Kawasan Cekungan Bandung merupakan wilayah yang di kelilingi oleh jajaran Pegunungan. Informasi geografis dari (HARTONO & BRONTO, 2006) Dimulai dari Nagreg di sebelah timur sampai ke padalarang selatan sekitar ±40 Km di sebelah utara ke timur terdiri atas kompleks Gunung Burangrang – Sunda – Tangkuban Parahu, Gunung Bukit Unggul, tinggian batuan gunung api Cupunagara, Gunung Manglayang dan Gunung Tampomas, batas timur berupa tinggian batuan gunung api Bukitjarian, Gunung Karengseng – Gunung Kareumbi, komplek batuan gunung api Nagreg sampai dengan Gunung Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari komplek gunung api Kamojang, Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng. Hanya di sebelah barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunung api dan batu gamping yang termasuk ke dalam formasi Rajamandala. Letak Geografisnya diilustrasikan pada Gambar 1.1.
Sumber : (GOOGLE EARTH, 2021)
Gambar 1.1 Letak Geografis Cekungan Bandung Pada gambar 1.1 dapat dilihat bahwa Cekungan Bandung merupakan bentang alam yang diibaratkan mangkuk purba. Warna hijau tua menggambarkan wilayah dataran tinggi berupa pegunungan dengan kondisi tumbuhan dan pepohonannya yang masih rimbun. Warna hijau muda merupakan wilayah perbukitan Dan Warna coklat muda merupakan wilayah dataran rendah. Cekungan Bandung terdiri dibagi dari tiga bagian, yakni bagian timur, tengah, dan barat. Kawasan Cekungan Bandung merupakan wilayah yang mencakup 85 kecamatan. Diantaranya 16 Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 31 Kecamatan di Kabupaten Bandung, 5 Kecamatan di sebagian Kabupaten Sumedang, 30 Kecamatan di Kota Bandung, dan 3 Kecamatan di Kota Cimahi (PUPR , 2021).
Kota Cimahi menampilkan wilayah perekonomian yang unik dalam
kawasan Cekungan Bandung. Keunikan Kota Cimahi terletak pada jumlah dan luas wilayahnya yang berbeda dengan daerah lain. Dimana Kota Cimahi hanya terdiri dari tiga kecamatan dan luas wilayah 40,250 Hektare (KOTA CIMAHI, 2020). Keunikan Kota Cimahi lainnya adalah terdapat masyarakat Adat Cirendeu sebagai masyarakat perkotaan yang menampilkan rural economics atau ekonomi pedesaan.
Aktivitas perkonomian masyarakat mencakup kegiatan pertanian,
perkebunan,dan peternakan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani singkong dan umbi-umbian. Agar setiap bulan dapat memanen singkong, maka pola tanam disesuaikan dengan usia panen. Setiap masyarakat memiliki tiga sampai lima petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanam dan panennya sehingga hal tersebut berdampak pada hasil produksi dan konsumsi disetiap tahunnya selalu tersedia. Masyarakat Adat Cirendeu memanfaaatkan singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi bahan makanan pokok Masyarakat Adat Cirendeu yakni rasi (beras singkong), rengginang, opak, peyeum atau tape dan aneka kue berbahan dasar singkong. Batangnya dapat dimanfaatkan Kembali sebagai bibit, daunnya di jadikan lalapan atau sayur urab, dijadikan pakan ternak. Terakhir kulitnya dapat dijadikan makanan olahan seperti sayur lodeh atau dendeng kulit singkong. Selain untuk di konsums sendiri hasilnya juga dijual pada wisatawan sebagai buah tangan atau oleh-oleh.
Masyarakat Adat Cirendeu merupakan Masyarakat adat yang hidup di
bawah kaki Gunung Salam. Secara adaministratif terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kampung Adat Cirendeu tidak memposisikan tempatnya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW), tetapi lebih fokus kepada desa yang masih memelihara tradisi yang sudah menjadi budaya dalam melestarikan lingkungan (DIPARBUD JAWA BARAT, 2015). Letak geografisnya diilustrasikan pada Gambar 1.2.
Sumber : (GOOGLE EARTH, 2021)
Gambar 1.2 Letak Geogrfis Masyarakat Adat Cirendeu Masyarakat Adat Cirendeu memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 1.2 kelestarian di Gunung Salam yang masih terlihat hijau dibandingkan dengan Gunung-Gunung disekitarnya. Menurut (SUNDAYA, 2021) Gunung Lagadar dan Selacau menyimpan nilai sumber daya mineral berupa batuan andesit, ini terlihat secara kasat mata telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan tambang. Sedangkan, Masyarakat Adat Cirendeu lebih memilih untuk menjaga kelestarian lingkungan Gunung salam sebagai jasa lingkungan.
Ruang lingkup kesadaran Masyarakat Adat Cirendeu tidak hanya berlaku
pada batas wilayah Kampung Adat saja melainkan berfungsi secara menyuluruh. Kepedulian Masyarakat Adat Cirendeu dalam menjaga kelestarian lingkungan, dapat dilihat dari adanya upaya untuk mengembalikan sistem dan fungsi lingkungan TPA Leuwi Gajah. TPA yang di tetapkan pada tahun 1986 tersebut menampung limbah sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Dengan menerapkan system open dumping atau penimbunan sampah secara terbuka pada lahan ±25 Hektare. Adanya limbah sampah yang bertambah dengan tanpa adanya pengelolaan yang baik untuk di daur ulang atau pembakaran sehingga menyebabkan terjadinya longsoran sampah pada tahun 2005 dan mengakibatkan 157 korban jiwa meninggal dunia. Upaya Pertama dalam mengembalikan sistem dan fungsi lingkungannya adalah dengan membersihkan sumber mata air yang terdapat pada bukit Leuwi Gajah, kedua menanami Eks TPA dengan bambu, pohon- pohon yang keras, tanaman dan tumbuhan lainnya. Upaya kelompok masyarakat adat dalam memeliharan lingkungan tidak hanya bersifat praktikal tapi juga edukasi pengetahuan dan tanggung jawab dalam proses pemeliharaan lingkungan. Contoh dalam proses reboisasi TPA Leuwi Gajah tidak hanya melibatkan Masyarakat adat saja melainkan juga terbuka untuk masyarakat umum dengan ketentuan ketika seseorang ingin menanami pohon di wilayah kampung adat maka sebagai bentuk tanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya pohon tersebut. Penanam haruslah merawat dan memerhatikannya selama empat puluh hari dengan menyiramnya, membersihkan dari tumbuhan liar disekitarnya, sampai pohon tersebut sudah melewati fase adaptasi. Sekarang, bekas TPA Leuwigajah telah hijau kembali. Manfaat bagi masyarakat Kota Cimahi, khususnya di Jalan Kerkof semakin nyata. Gunung Salam dan bekas TPA Leuwigajah dapat kembali menghembuskan oksigen dan menjadi tempat penyimpanan air (water catchment area) (SUNDAYA, MOMOTORAN KE CIREUNDEU : Masyarakat Adat di Tengah Kota, 2021). Berikut tampilan fisik Eks TPA Leuwigajah pada tahun 2005 dan pembanding di tahun 2021 melalui gambar 1.3 dan 1.4
Sumber : (KASKUS, 2013)
Gambar 1.3 Tampilah Fisik TPA Leuwi Gajah Pada Tahun 2005 Sumber : (HUMAS KOTA BANDUNG, 2021) Gambar 1.4 Tampilan Fisik Eks TPA Leuwi Gajah Pada Tahun 2021 Dengan ditetapkannya TPA Leuwi Gajah pada tahun 1986 berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Nonoman menuturkan bahwa ketika itu, sampah menjadi sumber uang. Sampah besi, aluminium, plastik, obat bekas, dan makanan kemasan yang kadaluarsa, menjadi komoditi yang dapat dijual kembali. Banyak migrasi masuk ke Leuwigajah, dan mengais rezeki dari bisnis sampah. Pemulung berdatangan. Premanisme dan cukong-cukong bermunculan. Perjudian menjadi aktivitas sehari-hari di area TPA. Setelah TPA ditutup, bekas perilaku ini masih membudaya, terutama pada generasi muda. Tentu saja ada perjuangan untuk mengembalikan kesadaran generasi tersebut agar lebih ‘beradab’ (SUNDAYA, MOMOTORAN KE CIREUNDEU : Masyarakat Adat di Tengah Kota, 2021).
Masyarakat Adat Cirendeu yang hidup di tengah peradaban masyarakat
urban Kota Cimahi juga terbuka dengan perkembangan zaman. Terlihat dari bagaimana mereka menerima perkembangan teknologi dengan adanya gadget,televisi dan internet tanpa merubah kebiasaan masyarakat Adat Cirendeu dalam melestarikan lingkungan. Prinsip hidup masyrakat Adat Cirendeu yakni “ngindung ka waktu mibapa ka jaman” yang bermakna sebagai masyarakat Adat mereka memiliki cara dan keyakinan masing-masing dalam menjaga nilai adat dan mengikuti perkembangan zaman (PEMKOT CIMAHI, 2019). Hal tersebut menjadi modal utama kenapa pada akhirnya Masyarakat Adat Cirendeu masih mampu mempertahankan eksistensinya ditengah arus urbanisasi di Kota Cimahi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada masyarakat urban ketika terjadi perubahan teknologi. Kesadaran dalam melestarikan lingkungan hanya menjadi citra melalui media sosial saja dalam praktiknya ini memerlukan cost. Seperti dalam upaya memelihara kebersihan dan kesehatan lingkungan masyarkat urban melimpahkan pada jasa yang di sediakan oleh Dinas Lingkungan hidup melalui petugas kebersihan dengan syarat dan ketentuan upah yang sudah di tentukan. Kebersihan dan kesehatan lingkungan adalah kebutuhan bagi masyarakat. Jenis kebutuhan ini menunjang kelangsungan dan kesehatan hidup individu dan masyarakat.
Fakta kuat yang tampil adalah masyarakat adat Cireundeu memiliki
concern sangat kuat terhadap lingkungan hidup. Upaya mereka memelihara lingkungan hidup tampak bersifat endogenous, tidak diintervensi oleh kebijakan pemerintah. Mereka self servicing dalam urusan lingkungan hidup. Berbanding terbalik dengan masyarakat urban Kota Cimahi yang mengitarinya. Kebutuhan akan kebersihan lingkungan hidupnya tampak eksogen dengan keterlibatan kuat dari jasa kebersihan pemerintah daerah. Fakta yang ditampilkan masyarakat Cireundeu memang tidak dominan dalam struktur sosial masyarkat, tapi terlihat esensial bagi Cekungan Bandung Bagian Barat. Fenomena ini memunculkan perhatian penelitian terhadap sumber motivasi ekonomi masyarakat adat Cireundeu dan masyarakat Kota Cimahi dalam memelihara lingkungan hidup.
1.2 Identifikasi Masalah
Masyarakat Adat Cirendeu menampilkan budaya pengelolaan lingkungan yang berbeda dari masyarakat Kota Cimahi. Tampak pada budaya pengelolaan lingkungan masyarakat Adat Cirendeu yang memiliki kepedulian dalam bentuk partisipasi kuat dalam mejaga kelestarian lingkungan hidup yang bersifat public dan masyarakat urban cenderung memiliki kepedulian terhdap kelestarian lingkungan hidup yang bersifat private. Adanya kebiasaan yang bersifat turun- temurun berdasarkan temuan anecdotal (SUNDAYA, MOMOTORAN KE CIREUNDEU : Masyarakat Adat di Tengah Kota, 2021) yakni tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh. “Tilu sapamalu” itu adalah “Gusti anu ngasih, alam anu ngasah, manusa anu ngasuh”. Dalam bahasa Indonesia: “Tuhan yang memberikan, alam yang mengolah, dan manusia yang mengasuh”. “Dua sakarupa” adalah posisi alam dan manusia itu serupa atau “sakarupa”, ada kesamaan posisi alam dengan manusia. “Hiji eta-eta keneh” artinya “yang satu adalah itu-itu juga”. Contoh perilaku Masyarakat Adat Cirendeu dalam melestarikan gunung salam berdampak pada berfungsinya sistem lingkungan di wilayah Kampung Adat Cirendeu. Diantarnya adalah terpenuhinya kebutuhan udara yang bersih, air dan pangan yang bersumber dari Gunung salam dengan bermodalkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.
Berbeda halnya dengan masyarakat urban atau perkotaan sekitarnya.
Masyarakat urban cenderung bersifat privat dalam pengelolaan sampah. Pembuangan sampahnya dilayani oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup. Retribusinya dikelola oleh setiap rukun warga dengan jadwal pembayaran bulanan dengan ketentuan biaya yang telah ditetapkan. Secara praktik masyarakat urban hanya perlu untuk menyimpan setiap sampah rumah tangganya di tempat yang telah disediakan dan berikutnya akan diangkut oleh pekerja Dinas Kebersihan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari (DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA CIMAHI, 2019) bahwa Pemukiman menjadi penyumbang terbesar sampah yang dihasilkan di Kota Cimahi. Sampah permukiman memiliki komposisi terbesar dikarenakan pola konsumsi dan pertumbuhan penduduk di Kota Cimahi yang meningkat setiap tahunnya. Sampah yang dibiarkan menumpuk dan tidak segera terangkut dapat menyebabkan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Masyarakat Cireundeu lebih responsif terhadap lingkungan. Berdasarkan
tragedi longsoran sampah yang terjadi pada tahun 2005 menjadi fakta kuat mengenai perilaku masyarakat Adat dalam melestarikan lingkungan. Berdasarkan informasi dari (JAJAT, 2021) bahwa upaya yang diakukan oleh Masyarakat Adat Cirendeu dalam mengembalikan sistem dan fungsi lingkungan yakni dengan membersihkan sumber mata air yang terdapat pada bukit Leuwi Gajah, menanami Eks TPA dengan bambu, pohon-pohon yang keras, tanaman dan tumbuhan lainnya hingga menjadi rimbun, menghembuskan oksigen dan menjadi tempat penyimpanan air (water catchment area) hingga saat ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini memunculkan pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang memotivasi responsivitas Masyarakat Adat Cirendeu terhadap masalah kelestarian lingkungan hidup? Masyarakat Cireundeu, sebagaimana digambarkan pada latar belakang masalah, hidup di Kawasan Cekungan Bandung Bagian Barat. Kawasan CBBB memiliki fungsi lingkungan (tampilkan informasinya berdasarkan perpres). Terpeliharanya Gunung Salam di dalam komplek Masyarakat Cireundeu, yang merupakan salah satu unsur dari sistem lingkungan CBBB, tentu memiliki alasan. Padahal mereka juga menghadapi tantangan mengenai status kepemilikan lahan dari tatanan warisan yang berkembang, tapi gunung itu masih mereka pelihara sesuai tradisinya sejak dulu. Ada masalah ke depan yang akan muncul, yaitu pergeseran dari status kepemilikan lahan yang bersifat common pool resources ke kepemilikan private (cek di buku Tietenberge definisinya). Informasi ini membuka beberapa pertanyaan lanjutan: (2) bagaimana mereka memandang fungsi lingkungan dari Gunung Salam dalam konteks Kawasan CBBB, dan (3) apakah ada perubahan tata cara pengelolaan lingkungan dalam menghadapi ancaman status kepemilikan lahan tersebut ?
Membangun Kesadaran Masyarakat Akan Kebersihan Dan Kesehatan Serta Pembinaan Kesadaran Masyarakat Terhadap Lingkungan Hidup Di Kelurahan Pungkur Kecamatan Regol
Kel8 - Pemberdayaan Masyarakat Melalui Karang Taruna Dalam Upaya Menumbuhkan Kesadaran Untuk Mengelola Sampah Menjadi Rupiah Di Desa Sakatiga Kab Ogan Ilir