Anda di halaman 1dari 8

Cimahi merupakan sebuah kota di Provinsi Jawa Barat.

Kota ini terletak


di tengah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung.
Nama Cimahi dalam bahasa Sunda berasal dari kata "cai mahi" yang artinya
"air yang cukup". Cimahi dahulunya merupakan bagian dari Kabupaten
Bandung, kemudian resmi melepaskan diri dan ditetapkan sebagai kota
otonom pada 21 Juni 2001.
Cimahi tidak memisahkan diri dari Bandung. Melainkan berubah status (secara
terpaksa) dari kota administratif (pertama di jawa barat loh) menjadi kota
otonom, Kota Cimahi.
Awal berdiri, Cimahi adalah salah satu kecamatan dari kabupaten Bandung
Utara. Lalu pada tahun 1975, Cimahi ditingkatkan statusnya menjadi kota
administratif, dan menjadi kota administratif pertama di Jawa Barat. [1]
Nah, sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999, di Indonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif karena
pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya kota
administratif harus berubah status menjadi kota atau bergabung kembali
dengan kabupaten induknya. [2]
Oleh karena Undang-Undang tersebut, Cimahi (terpaksa) berubah menjadi
kota otonom, yaitu Kota Cimahi.
Mengapa tidak bergabung kembali dengan kabupaten induknya, kabupaten
Bandung Utara? — Saya kira karena Cimahi dipengaruhi oleh militer. Lihat saja,
berapa banyak markas & pusat Pendidikan militer di Cimahi. Tentara tea
hayangna mandiri, jadi pisah weh.

Keunggulan kota Cimahi


1. Daya tarik yang ada di Kota Cimahi mendorong Kota Cimahi menjadi pusat
pertumbuhan. Daya tarik tersebut antara lain, adanya keuntungan aglomerasi
dari banyaknya industri yang berkembang, serta lokasi strategis yang
berdekatan dengan pusat Kota Bandung.
2. Kota hijau
3. Kota administrasi pertama di Jawa barat
Kota Cimahi yang kita banggakan ini memiliki kekayaan dan keberagaman
kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dari berbagai komponen
masyarakat.
Salah satu contoh seni pertunjukan tradisional yang berkembang adalah seni
musik, tari, teater, padalangan, karawitan seperti longser, jaipongan, tari
klasik, degung, upacara adat lengser, upacara adat peringatan 1 Suro Saka
Sunda, upacara adat mapag panganten, kacapi, kawihan, tembang sunda
cianjuran, kliningan, celempungan, calung, dll.
Berbicara budaya Cimahi artinya berbicara orang Cimahi itu sendiri, ketika
membicarakan kekayaan budaya Cimahi sesungguhnya sedang memperhatikan
orang Cimahi dan semua buah pikirannya, jiwanya, juga harapannya.
Konservasi, revitalisasi dan inovasi adalah jalan terbaik membangkitkan
kembali seni budaya tradisi, mewujudkan kembali jadi mutiara baru di era yang
serba digital ini.
Hal tersebut memperjelas bahwa Kota Cimahi merupakan basis seni kreatif dan
inovatif para seniman dan budayawan serta masyarakatnya.
Contohnya : Gelar Seni Budaya Kawin Cai yang dilaksanakan pada 24 Februari
2019 yang lalu merupakan pagelaran seni budaya reguler yang telah
diselenggarakan dua kali.Kawin cai merupakan upacara adat sunda sebagai
simbol kebersamaan tiap daerah di Kota Cimahi dalam menjaga lingkungan
dan ketersediaan air bersih.Upacara adat kawin cai ini, intinya menyatukan
tekad, ucap dan langkah untuk membangun Cimahi.

Seni dan Budaya di Cimahi


By Arya Frima at 11:20 No comments
Halo sobat Cimahi, kali ini blog Info Cimahi akan sedikit membahas tentang
seni dan budaya yang ada di Kota Cimahi, seperti kita ketahui, Cimahi adalah
sebuah daerah yang unik karena masyarakat yang hidup di daerah ini sangat
majemuk. Kemajemukan masyarakat Cimahi disebabkan oleh beragamnya
suku bangsa yang hidup dan menetap di daerah
ini. Beragam suku bangsa yang ada di Cimahi yang sekaligusmemperlihatkan
keragaman suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi ciri tersendiri bagi Kota
Cimahi.Keberagaman suku bangsa yang ada di Cimahi menyebabkan
munculnya kebudayaan dan kesenian yang beragam pula.
Sebagai hasil dari budaya tersebut, kebudayaan dan kesenian Sunda sebagai
kebudayaan asli daerah Cimahi tetap dilestarikan dan
dikembangkan.
Pementasan budaya dan kesenian bahkan telah dipertunjukkan sejak zaman
kolonial Hindia Belanda . Sebagai contoh, kesenian Sunda yang terkenal yang
ada di Cimahi, antara lain tari jaipongan, tari keurseus , sisingaan , angklung ,
calung reog, tembang, rengkong , kecapi suling, degung , tarawangsa , longser ,
jenaka sunda, sandiwara , seni pencak silat, kliningan , karawitan dan
wawayangan serta tari merak
Selain jenis kesenian tradisional sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada
juga kesenian-kesenian baru, seperti teater, kabaret, seni peran, perfilman,
sastra, modeling , seni gambar atau lukis , seni patung, seni rias, nasyid ,
qasidah , dan acapela.
Demikianlah sekilas uraian tentang seni dan budaya di Kota Cimahi, semoga
bisa bermanfaat bagi para pembaca khususnya sobat Cimahi yang selalu peduli
terhadap perkembangan kotanya.

SENI DAN BUDAYA DI CIMAHI


14 MARET 2017 / ICHAAGUSTINA
Cimahi adalah sebuah daerah yang unik karena masyarakat yang hidup di
daerah ini sangat majemuk. Kemajemukan masyarakat Cimahi disebabkan oleh
beragamnya suku bangsa yang hidup dan menetap di daerah ini. Beragam suku
bangsa yang ada di Cimahi yang sekaligus memperlihatkan keragaman suku
bangsa yang ada di Indonesia menjadi ciri tersendiri bagi Cimahi. Cimahi pun
dapat dianggap sebagai “Miniatur Indonesia”.
Keberagaman suku bangsa yang ada di Cimahi menyebabkan munculnya
kebudayaan dan kesenian yang beragam pula. Sebagai “Tuan Rumah”,
kebudayaan dan kesenian Sunda tetap dilestarikan dan dikembangkan.
Pementasan budaya dan kesenian bahkan telah dipertunjukkan sejak zaman
kolonial Hindia Belanda. Sebagai contoh, kesenian
urang Sunda yang terkenal yang ada di Cimahi, antara lain Tari Jaipong, Tari
Keurseus, Sisingaan, angklung, calung, kecapi suling, degung, tarawangsa,
longser, kliningan, karawitan dan pencak silat.
BATIK CIMAHI
Batik Cimahi dilahirkan melalui kompetisi yang diadakan oleh Dewan Kerajinan
Nasional Daerah Kota Cimahi. Kompetisi ini sendiri merupakan hasil saresehan
yang diikuti oleh tokoh masyarakat, seniman, pengusaha dan unsur
Dekranasda kota Cimahi. Saresehan tersebut menghasilkan lima motif batik
khas Cimahi, yaitu:
Motif Kujang
Motif Ciawitali (Bambu)
Motif Cirendeu (Daun Singkong)
Motif Pusdik (Pusat Pendidikan Militer)
Motif Curug Cimahi
Kota Cimahi memiliki 3 kecamatan dan 15 kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah
penduduknya mencapai 532.988 jiwa dengan luas wilayah 39,27 km² dan

sebaran penduduk 13.572 jiwa/km².

Contoh kampung Cirendeu

Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di


kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri
ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut
Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga atau
800 jiwa, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung
Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian
dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan
memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten
dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan
adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya,
kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka
Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita
sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing.
Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat
Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya
seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan
penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat
sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Leuweung Larangan (hutan terlarang)

yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan


sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.

Leuweung Tutupan (hutan reboisasi)


yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat
dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali
dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.

Cirendeu
1. Sejarah Cireundeu
Asal kata Cireundeu berasal dari sebuah pohon bernama ‘Rendeu’. Sudah bisa
kamu tebak, di kampung ini terdapat banyak Pohon Rendeu.Adapun kegunaan
atau khasiat dari Pohon Rendeu adalah bisa digunakan sebagai bahan obat
herbal. Masyarakat setempat sering menggunakannya saat
memerlukan.Sebelum dikenal sebagai kampung adat, Cireundeu dulunya
adalah tempat pembuangan sampah warga Kota Cimahi. Baru di tahun 2007
Cireundeu mulai dikenal sebagai sebuah wilayah desa tradisional.Kampung
Adat Cireundeu dikelola oleh pemerintahan lokal, RT dan RW. Yang merupakan
tingkatan tertinggi di wilayah Cireundeu.Sedangkan secara tradisional
Cireundeu memiliki orang yang ‘dituakan’, disebut dengan Sesepuh. Kini
Sesepuh Cireundeu sudah mencapai generasi ke-5.Kampung Adat ini memiliki
luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman.

2. Kepercayaan

Masyarakat adat Kampung Cireundeu adalah bagian dari Sunda


Wiwitan yang tersebar di daerah Cigugur-Kuningan-Cirebon.
Kesemua mereka sebagian besar memegang teguh kepercayaan
Sunda Wiwitan sampai sekarang.Agama leluhur yang mereka anggap
sebagai sebuah agama besar. Dengan ajaran-arajan peduli terhadap
alam dan sopan santun Masyarakat adat Cireundeu memandang
agama sebagai sebuah ageman (pegangan). Menjadi tuntunan hidup,
keselamatan, yang tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya.Artinya
ketika seseorang memeluk agama, maka ia sedang menjalankan dan
memaknai budaya yang melekat pada agama yang dianut.Konsep
agama Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat adat Cireundeu, yaitu
Tuhan yang disebut “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji” atau di atas
segalanya pencipta mereka.“Mulih Kajati Mulang Ka Asal”,setiap
manusia akan kembali kepada Tuhan.
3. Rasi sebagai Makanan Utama

Sejak tahun 1918, sebagian masyarakat Cireundeu tidak pernah mengonsumsi


nasi sebagai makanan pokoknya. Melainkan makanan utama yang dikonsumsi
adalah singkong.Masyarakat setempat menyebutnya ‘rasi’. Sebenarnya rasi
hampir sama dengan nasi biasa, hanya saja terbuat dari singkong. Jika
kehabisan singkong makanan penggantinya adalah jagung.Cireundeu sendiri
dikenal sebagai desa swasembada pangan. Masyarakat setempat akan
mengonsumsi apa yang mereka tanam.Rasi hasil singkong yang diolah, sudah
dikonsumsi masyarakat Kampung Adat Cireundeu sejak sekitar 85 tahun lalu.
Bisa dibilang masyarakatnya sudah mandiri pangan.Sehingga mereka tidak
terpengaruh oleh fluktuasi harga beras di pasaran. Dan kehidupan di kampung
ini juga bisa dibilang tak terpengaruh gejolak ekonomi-sosial.“Teu Boga Sawah
Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa
Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.”“Tidak Punya Sawah
Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya
Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat.”Kalimat tersebut seolah merangkum
sejarah bagaimana masyarakat memakan rasi. Sesuai juga dengan tradisi
nenek moyang mereka yang rutin berpuasa konsumsi beras dalam waktu
tertentu.Tujuan puasa adalah untuk mendapatkan kemerdekaan lahir dan
batin. Sebuah ritual yang juga berfungsi untuk menguji keimanan seseorang.
Serta sebagai pengingat akan Tuhan Yang Maha Esa.

4. Puncak Salam
Puncak salam merupakan tempat meditasi bagi masyarakat Cireundeu.
Kegiatan meditasi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap alam.
Masyarakat setempat percaya bahwa meditasi dapat mengumpulkan energi
dari alam.Sebuah bukit dengan ketinggian 905 mdpl ini sering digunakan
sebagai camping around oleh wisatawan. Biasanya masyarakat Cireundeu juga
menjadikan Puncak Salam sebagai tempat upacara peringatan hari
kemerdekaan Indonesia.

5. Pintu Samping Rumah Menghadap Timur


Ada satu keunikan bangunan yang bisa kamu lihat di seluruh penjuru kampung.
Rumah mereka memiliki pintu samping yang menghadap ke arah timur.Sebuah
keharusan yang harus diterapkan oleh seluruh warga. Bertujuan agar cahaya
matahari masuk ke rumah, ke bumi mereka.

6. Semangat Gotong Royong dan Hidup Berdampingan


Masyarakat kampung ini terdiri dari mayoritas pemeluk agama Islam. Berbaur
dengan masyarakat adat, semuanya memiliki semangat bergotongroyong.
Banyak pihak yang sudah mengunjungi kampung adat ini. Mulai dari yang
berutujan wisata, penelitian, acara adat, dan acara-acara lainMasyarakat
adatnya tersebar di 3 RT. Ada 67 keluarga dengan 59 kepala keluarga.Di
kampung ini kamu bisa melihat ada masjid dan bale sarasehan. Bale ini adalah
tempat pertemuan masyarakat adat.Begitu mengagumkan bukan
masyarakatnya bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Semangat gotong
royong tercermin dalam berbagai kegiatan kampung.

Anda mungkin juga menyukai