Anda di halaman 1dari 14

Detik-Detik Menjelang Proklamasi 17

Agustus 1945
17 Agustus 2007
tags: 17 Agustus, 17 Agustus 1945, Bung Hatta, Bung Karno, Drs. Mohammad Hatta, Hari
Kemerdekaan, Hatta, Indonesia, Indonesia Merdeka, Indonesia Raya, Ir. Soekarno, Merah Putih,
Merdeka, Naskah Proklamasi, Proklamasi, Proklamator, Sejarah, Sejarah Bangsa, Soekarno, Soekarno -
Hatta, Sukarno, Teks Proklamasi, Umum
oleh devry

Menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-62 pada tanggal 17 Agustus 2007 ini,
sebagai anak muda ( yang merupakan anak-anak bangsa ), ada baiknya kita mengetahui sejarah tentang
Detik-Detik Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

Sayang sekali jika anak muda yang merupakan generasi penerus Bangsa Indonesia tidak mengerti
Sejarah Perjuangan Bangsa sendiri, Indonesia tercinta ini

Berikut fakta sejarah yang terjadi pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ( diperoleh dari berbagai
rangkuman sumber sejarah Bangsa Indonesia antara lain dari : Sekretariat Negara RI & Wikipedia ) :

Perdebatan Antara Golongan Tua & Golongan Muda

Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua.
Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya
dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah
Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan
tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa
pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.

Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir.
Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu,
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah
yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan
Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan
kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini,
mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka
melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed.
1984:77-81 )

Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat
kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno
mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad
Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:

” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan
meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud
mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami
sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam
Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini
juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”

Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil
berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu
tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa
silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di
negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa
saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak
memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”

Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan
kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang
Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa
bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah
amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan
kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada
saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk
menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah
diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan,
bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.

Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun,
kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda,
Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para
tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir
pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan
Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat
diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta.
Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang
menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu
dari pengaruh Jepang.

Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke
Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan
Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau
mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan
patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati
istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.

Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-
Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta
dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di
samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan
demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati
Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.

Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan
mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan
Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar.
Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap
keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan
proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi,
Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan
rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan
kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak
Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut,
tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ”
Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya
sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil
tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang
percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17
lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat
yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan,
waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat,
hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang
Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “.
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana
ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan
muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda,
bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu,
Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris
pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput
tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi
Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00.
Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan
Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).

Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan

Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana
Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di
rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena
sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya.
De Graff yang dikutip Soebardjo ( 1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda
tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu
berhubungan dengan rakyat Indonesia.

Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang
perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang
militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang
bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak
khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan
suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang
pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak
sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang
didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk
mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka,
diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal
dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak
nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa
dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh
nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.

Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui
Somobuco ( kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya
mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah
menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara
Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI
dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai
pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia
dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha langi pelaksanaan
proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah
Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah,
mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi,
orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta,
dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari
golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.

Menurut Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam,
rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep
proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan.
Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan
Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta.
Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia
untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai
pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks
proklamasi itu.

Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian
mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari
menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan
membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo ( 1978:109-110 )
melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk
mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah
kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika
meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk
makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah
ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak
ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah
ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para
hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka
pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.

“Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan
benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan
menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada mereka yang hadir, Soekarno
menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa
Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of
Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-
tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi.
Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno
dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.

Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh
Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus
diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat
Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada
tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran
Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan
Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-
mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur
sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut,
mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56
sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.

Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur.
Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar
dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga
dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di
rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat
berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk.
Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang
diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S.
Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di
depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia
mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu
ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya
Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya
berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.

Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah
berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris
teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari
semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas
dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah
banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi
suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar,
mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak
mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara
dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno.
Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu
berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.

Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu.
Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota
PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk
berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan
Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan
jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.

Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia

“Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa
maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk
kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai
kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di
dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman
Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita
menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita
benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya
bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka
kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari
seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya
untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:
PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta.

Teks Proklamasi Indonesia

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat
tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara
Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu“.
( Koesnodiprojo, 1951 ).

Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah
menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K.
Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,”
katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil
maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan
mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.

Pengibaran Sang Saka Merah Putih

Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan
irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato
sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.

Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan


bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S.
Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh
kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu
Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa
Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu
Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya
dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih
duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.

Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar
Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat
menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno
sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog
antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk
melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno
dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di
sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas
golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara
itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa
menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari
IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh
peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan
teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa
yang sangat bersejarah itu.

Puisi untuk IBU

Ibu...
adalah wanita yang telah melahirkanku
merawatku
membesarkanku
mendidikku
hingga diriku telah dewasa

Ibu...
adalah wanita yang selalu siaga tatkala aku dalam buaian
tatkala kaki-kakiku belum kuat untuk berdiri
tatkala perutku terasa lapar dan haus
tatkala kuterbangun di waktu pagi, siang dan malam

Ibu...
adalah wanita yang penuh perhatian
bila aku sakit
bila aku terjatuh
bila aku menangis
bila aku kesepian

Ibu...
telah kupandang wajahmu diwaktu tidur
terdapat sinar yang penuh dengan keridhoan
terdapat sinar yang penuh dengan kesabaran
terdapat sinar yang penuh dengan kasih dan sayang
terdapat sinar kelelahan karena aku

Aku yang selalu merepotkanmu


aku yang selalu menyita perhatianmu
aku yang telah menghabiskan air susumu
aku yang selalu menyusahkanmu hingga muncul tangismu

Ibu...
engkau menangis karena aku
engkau sedih karena aku
engkau menderita karena aku
engkau kurus karena aku
engkau korbankan segalanya untuk aku

Ibu...
jasamu tiada terbalas
jasamu tiada terbeli
jasamu tiada akhir
jasamu tiada tara
jasamu terlukis indah di dalam surga

Ibu...
hanya do'a yang bisa kupersembahkan untukmu
karena jasamu
tiada terbalas

Hanya tangisku sebagai saksi


atas rasa cintaku padamu

Ibu..., I LOVE YOU SO MUCH


juga kepada Ayah...!!!

Resep Membuat Minuman Segar


Gempita Merah Putih
Bahan Resep Membuat Minuman Segar Gempita Merah Putih:

• 1/2 bks agar-agar bubuk warna putih


• 150 g gula pasir
• 1 gls susu cair
• 2 gls air
• 400 ml sprite
• 6 sdm sirup geraldin
• 2 bh jeruk nipis, ambil airnya
• Es batu secukupnya

Cara Membuat Minuman Segar Gempita Merah Putih:

1. Campurkan agar, gula, susu dan air. Masak di atas api sampai mendidih. Angkat dan tuangkan ke
dalam cetakan. Diamkan sampai membeku. Potong sesuai selera, sisihkan.
2. Campur air soda, sirup merah dan air jeruk nipis. Aduk rata. Masukkan potongan agar, tuangkan
minuman bersoda sesaat hendak disajikan.

Untuk 6 porsi

Prasejarah

Geologi

Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman
tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari:
Arkaezoikum

Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun, pada saat itu kulit bumi masih panas, sehingga tidak
ada kehidupan. Dapat diartikan sebagai masa tanpa kehidupan. Bumi masih dalam keadaan membara dan
jarak bumi dan bulan masih sangat dekat, berbagai benda ruang angkasa seperti meteor atau meteorit
( berukuran kecil) dengan mudah jatuh ke bumi yang belum terlindung udara. Meskipun demikian semua
benda tersebut diatas langsung terbakar, pada saat bumi yang masih dalam keadaan membara dengan
suhu yang amat tinggi. Kejadian bumi dan pembentukan yang terjadi sekitar satu milyar tahun yang lalu
dan beberapa ratus juta tahun kemudian bumi kerak bumi suhu semakin menyusut bagian bumi dalam
keadaan cair diangkasa bumi badai magnetic menyelimuti bumi petir dan Guntur meteor dan meteorit
membentur bumi suhu bumi makin menyusut bumi membeku penyusutan suhu gas mengembun uap air
hujan lebat yang abadi membentuk lautan pembentukan air, udara makin sempurna terlindung dari
benturan berbagai benda luar angkasa (meteorit). Ada dua macam meteorit, yaitu meteorit logam
(mengandung besi nikel dan meteorit baju), beberapa contoh batuan kerak bumi dapat disaksikan di
museum geologi.

Paleozoikum

Paleozoikum atau sering pula disebut sebagai zaman primer atau zaman hidup tua berlangsung selama
340 juta tahun. Makhluk hidup yang muncul pada zaman ini seperti mikro organisme, ikan, ampibi, reptil
dan binatang yang tidak bertulang punggung.

Mesozoikum

Mesozoikum atau sering pula disebut sebagai zaman sekunder atau zaman hidup pertengahan
berlangsung selama kira-kira 140 juta tahun, antara 251 hingga 65 juta tahun yang lalu. Pada zaman
pertengahan ini, reptil besar berkembang dan menyebar ke seluruh dunia sehingga pada zaman ini sering
pula disebut sebagai zaman reptil.

Neozoikum

Neozoikum atau zaman kehidupan baru dibagi menjadi menjadi dua zaman, yaitu zaman Tersier dan
zaman Kuartier. Zaman Tersier berlangsung sekitar 60 juta tahun. Zaman ini ditandai dengan
berkembangnya jenis binatang menyusui.

Sementara itu, Zaman Kuartier ditandai dengan munculnya manusia sehingga merupakan zaman
terpenting. Zaman ini kemudian dibagi lagi menjadi dua zaman, yaitu zaman Pleitosen dan Holosin.
Zaman Pleitosen (Dilluvium) berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang ditandai dengan adanya manusia
purba.

Zaman pleistosen ditandai dengan meluasnya lapisan es di kedua kutub Bumi (zaman glacial) dan
diseling dengan zaman ketika es kembali mencair (zaman interglacial). Keadaan ini silih berganti selama
zaman pleistosin sampai empat kali. Di daerah tropika zaman glacial ini berupa zaman hujan (zaman
pluvial) yang diseling dengan zaman kering (interpluvial).

Pada zaman glacial permukaan air laut telah menurun dengan drastis sehingga banyak dasar laut yang
kering menjadi daratan. Di Indonesia bagian barat dasar laut yang mengering itu disebut Dataran Sunda,
sedangkan di Indonesia bagian timur disebut Dataran Sahul. Dataran Sunda telah menyebabkan
kepulauan Indonesia bagian barat menjadi satu dengan Benua Asia, sedangkan Dataran Sahul telah pula
menghubungkan kepulauan Indonesia bagian timur dengan Benua Australia. Itulah sebabnya fauna dan
flora Indonesia barat mirip dengan fauna dan flora Asia dan sebaliknya fauna dan flora Indonesia timur
mirip dengan Australia. Manusia yang hidup zaman pleistosin adalah spesies homo erectus, yang
menjadi pendukung kebudayaan batu tua (Palaeolithicum).

Zaman pleistosin berakhir 10.000 tahun Sebelum Masehi kemudian diikuti oleh datangnya zaman
Alluvium atau zaman Holosin yang masih berlangsung sampai sekarang. Dari zaman ini muncullah
nenek moyang manusia sekarang, yaitu spesies homo sapiens atau makhluk cerdas.
Arkeologi

Zaman Batu

Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan terutama dibuat dari batu di
samping kayu dan tulang. Zaman batu ini dapat dibagi lagi atas:

Zaman batu tua (Paleolitikum)


Zaman batu tua (palaeolitikum), Disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih
dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya
periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Pendukung
kebudayaan ini adalah Homo Erectus yang terdiri.
Zaman batu tengah (mesolitikum)
Pada Zaman batu tengah (mesolitikum), alat-alat batu zaman ini sebagian sudah dihaluskan
terutama bagian yang dipergunakan. Tembikar juga sudah dikenal. Periode ini juga disebut masa
berburu dan meramu makanan tingkat lanjut. Pendukung kebudayaan ini adalah homo sapiens
(manusia sekarang), yaitu ras Austromelanosoide (mayoritas) dan Mongoloide (minoritas).
Zaman batu baru (Neolitikum)
Alat-alat batu buatan manusia Zaman batu baru (Neolithicum) sudah diasah atau dipolis
sehingga halus dan indah. Di samping tembikar tenun dan batik juga sudah dikenal. Periode ini
disebut masa bercocok tanam. Pendukung kebudayaan ini adalah homo sapiens dengan ras
Mongoloide (mayoritas) dan ras Austromelanosoide (minoritas).

Zaman Logam

Pada zaman Logam orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat dari batu.
Orang sudah mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat-alat yang diinginkannya.
Teknik pembuatan alat logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan
dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut acire perdue. Periode ini juga disebut masa perundagian
karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil melakukan pekerjaan tangan. Zaman
logam ini dibagi atas:

Zaman tembaga
Orang menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal di
beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak dikenal istilah zaman
tembaga.
Zaman perunggu
Pada zaman ini orang sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 :
10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
Zaman besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang
diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu
sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.

Zaman logam di Indonesia didominasi oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut
zaman perunggu. Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit dan bentuknya
seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi, ditemukan pada zaman sejarah.

Antara zaman neolithicum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalithicum, yaitu
kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan
megalithicum justru pada zaman logam.
Resep Minuman Es Selasih
Cara Membuat Minuman Es Selasih

Bahan :

1 gelas selasih

1 cangkir sari kelapa

10 biji kolang kaling

Sirup si manalagi

Air es secukupnya

Cara membuat :

Campurkan semua bahan jadi satu

Enak diminum ketika udara sedang panas ( Summer )

Sky Blue Punch


Bahan:

100 ml jus jeruk

400 ml air soda warna biru/pepsi blue

60 gr manisan rumput laut, potong-potong

60 gr nata de coco

60 ml sirup leci

1 sdt biji selasih, rendam air dingin, tiriskan

Es batu secukupnya

Cara Membuat:

1. Campur jus jeruk, manisan rumput laut, nata de coco dan biji selasih.

Aduk rata. Dinginkan dalam kulkas.

2. Sesaat sebelum disajikan, tuang pepsi blue dan potongan es batu,

aduk rata.

3. Siapkan gelas saji, masukan punch beserta isinya. Hidangkan segera.

Anda mungkin juga menyukai