Obyek pembangunan pendidikan adalah masyarakat sebagai entitas suatu bangsa, maka
informasi yang disampaikan juga harus merupakan media komunikasi yang mengandung
makna pendidikan dan pembelajaran, sehingga perubahan perilaku yang diakibatkannya
merupakan perubahan perilaku kolektif dari suatu bangsa dalam proses membangun.
(M.Nuh, 2010). Pendidikan dan pembelajaran mampu memberikan kontribusi positif
dalam merubah perilaku membangun bangsa agar memiliki perilaku membangun yang
sarat dengan pengetahuan (knowledge based society).
Sabtu, 4 Juni 2005 The Torchbearer menggelar Diskusi Mahasiswa yang bertema :
Pendidikan Yang Membebaskan, menghadirkan 2 pembicara, yaitu :Lody Paat dari
Koalisi Pendidikan & Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) dan Abd. Moqsith
Ghazali dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Diskusi kali ini diharapkan mampu menjawab
tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia untuk (1) menghasilkan manusia-manusia
Indonesia tangguh yang mampu mengatasi krisis dan (2) menciptakan manusia- manusia
yang mampu menghargai perbedaan-perbedaan dalam iklim pluralisme di Indonesia.
Lody Paat memetakan `benang kusut' pendidikan di Indonesia menjadi 3 masalah, yaitu :
1. Kebijakan Pendidikan yang dibuat pemerintah sekarang tidak berpihak pada guru,
murid dan mayoritas masyarakat kecil di Indonesia. Hal ini bisa dilihat secara jelas mulai
dari PP, Pelaksanaan, Rumusan sampai Kurikulum Pendidikan.
2. Pendidikan lebih mengarah pada pembangunan sekolah sebagai `industri dagang' dan
pengetahuan sebagai `komoditas' yang diperjual- belikan. Jadi pendidikan dibuat sebagai
alat penetrasi pasar dan untuk menghasilkan `modal sosial' atau `human capital' sebagai
konsekwensi dari paradigma Neoliberalisme yang justru dulu ditentang oleh Soekarno.
3. Masalah-masalah Guru, seperti : Produksi Guru tidak diperhatikan mulai dari sekolah
guru yang tidak didirikan untuk mengatasi masalah-masalah guru, kualitas lulusan guru
yang buruk, kompensasi bagi guru yang rendah, dsbnya.
Peran Guru, terutama guru-guru sekolah SD s/d SMU, tidak dimaksudkan sebagai
seorang intelektual yang kreatif tapi hanya dijadikan `tukang/mandor' dari para birokrat
pusat untuk menjalankan kurikulum dan peraturan yang ketat. Apalagi ditambah birokrasi
administrasi yang dibebankan kepada guru sebagai laporan atas terlaksananya kurikulum
kepada birokrat, membuat kreasi mengajar dari seorang guru mati karena kehabisan
energi dan waktu untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan proses mengajar.
Karl Marx mengungkapkan bahwa pendidikan serta politik merupakan supra struktur,
yang hanya merupakan pengaruh dari basic sruktur. Marx secara singkat menyimpulkan
bahwa dalam produksi sosial yang dilakukan masyarakat, mereka melakukan hubungan-
hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan bukan kehendak mereka; hubungan-
hubungan produksi ini sesuai dengan perkembangan tertentu dari kekuatan produksi
material mereka. Keseluruhan hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat dasar yang nyata, di mana timbul struktur atas yang sesuai dengan bentuk-
bentuk kesadaran sosial tertentu.
Cara produksi kehidupan material menentukan sifat umum dari proses-proses sosial,
politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan
eksistensinya, tetapi sebaliknya, eksistensi sosiallah yang menentukan kesadarannya.
Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produksi material dalam masyarakat
bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada. Hubungan-hubungan
berubah dari bentuk perkembangan kekuatan produksi menjadi belenggu mereka.
Kemudian sampailah pada masa revolusi sosial. Dengan perubahan pondasi ekonomi,
maka seluruh struktur atas yang sangat besar, cepat atau lambat akan berubah.
Kebijakan menurut United Nations (1975) adalah Suatu deklarasi mengenai suatu dasar
pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –
aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990). James E. Anderson (1978) perilaku
dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990). Prof. Heinz Eulau dan Kenneth
Prewitt : a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness
on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).
Bila kebijakan yang diambil salah, upaya pendidikan dapat jatuh menjadi sekedar upaya
mereproduksi tatanan dan struktur sosial, ekonomi dan politik lama dan memberikan
bahan ajar-materi didik, sistem pengelolaan dan akses pendidikan maupun peluang kerja
yang tidak memadai dan tidak berkeadilan. Ketertinggalan struktural (tata hubungan
kuasa) dan budaya (nilai, ilmu, teknologi dan tata-nilai hubungan kuasa), akan lebih
mempersulit bagi upaya transisi menuju demokrasi dan upaya memenangkan kompetisi
dari globalisasi.
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-
pernyataan berikut ini. Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan,
Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment
of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for
guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian
terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam
sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan,
agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Dalam konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun
1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip
Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan
Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic
Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-
undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan
diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara
diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur
oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa
sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan
mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan
dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus
independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat
mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung
jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan
menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan
pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan
otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah
berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia
dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat
dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi
kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika
mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan
memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan
efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus
memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.
Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama
lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.
Sebagian besar upaya model terakhir ini gagal karena pemerintah terjebak menjadi rezim
‘developmentalis’ dan masyarakat kehilangan kontrol dan aksesnya terhadap negara dan
hasil-hasil pembangunannya. Bagi Indonesia, keruntuhan ekonominya menyibakkan
realitas hutang dan kemiskinan, sistem-sistem (termasuk sistem pendidikan) yang
ketinggalan dan kegagapan pengetahuan dan prilaku demokrasi. Di samping itu, politik
kependudukan yang anti natalis (mengurangi angka kelahiran) selama dua dekade
sebelumnya, mewariskan struktur penduduk yang didominasi usia 15-64 tahun dua
dekade ke depan. Untuk menata kembali ekonomi, menghadapi globalisasi dan tuntutan
demokratisasi, maka generasi baru ini membutuhkan pendidikan yang tepat, lapangan
kerja dan tatanan sosial politik ekonomi yang memadai.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.