Anda di halaman 1dari 14

1

USAHATANI ORGANIK:
SALAH SATU ALTERNATIF UPAYA MENUJU PERTANIAN
BERKELANJUTAN1

Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391

• Latar Belakang

Selama periode 1970'an, kebijaksanaan pembangunan pertanian dengan target


peningkatan produksi, pada dasarnya bertumpu pada paradigma revolusi hijau yang
mengandalkan intensifikasi penggunaan input moderen. Berbagai perubahan sebagai dampak
kebijaksanaan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan beberapa pengaruh positif (terutama
peningkatan produktivitas) serta mengurangi risiko usahatani (Ranaweera et al., 1993). Namun
demikian, di dalam perkembangannya, perubahan-perubahan di atas ternyata mengandung
biaya eksternal yang sangat signifikan berkaitan dengan aspek keberlanjutan usahatani
(masalah generasi kedua revolusi hijau). Biaya eksternal tersebut diantaranya adalah semakin
menipisnya lapisan atas tanah (topsoil), terkontaminasinya air tanah, semakin meningkatnya
biaya produksi per unit, semakin tingginya ketergantungan petani terhadap input eksternal, dan
kecenderungan semakin menurunnya keaneka-ragam hayati (Lynam & Herdt, 1989; Waibel and
Setboonsarng, 1993).
Usahatani adalah kegiatan yang mengandung risiko. Pelaku usahatani, khususnya petani,
harus berhadapan dengan beragam jenis risiko. Namun demikian, kepedulian terhadap risiko
lingkungan tampaknya merupakan hal yang relatif baru disadari oleh kebanyakan petani. Sejalan
dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian serta semakin berkembangnya
teknologi baru yang lebih efektif, beberapa pakar mengindikasikan bahwa teknologi baru tersebut
sering kali cenderung bersifat lebih destruktif dan menimbulkan ketidak-pastian yang lebih tinggi
terhadap kelestarian lingkungan (Ikerd, 1999; Pannell, 1999). Contoh nyata dari hal ini diantaranya
adalah teknologi pengendalian hama penyakit secara kimiawi yang semakin canggih dan mahal,
serta pemanfaatan tanaman/ternak transgenik.
Memasuki periode tahun 2000, kebijaksanaan pembangunan pertanian diarahkan untuk
mencapai ketahanan pangan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan sistem agribisnis.
Sebagaimana dirumuskan oleh Kantor Menko Ekuin dan PSP, LP-IPB (2000), sistem agribisnis
terdiri dari empat sub-sistem (agribisnis hulu, pertanian primer, agribisnis hilir dan lembaga jasa)
yang terintegrasi secara fungsional. Pengembangan sistem agribisnis tersebut kemudian
dikonsepsikan sebagai suatu proses perubahan dengan tahapan: (a) agribisnis berbasis sumber-
daya, (b) agribisnis berbasis investasi dan (c) agribisnis berbasis inovasi. Pendekatan sistem ini
juga disertai dengan visi masa depan pertanian yang didukung oleh teknologi tinggi,
bioteknologi dan teknologi informasi. Sasaran dari pendekatan sistem serta berbagai perangkat
pendukung di atas pada dasarnya adalah untuk melakukan spesialisasi, mekanisasi,
pemisahan, pentahapan serta pengendalian seluruh proses produksi yang mengarah pada
industrialisasi pertanian. Dengan demikian, integrasi vertikal dari fungsi-fungsi produksi,
prosesing dan distribusi diperkirakan akan semakin meningkat -- perluasan cakupan kegiatan
mulai dari perancangan plasma nutfah sampai pembentukan preferensi konsumen -- yang

1 Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Sayuran Organik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten

Bandung, tanggal 12 Maret 2002, Bandung.


2

disertai pula dengan semakin meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi biologis dan
teknologi informasi pada semua tingkatan di dalam sistem pertanian (Ikerd, 1997). Melalui
pendekatan ini dimungkinkan tercapainya sistem pertanian yang lebih efisien -- populasi petani
yang cenderung semakin menurun, tetapi mampu menjamin ketahanan pangan lebih banyak
orang dengan kualitas yang lebih baik dan biaya yang lebih rendah. Namun demikian, perlu
dicermati pula bahwa kebijakan di atas memiliki peluang kegagalan yang cukup tinggi,
terutama jika dikaitkan dengan kondisi sektor pertanian yang sedang mengalami masalah
generasi kedua revolusi hijau. Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa industrialisasi
pertanian dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi lingkungan dan
pengurasan basis sumberdaya alam. Pupuk buatan dan pestisida komersial yang merupakan
elemen esensial dalam industrialisasi pertanian telah menjadi fokus perhatian berkaitan
dengan peranannya sebagai salah satu sumber utama polusi lingkungan.
Mengacu pada uraian di atas, pengembangan sistem agribisnis sebagai strategi utama
pembangunan pertanian perlu pula didukung oleh komitmen yang tinggi untuk mewujudkan
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dalam konteks ini, pertanian berkelanjutan
berperan sebagai suatu paradigma yang digunakan untuk acuan dalam perencanaan atau
pengambilan keputusan. Elemen-elemen esensial dalam pertanian berkelanjutan adalah: (a)
perlindungan terhadap sistem ekologis, (b) pemerataan atau keadilan antar generasi, dan (c)
efisiensi penggunaan sumberdaya (Dunlap et al., 1992; Bosshard, 2000). Ketiga elemen
tersebut merupakan isu-isu terpisah yang tidak dapat dikombinasikan secara sederhana dan
masih menjadi bahan diskusi hangat, terutama menyangkut indikator-indikator pengukurannya
(Andreoli and Tellarini, 2000; Steiner, et al., 2000, Lefroy, et al., 2000; Sands and Podmore,
2000). Terlepas dari tantangan kesulitan pengukuran tersebut, tampaknya sudah menjadi
kesepakatan umum bahwa setiap elemen keberlanjutan di atas tetap harus dipertimbangkan
dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan pembangunan pertanian
(Pannell and Schilizzi, 1999; Clemetsen and Laar, 2000; Kniper, 2000).
Produksi intensif dan permintaan sayuran sepanjang tahun, selain dihadapkan pada
masalah konversi lahan produktif yang berjalan cepat (akibat kebutuhan non-pertanian yang
secara sosio-ekonomis dianggap lebih mendesak, misalnya perumahan dan industri), juga
menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah (akibat penggunaan material kimiawi
berlebih dan tidak tertatanya sistem drainase), penurunan produktivitas lahan (akibat pengelolaan
lahan yang cenderung eksploitatif, tanpa memperhatikan upaya reklamasi), tingginya tingkat
residu (akibat penggunaan pestisida kimiawi yang cenderung berlebih), rendahnya kualitas produk
dan tingginya kehilangan hasil lepas panen (akibat kurang diperhatikannya proses penanganan
produk dan serangan/eksplosi hama penyakit sebagai konsekuensi terganggunya keseimbangan
ekologis) (Jansen et al., 1994). Berbagai masalah tersebut pada dasarnya merupakan indikasi
bahwa sistem usahatani sayuran diduga semakin menjauhi alur model pengembangan
berkelanjutan. Dalam konteks ini, pengembangan pertanian/sayuran organik dapat ditawarkan
sebagai salah satu bentuk sistem produksi yang sejalan dengan prinsip pertanian
berkelanjutan.

• Pertanian/Usahatani Organik

Asumsi dan Prinsip

Pertanian organik pada awalnya dikembangkan dari filosofi seorang antropolog


Jerman (Rudolf Steiner-1913) yang secara teoritis mempertimbangkan manusia sebagai salah
satu bagian dari keseimbangan kosmik dan berkewajiban untuk memahami cara hidup
harmonis dengan lingkungannya. Teori ini kemudian diaplikasikan di bidang pertanian oleh H.
3

Pfeiffer pada awal tahun 1920’an dan melahirkan biodynamic agriculture yang selanjutnya
berkembang di Eropa sebagai organic agriculture (Viandes, 1999).
Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal untuk pertanian organik, karena terminologi
ini lebih tepat diarahkan untuk mencirikan suatu gerakan (movement), bukan suatu kebijakan
(policy). Batasan pertanian organik lebih sering digambarkan melalui deskripsi: (a) suatu agro-
ekosistem yang secara mandiri dan persisten memelihara keseimbangan lingkungan, (b)
sejauh memungkinkan, sistem ini memanfaatkan sumberdaya lokal dan sumberdaya yang
dapat diperbaharui, (c) secara holistik menggabungkan aspek ekologis, ekonomis dan sosial
dari produksi pertanian, baik ditinjau dari perspektif lokal maupun global, (d) alam
dipertimbangkan secara utuh beserta dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan
manusia memiliki kewajiban moral untuk melakukan usahatani dengan cara-cara yang
memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan sistem produksi (Kristensen, 2000). Secara
lebih spesifik, pertanian organik adalah suatu sistem produksi yang tidak menggunakan
pestisida dan pupuk kimiawi buatan, tetapi bertumpu pada pengembangan diversitas bilogis
dan pemeliharaan/perbaikan kesuburan tanah (Organic Farming Res. Foundation, 1998).
Pertanian organik dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip dan gagasan yang diarahkan
untuk: (a) mendorong interaksi konstruktif antara metode produksi dengan sistem dan daur
ulang alami, (b) mendorong dan meningkatkan daur ulang biologis dalam sistem usahatani
yang melibatkan mikro organisme, flora dan fauna tanah, tanaman dan hewan, (c) memelihara
dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, (d) memelihara keaneka-ragaman
hayati yang terdapat di dalam sistem produksi, termasuk habitat tanaman dan hewan, (e)
menggunakan seoptimal mungkin sumberdaya dapat diperbaharui yang berasal dari sistem
usahatani itu sendiri, (f) meminimalkan segala bentuk polusi yang mungkin timbul dari kegiatan
usahatani, (g) mempromosikan penggunaan dan pemeliharaan air secara tepat dan sehat, dan
(I) mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap kondisi sosial
dan ekologis (Ikerd, 1999; Benbrook, 1998; Fairweather, 1999).
Substansi dari prinsip ekologis dan sasaran pertanian organik menggaris-bawahi
kedudukan manusia sebagai bagian integral dari alam, dan alam merupakan entitas yang
kompleks, sehingga manusia tidak dapat sepenuhnya memahami konsekuensi serta pengaruh
yang ditimbulkannya terhadap alam. Berdasarkan asumsi fundamental tersebut, beberapa
prinsip pengembangan yang sesuai dengan filosofi pertanian organik dapat ditentukan, yaitu:

Asumsi Prinsip Pengembangan

Kolaborasi dengan alam harus dipromosikan mengacu pada


prinsip siklikal yang menjamin diversitas dan harmoni, serta
daur ulang dan penggunaan sumberdaya yang dapat
diperbaharui (Cyclical principle)
Manusia sebagai bagian
integral siklus alam

Teknologi yang telah dikenal pengguna dan berfungsi


Manusia tidak sepenuhnya dengan baik merupakan pilihan yang lebih baik dibanding
memahami konsekuensi yang teknologi yang berisiko (Precautionary principle)
timbul dari tindakannya
terhadap alam
Transparansi dan kerjasama dalam produksi pangan dapat
diperbaiki melalui “kedekatan”. Salah satu contoh adalah
penggunaan experience-based-knowledge dan local interest
menyangku pengembangan nilai-nilai kultural dan sosial
(Nearness principle)
4

(a) Prinsip siklikal (The cyclical principle) yang didasarkan pada kenyataan bahwa nutrisi dapat
didaur ulang dan digunakan lagi, dan dengan pertolongan sinar matahari, sumberdaya dapat
diperbaharui kembali. Melalui pendekatan yang sama, manusia juga harus mendaur-ulang
nutrisi, menghindarkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dan
mencegah eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih, (b) Prinsip pencegahan (The
precautionary principle) yang merekomendasikan kehati-hatian dalam pemanfaatan teknologi
baru, karena manusia merupakan bagian dari siklus alami dan alam merupakan suatu entitas
yang sangat kompleks, sehingga manusia menemukan kesulitan untuk memperkirakan
konsekuensi tindakannya. Konsekuensi alami dari prinsip pencegahan adalah perlu
didahulukannya teknologi lama yang dikenal pengguna dan berfungsi baik, dibandingkan
dengan teknologi baru yang dikembangkan secara lebih teoritis, dan (c) Prinsip kedekatan
(The nearness principle) yang menaruh perhatian terhadap upaya untuk mengamankan aspek-
aspek sosial khusus dari pertanian organik, misalnya transparansi, keselamatan, humanitas
dan keadilan sosial. Kontak langsung antara produsen dengan konsumen dapat mengurangi
alienasi yang seringkali merupakan ciri/karakteristik masyarakat moderen. Pembelajaran yang
berbasis pada pengalaman lokal serta penelitian ke dalam sistem secara keseluruhan akan
merupakan komponen sentral untuk mengamankan nilai-nilai sosial dan kultural hubungan
manusia dengan alam (Kristensen, 2000).

Aspek Teknologi Usahatani Organik

Material perbanyakan tanaman

Pada dasarnya, pertanian organik mensyaratkan penggunaan benih/bibit yang berasal


dari sumber atau penangkar benih/bibit organik yang bersertifikat. Namun mengingat
keterbatasan pemasok benih/bibit dengan kualifikasi seperti di atas, maka masih dimungkinkan
untuk memperoleh benih/bibit dari sumber lain. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa
benih/bibit tersebut harus bebas dari perlakuan yang menggunakan material inorganik
(dilarang). Benih/bibit yang berasal dari material rekayasa genetik atau transgenik sepenuhnya
tidak diperbolehkan. Untuk beberapa standar organik, kelonggaran ini hanya berlaku selama
masa transisi atau sampai tiga tahun sejak masa transisi/konversi dimulai. Jika masalah
sumber bibit bersertifikat tersebut masih belum dapat dipecahkan, maka direkomendasikan
kepada petani organik untuk memproduksi benih/bibit sendiri,dengan tetap memperhatikan
material atau media yang diperbolehkan atau dibatasi atau dilarang.

Rotasi tanaman

Rotasi tanaman merupakan aspek penting dalam pertanian organik yang diarahkan
untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan dan struktur tanah, bahkan dalam
pengendalian gulma, hama dan penyakit. Rancangan dasar/umum rotasi tanaman
menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 Tanaman yang berakar dalam harus diikuti oleh tanaman yang berakar dangkal untuk
menjaga struktur tanah tetap terbuka dan membantu drainase. Hal ini juga diarahkan untuk
mencegah timbulnya penurunan atau hilangnya kesuburan tanah di bagian tertentu saja.
 Fase penggunaan tanaman yang bersifat fertility giving harus digilir dengan fase
penanaman tanaman yang bersifat fertility demanding, misalnya penggunaan legumes dan
tanaman pupuk hijau untuk mengembalikan kesuburan tanah setelah digunakan untuk
menanam jagung
5

 Melakukan pergiliran antara tanaman yang memiliki biomassa akar tinggi dengan rendah,
karena biomassa akar ini dapat membantu terbentuknya habitat untuk organisme/mikro-
organisme tanah
 Rotasi antara spesies-spesies tanaman yang berbeda berdasarkan pertimbangan
diversitas tanaman dan meminimalkan masalah gulma, hama serta penyakit.

Praktek kultivasi/pengolahan tanah

Pengolahan tanah yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas lahan,


karena berbagai gangguan yang ditimbulkan pada habitat organisme/mikro-organisme tanah,
pencucian dan erosi tanah. Tanaman penutup tanah, misalnya tanaman pupuk hijau,
disarankan untuk digunakan karena berperan penting dalam memelihara kesuburan tanah.
Beberapa hal yang disarankan dalam pengolahan tanah adalah: (a) mempertimbangkan iklim,
topografi dan kondisi tanah sebelum pengolahan dimulai, (b) memelihara residu permukaan,
mengurangi kecepatan operasi pengolahan tanah untuk menjaga agregat tanah dan
meminimalkan oksidasi bahan organik, (c) meminimalkan pemadatan tanah, menghindarkan
pengolahan pada tanah basah, dan (d) meminimalkan frekuensi serta intensitas gangguan
terhadap tanah. Hal lain yang juga disarankan adalah membatasi penanaman mengikuti
barisan (row cropping) selama tiga tahun berturut-turut.

Pengelolaan kesuburan tanah

Pemeliharaan kesuburan tanah tidak cukup hanya dilakukan melalui rotasi tanaman
dan pengolahan tanah bijaksana. Oleh karena itu, disarankan pula untuk mengembalikan
bahan-bahan yang dapat terdegradasi secara biologis, berasal dari tanaman atau hewan
secukupnya, agar dapat meningkatkan atau memelihara kesuburan dan aktivitas biologis yang
terjadi di dalam tanah. Penggunaan pupuk kandang atau urine hewan yang berasal dari
usahatani sendiri diperbolehkan, tetapi yang berasal dari luar dibatasi. Pupuk kandang yang
berasal dari luar harus melalui proses pengomposan sebelum digunakan. Bahan kompos yang
berasal dari luar usahatani masih diperbolehkan jika sumbernya adalah usahatani organik lain
yang bersertifikat. Penggunaan bakteri sampai batas tertentu untuk mempercepat
pengomposan masih diperbolehkan. Penggunaan guano yang berasal dari burung laut (bukan
kelelawar) tidak diperbolehkan dengan alasan pengumpulannya (intervensi manusia) dapat
mengganggu habitatnya yang sangat rentan. Pada beberapa kasus, penggunaan inokulasi
rizobium dan mikoriza juga masih diperbolehkan. Berbagai standar mengenai pertanian
organik yang berlaku di berbagai negara, secara spesifik mengatur penggunaan pupuk
kandang, kompos, bahkan cara pembuatannya. Regulasi yang dituangkan dalam standar
tersebut juga berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan negara bersangkutan.

Pengendalian hama penyakit

Berbagai standar organik menekankan penggunaan tanaman dan varietas yang tepat,
rotasi tanaman yang terencana, companion planting serta praktek pemeliharaan kesuburan
lahan sebagai cara yang bijaksana untuk menekan kehilangan hasil akibat insiden hama
penyakit dan gulma. Perhatian khusus juga ditekankan agar tanaman dapat tumbuh dan
berkembang secara alami. Penggunaan material tertentu harus sesuai dengan petunjuk
Codex, yaitu: (a) material yang digunakan harus sesuai dengan prinsip prinsip pertanian
organik, (b) substansi yang digunakan harus tepat, sesuai dengan tujuan/sasaran penggunaan,
(c) substansi yang digunakan tidak berbahaya bagi lingkungan, dan (d) substansi yang
digunakan mempunyai dampak negatif terendah terhadap kesehatan manusia dan kualitas
6

hidup. Pengendalian gulma disarankan ditempuh melalui rotasi tanaman, pengaturan


kerapatan tanam, penyiangan manual atau mekanis dan pemulsaan. Penggunaan mulsa alami
sangat disarankan, sedangkan penggunaan mulsa plastik polikarbonat dibatasi dan mulsa
plastik polivinil klorida tidak diperbolehkan. Beberapa standar memberikan sedikit fleksibilitas
bagi petani yang sedang dalam tahap transisi dari usahatani konvensional ke organik.

Beberapa contoh teknik budidaya dan input yang diperbolehkan, masih diperde-batkan atau
dilarang dalam pertanian organik diperlihatkan pada tabel di bawah ini.

Teknik Budidaya Diperbolehkan Masih diperdebatkan Dilarang


(Permitted) (Under debate) (Restricted)
Kultivasi/pengolahan tanah berdasarkan barisan, secara manual X

Kultivasi/pengolahan tanah berdasarkan barisan, secara mekanis X

Penyiangan mekanis X

Pengukusan top-soil X X

Pemulsaan jerami X X

Pemulsaan plastik X

Penyemprotan dengan sulfur X X

Penyemprotan dengan copper sulphate X X

Penyemprotan dengan humus X

Penyemprotan dengan ekstrak tanaman X

Penyemprotan dengan bahan kimiawi X

Pengolahan tanah dalam X X

Penggunaan kompos X

Penggunaan pupuk kandang X

Penggunaan pupuk artifisial X

Produksi di greenhouse tanpa tanah X X

Penggunaan GMO X X

Penggunaan EM X X

Penggunaan varietas yang bukan organik X X

Penggunaan pupuk kandang dari luar X X

Penggunaan bahan bakar fosil X X

Penggunaan bio-gas X X

Sertifikasi dan Standarisasi Pertanian Organik

Produk organik bersertifikat adalah produk pertanian yang diproduksi dan diproses
berdasarkan standar seragam yang ketat dan diverifikasi setiap tahun oleh institusi independen
atau swasta (sebagai contoh, setiap negara bagian di USA memiliki regulasi dan sertifikasi
untuk pertanian organik). Sertifikasi meliputi pengawasan kebun usahatani serta fasilitas
pengolahan. Praktek usahatani yang diawasi termasuk pengelolaan lahan/tanah jangka
panjang, pelabelan produk dan record keeping. Serifikasi dan standarisasi pertanian organik
7

dirintis oleh International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) dan


digunakan sebagai acuan untuk berbagai standar di berbagai negara. Berbagai lembaga
sertifikasi yang ada harus mendapat akreditasi dari IFOAM. Namun perlu diperhatikan bahwa
perbedaan standar organik tidak dapat terelakkan terjadi di antara berbagai lembaga
sertifikasi/standarisasi tersebut. Hal ini memiliki implikasi yang cukup jauh, karena dapat
berfungsi sebagai hambatan dalam perdagangan bebas produk pertanian organik (Rahman,
2000).

• Uraian Singkat Perkembangan Pertanian Organik Global

Walaupun masih berada pada skala industri yang relatif kecil, pertanian organik mulai
tumbuh cukup pesat sebagai salah satu alternatif sistem produksi. Sebagai contoh, di
beberapa negara maju, pertanian organik telah menunjukkan kontribusi cukup signifikan
terhadap sistem pangan yang berlaku (10% di Austria, 7,8% di Switzerland), sedangkan di
negara-negara lainnya tumbuh di atas 20% per tahun (Germany, Italy, USA, France, Japan,
Singapore) (IFOAM, 1999). Beberapa negara berkembang juga mulai memiliki pasar domestik
untuk produk organik (Egypt) dan mulai mengembangkan produk organik untuk ekspor (kopi
dari Mexico, kapas dari Uganda). Pada umumnya produk organik dijual pada tingkat premium
yang cukup tinggi. Produk organik dapat dihargai 20% lebih tinggi dibandingkan dengan harga
produk serupa yang bersifat non-organik (Lohr, 1998, Thompson, 1998). Tabel di bawah ini
menunjukkan nilai produk organik yang masuk ke pasar, konsumsi per kapita pertumbuhan
tahunan serta rata-rata premium produk organik untuk berbagai negara yang diinventarisasi
oleh Ritchie, et al. (2000).

Negara Nilai pasar organik Konsumsi per kapita Tingkat pertumbuhan Rata-rata premium (%)
(US$ mill.) (US$) pasar (%/tahun)
Argentina 3 0,08 25 -
Australia 132 6,95 60 35
Austria 152 19,00 - 10-50
Brazil 150 0,87 20 25-35
Canada 571 18,42 25 10-50
Denmark - - - 30-50
France 610 10,34 25 25-50
Germany 1 800 21,95 10 30
Hongkong - - 15 15
Italy 900 15,79 20 20-200
Japan 3 000 23,81 - 10-30
Korea 61 1,30 - 50
Mexico 15 0,15 - 30-40
New Zealand 16 4,44 50 10-100
Philippines - - 10-20 20-30
Poland - - - 10-30
Portugal - - - 10-15
Slovakia - - - 15
Spain - - - 20-50
Taiwan 9,5 0,43 30 > 400
UK 650 11,02 100 25-100
USA 6 000 21,98 20 10-20
Total 14,07 bill.
Average 10,44 35 35
8

• Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia

Sebagian besar petani, khususnya di luar Jawa, mungkin dapat dikategorikan sebagai
petani organik, karena tidak ditargetkan sebagai partisipan revolusi hijau, dan sampai saat ini
masih melanjutkan usahataninya secara tradisional. Sementara itu, di daerah lain banyak
petani yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk dan pestisida pada saat
harganya meningkat, sebagai dampak dari krisis ekonomi. Hal ini mengimplikasikan bahwa
argumen-tasi metode pertanian organik menjadi sangat relevan. Beberapa kelompok tani dan
lembaga swadaya masyarakat memandang pertanian organik sebagai suatu cara untuk
melawan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh revolusi hijau dan membebaskan petani
dari dominasi revolusi hijau – ketergantungan terhadap pupuk, pestisida serta input kimiawi
lainnya.
Namun demikian, kepedulian/kesadaran publik mengenai arti pertanian organik dan
permintaan konsumen untuk produk organik masih sangat rendah (belum ada skim nasional
untuk sertifikasi dan pelabelan produk organik). Pemilik toko yang menjual produk organik di
Yogyakarta (didirikan pada tahun 1997 oleh Consortium of Fair Trade Community, dengan
bantuan pendanaan dari Oxfam) mengeluhkan kesulitan untuk mencari pelanggan yang
bersedia membeli produk organik dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan produk
konvensional.
Beberapa organisasi yang mulai memusatkan perhatian ke pertanian organik
(termasuk isu-isu keamanan pangan dan transgenik) diantaranya adalah:

1. Konphalindo: konphal@rad.net.id
2. PAN Indonesia: biotani@rad.net.id
3. ELSPPAT: elsppat@bogor.wasantara.net.id, http://www.eslppat.or.id/
4. Jaringan Kerja Kearifan Tradisional: rasdi@palu.wasantara.net.id
5. Jaringan Kerja Pertanian Organik : ganjuran@indosat.net.id
6. SPTN HPS : ganjuran@indosat.net.id
7. FSPI, SPSU (national and N. Sumatran peasants union): putratan@indosat.net.id
8. Sintesa: sintesak@indosat.net.id
9. Bina Sarana Bhakti: bsb_agro@indosat.net.id
10. Kehati Foundation: kehati@indo.net.id
11. INSIST: insist@yogya.wasantara.net.id

Berbagai organisasi ini merupakan anggota dari Jaringan Kerja Pertanian Organik. Jaker PO
bukan anggota dari IFOAM, tetapi kedua organisasi ini bekerja sama dalam beberapa aktivitas.

Salah satu studi mengenai karakterisasi pertanian organik dilaksanakan pada tahun
1999/2000 di Jawa Barat dengan metodologi sebagai berikut:

 Dalam konteks penelitian ini, pertanian organik didefinisikan sebagai suatu sistem
pengelolaan produksi holistik yang mempromosikan dan mendorong terciptanya
keberlanjutan agroekosistem, termasuk di dalamnya keaneka-ragaman hayati/bio-
diversitas, siklus biologi dan aktivitas biologis. Sistem ini tidak menggunakan bahan-bahan
sintetis, tetapi mengupayakan optimalisasi pemanfaatan metode-metode agronomis,
biologis dan mekanis untuk memenuhi atau menjalankan setiap fungsi-fungsi spesifik di
dalam sistem. Dengan demikian, terminologi "organik" bukan merupakan product claim,
tetapi lebih bersifat process claim.
 Identifikasi kegiatan pertanian organik, khususnya untuk usahatani sayuran, dilakukan di
Jawa Barat pada bulan Oktober 1999 - Januari 2000. Penelusuran melalui lembaga
9

swadaya masyarakat menghasilkan informasi menyangkut keberadaan Jaringan Kerja


Pertanian Organik Indonesia (JAKER PO). Menimbang cakupan penelitian yang akan
dilaksanakan (terutama menyangkut usahatani sayuran), JAKER PO merekomendasikan
dua yayasan (Tidusaniy-Ciwidey dan Bina Sarana Bhakti-Cisarua) serta seorang organic
grower (Wieke Lorentz-Lembang) yang dianggap dapat memberikan gambaran umum
menyangkut perkembangan usahatani sayuran organik di Indonesia, khususnya di Jawa
Barat.
 Disamping observasi lapangan, wawancara intensif dilakukan dengan setiap responden
(manajer) mengacu pada panduan pertanyaan (guide question) yang sebagian besar
bersifat terbuka (open-ended question) dan kualitatif. Pada umumnya, pertanyaan yang
diajukan cenderung bersifat eksploratif berdasarkan sekuen penyiapan lahan, penanaman,
penyiangan, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen,
pembibitan dan pemasaran. Oleh karena cakupan penelitian yang cukup mendetil, setiap
responden rata-rata dikunjungi sebanyak tiga kali.
 Karakterisasi usahatani organik dilakukan dengan menggunakan parameter-parameter
yang merupakan modifikasi dan adaptasi dari klasifikasi usahatani konvensional vs.
organik yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian Cianjur (1999) serta strategi
pengelolaan budidaya organik yang dikembangkan oleh Organic Farming Research
Foundation (1997). Hal ini dilakukan karena sampai saat ini belum ada standar baku
maupun sertifikasi usahatani organik di Indonesia. Berdasarkan wawancara dan
pengamatan langsung di lapangan, skoring untuk setiap parameter ditentukan mengikuti
tiga-skala skor yang menggambarkan konsistensi usahatani bersangkutan dalam
melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik, yaitu: 1(√) cukup konsisten, 2 (√√)
konsisten, dan 3 (√√√) sangat konsisten.

Karakterisasi sistem berdasarkan prinsip-prinsip pertanian organik yang telah dilaksanakan

No Kegiatan Pertanian Organik Ciwidey Cisarua Lembang


1. Persiapan Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi sendiri dan √√ √√√ √
benih berasal dari tumbuhan alami
2. Pengolahan Olah tanah minimal untuk memacu perkembangan organisme √√√ √√√ √√√
tanah tanah dan menjaga aerasi tanah
3. Penanaman Multikultur √√√ √√√ √√√
Rotasi tanaman √√√ √√√ √√√
Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu √√√ √√√ √√√
Tanaman pendamping (Companion planting) √√√ √√√ √√
Penanaman tanaman habitat predator, tanaman pagar, penolak √√ √√√ √
hama, perangkap hama
Tanaman pupuk hijau material pestisida hayati dan obat-obatan √√√ √√√ √√
4. Pemupukan Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos, kandang) √√√ √√√ √√√
5. Pengendalian Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau √√√ √√√ √√√
hama penyakit memusnahkan tanaman terserang layu)
Melakukan pengaturan waktu tanam √√ √√√ √√
Memutuskan siklus hidup hama/ penyakit (pemberaan lahan, √√ √√√ √
rotasi tanaman dan tidak menggunakan mulsa tanaman sejenis)
Menyemprot dengan bio-pestisida √√ √√ √√
Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkugan di sekitar kebun √√ √√√ √
6. Panen dan Terprogram/terjadwal dan menggunakan kemasan daur ulang √√ √√√ √
pasca panen
Catatan: semakin banyak jumlah tanda √ , semakin tinggi konsisten usahatani bersangkutan melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik
10

Berkaitan dengan bobot ke”organik”an, beberapa hal yang dapat ditarik dari hasil karakterisasi
untuk ketiga sistem di atas adalah:
• Secara umum, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina Sarana Bhakti)
merupakan yang terbaik (dengan skala usaha terbesar) dan dapat digunakan sebagai
acuan atau model untuk pengusahaan sayuran secara organik
• Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) merupakan
kedua terbaik (terutama karena relatif masih baru dan berada pada tahap akhir perintisan).
Usahatani ini termasuk skala sedang dan memiliki kelebihan dibandingkan lainnya, karena
mampu memasok susu kambing Etawa dalam jumlah cukup besar.
• Pertanian Organik Wieke Lorentz (Lembang) merupakan ketiga terbaik, karena relatif masih
baru dan skalanya relatif kecil. Namun demikian, usahatani ini lebih memperlihatkan
karakteristik integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Sebagai
contoh, seluruh kebutuhan pupuk kandang sudah dapat dipenuhi dari ternak sendiri.
• Ditinjau dari skala pengusahaan, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yaya-san Bina
Sarana Bhakti) telah dapat dikategorikan ke dalam skala semi-industri. Pertanian Organik
Wieke Lorentz (Lembang) masih termasuk ke dalam skala rumah tangga (kombinasi antara
motivasi bisnis dan kegemaran). Sementara itu, Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy
(Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) terdapat di antara keduanya.

Pada saat bersamaan, studi ini juga didukung oleh penelitian awal persepsi konsumen
menyangkut sayuran organik. Studi ini melibatkan 25 orang konsumen sayuran organik dan 60
orang konsumen sayuran non-organik. Tabel di bawah ini mengindikasikan bahwa persepsi
konsumen terhadap sayuran organik sangat erat kaitannya dengan kesadaran akan kesehatan
yang bersumber dari keamanan pangan. Konsumen percaya bahwa sayuran organik tidak
mengandung zat kimia berbahaya dan memiliki kandungan vitamin lebih tinggi. Oleh karena
itu, sekitar 59 % dari konsumen sering mengkonsumsi sayuran organik dalam keadaan segar.
Sebagian besar konsumen setuju bahwa sayuran organik sukar diperoleh di pasar-pasar
eceran biasa maupun di super market dan harganya masih dianggap mahal. Informasi lain
yang dihimpun adalah persepsi konsumen menyangkut atribut kualitas sayuran organik
dibandingkan dengan sayuran non-organik. Secara spesifik responden mengindikasikan
bahwa penampakan sayuran organik tidak sebaik sayuran non-organik, ukurannya lebih kecil,
rasanya lebih enak, lebih renyah, lebih tahan simpan, namun tidak ada perbedaan signifikan
ditinjau dari atribut warna.

 Persepsi konsumen organik terhadap sayuran organik.


Pernyataan Pendapat konsumen ( % )
Setuju Tidak setuju
1. Sayuran organik adalah sayuran yang baik untuk kesehatan 100 0
2. Sayuran organik harganya mahal 72,72 27,28
3. Sayuran organik penampilannya mulus tanpa cacat. 20,92 79,08
4. Sayuran organik mengandung lebih banyak vitamin. 90,91 0,09
5. Sayuran organik mudah dibeli di tempat-tempat penjualan sayuran (pasar, super market). 18,13 81,87
6. Penampakkan sayuran organik mudah dibedakan dari sayuran biasa (non organik) 72,71 27,29
7. Sayuran organik rasanya lebih enak 95,44 4,56
8. Sayuran organik tidak mengandung zat kimia berbahaya. 100 0
9. Sayuran organik sering dikonsumsi dalam keadaan segar tanpa dimasak 59,08 40,92
10. Disamping mengkonsumsi sayuran organik, saya juga mengkonsumsi sayuran non organik. 86,34 13,66
11

 Persepsi konsumen terhadap atribut kualitas sayuran organik.


Atribut kualitas Ciri kualitas dibandingkan dengan sayuran non organik Persentase ( % )
Penampakkan a. Lebih mulus 22,72
b. Lebih jelek 40,92
c. Penampilannya sama /sulit dibedakan 36,36
Ukuran a. Lebih besar 22,72
b. Lebih kecil 77,27
c. Ukurannya sama /sulit dibedakan 0
Rasa a. Lebih enak 72,72
b. Kurang enak 0
c. Rasanya sama 27,28
Warna a. Lebih cerah 22,72
b. Lebih buram 13,63
c. Warnanya tidak dapat dibedakan 63,65
Kerenyahan a. Lebih renyah 63,63
b. Kurang renyah 0
c. Kerenyahannya sama/sulit dibedakan 36,37
Ketahanan simpan a. Lebih tahan lama 72,72
b. Kurang tahan lama 4,5
c. Ketahanannya sama 22,78

Studi ini juga memberikan gambaran bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
konsumen, semakin tinggi pula kesediaan konsumen membayar lebih mahal untuk sayuran
bebas pestisida. Konsumen organik tampaknya tidak terlalu peduli dengan masalah harga beli.
Hal ini tercermin dari pembelian sayuran organik yang berlangsung rutin, dengan harga lebih
mahal dibanding sayuran non-organik. Secara umum, konsumen organik bersedia membayar
premium lebih tinggi untuk sayuran organik, dibandingkan dengan konsumen non-organik. Hal
ini tampaknya disebabkan oleh pengetahuan serta kesadaran akan manfaat sayuran organik
dari konsumen organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen non-organik.
Konsumen tersebut adalah segmen konsumen yang memiliki latar belakang pendidikan
menengah sampai tinggi serta berpendapatan sedang sampai tinggi.

 Kesediaan konsumen untuk membayar sayuran organik secara lebih mahal.


Jenis sayuran Kesanggupan harga ( % dari harga sayuran biasa)
Konsumen organik Konsumen non organik
Wortel 40 – 60 20 – 40
Caisin 60 – 100 15 – 45
Petsai 50 – 75 10 – 35
Kangkung 80 – 150 20 – 57,5
Bayam 80 – 150 20 – 57,5
Kubis 50 – 100 15 – 35
Tomat - 15 – 35
Selada 50 – 100 15 – 25
Kacang panjang 25 – 50 -
Buncis 30 – 60 12,5 – 40
12

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi preliminari ini diantaranya adalah:
(a) permintaan terhadap sayuran organik masih terbatas pada konsumen dengan tingkat
pendidikan menengah sampai tinggi serta berpendapatan sedang sampai tinggi, (b) konsumen
yang telah memiliki pengetahuan tentang sayuran organik baru berkisar 54 %, terutama
konsumen yang berpendidikan menengah – tinggi, (c) konsumen non-organik masih sulit
untuk membedakan antara sayuran organik dan non-organik, sedangkan konsumen organik
dapat membedakan keduanya, baik melalui atribut kualitas bagian luar, maupun melalui atribut
organoleptik, (d) persepsi konsumen organik terhadap sayuran organik diantaranya sangat
berkaitan dengan faktor kesadaran kesehatan, dan (e) sayuran organik mempunyai peluang
untuk dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi, walaupun segmen konsumennya masih
sangat terbatas.
Secara umum, hasil observasi di ketiga usahatani di atas memberikan gambaran
sementara bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil
(diperkirakan masih < 1%). Sampai dengan tahun 1988, anggota Jaringan Kerja Pertanian
Organik tercatat sebanyak 31 lembaga swadaya masyarakat. Sementara itu, pada bulan
Pebruari 2000, bahkan telah terbentuk Masyarakat Pertanian Organik Indonesia yang
bersekretariat di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Hal ini secara tidak langsung
merupa-kan suatu refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran
sehat/bersih. Prospek pengembangan sayuran organik juga cenderung menjanjikan,
sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi
karena adanya keterbatasan pasokan.
Salah seorang pengelola memberikan gambaran bahwa masa pengem-balian
investasi untuk usahatani sayuran organik seluas 2-3 hektar, diperkirakan berkisar antara 6-7
tahun. Masa pengembalian tersebut dapat dipercepat menjadi 4-5 tahun, seandainya
usahatani sayuran diintegrasikan dengan usaha ternak kambing Etawa. Kegiatan karakterisasi
juga mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan dukungan penelitian, terutama
menyangkut (a) pengelolaan gulma, (b) perencanaan usahatani dan perancangan integrasi
ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan organik terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam
hubungannya dengan kultur praktis.
Strategi pembangunan pertanian yang menekankan pada kebijakan pengembangan
sistem agribisnis perlu didukung oleh kebijakan penyangga menyangkut sistem pertanian
berkelanjutan, agar masalah generasi kedua revolusi hijau yang sedang dihadapi tidak
semakin memburuk. Kebijakan penyangga tersebut harus lebih bersifat operasional, agar tidak
lagi hanya sekedar bersifat retorik atau jargon pembangunan. Sampai saat ini, kenyataan
menunjukkan bahwa perkembangan pertanian organik di Indonesia sebagian besar merupakan
inisiatif dari lembaga swadaya masyarakat. Jika strategi pembangunan di atas akan ditempuh,
maka pemerintah perlu berperan lebih aktif lagi, karena pertanian organik dan produk organik
merupakan bagian integral dari pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini, pemerintah dapat
berfungsi sebagai fasilitator melalui berbagai kebijakan spesifik (misalnya, standarisasi proses/
produk organik, pelabelan produk organik) yang dapat memberikan insentif bagi produsen
untuk mengadopsi sistem produksi organik dan insentif bagi konsumen untuk mengkonsumsi
produk bersih/sehat. Lebih jauh lagi, operasionalisasi kebijakan tersebut perlu dilaksanakan
secara hati-hati dan konsisten, agar tidak terjebak pada pola pikir pertanian konvensional yang
selalu menekankan pada aspek teknis dan skala makro. Operasionalisasi kebijakan harus
disertai dengan kesadaran bahwa pengembangan pertanian organik memiliki nilai-nilai dan
ukuran tersendiri, berdasarkan pada keselarasan alam. Beberapa nilai yang secara implisit
terkandung dalam pengembangan pertanian organik adalah: spesifik lokal, tingkat produksi
optimal, sistem produksi berkelanjutan, prinsip konservasi dan sesuai dengan budaya
masyarakat setempat.
13

DAFTAR PUSTAKA

Andreoli, M and V. Tellarini. 2000. Farm sustainability evaluation: Methodology and practice.
Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 43-52.
Benbrook, C. 1998. Organic farming: Facing choices at the crossroads. Paper presented at
"Sharing the Lessons of Organic Farming Conference", University of Guelph, Ontario,
Canada, January 31, 1998.
Bosshard, A. 2000. A methodology and terminology of sustainability assessment and its
perspectives for rural planning. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 29-41.
Clemetsen, M. and J. Laar. 2000. The contribution of organic agriculture to landscape quality
in the Sogn og Fjordane region of Western Norway. Agriculture, Ecosystem and
Environment, 77: 125-141.
Dunlap, R.E., C.E. Beus, R.E. Howell, and J. Waud. 1992. What is sustainable agriculture? An
empirical examination of faculty and farmer definitions. Journal of Sustainable
Agriculture. 3: 5-39.
Fairweather, J.R. 1999. Understanding how farmers choose between organic and conventional
production: Results from New Zealand and policy implications. Agriculture and Human
Values, 16: 51-63.
IFOAM. 1999. A short overview and facts on worldwide organic agriculture. Available at
http://ecoweb.dk/ifoam/orgagri/oaworld.html
Ikerd, J. 1997. Sustainable agriculture: A positive alternative to industrial agriculture. American
Journal of Alternative Agriculture. 3: 174-182.
Ikerd, J. 1999. Organic agriculture faces the specialization of production systems: Specialized
systems and the economical stakes. Paper presented at the international conference, "
Organic Agriculture Faces the Specialization of Production Systems", Lyon, France,
December 6-9, 1999.
Jansen, H. G., D. Poudel, D. J. Midmore, R. K. Raut, P. R. Pokhrel, P. Bhurtyal & R. K.
Shrestha. 1994. Sustainable peri-urban vegetable production and natural resources
management in Nepal: Results of a diagnostic survey. Working Paper no. 8. AVRDC,
Taiwan.
Kantor Menko Ekuin dan PSP LP-IPB. 2000. Kebijaksanaan pembangunan agribisnis nasional.
Makalah Diskusi Kebijakan Pembangunan Agribisnis Nasional, Bogor, 25 Januari 2000.
Kniper, J. 2000. A checklist approach to evaluate the contribution of organic agriculture to
landscape quality. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 143-156.
Ikerd, J.E. 1999. Environmental risks facing farmers. A paper presented at Tri-State Conference
for Risk Management Education, Pocono Manor, Pennsylvania, March 5-6, 1999. USA.
Kristensen, E.S. 2000. Principles of organic farming. Discussion document prepared for Danish
Research Center for Organic Farming Users Committee, November 2000. Denmark.
Lefroy, R.D.B., H. Bechstedt and M. Rais. 2000. Indicators for sustainable land management
based on farmer surveys in Vietnam, Indonesia, and Thailand. Agriculture, Ecosystem
and Environment, 81: 137-146.
Lohr, L. 1998. Implication of organic certification for market structure and trade. Paper presented
at the Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake City,
Utah, August 2-5, 1998.
Lynam, J. K. & R. W. Herdt. 1989. Sense and sustainability: Sustainability as an objective in
international agricultural research. Agricultural Economics, 3(4): 381-398.
14

Organic Farming Research Foundation, 1998. Frequently asked questions about organic
farming. Available at http://www.ofrf.org/about_organic/ index.html
Organic Farming Research Foundation. 1997. Final results of the third biennial national
organic farming farmers' survey. Available at http://www.ofrf.org/survey/1997.html
Pannell, D.J. and S. Schilizzi. 1999. Sustainable agriculture: A question of ecology, equity,
economic efficiency or expedience? Journal of Sustainable Agriculture. 13(4): 57-66.
Pannell, D.J. 1999. Uncertainty and adoption of sustainable farming systems. Paper presented at
the 43rd Annual Conference of the Australian Agricultural and Resorce Economics
Society, New Zealand, January 20-22, 1999.
PPPG Pertanian Cianjur. 1999. Apa itu pertanian organik? Indah Offset, Malang
Rahman, M.A. 2000. Benchmarking study of organic standard. Final Report. Horticultural
Management Group. Lincoln University, Canterburry
Ranaweera, N., J. M. Dixon and N. S. Jodha. 1993. Sustainability and agricultural
development: A farming systems perspective. Journal of the Asian Farming Systems
Asso., 2(1): 1-15.
Ritchie, M., H. Campbell and L. Sivak. 2000. Investigating the market for organic food: Dunedin,
New Zealand and the World. Paper presented to Organic 2020: New Zealand National
Conference on Organics, May 19-20, 2000. Auckland.
Sands, G. R. and T.H. Podmore. 2000. A generalized environmental sustainability index for
agricultural system. Agriculture, Ecosystem and Environment, 79: 29-41.
Steiner, K., K. Herweg and J. Dumanski. 2000. Practical and cost-effective indicators and
procedures for monitoting the impacts of rural development projects on land quality and
sustainable land management. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 147-154.
Thompson, G.D. 1998. Consumer demand for organic foods. Paper presented at the Annual
Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake City, Utah, August
2-5, 1998.
Viandes, M.H.R. 1999. History of organic farming. Meat Industry Documents, # 30 – February
1999. France.
Waibel, H. and S. Setboonsarng. 1993. Resource degradation due to chemical inputs in
vegetable-based farming systems in Thailand. Journal of the Asian Farming Systems
Association, 2(1): 107-120.

Anda mungkin juga menyukai