Anda di halaman 1dari 12

Pendidikan Bukan Prioritas

Oleh Rum Rosyid


Sistem pendidikan, merupakan bangunan sekaligus ihktiar yang sangat strategis, karena
sistem pendidikan mengandaikan adanya pembagian kewenangan antara negara dan
masyarakat dan tata-kelolanya yang meliputi pemeliharaan, kontrol, kreasi, adopsi dan
distribusi nilai, pengetahuan, ketrampilan maupun tata-hubungan kuasa. Oleh karena itu
kebijakan pendidikan yang tepat pada umumnya harus secara struktural dapat
memadukan daya masyarakat, negara dan dunia usaha secara tepat dan secara individual
memicu mobilitas kultural, vertikal dan horisontal individu yang ketiganya pada
gilirannya mengembangkan produktifitas budaya, sosial dan ekonomi sekaligus menuntut
pengembangan habitat yang demokratis.

Obyek pembangunan pendidikan adalah masyarakat sebagai entitas suatu bangsa, maka
informasi yang disampaikan juga harus merupakan media komunikasi yang mengandung
makna pendidikan dan pembelajaran, sehingga perubahan perilaku yang diakibatkannya
merupakan perubahan perilaku kolektif dari suatu bangsa dalam proses membangun.
(M.Nuh, 2010). Pendidikan dan pembelajaran mampu memberikan kontribusi positif
dalam merubah perilaku membangun bangsa agar memiliki perilaku membangun yang
sarat dengan pengetahuan (knowledge based society).

Sabtu, 4 Juni 2005 The Torchbearer menggelar Diskusi Mahasiswa yang bertema :
Pendidikan Yang Membebaskan, menghadirkan 2 pembicara, yaitu :Lody Paat dari
Koalisi Pendidikan & Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) dan Abd. Moqsith
Ghazali dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Diskusi kali ini diharapkan mampu menjawab
tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia untuk (1) menghasilkan manusia-manusia
Indonesia tangguh yang mampu mengatasi krisis dan (2) menciptakan manusia- manusia
yang mampu menghargai perbedaan-perbedaan dalam iklim pluralisme di Indonesia.

Lody Paat memetakan `benang kusut' pendidikan di Indonesia menjadi 3 masalah, yaitu :

1. Kebijakan Pendidikan yang dibuat pemerintah sekarang tidak berpihak pada guru,
murid dan mayoritas masyarakat kecil di Indonesia. Hal ini bisa dilihat secara jelas mulai
dari PP, Pelaksanaan, Rumusan sampai Kurikulum Pendidikan.
2. Pendidikan lebih mengarah pada pembangunan sekolah sebagai `industri dagang' dan
pengetahuan sebagai `komoditas' yang diperjual- belikan. Jadi pendidikan dibuat sebagai
alat penetrasi pasar dan untuk menghasilkan `modal sosial' atau `human capital' sebagai
konsekwensi dari paradigma Neoliberalisme yang justru dulu ditentang oleh Soekarno.
3. Masalah-masalah Guru, seperti : Produksi Guru tidak diperhatikan mulai dari sekolah
guru yang tidak didirikan untuk mengatasi masalah-masalah guru, kualitas lulusan guru
yang buruk, kompensasi bagi guru yang rendah, dsbnya.

Peran Guru, terutama guru-guru sekolah SD s/d SMU, tidak dimaksudkan sebagai
seorang intelektual yang kreatif tapi hanya dijadikan `tukang/mandor' dari para birokrat
pusat untuk menjalankan kurikulum dan peraturan yang ketat. Apalagi ditambah birokrasi

administrasi yang dibebankan kepada guru sebagai laporan atas terlaksananya kurikulum
kepada birokrat, membuat kreasi mengajar dari seorang guru mati karena kehabisan
energi dan waktu untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan proses mengajar.

Karl Marx mengungkapkan bahwa pendidikan serta politik merupakan supra struktur,
yang hanya merupakan pengaruh dari basic sruktur. Marx secara singkat menyimpulkan
bahwa dalam produksi sosial yang dilakukan masyarakat, mereka melakukan hubungan-
hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan bukan kehendak mereka; hubungan-
hubungan produksi ini sesuai dengan perkembangan tertentu dari kekuatan produksi
material mereka. Keseluruhan hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat dasar yang nyata, di mana timbul struktur atas yang sesuai dengan bentuk-
bentuk kesadaran sosial tertentu.

Cara produksi kehidupan material menentukan sifat umum dari proses-proses sosial,
politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan
eksistensinya, tetapi sebaliknya, eksistensi sosiallah yang menentukan kesadarannya.
Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produksi material dalam masyarakat
bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada. Hubungan-hubungan
berubah dari bentuk perkembangan kekuatan produksi menjadi belenggu mereka.
Kemudian sampailah pada masa revolusi sosial. Dengan perubahan pondasi ekonomi,
maka seluruh struktur atas yang sangat besar, cepat atau lambat akan berubah.

Kebijakan menurut United Nations (1975) adalah Suatu deklarasi mengenai suatu dasar
pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –
aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990). James E. Anderson (1978) perilaku
dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990). Prof. Heinz Eulau dan Kenneth
Prewitt : a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness
on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).

Apakah kebijakan para pemimpin tersebut sudah mencerminkan komitmen nasional


untuk benar-benar memajukan pendidikan Indonesia sesuai dengan nilai filosofi agung
yang tersurat dalam amanat UUD 1945 pokok pikiran ke-4 dari Staats fundamental norm
Negara Republik Indonesia yaitu: “Negara yang mewajibkan para pemimpin Negara dan
penyelenggara pemerintahan Negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan cita-cita
kemanusiaan yang luhur kepada setiap warga Negara”, seperti laiknya setiap negara yang
mempunyai pijakan filosofis pendidikan, termasuk Amerika yang dalam mainstream
sering dilabeli Negara kapitalis, liberal dsb ternyata sudah definitif memakai pandangan
adiluhung “education was to be universal for rich and poor”, meskipun praktiknya patut
kita pelajari bersama juga.

Bila kebijakan yang diambil salah, upaya pendidikan dapat jatuh menjadi sekedar upaya
mereproduksi tatanan dan struktur sosial, ekonomi dan politik lama dan memberikan
bahan ajar-materi didik, sistem pengelolaan dan akses pendidikan maupun peluang kerja
yang tidak memadai dan tidak berkeadilan. Ketertinggalan struktural (tata hubungan
kuasa) dan budaya (nilai, ilmu, teknologi dan tata-nilai hubungan kuasa), akan lebih
mempersulit bagi upaya transisi menuju demokrasi dan upaya memenangkan kompetisi
dari globalisasi.
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-
pernyataan berikut ini. Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan,
Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment
of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for
guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian
terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam
sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan,
agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.

Tuntutan era globalisasi yang menjadikan informasi sebagai sumberdaya percepatan


perilaku ekonomi, politik, sosial, dan budaya, menyebabkan arus dan daya serap
informasi dilakukan melalui media elektronik yang serba cepat pula. Konteks globalisasi
ini juga tidak terhindarkan dalam kebijakan yang terkait dengan tata kelola (governance)
kelembagaan. Informasi-informasi yang terkait dengan kebijakan-kebijakan
pembangunan pendidikan harus secara serta merta menyesuaikan diri dengan tuntutan-
tuntutan perubahan masyarakat lokal dalam prospektif global yang serba cepat pula.
Kaidah think globally, act locally adalah salah satu cerminan tentang bagaimana
informasi di kawasan dunia dan antar negara memiliki peluang yang sangat cepat untuk
merubah perilaku budaya lokal setempat melalui penetrasi informasi.

Dalam konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun
1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip
Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan
Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic
Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-
undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan
diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara
diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur
oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa
sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan
mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan
dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus
independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat
mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung
jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan
menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan
pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan
otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah
berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia
dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat
dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi
kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika
mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan
memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan
efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus
memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.
Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama
lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.

Di negara-negara berkembang, upaya menuju masyarakat sejahtera dan demokratis


mengambil pilihan prioritas kebijakan yang berbeda-beda, sebagai upaya menebak mana
(lebih dulu) telor atau ayamnya pada realitas kemiskinan, pendidikan dan demokrasi. Di
samping melalui politik pendidikan, sebagian negara mengambil jalan dengan
menghidupkan pendidikan politik melalui kehidupan multi-partai dan penegakan hukum.
Namun demikian sebagian besar yang lain mengkombinasikannya dengan upaya
utamanya yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi, bahkan menjadikan pendidikan dan
kebijakan yang lain sebagai alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Sebagian besar upaya model terakhir ini gagal karena pemerintah terjebak menjadi rezim
‘developmentalis’ dan masyarakat kehilangan kontrol dan aksesnya terhadap negara dan
hasil-hasil pembangunannya. Bagi Indonesia, keruntuhan ekonominya menyibakkan
realitas hutang dan kemiskinan, sistem-sistem (termasuk sistem pendidikan) yang
ketinggalan dan kegagapan pengetahuan dan prilaku demokrasi. Di samping itu, politik
kependudukan yang anti natalis (mengurangi angka kelahiran) selama dua dekade
sebelumnya, mewariskan struktur penduduk yang didominasi usia 15-64 tahun dua
dekade ke depan. Untuk menata kembali ekonomi, menghadapi globalisasi dan tuntutan
demokratisasi, maka generasi baru ini membutuhkan pendidikan yang tepat, lapangan
kerja dan tatanan sosial politik ekonomi yang memadai.

Anatomi Kebijakan Pendidikan di Indonesia


Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009, yang memiliki
orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-
2009, mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan;
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana
Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan
keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan; baik di tingkat makro
(nasional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) sebagai
sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan
paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi
pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan
masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin
oleh Presiden eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran
Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif Negara adalah para
pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah
pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri
Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala
bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan
mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di
Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah
pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya
dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda
sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di
tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari
hasil permusyawaratan policy maker nasional. Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan
pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi
fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.

Empat Babak Kebijakan Kurikulum


Pembabakan perjalanan kurikulum dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan ciri yang
cukup signifikan di antara masing-masing era. Pendidikan pada masa prakemerdekaan
lebih bersifat praktis politis, dalam artian pendidikan digunakan sebagai alat bagi
penguasa untuk melanggengkan rezimnya. Produk-produk pendidikan diarahkan untuk
bekerja kepada pemerintah kolonial, dan tentunya untuk menghasilkan sebesar-besarnya
keuntungan bagi pihak kolonial. Hal ini menjadi dilema ketika para peserta didik pribumi
tidak memiliki pilihan lain untuk mengenyam pendidikan formal yang dibuat oleh pihak
pemerintah kolonial. Disatu sisi mereka ingin memperoleh pendidikan demi
kesejahteraan hidup di masa mendatang, namun di sisi lain setelah mereka menyelesaikan
pendidikan mereka tidak memiliki pilihan selain harus bekerja pada pemerintahan
kolonial.
Menjelang kemerdekaan, pendidikan kolonial ini dimanfaatkan sebagai alat perjuangan
politik untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Hal ini lebih dikarenakan para elit terdidik
yang masih memiliki nasionalisme merasa perlu bersatu untuk melawan pemerintahan
kolonial. Mereka ingin kepintaran mereka diabdikan untuk kepentingan bangsa bukan
untuk memenuhi kepentingan pihak kolonial yang berupaya untuk mengeksploitasi
sumber daya alam Indonesia. Kesadaran itu muncul karena mereka sadar bahwa
kemerdekaan dan kemandirian berbangsa harus diperjuangkan agar kelak Indonesia
mampu menjadi bangsa yang mandiri dan bebas dari penjajahan.
Pendidikan pascakemerdekaanpun tidak jauh berbeda dengan pendidikan
prakemerdekaan. Hal tersebut dikarenakan, perlunya transisi waktu dalam upaya
transformasi nilai-nilai kolonial kepada nilai-nilai kebangsaan. Budaya bisu dalam
pendidikan masih mewarnai proses pendidikan diawal-awal kemerdekaan. Siswa hanya
pasif di dalam ruang kelas dan hanya mendengarkan guru ceramah. Namun, yang lebih
mencolok pada pendidikan pascakemerdekaan adalah penggantian bahasa daerah asli
menjadi bahasa intelektual yang sistematik. Hal ini disebabkan karena pada masa
pascakemerdekaan pendidikan dijadikan sebagai alat penguasaan dalam bidang politik.
Diawal kemerdekaan Indonesia butuh banyak pemikir untuk membuat dasar dan landasan
negara yang kokoh, sehingga pendidikan dijadikan salah satu alat untuk mencapai
perjuangan politis.
Pendidikan orde lama juga masih mengusung semangat pascakemerdekaan dengan
menekankan pengadopsian sistem pendidikan negara-negara maju dengan tujuan agar
Indonesia mampu meniru perkembangan negara maju tersebut dalam bidang pendidikan
dan teknologi. Pada saat itu, siswa yang pandai dicari ke pelosok-pelosok untuk
disekolahkan dan diberikan berbagai fasilitas. Karena pendidikan era orde lama ingin
menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas untuk dapat bersaing dikancah
internasional. Sayangnya, pada era ini peran guru masih sangat sentral dalam
penyampaian informasi. Hal ini dikarenakan karena pada masa itu pendidikan tengah
mencari sistem yang sesuai untuk diterapkan pada peserta didik. Karena itulah, guru
diberikan mandat penuh dalam mencerdaskan siswanya, dan hal inilah yang
menyebabkan mengapa proses pembelajaran disekolah lebih banyak ceramah dan siswa
hanya pasif menerima informasi.
Bertolak belakang dengan orde lama, orde baru berupaya untuk menyeragamkan
pendidikan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar terjadi standarisasi dalam pendidikan.
Pada era ini jumlah lulusan jauh lebih penting dari pada menghasilkan lulusan yang
berkualitas. Kualitas pengajaran dan hasil pendidikan tidak terlalu diperhatikan karena
yang dipentingkan pada masa itu adalah berupaya untuk menciptakan produk-produk
lulusan sebanyak-banyaknya, agar dapat dipekerjakan untuk mensukseskan program
pemerintah. Sentralisasi pendidikan menjadi masalah utama dalam pendidikan di era orde
baru. Penyeragaman kemampuan kognitif peserta didik tanpa diimbangi kemampuan
afektif dan psikomotorik menjadikan lulusan-lulusan orde baru tidak memiliki kepekaan
sosial terhadap lingkungan sekitar.
Orde Baru, demikian ungkap HAR Tilaar, bukan hanya sebuah rezim pemerintahan,
tetapi juga sudah merupakan suatu model berpikir (state of thinking) dan karenanya bisa
disebut sebagai suatu paradigma. Sebagaimana telah kita ketahui dan rasakan bersama,
selama masa Orde Baru berkuasa (lebih-kurang 32 tahun) segala kebijakan yang
diturunkan nyaris selalu bersifat top down, sentralistis, dan cenderung otoriteristis.
Apapun kebijakan yang diberlakukan pada akhirnya selalu berujung pada tujuan-tujuan
politis untuk memupuk dan mempertahankan kekuasaan, termasuk kebijakan dalam
bidang pendidikan.
Selain hal tersebut, pendidikan pada masa orde baru juga mengkungkung kreatifitas dan
kritisisme. Hal ini dikarenakan kritisisme bisa mematikan otoritarianisme yang langgeng
oleh rezim militer orde baru. Hal ini ditandai dengan pembatasan kebebasan berpendapat
dalam upaya mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, karena jika hal ini dibiarkan
maka pembangkangan akan muncul dimana-mana. Hal inipun berimplikasi negatif dalam
pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru, karena tidak ada yang mengkritisi
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, maka yang terjadi adalah penambahan
beban belajar tanpa memperhatikan kemampuan peserta didik. Pemerintah menganggap
dengan siswa banyak menguasai mata pelajaran, maka mereka akan semakin bertambah
pengetahuannya. Padahal semestinya siswa berhak menentukan mata pelajaran apa yang
ingin mereka pilih untuk dipelajari.
Harapan dan perubahan muncul pada era reformasi, berbagai kebijakan pendidikan
diupayakan untuk memfasilitasi kepentingan serta hak-hak peserta didik dalam perolehan
pengetahuan. Kurikulum KBK yang dilaksanakan pada tahun 2004 lebih mengarahkan
siswa sebagai subjek belajar (student learned center). Dan kurikulum ini disempurnakan
dalam kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikam) yang berupaya
menjadikan siswa sebagai sumber belajar, pada kurikulum ini demokratisasi dalam
pendidikan mulai diterapkan, dan siswa diarahkan menjadi subjek dalam pendidikan. Tak
ada gading yang tak retak, upaya inipun masih menemukan banyak kendala ketika
produk-produk tenaga pendidik masih menggunakan tenaga pendidik lama. Sistem
pembelajaran yang satu arahpun masih banyak ditemukan dalam proses pembelajaran
walaupun dalam peraturan perundang-undangan guru seharusnya hanya berfungsi sebagai
fasilitator saja.

Pendidikan Bukan Prioritas


Kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah disebabkan pemerintah tidak
memahami pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun sarat
diskriminatif. Pemerintah dari Presiden Soekarno hingga Yudhoyono punya perhatian
terhadap pendidikan, tetapi salah memahaminya, ujar Utomo Dananjaya, Direktur
Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Sabtu (10/12/09), di Bandung.

Kekurangpahaman itu mengakibatkan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan pendidikan


yang diskriminatif. Di antaranya, pemerintah memandang adanya murid yang kaya
dan murid yang miskin. Pada UU Guru dan Dosen, pemerintah mengategorikan guru
menjadi guru bantu, swasta, negeri, dan honorer. Pemerintah juga tidak pernah
memprioritaskan pendidikan. Pada pemerintahan Yudhoyono, dari tujuh program
prioritas yang ditetapkan, pendidikan tidak termasuk di dalamnya. Padahal, menurut
peraih Nobel John Nash, pendidikan memberi kontribusi tertinggi dalam ekonomi,
ujarnya.

Bahkan, kata Utomo, seorang peneliti pernah menghitung kontribusi pendidikan


dan pendidikan tenaga kerja bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
masing-masing 17 dan 19 persen. Ini jauh di atas kontribusi investasi yang cuma
empat persen. Hingga tahun 2005, 64,7 persen orang Indonesia berpendidikan SD dan
lebih rendah dari SD. Ini seharusnya dianggap bencana oleh pemerintah karena setelah
60 tahun kemerdekaan, angkanya masih tinggi. Padahal, saat awal merdeka, 90 persen
penduduk Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Artinya pertumbuhannya sangat
lambat, kata Utomo.

Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

Anda mungkin juga menyukai