Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kawasan Cekungan Bandung merupakan wilayah yang di kelilingi oleh
jajaran Pegunungan. Informasi geografis dari (HARTONO & BRONTO, 2006)
Dimulai dari Nagreg di sebelah timur sampai ke padalarang selatan sekitar ±40
Km di sebelah utara ke timur terdiri atas kompleks Gunung Burangrang – Sunda –
Tangkuban Parahu, Gunung Bukit Unggul, tinggian batuan gunung api
Cupunagara, Gunung Manglayang dan Gunung Tampomas, batas timur berupa
tinggian batuan gunung api Bukitjarian, Gunung Karengseng – Gunung
Kareumbi, komplek batuan gunung api Nagreg sampai dengan Gunung
Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari komplek gunung api Kamojang, Gunung
Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng. Hanya di sebelah barat,
Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunung api dan batu gamping yang
termasuk ke dalam formasi Rajamandala. Letak Geografisnya diilustrasikan pada
Gambar 1.1.

Sumber : (GOOGLE EARTH, 2021)


Gambar 1.1 Letak Geografis Cekungan Bandung
Pada gambar 1.1 dapat dilihat bahwa Cekungan Bandung merupakan
bentang alam yang diibaratkan mangkuk purba. Warna hijau tua menggambarkan
wilayah dataran tinggi berupa pegunungan dengan kondisi tumbuhan dan
pepohonannya yang masih rimbun. Warna hijau muda merupakan wilayah
perbukitan Dan Warna coklat muda merupakan wilayah dataran rendah.
Cekungan
Bandung terdiri dibagi dari tiga bagian, yakni bagian timur, tengah, dan barat.
Kawasan Cekungan Bandung merupakan wilayah yang mencakup 85 kecamatan.
Diantaranya 16 Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 31 Kecamatan di
Kabupaten Bandung, 5 Kecamatan di sebagian Kabupaten Sumedang, 30
Kecamatan di Kota Bandung, dan 3 Kecamatan di Kota Cimahi (PUPR , 2021).

Kota Cimahi menampilkan wilayah perekonomian yang unik dalam


kawasan Cekungan Bandung. Keunikan Kota Cimahi terletak pada jumlah dan
luas wilayahnya yang berbeda dengan daerah lain. Dimana Kota Cimahi hanya
terdiri dari tiga kecamatan dan luas wilayah 40,250 Hektare (KOTA CIMAHI,
2020). Keunikan Kota Cimahi lainnya adalah terdapat masyarakat Adat Cirendeu
sebagai masyarakat perkotaan yang menampilkan rural economics atau ekonomi
pedesaan.

Aktivitas perkonomian masyarakat mencakup kegiatan pertanian,


perkebunan,dan peternakan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani singkong dan umbi-umbian. Agar setiap bulan dapat memanen singkong,
maka pola tanam disesuaikan dengan usia panen. Setiap masyarakat memiliki tiga
sampai lima petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanam dan panennya
sehingga hal tersebut berdampak pada hasil produksi dan konsumsi disetiap
tahunnya selalu tersedia. Masyarakat Adat Cirendeu memanfaaatkan singkong
mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi bahan
makanan pokok Masyarakat Adat Cirendeu yakni rasi (beras singkong),
rengginang, opak, peyeum atau tape dan aneka kue berbahan dasar singkong.
Batangnya dapat dimanfaatkan Kembali sebagai bibit, daunnya di jadikan lalapan
atau sayur urab, dijadikan pakan ternak. Terakhir kulitnya dapat dijadikan
makanan olahan seperti sayur lodeh atau dendeng kulit singkong. Selain untuk di
konsums sendiri hasilnya juga dijual pada wisatawan sebagai buah tangan atau
oleh-oleh.

Masyarakat Adat Cirendeu merupakan Masyarakat adat yang hidup di


bawah kaki Gunung Salam. Secara adaministratif terletak di Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kampung Adat Cirendeu
tidak memposisikan tempatnya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW), tetapi
lebih fokus kepada desa yang masih memelihara tradisi yang sudah menjadi
budaya
dalam melestarikan lingkungan (DIPARBUD JAWA BARAT, 2015). Letak
geografisnya diilustrasikan pada Gambar 1.2.

Sumber : (GOOGLE EARTH, 2021)


Gambar 1.2 Letak Geogrfis Masyarakat Adat Cirendeu
Masyarakat Adat Cirendeu memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 1.2 kelestarian di Gunung
Salam yang masih terlihat hijau dibandingkan dengan Gunung-Gunung
disekitarnya. Menurut (SUNDAYA, 2021) Gunung Lagadar dan Selacau
menyimpan nilai sumber daya mineral berupa batuan andesit, ini terlihat secara
kasat mata telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan tambang. Sedangkan,
Masyarakat Adat Cirendeu lebih memilih untuk menjaga kelestarian lingkungan
Gunung salam sebagai jasa lingkungan.

Ruang lingkup kesadaran Masyarakat Adat Cirendeu tidak hanya berlaku


pada batas wilayah Kampung Adat saja melainkan berfungsi secara menyuluruh.
Kepedulian Masyarakat Adat Cirendeu dalam menjaga kelestarian lingkungan,
dapat dilihat dari adanya upaya untuk mengembalikan sistem dan fungsi
lingkungan TPA Leuwi Gajah. TPA yang di tetapkan pada tahun 1986 tersebut
menampung limbah sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota
Cimahi. Dengan menerapkan system open dumping atau penimbunan sampah
secara terbuka pada lahan ±25 Hektare. Adanya limbah sampah yang bertambah
dengan tanpa adanya pengelolaan yang baik untuk di daur ulang atau pembakaran
sehingga menyebabkan terjadinya longsoran sampah pada tahun 2005 dan
mengakibatkan
157 korban jiwa meninggal dunia. Upaya Pertama dalam mengembalikan sistem
dan fungsi lingkungannya adalah dengan membersihkan sumber mata air yang
terdapat pada bukit Leuwi Gajah, kedua menanami Eks TPA dengan bambu,
pohon- pohon yang keras, tanaman dan tumbuhan lainnya. Upaya kelompok
masyarakat adat dalam memeliharan lingkungan tidak hanya bersifat praktikal tapi
juga edukasi pengetahuan dan tanggung jawab dalam proses pemeliharaan
lingkungan. Contoh dalam proses reboisasi TPA Leuwi Gajah tidak hanya
melibatkan Masyarakat adat saja melainkan juga terbuka untuk masyarakat umum
dengan ketentuan ketika seseorang ingin menanami pohon di wilayah kampung
adat maka sebagai bentuk tanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya pohon
tersebut. Penanam haruslah merawat dan memerhatikannya selama empat puluh
hari dengan menyiramnya, membersihkan dari tumbuhan liar disekitarnya, sampai
pohon tersebut sudah melewati fase adaptasi. Sekarang, bekas TPA Leuwigajah
telah hijau kembali. Manfaat bagi masyarakat Kota Cimahi, khususnya di Jalan
Kerkof semakin nyata. Gunung Salam dan bekas TPA Leuwigajah dapat kembali
menghembuskan oksigen dan menjadi tempat penyimpanan air (water catchment
area) (SUNDAYA, MOMOTORAN KE CIREUNDEU : Masyarakat Adat di
Tengah Kota, 2021). Berikut tampilan fisik Eks TPA Leuwigajah pada tahun 2005
dan pembanding di tahun 2021 melalui gambar 1.3 dan 1.4

Sumber : (KASKUS, 2013)


Gambar 1.3 Tampilah Fisik TPA Leuwi Gajah Pada Tahun 2005
Sumber : (HUMAS KOTA BANDUNG, 2021)
Gambar 1.4 Tampilan Fisik Eks TPA Leuwi Gajah Pada Tahun
2021
Dengan ditetapkannya TPA Leuwi Gajah pada tahun 1986 berdampak
pada perubahan perilaku masyarakat. Nonoman menuturkan bahwa ketika itu,
sampah menjadi sumber uang. Sampah besi, aluminium, plastik, obat bekas, dan
makanan kemasan yang kadaluarsa, menjadi komoditi yang dapat dijual kembali.
Banyak migrasi masuk ke Leuwigajah, dan mengais rezeki dari bisnis sampah.
Pemulung berdatangan. Premanisme dan cukong-cukong bermunculan. Perjudian
menjadi aktivitas sehari-hari di area TPA. Setelah TPA ditutup, bekas perilaku ini
masih membudaya, terutama pada generasi muda. Tentu saja ada perjuangan
untuk
mengembalikan kesadaran generasi tersebut agar lebih ‘beradab’ (SUNDAYA,
MOMOTORAN KE CIREUNDEU : Masyarakat Adat di Tengah Kota, 2021).

Masyarakat Adat Cirendeu yang hidup di tengah peradaban masyarakat


urban Kota Cimahi juga terbuka dengan perkembangan zaman. Terlihat dari
bagaimana mereka menerima perkembangan teknologi dengan adanya
gadget,televisi dan internet tanpa merubah kebiasaan masyarakat Adat Cirendeu
dalam melestarikan lingkungan. Prinsip hidup masyrakat Adat Cirendeu yakni
“ngindung ka waktu mibapa ka jaman” yang bermakna sebagai masyarakat Adat
mereka memiliki cara dan keyakinan masing-masing dalam menjaga nilai adat
dan mengikuti perkembangan zaman (PEMKOT CIMAHI, 2019). Hal tersebut
menjadi modal utama kenapa pada akhirnya Masyarakat Adat Cirendeu masih
mampu mempertahankan eksistensinya ditengah arus urbanisasi di Kota Cimahi.
Berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada masyarakat urban ketika
terjadi perubahan teknologi. Kesadaran dalam melestarikan lingkungan hanya
menjadi citra melalui media sosial saja dalam praktiknya ini memerlukan cost.
Seperti dalam upaya memelihara kebersihan dan kesehatan lingkungan masyarkat
urban melimpahkan pada jasa yang di sediakan oleh Dinas Lingkungan hidup
melalui petugas kebersihan dengan syarat dan ketentuan upah yang sudah di
tentukan. Kebersihan dan kesehatan lingkungan adalah kebutuhan bagi
masyarakat. Jenis kebutuhan ini menunjang kelangsungan dan kesehatan hidup
individu dan masyarakat.

Fakta kuat yang tampil adalah masyarakat adat Cireundeu memiliki


concern sangat kuat terhadap lingkungan hidup. Upaya mereka memelihara
lingkungan hidup tampak bersifat endogenous, tidak diintervensi oleh kebijakan
pemerintah. Mereka self servicing dalam urusan lingkungan hidup. Berbanding
terbalik dengan masyarakat urban Kota Cimahi yang mengitarinya. Kebutuhan
akan kebersihan lingkungan hidupnya tampak eksogen dengan keterlibatan kuat
dari jasa kebersihan pemerintah daerah. Fakta yang ditampilkan masyarakat
Cireundeu memang tidak dominan dalam struktur sosial masyarkat, tapi terlihat
esensial bagi Cekungan Bandung Bagian Barat. Fenomena ini memunculkan
perhatian penelitian terhadap sumber motivasi ekonomi masyarakat adat
Cireundeu dan masyarakat Kota Cimahi dalam memelihara lingkungan hidup.

1.2 Identifikasi Masalah


Masyarakat Adat Cirendeu menampilkan budaya pengelolaan lingkungan
yang berbeda dari masyarakat Kota Cimahi. Tampak pada budaya pengelolaan
lingkungan masyarakat Adat Cirendeu yang memiliki kepedulian dalam bentuk
partisipasi kuat dalam mejaga kelestarian lingkungan hidup yang bersifat public
dan masyarakat urban cenderung memiliki kepedulian terhdap kelestarian
lingkungan hidup yang bersifat private. Adanya kebiasaan yang bersifat turun-
temurun berdasarkan temuan anecdotal (SUNDAYA, MOMOTORAN KE
CIREUNDEU : Masyarakat Adat di Tengah Kota, 2021) yakni tilu sapamalu, dua
sakarupa, hiji eta-eta keneh. “Tilu sapamalu” itu adalah “Gusti anu ngasih, alam
anu ngasah, manusa anu ngasuh”. Dalam bahasa Indonesia: “Tuhan yang
memberikan, alam
yang mengolah, dan manusia yang mengasuh”. “Dua sakarupa” adalah posisi
alam dan manusia itu serupa atau “sakarupa”, ada kesamaan posisi alam dengan
manusia. “Hiji eta-eta keneh” artinya “yang satu adalah itu-itu juga”. Contoh
perilaku Masyarakat Adat Cirendeu dalam melestarikan gunung salam berdampak
pada berfungsinya sistem lingkungan di wilayah Kampung Adat Cirendeu.
Diantarnya adalah terpenuhinya kebutuhan udara yang bersih, air dan pangan
yang bersumber dari Gunung salam dengan bermodalkan kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan.

Berbeda halnya dengan masyarakat urban atau perkotaan sekitarnya.


Masyarakat urban cenderung bersifat privat dalam pengelolaan sampah.
Pembuangan sampahnya dilayani oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas
Lingkungan Hidup. Retribusinya dikelola oleh setiap rukun warga dengan jadwal
pembayaran bulanan dengan ketentuan biaya yang telah ditetapkan. Secara praktik
masyarakat urban hanya perlu untuk menyimpan setiap sampah rumah tangganya
di tempat yang telah disediakan dan berikutnya akan diangkut oleh pekerja Dinas
Kebersihan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari (DINAS
LINGKUNGAN HIDUP KOTA CIMAHI, 2019) bahwa Pemukiman menjadi
penyumbang terbesar sampah yang dihasilkan di Kota Cimahi. Sampah
permukiman memiliki komposisi terbesar dikarenakan pola konsumsi dan
pertumbuhan penduduk di Kota Cimahi yang meningkat setiap tahunnya. Sampah
yang dibiarkan menumpuk dan tidak segera terangkut dapat menyebabkan sumber
bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi kesehatan dan lingkungan.

Masyarakat Cireundeu lebih responsif terhadap lingkungan. Berdasarkan


tragedi longsoran sampah yang terjadi pada tahun 2005 menjadi fakta kuat
mengenai perilaku masyarakat Adat dalam melestarikan lingkungan. Berdasarkan
informasi dari (JAJAT, 2021) bahwa upaya yang diakukan oleh Masyarakat Adat
Cirendeu dalam mengembalikan sistem dan fungsi lingkungan yakni dengan
membersihkan sumber mata air yang terdapat pada bukit Leuwi Gajah, menanami
Eks TPA dengan bambu, pohon-pohon yang keras, tanaman dan tumbuhan
lainnya hingga menjadi rimbun, menghembuskan oksigen dan menjadi tempat
penyimpanan air (water catchment area) hingga saat ini. Oleh karena itu, pada
penelitian ini memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang memotivasi responsivitas Masyarakat Adat Cirendeu terhadap
masalah kelestarian lingkungan hidup?
Masyarakat Cireundeu, sebagaimana digambarkan pada latar belakang masalah, hidup di
Kawasan Cekungan Bandung Bagian Barat. Kawasan CBBB memiliki fungsi lingkungan
(tampilkan informasinya berdasarkan perpres). Terpeliharanya Gunung Salam di dalam
komplek Masyarakat Cireundeu, yang merupakan salah satu unsur dari sistem lingkungan
CBBB, tentu memiliki alasan. Padahal mereka juga menghadapi tantangan mengenai
status kepemilikan lahan dari tatanan warisan yang berkembang, tapi gunung itu masih
mereka pelihara sesuai tradisinya sejak dulu. Ada masalah ke depan yang akan muncul,
yaitu pergeseran dari status kepemilikan lahan yang bersifat common pool resources ke
kepemilikan private (cek di buku Tietenberge definisinya). Informasi ini membuka
beberapa pertanyaan lanjutan: (2) bagaimana mereka memandang fungsi lingkungan dari
Gunung Salam dalam konteks Kawasan CBBB, dan (3) apakah ada perubahan tata cara
pengelolaan lingkungan dalam menghadapi ancaman status kepemilikan lahan tersebut ?

Anda mungkin juga menyukai