Angkatan 8 - Fakultas Kehutanan IPB (lulus 1976), Program Magister Sains bidang
Entomologi pada Fakultas Pasca Sarjana IPB (1990)
Rayap, hampir semua orang di wilayah tropika dan sebagian subtropika mengenalnya.
Serangga ini telah hadir di muka bumi lebih dari 200 juta tahun silam, jauh lebih
tua dari kehadiran manusia.
Ya, bisa dikatakan antagonistis, karena disamping bermanfaat bagi alam, harus
diakui bahwa sebagian kecil dari bangsa rayap dikenal sebagai perusak kayu yang
sangat merugikan. Bahkan populasi rayap justru akan terus bertambah seiring dengan
konversi hutan untuk permukiman, perkebunan, areal pertanian, dan lain-lain.
Akibat perubahan biofisis ekosistem hutan, termasuk langkanya bahan makanan rayap
di hutan, kusen pintu, jendela, sampai perabot rumah seringkali jadi sasaran
serangan rayap yang makin membesar. Ketika rayap meluas, penelitinya malah semakin
langka.
Salah seorang yang langka itu adalah Dodi Nandika. Pria kelahiran Rangkasbitung,
Banten itu memilih jalan hidupnya sebagai pembelajar dan peneliti rayap. Sejak
lebih dari 40 tahun lalu, dia konsisten melakukan penelitian tentang rayap di
almamater yang dicintainya, IPB University.
”Ketika itu tahun 1975, menjelang kelulusan dari IPB, hampir tidak ada orang yang
tertarik meneliti rayap,” kenang Dodi, yang kini dikenal sebagai profesor ahli
rayap.
Tak sampai disana, ia juga giat mengembangkan teknologi antirayap, terutama untuk
melindungi bangunan bernilai sejarah seperti museum yang menyimpan berbagai benda
koleksi bernilai historis tinggi.
Meski sudah puluhan tahun belajar rayap dan mendapatkan pengakuan internasional
untuk pengetahuannya mengenai rayap di Indonesia, Dodi berulang kali selalu
mengatakan ia masih terus belajar.
Pergelutannya dengan rayap dimulai pada tahun terakhir kuliahnya, saat ayah Dodi
pensiun. Padahal kampus yang saat itu masih dikenal dengan nama Instut Pertanian
Bogor (IPB) mensyaratkan mahasiswanya membuat penelitian untuk lulus S1. Beasiswa
Supersemar yang diterimanya saat itu tidak mencukupi untuk menutup biaya
penelitian.
”Lama-lama saya menemukan rayap itu menyenangkan. Biarpun kecil dan lemah, rayap
bisa merusak banyak hal,” kata Dodi.
Bagi Dodi, rayap sebenarnya makhluk yang membantu mengurai dan menghancurkan bahan-
bahan yang sudah mati. Misalnya tunggul bekas tebangan kayu, ranting-ranting dan
daun-daun yang jatuh.
Dari waktu ke waktu, ia memang terus merayap dan konsisten melakukan penelitian
tentang rayap. “Saya lulus S1 tentang rayap, S2 juga tentang rayap, bahkan doktor
juga tentang rayap,” katanya.
Sebelum menjadi Guru Besar IPB University, ia bekerja sebagai staf pengajar IPB
sejak tahun 1980, kemudian dipercaya menjadi Asisten Direktur Administrasi, Pusat
Antar Universitas (PAU) Ilmu Hayati IPB (1988-1992); Asisten Direktur Program, PAU
Ilmu Hayat IPB (1992-1998); Direktur/Kepala Pusat Studi Ilmu Hayat IPB (1999-2002);
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana IPB (2000-
2002); dan Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (2002-2004).
Pada Mei 2004, Dodi diangkat menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pendidikan Nasional dan menjadi anggota The International Research Group
on Wood Preservation (IRG). Tak lama, ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal
Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan Juli 2011.
Buku karyanya yang telah diterbitkan antara lain Deteriorasi Kayu oleh Faktor
Biologis (1990); Kayu dan Pengawetan Kayu (1998); Rayap: Biologi dan
Pengendaliannya (2003); Hutan Bagi Ketahanan Nasional (2005), serta Universitas,
Riset dan Daya Saing Bangsa (2007).
Sampai saat ini laboratorium tersebut telah menjadi rujukan berbagai pihak,
termasuk para peneliti dalam negeri maupun luar negeri, dalam pengembangan dan
pengujian teknologi pengendalian rayap. Ia juga terlibat dalam penyusunan Standar
Nasional Indonesia (SNI) tentang pengendalian rayap pada bangunan gedung.
”Saya sudah belajar tentang rayap puluhan tahun, tetapi baru kira-kira beberapa
tahun lalu saya tahu rayap disebut dalam Al Quran dan Injil,” kata Dodi lagi.
Buat Dodi, itu artinya ia harus terus belajar tentang makhluk kecil, lemah dan buta
yang bisa menimbulkan kerusakan berskala besar.
Namun yang paling hebat dari rayap adalah kesadaran akan pentingnya persatuan dan
kerja sama, serta kemauan bekerja keras untuk kelangsungan hidup koloninya.
Tampaknya kita memang harus belajar dari sang rayap. (*)