1. Senja Itu…
***
***
***
Luka diatas luka, kerinduanku padamu Damaskus, telah kau bawakan sesuatu yang
disemburkan dan dihancurkan gunung.
Bersabarlah wahai pusat dunia timur, setiap musibah diciptakan untuk orang yang sabar
dan kuat.
Apakah kamu lupa pada penakluk yang kejam dan guncangan yang meluluh lantahkan
masa seakan-akan roma terbakar oleh orang yang mengutus kelaliman dan tipu daya panasnya
api dalam ranah sejarah yang lebih bodoh, lebih dungu.
Ia berjalan menghancurhan segala harta simpanan dari sisi kanan dan ia curi dari sisi kiri.
Gila! Ia meruntuhkannya, lalu liarnya menjadi diam oleh bisikan gila dan kelam dari
hatinya,
Seperti menemukan besi panas yang meleleh tak diselimuti karat tak juga ditempa.
Wahai dewan konstitusi berjalanlah seperti apa yang kau gariskan karena tak ada
kebengkokan dan kesempitan.
Konstitusi yang lahir dari musyawarah dan di dalam hukum yanng benar terdapat logika
dan peradaban.
Jangan khawatir dengan yang mereka cantumkan dalam bukunya. Itu hanyalah sekedar
buku, bukan lampiran.
Bangkai kemuliaan dari rima ada rintihan yang datang dan dari rintihan itu air mata
bercucuran
Telah kuutus keduanya kepadamu dalam balutan puisi, adakah kau menunggu seperti
masa lalumu yang kau rindukan?
Aku menangisi malam-malam kita yang singkat dan kebersamaan mulai berguncang
seperti petir yang menyambar
Aku tak ingat dunia untukmu, barang kali ucapan yang dibenci itu bagai air bah yang
menenggelamkan si penuturnya.
Makanan dan minumannya terbuat dari racun duniabegitu juga udara yang dihisapnya.
Sementara manusia adayang lambat berfikir dan ada yang cepat berfikir, mereka tak
mengerti racun yang mereka teguk,
Adapun pelindung mengkhawatirkanmu akan racunya yakni racun yang bukan kau
minum, ialah musuh bebuyutan.
Mereka mencarimu sedangkan ajal hampir datang merongrong mereka. Padahal setiap
orang terdapat waktu kematian yang tak dapat dipercepat.
Mana kala sang mau membantu tali perhubungan merekadan sebab-sebab kematian
ditempelkan.
Kehidupan manusiawi terus menerus mengetuk tempat tidurmu.
Wahai kemenangan, itulah Damaskus yang berada di belakang kekelamannya yang
melemparkan cucuran air mata dan ratapan
Udara dingin yang saling berhembus dibelakangnya dan gadis-gadis berambut kepang
menunduk.
Dan burung-burung di berbagai penjuru merusak dan meratap, menemukan dan
mengalirkan kesedihan
………………..
…………..
……….
RERUNTUHAN
Karya Ibrahim Naji
Wahai hatiku, Allah dengan jelas telah menganugerahi cinta ini dari imajinasi maka kau
mencinta.
Sirami dan berilah aku minum di atas puing-puing reruntuhan untuk melepaskan
dahagaku selama air mataku terus mengalir.
Bagaimana kisah cinta di sore hari hanya menjadi cerita dan omongan-omongan dari
kisah-kisah kerinduan
Dan menjadi permadani dari penyesalan-penyesalan mimpi mereka yang telah lenyap dan
terkubur di sana.
***
Wahai angin, aku tak ingin menenangkan badaimu sedang minyak di pelitaku mulai
padam.
Dan aku memfitnah dari cinta yang telah memaafkan dan umur manusia dipanjangkan
agar dapat menepati janji.
Banyak orang yang tenggorokannya tak bisa bergeming dan tak ada kelopak mata yang
terpejam
Jika demikian hati yang pemurah ini setiap kali dikhianati akan selalu memaafkan
***
Wahai yang sedang dimabuk cinta, dalam darahku telah mengalir kekuatan seperti
kematian.
Suatu saat di pernikahannya kita habiskan usia kita dalam hidangan dan pesta.
Aku tak mengambil air mata dari matanya dan aku tak merebut senyum dari bibirnya.
Ini sebuah perumpamaan, kemana tempat pelarianku dan kemana berlalunya orang-orang
yang kabur dari tanggungannya?
***
Aku tak melupakanmu saat kau pernah memanggilku dengan panggilan yang indah dan
lembut.
Sementara kau ulurkan tanganmu ke arahku bagaikan tangan dari celah gelombang
pasang yang dijulurkan pada orang-orang yang tenggelam.
Dan seberkas cahaya yang dibutuhkan oleh pejalan malam, dimanakah cahaya itu aku
dapati di balik kedua matamu?
***
Aku tak melupakanmu, sementara engkau merayuku dengan mutiara air mata lalu ambisi
memabukkanku.
Engkau jiwa di atas langitku, dan aku terbang tinggi menujumu seakan-akan aku berada
jauh di bawahmu.
Wahai puncak-puncak langit, dulu di sana kita bertemu dan saling bercerita dalam
perjalanan.
Menyingkap misteri dan kita lihat orang-orang bernaung di bawah atap menara-
menaranya.
***
Kau selalu memiliki kenangan indah di masa kecil, sedangkan aku hanya memiliki
kenangan masa kecil yang menyedihkan.
Dan sisa-sisa bayangan dari perjalanan yang melelahkan bagai benang-benang cahaya
dari bintang yang mulai tenggelam.
Kulirik dunia dengan mataku dan aku lihat di sekelilingku hanya menyerupai kejemuan.
***
Usiaku habis dengan sia-sia, pergilah kau karena janjimu tiada lain hanya sebatas
khayalan
Halaman demi halaman seiring berlalunya masa telah menguatkan cinta kepadanya dan
menghapusnya.
Lihatlah, tertawakanlah, dan menarilah dengan gembira sementara aku membawa hatiku
yang terluka.
Manusia memandangku seperti ruh yang terbang dan cinta membinasakan jiwaku.
***
…………..
…………..
…………
***
…………..
…………
…………
……….
***
Sementara aku adalah cinta, hati, darah dan kupu-kupu yang bingung untuk
mendekatimu.
Dari kerinduan ada utusan di antara kita dan pelayang yang menyajikan gelas-gelas untuk
kita.
***
Kita mengerti kemurnian tubuh yang menetapkan kehidupan dan menentang untuk
dijadikan boneka.
Kita mendengar teriakan dari gemuruh petir layaknya suara cambuk sebagai adzab tuhan.
***
Wahai dua orang yang terbuang di dataran yang terjal bersimbah darah karena duri dan
pasir.
Mereka terlempar dari sana oleh mimpi yang besar ke nasib-nasib yang kelam dan
malam yang buta.
***
Ketika kau berkata pada hatiku suatu saat, bangkitlah kita bernyanyi untuk selain malam
yang menolak.
Kau yang menyelimutkannya, jangan kau tuduh aku yang menyelimutkan tirai ini.
***
Wahai cinta dari langkah buta, seandainya aku dapat melihat sesuatu apa pun aku tak kan
pernah mengikutinya.
Terkadang aku ingin menyambutnya dan menghampirinya, terkadang aku tak ingin
mengikutinya.
Kutundukkan kepalaku walau segala kekuatan ingin membeli kehormatan diriku, aku
takkan menjualnya!
***
Wahai kekasih, suatu hari aku akan mengunjungi istanamu dengan menunggangi
kerinduan dan kudendangkan deritaku.
Bagimu perlahan kemanjaan yang indah dan sang hakim memenjarakanku sebagai pelaku
kriminal.
Dan aku mengintai dari tempatku seraya menajamkan pendengaran akan hentakkan kaki
yang datang.
***
Ada kaki yang melangkah lalu hatiku bagai gelombang ombak yang berjalan menuju
pantainya.
Wahai para tirani! Sampai kapan kau cucurkan air mata di atas hentakkan kakimu?
Wahai pengobat jiwa! Jiwa ini mengadu kepada Tuhannya atas kelaliman yang
membuatnya putus asa.
***
Berikan kebebasanku! Dan lepaskan tanganku karna sesungguhnya aku tak memiliki apa-
apa lagi.
Inilah aku, telah kering air mataku maka maafkanlah dia karena dia sebelummu tidak
mengorbankan untuk hidup.
***
Burung terbang