Anda di halaman 1dari 12

OTORITAS GURU VS KETAATAN SISWA

Monday, 01 March 2010 04:13 Suhantojo, S.Pd

OTORITAS GURU VS KETAATAN SISWA

(oleh : Suhantojo)

Kasus Konkret

                 Sebelum menjadi guru, saat berada di sebuah angkot, penulis melihat kejadian yang masih
selalu terkenang hingga kini. Padahal peristiwanya sudah berlangsung sepuluh tahun yang lalu. Waktu
itu, penulis berada di angkot yang penuh dengan penumpang. Ada balita dan ibunya, bapak-bapak dan
beberapa perempuan muda. Angkot berhenti, naiklah seorang anak berseragam putih merah dengan tas
di punggungnya. Ia duduk di samping seorang lelaki paruh baya yang sejak tadi merokok. Tak kusangka,
ia berkata demikian, ”Maaf, Pak rokoknya dimatikan saja ya. Ndak baik untuk kesehatan. Lagi pula ini
ada anak kecil .”

                 Penulis menunggu reaksi  lelaki itu. Ia tersenyum kecut, namun toh ia mematikan rokoknya
juga.  Lima menit kemudian anak itu turun. Penulis penasaran, ikut turun. Toh tidak jauh juga  dengan
tujuan. Sambil berjalan di sampingnya, penulis bercakap-cakap sebentar. Ia kelas lima. Ia berani
menegur lelaki itu karena merasa benar.

Membedah Kasus

            Peristiwa di atas menyiratkan bahwa anak sekolah tersebut memiliki setidaknya tiga hal yang
dianggap berharga yaitu kesehatan (kehidupan), empati kebutuhan orang lain (sosial), berani membela
kebenaran. Sikap anak tersebut terhadap lelaki yang merokok di angkot didasarkan  pada tiga hal
berharga itu. Tiga hal itu merupakan contoh nilai. Nilai adalah tatanan yang dijadikan panduan oleh
individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam  situasi sosial tertentu. Nilai
merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Suatu
nilai, jika telah diketahui, lalu dipahami, dirasakan kebaikannya dan dilakukan seseorang , berarti  nilai itu
telah menjadi karakter orang tersebut. Nilai menjadi karakter seseorang pada saat bertumbuh menjadi
identitas seseorang dalam bersikap dan bertindak. Menurut Ron Kurtus, karakter adalah satu set tingkah
laku dari seseorang sehingga dari perilakunya itu, orang akan mengenalnya ”ia seperti apa”. Karakter
seseorang dapat diamati pada perilakunya, khususnya ketika menanggapi sebuah persoalan yang
sedang dihadapi.   Beberapa karakter misalnya, munafik, materialistis, otoriter,  egois, dermawan,
religius, jujur, gemar kerja keras, disiplin.

Sebagai contoh, Hitler dikenal dengan kekerasannya atau Nelson Mandela dikenal sebagai pribadi
berwatak humanis.

            Pada kasus anak kelas lima di depan, dapat diperkirakan karakternya, yaitu berani membela
kebenaran jika ada peristiwa lain yang menunjukkan hal sama. Sebutlah membela temannya yang diduga
mencuri namun dipukuli secara keroyokan oleh beberapa anak lainnya. Ia berkarakter cinta kehidupan,
jika pada saat lain ada perselisihan tidak diselesaikan dengan kekerasan, misalnya. Ia berkarakter
empatik pada orang lain saat memberikan sepatunya pada kawan sekelasnya yang sepatunya sobek,
misalnya.
           

Penyebab Munculnya Karakter Negatif pada Anak-Murid

            Sebagai guru, orang tua dan anggota masyarakat, pastilah merasa senang jika anak-anak kita
berkarakter demikian. Persoalannya, tidak semua demikian. Banyak anak yang tertawa jika melihat
temannya celaka, mudah mempergunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, bermalas-
malasan, tidak disiplin, tampak alim di rumah tapi tiba-tiba ditangkap polisi karena kasus narkoba, kurang
tangguh menghadapi tekanan, tidak peduli pada sesama, tidak cinta tanah air, kurang ajar, angkuh,  
pendendam, dan lain sebagainya.

            Sangat wajar jika banyak dijumpai anak-murid dengan karakter negatif demikian. Faktor
penyebabnya antara lain, dunia sedang mengalami perubahan yang membingungkan tentang yang
benar-salah dan baik-buruk sehingga mereka mengalami krisis nilai. Lemahnya penegakan hukum,
menjadi sumber belajar bagi anak-murid untuk tidak taat pada aturan. Maraknya korupsi menjadi inspirasi
tepat untuk berbuat tidak jujur. Nilai kehidupan makin murah tampak pada fenomena bunuh diri, mutilasi,
terorisme,  kekerasan dalam berbagai bentuk. Nilai persaudaraan makin memudar bisa diamati dari
mudahnya terjadi bentrokan fisik antar kampung, antarkampus, antar  kelompok tertentu berdasar
sentimen etnis, agama, partai dan sebagainya. Nilai religius luntur pada saat manusia mengejar
kenikmatan duniawi dengan mengedepankan sikap konsumtif dan materialistis. Atau munculnya
kepribadian terbelah tanpa integritas, tampak rajin menjalankan ritual agama namun pada saat yang
sama melakukan korupsi dan sewenang-wenang terhadap rakyat kecil.  Nilai perjuangan untuk meraih
prestasi juga makin memudar dengan munculnya budaya instan. Orang menggampangkan prosedur
sehingga memunculkan berbagai penyelewengan, dan mudah menghalalkan segala cara untuk
memperoleh apa yang diinginkan. Orang lain diabaikan. Jika perlu dikorbankan. Masyarakat tradisional
menganggap alam dan seisinya begitu sakral sehingga masyarakat mendukungnya tidak berani
mengeksploitasi sehingga terjadi kerusakan alam seperti saat ini. Alam bukan lagi suci melainkan profan
sehingga boleh dieksploitasi sebesar-besar keinginan manusia. Alam menjanjikan materi yang
berkelimpahan untuk dinikmati. Sejalan dengan nilai materialis yang dipuja, alam diekploitasi sehingga
rusak.   

            Penyebab kedua, menurut penulis adalah tidak sejalannya nilai yang diajarkan di sekolah dengan
keadaan di rumah. Di sekolah, siswa dididik untuk mandiri. Sebaliknya di rumah, mereka mendapatkan
kebiasaan yang bertentangan. Makanan disiapkan orang tua, bahkan disuapi, mencuci pakaian
dikerjakan pembantu, kesulitan dalam belajar diselesaikan oleh guru les dll. Di sekolah, ditekankan kerja
keras dan menghindari kegagalan. Tetapi kadang pola pengasuhan di rumah, anak mendapatkan
berbagai fasilitas hedonis dan konsumeris yang didapatkan dengan mudah tanpa mengeluarkan kerikat
berkat status sosialnya. Sangat sulit mengajarkan hidup bersahaja bagi anak-murid di sekolah sementara
di rumah, ulang tahun dirayakan dalam kemewahan pesta misalnya. Hak orang tua untuk memanjakan
anak, tetapi secara pedagogis sangat menyesatkan. Anak perlu dipersiapkan untuk realistis, bahwa untuk
mendapatkan kesuksesan butuh perjuangan.

            Hal ketiga yang menjadi penyebab banyaknya karakter buruk pada anak-murid kita adalah
penanaman nilai di sekolah sendiri. Dalam sejarah pendidikan yang sangat panjang, terdapat kontras
tekanan pendidikan di masa lalu dan sekarang. Pada masa lalu pendidikan banyak diarahkan kepada
pembangunan karakter, sekarang pada ketrampilan dan keahlian. Banyak ahli mencatat bahwa
pendidikan selama ini hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berfikir tetapi meminggirkan
kecerdasan rasa, budi dan batin. Memang taksonomi Bloom yang selalu ditanamkan pada diri tiap guru,
bahwa dalam melakukan pembelajaran seharusnya mengoptimalkan kemampuan berfikir (kognitif),
kemampuan merasa (afektif) dan kemampuan ketrampilan untuk melakukan (psikomotor), akan tetapi
karena penilaian pada hasil belajar siswa seringkali diukur pada hasilnya tanpa melihat proses, maka
yang diukur cenderung pada kemampuan kognitif saja. Maka penekanan hasil belajar menjadi timpang.
Banyak anak pintar akademisnya, tetapi memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
diharapkan masyarakat. Atau karena tertekan atas tuntutan kemampuan akademiknya sementara tidak
mampu mengelola ketertekanan itu, muncullah gejala bunuh diri, stress, kesurupan, penganiayaan pada
guru, jual beli nilai rapor dan lain-lain. Beberapa mata pelajaran yang sebenarnya titik beratnya adalah
penanaman nilai juga setali tiga uang. Masih banyak catatan, komentar atau pandangan, IPS dan PKn
pelajaran yang membosankan. Sulit dipungkiri, pelajaran tersebut identik dengan banyaknya catatan,
fotocopy-an, hafalan-hafalan dan ceramah guru. Akibatnya nilai-nilai yang bisa diinternalisasikan pada
anak hanya mampir di kepala anak saja, tidak meleleh pada keyakinan hingga kepada perilaku
senyatanya. Nilai ulangan bagus, tetapi berbanding terbalik dengan perilakunya. Persoalannya,
bagaimana guru melakukan kreasi pembelajaran.  Masih soal pelajaran, penilaian akan sportivitas
tampaknya diabaikan juga pada pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, yang nota bene banyak
dipelajari tentang olah raga (baca: sport), sementara ketrampilan teknis sangat ditekankan. Mudah
dipahami bila banyak pelaku di dunia olah raga tampak tidak sportif dan menjunjung tinggi fair play saat
bertanding.

Pendidikan Karakter Mendapat Perhatian

            Sekarang pendidikan karakter mulai mendapatkan perhatian lembaga-lembaga pendidikan. Jika
di tengah masyarakat umum nilai kejujuran, kemanusiaan, solidaritas dan keutamaan hidup lainnya mulai
luntur, maka sekolah menjadi wahana belajar akan sistem nilai bagi semua anggota komunitas di
dalamnya. Lembaga sekolah terbukti sejak lama berperan memberikan sumbangan pembangunan
peradaban manusia dengan kehidupam sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sekolah menjadi lembaga
pembudayaan karakter. Maka sekolah-sekolah yang sekian lama mengabaikan pendidikan karakter,
kembali menyadari kepentingannya. Selain itu muncul pula  kesadaran bahwa karakter baik, sedikitnya
dalam hal kemampuan verbal, interpersonal dan antar personal  akan membuat seseorang berhasil
hidupnya. Pendidikan karakter mampu meningkatkan motivasi berprestasi anak-murid. Penelitian juga
menunjukkan bahwa karakter percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan
berkonsentrasi, rasa empati dan kemampuan berkomunikasi berpengaruh 80% pada keberhasilan
seseorang di masyarakat atau lebih besar di banding dengan kecerdasan otak yang hanya menyumbang
20% untuk keberhasilan seseorang. Mengutip perkataan Mahatma Gandhi, salah satu tujuh dosa fatal
adalah pendidikan tanpa karakter. Theodore Roosevelt berkata bahwa mendidik seseorang pada aspek
otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya pada masyarakat.

Bagaimana karakter seseorang terbentuk

            Karakter seseorang terbentuk melalui internalisasi nilai. Maksudnya, suatu nilai pada mulanya
tentu bukan bagian dari seseorang, namun akhirnya menjadi bagian yang melekat pada seseorrang.
Beberapa ahli mengatakan internalisasi sebagai pempribadian nilai. Ada tahap-tahapan yang dilalui agar
sebuah nilai menjadi ciri yang melekat (baca: menjadi kkarakter) seseorang.  Tahapan itu dikemukakan
oleh Thomas Lickona, yang mengatakan bahwa pembentukan watak atau karakter dilakukan melalui tiga
kerangka pikir yaitu : konsep moral (knowing), sikap moral (feeling), dan perilaku moral
(behaviour/acting). Misal, untuk menanamkan nilai demokrasi, anak-murid perlu mendapatkan
pemahaman materi tentang demokrasi, manfaatnya, cara menjalankan kehidupan berdemokrasi, alasan
demokrasi, introspeksi diri apakah dengan pengetahuannya itu ia sudah demokratis. Selanjutnya,  pada
kerangka sikap moral, pada anak-murid bisa dilakukan pembelajaran yang mampu mengungkap kata
hatinya- misalnya tentang hidup bebas-, percaya diri-misalnya bebas mengungkapkan pendapat-,
pembelajaran yang melatih rasa empati-misalnya pada orang yang tertekan, pembelajaran tentang cinta,
misalnya cinta pada musyawarah, pembelajaran tentang kerendahan hati dan pengendalian diri terhadap
kebebasan. Agar nilai-nilai demokratis bisa benar-benar dilakukan dengan kesadaran bahwa demokrasi
memang berharga bagi diri seseorang, maka perlu adanya pembiasaan.  Kebiasaan menyampaikan
pendapat, menghargai pendapat, menjalankan keputusan bersama, menerima perbedaan orang lain
sangat dibutuhkan untuk membentuk karakter demokratis. Di sini dibutuhkan kemauan dan kemampuan. 

            Sebenarnya, hal itu sejalan dengan kerangka untuk mengerjakan tugas mendidik yang dicetuskan
oleh Bloom. Pendidikan berhasil jika memperhatikan ketiga area kerja mendidik tersebut yaitu domain
kognitif, afektif dan psikomotor. Jadi sebenarnya dalam pembelajaran nilai untuk membentuk karakter
anak dapat dilakukan dengan memperhatikan lagi hal tersebut. Mengingat kemajuan jaman, perlu
dipikirkan pembelajaran yang kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan. Perhatian lain juga ditujukan
pada kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh anak-murid pada saat menyusun rencana pembelajaran.

      Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian ketika hendak menanamkan nilai pada anak-murid
adalah tugas perkembangan moral anak-murid. Meminjam teorinya  Kohlberg, anak-murid bersikap dan
berperilaku sesuai dengan perkembangan kesadaran moralnya. Pada tingkat Prakonvensional (di bawah
10 tahun), anak-murid  bersikap dan berperilaku dengan memperhatikan hukuman dan ganjaran atau
motif lahiriah serta hubungan timbal-balik.  Pada tingkat Konvensional (10- 13 tahun), anak-murid
bersikap dan berperilaku berdasarkan tekanan norma umum atau otoritas yang berada di atas anak-
murid. Anak-murid pada tahap ini mendasarkan perilakunya pada harapan guru, keluarga, kelompoknya
atau masyarakat. Sedangkan tahap Pascakonvensional, anak-murid bersikap dan berperilaku
berdasarkan norma yang tumbuh dari kebebasan-kemandiriannya sebagai manusia dengan
menggunakan hati nuraninya. Anak-anak TK dan SD kelas kecil, mendapatkan pembelajaran nilai
dengan penekanan pada hukuman -ganjaran edukatif dan  otoritas guru yang lebih besar. Keteladanan
bersifat mutlak baik dari guru maupun lingkungan di rumah, karena anak pada usia ini peniru yang ulung.
Kalimat nasihat yang disampaikan oleh guru akan menjadi bumerang jika guru kurang memiliki integritas.
Untuk anak-murid pada tingkat konvensional perlu mendapatkan pembelajaran nilai dengan membangun
aturan dan sistem pendukung baik di kelas, sekolah dan rumah. Otoritas guru bisa lebih berkurang,
karena anak mulai berdiskusi tentang kekurangan yang bersifat manusiawi, termasuk dari guru. Teladan
dari orang di sekitarnya tetap dibutuhkan sebagi peneguh terhadap nilai yang hendak dihayatinya. Pada
tahap prakonvensional, desain pembelajaran nilai disusun dengan penekanan diskusi dilemma moral dan
kehidupan nyata, antara guru- siswa dan siswa- siswa . Tujuannya agar siswa mampu merumuskan
filosofi moralnya secara dewasa. Diskusi dilemma moralitas dilanjutkan dalam praktek senyatanya dalam
sistem moral di sekolah. Dikerjakan bersama komunitas sekolah. Jadi pembelajaran tidak semata di
depan kelas lalu usai. Implikasinya relasi guru siswa yang terbangun seharusnya demokratis penuh
kekeluargaan, tidak lagi guru menanamkan seperangkat nilai yang sudah jadi, tidak juga menuntut
otoritas  kaku guru dan  ketaatan mutlak dari siswa. Keteladanan dan integritas guru tetap diperlukan.
Fungsinya, guru menjadi kawan pembangun nilai yang sama. 

Otoritas Guru dan Posisi Ketaatan Siswa           

Kembali kepada anak SD di muka, bisa dipastikan bahwa ia mendapatkan pelajaran tentang
kesehatan, tentang keberanian membela kebenaran dan berempati pada kebutuhan orang lain, baik di
sekolah maupun di rumah. Tentu ia juga diteguhkan dengan sikap dan perilaku guru, saudara dan orang
tuanya, teman dan masyarakat di lingkungannya, yang ia lihat dan alami dari waktu ke waktu. Tetapi
dalam perkembangannya kita tidak tahu, apakah ia akan memiliki karakter seperti itu. Jaman berubah.
Tata nilai berubah sedemikian cepatnya. Sebuah nilai berharga pada masa tertentu, tetapi tidak berharga
tempat di masa berikutnya. Gotong royong sangat bernilai di masa lalu. Mungkin di beberapa tempat
masih bernilai, tetapi di kebanyakan tempat sudah tidak berlaku. Tata nilai juga bersifat heterogen. Ketika
guru mengajarkan nilai cinta tanah air, murid serta merta tidak memiliki nilai yang sepaham. Dalam
tataran pengetahuan, siswa mengerti dasar  bersikap cinta tanah air. Tetapi dalam praktik senyatanya
murid kurang bangga dengan produk dalam negeri. Semua yang berbau kebarat-baratan lebih disukai
karena dianggap memiliki nilai yang lebih unggul.  Ketika tolong menolong hendak ditanamkan pada diri
siswa, nilai ini sulit mendapatkan pengakuan sebagai yang bernilai bagi siswa karena  dalam pengalaman
hidupnya tidak pernah ada sikap itu. Ia biasa dilayani sebagai majikan, ia terbiasa main perintah, ia biasa
membayar untuk mendapat sesuatu. Budaya Jawa yang dianggap penuh keluhuran budi, dicoba
diajarkan pada siswa melalui salah satu bentuknya, yaitu bahasa. Namun hal ini juga sulit dicapai karena
bahasa tersebut dianggap tidak bernilai, tidak ada manfaatnya, toh masyarakat pendukung budaya ini
banyak yang meninggalkannya. Bahasa Jawa hanya merupakan contoh kecil dari banyaknya tradisi yang
mulai ditinggalkan, untuk menuju alam modern.

Memperhatikan persoalan perubahan nilai dan perbedaan nilai yang dimiliki guru dan siswa,
implikasinya  dalam pembelajaran adalah otoritas guru tergugat. Otoritas di sini bisa berarti kekuatan.
Kekuatan mengandung pengertian kekuasaan, yaitu di mana guru menjadi satu-satunya matahari di
kelas. Guru dengan kekuasaannya berhak memaksa para murid taat dan mengikuti idenya. Guru memiliki
kekuasaan karena statusnya. Tetapi jika guru serta merta memaksakan sebuah nilai, hasilnya justru akan
kontra produktif dalam rangka penanaman nilai. Nilai yang diyakini guru bisa saja mendapatkan
tantangan. Untuk ini, penulis mengajukan usulan  yaitu  guru harus terbuka terhadap nilai-nilai yang baru.
Harus terjadi dialog nilai antar guru dan siswa. Pembelajaran ala Kohlberg tahap pascakonvensional
yang memungkinkan dialog guru siswa sangat tepat dilakukan. Usulan berikutnya adalah guru harus bisa
mengambil posisi, bukan mengajarkan nilai yang sudah jadi, tetapi menjadi kawan agar siswa bisa
mendapatkan nilai tertentu berdasarkan kemerdekaan pribadi siswa tersebut. Seiring kematangan siswa
menginternalisasikan nilai, semakin berkurang kekuatan memaksa dari  guru dalam menanamkan nilai.
Dengan demikian ketaatan siswa terhadap guru ketika hendak menanamkan nilaipun semakin longgar.
Ketaatan yang dimunculkan, bukan kepada guru, melainkan pada nilai yang dipegang teguh oleh siswa
sebagai dasar berperilaku. Tanpa ada guru, ia tetap berperilaku seperti itu. Bukan karena takut mendapat
hukuman dari guru, atau merasa dianggap tidak normal oleh komunitas sosialnya. Bukankah guru dan
orang tua tidak bisa mengontrol anak-murid sepanjang waktu? Biarkanlah tata nilai keutamaan yang
didasari kehendak bebasnya menjadi pengontrol perilakunya, disertai dengan rasa tanggung jawab yang
besar.

Yang perlu mendapatkan porsi lebih sebenarnya adalah otoritas dalam arti kewibawaan guru.
Kewibawaan guru pada awalnya sudah diberikan oleh  masyarakat semenjak seseorang menjadi guru.
Siswa menghormati gurunya semenjak ia bertemu kali yang pertama. Tetapi kewibawaan itu sangat
mungkin mengalami pengurangan, ketika harapan bahwa guru menjadi model, sumber belajar, sahabat,
profesional, dll oleh siswa tidak terpenuhi. Murid akan melakukan pengabaian terhadap gurunya. Maka
sebaiknya dari pihak guru, perlu dimunculkan kewibawaan guru yang muncul karena relasi yang
terbentuk dengan siswanya. Guru memang perlu piawai dalam mengajar, tetapi juga punya integritas.
Dalam rangka pendidikan karakter, hal dasar adalah guru bisa diteladani. Nilai diajarkan, harus. Tetapi
bahwa nilai bisa dipraktekkan, harus dapat ditunjukkan oleh sang guru. Tentu melalui keteladanan.
Dalam arti inilah guru benar-benar digugu dan ditiru. Anak mana yang gurunya piawai mengajar, punya
integritas, memperlakukan muridnya dengan rasa cinta dan hormat, disiplin menegakkan aturan yang
dibangun atas nama kebersamaan, menciptakan lingkungan kelas demokratis,  tidak terpikat mengikuti
pelajaran yang diampu dan juga nilai yang diajarkannya?

Contoh Konkret,

Perbedaan Nilai yang Diselesaikan dengan Dialektika Guru-Murid

Seorang anak, sebut saja Andre, membantah gurunya. Sang guru mengomentari laporan Andre
bahwa ada anak celananya belepotan cat  karena teledor pada pelajaran melukis. Kawan Andre ini sering
melakukan kesalahan, lupa membawa alat musik, lupa menaruh buku, menyenggol gelas minum guru
hingga jatuh dan pecah, menghilangkan pensil yang ia pinjam dari teman. Kali ini  tidak sengaja
menduduki sekaleng cat yang memang diletakkan sembarangan. Sang guru berkata,”Biarkan saja. Itu
akibat yang harus ditanggung bila seseorang tidak teratur.”

”Ndak boleh gitu to, Pak. Kasihan. Nanti dia dimarahi ibunya. Celananya cuma satu itu. ”
Sang guru sebenarnya ingin menggunakan momen yang tepat itu untuk menunjukkan bahwa
pada saat bekerja harus teratur. Bila tidak, resiko celaka bisa menimpa.  Sang guru menyarankan agar
anak yang celaka itu dibiarkan untuk merasakan akibat tidak teratur dalam bekerja. Sedangkan Andre,
tidak melihat sisi itu. Ia melihat sisi tidak tega kawannya akan mendapat hukuman. Hal ini memberikan
indikasi pula bahwa sikap dan perilaku teratur Andre dikendalikan oleh otoritas di atasnya, ibu misalnya. 
Persoalan muncul, jika guru tidak mampu menguraikan penjelasan yang bisa diterima Andre, sangat
mungkin wibawa sang guru di mata Andre menjadi buruk. Guru dianggap tidak kasihan, tidak peduli pada
penderitaan orang lain. Sangat mungkin, dalam menerima pelajaran dari guru tersebut, Andre terganggu
karena persoalan persepsi ini. Apalagi jika guru menyalahkan pendapat Andre, dimana terjadi
penggunaan kekuasaan untuk memaksakan nilai. Bahkan, Andre akan berubah sikap menjadi apatis
pada teman yang membutuhkan pertolongan, karena sang guru punya sikap demikian. Maka guru perlu
mengambil sikap yang tepat.

Sesuai tugas perkembangan moral, Andre berada pada tahap konvensional. Guru perlu
memahami hal ini terlebih dahulu. Terjadi perbedaan nilai antara guru dengan siswa. Tetapi, guru ingin
mengajarkan etos kerja yang teratur. Ia bisa mengadakan pembelajaran  tentang etos kerja ini dengan
menunjukkan bahwa ketika seseorang bekerja ada aturan-aturan yang harus ditaati yang mengandung
resiko kecelakaan, misalnya jika ada pelanggaran terhadap aturan itu. Pembelajaran dilanjutkan dengan
diskusi  akibat ketidak teraturan kerja akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Pembelajaran yang
memberikan pemahaman, dilanjutkan dengan menunjukkan berbagai peristiwa yang terjadi karena
kelalaian dalam bekerja secara menyentuh perasaan, misalnya kecelakaan alat transportasi, kebakaran,
dan lain sebagainya, dan pada akhirnya dilakukan pembiasaan pada saat kegiatan di sekolah, pada saat
terjadi interaksi guru-murid, murid dan murid akan memunculkan keniscayaan tumbuhnya karakter kerja
teratur dari dalam diri siswa. Kegiatan pembiasaan dilakukan dengan penggunaan alat belajar yang tepat,
misalnya untuk praktikum IPA, mengerjakan PR diharapkan bukan karena supaya tidak mendapatkan
sanksi melainkan kesadaran akan manfaatnya, disiplin waktu, dan lain sebagainya.  Hanya saja
pembelajaran  demikian terjadi jika di dalam kelas terjadi relasi harga menghargai, guru bisa menjadi
teman yang berempati pada kebutuhan siswanya, punya kemampuan mendengar dan menjadi fasilitator,
dalam arti mampu menyediakan wahana untuk siswa bisa belajar. Dalam konteks kasus ini bahkan perlu
ditambahkan guru seharusnya tahu banyak dan dalam keadaan psikis, sosial ekonomi dan lain-lain
siswanya. Jika pembelajaran ini dilakukan, perilaku siswa teratur dalam bekerja sudah berada dalam
bingkai rasa tanggung jawab kepada pekerjaan itu sendiri.  Ia telah naik pada tahap pasca konvensional.

 Akhirnya otoritas guru dalam arti kekuasaan untuk memaksa berkurang saat murid secara
mandiri memutuskan sesuatu dengan pertimbangan nilai yang diyakini disertai tanggung jawab. 
Ketaatan siswa seharusnya muncul dalam bingkai bukan pada guru, tetapi kepada sistem nilai yang
disepakati komunitas di mana ia berada. Tuntutan ketaatan pada sistem nilai tidak ditujukkan pada siswa
semata tapi juga pada guru, bahkan karyawan sekalipun sebagai anggota komunitas di sekolah,
misalnya. Tuntutan terlaksana tampak pada perilaku kerja yang rapi, dengan penuh semangat,  efektif
dan efisien baik guru dan warga lain di sekolah.  Harapannya, nilai tersebut memiliki basis pendukung.
Dengan demikian siswa diteguhkan untuk meyakini nilai-nilai tersebut. Dengan sendirinya wibawa guru,
wibawa sekolah dijunjung tinggi bukan berdasar pada harapan tetapi pada relasi yang sudah dijalin.   

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, 1991, Kanisius, Yogyakarta.

BS Sidjabat, Menjadi Guru Profesional Sebuah Perspektif Kristiani,1993, Kalam Hidup, Bandung
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Grasindo,
Jakarta

Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, 2009, Grasindo, Jakarta.

Fuad Hassan, Heteronomia, 1993, Rosdakarya, Bandung

J. Darminta, SJ, Praksis Pendidikan Nilai, 2006, Kanisius, Yogyakarta

J. Drost, Dari KBK Sampai MBS,  2004, Kompas, Jakarta.

K. Bertens, Etika, 1994, Gramedia, Jakarta

Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, 2007, Wacana Prima, Bandung

Paul Suparno, SJ,dkk. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, 2002, Kanisius, Yogyakarta.

Yves Brunsvick, Lahirnya sebuah Peradaban, 2005, Kanisius, Yogyakarta.

Basis, ed. Juli Agustus 2004

Basis , ed. Juli Agustus 2005

Basis, ed. Juli Agustus 2006

Basis, ed. Juli Agustus 2009


MAKALAH ILMU PENDIDIKAN TENTANG ANALISA
FILSAFAT DAN MASALAH KEPENDIDIKAN B
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam,
dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua
potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya
dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah
Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si
pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan
manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik,
cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah
bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990.
Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga
diperuntukkan guna pembinaan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Pendidikan
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk
mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada
generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama
dengan sebaik-baiknya.
Filsafat dalam pendidikan (filsafat pendidikan) digunakan untuk memecahkan problem hidup
dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dan digunakan untuk memecahkan
problematika pendidikan masa kini.
Beberapa masalah pendidikan yang memerlukan filsafat, yaitu :
1. Masalah pertama dan yang mendasar ialah tentang hakikat pendidikan.
Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia. Adalah merupakan hakikat hidup dan
kehidupan.
Apakah hakikat manusia itu dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan
kehidupan manusia?
2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia?
Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia?
Apakah ada faktor yang dari luar dan lingkungan, tetapi tidak berkembang dengan baik?
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu?
Apakah pendidikan itu untuk individu atau untuk kepentingan masyarakat?
Apakah pembinaan itu untuk dan demi kehidupan riil dan material di dunia ataukah untuk
kehidupan di akhirat kelak?
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab atas pendidikan?
Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap
pendidikan?
5. Apakah hakikat kepribadian manusia itu?
Manakah yang lebih untuk dididik; akal, perasaan, atau kemauannya, pendidikan jasmani atau
mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya atau kesemuanya itu?
6. Apakah hakikat masyarakat dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah
individu itu independen, ataukah dependen dalam masyarakat?
7. Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal?
Apakah kurikulum itu mengutamakan pembinaan kepribadian?
8. Bagaimana metoda pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal?
Bagaimana kepemimpinannya dan pengaturan aspek-aspek sosial paedagogis lainnya?
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, desentralisasi,
ataukah otonomi, apakah oleh Negara, ataukah swasta?
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dijawab dengan analisa filsafat sebagai berikut :
1. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan
kehidupan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai
kelebihan, di antaranya kemampuan berfikir, kemampuan berperasaan, kemampuan mencari
kebenaran, dan kemampuan lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut tidak akan berkembang
apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan. Allah SWT dengan jelas memerintahkan kita
untuk “IQRO” dalam surat Al-Alaq yang merupakan kalamullah pertama pada Rosulullah SAW.
Iqro di sini tidak bisa diartikan secara sempit sebagai “bacalah”, tetapi dalam arti luas agar
manusia menggunakan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah Allah SWT
berikan sebagai khalifah fil ardl. Sehingga pendidikan merupakan sarana untuk melaksanakan
dan perwujudan tugas manusia sebagai utusan Allah di bumi ini.
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam,
dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua
potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya
dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang
Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
2. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka
terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat
hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan
sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa
dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari dalam (kemampuan-
kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor dasar” dan
kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor
ajar”.
Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari luar saling
memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Si pribadi terpengaruh
lingkungan, dan lingkungan pun diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam)
berkembang dan hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di
lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang dengan baik, misalnya
ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif yang timbul dari luar dirinya.
3. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam,
dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua
potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya
dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang
Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Secara sederhana Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara
sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.Tujuan Pendidikan Nasional adalah menghasilkan manusia
yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No 2 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan GBHN 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil,
berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan
rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan
sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa
depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUSPN dan PP No
29 Tahun 1990. selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan
juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat. Berikut adalah penjelasannya :
a. Pengembangan kehidupan sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk: 1)
memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan, 2) membiasakan untuk berprilaku yang baik, 3)
memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, 4) memelihara kesehatan jasmani dan rohani,
5) memberikan kemampuan untuk belajar, dan membentuk kepribadian yang mantap dan
mandiri.
b. Pengembangan kehidupan sebagai anggota masyarakat :1) memperkuat kesadaran hidup
beragama dalam masyarakat, 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, 3)
memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam
kehidupan bermasyarakat.
c. Pengembangan kehidupan sebagai warga Negara mencakup upaya untuk : 1) mengembangkan
perhatian dan pengetahuan hak dan kewajiban sebagai warga Negara RI, 2) menanamkan rasa
ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan Negara, 3) memberikan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
d. Pengembangan kehidupan sebagai umat manusia mencakup upaya untuk : 1) meningkatkan
harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, 2) meningkatkan kesadaran tentang
HAM, 3) memberikan pengertian tentang ketertiban dunia, 4) meningkatkan kesadaran tentang
pentingnya persahabatan antar bangsa, 5) mempersiapkan peserta didik untuk menguasai isi
kurikulum.
Pembinaan tersebut pada dasarnya dipersiapkan untuk kehidupan riil dan material di dunia serta
kehidupan di akhirat kelak.
4. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat,
dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan,
masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal
dalam pendidikan.
Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Keluarga yang
menghadirkan anak ke dunia, secara kodrat bertugas mendidik anak. Kebiasaan-kebiasaan yang
ada di keluarga akan sangat membekas dalam diri individu setelah individu makin tumbuh
berkembang. Selanjutnya pengaruh dari sekolah dan masyarakat yang akan tertanam dalam diri
anak.
5. Kata kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona
(bahasa Latin yang berarti kedok/ topeng) yang maksudnya menggambarkan perilaku, watak/
pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh
seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik ataupun yang kurang baik.
Kepribadian adalah suatu totalitas psikophisis yang kompleks dari individu sehingga nampak di
dalam tingkah lakunya yang unik. Hal-hal yang ada pada diri individu atau pribadi manusia pada
dasarnya harus mendapatkan pendidikan, yakni akal, perasaan, kemauan, pendidikan jasmani
atau mental, kemampuan atau keterampilan, serta intelektualnya. Semua hal tersebut dididik
guna mencapai kepribadian yang baik.
6. Masyarakat merupakan tempat kedua bagi individu dalam berinteraksi. Karena keluarga
terdapat dan berkumpul dalam suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak keadaan masyarakat
cukup memberi pengaruh kepada kepribadian seseorang. Kedudukan individu dalam masyarakat
merupakan kondisi atau situasi yang tidak dapat dihindari karena individu juga merupakan
makhluk social yang pasti membutuhkan manusia lain dalam hidupnya. Artinya, individu itu
dependen dalam masyarakat.
7. Kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal adalah kurikulum yang sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan jaman. Kurikulum menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan
pertumbuhan yang normal. Pembinaan kepribadian merupakan kajian utama kurikulum. Materi
program berupa kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan self-esteem, motivasi berprestasi,
kemampuan pemecahan masalah perumusan tujuan, perencanaan, efektifitas, hubungan antar
pribadi, keterampilan berkomunikasi, keefektifan lintas budaya, dan perilaku yang bertanggung
jawab.
8. Metode pendidikan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan yang ideal.
Metode yang tepat jika mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sejalan dengan mata
pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang
terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Guru sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab
untuk memilih, menggunakan dan memberikan metode yang efektif dalam mencapai tujuan
pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Kepemimpinan dan pengaturan aspek-aspek
paedagogis harus dilakukan para pelaku pendidikan guna memperlancar proses tercapainya
tujuan pendidikan yang ideal.
9. Pengertian-pengertian :
a. Sentralisasi, yaitu wewenang mengenai segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan diatur
oleh pemerintah pusat.
b. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan dan pemerintah kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Otonomi Daerah, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengamatan penyusun, asas penyelenggaraan pendidikan yang baik yaitu dengan
otonomi, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan terselenggaranya proses pendidikan
diatur dan dilaksanakan oleh daerah otonom berdasarkan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat, sehingga kelak para pelaku pendidikan mampu
mengembangkan segala kompetensi di daerah tempat mereka hidup.

BAB III
PENUTUP

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam,
dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua
potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya
dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang
Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan
kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka
terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat
hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan
sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan
sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan,
masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal
dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.

Anda mungkin juga menyukai