Anda di halaman 1dari 11

6 orang jenius Indonesia yang sukses Di luar negeri

1. Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano

Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di Universitas


Lehigh, Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja sehari-hari, Agustus 2
tahun lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya shocked: mama
tercintanya, Auw Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu, direktur
percetakan PT Mutiara Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh perampok di area
perkebunan karet PTPN II Tanjung Morawa.

Peristiwa itu sempat membuatnya "tak percaya" terhadap Indonesia. Pria


kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar teknologi
nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur
nano.

Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan.
Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson.
Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat.
Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu 1,5
watt.

Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak


mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat
sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi
asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi
asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling,
penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun.
Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara
Amerika.

Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. "Apakah


tragediorang tuanya membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan membuatnya
ingin beralih kewarganegaraan?" "Tidak. Hati Saya tetap melekat
dengan Indonesia," katanya kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol
merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia
masih memiliki ambisi untuk balik keIndonesia dan menjadikan universitas
di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.

Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia tumbuh cemerlang


tanpa perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini menurunkan
liputan khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu karena koran ini melihat
sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan pekerja profesional yang
berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya tenaga kerja Indonesia. Kita
memiliki sejumlah Nelson lain—di Amerika, Eropa, dan
Jepang. Orang orangyang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan bisa
memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan Indonesia.

2. MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah datang.


Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia bisa berada
di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang beruntung—ia
akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya sebelum matahari
terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan mengaji di musala.

Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset
bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah "dagadu"—
sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang salat. Dialah
anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu ingin jadi dokter
karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu
sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala Library
Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam
eksekutif kunci perusahaan genetika itu.

Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada
makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam
peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab
kebutu*an pangan dunia.

Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara


sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi
anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya
karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.

Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD
pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa
menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada
manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu
aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang
kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya
adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai
kanker manusia," ujarnya.

Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang diputar


ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman kelahiran Jawa
yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta
emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang genetika manusia. Ia
menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah—bukan 48 seperti
keyakinan ahli genetika manusia di masa itu ("The Chromosome Number of Man.
Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada
2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan
teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr
T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.

3. Prof Dr. KHOIRUL ANWAR: TERINSPIRASI KISAH 


FIRAUN

Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda
sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung
seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal
Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur,
itu memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya.
Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama
koleganya, merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon
seluler.

Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung


(with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degreeis from
Nara Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008,
respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE
Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA.
.

Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis
OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga
Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute ofScience and Technology,
Jepang.

Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division multiplexing.


Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya,
melainkan malah meningkat. “Kami mampu menurunkan power sampai 5dB=100
ribu kali lebih kecil dari yang diperlukan sebelumnya,” kata dia. Dunia
memujinya. Khoirul juga mendapat penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan
Luar Negeri oleh Konsulat Jenderal RI Osaka pada 2007.

Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk
mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard
interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya.
Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis seperti di
kelas saat semua orangbicara kencang secara bersamaan.

Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan algoritma
yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi
tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik
daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini.

Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil tak terobsesi
pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun. Bocah
kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang badannya tetap utuh sampai
sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan teknologi “balsam” terhadap seekor
burung kesayangannya yang telah mati. “Saya menggunakan balsam gosok yang
ada di rumah,” kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum) dengan Siti
Patmi itu.

Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa awet dan
mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung tersebut
dengan balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata anak petani ini,
“Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.” Penelitian yang gagal total itu
rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang
mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung
tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah
dasar engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini
Khoirul sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam
topik penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.'

4. Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto - Peraih Empat Gelar Doktor dan Juga
Peraih 31 Paten di Jepang

Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto. Pria


kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari
sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu
dicapainya pada usia 37 tahun.
Sepintas, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda jika dibandingkan dengan
kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi.
Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas menunjukkan dia menyukai
formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian
dia dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat
suroboyoan-nya yang khas.Penemu konsep pendidikan tinggi "Soetanto Effect" di
Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto
mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School
Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general
manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding
(MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education
Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.

Waseda University adalah perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang.


Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University, Kyoto
University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di Waseda
University 51.499 orang. Di anatar jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar
Jepang.

Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin


negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM
Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD Ginandjar
Kartasasmita juga pernah belajar di sini.

President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf


internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di
Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra berbaik dari Indonesia, para
mahasiswa President University berasal dari China dan Vietnam.

Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil dekan
Waseda University tersebut hanya "sebentar" memberikan ceramah populernya di
hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President University. Dia tak
sempat berbagi keilmuan dengan sesama akademisi seperti UI, UGM, ITB, dan
Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan bagi orang dengan kemampuan
akademik sekaliber Soetanto.

Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-
1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research
Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School
Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.

Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, Program


University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951 tersebut saat ini
masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal
Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International
University, Italia.

Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat
disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang
diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of
Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di
Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan
di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University.

"Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi," kata Soetanto di sela


kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University.

Di luar status kehormatan akademik tersebut, dia masuk birokrasi di Negeri


Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu
tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of
Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).
Selain itu, dia ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di
Japanese Government 21st Century Vision. "Pada jabatan tersebut, saya
berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang," ungkap
Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu. Buah pemikiran
Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan "Soetanto Effect" dan 31 paten
internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.

Inovasi yang dipatenkan itu mayoritas berlatar bidang keilmuannya, mulai


elektronika engineering, teknologi informasi, penemuan pengobatan kanker, dan
teknik imaging serta bidang farmasi.

Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya?
Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor
atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor).
Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto sampai USD 15 juta per
tahun.

Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya
bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang
ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan SD
swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi
jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.

Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya adalah bagaimana


karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. "Saya berbahagia bila bisa
menyenangkan orang lain," katanya mengungkap visi hidupnya.

Soetanto sempat memberikan buah pemikirannya di hadapan ratusan mahasiswa


President University. Isi ceramah akademisnya menarik perhatian mahasiswa.
Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka
Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeberkan pengalamannya bisa
’menaklukkan’ dunia perguruan tinggi Jepang kendati hingga sekarang masih
berkewarganegaraan Indonesia.

Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang


perlu dirombak lagi agar lulusannya lebih berkualitas. "Sistem pendidikan di sini
(Indonesia) sudah tertinggal jauh", jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api.

Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat
kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka
harus bekerja sambilan. "Karena faktor tersebut, jangan heran bila banyak
ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri," pungkas Soetanto

5. Prof Dr. Ing BJ Habibie - Pemegang 46 Paten di bidang Aeronautika

Prof. Dr.-Ing. Dr. Sc. H.C. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir tanggal 25 Juni
1936 di Parepare, Sulawesi Selatan Indonesia. Anak ke empat dari delapan
bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini
Puspowardoyo. Dia hanya satu tahun kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB)
karena pada tahun 1955 dia dikirim oleh ibunya belajar di Rheinisch Westfalische
Technische Honuchscule, Aschen Jerman.

Setelah menyelesaikan kuliahnya dengan tekun selama lima tahun, B.J. Habibie
memperoleh gelar Insinyur Diploma dengan predikat Cum Laude di Fakultas
Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara. Pemuda Habibie
adalah seorang muslim yang sangat alim yang selalu berpuasa Senin dan Kamis.
Kejeniusannya membawanya memperoleh Gelar Doktor Insinyiur di Fakultas
Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara dengan predikat
Cum Laude tahun 1965.

B.J. Habibie memulai kariernya di Jerman sebagai Kepala Riset dan


Pembangunan Analisa Struktur Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg Jerman
(1965-1969). Kepala Metode dan Teknologi Divisi Pesawat Terbang Komersial
dan Militer MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1969-1973). Wakil Presiden
dan Direktur Teknologi MBB Gmbh Hambur dan Munchen (1973-1978),
penasehat teknologi senior untuk Direktur MBB bidang luar negeri (1978). Pada
tahun 1977 dia menyampaikan orasi jabatan guru besarnya tentang konstruksi
pesawat terbang di ITB Bandung.

Tergugah untuk melayani pembangunan bangsa, tahun 1974 B.J. Habibie kembali
ke tanah air, ketika Presiden Soeharto memintanya untuk kembali. Dia memulai
kariernya di tanah air sebagai Penasehat Pemerintah Indonesia pada bidang
teknologi tinggi dan teknologi pesawat terbang yang langsung direspon oleh
Presiden Republik Indonesia (1974-1978). Pada tahun 1978 dia diangkat sebagai
Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap sebagai kepala BPPT. Dia
memegang jabatan ini selama lima kali berturut-turut dalam kabinet pembangunan
hingga tahun 1998.

Sebelum masyarakat Indonesia menggelar pemilihan umum tahun 1997, Habibie


menyampaikan kepada keluarga dan kerabatnya secara terbatas bahwa dia
merencanakan berhenti dari jabatan selaku menteri setelah Kabinet Pembangunan
Enam berakhir. Namun, manusia merencanakan Tuhan yang menentukan.
Tanggal 11 Maret 1998, MPR memilih dan mengangkat B.J. Habibie sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia ketujuh.

Pada saat bersamaan, krisis ekonomi melanda kawasan Asia Tenggara termasuk
Indonesia, dan hal itu segera berdampak pada krisis politik dan krisis
kepercayaan. Kriris berubah menjadi serius dan masyarakat mulai menuntut
perubahan dan akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya. Sesuai pasal 8 UUD 1945, pada hari yang sama, sebelum
itu, B.J. Habibie diambil sumpah jabatannya sebagai Presiden oleh Ketua
Mahkamah Agung RI.
Presiden B.J. Habibie memegang jabatan presiden selama 518 hari dan selama
masa itu, dibawah kepemimpinannya Indonesia tidak hanya sukses
menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil pertama kali tanggal 7
Juni 1999, tetapi juga sukses membawa perubahan yang signifikan terhadap
stabilitas, demokratis dan reformasi.

Prof. B.J. Habibie mempunyai medali dan tanda jasa nasional dan internasional,
termasuk ‘Grand Officer De La Legium D’Honour, hadiah tertinggi dari
Pemerintah Perancis atas konstribusinya dan pembangunan industri di Indonesia
pada tahun 1997; ‘Das Grosskreuz’ medali tertinggi atas konstribusinya dalam
hubungan Jerman-Indonesia tahun 1987; ‘Edward Warner Award, pemberian dari
Dewan Eksekutif Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada tahun
1994; ‘Star of Honour ‘Lagran Cruz de la Orden del Merito Civil dari Raja
Spanyol tahun 1987. Dia juga menerima gelar doktor kehormatan dari sejumlah
universitas, seperti Institut Teknologi Cranfield, Inggris; Universitas Chungbuk
Korea dan beberapa universitas lainnya.

Selama kariernya, dia memegang 47 posisi penting seperti Direktur Presiden


IPTN Bandung, Presiden Direktur PT PAL Surabaya, Presiden Direktur PINDAD,
Ketua Otorita Pembangunan Kawasan Industri Batam, Kepala Direktur Industri
Strategis (BPIS) dan Ketua ICMI. Sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai
Presiden Forum Islam Internasional dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi
dan pengembangan SDM sejak tahun 1977, Penyantun dan Ketua Habibie Centre
untuk urusan luar negeri sejak tahun 1999.

Dia juga anggota beberapa institusi non pemerintah internasional seperti Dewan
Gerakan Internasional sejak tahun 2002, sebuah LSM yang beranggotakan kurang
lebih 40 orang mantan presiden dan Perdana Menteri dari beberapa negara. Dia
juga anggota pendiri Perkumpulan Islam Internasional Rabithah ‘Alam Islam
sejak tahun 2001 yang bermarkas besar di Mekkah, Saudi Arabia. Dari semua
organisasi yang disebutkan sebagian besar telah meminta Habbie menjadi salah
satu pendiri Asosiasi Etika Internasional, Politik dan Ilmu Pengetahuan yang telah
berdiri pada tanggal 6 Oktober tahun 2003 di Bled Slovenia yang anggotanya
terdiri dari negarawan dan ilmuwan dari sejumlah negara.

Aktivitas sebelumnya terlibat dalam proyek perancangan dan desain pesawat


terbang seperti Fokker 28, Kendaraan Militer Transall C-130, CN-235, N-250 dan
N-2130. Dia juga termasuk perancang dan desainer yang jlimet Helikopter BO-
105, Pesawat Tempur, beberapa missil dan proyek satelit. Prof B.J Habibie 
mempublikasika

6. JOHNY SETIAWAN, Ph.D - Penemu Planet Pertama dan Bintang Muda 

Johny Setiawan membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet


pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae.
PENEMUAN itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata surya yang
telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu pun planet yang
muncul dari bintang muda.

Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy
(MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW
Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop spektrograf
F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile.

”Ketika kami mengamati kecepatan lingkaran gas TW Hydrae, kami mendeteksi


sebuah variasi periodik yang tidak berasal dari aktivitas TW Hydrae. Kami
mengamati kehadiran sebuah planet baru (TW Hydrae b),” ungkap Johny kepada
SINDO tadi malam. Planet baru yang ditemukan itu memiliki bobot sekitar
sepuluh kali berat Planet Yupiter, planet terbesar dalam Sistem Tata Surya.

Planet baru itu mengorbiti TW Hydrae dalam waktu 3,56 hari dengan jarak sekitar
6 juta kilometer. Ini dapat disamakan dengan 4% jarak antara Matahari dan Bumi.
Dengan penemuan tim yang dipimpin Johny tersebut, peneliti dapat membuat
kesimpulan penting tentang waktu pembentukan planet.Sejumlah pertanyaan pelik
yang selama ini dihadapi peneliti, seperti bagaimana dan di mana sistem planet
terbentuk?

Bagaimana arsitektur planet? Seberapa lama proses pembentukannya? Bagaimana


posisi planet-planet seperti bumi di Galaksi Bima Sakti? Akan segera terjawab.
Johny menyadari pentingnya penemuannya tersebut. Dia menjelaskan, bagaimana
planet yang baru berumur 8–10 juta tahun (sekitar 1/500 tahun umur Matahari) itu
sebagai sebuah kejutan di Tahun Baru ini.

Peneliti lain dalam tim Johny menjelaskan bahwa pihaknya tidak salah
menyimpulkan bahwa planet baru itu memang muncul. ”Untuk menghindari salah
tafsir atas data, kami telah menginvestigasi seluruh aktivitas yang
mengindikasikan TW Hydrae b. Tapi karakteristik planet baru ini sangat berbeda
dari perputaran gas di lingkaran utama bintang baru itu. Mereka lebih stabil dan
memiliki periode yang pendek,” papar Ralf Launhardt, koordinator program
penelitian planet luar tata surya di sekeliling bintang-bintang muda.

Planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar pendek
setelah kelahiran sebuah bintang. Tidak keseluruhan proses terbentuknya planet
baru ini dipahami pakar. Meski demikian, penemuan TW Hydrae b menyediakan
teori baru tentang pembentukan planet.

Berdasarkan studi statistik, Johny memperkirakan rata-rata keadaan cakram gas


dan debu itu akan membentuk planet dalam waktu maksimal 10–30 juta tahun.
Johny menandaskan, penemuan TW Hydrae b merupakan bukti langsung bahwa
pembentukan sebuah planet raksasa tidak bisa lebih lama dari usia bintang yang
diorbitinya, 8–10 juta tahun.

”Ini merupakan penemuan paling luar biasa dan spektakuler dalam studi planet-
planet di luar tata surya. Untuk pertama kali, kita telah menemukan langsung
bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram. Penemuan TW Hydrae b
membuka jalan untuk mengaitkan evaluasi lingkaran cakram dengan proses
pembentukan dan migrasi planet,” papar Thomas Henning, direktur Planet and
Star Formation Department di MPIA.

Johny memaparkan, peneliti di MPIA kini sedang mengembangkan peralatan


generasi baru untuk mendeteksi planet-planet dengan teknik berbeda. Misalnya
dengan instrumen baru astrometri untuk mengamati gerakan sebuah bintang saat
melintasi planet di antariksa, serta transit fotometri untuk mengamati planet saat
bergerak di depan bintang.

”Kita akan lebih memahami formasi planet saat kita mengetahui keanekaragaman
sistem planet. Kita akan mampu menempatkan Sistem Tata Surya kita dalam
sebuah konteks universal. Akhirnya, tentu di masa depan kita dapat menjawab
pertanyaan: ’apakah kita sendirian di Semesta?” ungkap Johny yang baru tiba di
Heidelberg setelah pekan lalu berlibur di Jakarta.

Johny merupakan warga Indonesia yang tinggal di Kota Heidelberg, Jerman.


Sebagai seorang astronom yang sedang melakukan riset post doctoral, pria
kelahiran 16 Agustus 1974 di Jakarta itu mengaku telah memiliki ketertarikan
tentang perbintangan sejak kecil. Alumnus SD St.Fransiskus I dan SMP
Immaculata, Marsudirini, itu kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Fons
Vitae I, Marsudirini, Jakarta.

Setamat SMA, pada 1992–1993,Johny mengenyam pendidikan pra-universitas di


Studienkolleg Heidelberg,Jerman. Johny kemudian mempelajari Fisika di Albert-
Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman, dan mengambil Master di Kiepenheuer-
Institute for Solar Physics, Freiburg. Disertasinya di Kiepenheuer-Institute for
Solar Physics, Freiburg, berjudul Radial velocity variation of G and K Giants.

Sejak Juni 2003, Johny bekerja sebagai peneliti post-doctoral di MPIA, di


Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning). Wilayah
risetnya saat ini meliputi planet-planet di luar tata surya di sekitar bintangbintang
muda dan bintang-bintang yang sedang terbentuk. Selain itu,Johny yang tinggal di
Bintaro Sektor IX ini juga meneliti atmosfer yang berperan sebagai bintang.

”Secara khusus saya bekerja di sejumlah proyek seperti ESPRI (Pencarian Planet
dengan PRIMA/ Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond Astrometry). Di
sini saya menyeleksi dan mengamati karakteristik bintangbintang untuk program
pencarian planet,”ungkapnya. Sejak 2003, Johny memimpin penelitian di
observasi bintang dan planet ESO La Silla. ”Kami telah sukses mendeteksi
sejumlah planet yang saling berhubungan,” ungkap Johny yang memiliki
kemampuan bahwa Jerman, Inggris, dan Spanyol.

Di tengah kesibukannya meneliti, Johny meluangkan waktu untuk menyalurkan


sejumlah hobi yang beragam, mulai memasak, jalan-jalan, olahraga renang dan
fitnes, melukis dengan akrilik, serta bermain piano.

Anda mungkin juga menyukai