Anda di halaman 1dari 9

Puisi KHALIL MUTHRAN

1. Senja Itu…

Tak kudapati syifa’ bagi penyakit yang menimpaku


Sejak masa mudaku, hanya semakin bertambah kronis

Wahai dua kelemahan, eksploitasilah diriku


Tak ada kegelapan yang lebih pekat dari memvonis orang lemah

Nafas berhembus lembut di antara keduanya


Di antara dua keadaan, naik turun berirama

Sementara akal bagai temaram yang diselimuti cahaya


Lalu dilemahkan oleh air mata darah

***

Wahai ajalku, inilah yang aku sisakan


Dari tulangku, jantungku, dan hatiku

Andai tak kau sadarkan dua masa tersia-sia memikirkanmu


Tak kan pernah ada penyesalan dan tangisan

Dua masaku, masa muda yang telah sirna


Masa tua yang penuh kenangan bersamamu

Tak dapat kunikmati masa mudaku bagai orang gila


Tak kudapati jaminan masa senjaku bagai orang berakal

***

Wahai bintang, siapakah yang dapat mengambil petunjuk


Dengan cahayanya bagi orang-orang yang muncul dengan kesombongan
Wahai telaga yang dengan fatamorgananya dapat menyirami mawar-mawar
Menghilangkandahaga bagi yang akan binasa karena kehausan
Wahai bunga yang dapat menghidupkan dengan pesona keindahannya
Dan membunuh dengan ikatan duri yang tak indah
Ini kesalahan mu hanya saja aku pun salah
Apa yang dimaksud kebahagiaan dalam cinta yang mempesona
Hanya kau jawabnya, namun kesengsaraan telah tertulis untukku
Sedangkan cinta tak kan membiarkan kesengsaraan
Seindah-indahnya kegelapan dimana cahaya-cahaya mekarnya bunga
Mendampingi kelopak mataku
Seindah-indahnya pengobat adalah ketika aku melihat
Seteguk kamuflase dari air yang dirindukan
Seindah-indahnya kehidupan, ketika aku jalani ikatan
Gempa keindahan taman yang penuh dengan bunga-bunga itu

***

Aku berdiri diatas penyakit-penyakit dengan harapan-harapan


Dalam keasingan mereka berkata: inilah yang dapat menyembuhkanmu!
Jika kesegaran udaranya dapat menyembuhkan raga ini
Apakah kerinduan dapat mendinginkan panasnya api?
Atau dapaatkah tempat indah ini mengendalikan jiwaku?
Atau kerinduan yang semakin menjauh dari jiwaku?
Sia-sia pengembaraanku di negri ini, sedangkan penyakit bertambah
Ketika aku diasingkan dengan alasan penyembuhan
Sendiri dalam kenangan, sendiri dalam lara
Sendir dalam ketakutan
Aku mengadu pada laut akan kegundahan hatiku
Ia menjawab hanya dengan hembusan angin kencang
Aku bersandar pada batu karang yang tuli
Seandainya hatiku seperti batu tuli ini
Yang tetap tegar dihantam gelombang seperti permasalaahanku
Dan dirasuki oleh penyakit seperti penyakitku
Sementara laut mulai mengerutkan pantainya, sempit
Sesak, seperti hatiku dikala senja ini
Warna suram mulai menyelimuti daratan
Seakan-akan naik dari rongga dada kemataku
Dan cakrawala kelam bermata sendu
Menyelimuti ketegangan dan keresahan
Wahai matahari terbenam dan segala yang kau ajarkan
Bagi orang yang dimabuk cinta dan menyaksikanmu
Bukankah kau takkan mengguncangkan keyakinan dan
Mendorong keraguan ketika kegelapan yang mengerikan?
Mungkinkah kau takkan menghapus yang dapat aku lihat suatu saat?
Dan melenyapkan tanda-tandanya?
Hingga cahaya menjadi pembaharunya
Dan kembalinya sayatan menyerupai hari kebangkitan.
LUKA DI ATAS LUKA
Kerinduanku Padamu Damaskus
* Karya Ahmad Syauqi

Luka diatas luka, kerinduanku padamu Damaskus, telah kau bawakan sesuatu yang
disemburkan dan dihancurkan gunung.
Bersabarlah wahai pusat dunia timur, setiap musibah diciptakan untuk orang yang sabar
dan kuat.
Apakah kamu lupa pada penakluk yang kejam dan guncangan yang meluluh lantahkan
masa seakan-akan roma terbakar oleh orang yang mengutus kelaliman dan tipu daya panasnya
api dalam ranah sejarah yang lebih bodoh, lebih dungu.
Ia berjalan menghancurhan segala harta simpanan dari sisi kanan dan ia curi dari sisi kiri.
Gila! Ia meruntuhkannya, lalu liarnya menjadi diam oleh bisikan gila dan kelam dari
hatinya,
Seperti menemukan besi panas yang meleleh tak diselimuti karat tak juga ditempa.
Wahai dewan konstitusi berjalanlah seperti apa yang kau gariskan karena tak ada
kebengkokan dan kesempitan.
Konstitusi yang lahir dari musyawarah dan di dalam hukum yanng benar terdapat logika
dan peradaban.
Jangan khawatir dengan yang mereka cantumkan dalam bukunya. Itu hanyalah sekedar
buku, bukan lampiran.
Bangkai kemuliaan dari rima ada rintihan yang datang dan dari rintihan itu air mata
bercucuran
Telah kuutus keduanya kepadamu dalam balutan puisi, adakah kau menunggu seperti
masa lalumu yang kau rindukan?
Aku menangisi malam-malam kita yang singkat dan kebersamaan mulai berguncang
seperti petir yang menyambar
Aku tak ingat dunia untukmu, barang kali ucapan yang dibenci itu bagai air bah yang
menenggelamkan si penuturnya.
Makanan dan minumannya terbuat dari racun duniabegitu juga udara yang dihisapnya.
Sementara manusia adayang lambat berfikir dan ada yang cepat berfikir, mereka tak
mengerti racun yang mereka teguk,
Adapun pelindung mengkhawatirkanmu akan racunya yakni racun yang bukan kau
minum, ialah musuh bebuyutan.
Mereka mencarimu sedangkan ajal hampir datang merongrong mereka. Padahal setiap
orang terdapat waktu kematian yang tak dapat dipercepat.
Mana kala sang mau membantu tali perhubungan merekadan sebab-sebab kematian
ditempelkan.
Kehidupan manusiawi terus menerus mengetuk tempat tidurmu.
Wahai kemenangan, itulah Damaskus yang berada di belakang kekelamannya yang
melemparkan cucuran air mata dan ratapan
Udara dingin yang saling berhembus dibelakangnya dan gadis-gadis berambut kepang
menunduk.
Dan burung-burung di berbagai penjuru merusak dan meratap, menemukan dan
mengalirkan kesedihan
………………..
…………..
……….

RERUNTUHAN
Karya Ibrahim Naji

Wahai hatiku, Allah dengan jelas telah menganugerahi cinta ini dari imajinasi maka kau
mencinta.
Sirami dan berilah aku minum di atas puing-puing reruntuhan untuk melepaskan
dahagaku selama air mataku terus mengalir.
Bagaimana kisah cinta di sore hari hanya menjadi cerita dan omongan-omongan dari
kisah-kisah kerinduan
Dan menjadi permadani dari penyesalan-penyesalan mimpi mereka yang telah lenyap dan
terkubur di sana.
***
Wahai angin, aku tak ingin menenangkan badaimu sedang minyak di pelitaku mulai
padam.
Dan aku memfitnah dari cinta yang telah memaafkan dan umur manusia dipanjangkan
agar dapat menepati janji.
Banyak orang yang tenggorokannya tak bisa bergeming dan tak ada kelopak mata yang
terpejam
Jika demikian hati yang pemurah ini setiap kali dikhianati akan selalu memaafkan
***
Wahai yang sedang dimabuk cinta, dalam darahku telah mengalir kekuatan seperti
kematian.

Suatu saat di pernikahannya kita habiskan usia kita dalam hidangan dan pesta.

Aku tak mengambil air mata dari matanya dan aku tak merebut senyum dari bibirnya.

Ini sebuah perumpamaan, kemana tempat pelarianku dan kemana berlalunya orang-orang
yang kabur dari tanggungannya?

***

Aku tak melupakanmu saat kau pernah memanggilku dengan panggilan yang indah dan
lembut.

Sementara kau ulurkan tanganmu ke arahku bagaikan tangan dari celah gelombang
pasang yang dijulurkan pada orang-orang yang tenggelam.

Oh wahai arah kakiku, jika langkahku mengadu karena duri-duri jalanan

Dan seberkas cahaya yang dibutuhkan oleh pejalan malam, dimanakah cahaya itu aku
dapati di balik kedua matamu?

***

Aku tak melupakanmu, sementara engkau merayuku dengan mutiara air mata lalu ambisi
memabukkanku.

Engkau jiwa di atas langitku, dan aku terbang tinggi menujumu seakan-akan aku berada
jauh di bawahmu.

Wahai puncak-puncak langit, dulu di sana kita bertemu dan saling bercerita dalam
perjalanan.
Menyingkap misteri dan kita lihat orang-orang bernaung di bawah atap menara-
menaranya.

***

Kau selalu memiliki kenangan indah di masa kecil, sedangkan aku hanya memiliki
kenangan masa kecil yang menyedihkan.

Dan sisa-sisa bayangan dari perjalanan yang melelahkan bagai benang-benang cahaya
dari bintang yang mulai tenggelam.

Kulirik dunia dengan mataku dan aku lihat di sekelilingku hanya menyerupai kejemuan.

Menari-nari di atas cacatnya cintaku, berteriak di atas kuburan harapanku.

***

Usiaku habis dengan sia-sia, pergilah kau karena janjimu tiada lain hanya sebatas
khayalan

Halaman demi halaman seiring berlalunya masa telah menguatkan cinta kepadanya dan
menghapusnya.

Lihatlah, tertawakanlah, dan menarilah dengan gembira sementara aku membawa hatiku
yang terluka.

Manusia memandangku seperti ruh yang terbang dan cinta membinasakan jiwaku.

***

Aku adalah penyamaran khayalanku, ………..

…………..

…………..

…………

***

…………..

…………

…………

……….
***

Dimana engkau berada cobaan bertaut cahaya dengan sinar

Sementara aku adalah cinta, hati, darah dan kupu-kupu yang bingung untuk
mendekatimu.

Dari kerinduan ada utusan di antara kita dan pelayang yang menyajikan gelas-gelas untuk
kita.

Menyuguhkan minuman, dan mengibas-ngibaskan kita sejenak dari debu-debu yang


menyentuh tubuh kita.

***

Kita mengerti kemurnian tubuh yang menetapkan kehidupan dan menentang untuk
dijadikan boneka.

Kita mendengar teriakan dari gemuruh petir layaknya suara cambuk sebagai adzab tuhan.

Teriakan itu memerintahkan kita, namun kita menentangnya, mengabaikan kehinaan


yang menyelimuti dahi

Pembangkang, kita seperti pembangkang yang diusir dari pagar-pagar kehidupan.

***

Wahai dua orang yang terbuang di dataran yang terjal bersimbah darah karena duri dan
pasir.

Setiap malam menekannya, keduanya tahu akan keindahan derita-derita di pembuangan


yang suci.

Mereka terlempar dari sana oleh mimpi yang besar ke nasib-nasib yang kelam dan
malam yang buta.

***

Kau telah menjadi masalahku yang menakjubkan seakan-akan disekelilingku banyak


burung dataran tinggi.

Ketika kau berkata pada hatiku suatu saat, bangkitlah kita bernyanyi untuk selain malam
yang menolak.

Tirai menutup kedua mataku bukan matamu tanpa diminta.

Kau yang menyelimutkannya, jangan kau tuduh aku yang menyelimutkan tirai ini.
***

Keputusasaan kalian meneriakkanku yang dicabutnya, lalu takdir menjawab dengan


sinis, “biarkanlah dia!”

Wahai cinta dari langkah buta, seandainya aku dapat melihat sesuatu apa pun aku tak kan
pernah mengikutinya.

Terkadang aku ingin menyambutnya dan menghampirinya, terkadang aku tak ingin
mengikutinya.

Kutundukkan kepalaku walau segala kekuatan ingin membeli kehormatan diriku, aku
takkan menjualnya!

***

Wahai kekasih, suatu hari aku akan mengunjungi istanamu dengan menunggangi
kerinduan dan kudendangkan deritaku.

Bagimu perlahan kemanjaan yang indah dan sang hakim memenjarakanku sebagai pelaku
kriminal.

Sedangkan kerinduanku padamu seakan menyetrika tulang-tulangku di tiap detik darahku


mengalir bagaikan kerikil. Perih.

Dan aku mengintai dari tempatku seraya menajamkan pendengaran akan hentakkan kaki
yang datang.

***

Ada kaki yang melangkah lalu hatiku bagai gelombang ombak yang berjalan menuju
pantainya.

Wahai para tirani! Sampai kapan kau cucurkan air mata di atas hentakkan kakimu?

Adakah kasih sayang yang bersemayam di setiap makhluk yang bernyawa?

Wahai pengobat jiwa! Jiwa ini mengadu kepada Tuhannya atas kelaliman yang
membuatnya putus asa.

***

Berikan kebebasanku! Dan lepaskan tanganku karna sesungguhnya aku tak memiliki apa-
apa lagi.

Oh…belenggumu membuat tanganku bercucuran darah. Kenapa ia tetap membiarkanku?


Tidakkah aku telah menunaikan janjimu dan kau tak menepati janjimu. Sampai kapan
pertawanan ini sedangkan dunia ada di hadapanku.

Inilah aku, telah kering air mataku maka maafkanlah dia karena dia sebelummu tidak
mengorbankan untuk hidup.

***

Burung terbang

Anda mungkin juga menyukai