Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan
masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-
bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar,
identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-
pertanyaan.
Penelitian kualitatif
adalah penelitian tentang fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Prosesnya berupa
pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut. Penelitian
deskriptif dapat bersifat komparatif dengan membandingkan persamaan dan perbedaan
fenomena tertentu; analitis kualitatif untuk menjelaskan fenomena dengan aturan berpikir
ilmiah yang diterapkan secara sistematis tanpa menggunakan model kuantitatif; atau
normatif dengan mengadakan klasifikasi, penilaian standar norma, hubungan dan
kedudukan suatu unsur dengan unsur lain.
Penelitian teoritis
adalah penelitian yang dilakukan dengan menciptakan fenomena pada kondisi terkendali.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan sebab-akibat dan pengaruh faktor-
faktor pada kondisi tertentu. Dalam bentuk yang paling sederhana, pendekatan
eksperimental ini berusaha untuk menjelaskan, mengendalikan dan meramalkan
fenomena seteliti mungkin. Dalam penelitian eksperimental banyak digunakan model
kuantitatif.
Penelitian rekayasa
Salah satu ciri guru yang bisa memotivasi adalah antusiasme, mereka peduli dan paham
dengan apa yang diajarkannya dan mengkomunikasikannya dengan murid bahwa apa
yang sedang mereka pelajari itu penting. Ia memberikan teladan yang dapat menjadi
inspirasi bagi siswanya.
Ciri-ciri guru yang berkualitas dan bisa memotivasi siswa adalah guru yang melakukan
hal-hal sebagai berikut :
Pendek atan probelem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu atau
kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah
matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari
siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar
belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh siswa
yang dbuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara
kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut.
Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil,
akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan
baik (Hamzah, 2003: 10).
Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain:
1.Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan
fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2.Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka.
Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi
yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3.Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah oleh peserta didik. Peserta
didik hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal/masalah.
Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan masalah/soal
dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown (1993: 302) menyatakan bahwa soal
dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda manipulatif,
permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. Sedangkan English
(1998) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam
bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal
berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing mungkin bukan suatu hal yang baru
dalam dunia pendidikan. Pendekatan ini pada awal tahun 2000 sempat menjadi kata kunci
di setiap seminar pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika. Meskipun
pendekatan ini lebih dikembangkan dalam pembelajaran matematika, namun belakangan
ini pembelajaran fisika dan kimia juga menggunakan pendekatan ini. Dan tidak menutup
kemungkinan pendekatan ini juga sudah dikembangkan dalam pembelajaran rumpun IPS
dan bahasa.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing bisanya diawali dengan penyampaian
teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori.
Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh
bagaimana membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawanya. Kemudian siswa
diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar induvidu atau
berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia,
siswa tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara
mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.
Penerapan dan penilaian yang cukup sederhana dari pendekatan ini, yaitu dengan cara
siswa diminta mengajukan soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas.
Dengan cara ini kita bisa melihat sejauh mana daya serap siswa terhadap materi yang
baru saja di sampaikan. Cara yang seperti ini sangat cocok digunakan dalam
pembelajaran untuk rumpun mata pelajaran MIPA. Melalui tugas membuat soal yang
setara dengan soal yang telah ada, kita bisa mencermati bagaimana siswa mengganti
variabel-variabel yang dikatahui lalu mencari variabel yang ditanyakan.
Bagi siswa yang memiliki daya nalar diatas rata, pendekatan seperti ini memberikan
peluang untuk melakukan eksplorasi intelektualnya. Mereka akan tertatang untuk
membuat tambahan informasi dari informasi yang tersediakan. Sehingga pertanyaan yang
diajukan memiliki jawab yang lebih kompleks. Sedangkan bagi anak yang
berkemampuan biasa cara ini akan memberikan kemudahan untuk membuat soal dengan
tingkat kesukaran sesuai dengan kemampuannya.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca
daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu
baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas
membaca yang diperintahkan pada siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab
soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca
materi, terletak pada fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih
dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyaan yang telah
mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu,
maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan siswa akan membacanya
kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada.
Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu,
lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru
membaca materinya.
Pada pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran dengan pendekatan problem posing
akan melatih sikap kritis dan cara berfikir divergen. Misalnya, seorang guru cukup
membagi-bagikan foto kopian sebuah artikel yang diambil dari majalah atau koran.
Berdasarkan artikel tersebut, siswa diminta membuat pertanyaan dan jawabannya. Maka
akan muncul ratusan pertanyaan dan jawaban hanya berdasarkan sebuah artikel. Mungkin
akan lebih dari itu. Sebab aspek kebahasaan yang dimuat dalam sebuah artikel banyak
sekali.
Sebenarnya banyak cara bagaimana mengaktifkan siswa. Salah satunya melalui
pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Melalui pendekatan ini mereka bisa
terangsang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang mudah dan murah.
Pengetahuan siswa dengan pendekatan ini, bisa dikembangkan dari yang sederhana
hingga pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan pendekatan tersebut siswa
akan belajar sesuai dengan tingkat berfikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan
yang kurang pandai tidak diperlakukan sama. Mereka akan belajar dengan problem
posing sesuai dengan pengetahuaan mereka yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan
pendekatan ini diharapkan siswa lebih bersemangat, kritis dan kreatif. Walhasil, dengan
pendekatan problem posing siswa diharapkan lebih peka terhadap masalah yang timbul
disekitanya dan mampu memberikan penyelesaian yang cerdas.
Sebagai ilustrasi tentang perumusan soal, berikut disajikan contoh pembelajaran objek
matematika yang berupa teorema, yang dikutip oleh Sutiarso dalam Brown dan Walter
(1990).
Guru : “Anak-anak, perhatikan persamaan x2 + y2 = z2, carilah nilai x, y, dan z yang
memenuhi persamaan tersebut!”
Siswa : “Saya ingat, itu seperti persamaan dalam Pythagoras, tentu nilai x = 3, y = 4, dan
z = 5”.
Guru : “Bagus! Sekarang apakah ada x, y, dan z yang lain?”
Siswa : “Ada. Berapa ya?”
Guru: “Nah, sekarang tulis nilai x, y, dan z sebanyak-banyaknya di buku kalian!”
(Setelah siswa menulis hasilnya, guru melanjutkan pertanyaan)
Guru: “Anak-anak, setelah kita menentukan x, y, dan z yang sesuai, sekarang buatlah satu
pertanyaan dari persamaan tersebut”
Siswa: “Bagaimana caranya pak?”
Guru: “Baik, sekarang Bapak akan menunjukkan contoh merumuskan soal, misalnya,
siapakah penemu pertama pesamaan itu?, atau Apakah nilai x, y, dan z selalu bilangan
bulat?. Bagaimana, mudah bukan?”
Siswa: “Baik pak, kami akan mencobanya.”
Berdasarkan ilustrasi di atas, Brown dan Walter (Sutiarso, 2000) menjelaskan bahwa
perumusan soal dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahapan kegiatan kognitif,
yaitu accepting (menerima), dan challenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu
kegiatan siswa menerima situasi-situasi yang diberikan guru atau situasi-situasi yang
sudah ditentukan, sedangkan tahap menantang adalah suatu kegiatan siswa menantang
situasi tersebut dalam rangka perumusan soal. Dalam contoh ilustrasi di atas, tahap
accepting-nya Siswa menerima situasi berupa persamaan
x2 + y2 = z2, sedangkan tahap challengingnya, Siswa menantang situasi persamaan
tersebut dengan merumuskan soal.
Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang bersumber pada teori tabula rasa John
Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap menunggu coretan-
coretan dari gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan oleh para pendidik saat
ini.Tuntutan pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik perlu menyusun dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun
pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu
keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi
juga pada pengetahuan awal siswa.Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa
dari apa yang mereka lakukan, lihat,dan dengar.
pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan
sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal
dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar
belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur
dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya
interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara
anggota kelompok (Sugandi, 2002: 14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan
timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai
keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari
anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong,
yaitu:
c. Tatap muka.
Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada
sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham
konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja
sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran
kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum
menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran
Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-
unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-
asalan.
Model pembelajaran cooperative learning adalah salah satu model pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran (student oriented). Dengan suasana
kelas yang demokratis, yang saling membelajarkan memberi kesempatan peluang lebih
besar dalam memberdayakan potensi siswa secara maksimal.
Model pembelajaran cooperative learning akan dapat memberikan nunasa baru di dalam
pelaksanaan pembelajaran oleh semua bidang studi atau mata pelajaran yang diampu
guru. Karena pembelajaran cooperative learning dan beberapa hasil penelitian baik pakar
pendidikan dalam maupun luar negeri telah memberikan dampak luas terhadap
keberhasilan dalam proses pembelajaran. Dampak tersebut tidak saja kepada guru akan
tetapi juga pada siswa, dan interaksi edukatif muncul dan terlihat peran dan fungsi dari
guru maupun siswa.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh baik oleh guru
maupun siswa di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model cooperative
learning.
Ketiga, penggunaanya cooperative learning merupakan suatu model yang efektif untuk
menge-mbangkan program pembelajaran terpadu. Dengan cooperative learning siswa
tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan aspek kognitif saja melainkan mampu
mengembangkan aspek afektif dan psikomotor.
Kelima, dengan cooperative learning mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa
terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarya. Dengan
bekerja kelompok maka timbul adanya perasaan ingin membantu siswa lain yang
mengalami kesulitan sehingga mampu me-ngembangkan sosial skill siswa. Disamping itu
pula dapat me-latih siswa dalam me-ngembangkan perasaan empati maupun simpati pada
diri siswa.
Keenam, dengan cooperative learning mampu melatih siswa dalam berkomunikasi seperti
berani mengemukakan pendapat, berani dikriik, maupun menghargai pendapat orang lain.
Komunikasi interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
menimbulkan dialog yang akrab dan kreatif.
Dari beberapa keuntungan dari model pembelajaran cooperative learning di atas, maka
jelaslah bagi kita bahwa keberhasilan suatu proses pendidikan dan pengajaran salah
satunya ditentukan oleh kemampuan dan ketera-mpilan guru dalam menggunakan strategi
dan model pembelajaran yang digunakannya. Salah satu model yang dapat memberikan
dampak terhadap keberhasilan siswa adalah melalui model pembelajaran koperatif atau
cooperative learning.
b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik
mereka sendiri.
c. Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan
yang sama.
d. Siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota
kelompoknya.
e. Siswa akan dikena evaluasi atau hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk
semua kelompok.
Sebagai seorang guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa tentu ia akan memilih
manakah model pembelajaran yang tepat diberikan untuk materi pelajaran tertentu.
Apabila seorang guru ingin menggunakan pembelajaran kooperatif, maka haruslah
terlebih dahulu mengerti tentang pembelajaran kooperatif tersebut. Dalam hal ini Muslim
Ibrahim (dalam Depdiknas, 2005 : 46) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif
sebagai berikut:
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang
berbeda.
a. Mencari Pasangan
- Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.
b. Bertukar Pasangan
- Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada
pasangan semula.
c. Kepala Bernomor
- Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat
nomor.
- Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap
anggota kelompok mengetahui jawaban ini.
- Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan
hasil kerja sama mereka.
d. Keliling Kelompok
- Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran jarum
jam atau dari kiri ke kanan.
e. Kancing Gemerincing
- Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing.
- Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya.
- Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua
rekannya habis.
- Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan
bertamu ke kelompok yang lain.
- Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi ke tamu mereka.
- Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil temuannya.
Pada pembelajaran kooperatif dikenal ada 4 tipe, yaitu: 1) tipe STAD, 2) tipe Jigsaw, 3)
Investigasi Kelompok dan 4) tipe Struktural. Tentang hal itu dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Tipe STAD
b. Tipe Jigsaw
Tipe Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran
melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman
belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Pada
pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu
anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok asal terdiri dari 3-
5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada
kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok yang disebut kelompok ahli.
c. Investigasi Kelompok
d. Tipe Struktural
Ada 2 macam pembelajaran koooperatif tipe struktural ini yang terkenal, yaitu:
o Tahap Kedua: Siswa diminta secara berpasangan untuk mendiskusikan apa yang
dipikirkannya pada tahap pertama.
o Tahap Ketiga: Meminta kepada pasangan untuk berbagi kepada seluruh kelas secara
bergiliran.
o Langkah 1: siswa dibagi per kelompok dengan anggota 3-5 orang, dan setiap anggota
diberi nomor 1-5.
Masih bingung dengan definisi kelarutan dan hasil kali kelarutan? Agar lebih jelas maka
perhatikan perbedaan di antara keduanya di bawah ini.
Kelarutan
Mengerti konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan sangat menbantu kita untuk
memahami dan menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan kelarutan
Jawaban:
Ksp atau konstanta hasil kali perkalian dapat dipergunakan untuk mencari kelarutan (s)
suatu garam yang tidak mudah larut. Kelarutan (s) disini mempunyai konsentrasi molar,
dan kelarutan yang diperoleh dari data Ksp adalah kelarutan garam pada kondisi tepat
jenuh.
Rumus Ksp tergantung dari jenis garam atau bisa juga dikatakan tergantung dari
perbandingan mol spesies anion dan kation penyusun garam tersebut. Misalnya PbSO4
adalah garam dengan perbandinga mol kation dan anion 1:1, sedangakn PbCl2 adalah
garam dengan perbandingan mol kation dan anion 1:2. Rumus Ksp PbSO4 tidak sama
dengan PbCl2 akan tetapi rumus Ksp PbSO4 akan sama dengan rumus Ksp BaSO4 yang
juga mempunyai perbandingan mol kation dan anion 1:1.
Semua garam di atas adalah garam dengan perbandingan mol 1:1 , sehingga rumus Ksp
ke-4 garam tersebut adalah sama yaitu
AB -> A+) + B-
s—–s—-s
Ksp = [A][B]
Ksp = s.s
Ksp = s2
S= Ksp1/2
Jadi yag paling sukar larut adalah garam dengan kelarutan terkecil yaitu
tembaga(II)sulfide (E)