Anda di halaman 1dari 16

Ilmu Pengetahuan

Hayati

Keragaman Serangga Polinator pada Kawasan


Bedugul
Oleh:
Ryan Fauzy (6378)
Muhammad Nur Rohman Suwarso (6296)

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1


JEMBRANA 2021
LOMBA KARYA ILMIAH REMAJA KE-50 TAHUN 2018

JUDUL : Keragaman Serangga Polinator pada Kawasan Bedugul


1. Objek penelitian berupa
o Manusia
 Hewan
BIDANG : Ilmu Pengetahuan Hayati o Tumbuhan
o Pembuatan Alat
KATEGORI : Zoologi o Lain-lain

NAMA : Ryan Fauzy 2. Apa penelitian ini lanjutan dari


penelitian sebelumnya
SEKOLAH : MAN 1 Jembrana o Ya, dari tahun….
 Tidak

3. Metodologi penelitian yang


digunakan
o Kualitatif
o Kuantitatif
Serangga Polinator merupakan serangga yang berperan penting o Analisis Wacana
dalam proses penyerbukan pada tumbuhan. Kawasan Bedugul  Eksplorasi
termasuk dataran tinggi ( 1.000-2.000 mdpl) dengan suhu 11,5-25 0C.
4. Metode Penelitian
Kawasan Bedugul merupakan Kawasan wisata alam dan pertanian.
o Wawancara
Di Kawasan ini terdapat danau, kebun raya, kebun bunga buatan dan o Kuisoner
pertanian khas dataran tinggi yaitu stroberi. Semakin lama Kawasan o Studi Laboratorium
ini semakin ramai dan banyak lahan yang berubah fungsi menjadi o Observasi
 Studi literature
Kawasan wisata dan fasilitasnya. Keberadaan serangga polinator
menjadi penting untuk tanamanyang dipanen buahnya. Perubahan
Catatan:
Kawasan dan semakin banyaknya perubahan lahan dikhawatirkan
dapat memepengaruhi keragaan dan kelimahan serangga yang sanat Hapus yang tidak perlu
teragantung pada linkungan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
keragaman serangga polinator yang ada di Kawasan bBdeugul dan
mengetahun factor lngkungan yang berpengaruh pada serangga
polinator. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli hingga
Sepember 2021, metode penelitian menggunakan metode
eksplorasi dengan pengambilan sampel secara scan sampling pada 3
lokasi yaitu Kebun Raya “Eka Karya” Bali, The Blooms Garden, dan
Kebun Stroberi milik warga sekitar. Pengambilan sampel dilakukan
pada 3 waktu yaitu pagi, siang, sore menggunakan net insect,
serangga yang tertangkapdiidentifikasi di Laboratorium Biologi MAN
1 Jembrana berdasarkan Borror dan Delong’s (1989). Study of Insect
7th Edition. Data dianalisis untuk mengetahui Indeks keragaman,
kelimpahan dan kesamanan antar lokasi penelitian. Data lingkungan
akan diambil pada stasiun BMKG terdekat.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Saat ini banyak sekali terjadi alih fungsi lahan, baik itu untuk pemukiman, industri,
ekonomi atau wisata. Semua perubahan tersebut bermuara pada kepentingan kesejahteraan
manusia. Alih fungsi lahan yang dulu merupakan habitat alami menjadi habitat buatan atau
berkurangnya ruang hijau terbuka banyak berpengaruh pada kehidupan serangga, khususnya
serangga polinator. Disisi lain perubahan iklim yang terjadi juga berdampak pada kelestarian
keragaman serangga. Karena serangga salah satu hewan yang rawan dengan perubahan
iklim.
Pada ekosistem yang alami maka semua makhluk hidup berada dalam keseimbangan
dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem alami yang mempunyai
keragaman spesies yang tinggi dan merupakan satu kesatuan dengan banyaknya flora dan
fauna yang beragam. Tingkat pertanaman juga mempengaruhi timbulnya masalah hama
(Siregar, Bakti, & Zahara, 2014). Populasi setiap organisme pada ekosistem tidak pernah
sama dari waktu ke waktu, tetapi selalu berubah, demikian pula dengan populasi organisme
pada ekosistem yang baru dengan pertanaman yang berubah. Faktor keseimbangan antara
jumlah serangga dan musuh alaminya menjadi salah satu faktor tidak pernah terjadinya
ledakan suatu populasi serangga sehingga menjadi hama di areal pesawahan tepi hutan
Taman Nasional Gunung Halimun (Rizali, Buchori, & Triwidodo, 2002).
Kawasan Bedugul terletak pada ketinggian 1250-1450 mdpl, terletak di Kabupaten
Tabanan. Kawasan ini merupakan salah satu destinasi wisata alam perpaduan pegunungan
dan danau. Di Kawasan ini terdapat juga Kebun Raya “Eka Karya Bali” yang dikelola oleh
LIPI. Kebun Raya ini sebagai salah satu tempat konservasi secara ex-situ bagi Kawasan
Indonesia Timur. Di sekitar Kebun raya juga banyak terdapat lahan pertanian masyarakat
yang menanam tanaman khas daerah pegunungan yang dingin. Selain itu saat ini juga
banyak muncul area wisata baru seperti kebun bunga “Blooms Garden” dan beberapa
kawasan wisata lain, yang sedikit banyak merubah ekosistem yang ada.
Serangga polinator sangat diperlukan untuk keberhasilan penyerbukan bagi tanaman
yang penyerbukannya dibantu oleh serangga. Ketiadaan serangga polinator dapat
mengakibatkan kegagalan penyerbukan dan gagalnya pembentukan biji. Keragaman dan
kelimpahan serangga polinator sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pangan serangga.
Ekosistem yang berubah sedikit banyak akan merubah keragaman dan kelimpahan
serangga polinator di suatu Kawasan. Belum ada data yang terekam di Kebun Raya Eka
Karya Bali, dan banyaknya lahan yang berubah mendorong kami untuk mengetahui
keragaman serangga polinator yang ada di Kawasan Bedugul ini. Semoga data ini menjadi
pijakan awal dalam pengeloaan suatu Kawasan yang berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
diantaranya adalah:
1. Bagaimakah keragaman serangga polinator yang ada di tiga lokasi yang berbeda di
Kawasan Bedugul?
2. Bagaimanakah pengaruh lingkungan terhadap keragaman serangga yang ada?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui keragaman serangga polinator yang ada di tiga lokasi yang berbeda di
Kawasan Bedugul.
2. Memahami pengaruh lingkungan terhadap keragaman serangga yang ada.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang interaksi serangga dan
tumbuhan (insect and plant).
2. Data jenis – jenis serangga pengunjung dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengetahui jenis – jenis serangga yang efektif membantu penyerbukan tanaman di
Kawasan Bedugul.
3. Dapat digunakan sebagai data informasi untuk penelitian lanjutan yang lebih intensif dan
menyeluruh mengenai serangga polinator.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Serangga polinator
Serangga polinator lebih didominasi oleh serangga yang dapat terbang dan beberapa
sumber makanannya adalah nektar. Beberapa serangga baru subkelas Pterygota seperti dari
ordo Diptera, Trichoptera, Lepidotera, Hymenoptera, berikut adalah penjelasan mengenai
morfologi dari serangga polinator:
A. Ordo Diptera
Diptera merupakan salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari serangga, dan
anggota-anggotanya secara individual dan jenis terdapat hampir diseluruh daerah.
Kebanyakan diptera relatif kecil dan serangga-serangga bertubuh lunak. Ordo diptera
mempunyai sepasang sayap, dan sayap tersebut adalah sayap depan, sedangkan sayap
belakang meyusut menjadi struktur seperti kenop yang disebut halter yang fungsinya
sebagai organ keseimbangan. Bagian mulut diptera adalah tipe penghisap, tetapi
terdapat cukup keberagaman struktur bagian mulut dalam ordo diptera, ada yang bagian
mulut yang bertipe penusuk, ada juga bertipe menyerap. Struktur lengkap morfologi
ordo Diptera Ciri-ciri yang dipakai untuk identifikasi Diptera ialah dari sungut, tungkai,
sayap, dan ketotaksi (susunan rambut bulu, terutama pada kepala dan toraks).
B. Ordo Coeloptera
Ordo Coeloptera atau kumbang-kumbang adalah ordo yang terbesar dari serangga
dan mengandung 40% dari jenis yang terkenal dalam hexapoda. Kumbang-kumbang
sangat bervariasi ukurannya, ada yang berukuran kurang dari 1 mm sampai kira-kira 75
mm. Beberapa di daerah tropika mencapai panjang 125 mm. Kumbang bervariasi
habitatnya dan terdapat dimana-mana. Salah satu sifat yang jelas pada Coeloptera
adalah struktur sayap-sayapnya. Kebanyakan kumbang memiliki empat sayap, dengan
sepasang sayap depan yang menebal, seperti kulit keras yang menutupi sayap-sayap
belakang. Sayap belakang yang tipis seperti selaput, dan biasanya lebih panjang dari
sayap depan, apabila posisi istirahat maka akan terlipat dibawah sayap depan. Sifat-sifat
yang digunakan untuk mengidentifikasi ordo coeloptera terutama dari kepala, sungut,
toraks, tungkai, abdomen. Namun terkadang sifat seperti ukuran, bentuk dan warna juga
dapat digunakan. Beberapa sifat membutuhkan pengamatan yang cermat dengan
perbesaran tinggi mengenai ukuran serangga.
C. Ordo Lepidoptera
Ordo lepidoptera meliputi kupu-kupu dan ngengat, merupakan serangga yang
umum dan dikenal oleh setiap orang. Bagian mulut dari ordo ini adalah tipe penghisap
sedangkan pada larvanya adalah tipe pengunyah. Perangka-sayap pada ordo lepidoptera
secara relatif sederhana arena terdapat sedikit rangka-rangka sayap melintang dan jarang
cabang-cabang ekstra rangka sayap longitudinal. Dua tipe umum dari perangka-sayap
dalam ordo lepidoptera adalah homoneura dan heteroneura. Ciri-ciri yang digunakan
dalam mengidentifikasi Lepidoptera yang utama adalah sayap-sayap (perangka-sayap),
sungut atau bagian mulut (palpus dan probosis), tungkai-tungkai dan sering kali dari
sifat umum seperti warna dan ukuran.
D. Ordo Hymenoptera
Ordo hymenoptera adalah salah satu kelompok serangga yang sangat menarik
karena ordo ini menunjukan keragaman yang besar dan kompleksitas kelakuan dalam
hal organisasi sosial. Anggota-anggota yang bersayap dari ordo ini memiliki empat
sayap yang tipis. Sayap-sayap belakang lebih kecil daripada sayap depan dan
mempunyai satu deret kait-kait kecil (hamuli). Sungut-sungut biasanya beruas sepuluh
atau lebih. Metamorfosis pada ordo ini sempurna, larva seperi lundi atau belatung. Ciri-
ciri yang digunakan dalam identifikasi ordo Hymenoptera meliputi perangkasayapan,
tungkai, sungut, toraks, dan bagian abdomen.

2.2 Serangga polinator


Serangga polinator merupakan salah satu layanan jasa ekosistem yang penting bagi
kehidupan manusia maupun lingkungan dan berperan sebesar 35% penyediaan sumber
pangan dunia (Widhiono, 2015). Serangga yang berperan dalam polinasi ini disebut sebagai
enthomophily (Gulland & Cranston, 2000) Polinasi merupakan proses kompleks dan sangat
dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban dan adanya polinator yang dapat dilakukan oleh
serangga salah satu contohnya adalah lebah madu (Apis mellifora) (Borror, Ttriplehorn, &
Jonhson, 1992).
Selain itu lebah madu juga dapat membantu proses penyerbukan silang. Mekanismenya
adalah polen ditransfer dari satu varietas tanaman ke varietas tanaman yang lain. Sedangkan
penyerbukan sendiri, polen ditransfer dari anther menuju stigma pada bunga yang sama,
bunga berbeda dari tanaman yang sama atau bunga tanaman lain pada varietas yang sama
(Rusfirda, 2005).
Serangga berperan pada polinasi sekitar 400 jenis tanaman pertanian (Delaplane &
Daniel, 2000). dan pada sekitar dua per tiga dari tanaman angiospermae (Schoonhoven,
Jermy, & Van Loon, 1998) Serangga yang berperan dalam polinasi sekitar 1200
tanaman angiospermae dipolinasi oleh Apis spp (Gupta, 2011).
Beberapa buah-buahan penting sangat tergantung dari serangga untuk polinasi,
misalnya : apel, pir, kismis, kersen, jeruk, strawberi. Pada sayur-sayuran seperti : waluh,
gambas, kol, bawang merah, dan wortel, juga pada hasil kebun lainnya seperti : tembakau
dan semanggi (Borror, Ttriplehorn, & Jonhson, 1992).
Serangga terutama lebah berperan dalam polinasi tanaman berbunga (angiospermae).
Sebaliknya tanaman menyediakan polen atau nektar sebagai makanan serangga. Asosiasi
antara bunga dan serangga polinator khususnya lebah merupakan contoh yang menarik
dalam mutualisme tanaman dan hewan (Eka, 2006).
Bagi serangga, bunga selalu dikunjungi untuk mendapatkan polen dan atau nektar
yang berperan sebagai sumber makanan. Nektar mengandung 10-70% gula, lipid, asam
amino dan mineral. Polen terdiri dari 15-30% protein, lemak, vitamin dan unsur penting
lainnya (Schoonhoven, Jermy, & Van Loon, 1998).
Serangga yang berkunjung pada bunga (Anthopylous) terdiri dari kelompok:
kumbang (Coleoptera), lalat (Diptera), tabuhan, lebah dan semut (Hymenotera), thrips
(Thysanoptera) dan ngengat, kupu-kupu (Lepidoptera). Diantara kelompok serangga
tersebut, lebah merupakan kelompok polinator yang paling penting karena kemampuan
lebah dalam mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak untuk
dikonsumsi bersama dalam koloninya. Diperkirakan lebah sebagai polinator berjumlah
sekitar 20.000 spesies (Gulland & Cranston, 2000) dan (Borror, Ttriplehorn, & Jonhson,
1992)
Lebah yang berperan sebagai polinator :
A. Lebah madu (Apis mellifera : Apoidea )
Lebah madu merupakan spesies lebah yang umumnya sebagai polinator yang
selalu berada pada tanaman sepanjang musim dan tersebar hampir di seluruh dunia
(Delaplane & Daniel, 2000). Lebah tersebut memiliki peralatan yang baik untuk
mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak karena lebah ditutupi
rambut yang tebal, juga ada pengait kecil yang efektif menangkap dan memegang
butiran polen pada saat serangga menyentuh anteridium bunga. Disamping memiliki
daya dukung polen ( pollen carrying capacity ) rambut tersebut dapat menjaga tubuh
pada suhu tinggi sehingga serangga dapat aktif pada suhu udara rendah. Selama
terbang lebah menyapu polen dengan tungkainya dan mengumpulkannya dalam
kantong polen (pollen basket) yang terdapat pada tibia dari kedua tungkai belakang
(Schoonhoven, Jermy, & Van Loon, 1998).
Dengan alat ini, seekor lebah madu pekerja dapat membawa polen sebanyak 10-
20 mg ke sarangnya. Satu koloni lebah berkisar 10.000 - 50.000 lebah dapat
mengkonsumsi sekitar 20 kg pollen dan 60 kg madu per tahun. Polen dan nektar
diperlukan oleh lebah untuk pertumbuhan dan reproduksi.
(Gupta, 2011) menyebutkan beberapa spesies lebah madu yang ditemukan di
Indonesia serta penyebarannya terdiri dari : a) Apis javana Enderlein yang tersebar di
Asia Tenggara dan Indonesia, b) A. cerana Fabricus yang tersebar di India, Burma,
Rusia, Rusia, Cina, Sri Lanka, Pakistan, Nepal dan Indonesia, c) A. andreniformis
Smith yang tersebar di Serawak, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. d) A. vechti Maa
yang terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Serawak dan 5) A. nigrocincta
Smith yang terdapat di Sulawesi, Kalimantan, dan Mindanao.

B. Lebah gendut kebun (Bombus spp. : Apoidae)


Lebah ini merupakan lebah besar, berambut banyak, dan banyak ditemukan
pada daerah-daerah temperate. Seperti juga lebah madu, lebah gendut kebun juga
telah diekspor ke beberapa negara seperti Australia, New Zealand, Filipina, dan
Afrika Selatan. Lebah ini juga bersifat generalis dan dapat berkunjung pada beragam
tanaman berbunga dan pada tanaman sayur-sayuran penting terutama yang ditanam
di rumah kaca. Morfologinya yang besar memungkinkan lebah ini membawa polen
lebih banyak dibanding dengan lebah lainnya. Dari hasil penelitian lebah gendut
kebun ini lebih efisien dalam polinasi kapas dibanding lebah madu (Delaplane &
Daniel, 2000).

C. Lebah Alkali (Nomia melanderi : Halictidae)


Lebah alkali merupakan polinator pada bawang yang berguna dalam produksi
biji. Lebah ini soliter dan secara alami hanya terdapat di pegunungan Rocky Amerika
Utara. Lebah Kebun Mason (Osmia spp. : Megachilidae) Lebah kebun Mason
(Osmia spp. : Megachilidae) sebagai polinator yang efektif pada apel dan buah-
buahan di perkebunan. Spesies yang ada di Amerika Utara yaitu “blue orchad bee” (
O. lignaria) (Delaplane & Daniel, 2000).

D. Lebah Buah Ara ( Blastophaga psenes ( L.))


Lebah buah ara ( Blastophaga psenes ( L.)) sebagai polinator khusus buah ara
(fig) di San Pedro dan pada musim dingin di dalam buah caprifig. Penggunaan lebah
ini adalah contoh yang paling tua mengenai polinasi serangga yang dimanipulasi
manusia. Sistem ini dikenal sebagai caprification (Condit & Enderud, 1956).

2.3 Peranan Serangga polinator


Serangga polinator memfasilitasi tumbuhan melakukan proses penyerbukan silang
dengan tumbuhan lain yang masih satu jenis. Serangga juga memiliki kemampuan
menyebarkan biji pada radius yang jauh, sehingga dapat menghindarkan risiko serangan
penyakit endemik terhadap tumbuhan. Selain itu serangga mampu meningkatkan kualitas
dan kuantitas buah pada suatu tumbuhan (Widhiono, 2015).
Proses penyerbukan oleh serangga dilakukan pada saat bunga sudah mekar. Waktu
serangga polinator akan melakukan penyerbukan adalah pada saat pagi hari sampai siang
bersamaan dengan serangga keluar dari sarang untuk mencari makan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh (Mahfudho, 2013) tentang serangga menunjukan pada pengamatan serangga
yang dilakukan dengan periode waktu pagi, siang, dan sore. Hasilnya dominasi serangga
yang ditemukan adalah pada periode waktu pagi sampai menjelang siang hari sekitar pukul
06.00 sampai 11.00. Hal tersebut dapat dijadikan acuan waktu untuk melakukan penelitian
tentang serangga polinator agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Tumbuhan berbunga dengan penyerbuk telah melalui proses evolusi yang berlangsung
jutaan tahun yang lalu. Menurut teori Spengel, setiap spesifikasi dari anatomi dan fisiologi
tanaman selalu diikuti dengan spesifikasi struktur dan tingkah laku serangga yang
mengunjungi bunga untuk melangsungkan penyerbukan. Sekitar 70% dari 250.000 spesies
tumbuhan melakukan penyerbukan dengan bantuan serangga dan 30% adalah tumbuhan
penghasil bahan pangan bagi manusia (Widhiono, 2015).
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Serangga
2.4.1 Faktor Internal
a.) Pertumbuhan Populasi
Pertumbuhan populasi dipengaruhi dua hal, yaitu penambahan dan
pengurangan jumlah. Pertambahan dikarenakan oleh imigrasi dan kelahiran,
sedangkan pengurangan terjadi karena emigrasi dan kematian.
b.)Interaksi antar Spesies
Pada suatu komunitas terjadi suatu interaksi antar spesies yang terbagi
menjadi dua yaitu kompetisi dan pemangsaan. Kompetisi terjadi karena
persaingan terhadap sumber, baik sumber tempat, makanan, unsur hara dan
sinar matahari. Sedangkan pemangsaan mengakibatkan terjadinya pengurangan
jenis dan jumlah pada suatu ekosistem.
2.4.2 Faktor Abiotik
a.) Suhu
Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk hidup dan berkembang,
diluar kisaran itu maka serangga akan mati. Karena suhu memiliki pengaruh
yang besar terhadap proses fisiologis tubuh serangga. Kisaran suhu serangga
yaitu: suhu minimum 15°C, suhu optimum 25°C, dan maksimum 45°C.
b.)Kelembaban
Kelembaban disini meliputi kelembaban tanah, udara yang mana menjadi
faktor penting yang akan mempengaruhi distribusi dan perkembangan
serangga.
c.) Cahaya
Cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktifitas serangga,
meliputi lama hidup, cara bertelur, berubah arah terbang, karena banyak
serangga yang mempunyai reaksi positif terhadap cahaya.
d.)Makanan
Makanan merupakan sumber energi untuk serangga beraktifitas. Apabila
pada suatu ekosistem memiliki kualitas makanan yang baik, maka serangga
juga akan memiliki kualitas baik.
e.) Angin
Angin berpengaruh terhadap penguapan badan serangga dalam penyebaran
suatu hama dari tempat satu ke tempat yang lain. Tetapi angin yang kencang
akan membunuh serangga.
2.5 Bedugul
2.5.1 Aspek Sosial Kawasan Bedugul
Sebagian besar penduduk Bedugul bekerja sebagai petani, dan beberapa di
antaranya adalah pedagang di pasar lokal dan pekerja di sektor pariwisata.
Masyarakat Bedugul sangat menggantungkan kehidupan mereka pada sektor
hortikultura. Komoditas hortikultura yang utama, selain jagung, diantaranya
adalah bawang prei (Alliumampeloprasum L.), brokoli (Brassica oleracea var.
italic), paprika (Capsicum annuum L.), kentang (Solanum tuberosum L.), cabai
(Capsicum annuum L.), stroberi (Fragaria × ananassa (Duchesne ex Weston)
Duchesne ex Rozier) serta jenis-jenis bumbu, seperti mint (Mentha arvensis L.),
tarragon (Artemisia dracunculus L.), peterseli (Petroselinumcrispum (Mill.) Fuss),
dan rosemary (Rosmarinus officinalis L).
Ada pula petani yang memiliki tanah di atas bukit dan berbatasan langsung
dengan hutan pada ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan laut. Tanah
tersebut biasanya ditanami kopi (Coffea arabica dan C. robusta) menggunakan
sistem tanam ganda. Selain kopi, kebun-kebun di kawasan Bedugul dan sekitarnya
ditanami alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus integra), cengkeh
(Syzygium aromaticum), jeruk (Citrus aurantium, C. microcarpa), jambu biji
(Psidium guajava), durian (Durio zibethinus), dan pohon lain.
2.5.2 Aspek Ekologi dan Geografi Kawasan Bedugul
Jika dilihat dari sisi geografi dan ekologinya, kita tahu bahwa aspek ekologis
di Bedugul cukup unik. Bedugul terletak di dataran tinggi di tengah Pulau Bali
dengan kisaran ketinggian 1.000–2.000 m di atas permukaan laut (dpl). Daerah
Bedugul ini menerima curah hujan rata-rata 2.000–3.000 mm per tahun, dengan
rata-rata 155 hari hujan per tahun, dan memiliki suhu berkisar 11,5–25 °C
sehingga cocok sebagai area pertanian dan perkebunan. Selain berada di dataran
tinggi, kawasan Bedugul berada di dalam kawasan Tri-Danau (Beratan, Buyan,
dan Tamblingan). Secara ilmiah, banyak ahli yang menyebut kawasan Bedugul
sebagai Cekungan Terkungkung, yang diduga dulunya merupakan sebuah gunung
vulkanis purba yang meletus sehingga membentuk sebuah kaldera dan beberapa
danau di dalamnya (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1992). Cekungan
terkungkung atau cekungan endorheik adalah area berbentuk cekung dan tidak
memiliki saluran air atau saluran aliran sungai di luar area tersebut. Tidak banyak
tempat di dunia yang memiliki fitur ini, tetapi Indonesia beruntung memiliki
beberapa area seperti ini. Cekungan endorheik Bedugul memiliki ukuran 12 x 7
km dan berbentuk oval. Topografi daerah Bedugul bergelombang ke pegunungan.
Lereng berkisar 0–3%, 3–8%, 8–15%, dan lebih dari 40%. Daerah pegunungan
terdiri atas kompleks pegunungan dan bukit, lereng, dan tepi sungai. Daerah ini
terletak di sebelah selatan Danau Beratan yang terdiri atas Pohen, Tapak, Lesong,
Pengelengan, Pucuk, dan dua gunung lagi yang dikategorikan oleh para geolog
sebagai gunung yang baru terbentuk, yaitu Pegunungan Beratan dan Sanghyang.
2.5.3 Aspek Ekosistem dan Lahan Kawasan Bedugul
Secara umum, Bedugul memiliki dua tipe ekosistem, yaitu ekosistem alami
dan buatan manusia (Sutomo, et al., 2008). Patch atau bercak/titik lokasi
ekosistem alami di sini mencakup semua vegetasi di hutan alam (primer dan
sekunder), sedangkan ekosistem buatan manusia terdiri atas vegetasi di hutan
sebagai hasil aktivitas penanaman kembali, lahan pertanian, pertanian, dan
permukiman. Bedugul juga memiliki tiga kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam
Batukahu, Hutan Lindung, dan Taman Botani. Dua area pertama adalah kawasan
konservasi in-situ dan yang terakhir adalah kawasan konservasi ex-situ. Kawasan
cagar alam adalah ekosistem alami. Hutan lindung, yang sebagian besar
merupakan ekosistem buatan manusia, terdiri atas hutan yang ditanami kembali,
tetapi beberapa bagian kecil masih berupa ekosistem alami. Sementara itu, Kebun
Raya “Eka Karya” sepenuhnya merupakan ekosistem buatan manusia.
Jika kita perhatikan, terdapat beberapa kategori penggunaan lahan di kawasan
Bedugul. memberikan gambaran mengenai berbagai tipe penggunaan lahan di
kawasan Bedugul pada 2017. Dari hasil analisis peta tersebut, diketahui bahwa
lahan untuk permukiman dan tempat kegiatan luasnya 1.613,4 ha, lahan berhutan
seluas 20.272,5 ha, sawah 33.459,9 ha, serta tegalan atau ladang seluas 891,7 ha.
Hutan hujan pegunungan menjadi perhatian karena luas tutupan vegetasinya telah
menurun sebagai akibat meningkatnya aktivitas manusia, perubahan iklim, dan
bencana alam. Ini kemungkinan juga terjadi di Bedugul, terutama di kawasan
hutan dekat Danau Beratan, Danau Buyan, dan Bukit Pohen, yang makin terpapar
kegiatan pariwisata dan kegiatan antropogenik lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif dengan melakukan pengamatan di berbagai Kawasan
yang ada di Bedugul.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dua lokasi, yaitu di Bedugul dan di Laboratorium
Biologi MAN 1 Jembrana. Di Bedugul pengambilan sampel serangga polinator dilakukan
pada tiga tempat berbeda yang berada di wilayah Bedugul Bali yaitu Kebun Raya “Eka
Karya” Bali, Kebun Bunga “Blooms Garden” , dan area pertanaman stroberi masyarakat.
Pemilihan tempat ini berdasarkan perubahan habitat yang ada. Kebun Raya “Eka Karya”
Bali berdiri sejak tahun 1959 sehingga saat ini ekosistem di kebun raya ini sudah stabil.
Kebun Bunga “Blooms Garden” adalah kebun bunga buatan yang baru dibangun tahun 2019
dan saat ini masih dalam proses pembangunan. Petani di Bedugul sebagian besar menanam
tanaman khas daerah dingin seperti kol, stroberi, wortel, kentang. Sebagian sayur dipanen
daunnya, sedangkan yang berbunga salah satunya adalah pertanaman stroberi.
Pengambilan sampel serangga polinator dilakukan pada 3 waktu yang berbeda yaitu
pagi (07.00-09.00), siang (12.00-13.00), dan sore (16.00-18.00) WITA. Setiap waktu
pengambilan dilakukan selama 20 menit, dengan istirahat 10 menit. Sehingga selama 2 jam,
terdapat 4 kali pengambilan.
Identifikasi diakukan di Laboratorium Biologi berdasarkan buku karya borror dan
delong’s (1989) yang berjudul Study of Insect.
3.3 Metode dan Desain Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangga polinator, tumbuhan
tumbuhan yang terdapat pada Kawasan Bedugul. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jaring serangga, kuas, alkohol 70%, kotak penyimpanan, botol sampel, lup, kertas
label, kamera digital, GPS, alat tulis, mikroskop stereo, buku identifikasi serangga “Study of
Insect”. Pengambilan sampel dilakukan pada tumbuhan Kawasan Bedugul, pada ketinggian
1250-1450 mdpl, akan dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2021, dan dilanjutkan dengan
identifikasi di Laboratorium Biologi MAN 1 Jembrana.
3.4 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode ekplorasi dengan pengambilan sampel metode scan
sampling (Martin & Bateson, 1993) yaitu mengamati dan menangkap serangga yang
hinggap pada bunga tumbuhan tumbuhan yang terdapat pada Kebun Raya Eka Karya Bali,
Taman Bunga “Blooms Garden”, dan area pertanaman Stroberi masyarakat. Pengambilan
sampel dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan interval waktu 30 hari. Serangga
yang tertangkap dimasukan ke dalam botol sampel yang sudah berisi alkohol 70% untuk
selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Biologi MAN 1 Jembrana. Variabel yang diamati
yaitu keragaman serangga polinator dengan parameter jumlah individu masing masing
spesies serangga polinator.
3.5 Informasi Lingkungan
Informasi lingkungan didapatkan dari kantor Sensor RTBI Stage of Sanglah Denpasar
(BMKG) untuk mengamati keadaan lingkungan pada Kawasan Bedugul.
3.6 Analisis Data
Data hasil identifikasi dianalisis dan dihitung indeks keanekaragaman, kelimpahan dan
kesamaan.
3.6.1 Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman Jenis (Diversity index) Shanon-Weiner (H) dan
Simpson Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan rumus Shannon –
Weiner sindices of general of diversity dan indeks Simpson sebagai berikut:

[ Ν ]
Η '=−∑ ¿ log ¿ dan Si= ¿ ( ¿−1 )
Ν Ν ( Ν −1 )
Keterangan:
H` = indeks keanekaragaman Shannon (Shannon Indices of Diversity)
Si = indeks keanekaragaman Simpson (Simpson Indices of Diversity)
ni = INP jenis ke-i ( Importance Value Indices per Species)
N = jumlah INP semua tumbuhan ( Total of Importance Value Indices)
3.6.2 Indeks Kelimpahan
Indeks kelimpahan spesies (Abundance index) dengan menggunakan formulasi Ludwig
dan Reynolds (1981) dalam Dharmawan (1995).

cacah individu jenis ke i


D= × 100 %
cacah individu seluruh jenis
3.6.3 Indeks Kesamaan
Indeks Kesamaan Jenis (Similarity Index):
j
CJ =
a+b− j
Nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 1 menunjukkan tingkat
kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj)
mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat rendah. Keterangan:
C = Indeks Kesamaan Jaccard
J = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a & b
A = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a
B = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b
DAFTAR PUSTAKA

Atmowidi, T. (2008). Keanekaragaman dan Perilaku Kunjungan Serangga Penyerbuk serta Pengaruhnya
terhadap Pembentukan Biji Tanaman Caisin (Brassica rapa L.: Brassicaceae). Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Borror, D., Ttriplehorn, C. .., & Jonhson, N. (1992). Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam
(Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Condit, J. I., & Enderud, J. (1956). HILGARDIA. A Journal of Agricultural Science, Volume 25.

Delaplane, K. S., & Daniel, F. (2000). Crop Pollination by Bees. New York: CABI Publishing.

Eka, P. R. (2006). Polinasi: Servis Alam yang Terbaikan.

Erniwati, Kahono, S., & Uji, T. (2010). Kajian Ekologi Lebah Sosial (Hymenoptera: Apidae) dan Biologi
Reproduksi Tanaman Pertanian yang Mendukung Konsep Pengembangan Pengelolaan.
(Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. Bogor : Pusat Pengembangan
Biologi LIPI.

Gulland, P., & Cranston, P. (2000). The Insect : An Outline of Entomology 2nd Ed. . USA: Blackwell Science
Ltd.

Gupta, J. (2011). Wild pollinators and pesticides on apples in Himachal Pradesh. In D. W. Roubik,
Pollinator Safety In Agriculture (pp. 14-19). Rome: e Food and Agriculture Organization of the
United Nations (FAO).

Hadi, M. (2009). Biologi Insecta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kahono, S., & Erniwati. (2013). Kajian Ekologi Lebah Sosial (Hymenoptera: Apidae) Pada Tanaman .
Seminar Nasional ke-22 Perhimpunan Biologi Indonesia. Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed.

Keragaman Serangga Polinator pada Tumbuhan Edelweiss Jawa (Anaphalis Javanica) di Gunung Slamet
Jawa Tengah. (2016, Mei 21). Retrieved from Publikasi Ilmiah UMS:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/7939

Mahfudho. (2013). Biogenesis. Kajian Bioteknologi Serangga Hama di Perkebunan Apel (Malus sylvestris
Mill) Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu, 1-8.

Martin, P., & Bateson, P. (1993). Measuring Behaviour: An Introductory Guide. Cambrige: Cambrige Univ.
Press.

Mukund, P., Laila , F., Lisa, K. R., & Hutchinson, J. (2007). The appendage role of insect disco genes and
possible implication on the evolution of the maggot larval form, 56-69.

Planck, U., & Sutawan, N. (1983). A Social Organization of Balinese Rice-Growing Villages With Special
Regard to The Subak System, 282-292.

Purnama, N. I., & Ardyanti, P. A. (2017). Peramalan Kunjungan Wisatawan di Obyek Wisata Bedugul
Menggunakan Algoritma Fuzzy Time Series. SMARTICS Journal, 55-58.
Rizali, A., Buchori, D., & Triwidodo, H. (2002). Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan-
Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan. Hayati, 41-48.

Rusfirda, A. (2005, Maret). Retrieved from Seputar Ternak Lebah:


http://www.bunghatta.info/content.php?article.122

Sarwar, G., N, H., H, S., S, M., M, I., & E, S. (2008). Improvement of Soil Physical and Chemical Properties
with Compost application in Rice Wheat Cropping System. Pakistan Journal of Botany , 40(1):
275-282.

Schoonhoven, L., Jermy, T., & Van Loon, J. (1998). Insect-Plant Biology : from physiology to evolution.
London: Chapman & Hall.

Siregar, A. S., Bakti, D., & Zahara, F. (2014). Keanekaragaman Jenis Serangga di Berbagai Tipe Lahan
Sawah. Jurnal Online Agroekoteknologi, 1640-1647.

Sutomo, Darma, I., Priyad, A., Sujarwo, W., Rajif, I., & Kuswantoro, F. (2008, Oktober 2). Ecology of
Bedugul Basin Bali. Retrieved from lipi.go.id: http://lipi.go.id/publikasi/ecology-of-bedugul-
basin-bali/25196

Widhiono, I. (2015). Strategi Konservasi Serangga Pollinator. Purwokerto: Universitas Jenderal


Soedirman.

Anda mungkin juga menyukai