1
Jika eksperimen dilakukan pada berbagai sudut masuk, maka salah satu sinar, yakni
sinar biasa (sinar o) akan menuruti Hukum Refraksi Snellius. Sedangkan sinar yang lainnya,
yakni sinar luar biasa (sinar e) tidak akan menuruti Hukum Refraksi Snellius. Misalkan sudut
masuk untuk cahaya masuk adalah nol, tetapi sudut refraksi dari sinar e, bertentangan dengan
ramalan Hukum Snellius, tidaklah sama dengan nol. Pada umumnya. sinar e tersebut malah
tidak terletak di bidang masuk. Eksperimen juga membuktikan bahwa jika arah sinar
datangnya miring, maka keadaan polarisasinya agak lebih rumit secara geometris, tetapi hasil
fisisnya sama. Ini artinya bahwa untuk sinar datang tertentu, terdapat dua gelombang bias
yang berbeda yang merambat dalam arah berbeda dan terpolarisasi tegak lurus satu terhadap
yang lain.
2
Beberapa kristal yang merefraksi rangkap seperti mika, ratna, topaz, dan lain
sebagainya adalah lebih kompleks secara optik daripada kalsit dan memerlukan tiga indeks
refraksi utama untuk menjelaskan sifat-sifat optiknya untuk menjelaskan sifat-sifat optiknya
secara lengkap. Kristal-kristal yang struktur kristal dasarnya berbentuk kubus adalah isotropik
secara optik dan hanya memerlukan satu indeks refraksi.
Sumbu optik
Permukaan gelombang o
S
a
:Permukaan gelombang e
b
c
Gambar 1 Permukaan-permukaan gelombang Huygens yang dihasilkan oleh sebuah sumber titik S yang
ditanamkan di dalam kalsit.
Sifat untuk laju-laju kedua gelombang yang berjalan di dalam kalsit diiktisarkan oleh
Gambar 1 di atas yang memperlihatkan dua permukaan gelombang yang menyebar keluar dari
sebuah sumber cahaya titik khayal S yang ditanamkan dalam kristal tersebut. Permukaan
gelombang o adalah sebuah permukaan, bola seperti yang akan kita harapkan seandainya
medium tersebut isotropik. Permukaan gelombang e adalah sebuah elipsoida putaran
mengelilingi sebauh arah karakterikstik dio dalam kristal yang dinamakan sumbu optik (optic
axis). Kedua permukaan gelombang tersebut menyatakan cahaya yang dua keadaan polarisasi
yang berbeda. Jika untuk sekarang kita hanya meninjau sinar-sinar yang terletak di dalam
bidang dari Gambar 1, maka (a) bidang polarisasi untuk sinar-sinar o adalah tegak lurus
kepada gambar, seperti yang disarankan oleh titik-titik, dan (b) bahwa untuk sinar-sinar e
maka bidang polarisasi berimpit dengan bidang gambar, seperti yang disarankan oleh garis
putus-putus.
3
Kita dapat menggunakan prinsip Huygens untuk mempelajari penjalaran gelombang
cahaya di dalam kristal-kristal yang merefraksi rangkap. Gambar 2 memperlihatkan kasus
khusus di mana cahaya yang tak terpolarisasi jauth dalam arah normal lemping kalsit yang
dipotong dari sebuah kristal sedemikian rupa sehingga sumbu optik adalah normal ke
permukaan. Tinjaulah sebuah fron gelombang pada waktu t = 0, berimpit dengan permukaan
kristal. Dengan mengikuti prinsip Huygens, maka kita dapat memisahkan setiap titik pada
permukaan ini untuk berperan sebagai pusat yang meradiasikan sebuah himpunan rangkap
gelombang Huygens, seperti gelombang-gelombang di dalam Gambar 1. Bidang yang
menyinggung gelombang-gelombang ini menyatakan kedudukan baru dari fron gelombang ini
pada suatu waktu t kemudian. Sinar masuk di dalam Gambar 2 dijalarkan melalui kristal tanpa
penyimpangan dengan laju v0. Sinar yang muncul keluar dari lemping akan mempunyai sifat
polarisasi yang sama seperti sinar masuk. Lemping kalsit tersebut, di dalam keadaan khusus
sperti ini saja, berperilaku sebagai bahan isotropik, dan gelombang o dan gelombang e tidak
dapat dibedakan satu sama lain.
Fron gelombang o
dan e berturut-turut
Sumbu optik
Gambar 3 memperlihatkan dua pandangan yang berbeda dari sebuah kasus khusus
yang lain, yakni cahaya masuk yang tak terpolarisasi yang jatuh dalam arah tegak lurus pada
sebuah lemping yang dipotong sedemikian rupa sehingga sumbu optiknya sejajar dengan
permukaannya. Di dalam kasus ini pun sinar masuk tersebut dijalarkan tanpa penyimpangan.
Akan tetapi, kita sekarang dapat mengidentifikasi gelombang o dan gelombang e yang
berjalan melalui kristal tersebut berturut-turut dengan laju yang berbeda, v0 dan ve.
Gelombang-gelombang ini terpolarisasi dengan arah polarisasi yang tegak lurus terhadap satu
sama lain.
4
Fron gelombang e Fron gelombang o berturut- Fron gelombang e
berturut-turut turut berturut-turut
Gambar 4 memperlihatkan cahaya yang tak terpolarisasi yang jatuh dalam arah normal
pada sebuah potongan lemping kalsit sehingga sumbu optiknya membuat sumbu sembarang
dengan permukaan kristal tersebut. Sinar tersebut berjalan melalui kristal dengan laju yang
berbeda-beda, di mana laju gelombang o adalah vo dan laju gelombang e adalah ve . Dari
gambar terlihat bahwa sinar xa menyatakan jarak terpendek untuk pemindahan energi cahaya
dari titik x ke fron gelombang e .Energi yang dipindahkan sepanjang setiap sinar lain,
khususnya sepanjang sinar xb, akan mempunyai waktu pengangkutan yang lebih lama, yang
merupakan sebuah konsekuensi dari kenyataan bahwa laju gelombang e berubah dengan arah.
Sinar-sinar yang muncul keluar dari lemping sesuai dengan kasus Gambar 4 akan terpolarisasi
dengan arah polarisasi yang tegak lurus satu sama lain, yakni sinar-sinar tersebut terpolarisasi
silang (cross-polarized).
Gambar 4 Keadaan yang cahaya yang terpolarisasi dan sinar-sinar yang muncul keluar
Cahaya tersebut terpolarisasi silang karena cahaya tersebut dijalarkan melalui sebuah
kristal oleh aksi vector gelombang E yang bergetar pada elektron-elektron di dalam kristal
tersebut. Elektron-elektron ini, yang mengalami gaya pemulih elektrostatik jika elektron-
5
elektron tersebut berpindah dari kedudukan-kedudukan kesetimbangannya, dibuat berosilasi
periodic yang dipaksakan di sekitar kedudukan ini dan lewat sepanjang gangguan gelombang
transversal yang membentuk gelombang cahaya tersebut. Kekuatan gaya pemulih ini dapat
diukur oleh sebuah konstanta gaya k.
Di dalam bahan yang isotropik secara optik maka konstanta gaya k adalah sama untuk
semua arah pergeseran elektron dari kedudukan kesetimbangannya. Akan tetapi, di dalam
kristal yang merefraksi rangkap, maka nilai berubah dengan arah. Untuk pergeseran elektron
yang terletak di dalam sebuah bidang yang tegak lurus pada sumbu optik, maka k mempunyai
nilai k0 yang konstan, tak peduli bagaimana pergeseran tersebut diarahkan dalam bidang ini.
Untuk pergeseran yang sejajar dengan sumbu optik, maka k mempunyai nilai yang lebih besar
(untuk kalsit) ke. Laju sebuah gelombang di dalam sebuah kristal ditentukan oleh arah getaran
vektor E dan bukan ditentukan oleh arah penjalarannya. Getaran-getaran gelombang vektor E
transversallah yang menyebabkan timbulnya gaya pemulih yang akan menentukan laju
gelombang. Semakin kuat gaya pemulih, semakin cepat gelombang tersebut. Untuk
permukaan gelombang o, maka getaran-getaran vektor E di mana-mana haruslah tegak lurus
kepada sumbu optik. Jika demikian halnya, maka konstanta gaya yang sama ko akan selalu
berlaku, dan gelombang-gelombang o tersebut akan berjalan dengan laju yang sama di dalam
semua arah penjalaran. Untuk permukaan gelombang e, maka umumnya getaran vektor E
mempunyai sebuah komponen yang sejajar dengan sumbu optik. Jadi, jika sebuah konstanta
gaya ke (di dalam kalsit) yang relative kuat beroperasi di sini, maka laju gelombang ve akan
relatif tinggi.
Prisma Nicol
Peristiwa pembiasan ganda/rangkap/kembar banyak yang diaplikasikan ke dalam alat
instrumentasi, misalnya pada prisma pembiasan yang berguna sebagai alat polarisasi/polariser
cahaya. Di antara banyak prisma pembiasan yang telah ditemukan selama beratus-ratus tahun
oleh berbagai macam ilmuwan dari berbagai negara, prisma Nicol merupakan prisma
pembiasan yang paling dikenal. Prisma Nicol hampir dipakai selama satu abad. Prisma Nicol
adalah sebuah polariser yang digunakan untuk menghasilkan sinar cahaya yang terpolarisasi.
Prisma Nicol merupakan jenis prisma polarisasi yang pertama kali ditemukan. Prisma Nicol
ditemukan pada tahun 1828 oleh seorang ahli fisika Skotlandia yang bernama William Nicol
(1770-1851) dari Edinburgh. Untuk membuat prisma Nicol, sebuah kristal kalsit natural yang
6
panjangnya empat kali lebarnya dipotong di ujung-ujung mukanya seperti yang ditunjukkan
oleh garis putus-putus ab’ dan cd’ pada Gambar 1. Kemudian kristal itu dipotong secara
diagonal sepanjang garis b’d’ dan kedua belahan kristal kalsit ini yang berbentuk segitiga ini
direkatkan lagi dengan balsam Kanada. Balsam Kanada digunakan sebagai perekat karena
balsam Kanada merupakan bahan yang bersih transparan dengan indeks bias berada di
tengah-tengah indeks bias sinar o dan sinar e.
Cahaya yang tak terpolarisasi ini masuk melalui salah satu ujung permukaan kristal
dan kemudian sinar ini dibagi menjadi dua cahaya yang terpolarisasi. Salah satu sinar/cahaya
ini (sinar ordinary atau sinar o) mengalami pembiasan dengan indeks bias no = 1.658 dan
pada lapisan balsam Kanada yang memiliki indeks bias n = 1.55 mengalami pemantulan
internal total pada permukaan tengahnya dan dipantulkan ke sisi prisma. Sinar lainnya (sinar
extraordinary atau sinar e) mengalami pembiasan dengan indeks pembiasan yang lebih kecil
(ne = 1.486), tidak dipantulkan pada bagian tengahnya, dan meninggalkan setengah bagian
prisma sebagai sinar bidang yang terpolarisasi.
Prisma Nicol secara luas digunakan pada mikroskopi dan polarimetri. Namun, karena
prisma Nicol sangat rumit dan sulit untuk dibuat, memerlukan banyak sekali kalsit untuk
membuatnya, menimbulkan pergeseran lateral berkas sinar yang memancar, menyebabkan
gambar yang distarsi, dan menghasilkan cahaya yang kurang dari 100% polarisasi liniernya,
maka penggunaan prisma Nicol pada kebanyakan alat-alat instrumentasi mulai digantikan
oleh jenis polariser lain seperti lembaran polaroid dan prisma Glan-Thompson.
7
Daftar Pustaka
Halliday dan Resnick. Fisika jilid 2. 1987.Jakarta: Penerbit Erlangga.
Alonso dan Finn. Dasar-Dasar Fisika Unversitas jilid 2. 1992. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jenkin dan White. Fundamental of Optics. 1987. USA: John Wiley and Son.
Born dan Wolf. Principles of Optics. 1997. England: Cambrigde University Press.
http://en.wikipedia.org/wiki/Nicol_prism (diakses hari Sabtu, 15 Maret 2008 jam 21.14).