifitas gunung berapi, oIeh angin dalam Iingkungan gurun, dan terangkut sungai. Kondisi pengendapan darat ini dapat terungkapkan berdasarkan ciri dan stratifikasinya, sedangkan pengendapan laut mencakup pengendapan yang paling luas mulai dari pantai hingga Iaut dalam. Perbedaan tempat pengendapan ini akan dapat terungkap dari eiri proses sedimentasinya,

4

Suatu lapisan yang terbentuk di alam akan meneeritakan kepada kita berbagai peristiwa a1am yang sangat unik, dimana tergambar proses pengangkutan butiran materi, jarak dari sumber batuan, lamanya kejadian itu berlangsung, tempat dimana pengendapan itu terjadi, kondisi lingkungan endapan, dan eiri sedimen sebelum dan sesudah lapisan itu terbentuk. Da1am suatu lapisan, terutama pada lapisan yang diendapkan oleh proses dengan media air ataupun angin, akan terrefleksikan gambaran mengenai pengangkutan butiran ·dengan besaran energi yang menyebabkan terjadinya bentukan dalam lapis an itu yang biasa dinamakan struktur sedimen (F oto 1). Struktur sedimen ini tergambar dalam berbagai bentuk dan ukuran yang meneirikan lingkungan dimana butiran tersebut diendapkan. Da1am struktur tersebut juga dapat ditelaah proses yang terjadi da1am arah vertika1 dan horizontal, Ke arab vertika1 akan mengungkapkan proses waktu yang diperlukan untuk membentuk lapis an pada keteba1an tertentu, sedangkan da1am arah horizonta1 akan meneeriterakan mengenai kondisi fasies dimana lapisan itu terbentuk.

Bila dieermati dengan seksama maka akan terlihat perbedaan jelas antara struktur-struktur sedimen sejenis yang diendapkan dalam lingkungan berbeda, semisal struktur silang siur yang diendapkan oleh angin dan struktur serupa yang diendapkan dalam lingkungan sungai ataupun oleh proses turbidit. Selain struktur sedimen yang terdapat dalam satu lapisan, pengkajian juga bisa didasarkan atas urut-urutan perlapisan (Hadiwisastra & Hantoro, 1933, Foto 2). Kajian sekwensi ini sangat bermanfaat dan luas dikaji terutama da1am menganalisa urutan batuan yang berkaitan dengan eksplorasi potensi hidrokarbon di suatu daerah,

5

Foto 1. Struktur silang siur dan laminasi sejajar

Foto 2. Urut-urutan perlapisan endapan laut dalam di daerah Sumba bagian selatan.

Pemahaman ilmu stratigrafi ini sangat diperlukan dan menjadi faktor yang menentukan dalam mencari dan mengungkapkan potensi yang berkaitan dengan keberadaan kandungan minyak bumi. Dukungan disiplin ilmu lainnya seperti rekaman seismik dan hasil pengamatan geofisika lainnya sangat

6

menentukan keberhasilan dalam eksplorasi minyak bumi. Pengembangan kemudian dalam lingkup stratigrafi yang berkaitan dengan eksplorasi. minyak ini adalah penyelarasan penentuan umur biostratigrafi dengan pengamatan siklus seismik dan geomagnetik yang dikenal dengan istilah stratigrafi sekwen (sequence stratigraphy). Kemunculan stratigrafi sekwen ini telah mendorong lebih lanjut penelaahan biostratigrafi. Kerangka stratigrafi sekwen adalah waktu, oleh karenanya pengamatan stratigrafi sekwen membutuhkan tatanan biostratigrafi dalam menentukan batas sekwensi, permukaan erosi dan sistem bidang. Selain itu kemunculan stratigrafi sekwen ini dipicu pula oleh pengungkapan kurva permukaan laut eustatik global (global eustatic sea-level curve) oleh Haq dkk (1988).

Perkembangan peneIaahan stratigrafi lainnya adalah mengkaii korelasi stratigrafi non paleontologi memakai teknik chemostrati~rafi yang mengunakan pengukuran perbandingan isotop 86Srl Sr, isotop karbon, oksigen, dan geokimia batuan keseluruhan. Walaupun demikian ada kendala dalam menganalisa dengan sistem ini yaitu tergantung pada tingkat penguasaan asal batuan dan pengaruh ubahan diagenetik (diagenetic alteration) dari batuan. Pengkajian korelasi masih tetap dan sering memakai sistem biostratigrafi untuk kalibrasi.

Aplikasi ilmu stratigrafi selain sangat bermanfaat dalam mengkaji potensi hidrokarbon di suatu lapangan minyak, juga sangat bermanfaat dalam menunjang penelitian-penelitian yang berkaitan dengan arkeologi. Kajian arkeologi menyangkut benda-benda temuan (artefak) yang berkaitan dengan aktifitas dan kebudayaan masa lalu, sedangkan aspek geologi terkait kajian tersebut adalah penentuanjenis material, asal bahan, serta posisi artefak dalam suatu penggalian.

Sarna halnya dalam ilmu geologi, bidang arkeologi juga sangat penting untuk penelaahan mengenai kondisi dan kejadian suatu peninggalan kehidupan manusia. Dalam bidang arkeologi, hal yang sangat. penting untuk menafsirkan artefak pada suatu penggalian (eskavasi) adalah perioda, waktu kejadian, dan kondisi lingkungan untuk dapat merekontruksikan kehidupan

7

masa lalu. Kajian arkeologi sangat luas dan keterkaitan ilmu geologi dalam arkeologi terutama menyangkut bidang iprasejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, penelaahanstratigrafi menyangkut strata dari lapis an yang mengandung artefak sangat penting dalam menunjang pengungkapan permasalahan yang timbul. Seringkali pemahaman kaitan tersebut terabaikan; sehingga menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan kondisi kejadian .:

Kekurangakuratan pemahaman masalah stratigrafi dalam menanggapi penemuan fosil manusia purba baik yang ditemukan di daerah Sangiran ataupun yang baru-baru ini menimbulkan kontroversi, yaitu penemuan manusia kerdilpurba (Homo floresiensisi di gua Liangbua, Flores. Berdasarkan hasil eskavasi dari beberapa kotak gall dalam gua di situs Liang Bua terungkap kronologi hunian mulai dari masa paleolitik hingga paleometalik (Hadiwisastra,1986)

Selain penemuan penting sejumlah fosil juga yang tidak kalah pentingnya adalah proses sedimentasi yang membentuk endapan dalam lingkungan gua. Endapan sedimen dengan temuan penting berupa artefak ataupun proses sedimentasi yang terekam dengan baik, jarang ditemukan dalam suatu lingkungan gua seperti yang diperoleh dalamgua Liang Bua tersebut ( Hadiwisastra, 2005).

Kontroversi yang mencuat pertama kali dari penemuan manusia kerdil purba dari Liangbua adalah lebih kepada tipe manusia purba tersebut, apakah termasuk pada tipe Homo erectus ataukah masih tipe Homo sapiens. Sedangkan dalam aspek geologi permasalahan yang timbul adalah lingkungan dan umur dari temuan manusia purba tersebut.

Kembali kepada keakuratan penelaahan urut-urutan stratigrafi yang menyusun Iapisan sedimen di situs tersebut harus secara cermat dikaji, hal ini berkaitan dengan penemuan sejumlah fosil lain dalam eksavasi Liang Bua, mulai dari fosil gaiah stegodon, kura-kura, komodo.. biawak, dan fosil manusia purba Hal yang menarik dari penemuan tersebut adalah umumnya fosil vertebrata ditemukan sudah dalam keadaan

8

berupa potongan dalam sedimen yangterangkut dan diendapkan oleh sungai. Interpretasi yang bisa diungkapkan darimateri tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi .proses pengangkutan materi tersebut hingga sampai pada lokasi dalam lingkungan gua tersebut. Pembuktian terjadinya proses pengangkutan ini juga diungkapkan dari kondisi sedimen yang memperlihatkan terj adinya proses pengendapan yang dipengaruhi oleh media air, yang dibuktikan dengan terekamnya sejumlah struktur sedimen berupa laminasi sejajar ataupun struktur silang siur (Hadiwisastra, 2005,Foto 3).

Foto 3 Ciri endapansungai dalam salah satu lubang eksavasi di Liang Bua

Fosil manusia purba di situs tersebut ditemukan dalam keadaan yang relatif utuh dimana selain tengkorak juga ditemukan bagian tulang lainnya seperti tulang rusuk dan tangan. Dalam hal ini tampak fosil manusia purba tersebut terletak dalam strata berbeda dengan temuan fosil lainnya Lengkapnya kondisi fosil kerangka tersebut juga memberikanindikasi bahwa manusia purba tersebut terkubur insitu atau tidak mengalami perpindahan jauh seperti halnya potongan fosil lainnya. Sehubungan dengan hal itu penuntasan kajian aspek stratigrafi

9

sangat diperlukan untuk: dapat memberikan pemahaman akurat terhadap posisi dan kondisi manusia purba Homo floresiensis dengan lingkuugan dan umur kejadian yang lebihjelas.

4. BIOSTRATIGRAFIMENYANGKUTRENTANG WAKTU KEHIDUPAN

Pada suatu pengamatan yang berkaitan dengan iImu kebumian, yang paling umum timbul dari benak seorang geolog adalah pertanyaan "berapa tahun umurnya?". Umur dalam bahasan geologi menyangkut rentang waktu yang sangat panjang, bisa ribuan hingga jutaan tahun. Berkaitan dengan fenomena tersebut, biostratigrafi dan geokronologi merupakan salah satu cara untuk memperoleh solusi menjawab pertanyaan tersebut di atas.

Biostratigrafi merupakan suatu disiplin ilmu dimana posisi relatif stratigrafi dari batuan sedimen ditentukan oIeh kandungan fosilnya dan posisi keberadaannya dalam ruang dan waktu, jadi merupakan studi yang mempelajati penyebaran spatial dan temporal dari suatu jenis organisma(Simmon dkk, 1997). Perbedaan jenis fosil mencirikan lingkungan sedimen yang berbeda dan karena evolusi organik juga mencirikan perbedaan perioda waktu (pearson,1998). Umumnya biostratigrafi bertujuan sebagai alat korelasi dati suatu horizon tertentu di dalam penampang geologi yang menunjukkan kesamaan perioda berupa horizon dengan penampang lain.

Hal utama dalam penentuan umur biostratigrafi adalah penggunaan fosil petunjuk:. FosiI yang digunakan ini harus mempunyai penyebaran geografis yang relatif Iuas. Misalnya ammonites, graptolites dan trilobit sangat luas digunakan sebagai fosil petunjuk, terutama untuk batuan yang berumur PraTersier. Sedangkan fosil petunjuk umur batuan Tersier sangat beragam diantaranya seperti nummulite, lepidocyclina, cycloclypeus dati ordoforaminiferabentos, hantkenina dari

10

foraminifera plangton, turritella dari mo1uska atau stegodon dari ordo vertebrata.

F osi1 digunakan karena lapisan sedimen yang berumur sama dapat memperlihatkan kenampakan fisik berbeda disebabkan pengaruh variasi lokal dalam lingkungan sedimen.Misalnya dari satu penampang didominasi oleh lempung dan napal sedangkan yang .lain berupa batugamping akan: tetapi mempunyai kandungan.fosil samaDalamhal ini ditafsirkan bahwa kedua penampang .. sedimen tersebut ditmdapkandalam kurun waktu yang, hersallaaD. tetapi berbeda fasiespengendapannya. Sejumlah fosil tertentu dapat ditemukan 'dalam ·lingkungan pengendapansedimen yang berbeda, dimana j~nis:'fosil yang digunakan .: dalan; biostratigrafiadalah untuk. .penentuan lingkungan . ma'!lPuriumur batuan. Di Indonesia penggunaan fosil besar yangdapat menentukan umur batuan Iebih tua dari Tersier, sepertikelompok Dinosaurus, kurang populer karena belum pemahditemukan fosil serupa Halini berkaitan dengan kondisi lingkungan untuk perkembangan jenis fauna seperti itu di Indonesia jidak memungkinkan, Diperkirakan-pada kurun waktu tersebut.rlndonesia ·masih berada di bawah:permukaan laut, yang 'ditandaidengan banyaknya ditemukan fosil fauna invertebrata Iaut berumur tua ini di daerah Timor, Kalimantan

dan Papua . .

Penemuan penting fosil vetebrata besar di Indonesia lebih terpusat pada fauna-fauna yang berumur Tersier dan Kuarter, seperti penemuan fosil vertebrata di daerah kubah Sangiran dan tempat-tempat lainnya di Jawa (Hadiwisastra,1983). Sedangkan yang paling menjadikan Indonesia terkenal dalam bidang paleontologi adalah penemuan manusia purba J awa yangdikenal dengan nama Homo erectus dari daerah Trinil dan Sangiran. Fosil tersebut pertama kali ditemukan oleh Du Bois di Trinil pinggiran sungai Bengawan Solo pada tahun 1891-1892 (Bemmelen, 1948) yang pada awalnya fosil tersebut dinamakan sebagai Pithecanthropus erectus. Penemuan fosil hominid lainnya yang cukup terkenal dalam pemberitan intemasional dan

11

kontroversial adalah penemuan fosil Homo jloresiensis pada tahun 2005 di situs Liang Bull, Flores (Foto 4).

Penentuan umur relatif batuan didasarkan pada sejumlah fosil yang ditemukan pada .Iapisan batuan baik di darat ataupun di ·laut. Pemanfaatanilmu mikropaleontologi telah berkembang pesat sejalan dengan kajian fosilmikro dalam kegiatan

Foto .4. Manusia Prasejarah Flores, Homo floresiensts

(DOk. Tim Liang Bua;W03)

eksplorasi minyak. Penggunaan biostratigrafi dalam eksplorasi minyak telah lama dipakai sebagai alat baku, dimana penentuan umur relatif digunakan sebagai acuan data dasardan disertakan pula perkiraan tentang .lingkungan· pengendapan dari sedimen. Keterbatasan kisaran strarigrafi dari sejumlah taksa fosil digunakan untuk keperluan korelasi, yang dikenal dengan skema biozonasi ( interval. yang dicirikan oleh satu spesies atau kelompok spesies). Interpolasi dengan informasi umur numerik yang ·berasaI dari penentuan umur radiometrik, biozon "dan pembagian skala waktugeologi menghasilkan nilai kronologi, yang umumnya dikenal sebagai biokronologi.

12

Pada sedimen terestrial (darat), umumnya digunakan kelompok fosil polen dan spora, Spora dapat digunakan untuk penentuan umur sedimen mulai dari zaman Devon (kira-kira 400 juta tahun) hingga Resen, sedangkan fosil polen mulai dari zaman Kapur Atas (kira-kira 80 juta tahun) bingga Resen. Dalam sedimen laut, nannofosil sangat baik untuk menentukan umur mulai dari zaman Jura .(kira~kira 210 jutatahun ) hingga Resen, foraminifera digunakan pada semua jenis sedimen laut mulai . dari lingkungan dangkalhinggabatial dengan rentang waktu mulai dari zaman Karbon (kira-kira 360 juta tahun) hingga Resen. Sedangkan kelompok palinomorfa (dinoflagelata, akritar dan tasmanit) dapat digunakan untuk menentukan umur zaman Perm (kira-kira 260 juta tahun) hingga Resen. Dalam sedimen yang banyak mengandung silika, diatom dan radiolaria dapat digunakan, terutama untuk sedimen yang berumur zaman Tersier (kira-kira 65 juta tahun),

Walau demikian, jenis fosil tersebut di atas tidak selalu dapat secara langsung digunakan untuk penentuan umur dan lingkungan pengendapan sekaligus. Sejumlah fosil sangat menunjang dalam penentuan umur tetapi kurang baik sebagai penentu lingkungan dan sebaliknya ada spesies yang sangat baik dalam penentuan lingkungan tetapi kurang mendukung dalam hal penentuan umur. Sejumlah kelompok fosil yang umum digunakan sebagai indikator untuk kegunaan stratigrafi. dan lingkungan, seperti tertera berikut ini:

FOS1L RESOLUSI STRA TIGRAFI KISARAN UMUR Outa
WAKTU. tahun)
kurang baik Devan-
Spora/pollen " pertengahan Resen . 400-0
pertengahan
Nannofosil kurang baik pertengahan - Jura - Resen 210 - 0
tinggi
Foraminifera baik pertengahan " Karbon- 360- 0
tinggi Resen
Dinoflagelata kurang balk pertengahan - Penn " 260- 0
tinaai Resen
Diatom/radiolaria pertengahan pertengahan - umumnya 65 - 0
tinggi Tersler 13

Perkembangan biostratigrafi dicapai dengan pemakaian metoda yang dikenal dengan zonasi biostratigrafi atau biozonasi, dimana strata dikelompokan menjadi unit-unit yang didasarkan pada kandungan fosilnya.

Penentuan biozonasi diawali dari suatu penelaahan urutan stratigrafi dan penentuan fosil yangterkandung. Penyebaran vertikal dalam batuan dari fosil tertentu dikenal sebagai kisaran -stratigrafi, sedangkan diagram yang menggambarkan penyebaran beberapa atau semua fosil taxa yang ada dalam suatu tempat disebut dengan tabel kisaran-stratigrafi.

Dari tabel kisaran stratigrafi tersebut dapat ditentukan "kejadian biostratigrafi" (biostratigraphical events) berupa keberadaan awal atau akhir dari suatu spesies, subspesies ataupun taxa yang lebih tinggi Iagi. Hal lain yang juga biasa dipakai dalam . menelaah biostratigrafi adalah mengenai keberadaan puncak (peak abundance) atau kenampakan suatu kumpulan jenis spesies tertentu. Tingkatan dari sejumlah kejadian biostratigrafi dapat dikorelasikan dari satu tempat ke tempat lainnya oleh suatu permukaan yang disebut biohorizon. Interval stratigrafis yang terletak antara dua biohorizon tertentu disebut sebagai biozon (Gambar 1) ..

Pemanfaatan biostratigrafi dalam pemakaian fosil sebagai penentu umur relatif di Indonesia, telah berlangsung lama. Hal ini dapat dikemukakan dengan pemakaian penentuan kisaran umur relatif batuan yang didasarkan pada keberadaan sejumlah fosil foraminifera besar, yang dikenal dengan Klasifikasi Huruf. Klasifikasi ini membagi zaman Tersier di Indonesia menjadi beberapa bagian atau tingkatan yang dicirikan dengan huruf a hingga h (Adam, 1970).

14

! nlnhorizon:···1··· '" ·1··· .1.,1. ~ L

a: ~ ~ ~

"" J ~ ~

~ lIiullOtizon!. •• '" •••..••.•• _ -. -_ .•••. _ L _ --.- _ .• -.~. -I ........ ".! .......

~ ! . I I

UiOlOU Biu-l.Oll

Ktsnran Tn." K;8aran [.;ongkm"en

Blozon Interval

BiOlfJll Interval

Biezcn Interval

Gambar 1. Nomenklatur zona biostratigrafi berdasarkan International Stratigraphic Guide ..

Klasifikasi ini pertama kali dikemukakan oleh van der Vlerk & Umbgrove (1927) yang membagi Tersier atas enam bagian utama, kemudian Leupold & van der Vlerk (1931) merubah pembagian tersebut menjadi delapan bagian dan akhirnya van der Vlerk (1955) merevisi kembali pembagian tersebut di atas menjadi enam bagian yang terdiri dari Ta, Tb, Tc, ra, Te dan Tf (Tabell).

15

Tabell. Klasifikasi huruf oleh Van Der Vlerk dan Umbgrove (1927)

ZAMAN TERSIER

Penggunaan klasifikasi huruf ini kurang berkembang pesat dimana beberapa kekurangan yang muncul adalah tidak meratanya keberadaan kand ungan foraminifera besar dalam sedimen. Jenis fosil ini umumnya berupa foraminifera bentos yang hanya terdapat dalam lingkungan laut dangkal, sedangkan dalam sedimen Iaut dalam jarang ataupun tidak pernah ditemukan jenis fosil terse but.

Di Indonesia juga pemah berkembang pemakaian fosil moluska untuk biostratigrafi .seperti yang dikemukan oIeh Martin (1931). Penentuan ini didasarkan pada kesebandingan persentasi fauna moluska dengan spesies yang masih hidup sekarang. Makin. sedikit persentasi kemiripan fauna makin tua umur lapisan, sedangkanmakin banyak ditemukan spesies yang mirip dengan spesies yang ada sekarangmakin muda umumya. Berdasarkan metoda Martin tersebut diperoleh gambaran

16

kemiripan seperti yang terungkap eli daerah Indopasifik sebagai berikut:

lebih dari 70% 50-70% 20-50% 8-20%

tidak ada spesies moluska yang mirip

Oostingh (1938) membuat pembagian fauna moluska eli Jawa seperti berikut:

Kuarter

Pliosen MiosenAtas Miosen Bawah - Eosen

Tabel2. Pembagian zonasi fauna moluska eli Jawa

UMUR TINGKATAN FOSIL
Pleistosen Bawah Bantamian Turritella angulata bememensis
Clavus ma/ingpingens;s
PliosenAtas Sondian Turritella angulata tjicumpeiensis
Terebra vetbeeki
T. Insulinidae
Conus sondeianus
Cheribonian Turritella angulata acuticarinata
MiosenAtas Tjiodeng Turritella angulata cremetensis
Miosen Tengah Preangerian Turrilella anguJata anguJata
Siphocyprea caput-viperae
Vicarya verneuil/; callosa
Miosen Bawah Rembangian Turritella subulala Stratigrafi moluska ini terutama digunakan untuk sedimen yang berumur Pliosen seperti yang disajikan pada Tabel2.

Pemanfaatan biozonasi dalam eksplorasi minyak bumi eli Indonesia dengan menelaah kisaran yang mendasarkan pacta kandungan fosil foraminifera plangton, eligunakan pada dalam penentuan zonasi dari sumur Bojonegoro-1 oleh Bolli (1966).

17

Penggunaan fosil foraminifera plangton ini jauh lebih baik dibandingkan dengan memakai kisaran foraminifera bentos besar, karena foraminifera plangton mempunyai kisaran lingkungan yang Iuas, mulai dati laut dangkal hingga Iaut dalam walaupun kisaran umur dati fosil ini kadang-kadangjuga agak panjang.

Dalam perkembangan biostratigrafi selanjutnya digunakan biozonasi yang didasarkan pada kandungan fosil nannoplangton. Fosil ini termasuk pada jenis flora yang sangat kecil berukuran 15 hingga 100 mil yang hidup di laut dengan kisaran horizontal yang luas mulai dati fasies laut dangkal hingga ·laut dalam. (Hadiwisastra, 2000,Garnbar 2).

Pemakaian fosiI untuk biostratigrafi tersebut terbukti cukup baik diterapkan pada sedimen laut yang berumur Jura hingga Pleistosen (perch-Nielsen, 1985). Sejarah penemuan fosil nannoplangton telah lama yang diawali penemuan oleh Ehrenberg (1836) atas bentuk ovoid kecil yang terdapat dalam batuan kapur, sedangkan Huxley (1858) menamakan bentukbentuk seperti itu sebagai "coccolith" (dalam Bramlette & lliedel, 1954).

Di Indonesia penelitian terhadap fosil nannoplangton yang menghasilkan sistematika pertamakali oleh Tan Sin Hok (1927) dengan menggunakan nama "Discoaster" pada sejumlah spesies berbentuk bunga (rosette) yang berumur Tersier.

Penggunaan nannofosil ini memberikan beberapa kemudahan dalam analisa dan penafsiran kisaran umur, di antaranya:

- terdapat dalam jumlah sangat banyak dalam batuan sedimen laut;

18

Gambar 2. Sejumlah nannofosil yang terdapat dalam Fonnasi Nanggulan, Jawa Tengah (Hadiwisastra,2000).

- sebagai organisma, plangton mempunyai penyebaran geografi yang luas

- memperlihatkan perubahan evolusi cepat yang menghasilkan pembagian zonasi pendek padakurun waktu geologi

Walau demikian, pemakaian fosil nannoplangton ini juga mempunyai beberapa kendala di antaranya adalah:

- ukuran fosil tersebut sangat kecil, sehingga seringkali pengawetan cangkangnya kurang baik

- mudah terkontaminasi bilamana penanganan preparatkurang baik

- sering dijumpai fosil hasil pengendapan ulang (reworked fossil)

Penggunaan nannofosil dalam .piostratigrafi diawali oleh Bramlette & Riedel (1954) yang kemudian menghasilkan pembagian zonasi nannoplangton. Kisaran umur berdasarkan pembagian zonasi tersebut temyata sangat dipengaruhi oleh letak. geografis. Martini (1971) membuat kisaran zonasi baku nannofosil terutama untuk zaman Tersier dan Kuarter yang didasarkan pada sayatan stratigrafi di daerah subtropis. Bukry

19

(1973) membuat zonasi baku nannoplangton untuk daerah «low latitude" berdasarkan hasil pemboran laut dalam-DSDP (Deep Sea Drilling Project) di Samudera Pasifik, yang kemudian di sempurnakan oleh Okada & Bukry (1975).

Pembagian zonasi nannoplangton terutama didasarkan pada kenampakan awaldan akhir suatu spesies yang mengindikasikan suatu kejadian dalam biostratigrafi. Penggwiaan awal kenampakan suatu spesies merupakan kriteria utama dalam penentuan batas zonasi yang didasarkan pada penampang stratigrafi dati satuan batuan tertentu. Sedangkan kenampakan akhir akan menjadi bias bila diakibatkan oleh adanya fosil hasil pengendapan ulang. Sedangkan dalam menganalisa _- hasil pemboran, informasi tersebut akan terbalik, dimana kenampakan akhir suatu spesies mempunyai arti lebih signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya kontaminasi oleh material yang tergerus kembali pada saat mata bor masuk ke bagian yang lebih dalam.

Pada saat pemanfaatan zonasi tersebut untuk daerahdaerah yang tersingkap di daratan, timbul kendala menyangkut penyebaran sejumlah spesies nannoplangton yang dijadikan sebagai fosil petunjuk. Hal ini terungkap dan penggunaan zonasi yang dikemukakan oleh Martini (1971) ataupun Okada & Bukry (1975). Sehubungan dengan hal itu perubahanataupun penggunaan - sejumlah spesies diterapkan - dalam membuat zonasi stratigrafi pada satuan batuan - yang berumur Paleogen di daerah Jawa Tengah (Hadiwisastra, 2002). Pemanfaatan zonasinannoplangton pada sejumlah penampang terukur dalam batuan Paleogen di daerah Jawa Tengah disajikan _dalam Gambar 3. Dati pembagian zonasi tersebut - terungkap sejumlah zonasi nannopangton yang didasarkan atas kenampakan awal dan akhir spesies tertentu seperti tertera padaGambar 4. Dalam hal ini kesebandingan dengan zonasi Okada & Bukry (1975) _lebih mendekati dibandingkandengan zonasi baku Martini (1970)'( Gambar5).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhiperkembangan spesies nannoplangton, dimana sejumlah spesies yang berkem-

20

bang baik di daerah subtropis dan dijadikan sebagai fosil petunjuk. Akan tetapi taxa serupa di daerah Indonesia (tropis) jarang ditemukan, karenanya tidak bisa dipakai sebagai fosil petunjuk (Hadiwisastra, 2000).

Contoh yang lain lagi adalah menyangkut spesies Dtscoaster saipanensis dan Discoaster barbadtensis. Kedua spesies terse but dipakai sebagai fosil petunjuk untuk: masa peralihan dati Eosen ke Oligosen. Menurut Martini (1971) maupun Okada & Bukry (1975), Discoaster barbadiensis sangat dominan dan dipakai sebagai zona batas, sedangkan dalam batuan Paleogen di daerah Jawa Tengah, Discoaster saipanensis Iebih berkembang dan karenanya dapat dipakai sebagai zonasi batas yang didasarkan pada kenampakan akhir/ kemusnahannya (Hadiwisastra,200 1).

5. KESIMPULAN

Dari seluruh pengamatan lapangan dan kegiatan laboratorium serta kajian-kajian hingga saat ini, bidang stratigrafi dan paleontologi merupakan pengetahuan yang sangat penting untuk mengetahui kehidupan masa lalu baik yang berukuran besar ataupun dalam ukuran mikro serta perkembangan dan evolusi dati sejumlah kehidupan fauna tertentu. Perubahan ini dicerminkan dalam kajian sedimen yang menjadi kunci dalam penemuan reservoir minyak dan gas bumi serta batu bara.

Karena pentingnya peranan dalam pencarian sumber energi di negara kita ini, maka pengetahuan tentang ilmu stratigrafi dan paleontologi sangat diperlukandan hams dikembangkan sebaik-baiknya, Keterbatasan informasi pentingnya pengetahuan ilmu stratigrafi dan paleontologi dalam menunjang pemenuhan eksplorasi energi tampaknya telah mengurangi minat putra putri Indonesia untuk: terjun menekuni ilmu ini. Mudah-mudahan ke depan pola pik:ir tersebut dapat berubah menjadi lebih cerah.

21

Daya tarik eksplorasi energidi Indonesia cukup tinggi mengingat kondisi geologinya yangcukup memungkinkan untuk itu, sehingga selalu diperlukan sumber daya manusia yang cukup terlatih.

6.PENUTUP

Penelitian mengenai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kajian fosil masih sedikit sekali, hal ini dapat dipahami karena ilmu stratigrafi dan paleontologi membutuhkan keuletan dan kesabaran namun seringtanpa imbalan materi yang memadai. Makin lama keinginan mencari dan mengamati fosil untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia makin tererosi, sehingga dikhawatirkan akan memudarkan kajian-kajian mengenai ilmu-ilmu dasar seperti stratigrafi dan paleontologi ini. Keanekaragaman hayati yang mempesonakan yang ada di bumi Indonesia ini tidak hanya mahluk yang sekarang masih hidup akan tetapi juga yang telah menjadi fosil. Keaneka ragaman fosil fauna maupun flora baik berukuran besar ataupun dalam sekala mikro dari yang berumur jutaan tahun hingga ribuan tahun masih banyak yang terkubur di bumi Indonesia ini. Penanganan fosi1 tersebut memerlukan perhatian penelitipeneliti Indonesia dan j angan sampai kita sela1u tertinggal dalam penemuan-penemuan fosil baruyang mendunia oleh penelitipeneliti asing.

Demikianlah bahasan pidato pengukuhan ini yang merupakan refleksi pengalaman dalam menekuni penelitian selama menjadi karyawan di Pusat Penelitian Geoteknologi -Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia.

22

7. UCAPAN TERIMA KAsm

Sebelum mengakhiri pembacaan orasi pengukuhan .ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Kepala LIPI, Bapak Wakil Ketua LIPI,· Bapak: Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan para Anggota Majelis Pengukuhan Profesor Riset atas kesempatan yang telah diberi-: kan kepada kami untuk menyampaikan pidato pengukuhan ini.

Terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi beserta seluruh staf yang telah memberikan dukungan sebingga orasi pengukuhan ini dapat terlaksana

Kami mengucapkan terima kasih kepada almarhum Dr.

Koesmono yang mengenalkan ilmu geologi pertama kali, almarhum Prof Dr. Sartono yang telah memberikan dorongan kuat untuk mempelajari lebih mendalam mengenai ilmu kebumian dan bimbingan dalam membuat pelaporan atas data kebumian yang diperoleh dati lapangan, dan kepada Prof Dr. R.P.Soejono dati arkeologi yang telah memberikan kesempatan kepada saya mendalami keterkaitan ilmu geologi dengan disiplin arkeologi. Selain itu terima kasih saya ucapkan pula kepada Prof (emiritus) Dr. Hisao Kumai atas bimbingan dan pengarahannya selama studi di Osaka Jepang.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Dr. Fred Hehuwat dan rekan-rekan sejawat seperti Dr. Suparka, Ir. Suwijanto, Ir. Peter Hehanussa, Drs. Sapei Siregar dan rekan-rekan lainnya di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan menimba ilmu kebumian dari mulai masuk sebagai karyawan LIPI hingga sekarang,

Dalam kesempatan ini pula ingin sekali kami menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua almarhum ayah dan ibu yang tidak sempat melihat anaknya mencapai karier seperti ini.

Terima kasih yang amat dalam saya sampaikan kepada isteri tercinta dan kedua anak saya, atas kesetiaan, ketabahan

23

serta kesabarannya yang tidakputus-putusnya memberikan dorongan moril kuat untuk mencapai tingkat pengabdian yang setinggi-tingginya. Kepada merekalah saya persembahkan kehormatan ini. Bersama mereka saya panjatkan rasa puji dan

. .

syukur ke hadirat Allah swt atas segala anugerah dan karunianya

yang telah dilimpahkan. Amien .

Akhirnya katni ucapkan terima kasih kepada Ibu Bapak yang telah sabar mengikuti pidato pengukuhan ini, semoga Allah Yang Maha Penyayang . dati Pemurah memberkati dan melimpahkan rakhmat serta hidayahrcya kepada kita semua.

Purlieu. . .

Wa billahi taufik wal hidayah,

Wassalaamu'alikum wa rah'matullaahi wa barakaatuh.

24

Gambar 3. Penyebaran nannofosil dari Formasi Nanggulan, Jawa Tengah

(Hadiwisastra, 2002)

Gambar 4. Pembagian zonasi nannoplangton berdasarkan kenampakan awaI dan akhir spesies,

25

(Hadiwisastra, 2001)

Gambar 5. Pembagian zonasi nannoplangton Paleogen di daerah Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, C.G., 1970, A reconsideration of the East Indian Letter Classification of the Tertiary. Bull. British Museum Nat. History, Geology. Vol 19 No. 3,137 p.

Bemmelen, van, R W, 1949, The Geology of Indonesia, vol. 1A. General

Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago. Martinus

Nijhoff. The Hague.

Bolli,H.M., 1966, The Planktonic Foraminifera in Well Bodj onegoro-l of Java. Eel. Geol. Helv., v.59, n.I, 449 -465.

Bramlette,M.N., and W.R Riedel, 1954, Stratigraphic Value of Discoasters and Some Other Microfossils Related to Recent. Journ. Paleontology 28, p. 385 - 403.

Bukry, D., 1973, Biostratigraphy of Cenozoic marine sediment by calcareous nannofossil. Micropaleontology, v.24, no. 1, p. 44 - 60.

Callagher, L. T., 1989, Course on Nannofossil. Lemigas - Jakarta

Charles Darwin, 1859, The Origin of Species. Oxford University Press 1996. 439p.

Dunbar.CD', and 1. Rodgers, 1957, Principles of Stratigraphy. Wiley & Toppan, 357p

Friedman,G.M., and J.E. Sanders, 1978, Principles of Sedimentology.John Willey & Sons. 792 p.

26

Hadiwisastra, S.,& W.S. Hantoro, 1983, Geologi Sumba Timur. Lap.

Penelitian No. 09/LGPN/1983

Hadiwisastra, S., 1984, The Hominid-bearing Pucangan Formation in Central and East Java. Modem Quaternary Research in Southeast Asia. No.8.

Hadiwisastra,S., 1986, Sedimentasi dan Pemukiman Gria di Liang Bua, Flores. Prosiding PIA IV.

Hadiwisastra, S., 1990, Stratigraphical Aspects of Paleo cave Environment of the Liang Bua Area, Flores. 14th Congress of the IPPA (Indo Pasific Prehistory Association). Y ogyakarta.

Hadiwisastra,S., 1998, The Pliocene- Pleistocene Faunal Event in Central Java Area. International Colloqium on Sangiran; Man, Culture and Environment in Pleistocene. Solo.

Hadiwisastra, S., & H. Kumai, 2001, Biostratigraphy of calcareous nannofossil in the Paleogene chaotic sediment in the Karangsambung area, Cental Java, Indonesia. Journal of Geosciences, Osaka City University, v.43,art.2.

Hadiwisastra, M.S., 2002, Paleogene Event and Implication of Calcareous Nannoplankton Biostratigraphy and Paleoenvironment in the Central Java, Indonesia. PhD Desertation.

Hadiwisastra, S., 2005, Geologi Flores dan Situs Liang Bua. Riset Geologi dan Pertambangan.

Haq,B.U., 1. Hardenbol and P.R Vail, 1988. Mesozoic and Cenozoic chronostratigraphy and cycles of sea-level change. SEPM Special Publication 42, p.73 - 108.

Hooke,R,1705, Posthumous Works of Robert Hooke, V. Discourses of Earthquakes, Their Causes and Effect, and Histories of Several. In Stratigaphy Foundations and Concepts, ed. by B.M. Conkin and J.E. Conkin. BenchmarkPapers in Geology Series. P.l. Van Nostrand Reinhold Coy.Inc. 1984.

Hutton,J., 1788, Theory of the Earth, or an Investigation of the Law Observable in the Composition, Dissolution, and Restoration of Land Upon the Globe, Royal Soc. Edinburgh Trans. 1: 109 :-304. In Stratigraphy Foundations and Concepts ed.by B.M. Conkin and lE. Conkin. Benchmark Papers in Geology Series.P. 1, Van Nostrand Reinhold Coy.Inc. 1984.

Huxley,T.H., 1858, On Some Organisms Living at Greath Depth in the North Atlantic Ocean. Quart. Jour. Microsc. Sci. 8: 203-212. In Calcareous Nannoplankton,ed Bilal U.Haq. Benchmark Papers in Geology /79.

27

Leupold, W.,& tM. van der Vlerk, 1931, The Tertiary. Leid: Geol.

Meded. 5, p.611 - 648.

Lister.M, 1671, A letter of Mr. Martin Lister ... on that of Mr. Steno Concerning Petrified Shells. In Stratigaphy Foundations and Concepts, ed. by B.M. Conkin and J.E. Conkin. Benchmark Papers in Geology Series. P.l. Van Nostrand Reinhold Coy.Inc, 1984~

Martin.K, 1931, Mollusken aus dem Obereocan von nanggulan, Wetensch. Meded. Dienst mijnb. Ned. Oost Indie, N 18.

Martini, E., 1971, The Occurrence of Pre-Quaternary Calcareous Nannoplankton in the Oceans. In B.M Funnel & W.R. Riedel (editors). The Micropaleontology of Oceans, p. 535-620, pis. 4.

Okada, H. And D. Bukry, 1980, Supplementary Modification and Introduction of Code Numbers to the Low Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation. Marine Micropaleontology, 5, p. 321- 325.

Oostingh, 1938, Mollusken als gidsfossieIen voor het Noegeen in Nederl Indie. Handelingen VIIl Natuurw. Congres. Soerabaja, 1938.

Pearson,P.N., 1998, Evolutionary Concepts in Biostratigraphy. In Unlocking the stratigraphy Record: ed. By P .Doyle and M.R Bennet. P.123 -144.

Perch-Nielsen, K., 1985, Cenozoic calcareous nannofossils. In Plankton Stratigraphy, ed.H.M. Bolli, J.B. Saunders & K.Perch-Nielsen, p. 427-554.

Simmons,M.D., W.A Berggren, RO Koshkarly, B.1 O'Neil, R.W. Scott, and W. Ziegler, 1997, Biostratigraphy and Geochronology in the 21st Century.

Steno, N., 1669, De Solido Intra Solidum Naturaliter Contento Dissertationis Prodromus. The Star Florence. In Stratigraphy Foundations and Concepts edby B.M: Conkin and J.E. Conkin. Benchmark Papers in Geology Series.P. 1, Van Nostrand Reinhold Coy.Inc. 1984.

Tan Sin Hok, 1927, Discoasteridae incertae sedis. Proc. Sect. Sc.K. Akad.

Wet.Amsterdam, 30,411-419.

Vlerk, I.M., 1955, Correlation of the Tertiary of the Far East and Europe.

Micropaleontology, 1, p. 72-75. .

Vlerk,I.M. van der & 1H.F. Umbgrove, 1927, Tertiaire Gidsforaminiferen van ne derlandsch oost-Indie. Wet.Meded. Dienst. Mijn. Ned-oost. Indie., No.6: 1-31,24 figs.

Vlerk,I.M. van der, 1925, A study of the Tertiary foraminifera from the Tidoengsche Landen(E Borneo). Wetensch: Meded.Dienst. Mjinb. Ned.Oost Indie, n 3, 1925.

28

DAFTAR RIwAYAT HIDUP

Nama

TempatITanggal Labir NIPIKARPEG PangkatiGolongan Ruang Jabatan Fungsional Alamat Kantor

PENDIDIKAN 8. Formal:

1. S.D.

2. S.L.T.P.

3. S.L.T.A.

4. Sarjana

5. Doktor

M. SAPRI HADIWISASTRA Sumedang, 14 Apri11944 32000 1 025/A 752498· Pembina Utama/IV-e

Ahli Peneliti Utama

Pusat Penelitian GeoteknologiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kompleks LIPI 11. SangkuriangBandung 40135

Telp. 022-2503654

Fax. 022-2504593

S. R Ciamis 1957

SMP II Ciamis 1960 S.M.A.-IVB Bandung 1963 UNPAD (Geologi) 1974

Osaka City University, Japan 2002

b. KursuslLatihanIPenataran:

1. Short Course in Fossil Fuel Exploration, Geologi ITB, 1978

2. Kursus Stratigrafi Analisa, PPTM - Bandung 1978

3. Kursus Singkat Ekonomi Mineral, LGPN-LIPI, Bandung, 1978

4. Kursus Ekonomi Mineral II, LGPN - LIPI, Bandung, 1979

5. Penataran P-4 Tingkat Propinsi DT I, Jawa Barat, Angkatan XXIX

6. . Diklat Metodologi Penelitian Teknologi, LGPN-LIPI, Bandung 1981

7. C-14 Dating Technique, Univ. Chulalongkom, BangkokThailand, 1983

8. Diklat Pemantapan Publikasi Ilmiah LIPI, PDIN-LIPI, Jakarta, 1984

29

9. Analisis Data Geologi-Mikropaleontologi hasil Ekspedisi Snellius -II, Universitas Free, Amsterdam- Belanda, 1986

10. Penataran Pemantapan Kesadaram Bela Negara dan Peningkatan Kemampuan Pertahanan Sipil

11. Penataran Pengawasan Melekat LlPI, 1988

12. Computer Application in Sedimentology, Middle East Technical University, Ankara-Turki, 1993

ORGANISASI PROFESI

1974-sekarang 1985-sekarang 1992-sekarang

1994-2000

PENGHARGAAN

Tahun 1997

Tahun2003

PUBLIKASI

A Jumal Nasional

Ikatan Abli Geologi Indonesia (lAG!) Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Masyarakat Ilmiah Penginderaan J auh Indonesia (MAPIN)

International Associations of Mathematical Geology (IAMG)

Satyalancana Karya Satya 20 tahun dari PresidenRI

Satyalancana Karya Satya 30 tahun dari PresidenRI

1. Hehanussa,P.E., S. Hadiwisastra, st. Djoehanah, 1975, Sedimentasi Delta Barn Cimanuk Majalah Geologi Indonesia 3 (1).

2. Martodjojo,S., S. Suparka, S. Hadiwisastra, 1978, Status Formasi Ciletuh Dalam Evolusi Jawa Barat. Majalah Geologi Indonesia 5 (2).

3. Hadiwisastra,S., 1978, Kumpulan Ostrakoda Resen dari Delta Cimanuk Riset Geologi an Pertambangan 1 (2).

30

4. Hadiwisastra, S., St. Djoehanah, 1979, Penyebaran Foraminifera Bentos Delta Cimanuk, Riset Geologi dan Pertambangan 2 (1)

5. Suparka,S., S. Hadiwisastra, Thio Kian Hie, 1979, Suatu Tinjauan Mengenai Batuan Metamorf di daerah Cihara, J awa Barat. Riset Geologi dan Pertambangan 2 (1).

6. Hadiwisastra, S., 1980, Biostratigrafi Tersier daerah Wanokaka, Sumba Barat. Riset Geologi dan Pertambangan 3 (1).

7. Yokoyama,T., S. Hadiwisastra, W. Supri Hantoro, 1980, K-Ar age of the Lahar Tuff Lowest Part of the Pucangan Formation of Pleistocene of Sangiran, Central Java, Indonesia Riset Geologi dan Pertambangan 3 (1).

8. Sartono,S., S. Hadiwisastra, 1983, Fosil Vertebrata Plestosen di Busur Banda: Implikasi Struktural. Majalah Geologi Indonesia

9. Astadiredja, K.A., S. Hadiwisastra, 1985, Olistostrom di P.

Sabu, Nusa Tenggara Timur. Bull. Jurusan Geologi ITB, 15.

10. Indraningsih,P.,Harkatiningsih, N. Sonny Wibisono, S.

Hadiwisastra, 1985, Laporan Penelitian Arkeologi di daerah Calon Genangan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah. Balai Penelitian Arkeologi No. 31.

11. Sartono,S.,S.Hadiwisastra, W. Sukorahardjo, 1987,

Penelitian Geologi dan Stratigrafi Moluska di Daerah Sangiran (Jawa Tengah) dan Ngawi (Jawa Timur). Majalah BerkalaArkeologi Amerta No. 10.

12. Hadiwisastra, S., 1995, Revisi Umur Formasi Batilembuti, Tanimbar, Maluku: Implikasi Umur dan Biostratigrafi Nannoplangton. Riset Geologi dan Pertambangan 1 (1)

13. Hadiwisastra,S., S. Siregar, 1996, Batuan Fosfat di Pulau Kangean. Teknologi Indonesia 1 XIX, No.2.

14. Hadiwisastra, S., 2001, Calcareous nannoplankton biostratigraphy of the Nanggulan Formation, Central Java - Indonesia Journal JTM,VII, No.4.

31

B Jumal Intenasional

15. Nishimura, S.,Y. Otofuji, T.Ikeda, E. Abe, T.Yokoyama, Y.

Kobayashi, S. Hadiwisastra, J. Sophaheluwakan, F. Hehuwat, 1980, Physical Geology of Indonesia Islands Arcs. Kyoto University.

16. Yokoyama, T., W.Suprihantoro, S.Hadiwisatra, 1980, Preliminary Report on Paleomagnetism of the PlioPleistocene Series in Sangiran and Trinil Areas, Central Java, Indonesia. Physical Geology of Indonesia Islands Arcs, Kyoto University.

17. Otofuji, Y., S. Sasajima, S. Nishimura,S.Hadiwisastra, T.

Yokoyama, F. Hehuwat, 1980,Paleomagnetic Evidence for Paleoposition of Sumba Island, Indonesia Physical Geology ofIndonesia Islands Arcs, Kyoto University.

18. van der Borch, C.C., AE. Grady, S. Hardjoprawiro, H.

Prasetyo & S. Hadiwisastra, 1983, Mesozoic and Late Tertiary Submarine Fan Sequence .. and Their Tectonic Significance, Sumba Indonesia.Sedimentary Geology No. 37.

19. Hadiwisastra, S., 1984, The Hominid-bearing Pucangan Formation in Central and East Java. Modem Quaternary Research in Southeast Asia. NO.8.

20. Fortuin, AR., MEM de Smet, S. Hadiwisastra, M.K.Ardisaputra, 1989, Detection of Collision Related Vertical Movement in the Outer Banda Arc (Timor,Indonesia). Using Micropaleontological Data. Journal of Southeast Asian Earth Sciences.

21. Fortuin, AR., MEM de Smet, S. Hadiwisastra, L.J. Marle, S . .Toelstra & S. Tjokrosaputro, 1988, Late Cenozoic Sedimentary and Tectonic History of South Buton, Indonesia Journal S.E. Asian Geological Studies.

22. Hadiwisastra,. S., & H. Kumai, 2000, Calcareous nannoplankton of Paleogene sediment from the Bayat area, Central Java, Indonesia. Journal of Geological Society of Japan, v. 106, No. 10.

32

23. Hadiwisastra, S., & H. Kumai, 2001, Biostratigraphy of calcareous nannofossil in the Paleogene chaotic sediment in the Karangsambung area, Cental Java, Indonesia J oumal of Geosciences, Osaka City University, v.43,art.2.

C Prosiding NasionaL

24. Hadiwisastra, S., 1983, Posisi Stratigrafi Artefak Batutring, Sumbawa. Prosiding PIA (pertemuan Ilmiah Arkeologi) III.

25. Jahdi Zaim & S. Hadiwisastra, 1983, Penelitian Mikropaleontologi dan kaitannya dengan Endapan Pengandung Homo erectus di Kubah Patiayam, Jawa Tengah. Pro siding PIA III.

26. Sartono,S., S. Hadiwisastra, 1984, Orogenesa Intra Miocene di Indonesia. Pro siding IAG!

27. Hadiwisastra, S., 1986, Plio-Pleistocene Nannofosil di daerah Soe, Timor. Prosiding IAG!

28. Hadiwisastra,S., 1986, Sedimentasi dan Pemukiman Gua di Liang Bua, Flores. Presiding PIA IV.

29. Utomo,E.P., S. Siregar, S.Hadiwisastra, Suwijanto, Tri Hartono, 1993, Penelitian Sumber daya Air di Daerah Wonogiri - Wonosari Bagian Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati Puslitbang Biologi.

30. Hantoro,W.S.,E. Subowo, S. Hadiwisastra, 1993, Status Tektonik Tegak Plestosen Atas Kepulauan Tanimbar. Prosiding Semina Geodinamika Pulau Sulawesi dan Busur Kepulauan Bagian Utara, PPGL. !

31. Hantoro, W.S., E. Subowo, S. Hadiwisastra, 1993, Terumbu Koral di Kepulauan Tanimbar, Maluku : Studi Neotektonik, Varisi Permukaan Laut dan KeiklimanPurba Pro siding Hasil Penelitian Puslitbang Geoteknologi LIP!.

32. Hadiwisastra, S., 1994, PenelitianNannoplangton Tersier di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Puslitbang Geoteknologi- LIP! vol, 1.

33

33. Siregar.S; S. Hadiwisastra, E. Prasetyo Utomo, 1994, Lapisan Akifer di daerab. Karst Wonosari - Wonogiri. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang GeoteknologiUP!. Vol. 2.

34. Siregar, S., S. Hadiwisastra, 1995, Fasies Batugarnping Formasi Wonosari dalam kaitannya dengan potensi airtanah. KAIKNAS 1995.

35. Hadiwisastra,S., St. Djoehanah, D. Mulyadi, D.

Trisuksmono, 1996, Sedimentasi batuan Pra- Tersier and Tersier di daerab. Busur Tektonik Aktif, Seram Utara. Pro siding Seminar Nasional Geoteknologi m.

D Prosiding Internasional.

36. Sartono, S., S. Hadiwisastra, 1984, Comparison of

Variscian Tectonostratigraphic Frameworks of Western and Eastern Indonesia Proceedings IP A (International Prehistoric Association) 17th Ann. Conv.

37. Hadiwisastra, S., S. Siregar, 1994, An Aplication of Sedimentological Data Base on Geological Basin Analysis. Proceedings ISACDS,Sedimentary Facies and Paleogeography.v.15,no.2. Chengdu, China ..

38. Hadiwisastra, S., S.Siregar, E. Prasetyo Utomo, Suwijanto, 1994, Depositional Setting and Distribution of Carbonate Facies of Wonosari Formation, Central and East Java. Proceedings IGCP 355.

39. Hadiwisastra, S., F. Hirnawan, 1995, Regression Curve of Water Content and Soil Bearing Capacity of Claystone Layers in Dry and Wet Season. Proceedings IAMG 1995.

40. Hadiwisastra, S., S. Siregar, 1995, Pre-Tertiary Boundary Sedimentation Event in the West Indonesian Area Proceedings of the International Symposium Geology of Southeast Asia and Adjacent Areas; Hanoi.

34

E Seminar Nasional.

41. Hehuwat, F., Suparka, P.E. Hehanussa, Suwijanto, S.

Badiwisastra, 1973, Paleogeografi Plio-Pleistosen Bagian

Utara Jawa Timur. PIT IAGI ..

42. 42.Hehanussa,P.E., S. Badiwisastra, St.Djoehanah, 1975, Cara Terjadinya Pantai Utara Jawa Barat dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Air Tanah. Seminar Pengembangan Air Tanah Untuk Irigasi. Surabaya,

43. Badiwisastra, S., 1982, Penentuan Umur Endapan PlioPleistosen berdasarkan nannoplangton di daerah Kubah Onto, Simo Jawa Tengah. REHP A I Arkeologi, Cisarua.

44. Badiwisastra, S., 1983, Posisi Stratigrafi Artefak Batutring, Sumbawa. PIA III.

45. Jahdi Zaim, S. Badiwisastra, 1983, Penelitian Mikropaleontologi dan Kaitannya dengan Endapan Pengandung Homo erectus di Kubah Patiayam, Jawa Tengah. Pertemuan PIA m.

46. Badiwisastra, S., 1985, Metoda Pertanggalan Radiokarbon.

REHP A III Arkeologi.

47. Badiwisastra, S., 1989, Nannoplankton Fauna from the Nanggulan Formation. Indonesia- Italian Working Group on Tethys. Bandung.

48. Badiwisastra, S., 1990, Nannofosil Formasi Karangsambung. Proy. Litbang Kampus Geologi Karangsambung.

49. Praptisih, S. Siregar, S. Badwisastra, 1990, Penelitian Pendahuluan Batugamping Karang Bolong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pro. Litbang Kampus Geologi Karangsambung.

50. Badiwisastra, S., 1990, Permasalahan Umum Pengembangan Wilayah di Propinsi Lampung. Ekspose Studi Kelayakan Pengembangan UPT Uji Teknik Penambangan Lampung.

51. Badiwisastra, S., 1996, Temuan Alat Batu Paleolitik dari daerah Sawai, Seram Tengah, Maluku. PIA VITI

3~

52. Hadiwisastra, S., 2000, Sekilas Perubahan Perkembangan Peradaban Kemanusiaan di Indonesia Kongres Asosiasi Prehistori Indonesia n, Yogyakarta.

53. Hadiwisastra, S., 2005, Geologi Flores dan Situs Liang Bua.

54. Hadiwisastra, S., 2005, Pegunungan Muller Ditinjau dati Aspek Geologis.Seminar Sehari: Keanekaragaman Hayati, . Keunikan dan Potensi Pegunungan Muller. Kebun Raya Bogor.

F Seminar Internasional.

55. Hehuwat, F., Suparka, Suwijanto, P.E.Hehanussa, S.

Hadiwisastra, St. Djoehanah, 1973. The Quaternary of Eastern JavaINQUA Congress, New Zealand.

56. Hadiwisastra, S.,S. Martodjojo, 1977, West Java Excursion Guide. IGCP Working Group Meeting Proj. 114. Bandung.

57. Hadiwisastra, S., 1983, Pucangan Formaton: A Homind Bearing Layers. 1st Van Heekern Symposium. Yogyakarta,

58. Sartono,S., S.Hadiwisastra, 1988, Ophiolitic Melange in Gebe Island and its OlitostromaI Origin. 6th. Conference of Geological Southeast Asoa (GEOSEA). Jakarta

59. Hadiwisastra, S., 1990, Stratigraphical. Aspects of Paleocave Environment of the Liang Bua Area, Flores. 14th Congress of the IPPA ( Indo Pasific Prehistory Association), Yogyakarta

60. F. Hehuwat, S. Hadiwisastra, 1978, Miocene Paleogeoraphic History of Western Indonesia: Review. 1st International Congress of the Pasific Neogene Stratigraphy.

61. Sartono,S., RP. Soejono, S. Hadiwisastra, 1993, Question on the Occurrence of Stone Artifacts in the Kabuh Formation, Sangiran, Central Java: An Announcement. International Conference of Human Paleoecology Ecological Context of the Evolution of Man. Jakarta.

36

62. Hadiwisastra,S., W.S. Hantoro, 1994, Quaternary Stegodon Fossil in Sumba : Faunal Migration and Climatic Changes in Islands Arcs. CLIP-UGS UNESCO Workshop, Denpasar

63. Hadiwisastra, S., W.S. Hantoro, Thomas Roep, 1994, Sumba: Quaternary Geology and Its Environs. An Excursion Guide. The CLIP lUGS-UNESCO Workshop. Denpasar.

64. Hadiwisastra,S., 1995, The Pliocene- Pleistocene Faunal Event in Central Java Area. International Colloquium on Sangiran; Man, Culture and Environment in Pleistocene. Solo.

65. Hadiwisastra, S., 2003, The Geological Aspect of Petrified Wood Occurrence in the Rangkasbitung Area, Banten Provice, Indonesia International Workshop on Silicified Fossil Wood from Java Island, Indonesia. Kyoto University. Japan.

66. Mandang,Y.I., N.Kagemori,K.Terada, S. Hadiwisastra, 2002, A Case Study on Silicified FossilWood: A PreliminaryReport. (poster). The Fifth Pasific Regional Wood Anatomy Conference. Yogyakarta.

G Laporan Penelitian.

67. Hadiwisastra, 8., 1977 ,Hubungan Foraminifera Besar dan Plangton Miosen Tengah di daerah Cibinong. Lap. Penelitian LGPN LIPI.

6S. Badiwisastra, S., S. Siregar, 1977, Foraminifera Plangton Miosen Tengah dari derah Kalipucang, Jawa Barat. Lap. Penelitian No. OSILGPN/1977

69. Hadiwisastra, S., W.S. Hantoro, 19S0, StratigrafiTersier Bawah daerah Wanokaka, Sumba Lap.Penelitian LGPN LIPI No. 05ILGPN?SO

70. Hadiwisastra, S., 1977, Energi Pasang Surut. Pray, Sumber Daya Energi LGPN,SDE-21

71. Siregar, S., S.Hadiwislistra, 1977, Penyelidikan Sedimen Teluk Jakarta Lembaga Oseanologi Nasional SDE - 44.

37

72. Hadiwisastra, S., W.S. Hantoro, 1981, Stratigrafi Pra Tersier eli daerah Sumba Barat. Lap. Penelitian No. 08ILGPN/1981

73. Hadiwisastra, S., E. Arsadi, 1982, Penelitian Geologi di daerah Sumba. Lap. Penelitian No. 081LGPN/l.982

74. Hadiwisastra, S., W.S. Hantoro, 1983, Geologi Sumba Timur. Lap. Penelitian No. 091LGPN/1983.

75. Rantoro, W.S., S. Hadiwisastra, 1980, Stratigrafi dan Kemagnetan Purba daerah Sangiran, Jawa Tengah. Lap. Penelitian No. 13ILGPN/1980

76. Hadiwisastra, S., S. Sire gar, 1980, Penelitian Pendahuluan Serpih Bitumen di daeah Pangkalan Kapas, Riau, Lap. Penelitian LGPN LIPI.

77. Siregar, S., S. Hadiwisastra, 1981, Penyelidikan Lanjutan Serpih Bitumen eli daerah Pangkalan Kapas, Riau. Lap. Penelitian LGPN LIPI No. 061LGPN/1981.

78. Siregar, S., S. Hadiwisastra, 1981, Laporan Pendahuluan Serpih Bitumen di daerah Ombilin-awahlunto. Lap. Penelitian LGPN LIPI No. 05ILGPN/1981

79. Suparka, S., Suwijanto, S. Hadiwisastra, 1980, Tinjauan Geologi dan Mineralisasi daerah Cibugis, Bogor, Jawa Barat. Lap. Penelitian LGPNLIPINo. 141LGPN/1980.

80. Siregar, S., S. Hadiwisastra, 1982, Seelimentasi Formasi Batuasih dan Formasi Rajamandala di daerah Sukabumi, Lap. Penelitian LGPN LIPI No. l1ILGPNI1982

81. Siregar, S.,· S. Hadiwisastra, Kardi Suharyono,1983, Formasi Rajamandala dan Formasi Batuasih di sebelah selatan daerah Cibadak, Sukabumi. Lap. Penelitian LGPN

LIP.! No. 061LGPN/1983. .

82. Hadiwisastra, S., 1986, Penelitian Undak Pantai dan Undak Sungai di daerah Sumba Lap. Penelitian LGPN LIPI No. 19ILGPNI1986

83. Hadiwisastra S., Hantoro, W.S., E. Subowo, 1993, Geologi dan Biostratigrafi Nannofosil di P. Tanimbar. Laporan Teknis Puslitbang Geoteknologi LIPI.

38

84. Hantoro, W.S., S. Hadiwisastra, S., E. Subowo, 1993, TerumbuKoral di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Studi Neotektonik, Variasi Permukaan Laut dan Keikliman Purba, Laporan Teknis Puslitbang Geoteknologi.

85. Siregar, S., E. Prasetyo Utomo, Hadiwisastra, S., Tri Hartono, Suwijanto, 1994, Studi Lanjutan Pemetaan Sumber daya Air di daerah Karst Wonosari- Wonogiri. Laporan Teknis Puslitbang Geoteknologi LIPI

86. Hadi, I., S. Hadiwisastra, 1994, Identifikasi Potensi Sumber daya Laban Potensi Wisata Bahari dan Pemahaman Teknologi Masyarakat Siberut. Laporan Teknis Proy. Peningkatan Pemanfaatan Potensi Wilayah Bengkulu dan Pulau Siberut.

87. Hadiwisastra, S., 1991, Laporan Peninjauan Lapangan di daerah Menado Dalam Rangka Studi Kelayakan Pendirian Stasion Lapangan Oseanologi. Laporan Teknis,

88. Suharyono, E.T. Sumamadi,S. Hadiwisastra, Kamtono, H.

Harjono, 1991, Tektonik di Daerah Terminasi Sesar Sumatera. Laporan Teknis.

89. Hadiwisastra, S., 1995, Potensi Ekowisata Dalam Pembangunan Masyarakat Pulau Siberut. Lap. Teknis Proy. Penelitian, Pengembangan, dan Pendayagunaan Potensi Wilayah Bengkulu dan Pulau Siberut.

39

Anda mungkin juga menyukai