Anda di halaman 1dari 27

Pola Keruangan Desa dan Kota

1. Pengertian desa
Kata "desa" sedikitnya mengandung dua pengertian yang familiar bagi masyarakat
awam, yaitu (1) secara umum desa diartikan sebagai pemukiman manusia yang letaknya
di luar kota yang penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Tidak sedikit pula
orang menyebutnya sebagai kampung atau kampung halaman, di mana pengertian itu
secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta "deca" atau swadesi (bahasa India) yang
artinya tanah kelahiran atau tanah tumpah darah, dan (2) bentuk kesatuan administratif
yang disebut juga kelurahan. Apabila kelurahan dikepalai oleh seorang lurah, maka desa
dikepalai oleh seorang kepala desa. Jadi dalam pengertian yang kedua ini, kedudukan
desa dalam struktur pemerintahan yang berada di bawah kecamatan.
Disamping pengertian di atas, batasan desa pun dapat dilihat dari aspek morfologi,
jumlah penduduk, ekonomi, sosial budaya, dan aspek hukum.
Dari aspek morfologi, desa adalah pemanfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau
masyarakat yang bersifat agraris, serta bangunan rumah tinggal yang terpencar (jarang).
Dari aspek jumlah penduduk, desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan
kepadatan yang rendah.
Dari aspek ekonomi, desa ialah wilayah yang penduduk atau masyarakatnya
bermatapencaharian pokok di bidang pertanian, bercocok tanam atau agraris, atau
nelayan.
Dari aspek sosial budaya, desa dapat dilhat dari hubungan sosial antar penduduknya
yang bersifat khas, yaitu hubungan kekeluargaan, bersifat pribadi, tidak banyak pilihan
dan kurang tampak adanya pengkotaan, atau dengan kata lain homogen dan bersifat
gotong royong.
Dari aspek hukum, Soetardjo Kartohadikusumo memberikan batasan bahwa desa adalah
suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri.
Adapun faktor-faktor yang mendasari kehidupan masyarakat desa, yaitu:
a. Hubungan kekerabatan (genealogis)
b. Hubungan tinggal dekat (territorial)
c. Prinsip tujuan khusus, dan
d. Prinsip ikatan dari atas.
Dari beberapa batasan atau pengertian desa yang telah diuraikan di atas bila
dihubungkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, maka istilah desa menjadi seragam untuk seluruh wilayah
Indonesia, yaitu yang menunjuk pada kesatuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya satu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat,
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 6 tahun 2014 menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisonal yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bintarto (1977) sebagai seorang geograf mendefinisikan desa berdasarkan kenyataan
bahwa faktor-faktor geografis jelas berpengaruh pada desa, yaitu: perwujudan geografis
yang ditimbulkan oleh unsur-unsur geografis, sosial, ekonomis, politis dan kultural yang
ada di situ, dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah
lainnya. Namun demikian, sejalan dengan gerak pembangunan Bintarto mencoba
melukiskan desa sekarang, yaitu: Makin lancar hubungan desa dengan kota, makin
terbuka alam fikiran penduduknya. Ekonomi dan pendidikan makin maju. Bagi kota
desa berfungsi sebagai pensuplai material dan tenaga kerja meski tak terlatih. Dalam
perkembangan selanjutnya, desa-desa yang berhasil pembangunannya diharapkan benar-
benar menjadi self sufficing village atau desa swasembada.
Dilihat dari perkembangannya secara kualitatif, desa diklasifikasikan ke dalam tiga
tingkatan yang masing-masing mempunyai pengertian sebagai berikut:
a. Desa swadaya (tradisional), adalah desa yang belum mampu mandiri dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa belum
terselenggara dengan baik dan LKMD belum berfungsi dengan baik dalam
mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
desa secara terpadu.
b. Desa swakarya (transisional), adalah desa setingkat lebih tinggi dari desa swadaya.
Di sini mulai mampu mandiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri, administrasi desa sudah terselenggara dengan cukup baik, dan LKMD
cukup berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.
c. Desa swasembada (berkembang), adalah desa setingkat lebih tinggi dari desa
swakarya. Desa ini telah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri,
administrasi desa sudah terselenggara dengan baik, dan LKMD telah berfungsi
dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan desa secara terpadu.

2. Pola persebaran pemukiman desa


Persebaran desa diartikan sebagai menggerombol atau saling menjauhnya antar yang
satu dengan yang lainnya. Persebaran desa bisa dilihat dari bentuk maupun polanya.
Secara sederhana bentuk desa dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Bentuk desa menyusur sepanjang pantai
Pada daerah pantai yang landai biasanya tumbuh pemukiman yang mata pencaharian
penduduknya di bidang perikanan, perkebunan kelapa dan perdagangan. Bila desa
pantai ini berkembang, maka tempat tinggal meluas dengan cara menyambung yang
lama dengan menyusur pantai sampai bertemu dengan desa pantai lainnya. Adapun

2
pusat-pusat kegiatan biasanya dipertahankan di dekat tempat tinggal penduduk yang
mula-mula.
b. Bentuk desa yang terpusat
Biasanya terdapat di daerah pegunungan. Pada umumnya penduduknya terdiri atas
mereka yang seketurunan, hal mana pemusatan tempat tinggal tersebut didorong oleh
kegotongroyongan mereka. Pemekaran desa biasanya mengarah ke segala jurusan,
tanpa adanya rencana. Sementara pusat-pusat kegiatan penduduk pun dapat bergeser
mengikuti pemekaran.
c. Bentuk desa linier di dataran rendah
Pemukiman penduduk di dataran rendah umumnya memanjang sejajar dengan
rentangan jalan raya yang menembus desa yang bersangkutan. Bila kemudian desa
mekar secara wajar/tanpa direncanakan, tanah pertanian di luar desa sepanjang jalan
raya menjadi pemukiman baru. Ada kalanya pemekaran ke arah pedalaman sebelah
menyebelah jalan raya, hal ini harus dibuat jalan baru mengelilingi desa semacam
ring road dengan maksud agar kawasan pemukiman baru tidak terpencil.
d. Bentuk desa yang mengelilingi fasilitas tertentu
Jenis ini juga terdapat di dataran rendah. Adapun yang dimaksud dengan fasilitas,
misalnya: mata air, waduk, lapangan terbang dan sebagainya. Arah pemekaran dapat
ke segala jurusan, sedangkan fasilitas dapat disebarkan sesuai dengan keinginan.
Disamping bentuk desa yang telah diuraikan di atas, ada pula yang disebut pola desa.
Menurut Bintarto ada enam pola desa, yaitu memanjang jalan, memanjang sungai,
radial, tersebar, memanjang pantai, dan memanjang pantai dan sejajar jalan kereta api.
Pola desa yang memanjang jalan dan memanjang sungai biasanya terdapat di daerah
plain yang susunan desanya mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contoh pola seperti
ini terdapat di daerah Bantul-Yogyakarta yang merupakan line village atau pola desa
yang memanjang.
Pola desa berbentuk radial, Bintarto (1998: 66) memberi contoh pemukiman di sekitar
G. Slamet yang bentuknya radial terhadap G.Slamet dan memanjang sepanjang sungai di
lereng G. Slamet.
Menurut penelitian Bintarto pola desa tersebar atau scattered contohnya terdapat di
daerah karst G. Kidul-Yogyakarta yang merupakan nucleus yang berdiri sendiri.
Pola desa memanjang pantai merupakan susunan desa nelayan yang berbentuk
memanjang sepanjang pantai. Begitu juga dengan yang sejajar dengan jalan rel kereta
api, desa itu memanjang sesuai dengan rel kereta api.

3. Pengertian Kota
Dalam kehidupan pada jaman modern ini dapat dengan mudah mengamati dan
menggambarkan apakah “kota” itu, sesuai dengan tolok ukur dan sudut pandang masing-
masing. Karena itu tidak mengherankan jika terdapat banyak definisi/pengertian tentang
“kota” yang mungkin satu dengan lainnya berbeda.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi/pengertian kota dari para ahli:
1. Max Weber berpendapat bahwa, “Suatu tempat adalah kota apabila penghuni
setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan dijual belikan

3
di pasar itu. Jadi menurut Weber, ciri kota adalah adanya pasar, dan sebagai benteng
serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.
2. Cristaller dengan, ”Central place theory” menyatakan bahwa kota berfungsi
menyelenggarakan penyediaan jasa-jasa bagi daerah lingkungannya. Jadi menurut
teori ini, kota tidak diartikan sebagai pusat pelayanan. Sebagai pusat, tergantung
kepada seberapa jauh daerah-daerah sekitar kota memanfaatkan penyediaan jasa-jasa
kota itu. Dari pandangan ini kemudian kota-kota tersusun dalam suatu hierarki
menurut berbagai jenis.
3. Sjoberg berpendapat bahwa, sebagai titik awal gejala kota adalah timbulnya
golongan literati (golongan intelegensia kuno seperti pujangga, sastrawan dan ahli-
ahli keagamaan), atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan nonagraris,
sehingga muncul pembagian kerja tertentu. Selanjutnya pembagian kerja ini
merupakan ciri kota.
4. Wirth, mendefinisikan kota sebagai pemukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya akibatnya
hubungan sosial menjadi longgar, acuh dan tidak pribadi (impersonal relation).
5. Karl Marx dan F. Engels memandang kota sebagai persekutuan yang dibentuk guna
melindungi hak milik dan memperbanyak alat-alat produksi dan alat-alat yang
diperlukan agar anggota masing-masing dapat mempertahankan diri. Perbedaan
antar kota dan pedesaan menurut mereka adalah pemisahan yang besar antara
kegiatan rohani dan materi.
6. Harris dan Ullman, berpendapat bahwa kota merupakan pusat pemukiman dan
pemanfaatan bumi oleh manusia. Kota-kota sekaligus merupakan paradoks.
Pertumbuhannya yang cepat dan luasnya kota-kota menunjukkan keunggulan dalam
mengeksploitasi bumi, tetapi di pihak lain juga berakibat munculnya lingkungan
yang miskin bagi manusia. Yang perlu diperhatikan menurut Harris dan Ullman,
adalah bagaimana membangun kota di masa depan agar keuntungan dari konsentrasi
pemukiman tidak mendatangkan kerugian atau paling tidak kerugian dapat
diperkecil.
7. Rumusan kota dari ahli geografi Indonesia yakni Bintarto sebagai berikut: Kota
dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai
dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau
dapat pula diartikan sebagi benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami
dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan
corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan
daerah belakangnya.
Dari definisi/pengertian yang telah dikemukakan di atas dapatlah diketahui dasar
pemikiran dan kriteria yang dipergunakan untuk menyebut suatu “kota” dan “gejala
kota”. Dalam pendefinisian tersebut para ahli menggunakan segi pandang yang berbeda,
ada yang melihat dari aspek morpologi, aspek ekonomi, aspek geografi, dan aspek
hukum.
Di samping perbedaan sudut pandang, juga terlihat bahwa dari definisi yang
dikemukakan sebagian ahli mengatakan bahwa definisi yang diberikan terlalu bersifat
dikotomi antara kota dengan desa atau kota dengan pedesaan. Untuk menjembatani
definisi yang agak dikotomi tersebut, maka perlu dikemukakan satu definisi yang tidak

4
menunjukkan dikotomi. Menurut Duran Wagner (dalam Nas, 1979), sebenarnya
peradaban itu dimulai dari gubug petani dan baru di kota-kota peradaban itu
berkembang, orang memupuk kemewahan, keindahan dan kepandaian yang dihasilkan
oleh pedesaan. Menurutnya pula, dalam proses tersebut kota memeras pedesaan, tetapi
sekaligus juga membinanya, yakni dengan memberi alat-alat baru sebagai hasil
kecerdasan manusia dengan ide-ide barunya. Hubungan antara desa dengan kota atau
kota dengan pedesaan terjadi secara harmonis bukan berupa konflik seperti apa yang
dikemukakan oleh Karl Marx.
Adapun pengertian kota berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah,
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.

4. Sejarah Perkembangan Kota


Perkembangan kota sering disebut juga sebagai pemekaran kota yang tanda-tandanya
dapat dilihat pada perluasan kota dari waktu ke waktu. Cara pemekaran kota dahulu dan
sekarang sudah berbeda walaupun bila dilihat secara kronologis, perkembangan kota
menunjukkan pertumbuhan dari mulai lahirnya hingga kota tersebut menjadi mati.
Kota sebagai hasil peradaban umat manusia, mengalami sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam sejarahnya ada kota yang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan sehingga menjadi sebuah kota mekar dan besar, namun ada pula kota
yang hilang dan tinggal namanya dalam sejarah. Lewis Mumford dalam bukunya “The
Culture of Cities” (1938) telah menggambarkan perkembangan kota-kota sebagai
berikut:
1. Eopolis (kota yang baru berdiri), kota ini menempati pusat daerah pertanian dengan
adat istiadat masih bercorak kedesaan dan sederhana.
2. Polis (kota), yaitu kota yang merupakan pusat hidup keagamaan dan pemerintahan.
Di dalamnya terdapat tempat khusus peribadatan dan pasar yang bertalian erat
dengan kegiatan berbagai industri kecil.
3. Metropolis (kota besar; metro=induk), di sini merupakan tempat bertemunya orang
dari berbagai bangsa untuk berdagang dan dengan sendirinya bertemu pula budaya
dari masing-masing bangsa. Juga tak terelakkan terjadinya perkawinan campuran
antar bangsa dan ras yang memungkinkan munculnya asimilasi. Secara fisik, di sini
pula menampilkan kehidupan yang kontras antara golongan kaya dan miskin.
4. Megalopolis (megalo=besar; kota yang sudah menunjukkan keruntuhan), merupakan
suatu peningkatan dari sebelumnya (metropolis) dengan ciri-ciri munculnya gejala
sosiopatologis yang merajalela di mana pada satu pihat terdapat kekuasaan dan
kekayaan dengan birokrasi yang amat menonjol, sedangkan di pihak lain meluasnya
kemiskinan yang berusaha untuk memberontak.
5. Tyrannopolis (tyran=penguasa kejam; penguasa kota menguasai pedalaman dengan
perusahaan-perusahaan raksasa), merupakan kota besar yang dilanda oleh
kepincangan yang berupa degenerasi dan korupsi. Moral pendudknya merosot yang
disebabkan oleh adanya relasi yang erat antara politik, ekonomi dan krminalitas.
6. Nekropolis (Nekro=mayat; kota runtuh), di sini peradaban kota runtuh, menjadi
bangkai. (Nas, 1979)

5
Masalah yang dihadapi oleh kota-kota besar sejalan dengan pertumbuhan penduduk,
sehingga kota terus meluas, dan pada suatu saat akan mengalami keruntuhan dan
kehancurannya, tinggallah ia sebagai “Nekropolis”.
Dari berbagai peristiwa sejarah diperoleh informasi, seperti kerajaan Inka, Babylonia,
kerajaan Bulgis, Kerajaan (nabi) Sulaiman, Istana Alhamra, dan lain-lain. Kerajaan-
kerajaan tersebut mempunyai pusat pemerintahan sekaligus sebagai kota, bahkan kota
besar. Setelah masa kejayaan kerajaan-kerajaan tersebut berangsur surut, memudar, dan
bahkan ada yang secara tiba-tiba hancur atau runtuh oleh suatu peristiwa sejarah, seperti
perang, bencana alam, dan lain-lain, sehingga suatu kota hilang dari permukaan bumi.
Contoh lain di Indonesia pernah ada kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Singosari, Kerajaan
Majapahit dan lain-lain, kesemuanya tinggal dalam sejarah.
Demikianlah gambaran dari proses suatu kota, dan pada suatu saat akan mengalami
keruntuhan, tak berbeda dengan siklus kehidupan manusia, setelah mencapai metropolis
akan tumbuh yang baru. Tak ubahnya setelah seekor tikus mati, menjadi bangkai, akan
membusuk dan muncullah makhluk yang baru.
Selain Mumford, Griffith Taylor juga membagi kriteria perkembangan kota dalam
beberapa stadia, yaitu:
(1) Stadia infantile, yaitu satu kriteria kota di mana belum ada batas pemisah secara
tegas antara wilayah peruntukan yang satu dengan wilayah peruntukan yang lain,
seperti daerah perdagangan dengan daerah lainnya. Toko-toko juga masih menyatu
dengan rumah tinggal yang bagian mukanya merupakan arena bermain anak-anak
sehingga memacetkan arus lalu lintas jalan yang ada di depannya.
(2) Stadia juvenile, pada stadia ini sudah nampak adanya pemisah antara daerah
pertokoan dengan daerah perumahan di mana rumah-rumah tua mulai terdesak oleh
kelompok perumahan baru.
(3) Stadia mature, pada stadia ini perkembangan kota sudah mengikuti rencana tata
ruang kota, seperti daerah industri, perdagangan, perumahan, perkantoran dsb. Sudah
menempati daerah yang sesuai dengan yang direncanakan.
(4) Stadia senile, merupakan stadia yang dapat dikatakan sebagai stadia kemunduran
kota karena nampak adanya kemunduran dalam pemeliharaannya yang disebabkan
oleh kondisi ekonomi, politik dan sebab-sebab lainnya.
Stadia perkembangan kota menurut Griffith Taylor ini tidak berlaku pada semua kota
karena ada kemungkinan suatu kota yang sudah pada stadia senile, kemudian oleh
pemerintah setempat diremajakan sehingga nampak lebih terpelihara kembali.

5. Urbanisasi
Penduduk kota adalah semua yang mendiami atau yang bermukim di suatu kota.
Penduduk kota sangat bervariasi baik dari segi suku, lapangan pekerjaan, tingkat
pendidikan, serta latar belakang agama dan kebudayaan yang dimilikinya. Dengan
demikian masyarakat kota mempunyai ciri khas yang secara umum berbeda dengan
masyarakat pedesaan. Masyarakat kota sangat heterogen dalam berbagai hal.
Dari segi statusnya penduduk kota dapat dibedakan atas penduduk tetap dan sebagai
penduduk menetap sementara atau penduduk musiman. Di kota banyak pendatang yang

6
selalu silih berganti, karena penduduk kota jauh lebih mobil daripada penduduk desa.
Angka pertambahan jumlah penduduk kota dapat bergerak sangat cepat dikarenakan
banyaknya pendatang baru tersebut. Karena itu membicarakan kota, terlebih lagi yang
berhubungan dengan masyarakatnya, tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan mengenai
urbanisasi.
Urbanisasi dapat berarti gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan baik dilihat dari
sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial psikologis. Konsep urbanisasi juga
mencakup pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota (desa menjadi kota),
perpindahan penduduk ke kota dalam berbagai bentuk migrasi mutlak, ulang alik atau
kenaikan persentase penduduk yang tinggal di kota.
Menurut Raharjo (1983:55) istilah urbanisasi dalam garis besarnya memiliki dua
pengertian. Pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan
kota atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau
penggeseran penduduk dari desa ke kota (urbanwad migration).
Dari pengertian yang pertama, urbanisasi berkaitan dengan aspek modernisasi yang tidak
terlepas dari nilai-nilai, budaya, perilaku dan kegiatan kelembagaan kota yang sangat
berbeda dengan di desa. Sedangkan pada pengertian yang kedua, urbanisasi berkaitan
dengan aspek pemukiman karena migrasi penduduk dari desa ke kota membutuhkan
tempat tinggal.
Urbanisasi menurut pengertian yang kedua disebabkan oleh:
1. Faktor pendorong (push-factors):
a. adanya pertumbuhan penduduk pedesaan yang cepat (over population)
b. angka pengangguran meningkat disebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan
c. meningkatnya sarana dan prasarana transportasi penghubung desa-kota
d. cepat dan transparannya arus informasi tentang kota ke desa, membuat tergiurnya
penduduk desa terutama remaja untuk datang ke kota
e. status pendidikan masyarakat muda desa merasa tidak ada relevansi dengan
lapangan pekerjaan di desa.
2. faktor penarik (pull-factors):
a. di kota terdapat aneka lapangan pekerjaan
b. daya tampung tenaga kerja non-agraris lebih besar di kota daripada di desa
c. adanya kecenderungan kurangnya tenaga kerja kasar di perkotaan
d. di kota sebagai pusat modernisasi terdapat peluang yang besar untuk
meningkatkan karier, pendidikan dan keterampilan khusus
e. kota merupakan pusat akumulasi dan peredaran modal.
Dari penyebab urbanisasi, baik penarik maupun pendorong mempunyai konsekuensi
terhadap desa yang ditinggalkan maupun kota sebagai daerah tujuan. Konsekuensi
tersebut berupa dampak buruk dari urbanisasi, yaitu:
1. Yang dialami masyarakat desa:
a. kekurangan tenaga kerja, terutama dalam bidang agraris tradisional
b. terjadinya “braindrain” akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai
di pedesaan

7
c. kurangnya tenaga kerja menyebabkan biaya usaha bidang agraris meningkat dan
stabilitas harga bahan pokok terutama beras terganggu, akibatnya para petani
dewasa/tua beralih bekerja pada bidang non-pertanian di kota. Akibat lebih jauh,
program pembangunan daerah pedesaan mengalami berbagai kendala.
2. Yang dialami masyarakat kota:
a. meningkatnya angka pengangguran karena terbatasnya kemampuan dan
keterampilan pendatang dari desa, kalaupun bekerja hanya sebagai buruh kasar
b. Dampak dari point a menimbulkan masalah sosial; kejahatan, dan perilaku
asosial lainnya
c. bertambahnya perumahan kumuh dengan segala masalahnya.
d. Munculnya masalah yang berhubungan dengan pertanahan di perkotaan, seperti
penyerobotan, harga, pengungsian, dan sengketa tanah baik antara individu
dengan individu maupan antara individu dengan pemerintah
Dampak buruk urbanisasi merupakan masalah serius yang harus ditangani bukan saja
oleh pemerintah kota, tetapi juga oleh pemerintah desa yang ditinggalkan. Untuk itu
indikator penanggulangan dampak buruk urbanisasi dapat berupa:
(1) desentralisasi pusat-pusat kegiatan pembangunan ke daerah pedesaan setidaknya
daerah hinterland.
(2) Usaha pertanian di pedesaan perlu dilanjutkan dengan usaha agro-industri atau
agrobisnis
(3) Perlunya program listrik masuk desa yang dibarengi dengan peningkatan
keterampilan dan bantuan modal usaha guna meningkatkan volume kerja dan
produktivitas kerja bagi masyarakat desa.
(4) Transmigrasi, merupakan program paling efektif bagi keseluruhan kehidupan
bangsa Indonesia.

6. Ekologi kota
Bila kita tinjau dari ekologi sosialnya, maka kota merupakan komunitas yang terdiri dari
penduduk, tempat tinggal dan sarana. Karena ada proses kompetisi yang terjadi di dalam
kota, terjadilah daerah-daerah alamiah dalam kota yang merupakan zone (lingkaran).
Sehubungan dengan lingkaran ini, Ernest W. Burgess menyampaikan pola ruang dan
lokasi kota dengan lima buah lingkaran yang konsentris yang lebih dikenal dengan teori
Lingkaran Konsentris sebagai berikut:
(1) Daerah pusat kegiatan (central business districts), terdapat di pusat kota yang
ditandai dengan gedung-gedung tinggi sepanjang jalur jalan yang terdiri dari toko-
toko, perkantoran, hotel-hotel dan lain-lain. Daerah ini tidak cocok untuk
pemukiman karena terlalu hiruk pikuknya aktivitas manusia, sehingga tidak bisa
beristirahat dengan tenang. Namun demikian, pada celah-celah gedung bertingkat
akan nampak pemukiman darurat yang antagonis dengan sekelilingnya yang
merupakan pemukiman penduduk yang berhubungan dengan kegiatan di kota
tersebut, seperti pedagang keliling, PKL, buruh dan lain-lain. Wilayah ini ditandai
pula dengan masalah sampah dan pencemaran udara akibat "bottle neck".
(2) Daerah transisi, di sini terdapat slum yang merupakan tempat tinggal golongan
migran dan kelompok minoritas. Dilihat dari segi tata bangunan, nampak
ketidakteraturan. Lingkungannya juga tidak sehat karena daerah ini seringkali

8
dijadikan tempat penumpukan sampah dari zone bisnis, dan banyak terjadi kejahatan
yang merupakan invasi dari daerah pusat perdagangan.
(3) Daerah pemukiman pekerja, daerahnya relatif lebih baik dibandingkan dengan zone
dua walaupun belum memadai untuk tempat tinggal golongan menengah. Daerah ini
merupakan tempat pemukiman pegawai rendahan sampai tingkat menengah yang
penghasilannya lumayan sehingga mereka bisa hidup lebih baik.
(4) Daerah pemukiman kelas menengah, zone ke empat ini merupakan tempat tinggal
golongan menengah yang merupakan kelompok profesional, pengusaha kecil, dan
pegawai tingkat menengah lainnya. Ciri khas zone ini, yaitu karena daerahnya
merupakan penghubung antara zone lima dengan pusat kota, maka seringkali kurang
aman dan sering terjadi kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh hilir mudiknya
kendaraan pribadi para penglaju yang tinggal di zone lima yang bekerja di pusat kota
(zone satu).
(5) Daerah pemukiman penglaju (the commuters), daerah ini merupakan tempat
pemukiman mewah dengan sarana yang serba luks, namun pada siang hari
perumahan ini nampak kosong karena ditinggal penghuninya yang bekerja pada
zone satu. Ada beberapa masalah yang seringkali muncul di daerah ini, yaitu
masalah tanah di mana golongan yang kuat modal akan menguasia tanah-tanah ini
yang menyebabkan golongan lemah akan terlempar ke pinggiran kota yang kadang-
kadang belum disiapkan untuk dijadikan daerah pemukiman.
Sehubungan dengan teori yang dikemukakan oleh Burgess, Hoyt berpendapat bahwa
proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan pada sektor-sektor daripada sistem gelang
(lingkaran). Dengan teori sektornya, Hoyt berpendapat bahwa pengelompokan tata guna
tanah menjulur seperti irisan kue taart. Pada pembagian seperti itu terjadilah perbedaan
kawasan kota berdasarkan jenis peruntukan gedung maupun kelompok penduduk tanpa
keterangan latar belakang kejadiannya.
Menurut Hoyt munculmya perumahan-perumahan elite akan mendorong mahalnya
harga tanah yang berlokasi di setiap tepi perumahan elite tersebut. Model seperti ini
berlaku pula pada perumahan kaum buruh, di mana perluasannya dengan cara
menyambung dari perumahan yang telah ada sebelumnya. Begitu juga dengan kompleks
industri. Sehingga pemekaran kota akan mengikuti pola irisan kue yang oleh Hoyt
disebut dengan istilah sektor.
Dari pengamatannya, Hoyt pun memperoleh beberapa temuan yang cukup berharga,
yaitu (1) mengenai pajak tanah dan bangunan. Menurutnya besarnya pajak tanah dan
bangunan berbeda-beda berdasarkan sektor-sektor kota; (2) makin ke dalam kota dalam
sektor yang sama, bangunan gedung atau rumah makin kuno; dan (3) makin ke pusat
kota, fungsi industri maikn berkurang atau makin mengalami perubahan. Namun
sebaliknya, perindustrian makin berkembang pesat di pinggiran kota yang lebar
sektornya memang lebih besar.
Sebagai "tandingan" terhadap teori lingkaran konsentris dan teori sektor, Harris dan
Ullman yang keduanya merupakan geograf, menyampaikan pendapatnya bahwa
meskipun pola konsentrasi dan sektoral dalam kota ada, kenyataannya lebih kompleks
dari apa yang sekedar diteorikan oleh Burgess dan Hoyt. Menurut mereka pertumbuhan
kota yang bermula dari suatu pusat menjadi ruwet bentuknya yang disebabkan oleh

9
munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub
pertumbuhan. Di sekeliling kelompok-kelompok kecil yang baru itu akan mengelompok
pula tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional, yang pada akhirnya akan
melahirkan struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Misalnya ada kompleks
industri, kampus, pusat pertokoan dan lain sebagainya merupakan kelompok kecil
(nucleus) yang memiliki sel pertumbuhan.

Pengertian desa:
- Sebagai pemukiman manusia yang letaknya di luar kota
yang penduduknya bermatapencaharian sebagai petani.
- Kampung atau kampung halaman deca (Sansekerta)
atau swadesi (India) = tanah kelahiran, tanah tumpah
darah.
- Bentuk kesatuan administratif yang disebut juga
kelurahan Kelurahan dikepalai seorang lurah, desa
dikepalai seorang kepala desa struktur pemerintahan
yang berada di bawah kecamatan.
- Dari aspek morfologi, desa: pemanfaatan lahan atau
tanah oleh penduduk atau masyarakat yang bersifat
agraris, serta bangunan rumah tinggal yang terpencar
(jarang).
- Dari aspek jumlah penduduk, desa didiami oleh
sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan yang
rendah.
- Dari aspek ekonomi, desa: wilayah yang penduduk atau
masyarakatnya bermatapencaharian pokok di bidang
pertanian, bercocok tanam atau agraris, atau nelayan.
- Dari aspek sosial budaya, desa dapat dilihat dari
hubungan sosial antar penduduknya yang bersifat khas,
yaitu hubungan kekeluargaan, bersifat pribadi, tidak
banyak pilihan dan kurang tampak adanya pengkotaan,

10
atau dengan kata lain homogen dan bersifat gotong
royong.
- Dari aspek hukum, Soetardjo Kartohadikusumo
memberikan batasan bahwa desa adalah suatu kesatuan
hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat
yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
- Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, desa: kesatuan wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya satu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah camat, dan
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Bintarto, desa: perwujudan geografis yang ditimbulkan
oleh unsur-unsur geografis, sosial, ekonomis, politis
dan kultural yang ada di situ, dalam hubungannya dan
pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lainnya.
Desa sekarang: makin lancar hubungan desa dengan
kota, makin terbuka alam fikiran penduduknya.
Ekonomi dan pendidikan makin maju. Bagi kota desa
berfungsi sebagai pensuplai material dan tenaga kerja
meski tak terlatih.

Faktor-faktor yang mendasari kehidupan masyarakat desa:


a. Hubungan kekerabatan (genealogis)
b. Hubungan tinggal dekat (territorial)
c. Prinsip tujuan khusus
d. Prinsip ikatan dari atas.

11
Klasifikasi perkembangan desa secara kualitatif

1. Desa swadaya (tradisional): desa yang belum mampu


mandiri dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga
sendiri, administrasi desa belum terselenggara dengan
baik dan LKMD belum berfungsi dengan baik dalam
mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan desa secara terpadu.

2. Desa swakarya (transisional): desa setingkat lebih tinggi


dari desa swadaya. Mulai mampu mandiri dalam
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri,
administrasi desa sudah terselenggara dengan cukup
baik, dan LKMD cukup berfungsi dalam
mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.

3. Desa swasembada (berkembang): desa setingkat lebih


tinggi dari desa swakarya. Desa ini telah mampu

12
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri,
administrasi desa sudah terselenggara dengan baik, dan
LKMD telah berfungsi dalam mengorganisasikan dan
menggerakkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan desa secara terpadu.

Bentuk desa

1. Bentuk desa menyusur sepanjang pantai


Pada daerah pantai yang landai biasanya tumbuh
pemukiman yang mata pencaharian penduduknya di
bidang perikanan, perkebunan kelapa dan perdagangan.
Bila berkembang, tempat tinggal meluas dengan cara
menyambung yang lama dengan menyusur pantai
sampai bertemu dengan desa pantai lainnya. Pusat
kegiatan biasanya dipertahankan di dekat tempat tinggal
penduduk yang mula-mula.
2. Bentuk desa yang terpusat
Biasanya terdapat di daerah pegunungan. Pada
umumnya penduduknya terdiri atas mereka yang
seketurunan, hal mana pemusatan tempat tinggal
tersebut didorong oleh kegotongroyongan. Pemekaran
desa biasanya mengarah ke segala jurusan, tanpa adanya
rencana. Pusat kegiatan penduduk dapat bergeser
mengikuti pemekaran.
3. Bentuk desa linier di dataran rendah
Pemukiman penduduk di dataran rendah umumnya
memanjang sejajar dengan rentangan jalan raya yang
menembus desa yang bersangkutan. Bila mekar secara

13
wajar/tanpa direncanakan, tanah pertanian di luar desa
sepanjang jalan raya menjadi pemukiman baru. Ada
kalanya pemekaran ke arah pedalaman sebelah
menyebelah jalan raya, hal ini harus dibuat jalan baru
mengelilingi desa semacam ring road agar kawasan
pemukiman baru tidak terpencil.

4. Bentuk desa yang mengelilingi fasilitas tertentu


Ini juga terdapat di dataran rendah. Fasilitas: mata
air, waduk, lapangan terbang dsb. Arah pemekaran
dapat ke segala jurusan, sedangkan fasilitas dapat
disebarkan sesuai dengan keinginan.

14
Enam pola desa menurut Bintarto

1. Berbentuk radial, contohnya pemukiman di sekitar G.


Slamet yang bentuknya radial terhadap G.Slamet dan
memanjang sepanjang sungai di lereng G. Slamet.

2. Tersebar atau scattered contohnya terdapat di daerah


karst G. Kidul-Yogyakarta yang merupakan nucleus
yang berdiri sendiri.

3. Memanjang pantai, merupakan susunan desa nelayan


yang berbentuk memanjang sepanjang pantai. Begitu
juga dengan yang sejajar dengan jalan rel kereta api,
desa itu memanjang sesuai dengan rel kereta api.

4. Memanjang jalan dan memanjang sungai, biasanya


terdapat di daerah plain yang susunan desanya
mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contoh pola

15
seperti ini terdapat di daerah Bantul-Yogyakarta yang
merupakan line village atau pola desa yang memanjang.

Pengertian Kota

1. Sjoberg, titik awal gejala kota adalah timbulnya


golongan literati (golongan intelegensia kuno seperti
pujangga, sastrawan dan ahli-ahli keagamaan), atau
berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan
nonagraris, sehingga muncul pembagian kerja tertentu.
Selanjutnya pembagian kerja ini merupakan ciri kota.

2. Wirth, kota: sebagai pemukiman yang relatif besar,


padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang
heterogen kedudukan sosialnya akibatnya hubungan
sosial menjadi longgar, acuh dan tidak pribadi
(impersonal relation).

3. Bintarto, kota: suatu sistem jaringan kehidupan manusia


yang ditandai dengan strata sosial ekonomi yang
heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat
pula diartikan sebagi benteng budaya yang ditimbulkan
oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-
gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan

16
corak kehidupan yang bersifat heterogen dan
materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.

Perkembangan kota menurut Lewis Mumford:


1. Eopolis (kota yang baru berdiri), menempati pusat
daerah pertanian dengan adat istiadat masih bercorak
kedesaan dan sederhana.
2. Polis (kota), yaitu kota yang merupakan pusat hidup
keagamaan dan pemerintahan. Di dalamnya terdapat
tempat khusus peribadatan dan pasar yang bertalian
erat dengan kegiatan berbagai industri kecil.
3. Metropolis (kota besar; metro=induk), di sini merupakan
tempat bertemunya orang dari berbagai bangsa untuk
berdagang dan dengan sendirinya bertemu pula budaya
dari masing-masing bangsa. Juga tak terelakkan
terjadinya perkawinan campuran antar bangsa dan ras
yang memungkinkan munculnya asimilasi. Secara fisik,
di sini pula menampilkan kehidupan yang kontras
antara golongan kaya dan miskin.
4. Megalopolis (megalo=besar; kota yang sudah
menunjukkan keruntuhan), merupakan suatu
peningkatan dari sebelumnya (metropolis) dengan ciri-
ciri munculnya gejala sosiopatologis yang merajalela di
mana pada satu pihat terdapat kekuasaan dan kekayaan
dengan birokrasi yang amat menonjol, sedangkan di
pihak lain meluasnya kemiskinan yang berusaha untuk
memberontak.

17
5. Tyrannopolis (tyran=penguasa kejam; penguasa kota
menguasai pedalaman dengan perusahaan-perusahaan
raksasa), merupakan kota besar yang dilanda oleh
kepincangan yang berupa degenerasi dan korupsi.
Moral pendudknya merosot yang disebabkan oleh
adanya relasi yang erat antara politik, ekonomi dan
kriminalitas.
6. Nekropolis (Nekro=mayat; kota runtuh), di sini
peradaban kota runtuh, menjadi bangkai.

18
Stadia perkembangan kota menurut Griffith Taylor

1. Stadia infantile: kriteria kota di mana belum ada batas


pemisah secara tegas antara wilayah peruntukan yang
satu dengan wilayah peruntukan yang lain, seperti
daerah perdagangan dengan daerah lainnya. Toko-toko
masih menyatu dengan rumah tinggal yang bagian
mukanya merupakan arena bermain anak-anak sehingga
memacetkan arus lalu lintas jalan yang ada di depannya.
2. Stadia juvenile: di sini sudah nampak adanya pemisah
antara daerah pertokoan dengan daerah perumahan di
mana rumah-rumah tua mulai terdesak oleh kelompok
perumahan baru.
3. Stadia mature: di sini perkembangan kota sudah
mengikuti rencana tata ruang kota, seperti daerah
industri, perdagangan, perumahan, perkantoran dsb.
Sudah menempati daerah yang sesuai dengan yang
direncanakan.
4. Stadia senile: merupakan stadia yang dapat dikatakan
sebagai stadia kemunduran kota karena nampak adanya
kemunduran dalam pemeliharaannya yang disebabkan
oleh kondisi ekonomi, politik dan sebab-sebab lainnya.

19
Urbanisasi

Pengertian urbanisasi:
1. proses pengkotaan, yakni proses pengembangan kota
atau mengkotanya suatu daerah (desa) Berkaitan
dengan aspek modernisasi
2. perpindahan atau penggeseran penduduk dari desa ke
kota (urbanwad migration) berkaitan dengan aspek
pemukiman

Urbanisasi menurut pengertian yang kedua disebabkan


oleh:
1. Faktor pendorong (push-factors):
a. adanya pertumbuhan penduduk pedesaan yang cepat
(over population)
b. angka pengangguran meningkat disebabkan
terbatasnya lapangan pekerjaan
c. meningkatnya sarana dan prasarana transportasi
penghubung desa-kota

20
d. cepat dan transparannya arus informasi tentang kota
ke desa, membuat tergiurnya penduduk desa terutama
remaja untuk datang ke kota
e. status pendidikan masyarakat muda desa merasa tidak
ada relevansi dengan lapangan pekerjaan di desa.
2. Faktor penarik (pull-factors):
a. di kota terdapat aneka lapangan pekerjaan
b. daya tampung tenaga kerja non-agraris lebih besar di
kota daripada di desa
c. adanya kecenderungan kurangnya tenaga kerja kasar
di perkotaan
d. di kota sebagai pusat modernisasi terdapat peluang
yang besar untuk meningkatkan karier, pendidikan
dan keterampilan khusus
e. kota merupakan pusat akumulasi dan peredaran
modal.

21
Konsekuensi dari urbanisasi

1. Yang dialami masyarakat desa:


a. kekurangan tenaga kerja, terutama dalam bidang
agraris tradisional
b. terjadinya “braindrain” akibat tidak tersedianya
lapangan pekerjaan yang sesuai di pedesaan
c. kurangnya tenaga kerja menyebabkan biaya usaha
bidang agraris meningkat dan stabilitas harga bahan
pokok terutama beras terganggu, akibatnya para
petani dewasa/tua beralih bekerja pada bidang non-
pertanian di kota. Akibat lebih jauh, program
pembangunan daerah pedesaan mengalami berbagai
kendala.

2. Yang dialami masyarakat kota:


a. meningkatnya angka pengangguran karena
terbatasnya kemampuan dan keterampilan pendatang
dari desa, kalaupun bekerja hanya sebagai buruh kasar
b. dampak dari point a menimbulkan masalah sosial;
kejahatan, dan perilaku asosial lainnya

22
c. bertambahnya perumahan kumuh dengan segala
masalahnya.
d. munculnya masalah yang berhubungan dengan
pertanahan di perkotaan, seperti penyerobotan, harga,
pengungsian, dan sengketa tanah baik antara individu
dengan individu maupan antara individu dengan
pemerintah

Indikator penanggulangan dampak buruk urbanisasi

1. desentralisasi pusat-pusat kegiatan pembangunan ke


daerah pedesaan setidaknya daerah hinterland.

2. Usaha pertanian di pedesaan perlu dilanjutkan dengan


usaha agro-industri atau agrobisnis

3. Perlunya program listrik masuk desa yang dibarengi


dengan peningkatan keterampilan dan bantuan modal
usaha guna meningkatkan volume kerja dan
produktivitas kerja bagi masyarakat desa.

4. Transmigrasi, merupakan program paling efektif bagi


keseluruhan kehidupan bangsa Indonesia.

23
Teori Lingkaran Konsentris dari Ernest W. Burgess:
1. Daerah pusat kegiatan (central business districts),
terdapat di pusat kota yang ditandai dengan gedung-
gedung tinggi sepanjang jalur jalan yang terdiri dari
toko-toko, perkantoran, hotel-hotel dan lain-lain.
Daerah ini tidak cocok untuk pemukiman karena terlalu
hiruk pikuknya aktivitas manusia, sehingga tidak bisa
beristirahat dengan tenang. Namun demikian, pada
celah-celah gedung bertingkat akan nampak pemukiman
darurat yang antagonis dengan sekelilingnya yang
merupakan pemukiman penduduk yang berhubungan
dengan kegiatan di kota tersebut, seperti pedagang
keliling, PKL, buruh dan lain-lain. Wilayah ini ditandai
pula dengan masalah sampah dan pencemaran udara
akibat "bottle neck".
2. Daerah transisi, di sini terdapat slum yang merupakan
tempat tinggal golongan migran dan kelompok
minoritas. Dilihat dari segi tata bangunan, nampak
ketidakteraturan. Lingkungannya juga tidak sehat
karena daerah ini seringkali dijadikan tempat
penumpukan sampah dari zone bisnis, dan banyak
terjadi kejahatan yang merupakan invasi dari daerah
pusat perdagangan.
3. Daerah pemukiman pekerja, daerahnya relatif lebih baik
dibandingkan dengan zone dua walaupun belum

24
memadai untuk tempat tinggal golongan menengah.
Daerah ini merupakan tempat pemukiman pegawai
rendahan sampai tingkat menengah yang
penghasilannya lumayan sehingga mereka bisa hidup
lebih baik.
4. Daerah pemukiman kelas menengah, zone ke empat ini
merupakan tempat tinggal golongan menengah yang
merupakan kelompok profesional, pengusaha kecil, dan
pegawai tingkat menengah lainnya. Ciri khas zone ini,
yaitu karena daerahnya merupakan penghubung antara
zone lima dengan pusat kota, maka seringkali kurang
aman dan sering terjadi kemacetan lalu lintas yang
disebabkan oleh hilir mudiknya kendaraan pribadi para
penglaju yang tinggal di zone lima yang bekerja di
pusat kota (zone satu).
5. Daerah pemukiman penglaju (the commuters), daerah
ini merupakan tempat pemukiman mewah dengan
sarana yang serba luks, namun pada siang hari
perumahan ini nampak kosong karena ditinggal
penghuninya yang bekerja pada zone satu. Ada
beberapa masalah yang seringkali muncul di daerah ini,
yaitu masalah tanah di mana golongan yang kuat modal
akan menguasia tanah-tanah ini yang menyebabkan
golongan lemah akan terlempar ke pinggiran kota yang
kadang-kadang belum disiapkan untuk dijadikan daerah
pemukiman.

25
Teori sektor dari Hoyt
- Proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan pada sektor-
sektor dari pada sistem gelang
- pengelompokan tata guna tanah menjulur seperti irisan
kue taart.
- terjadilah perbedaan kawasan kota berdasarkan jenis
peruntukan gedung maupun kelompok penduduk tanpa
keterangan latar belakang kejadiannya
- munculnya perumahan-perumahan elite akan
mendorong mahalnya harga tanah yang berlokasi di
setiap tepi perumahan elite tersebut.
- pemekaran kota akan mengikuti pola irisan kue yang
oleh Hoyt disebut dengan istilah sektor

Temuan Hoyt dari teori sektornya:


1. Mengenai pajak tanah dan bangunan. Besarnya pajak
tanah dan bangunan berbeda-beda berdasarkan sektor-
sektor kota.
2. Makin ke dalam kota dalam sektor yang sama, bangunan
gedung atau rumah makin kuno.
3. Makin ke pusat kota, fungsi industri makin berkurang
atau makin mengalami perubahan. Namun sebaliknya,

26
perindustrian makin berkembang pesat di pinggiran kota
yang lebar sektornya memang lebih besar.

Teori inti ganda dari Harris dan Ullman


Pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat menjadi
ruwet bentuknya yang disebabkan oleh munculnya pusat-
pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi
menjadi kutub pertumbuhan. Di sekeliling kelompok-
kelompok kecil yang baru itu akan mengelompok pula tata
guna tanah yang bersambungan secara fungsional, yang
pada akhirnya akan melahirkan struktur kota yang
memiliki sel-sel pertumbuhan. Misalnya ada kompleks
industri, kampus, pusat pertokoan dan lain sebagainya
merupakan kelompok kecil (nucleus) yang memiliki sel
pertumbuhan.

27

Anda mungkin juga menyukai