Sejarah Dan Masalah Di Sentra Tanaman Hias Cihideung

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 3

Sejarah dan Masalah di Sentra Tanaman Hias Cihideung

ACEP MUSLIM

[April 2010]

Bagi para peminat dan pebisnis tanaman hias di Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya,
Cihideung tentu bukan nama asing. Daerah yang terletak di utara Kota Bandung ini merupakan
satu di antara sedikit daerah sentra bunga dan tanaman hias yang ada di Indonesia. Bukan hanya
menarik sebagai tempat belanja aneka bunga dan tanaman hias, Cihideung juga cocok dijadikan
tempat berwisata. Udaranya yang bersih dan sejuk serta panoramanya yang indah bisa
mentralisir kepenatan pikiran. Para pembeli atau wisatawan yang datang ke Cihideung berasal
dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan sesekali ada juga yang berasal dari luar negri. Mereka
membeli bunga dan tanaman hias di sana dalam partai besar atau eceran.

Untuk memperluas jangkauan pasar dan mempermudah dalam proses transaksi jarak jauh, kini di
Cihideung terdapat portal online www.cihideung.com. Situs yang dibuat oleh Balai Informasi
Masyarakat (BIM) Cihideung ini memuat aneka informasi tentang beragam bunga, tanaman hias,
jasa dekorasi, berikut harganya. BIM merupakan telecenter yang didirikan oleh Masyarakat
Telematika Indonesia (MASTEL) yang bekerjasama dengan Kelompok Tani Giri Mekar
(KTGM) Desa Cihideung, beberapa institusi swasta, serta pemerintah.

Awal Mula
Secara administratif, Desa Cihideung merupakan bagian dari Kecamatan Parongpong Kabupatan
Bandung Barat (sebelumnya Kabupaten Bandung). Menurut Ganda Suganda, salah seorang
tokoh senior pertanian tanaman hias di Cihideung, berdasarkan cerita yang Ia dapat secara turun
temurun, tanaman hias mulai masuk di kawasan Cihideung sejak masa kolonial Belanda,
tepatnya pada tahun 1920-an. Wilayah Cihideung waktu itu merupakan area perkebunan yang
dikelola oleh beberapa orang Belanda. Sampai saat ini pun perkebunan tersebut masih ada, tapi
tidak seluas dulu. Orang-orang Belanda yang mengelola perkebunan tadi tinggal di sekitar
perkebunan. Dan orang-orang Belanda inilah yang mulanya membawa tanaman hias ke
Cihideung untuk memperindah tempat tinggalnya. Mereka menanam tanaman hias di pekarangan
atau menaruhnya di teras rumah.

Tanaman hias di rumah orang-orang Belanda di Cihideung pada umumnya dirawat oleh warga
setempat. Sambil merawat tanaman hias kepunyaan orang Belanda, warga-warga ini mencoba
membudidayakan tanaman hias tersebut di pekarangan rumah atau kebunnya masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menemukan nilai ekonomi dari tanaman hias yang
mereka tanam. Banyak orang, termasuk orang Belanda, tertarik pada tanaman hias yang mereka
tanam itu lalu membelinya. Sejak saat itu, jumlah warga yang berkecimpung di pertanian dan
jual beli tanaman hias mulai bertambah.

Acep Muslim | Sejarah dan Masalah di Sentra Tanaman Hias Cihideung 1


Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), pertanian tanaman hias sempat dilarang. Alasannya,
tanaman hias menurut mereka identik dengan pemerintah kolonial Belanda. Bergiat di pertanian
tanaman hias sama saja dengan bersetia kepada Belanda sekaligus membangkang kepada Jepang
sebagai penjajah yang saat itu berkuasa. Kegiatan pertanian tanaman hias di Cihideung pun
berkurang bahkan cenderung vakum. Ia baru hidup dan berkembang kembali kala Jepang
hengkang dari Indonesia.

Dari masa kemerdekaan hingga era 80-an, pertanian dan perdagangan tanaman hias di Cihideung
perlahan tapi pasti terus berkembang. Meskipun perkembangannya tidak terlalu signifikan,
namun ketenaran Cihideung sebagai sentra tanaman hias mulai tersebar ke beberapa daerah.
Perkembangan pesat mulai tejadi di akhir tahun 80-an dan tahun 90-an. Pada masa ini, hampir
100 persen kebutuhan bunga di Kota Bandung dipenuhi dari Cihideung. Pada masa ini pun
jumlah warga yang beralih mata pencaharian menjadi petani tanaman hias semakin banyak.
Warga ini terdiri dari para petani yang sebelumnya menggunakan lahan untuk menanam sayuran
dan padi. Di samping tanah Cihideung waktu itu tidak ideal untuk menanam padi, nilai ekonomi
tanaman hias yang dinilai lebih tinggi membuat para petani sayur dan padi ini beralih menjadi
petani tanaman hias.

Perkembangan pesat pertanian tanaman hias di Cihideung di akhir tahun 80-an dan 90-an secara
khusus tak lepas dari faktor pembangunan jalan permanen (aspal) yang menghubungkan
kawasan Cihideung dengan kota Bandung. Jalan ini dibangun pada tahun 80-an. Kini jalan itu
dikenal dengan Jalan Terusan Sersan Bajuri. Pembangunan jalan ini telah meningkatkan
kunjungan masyarakat dari daerah lain ke Cihideung dan pada gilirannya meningkatkan nilai
transaksi jual beli tanaman hias di Cihideung.

Adapun secara umum, faktor yang berperan dalam perkembangan pertanian dan usaha tanaman
hias di akhir tahun 80-an dan 90-an adalah karena di era itu ekonomi era orde baru sedang di
puncak gelombang. Berbagai sektor usaha di era itu mengalamai pertumbuhan cukup tinggi. Di
samping meningkatnya permintaan tanaman hias, era 80-90an juga menjadi awal mulai ramainya
orang-orang dari kota membeli tanah di Cihideung. Mereka lantas membangun rumah, villa,
bahkan tempat usaha di sana.

Masalah Lahan
Di balik kegiatan pertanian dan jual beli tanaman hias di Cihideung, ada masalah penting yang
tidak tampak di permukaan. Yakni masalah lahan. Banyak lahan yang diolah oleh para petani
Cihideung merupakan milik orang dari luar Cihideung. Di RW 10, misalnya, sekitar 70 persen
tanah yang digunakan oleh para petani merupakan tanah sewaan. Para petani tanaman hias ini
mengolah lahan dengan menyewanya dari para pemilik lahan yang berasal dari Bandung,
Jakarta, dan daerah lainnya.

Acep Muslim | Sejarah dan Masalah di Sentra Tanaman Hias Cihideung 2


Pembelian tanah mulai marak sejak akhir tahun 80-an dan 90-an—pada era yang sama, seperti
dikemukakan di atas, pertanian tanaman hias di Cihideung tumbuh pesat. Tawaran harga yang
cukup tinggi (untuk ukuran waktu itu) membuat satu persatu warga melepas lahan yang mereka
miliki. Beberapa diantaranya menjual hanya sebagian lahan dari seluruh lahan yang mereka
miliki, namun tak sedikit juga yang menjual sebagian besar lahan miliknya dan menyisakan
sedikit lahan saja di pekarangan rumah. Uang hasil penjualan tanah ini digunakan oleh warga
untuk membeli tanah di daerah lain, membangun rumah, atau untuk keperluan konsumsi.
Sayangnya, meskipun beberapa warga menggunakan uang hasil penjualan itu untuk membeli
tanah di luar Cihideung, tapi tanah-tanah yang mereka beli itu nilai ekonominya jauh lebih
rendah dari tanah di Cihideung. Mulai dari kondisi tanah, jenis komoditas yang ditanam, juga
letaknya yang tidak strategis. Maka tanah-tanah itu pun tidak bisa diandalkan sebagai sumber
penghidupan utama mereka.

Di atas tanah yang bukan lagi milik warga Cihideung itu kini telah berdiri perumahan, villa, dan
tempat usaha. Jika kita menyusuri Jalan Sersan Bajuri-Terusan Sersan Bajuri, di kiri kanan
terdapat banyak rumah mewah. Banyak pula yang setelah dibeli, tanah itu dibiarkan begitu saja,
tidak diurus. Tanah-tanah tak terurus inilah yang disewa oleh oleh petani Cihideung untuk
dijadikan tempat menanam aneka tanaman hias.

Harga sewa tanah itu bervariasi. Jika lahan yang disewanya berada jauh dari jalan utama (Jalan
Terusan Sersan Bajuri), harganya berkisar antara Rp.1750 m2/tahun sampai dengan
Rp.2500/m2/tahun. Adapun harga sewa tanah di pinggir jalan berkisar antara Rp.5000/m2/tahun
sampai dengan Rp.7000/m2/tahun. Harga sewa di pinggir jalan lebih mahal karena selain bisa
dijadikan tempat menanam, tanah itu bisa juga dimanfaatkan untuk membuka kios tanaman hias,
sehingga nilai ekonominya lebih tinggi.

Pertanian tanaman hias di Cihideung dengan sistem sewa tanah dari orang luar merupakan
masalah serius yang membayangi masa depan pertanian tanaman hias di sana. Cepat atau lambat
para pemilik lahan itu akan menggunakan lahannya untuk membangun rumah, villa, tempat
usaha, atau mungkin dijual ke orang lain yang belum tentu mau menyewakan tanahnya kepada
petani di Cihideung. Petani di Cihideung sangat sulit untuk membeli tanah-tanah yang mereka
sewa karena harga tanah-tanah itu kini jauh lebih mahal dari waktu dulu mereka menjualnya.

Masalah ini bukannya tidak diketahui pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat
(Departemen Pertanian) sudah mengetahui kondisi ini. Beragam solusi pun sempat muncul,
misalnya dengan mencari lahan alternatif dimana petani tanaman hias Cihideung bisa
membudidayakan tanaman hiasnya. Namun, hingga terakhir kali saya berkunjung ke sana (akhir
2009), belum ada kejelasan tentang tindak lanjut penyelesaian masalah ini.

Acep Muslim | Sejarah dan Masalah di Sentra Tanaman Hias Cihideung 3

Anda mungkin juga menyukai