Anda di halaman 1dari 18

Struktur Keruangan Serta Perkembangan Desa dan Kota

Pengertian Desa

Sebelum membahas tentang karakteristik desa dan kota, marilah kita pahami dulu pengertian
desa dan kota. Untuk membuat batasan yang tepat dan bersifat umum mengenai desa atau
kota tidaklah mudah. Banyak aspek yang dapat dimunculkan untuk memberikan batasan
tentang apa yang disebut desa dan kota. Desa dan kota sama-sama merupakan tempat tinggal
penduduk dengan segala aktivitasnya. Desa dan kota bukan merupakan dua hal yang lahir
secara terpisah, dapat dikatakan bahwa kota merupakan perkembangan lanjut dari desa.

Bintarto (1983:11-12) memberi batasan pengertian desa sebagai suatu hasil perpaduan antara
kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil perpaduan itu ialah suatu ujud
atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,
ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur-unsur tersebut dan juga
dalam hubungannya dengan daerah lain. Dalam arti umum desa merupakan unit pemusatan
penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota.

Roucek dan Waren mengemukakan ciri-ciri pedesaan sebagai berikut:

1. Masyarakat desa bersifat homogen, dalam hal mata pencaharian, nilai-nilai dalam
kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku;
2. Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi.
3. Faktor geografis besar pengaruhnya terhadap kehidupan;
4. Hubungan antara sesama anggota masyarakat lebih intim/akrab dari
pada di kota.

Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dikatakan  bahwa desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan desa adalah
suatu daerah tempat tinggal penduduk yang jauh dari kota, adanya homogenitas pada
penduduk desa, baik dalam hal mata pencaharian yaitu mayoritas agraris, nilai kebudayaan
maupun tingkah laku, hubunganantar penduduk yang akrab.

Masih banyak yang menggunakan istilah setempat, untuk menyebutkan desa misalnya; hutan,
kampung, marga, nagari dll. Pada umumnya desa digambarkan sebagai daerah dengan tingkat
pendidikan dan teknologi yang belum berkembang, wilayahnya tidak luas, corak
penghidupan agraris dengan kehidupan yang sederhana. Jumlah dan kepadatan penduduk
tidak besar, jaringan jalan belum padat, sarana transportasi masih terbatas. Wilayah yang ada
biasanya digunakan untuk permukiman, pekarangan dan lahan pertanian.
Pengertian Kota

Bintarto (1983:36) menyebutkan bahwa kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan
kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dan diwarnai
dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Hal menonjol
yang membedakan desa dengan kota adalah desa merupakan masyarakat agraris, sedang kota
nonagraris;

Wirth, kota adalah suatu permukiman yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh
orang-orang yang heterogen kehidupan sosialnya;

Max Weber, kota adalah sustu daerah tempat tinggal yang penghuni setempat dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.

P.J.M.Nas, kota dapat dilihat dari berbagai segi:

1. Dari segi morfologi kota, adanya cara membangun dan bentuk fisik bangunan yang
berjejal-jejal;
2. Dari segi ekonomi, merupakan daerah bukan agraris. Fungsi kota yang khas adalah
kegiatan budaya, industri, perdagangan dan niaga, serta kegiatan pemerintahan;
3. Dari segi sosial, bersifat kosmopolitan, hubungan sosial impersonal, sepintas lalu,
terkotak-kotak.

Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 4 Tahun 1980 menyebutkan pengertian kota ke
dalam dua kategori, yaitu kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif
sebagaimana diatur dalam perundangundangan dan kota sebagai suatu lingkungan kehidupan
perkotaan yang mempunyai ciri nonagraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan,
serta berfungsi sebagai pertumbuhan dan permukiman.

Apabila kita cermati dari pengertian kota tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
kota adalah sebuah pusat kegiatan manusia di luar kegiatan pertanian. Misalnya, industri,
pelayanan dan jasa, perdagangan, hiburan, dan rekreasi. Lengkapnya berbagai fasilitas
penunjang tersebut membuat kota sebagai pusat perhatian dan dalam aktifitasnya sehari-hari
kota terlihat sangat sibuk.

Karakteristik Desa-Kota

Karakteristik desa adalah sesuatu yang melekat pada unsur-unsur desa yang merupakan ciri
khusus yang membedakannya dengan daerah kota. Karakteristik desa dapat dipandang dari
berbagai aspek kehidupan masyarakat serta dari aspek fisiknya.

Menurut Direktorat Jendral Pembangunan Desa, suatu wilayah disebut desa apabila memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:

1. Perbandingan lahan dengan manusia (man land ratio) cukup besar;


2. Lapangan kerja yang dominan adalah agraris;
3. Hubungan kekerabatan kuat;
4. Sifat-sifat masyarakatnya masih memegang teguh pada tradisi yang berlaku;
5. Gotong royong kuat;
6. Hubungan antar warga akrab.
Karakteristik kota:

1. Terdapatnya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan, super market, pusat perdagangan;
2. Terdapatnya pusat-pusat kegiatan, sehingga banyak tempat parkir;
3. Tempat rekreasi dan olah raga
4. Pelapisan sosial ekonomi yang tajam;
5. Sifat individualistik;
6. Adanya heterogenitas kehidupan;
7. Hubungan bersifat kepentingan;
8. Adanya segregasi keruangan, sehingga dapat menimbulkan pengelompokan.

Klasifikasi Kota

Berdasarkan jumlah penduduknya, di Indonesia kota dapat dibedakan menjadi:

No. Jenis Kota Jumlah Penduduk


1 Kota Kecil 20.000 – 100.000
2 Kota Sedang 100.000 – 500.000
3 Kota Besar 500.000 – 1.000.000
4 Kota Metropolitan 1.000.000 – 5.000.000

5 Kota Megapolitan Lebih dari 5.000.000

Klasifikasi kota berdasarkan fungsi dibedakan menjadi:

1. Kota pusat perdagangan, baik perdagangan domestik maupun internasional, contoh kota
Singapura, Hongkong, Jakarta;
2. Kota pusat kebudayaan, misal kota Yogyakarta, Surakarta;
3. Kota pusat perkebunan, misalnya Bogor, Tangjung Balai, Pematang Siantar;
4. Kota pusat pemerintahan, contoh Jakarta, Kuala Lumpur, Manila;
5. Kota pusat pertambangan, misal Timika, Tembagapura, Soroako.

Perbedaan kualitatif dan kuantitatif anatara desa dan kota yang tersaji dalam bentuk tabel.

Unsur pembeda Desa Kota


Mata pencaharian Agraris, homogen Non agraris, heterogen
Ruang kerja Lapangan terbuka Ruang tertutup
Musim, cuaca Penting, menentukan Tidak penting
Kepadatan penduduk Tidak Padat Padat
Stratifikasi social Sederhana, sedikit Kompleks dan banyak
Sifat kelompok Gameinschaft Gesellschaft
Mobilitas penduduk Rendah Tinggi
Status sosial Stabil Tidak Stabil

Sumber: Bintarto (dalam Khaerudin,1992:21)

Struktur Keruangan
Pola Permukiman Perdesaan

Pola persebaran dan pemusatan penduduk desa dapat dipengaruhi oleh keadaan tanah, tata
air, topografi dan ketersediaan sumberdaya alam yang terdapat di desa yang bersangkutan.
Pola persebaran permukiman desa dalam hubungan-nya dengan bentang alamnya, dapat
dibedakan atas:

1. Pola terpusat; Bentuk permukiman terpusat merupakan bentuk permukiman yang


mengelompok (aglomerated, compact rural settlement). Pola seperti ini banyak dijumpai
didaerah yang memiliki tanah subur, daerah dengan relief sama, misalnya dataran rendah
yang menjadi sasaran penduduk bertempat tinggal. Banyak pula dijumpai di daerah
dengan permukaan air tanah yang dalam, sehingga ketersediaan sumber air juga
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap bentuk pola permukiman ini. Demikian pula
di daerah yang keamanan belum terjamin, penduduk akan lebih senang hidup bergerombol
atau mengelompok.
2. Pola tersebar atau terpencar (fragmented rural settlement type); Bentuk permukiman
tersebar, merupakan bentuk permukiman yang terpencar, menyebar di daerah pertaniannya
(farm stead), merupakan rumah petani yang terpisah tetapi lengkap dengan fasilitas
pertanian seperti gudang mesin pertanian, penggilingan, kandang ternak,penyimpanan
hasil panen dan sebagainya. Bentuk ini jarang ditemui di Indonesia, umumnya terdapat di
negara yang pertaniannya sudah maju. Namun demikian, di daerah-daerah dengan kondisi
geografis tertentu, bentuk ini dapat dijumpai, misalnya daerah banjir yang memisahkan
permukiman satu sama lain, daerah dengan topografi kasar, sehingga rumah penduduk
tersebar, serta daerah yang kondisi air tanah dangkal sehingga memungkinkan rumah
penduduk dapat didirikan secara bebas.
3. Pola memanjang atau linier (line village community type); Pola memanjang memiliki
ciri permukiman berupa deretan memanjang di kiri kanan jalan atau sungai yang
digunakan untuk jalur transportasi, atau mengikuti garis pantai. Bentuk permukiman
seperti ini dapat dijumpai di dataran rendah. Pola atau bentuk ini terbentuk karena
penduduk bermaksud mendekati prasarana transportasi, atau untuk mendekati lokasi
tempat bekerja seperti nelayan di sepanjang pinggiran pantai.
4. Pola mengelilingi pusat fasilitas tertentu; Bentuk permukiman seperti ini umumnya
dapat ditemukan di daerah dataran rendah, yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas
umum yang dimanfaatkan penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
misalnya mata air, waduk dan fasilitas lainnya.

Pola Keruangan Kota

Kota merupakan pusat berbagai kegiatan, seperti kegiatan ekonomi, pemerintahan,


kebudayaan, pendidikan dansebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti ini umumnya dilakukan di
daerah inti kota (core of city), dan disebut Daerah Pusat Kegiatan (DPK), atau Central
Business Districts (CBD). DPK berkembang, terus meluas ke arah daerah di luarnya,
terbentuk daerah Selaput Inti Kota. Adanya berbagai kegiatan di pusat kota, akan
menimbulkan adanya pengelompokan (segregasi) dan penyebaran jenis-jenis kegiatan. Hal
ini dipengaruhi oleh bebrapa faktor, seperti:

Ketersediaan ruang dalam kota;


1. Jenis-jenis kebutuhan warga kota;
2. Tingkat teknologi yang ada;
3. Perencanaan pembangunan perkotaan;
4. Faktor geografis setempat.

Mengingat kota yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan, maka penataan ruangnya
harus melalui perencanaan yang cermat, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. Perencanaan penataan ruang perlu memper-hatikan aspek-aspek sebagai berikut:

1. Aspek sosial seperti,kependudukan, sosial budaya, pendidikan, agama, status sosial,


struktur sosial masyarakat;
2. Aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, produksi, perdagangan, pertambangan dll;
3. Aspek fisik seperti relief, tanah dll.

Ketiga aspek ini penting untuk penyusunan master plan dan detail plan kota. Penataan ruang
kota yang baik perlu didasarkan pada kondisi fisik, pemerintah kota sebagai pengatur
kebijakan, dan tingkat perekonomian serta kebutuhan penduduk terhadap fasilitas yang
dibutuhkan penduduk kota. Fasilitas-fasilitas yang harus ada dalam tata ruang kota meliputi,
antara lain:

1. Untuk perkantoran, permukiman, pendidikan, pasar, pertokoan, rumah sakit, tempat


hiburan;
2. Untuk jalur-jalur jalan, baik jalur jalan di dalam kota maupun yang menghubungkannya
dengan wilayah lain di sekitar kota;
3. Taman kota, alun-alun, tempat olah raga, taman bermain untuk rekreasi keluarga;
4. Areal parkir yang memadai.

Perkembangan Desa

Perkembangan desa berdasarkan potensinya, desa dapat dikelompokkan menjadi:

1. Desa dengan potensi tinggi, yaitu desa yang memilki lahan pertanian yang subur, topografi
datar atau agak miring, dilengkapi dengan fasilitas irigasi teknis. Oleh karena itu desa
seperti ini mempunyai kemampuan besar untuk berkembang lebih lanjut;
2. Desa dengan potensi sedang, yaitu desa yang memiliki lahan pertanian agak subur, irigasi
sebagian teknis, sebagian non teknis, topografi tidak rata. Hal ini mengakibatkan
perkembangan desa yang lambat;
3. Desa dengan potensi yang rendah, memiliki lahan pertanian yang tidak subur, topografi
berbukit, sumber air sulit diperoleh, pertanian tergantung pada curah hujan. Hal ini
merupakan penghambat, sehingga desa sulit berkembang.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi maju mundurnya desa atau perkembangan desa,
antara lain:

1. Potensi desa yang mencakup potensi alami dan non alami;


2. Interaksi desa dengan kota;
3. Lokasi desa terhadap daerah sekitarnya yang lebih maju.

Unsur-Unsur desa Sebagai daerah otonom desa memiliki beberapa unsur pembentuknya,
yaitu:
1. Daerah, terdiri atas tanah-tanah yang produktif dannon produktif serta penggunaannya,
lokasi, luas, batas yang merupakan lingkungan geografis setempat. Wilayah desa
umumnya digunakan untuk permukiman, pekarangan dan lahan pertanian;
2. Penduduk meliputi jumlah,pertumbuhan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian;
3. Tata kehidupan, meliputi organisasi pemerintahan, organisasi sosial, adat istiadat, dan
seluk beluk kemasyarakatan yang terkait dengan desa tersebut.

Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan hidup (living unit) yang tidak lepas satu sama
lain. Daerah menyediakan kemungkinan hidup. Penduduk dapat menggunakannya untuk
mempertahankan hidup.Sedang tata kehidupan, akan memberi jaminan ketenteraman dan
keserasian hidup bersama di desa.

Setiap desa mempunyai terbentuk oleh unsur-unsur desa, unsur desa inilah yang selanjutnya
akan menentukan potensi desa yang bersangkutan.Perkembangan suatu desa akan
dipengaruhi baik oleh unsur maupun potensi desa. Berdasarkan perkembangannya, desa dapat
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:

1. Desa tradisional, atau pra desa yaitu tipe desa pada masyarakat terasing yang seluruh
kehidupannya tergantung pada alamsekitarnya. Ketergantungan itu misalnya dalam hal
cara bercocok tanam, cara membuat rumah, pengolahanmakanan dan lain-lainnya. Pada
desa semacam ini penduduk cenderung tertutup, atau kurang komunikasi dengan pihak
luar. Sistem perhubungan dan komunikasi tidak berkembang. Contoh: Desa pada Suku
Baduy.
2. Desaswadaya. merupakan tipe desa dengan ciri-ciri: (1) penduduk-nya jarang, masih
terikat pada adat istiadat; (2) lembaga sosialyang ada masih sederhana; (3) tingkat
pendidikan masyarakatnya rendah, produktivitas tanah rendah; (4) kegiatan penduduk
dipengaruhi oleh keadaan alam; (5) topografi berupa pegunungan atau perbukitan; (6)
lokasi terpencil; (7) mayoritas penduduk sebagai petani; (8) kegiatan ekonomi masyarakat
bersifat subsisten; (9) masyarakt juga tertutup terhadap pihak luar, sehingga sistem
perhubungan dan transportasi kurang berkembang.
3. Desa swakarya adalah desa yang sudah lebih berkembang maju, dengan ciri-ciri: (1) adat
istiadat mengalami perubahan, pengaruh dari luar mulai masuk sehingga masyarakatnya
mengalami perubahan caraberpikir; (2) mata pencaharian mengalami diversivikasi; (3)
lapangan kerja bertambah sehingga produktivitas meningkat; (3) gotong royong lebih
efektif; (4) pemerintah desa berkembang baik; (5) masyarakat desa mampu
meningkatkankehidupannya dengan hasil kerjanya sendiri; (6) bantuan pemerintah hanya
sebagai stimulan saja.
4. Desa swasembada adalah desa yang telah maju, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)
Ikatan adat istiadat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi sudah tidak berpengaruh
terhadap masyarakat; (2) Lokasi desa swasembada biasanya dekat dengan kota kecamatan,
kota kabupaten, kota provinsi, yang tidak masuk wilayah kelurahan; (3) semua keperluan
hidup pokok dapat disediakandesa sendiri; (4) alat teknis yang digunakan untuk memenuhi
keperluan hidup lebih modern; (5) lembaga sosial ekonomi dan budaya sudah dapat
menjaga kelangsungan hidup penduduknya; (6) mata pencaharian penduduk beragam,
perdagangan dan jasa sudah berkembang; (7) pendidikan dan keterampilan penduduk
sudah tinggi; (8) hubungan dengan daerah sekitarnya berjalan lancar; (9) kesadaran
penduduk mengenai kesehatan tinggi; (10) gotong royong masyarakat tinggi.

Teori-teori Perkembangan Kota


Lewis Mumford dalam Rahardjo (1982:1) mengklasifikasi kota berdasarkan tingkat
perkembangannya sebagai berikut:

1. Tahap neopolis, yaitu suatu wilayah yang berkembang dan sudah diatur ke kehidupan
kota;
2. Tahap polis, kota yang masih memiliki ciri kehidupan agraris,sebagai pusat keagamaan
dan pemerintahan;
3. Tahap metropolis, yaitu kota besar, kota induk yang perekonomiannya sudah mengarah ke
sektor industri;
4. Tahap megalopolis, wilayah perkotaan yang terdiri atas beberapa kota metropolis yang
berdekatan lokasinya sehingga membentuk jalur perkotaan yang sangat besar dan telah
mencapai tingkat tertinggi;
5. Tahap tiranopolis, kota yang sudah mengalami kemerosotan moral dan akhlak
manusianya, diliputi oleh kerawanan sosial dan sulit dikendalikan, misalnya angka
kriminalitas yang tinggi, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan;
6. Tahap nekropolis, kota yang kehidupannya mulai sepi, menuju kearah keruntuhan, bahkan
berkembang menjadi kota mati, kota yang sudah mengalami kehancuran peradabannya.

Santos merumuskan generasi kota berdasarkan empat periode dalam sejarah, yaitu sebagai
berikut:

1. Periode sebelum perdagangan dunia (sebelum abad ke-16).


2. Periode perdagangan dunia (sejak abad ke-16).
3. Masa revolusi industri dan pengangkutan (sejak tahun 1850).
4. Perode masa kini (setelah tahun 1945).

Teori Struktur Kota

Tori dasar analisis regional

Tori dasar analisis regional didasarkan atas pendekatan lokasi. Pola penyebaran penggunaan
lahan perkotaan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk kota yang memungkinkan.
Salim menyebutkan bahwa dalam mengungkapkan pola pembangunan kota terdapat lima
faktor yang berperan, yaitu penduduk, pertumbuhan industri, jasa, pendapatan dan simpul-
simpul aksesibilitas terhadap aktivitas ekonomi kota. Pada dasarnya kelima komponen ini
merupakan komponen sosial-ekonomi. Kota dapat ditinjau sebagai pola ruang terhadap aspek
kesempatan aktivitas sosial dan ekonomi. Pengukuran kesempatan akses diturunkan melalui
teori dasar gaya tarik menarik (gravitasi) dalam hukum fisika.

Modifikasi dari teori tarik menarik ini dilakukan terutama untuk memberikan gambaran
kondisi sosial terutama aspek kependudukan. Nilai potensi kesempatan aksesibilitas lokasi
terhadap aspek yang ditinjau dapat diformulasikan menjadi:

Teori Konsentris
Teori konsentris dikemukakan oleh Ernest W. Burgess. Menurut Burgess, di kota Chicago
terdapat lima buah lingkaran yang konsentris. Lingkaran-lingkaran tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Daerah pusat perdagangan, terletak di pusat kota di mana ada pertokoan, perkantoran,
perhotelan, bioskop, dan gedung-gedung bertingkat.
2. Lingkaran transisi yang melingkari daerah pusat perdagangan. Di sini terdapat slum atau
tempat tinggal golongan migran, kelompokkelompok minoritas. Lingkungannya tidak
sehat dan terjadi banyak kejahatan. Keadaan yang buruk dalam lingkaran transisi ini tidak
disebabkan oleh penghuninya, melainkan oleh invasi dari daerah pusat perdagangan.
3. Lingkaran perumahan kaum buruh adalah lingkaran konsentris yang ketiga. Di sinilah
merupakan daerah pemukiman bagi penduduk yang kurang mampu yang kebanyakan
pindah dari lingkaran transisi.
4. Lingkaran perumahan yang lebih baik, di luar daerah pemukiman kaum buruh. Ini terdiri
atas rumah-rumah yang agak lebih baik untuk golongan menengah seperti pegawai,
pengusaha, dan seterusnya. Tingkat kehidupan di sini lebih tinggi dibandingkan daerah
perumahan kaum buruh. Di sini juga terdapat pusat pertokoan, gedung-gedung bioskop,
dan seterusnya dan juga makin banyak gedung perumahan rumah susun (flat).
5. Lingkaran perumahan mereka yang pulang pergi bekerja di kota (commuter). Daerah ini
merupakan wilayah lingkaran yang paling luar dan memiliki dua sifat. Bagian dalam
berbatasan dengan daerah orang-orang yang perumahannya lebih baik sedangkan bagian
luar tidak tertentu bentuknya. Ada kota-kota kecil yang hanya untuk tidur, ada kota-kota
satelit, dan juga desa-desa kecil.

Pada awalnya Burgess menganggap bahwa teori ini bisa berlaku untuk semua kota.
Kemudian, Burgess berpendapat teori ini hanya bisa diterapkan di kota-kota modern di
Amerika, walaupun terbuka kemungkinan untuk bisa diterapkan di kota lain. Hal yang sejak
awal menjadi perhatian dalam pengembangan teorinya adalah faktor topografi dan jalan-jalan
transportasi sehingga dianggap merupakan dua faktor yang mengganggu pola kota ideal ini.
Contohnya, Kota Chicago terletak di pantai danau Michigan sehingga polanya terbelah dua.

Teori Sektor

Teori sektor oleh Hommer Hoyt menyatakan bahwa struktur kota bukan merupakan
lingkaran-lingkaran konsentris, melainkan berupa sektor-sektor terpisah dari dalam ke luar.
Hoyt bertitik tolak dari anggapan bahwa industri mengambil peranan yang lebih penting dan
cenderung meluas di sepanjang jalan keluar dari pusat.

Teori Inti Ganda

Teori inti ganda dikemukakan oleh Harris and Ullman yang menegaskan bahwa sesunguhnya
kota seringkali mempunyai beberapa inti dan sering pula terletak di dekat pusat-pusat
kegiatan lain.

Pengembangan dari ketiga teori tersebut menghasilkan keterpaduan pola ruang Kota Chicago.
Berry and Rees telah menyusun sebuah pola ruang mengenai kota metropolitan Chicago yang
terpadu dan menunjukkan penerapan dari ketiga teori yang telah disebutkan.

Pola dan faktor-faktor interaksi desa dan kota


Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga
menghasilkan efek bagi kedua belah pihak. Hubungannya dengan desa dan kota, interaksi
kedua tempat ini dipengaruhi oleh munculnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan
dari kedua tempat.

Pola interaksinya tidak hanya terbatas pada faktor ekonomi saja tetapi lebih dari itu pola
interaksinya berlangsung dalam seluruh aspek kehidupan. Selain itu, interaksi ini akan
memunculkan gerakan penduduk dari kedua tempat sebagai bentuk nyatanya. Pola
pergerakan penduduk dari desa ke kota atau sebaliknya dapat dengan mudah dipelajari
melalui pendekatan keilmuan geogafi. Karena pada dasarnya, pergerakan manusia tidak akan
pernah luas dari aspek keruangan yang di dalamnya terkandung berbagai unsur baik unsur
fisik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Peristiwa yang Mempengaruhi Interaksi

Sehubungan dengan adanya pola hubungan ini, Ullman mengemukakan sedikitnya ada tiga
peristiwa yang mempengaruhi munculnya interaksi antar dua wilayah, yaitu sebagai berikut.

Adanya Wilayah yang Saling Melengkapi

Adanya wilayah yang saling melengkapi dimungkinkan karena ketersediaan dan persebaran
sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia tidak merata di semua
tempat. Adakalanya di satu tempat terdapat sumber daya yang melimpah, sedangkan di
tempat lain kekurangan sumber daya.

Munculnya keadaan yang seperti ini memaksa kedua tempat untuk melakukan interaksi bagi
terpenuhinya kebutuhan yang tidak bisa hanya dipenuhi dari satu tempat. Contohnya,
Karawang sebagai salah satu pusat lumbung padi Jawa Barat dan Bekasi sebagai pusat
industri. Kedua tempat ini melakukan interaksi secara simultan bahkan mungkin saja bukan
hanya di antara kedua tempat tersebut tetapi sudah meluas interaksi nya ke daerah lain.

Munculnya Kesempatan untuk Berintervensi

Munculnya kesempatan untuk berintervensi dimungkinkan karena terdapat wilayah antara di


antara dua wilayah yang akan saling berinteraksi. Akibatnya, akan muncul persaingan di
antara dua wilayah.

Kemudahan Pemindahan dalam Ruang

Pada umumnya, pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan oleh suatu tempat akan memilih
tempat-tempat yang memiliki berbagai kemudahan dalam pemenuhanannya. Salah satu faktor
pertimbangannya adalah jarak dan biaya pengangkutan.

Semakin mudah pengangkutannya dan jarak yang ditempuh, semakin dekat akan memperkuat
interaksi dua wilayah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa interaksi dua wilayah
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hukum gravitasi (gaya tarik menarik) dari ilmuwan fisika
Sir Issac Newton dapat dengan mudah di aplikasikan untuk meneliti seberapa kuat interaksi
dua wilayah. Melalui pendekatan geografi, hukum fisika tersebut dimodifikasi oleh W.J.
Reilly yang pada dasarnya memiliki tujuan sama yaitu mengukur kekuatan interaksi dua
wilayah.
Reilly mengemukakan bahwa kekuatan interaksi dua atau lebih suatu wilayah dapat diukur
dengan memperhatikan jumlah penduduk dari setiap wilayah dan jarak mutlak di antara
kedua tempat tersebut. Secara matematis, Reilly menunjukannya dengan rumus sebagai
berikut

Keterangan:

Oleh karena itu, untuk menerapkan konsep interaksi wilayah dengan menggunakan
persamaan Reilly harus terlebih dulu dicermati ketiga faktor tersebut. Adakalanya sebuah
wilayah yang jaraknya jauh memiliki nilai interaksi yang tinggi karena letaknya di daerah
pedataran yang dihubungkan oleh jalan yang bagus dan kemudahan sarana transportasi
dibandingkan dengan wilayah di dekatnya yang berjarak pendek tetapi akses untuk menuju ke
wilayah tersebut agak sulit.

Selain teori yang dikemukakan oleh Reilly tersebut, terdapat teori lain untuk mengukur
besarnya kekuatan interaksi dua wilayah, yaitu The Breaking Point Theory (Teori Titik
Henti). Secara garis besar, teori ini merupakan hasil modifikasi dari teori terdahulu dari
Reilly.

Keterangan:

Teori ini memperkirakan garis batas sebuah lokasi yang memisahkan wilayah-wilayah
perdagangan yang berbeda ukurannya dan perkiraan penempatan sebuah lokasi industri atau
penempatan tempat-tempat pelayanan sosial antardua wilayah sehingga mudah dijangkau
oleh dua wilayah.

Zone Interaksi Desa dan Kota

Interaksi antara desa dan kota menimbulkan pengaruh tertentu. Pengaruhnya akan tergantung
pada jarak ke pusat kota. makin jauh dari pusat kota, interaksi semakin lemah. Wilayah
interaksi ini akan membentuk lingkaran-lingkaran, dimulai dari pusat kota sampai kewilayah
desa. Zonezone interaksi desa dan kota oleh Bintarto (1983:66) dijelaskan sebagai berikut:

1. City dimaksudkan sebagai pusat kota;


2. Suburban (sub daerah perkotaan), suatu wilayah yang lokasinya dekat pusat atau inti kota,
dihuni oleh para penglaju;
3. Suburban fringe (jalur tepi sub wilayah perkotaan), suatu wilayah yang
melingkari suburban dan merupakan wilayah peralihan antara kota dan desa.
4. Urban fringe (jalur tepi wilayah perkotaan paling luar) yaitu semua wilayah batas luar kota
yang mempunyai sifat-sifat mirip kota, kecuali inti kota;
5. Rural urban fringe (jalur batas desa dan kota), merupakan wilayah yang terletak antara
kota dan desa, yang ditandai dengan pola penggunaan lahan campuran antara sektor
pertanian dan non pertanian;
6. Rural (wilayah desa), wilayah yang masih menitik beratkan pada kegiatan
pertanian.

Zone suburban, suburban fringe, urban fringe dan rural urban fringe merupa-kan wilayah
yang memiliki suasana kehidupan modern, sehingga dapat disebut perkotaan jalur-jalur yang
digambarkan tersebut merupakan gambaran yang ideal. Dalam kenyataannya jalur-jalur zone
interaksidesa dan kota tidak
selalu konsentris.

Usaha pemerataan pembangunan di desa dan kota


Materi tentang pembangunan telah di bahas pada materi lalu. (Baca Materi 12.1) Juga sudah
dibahas strategi pembangunan dalam kerangka kewilayahan. Bahwa efek dari strategi pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi, dengan mengakumulasi pembangunan pada empat wilayah
pembangunan utama yakni: Medan, Jakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang, kemudian
membagi empat wilayah pembangunan utama menjadi 10 wilayah pembangunan, yang
kesemuanya merupakan kota-kota besar di Indonesia, berimbas pada belum meratanya hasil
pembangunan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Faktor yang menyebabkan belum meratanya pembangunan

Faktor lain yang menyebabkan pembangunan belum merata di Indonesia antara lain:

1. Wilayah Indonesia begitu luas membuat perkembangan ekonomi tak merata sehingga ada
kesenjangan di setiap daerah;
2. Indonesia terdiri dari kepulauan yang sangat banyak sehingga proses pembangunan
terhambat oleh terpisahnya pulau-pulau tersebut sehingga pembangunan menjadi lambat
dan tidak efektif;
3. ketimpangan pembangunan infrastruktur;
4. ketimpangan kualitas SDM;
5. ketimpangan sumber energi yang masih terpusat di Jawa dan Sumatera;
6. banyaknya sumber daya alam yang belum tereksploitasi di daerah;
7. Ketidakseimbangan pasokan sumberdaya alam dengan kebutuhan pembangunan.
Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah
kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward
looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari
pembangunan negara;
8. Ketidakseimbangan pasokan sumberdaya alam dengan kebutuhan pembangunan.
Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayahperbatasan adalah arah
kebijakan pembangunan kewilayahanyang selama ini cenderung berorientasi ’inward
looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari
pembangunan negara.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan desa

Lebih sempit pada permasalah pembangunan desa, pembangunan Desa umumnya berada
pada masalah sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya
pembanguna di Desa yaitu:

Masalah Sosial Budaya

1. Rendahnya tingkat pendidikan


2. Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan
3. Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan

Masalah ekonomi

1. Aktivitas pertanian rawan terhadap fluktuasi (instabilitas) harga


2. Kepemilikan lahan pertanian yang semakin sempit

Masalah Geografis

1. Tingkat kesuburan tanah yang berbeda disetiap wilayah.


2. Letak desa yang sulit untuk dijangkau.

Pembanguanan Desa

Pembangunan masyarakat desa mengandung makna pendekatan kemasyaraatan, partisipasi


masyrakat dan pengorganisasian dan pelasanaannya berorientasi pada inisiatif dan daya
kreasi masyarakat (Swalem,1997). Pembangunan desa mempunyai pengertian yang lebih luas
di dalamnya pengertian pembangunan masyarakat desa, di mana terintegrasinya berbagai
usaha pemerintah dan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat yang mencakup beberapa aspek (Amrullah, 1983).

Pengertian pembangunan desa juga dapat dilihat dari berbagai segi (Zein, 1983; Suwignyo,
1985; Sarmato, 1985; Arkanudin,1995), yaitu: (1) Pembangunan desa sebagai suatu “Proses”,
yaitu merupakan suatu perubahan dari cara hidup tradisional masyarakat pedesaan menuju
cara hidup yang lebih maju. Dalam pada ini pembangunan desa lebih di tekankan pada aspek
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik yang menyangkt segi-segi sosial,
ekonomi maupun psykologis; (2) Pembangunan desa sebagai suatu “Metode”, yaiyu
mengusahakan agar masyarakat berkemampuan dalam membangun diri mereka sendiri sesuai
dengan kemampuan dari sumber-sumber yang mereka miliki.

Jadi pembangunan desa di sini lebih ditekan pada cara-cara untuk mencapai atau
mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan; (3) Pembangunan desa sebagai suatu “ Program”,
yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, lahir dan bathin.
Pembangunan desa di sini lebih ditekankan kepada bidang kegiatan pemerintah dalam
pelayanan terhadap masyarakat, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, industri,
koperasi, keluaga berencana dan transmigrasi dan lain-lain; (4) Pembangunan desa sebagai
suatu “Gerakan”, yaitu yang tekanannya lebih diarahkan untuk menunjukkan masyarakat
secara terkoordinir dan terarah sesuai dengan cita-cita nasional kita, yaitu terwujudnya
“masyarakat Pancasila” yang kita inginkan bersama. Jadi penekanan pembangunan desa di
sini adalah dalam kerangka ideologis yang mendasar yang mengarahkan proses, metoda dan
program pembangunan desa.

Senada dengan itu, Islamy, (1992) juga menyatakan bahwa pembangunan desa pada
khakekatnya merupakan kegiatan terencana mengandung tiga unsur pokok, yakni metode,
proses dan tujuan. Metode pembangunan desa yang baik harus melibatkan seluruh anggota
masyarakat dan menyangkut kegiatan yang berkaitan langsung dengan kepentingan sosio-
ekonomis mereka. Sebagai proses, pembangunan desa merupakan proses transformasi budaya
yang diawali dengan kehidupan tradisional yang mengandalkan kebiasaan-kebioasaan turun
temurun untuk diubah menjadi masyarakat modern yang mendasarkan kemajuan hidup pada
kesediaan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta sebagai tujuan, pembangunan
desa bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup, menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi
pengembangan mata pencaharian, serta mengusahakan terciptanya prasarana fisik dan
pelayanan sosial yang sama dengan daerah perkotaan.

Pasal 78,  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014


TENTANG DESA,  menjelaskan bahwa:

1. Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas


hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
2. Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
3. Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan,
kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian
dan keadilan sosial.

Sebagai upaya pemerataan pembangunan desa dan kota, dilakukan upaya percepatan dengan
digelontorkannya dana desa sebagai stimulan bagi pembangunan desa. Desa diberikan
kewenangan penuh untuk mengelola anggaran dana desa yang bersumber dari APBN dengan
terbitnya PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL,
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG
PENETAPAN PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2017.

Pasal 5 Menyebutkan bahwa dana Desa digunakan untuk membiayai pembangunan Desa
yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, peningkatan kualitas
hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dengan prioritas penggunaan Dana Desa
diarahkan untuk pelaksanaan program dan kegiatan Pembangunan Desa, yang meliputi antara
lain:

a. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana dasar untuk


pemenuhan kebutuhan: 1. lingkungan pemukiman; 2. transportasi; 3. energi; dan 4.
informasi dan komunikasi.
b. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana pelayanan
sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan: 1. kesehatan masyarakat; dan 2. pendidikan dan
kebudayaan.
c. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana ekonomi
untuk mewujudkan Lumbung Ekonomi Desa yang meliputi: 1. usaha ekonomi pertanian
berskala produktif untuk ketahanan pangan; 2. usaha ekonomi pertanian berskala produktif
yang difokuskan pada kebijakan satu Desa satu produk unggulan yang meliputi aspek
produksi, distribusi dan pemasaran; dan 3. usaha ekonomi berskala produktif lainnya yang
difokuskan pada kebijakan satu Desa satu produk unggulan yang meliputi aspek produksi,
distribusi dan pemasaran.
d. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana lingkungan
untuk pemenuhan kebutuhan: 1. kesiapsiagaan menghadapi bencana alam; 2. penanganan
bencana alam; 3. penanganan kejadian luar biasa lainnya; dan 4. pelestarian lingkungan
hidup.
e. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana lainnya
yang sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan dalam Musyawarah Desa.

Dampak perkembangan kota terhadap masyarakat desa


dan kota
Perkembangan Kota

Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prisipnya menggambarkan proses berkembangnya


suatu kota. Pertumbuhan kota mengacu pada pengertian secara kuantitas, yang dalam hal ini
diindikasikan oleh besaran faktor produksi yang dipergunakan oleh sistem ekonomi kota
tersebut. Semakin besar produksi berarti ada peningkatan permintaan yang meningkat.
Sedangkan perkembangan kota mengacu pada kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan
yang bersifat pematangan. Indikasi ini dapat dilihat pada struktur kegiatan perekonomian dari
primer ke sekunder atau tersier.

Secara umum kota akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan
aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah penduduk dan sumber daya alam
dalam kota yang bersangkutan (Hendarto, 1997). Istilah perkembangan kota (urban
development) dapat diartikan sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang menyangkut
segala perubahan di dalam masyarakat kota secara menyeluruh, baik perubahan sosial
ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik.

Perkembangan suatu kota juga dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan ekonomi. Hal
ini disebabkan karena perkembangan kota pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan
ekonomi (Firman, 1996). Kegiatan sekunder dan tersier seperti manufaktur dan jasa-jasa
cenderung untuk berlokasi di kota-kota karena faktor urbanization economics yang diartikan
sebagai kekuatan yang mendorong kegiatan usaha untuk berlokasi di kota sebagai pusat
pasar, tenaga kerja ahli, dan sebagainya.

Perkembangan kota menurut Raharjo dalam Widyaningsih (2001), bermakna perubahan yang
dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan kota tersebut,
dari tidak ada menjadi ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar, dari
ketersediaan lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan ruang yang sedikit menjadi
teraglomerasi secara luas, dan seterusnya.

Teori Central Place dan Urban Base merupakan teori mengenai perkembangan kota yang
paling populer dalam menjelaskan perkembangan kota-kota. Menurut Teori Central Place
seperti yang dikemukakan oleh Christaller (dalam Daldjoeni, 1992), suatu kota berkembang
sebagai akibat dari fungsinya dalam menyediakan barang dan jasa untuk daerah sekitarnya.
Teori Urban Base juga menganggap bahwa perkembangan kota ditimbulkan dari fungsinya
dalam menyediakan barang kepada daerah sekitarnya juga seluruh daerah di luar batas-batas
kota tersebut.  Menurut teori ini, perkembangan ekspor akan secara langsung
mengembangkan pendapatan kota. Disamping itu, hal tersebut  akan menimbulkan pula
perkembangan industri-industri yang menyediakan bahan mentah dan jasa-jasa untuk
industri-industri yang memproduksi barang ekspor yang selanjutnya akan mendorong
pertambahan pendapatan kota lebih lanjut (Hendarto, 1997).

Pada umumya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu:

1. Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk baik disebabkan karena


pertambahan alami maupun karena migrasi.
2. Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha masyarakat
3. Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat
akibat pengaruh luar, komunikasi dan sistem informasi.

Klasifikasi atas dasar kenampakan fisiknya menurut Houston J.M. didasarkan pada suatu
asumsi bahwa pertumbuhan suatu kota secara kronologis akan tercermin dalam
perkembangan fisiknya. Klasifikasi kota atas dasar karakteristik pertumbuhan fisiknya
sebagai berikut:

Stadium pembentukan Inti Kota (Nuclear Phase)

 Stadium ini merupakan tahap pembentukan Central Business Distric (CBD). Pada
masa ini baru dirintis pembangunan gedung-gedung utama sebagai penggerak
kegiatan yang dan yang baru mulai meningkat;
 Pada saat ini daerah yang mula-mula terbentuk banyak ditandai dengan gedung-
gedung yang berumur tua, bentuk klasik serta pengelompokan fungsi kota yang
termasuk penting;
 Pada taraf ini kenampakan kota akan berbentuk bulat karena masih taraf awal
pembentukan kota, maka kenampakan kota yang terbentuk hanya meliputi daerah
yang sempit saja.

Stadium formatif (Formative Phase)

 Perkembangan industri dan teknologi mulai meluas termasuk sektor-sektor lain


seperti; transportasi dan komunikasi, pergadangan;
 Makin majunya sektor industri, transportasi dan perdagangan;
 mengakibatkan makin meluas dan kompleknya keadaan pabrik serta perumahan
masyarakat kota. Biasanya daerah ini terletak disepanjang jalur transportasi dan
komunikasi.

Stadium Modern (Modern Phase)

 Kenampakan kota pada saat ini tidak lagi sederhana seperti kenampakan pada tahap I
atau ke-2. Namun jauh lebih kompleks, bahkan mulai timbul gejala-gejala
penggabungan dengan pusat-pusat kegiatan yang lain, baik itu kota satelit maupun
kota-kota lain yang berdekatan;
 Mulai saat ini usaha mengindetifiksi kenampakan kotanya mengalami kesulitan
terutama pada penentuan batas-batas fisik terluar dari kota yang bersangkutan;
 Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa persebaran pelayanan kota semakin
meluas;
 Fungsi kota telah masuk ke daerah-daerah pedesaan di sekitarnya;
 Kota-kota besar di Indonesia mulai menunjukkan gejala- gejala tersebut. Hal ini telah
disadari oleh ahli-ahli perkotaan sehingga mulai dirumuskan suatu upaya
pengembangan wilayah kota yang meliputi kota-kota kecil disekitarnya. Seperti
Konsep Jabotabek untuk pengembangan wilayah kota Jakarta-Bogor-Tangerang-
bekasi.

Dampak Bagi Masyarakat Kota

Bagi masyarakat perkotaan dampak perkembangan kota sesuai dengan tiga faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan kota adalah:

Dampak secara kependudukan

Faktor utama terakumulasinya penduduk di perkotaan adalah migrasi. Rayuan kota sebagai
tempat mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak menjadi faktor utama orang
berpindah ke kota. Bertambahnya jumlah penduduk yang semakin besar menjadi persoalan
pada daya tampung kota, dampak lebih luas adalah pada semakin berkurangnya daya dukung
lingkungan.

Daya tampung kota terkait dengan perumahan menjadi persoalan besar bagi sebuah kota.
Persaingan yang keras untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak di perkotaan berdampak
pada semakin tingginya harga tanah, juga harga properti. Masyarakat yang beruntung dengan
penghasilan yang baik akan mendapatkan perumahan yang layak, sedang mereka yang
memiliki penghasilan pas-pasan dengan keterpaksaan menempati lokasi-lokasi yang tidak
layak. Bahkan beberapa kelompok masyarakat harus rela tinggal di tempat kumuh (slum).

Mobilitas penduduk kota yang tinggi, tentu harus didukung oleh sarana transportasi yang
cukup. Kemacetan adalah persoalan bagi banyak kota di dunia. Pertumbuhan kendaraan yang
pesat sulit untuk diikuti oleh pertumbuhan jalan, karena ruang kota relatif tetap, sedang
pertumbuhan kendaraan tidak terkontrol karena mekanisme pasar.

Daya dukung lingkungan kota semakin terdesak oleh pertumbuhan penduduk kota. Tingginya
aktivitas perkotaan menghasilkan polusi dan sampah yang tonasenya berskala raksasa.
Penurunan kualitas udara, degradasi air tanah, hilangnya ruang terbuka hijau, ini akan
berdampak pada menurunnya kesehatan masyarakat.

Dampak secara sosial ekonomi

Jumlah penduduk kota yang besar adalah pasar yang terbuka bagi siapa saja. Besarnya jumlah
penduduk akan seiring dengan demand (permintaan) yang besar. Pasar-pasar bertumbuh di
kota seiring pertumbuhan kebutuhan, dari pasar tradisional hingga pasar modern. Pasar-pasar
di kota juga cenderung terspesialisasi, yang dulunya menjual aneka jenis kebutuhan kini
hanya menjual  barang  jenis  tertentu. Misalnya pusat-pusat elektronik, garmen, hingga pasar
khusus barang-barang antik.

Kota adalah peluang bagi siapa saja untuk mendapatkan keuntungan. Industrialisasi
mendorong spesialisasi berbagai sektor, jenis-jenis pekerjaan di kota semakin heterogen.
Sektor formal mulai dari kelas direktur, eksekutif perusahaan, hingga karyawan, pegawai
negeri sipil, militer, hingga birokrasi  pemerintahan. Produsen, distributor, agen, penjual,
hingga pengasong. Sektor informal jaga tidak kalah besar menjadi ruang mata pencaharian
penduduk kota, buruh bangunan, kaki lima, hingga penjaga WC dapat menghidupi penduduk
kota.

Kota adalah ruang bebas bagi siapa saja untuk mendapatkan kesempatan dalam  ekonomi.
Seperti kata pepatah, semakin dalam lautnya semakin besar ikan-ikannya,  semakin luas
hutannya semakin buas binatang buasnya. Tidak hanya bentuk pekerjaan yang meningkat,
kriminalitas  di kota juga semakin besar. Curanmor, narkotika, penjaja seks, dll.

Dampak secara sosial budaya

Kadang perkembangan kota lebih cepat berkembang dari pada sosial budaya masyarakatnya.
Budaya kota menuntut orang untuk lebih sadar tentang bagaimana berinteraksi dengan ruang
yang terbatas. Antar penduduk semakin tidak berjarak secara geografik. Orang yang tinggal
di kota belum mengerti bagaimana mengelola sampah, sehingga masih membuang
sembarangan. Mereka masih belum mengerti bagaimana sanitasi yang baik, sehingga  tidak
mencemari sungai.

Corak budaya kota yang melekat seperti individualistis, tidak dibarengi dengan kesadaran
moralitas modern. Sehingga cenderung menjadi individualisme yang kebablasan. Norma-
norma hukum hanya ditakuti jika ada penegak hukum yang mengawasi, jika tidak ada
penegak hukumnya, Individualisme kota menjadi rima yang siap melahap siapa saja.

Kota seharusnya dapat menjadi  melting pot. Ruang yang dapat membaurkan segala entitas
budaya siapa saja orang yang menjadi penduduk kota  tersebut. Pada kenyataannya identitas
budaya dari daerah asal tidak dapat baur dalam budaya kota, bahkan lebih mengental dengan
munculnya aglomerasi-aglomerasi perkampungan beridentitas etnis. Kampung Cina,
Kampung Ambon, Makasar dan sebagainya.

Dampak Bagi Masyarakat Desa

Urbanisasi

Herlianto (1986) mendelaskan bahwa secara demografis, urbanisasi diartikan sebagai migrasi
atau perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan di dalam satu wilayah
negara. Namun secara sosiologis, urbanisasi merupakan perubahan atau peralihan dari pola
berpikir dan pola perilaku perdesaan (rural) menjadi pola berpikir dan pola perilaku
perkotaan (urban) (Soerjono Soekanto, 1978).
Dari aspek ekonomi, urbanisasi merupakan proses perubahan penduduk, proses produksi, dan
lingkungan sosio-politik-ekonomi perdesaan yang bersifat padat karya ke ekonomi kota yang
terkonsentrasikan dengan spesialisasi produksi, teknologi relatif tinggi dan penuh
kewiraswastaan (Sukanto Reksohadiprodjo dan A.R. Karseno, 1985).

Sumber:

Suparmi, POLA KERUANGAN DESA DAN KOTA, LEMBAGA PENELITIAN DAN


PENGABDIAN MASYARAKAT, UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, 2012
Hartono, Geografi, Jelajah Bumi dan Alam Semesta, untuk Kelas XII, SMA dan MA, Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si, STRATEGI DAN HAMBATAN STRUKTURAL DAN


MORAL DALAM PEMBANGUNAN
DESA, http://prof-arkan.blogspot.co.id/2012/04/strategi-dan-hambatan-struktural-dan.html

Bagikan ini:

 Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)


 Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Anda mungkin juga menyukai