Anda di halaman 1dari 74

Lfujhb

23 SEPTEMBER-
20 OKTOBER 2010

Festival Salihara Ketiga


PROGRAM

PROGRAM
Lfujhb
23 SEPTEMBER-
20 OKTOBER 2010

Rdk`jtOdlatj` AN INTRODUCTION

Bagi Anda dan bagi kami, sebuah festival semestinya


lebih daripada sekadar bunga rampai. Festival Salihara, kini
yang ketiga, adalah puncak pilihan para kurator kami. Kami sebut puncak, untuk dua
alasan. Yang pertama, kurator kami telah menampilkan yang terbaik sesuai bidang
dan konteks masing-masing, lebih daripada ketika mereka mengancang program
rutin-bulanan. Yang kedua, dalam kombinasinya satu sama lain, aneka mata acara itu
menampilkan sesuatu yang menegaskan visi kami untuk memelihara keragaman dan
kebaruan.
Adapun yang puncak, yang terbaik itu bukanlah ukuran dari kami belaka. Kami
senantiasa berusaha tumbuh bersama Anda sekalian, para pemirsa. Komunitas
Salihara telah berkembang jadi seperti sekarang ini karena kesediaan Anda
mendukung kami, menghidupi dan menghidupkan aneka program kami. Festival
Salihara adalah juga cara kami untuk berterima kasih kepada Anda sekalian. Selama
sebulan, yakni sepanjang 23 September-20 Oktober, kami menyajikan tidak kurang
dari 12 penampil dari tanah air dan mancanegara. Anda bukan hanya dapat memilih,
tapi juga membandingkan; dan, tentu saja, menikmati dengan leluasa.
Kesempatan tak datang dua kali. Maka jangan lewatkan. Di halaman-halaman
berikut, Anda akan membaca apa dan bagaimana para seniman yang akan tampil
dalam Festival kita. Kelompok tari Chunky Move dan pianis Margaret Leng Tan,
misalnya, adalah nama-nama dengan reputasi sangat tinggi dalam khazanah seni
dunia. Adapun duet pegitar Twin Demon dan kelompok tari Tresno Budoyo adalah

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 1
grup-grup yang “baru” bagi kita, tapi sudah sepatutnya mendapat resepsi yang lebih
luas karena keunikan karya mereka. Sementara itu, ada Teater Garasi dan koreografer
Fitri Setyaningsih yang dikenal dengan pentas-pentas mereka yang bersifat cutting
edge, ada pula koreografer Wiwiek Sipala dan pemain komungo-cum-komponis Jin Hi
Kim yang bergerak maju dengan bahan-bahan tradisi.
Kami juga mengundang Dato’ Seri Anwar Ibrahim berceramah tentang “kebebasan
dan para musuhnya”; kami percaya bahwa beliau, oleh karena pengalamannya, akan
melakukan refleksi yang mendalam atas tema yang berkait erat dengan visi kami.
Untuk mewarnai Festival secara khusus, kami memproduksi sendiri Tan Malaka karya
penyair Goenawan Mohamad dan komposer Tony Prabowo, sebuah opera-esai yang
bertolak dari fragmen-fragmen kehidupan dan pemikiran pejuang-intelektual yang
kontroversial itu. Sementara itu karya-karya instalasi Hedi Hariyanto dan Joko Dwi
Avianto akan mengubah tampakan kompleks Salihara sepanjang Festival.
Demikianlah, kita akan mencapai puncak bukan hanya dengan kumpulan, tapi juga
kombinasi, dari semua mata acara itu. Sejumlah komunitas akan meramaikan Festival
dengan acara lokakarya dan ceramah mingguan anggitan masing-masing. Jelaslah,
jejaring komunitas demikian bukan hanya akan memperkaya Festival, tetapi juga
memperluas lingkungan khalayak kritis di lingkungan ibu kota kita. Akhirnya, Festival
kita bisa terselenggara berkat dukungan besar dari banyak pihak—sponsor, donatur,
media-rekanan, lingkaran Sahabat Salihara, dan, tentu saja, para seniman sendiri.
Kepada mereka kami haturkan terima kasih tak terhingga.
Festival Salihara, yang sejak saat ini akan berlangsung secara dua-tahunan, adalah
sarana kita bersama untuk menegakkan kehidupan publik yang lebih sehat, majemuk,
dan terbuka. Marilah kita merayakan imajinasi dan kreativitas, karena itulah sumber-
sumber kita untuk bergerak laju ke depan. Anda, pemirsa sekalian, adalah pasangan
kami dalam menghidupi kesenian yang tepat untuk zaman dan lingkungan kita.
Selamat datang ke Festival Salihara, dan selamat menikmati.

For you and for us, a festival must be more than just an anthology. Festival Salihara,
now the third, can be seen as the crème de la crème of our curators’ choices. We call
it thus for two reasons. First, the curators have put together the best ones possible
from the respective fields and contexts, more so than when they’re just compiling
our monthly programs. Secondly, in the blending between one and the other, the
cornucopia of presentations and performances displays a certain je ne sais quoi
underlining our vision to preserve diversity and experimentation.
Nevertheless, this being the summit isn’t just a measure of ourselves. We always
strive to grow together with you, our audience. Komunitas Salihara has grown into

2 FE STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
what it is today because of your kind willingness to support us, to sustain and enliven
our variety of programs. Festival Salihara is also a way for us to thank all of you. For
a whole month, between September 23 and October 20, we will be presenting no less
than twelve troupes from Indonesia and abroad. You’re not only spoilt for choice, but
also invited to discern; and, of course, to enjoy them at leisure.
This opportunity does not arrive twice. So best not to miss it. In the following pages,
you will read the why-and-wherefores of the performers in our Festival. Chunky Move
dance company and the pianist Margaret Leng Tan, for instance, are names with
sterling reputations in the world arts scene. There are also performers such as duo-
guitarists Twin Demon and Tresno Budoyo dance troupe, who are relatively “new” to
us, but whose unique works are more than deserving to receive a wider reception.
Meanwhile, there are Teater Garasi and choreographer Fitri Setyaningsih, who are
very well-known for their cutting edged works. We will also see choreographer Wiwiek
Sipala and komungo player-cum-composer Jin Hi Kim who are always stepping into the
future with their respective traditions.
We invite Dato’ Seri Anwar Ibrahim to give a lecture on “freedom and its enemies”;
we believe that he, due to his experiences, can provide a critical reflection upon this
theme, something that is deeply entwined in our vision. To make an event with a
difference, we produce Tan Malaka, an operatic work by poet Goenawan Mohamad
and composer Tony Prabowo—a montage based on the life and thoughts of the
controversial intellectual-freedom fighter. In the meantime, site-specific installation
works by Hedi Hariyanto and Joko Dwi Avianto will alter the face of Salihara complex
throughout the Festival.
And thus, we would reach the summit with a veritable combination of all
performance pieces. A number of communities will also add to the nuances of this
Festival by organizing weekly workshops and lectures. Clearly, such a network of
communities will not only enrich the Festival, but, more importantly, expand the
sphere of the discerned public in our city. Finally, our Festival is made possible by
the support from various parties—our sponsors, donors, media-partners, Friends of
Salihara, and last but not least, the performers. To all of them, we are deeply grateful.
Festival Salihara, which heretofore will be hosted as a biennale, is a means which
enable us to make our urban life more colorful, tolerant and open. Let us celebrate
imagination and creativity—the source by which we could move forward faster. And you,
dear audience, are our companions in sustaining the arts suitable to our age and our
environment. Welcome to the third Festival Salihara, and we hope you will enjoy the
experience.

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 3
JADWAL PROGRAM

PEMBUKAAN

12Rdos 13Rdos 14Rdos

Diskusi Buku ‘MANJALI Ceramah


DAN CAKRABIRAWA’ ‘SEJARAH ARSITEKTUR
karya Ayu Utami INDONESIA DITINJAU DARI
Pembicara: Robertus SISI URBANITAS’
KOMPLEKS SALIHARA
Robet & Ikhaputri Pembicara: Suryono
SERAMBI SALIHARA Herlambang
SERAMBI SALIHARA

TERAS SERAMBI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A
GALERI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A

KOMPLEKS SALIHARA

12Rdosdladq,1/Njsnadq1/0/
KOMPLEKS SALIHARA

2/Rdos 0Njs 1Njs

Diskusi Buku Ceramah‘SEJARAH


‘SUKARNO DAN ISLAM’ ARSITEKTUR MODERN
karya INDONESIA’
Muhammad Ridwan Lubis Pembicara:
Pembicara: Luthfi Setiadi Sopandi
Assyaukanie & Giat SERAMBI SALIHARA
Wahyudi
SERAMBI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A
GALERI SALIHARA GALERI SALIHARA

P R O G R A M K O M U N I TA S :
MBATIK YUUUK: Musyawarah Buku, Rangkaian Lomba Foto &
Lokakarya Batik Info & pendaftaran: Ceramah ‘SEJARAH Lokakarya Foto
bersama Bu Indra dita.salihara@gmail.com ARSITEKTUR Info & pendaftaran:
Tj Info & pendaftaran: INDONESIA’ dita.salihara@gmail.com
Bu Indra Tj di 08111- Info & pendaftaran:
68-398 jongarsitek@gmail.com

4 FE STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
15Rdos 16Rdos 17Rdos 18Rdos

Diskusi
‘SEJARAH BATIK’

Lokakarya
membatik dengan
canting & malam
S E L A S A R T E AT E R
SALIHARA

GALERI SALIHARA
T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A

2Njs 3Njs 4Njs 5Njs

Diskusi ‘DUNIA BATIK


SAAT INI’

Lokakarya Lokakarya membatik


Fotografi dengan canting dan
‘OLAHAN DIGITAL malam
SERI 1’ S E L A S A R T E AT E R
SERAMBI SALIHARA SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A

T E AT E R S A L I H A R A
POWER’ GALERI SALIHARA
T E AT E R S A L I H A R A

KHUSUS UNDANGAN
HTM RP 100.000,- MAHASISWA/PELAJAR RP 50.000,- (TEMPAT TERBATAS)
GRATIS, DENGAN PENDAFTARAN SELAMBATNYA H-1 TIAP ACARA

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 5
JADWAL PROGRAM

6Njs 7Njs 8Njs

Diskusi Buku Ceramah


‘MIDNIGHT’S CHILDREN’ ‘ARSITEK MUDA
karya Salman Rushdie DALAM SEJARAH
Pembicara: Ayu Utami & ARSITEKTUR
Intan Savitri INDONESIA’
SERAMBI SALIHARA Pembicara:
Avianti Armand
SERAMBI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A

GALERI SALIHARA

12Rdosdladq,1/Njsnadq1/0/
KOMPLEKS SALIHARA

03Njs 04Njs 05Njs

SERAMBI SALIHARA SERAMBI SALIHARA

P R O G R A M K O M U N I TA S :
MBATIK YUUUK: Musyawarah Buku Rangkaian Lomba Foto &
Lokakarya Batik Info & pendaftaran: Ceramah ‘SEJARAH Lokakarya Foto
bersama Bu Indra dita.salihara@gmail.com ARSITEKTUR Info & pendaftaran:
Tj Info & pendaftaran: INDONESIA’ dita.salihara@gmail.com
Bu Indra Tj di 08111- Info & pendaftaran:
68-398 jongarsitek@gmail.com

6 FE STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
Rom Anthoni
0/Njs 00Njs01Njs 02Njs

Diskusi &
Lokakarya
‘HAL-HAL
Lokakarya PRAKTIS
Fotografi SEPUTAR BATIK’
‘OLAHAN DIGITAL
SERI 2’
GALERI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A

GALERI SALIHARA

06Njs 07Njs 08Njs 1/Njs

Lokakarya
Fotografi
‘PEMBAHASAN
HASIL FOTO’
SERAMBI SALIHARA

T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A T E AT E R S A L I H A R A
(PREMIERE)

HTM RP 100.000,- MAHASISWA/PELAJAR RP 50.000,- (TEMPAT TERBATAS)

PREMIERE: HTM RP 500.000,-

GRATIS, DENGAN PENDAFTARAN SELAMBATNYA H-1 TIAP ACARA

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 7
Qfncvlbbo
OPENING
Odlatj``mOPENING
Hmrs`k`rhRdmhQto`0!Tjuf.Tqfdjßd!Jotubmmbujpot

Hbkbi!'!Nfobqblj!Kfkbl
Elephant & Tracing The Trails
JOKO DWI AVIANTO & HEDI HARIYANTO
(BANDUNG & YOGYAKARTA, INDONESIA)

Kompleks Salihara Salihara Complex


23 September-20 Oktober 2010 September 23-October 20, 2010

Dua pematung ini menggunakan dua material


yang berbeda. Joko Dwi Avianto menggunakan
bambu, yang identik dengan alam yang tumbuh
seakan-akan tanpa campur-tangan teknologi,
sementara Hedi Hariyanto menggunakan kaleng
atau botol plastik bekas minuman ringan, yang
merupakan hasil dari dunia industri (peleburan
kaleng dan minuman ringan). Keduanya sama-sama menanggapi
satu perubahan yang terjadi di sekitar kita. Alam yang terus dirangsek oleh industri dan,
sebaliknya, industri yang terus-menerus mencoba memanjakan hidup kita.
Joko yang lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini
membangun gajah dari bambu yang dirancang sehingga berkelindan sedemikian rupa.
Tapi gajah dalam instalasi Joko adalah gajah yang mengalami pemiuhan sedemikian
rupa. Ia menyerupai bayi jangkrik raksasa dengan belalai yang melengkung-kaku.
Tubuhnya diekspose sehingga tampaklah jalinan bambu apus yang rumit sekaligus
tertib. Pada bagian badan, terutama. Sementara kakinya tampak lurus-kaku, jauh dari
kesan kaki gajah yang selama ini kita kenal. Pada akhirnya, yang lurus memang akan
menyanggah yang ruwet dan berkelindan, dan keduanya sama-sama membangun
tampakan luar yang menyihir mata.
Bambu adalah material yang telah dipilih pematung kelahiran Cimahi, Jawa Barat,
1976, ini dalam sejumlah instalasi sebelumnya, di samping rotan, tali, dan kawat.
Pada happening art Apa Ini, Apa Itu di Klungkung, Bali, 29-31 Desember 2009, Joko
juga menggunakan bambu yang menghubungkan dua pohon kelapa di studio I Wayan
Sujana Suklu. Bambu-bambu itu dirangkai sedemikian rupa membentuk keranjang
yang membebat dua pohon kelapa yang berdekatan. Instalasi itu bukan hanya
menyuratkan kekuatan tetapi juga keramahan terhadap alam.
Sementara Hedi Hariyanto, yang pernah belajar di Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta, menampilkan instalasi seni judul Menapaki Jejak. Ia membuat
terowongan berukuran 153 cm x 180 cm, seluruhnya dibangun dari kaleng-kaleng
minuman ringan atau botol-botol plastik air mineral. Terowongan itu ada dua. Yang
pertama sepanjang 308 cm dan yang kedua 410 cm. Di dalamnya ada semacam
tangga di mana pengunjung bisa menapaki terowongan kaleng itu dan menikmati
kekuatan rupa dari aneka kaleng yang disusun rapi—mengingatkan kita pada 100
Cans Andy Warhol. Pesannya cukup jelas. Dalam dunia kapitalisme mutakhir,
kita sebenarnya meneruskan atau mengikuti apa yang telah ditempuh orang lain,
terutama dalam soal mengonsumsi makanan dan minuman. Semua itu terjadi
karena rayuan iklan, tentu saja.
Hedi Hariyanto yang lahir di Malang, 18 November 1962, selama ini dikenal
sebagai pematung yang sangat peka terhadap persoalan sosial-budaya yang terjadi
di Indonesia. Sejumlah instalasinya, sebutlah Where is My Mom merupakan kritiknya
terhadap kebiasaan para bunda yang lebih suka memberikan susu bikinan pabrik
ketimbang ASI-nya sendiri. Ia telah mencatatkan sejumlah prestasi penting dalam
kariernya sebagai pematung. Misalnya, pada 1990 ia digelari Pematung Terbaik oleh
kampusnya ISI Yogyakarta. Pada 2005 ia memenangi kompetisi monumen Kudus
Kota Kretek di Kudus, Jawa Tengah.
These two sculptors use two different materials for their works. Joko Dwi Avianto
utilizes bamboo, reminiscent of our natural world, growing as though uninfluenced
by technology; while Hedi Hariyanto works with plastic bottles or soda cans, a
product of our industrial world (the combination of aluminum cans and soda pop).
Both artists address the states of change at work around us. The natural world
is being pushed aside by the advances of industry; while on the other hand, the
industrial world continues to provide for our creature comforts.
Joko, who graduated from the Arts and Design Faculty at Institut Teknologi
Bandung (ITB, Bandung Technology Institute), built an elephant out of bamboo,
designed to twist and turn in such a way. The elephant in Joko’s installation is a
distorted elephant, to a point that it even resembles a giant grasshopper nymph
with a rigidly-curved trunk. Its body is exposed, displaying a complicated-yet-
systematic intertwining green bamboo. This is especially true when one looks at its
torso. Meanwhile, its legs seem rigidly straight, far from the sense of an elephant
that we’re used to. In the end, the straight will sustain the complicated. Together
they create an outer facade that bewitches the eyes.
Bamboo is a material that has been chosen by this artist—born in Cimahi, West
Java, in 1976—in a number of his previous installations, in addition to rattan,
ropes, and wires. During a happening art show Apa Ini, Apa Itu [What is this, what is
that] in Klungkung, Bali, 29-31 December 2009, Joko used bamboo to connect two
coconut trees standing in I Wayan Sujana Suklu’s backyard. Pieces of bamboo were
arranged in such a way to create a basket surrounding the two trees standing close
to each other. This installation did not merely advertise strength, but also to show
an amicable relationship towards nature.
On the other hand, Hedi Hariyanto, who studied at Institut Seni Indonesia (ISI,
Indonesian Art Institute), Yogyakarta presents an art installation titled Menapaki
Jejak (Tracing the Trails). He created a 153 x 180 cm tunnel entirely out of soda cans
or mineral water plastic bottles. There are two such tunnels. The first one is 308 cm
long, the other is 410 cm long. Within them is a sort of stair where visitors can trace
their way through the tunnels, enjoying the magnitude of form created by the neatly
organized cans—reminding us of Andy Warhol’s 100 cans. The message is quite
clear. In our modern capitalist world, we are continuing or following what others
have done, especially when it comes to food and drink. All of which are caused by
advertisements, of course.
Hedi Heriyanto was born in Malang, 18 November 1962, and has been known as
a sculptor who is very conscious of socio-cultural issues in Indonesia evident in a
number of his installations, such as Where is My Mom which critiques the tendency
of those mothers who preferred to nurse their child with factory-made milk rather
than her own. He has achieved several important accolades as a sculptor. In 1990
he received Best Sculptor Award from his campus at ISI Yogyakarta. In 2005, he won
a monument competition Kudus the City of Kretek Cigarette in Kudus, Central Java.

12 F E STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 1 3
Odlatj``mOPENING

Ltrhj0!Nvtjd

Cpojub!boe!uif!ivt!Cboe
(JAKARTA, INDONESIA)

Teras Serambi Salihara Serambi Salihara’s Terrace


Kamis, 23 September 2010 Thursday, September 23, 2010
19:00 WIB 07:00 PM

BONITA & the hus BAND (BNTHB) adalah band


dengan empat anggota: Bonita (vokal, tamborin),
Petrus Briyanto Adi alias Adoy (gitar, vokal),
Bharata Eli Gulo (perkusi, vokal), dan Jimmy
Tobing (saksofon). Dalam setiap aksinya mereka menampilkan musik-
musik bernafas akustik, soul, folk, dan R&B. Syair-syair lagu mereka berangkat dari
pengalaman hidup sehari-hari. Karena itu terasa sangat pribadi tapi juga menyangkut
pengalaman orang banyak. Lagu God Came to Me misalnya, yang sangat dominan oleh
petikan gitar akustik ditingkahi vokal Adoy yang memberat, bercerita tentang Tuhan
yang datang kepada manusia membawa cinta. Peristiwa yang mirip turunnya wahyu
kepada Nabi, bergerak antara realisme dan surealisme.
Sebagai vokalis, Bonita sebenarnya sempat bekerja sama dengan sejumlah musisi,
bahkan ia pernah menerbitkan dua album solo, Bonita (2003) dan ...laju (2009). BNTHB
sendiri baru dibentuk pada 2006. Dalam formasi awal, Rizal Bayu Prasadha (gitar
bass, vokal) ikut memperkuat, sebelum akhirnya keluar dan masuklah Jimmy Tobing
pada Mei 2009. Dengan formasi terakhir ini penampilan BNTHB semakin kompak.
Kemampuan dan pengalaman masing-masing pemain ikut memperkuat karakternya.
Bonita punya kemampuan bernyanyi yang penuh jiwa serta ekspresi totalnya,
sementrara Adoy dengan gaya ritme gitar yang ketat dan perkusif, Bharata dengan
gaya bermain perkusi yang solid dan berdendang, dan Jimmy dengan gaya eklektiknya
membuat kuartet akustik ini tampak “total, kuat, riang, menyenangkan”.
BNTHB mendapat tanggapan yang menarik dalam setiap pentasnya. Mereka meraih
sukses pada penampilan internasional pertama di On the Waterfront Series—Indie
Asia pada April 2009 di Outdoor Theater, Esplanade, Singapura, dengan album mereka
BONITA & the hus BAND (volume 1). Setahun kemudian, Maret lalu, Bonita dan kawan-
kawan kembali tampil di Esplanade, Singapura, dalam festival musik internasional
Mosaic Music Festival 2010.

Dettadwiarto
BONITA & the hus BAND (BNTHB) is a band with four members: Bonita (vocals,
tambourine), Petrus Briyanto Adi alias Adoy (guitar, vocals), Bharata Eli Gulo
(percussion, vocals), and Jimmy Tobing (saxophone). Every time they perform their
music includes acoustic, soul, folk, and R&B. The lyrics of their songs come from their
experiences in daily life. The song, God Came to Me for example, which is dominated by
the plucking of acoustic guitar punctuated by the heavy vocals of Adoy, tells the story
of how God came to humans bringing love. This event that resembles the Prophet
receiving the revelation moves between realism and surrealism.
As a vocalist, Bonita has actually worked with a number of musicians, and even
produced two solo albums, Bonita (2003) and …laju (2009). BNTHB was formed in 2006.
In the initial formation, Rizal Bayu Prasadha (bass guitar, vocal) was part of the group
before he left and Jimmy Tobing joined in May 2009. With their current formation,
BNTHB appears more unified. The ability and experience of each performer plays a
part in enriching the character of the group. Bonita has the ability to sing soulfully and
very expressively, while Adoy has a tight and percusive rhythm guitar style, Bharata with
a solid and singing style of playing percussion, and Jimmy with his electric style make
this acoustic quartet appear “total, strong, vibrant, and enjoyable.”
BNTHB get interesting responses every time they perform. They achieved success in
their first international performance at On the Waterfront Series—Indie Asia in April of
2009 at the Outdoor Theater, The Esplanade Singapore, with their album, BONITA & the
hus BAND (volume 1). A year later, last March, Bonita and friends again appeared at The
Esplanade, Singapore, in the international music festival Mosaic Music Festival 2010.
Odlatj``mO P E N I N G

S`qh0!Ebodf

Bllbsfob!Tpncbmj
WIWIEK SIPALA (MAKASSAR & JAKARTA, INDONESIA)

Teater Salihara Teater Salihara


Kamis, 23 September 2010 Thursday, September 23, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
Khusus undangan Invitation only

Pakarena adalah tarian Makassar yang


ditengarai telah berkembang sejak abad ke-14
Masehi. Ia berawal dari mitos perpisahan dewa-dewi penghuni boting langi
(negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi). Dewa-dewi itu turun dari kahyangan
dan tinggal bersama penduduk bumi untuk mengajarkan manusia tata cara hidup,
bercocok tanam, beternak, berburu, bermusyawarah, hingga bergotong royong. Saat
perpisahan terjadi, para penghuni bumi menyampaikan terima kasih mereka melalui
gerakan-gerakan yang sejak saat itu disebut Pakarena.
Gerakan-gerakan dalam Pakarena merupakan kontras antara musik yang rancak,
ritmis dan dinamis, dengan gerakan yang lemah-lembut, pelan tapi tegas. Secara
tradisional, pementasan Pakarena dimulai pada pukul 4 sore sampai subuh. Dalam
pentas yang lengkap, para pemusik Pakarena memainkan tetabuhan Gandrang
Pakarena yang lambat laun berganti sesuai dengan pergantian waktu. Pada awal
pementasan, musik yang dimainkan cenderung riang gembira, bagian kedua (sampai
menjelang tengah malam) cenderung kontemplatif, khusyuk dan syahdu, sementara
bagian ketiga lebih tenang dan seolah penuh harapan menyongsong hari baru.
Pakarena terbagi atas 12 babak. Meskipun di tiap babak tampak gerakan yang nyaris
sama, terkandung makna yang berbeda-beda. Gerakan pada posisi duduk menjadi
pertanda awal dan akhir tarian ini. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam
menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik-turun, tak ubahnya
cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan
membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh
diangkat terlalu tinggi.
Akkarena Sombalii adalah hasil pemaknaan ulang Wiwiek Sipala sejak pertama kali
mendalami Pakarena pada 1963. Sombalii yang berarti kembara, menyiratkan bentuk
Pakarena yang merupakan gabungan dari sejumlah varian Pakarena yang telah dikenal
luas, yang kemudian dilahirkan kembali sebagai tafsir baru, dengan memasukkan
sejumlah unsur yang merupakan telaah pribadi. Ia adalah Pakarena yang sama, namun
menjelma liyan karena dilahirkan di tanah lain.
Pakarena is a dance of Makassar allegedly developed since the 14th century. It began
from the myth of the parting between the gods, residents of boting langi (the land of
heaven) with the residents of lino (the earth). The gods come down from heaven and
live with the residents of earth in order to teach the people how to live, how to cultivate,
raise livestock, hunt, assemble and reach agreements, and provide mutual assistance.
When their parting must take place, the people of earth express their gratitude through
movements that until today are called Pakarena.
The movements of Pakarena are a contrast between lively, rhythmic and dynamic
music with soft, gentle, slow yet firm movements. Traditionally, a Pakarena
performance begins at four in the afternoon and lasts until dawn. In a complete
performance, the musicians play the piece Gandrang Pakarena which slowly changes
to suit the changes in the time. At the start of the performance, the music played
tends to be light and joyful, the second part (as it nears the middle of the night) tends
to be contemplative, religious and devotional, while the third part is calmer and as if
welcoming a new day full of hope.
Pakarena is divided into 12 sections. Although in each section the movements
that appear are almost the same, they hold different meanings. Movements in a
sitting position mark the beginning and end of the dance. Movements which turn in a
clockwise direction express the cycle of human life. While movements that rise and fall
are none other than the rhythm of life. In the performance, a Pakarena dancer is not
allowed to open her eyes too wide. Similarly, in the leg movements, she may not lift her
legs too high.
Akkarena Sombali is the result of Wiwiek Sipala’s redefinition of Pakarena since she
first began to study the dance form in 1963. Sombali which means to wander, implies
that this form of Pakarena which is the combination of a number of Pakarena variations
that are widely known, are then presented as a new interpretation, including some
elements from her personal research. It is the same Pakarena, but transformed into
the other, because it was born in a different place.

PKJ / TIM
Odlatj``mOPENING

Wjefp!Nbqqjoh
AV REACTOR FEATURING GSTW
THIRD EYE STUDIO (ANTON ISMAEL,
JOEY CHRISTIAN, HERU W. ATMAJA)

Kompleks Salihara Salihara Complex


Kamis, 23 September 2010 Thursday, September 23, 2010
21:00 WIB 09:00 PM

Pada mulanya adalah seni instalasi dengan


media video. Lantas video mapping yang
merupakan inovasi dari instalasi jenis ini.
At first there was installation art with video media, then video mapping, an
innovation from that type of installation. Video mapping is a new technique to create
optical illusions using light and projections to change everyday objects, things
or surfaces which we commonly see into fantastic creations that can change our
perspective towards them.
Video mapping uses projection techniques from a digital projector to show digital
video graphics on an object, thing or surface. The contents of video mapping includes
among others: manipulation of shapes using 2D or 3D software engineering. Graphic
shapes can also be executed using certain techniques, video shooting or footage
that is specially designed or that already exists to manipulate video mapping digital
projections. Objects, things, or surfaces for video mapping can be in a variety of
shapes, sizes, and areas, still or moving, as long as it can still be projected as a video
and fulfills the basic requirements of video mapping. That is, total darkness, including
the surrounding environment.
Video mapping can also be combined with other fields of art, such as theater, music,
street art, and so on. Video mapping is currently a trend in Indonesia, especially
as a number of companies or institutions use this innovation to display or promote
the message they want to present. A number of concerts, parties, and theater
performances have also used it as a new element. Not to be left behind, various
communities in Jakarta and other cities are also developing applications of this
fantastic video technology.

Bowo
Odlatj``mOPENING

Qftub!Tvlb!Cphb
Food Fiesta
JALANSUTRA (JAKARTA, INDONESIA)

Kompleks Salihara Salihara Complex


Kamis-Jumat, 23-24 September 2010 Thursday-Friday, September 23-24, 2010
18:00 WIB 06:00 PM

Makanan bukan sekadar urusan perut, tapi


juga masalah kemaslahatan kebudayaan seluruh
bangsa di dunia. Karena itu karakteristik sebuah bangsa bisa juga
ditelusuri lewat makanan mereka. Di Indonesia, ada komunitas yang secara khusus
menikmati dan mengamati seni boga dan budaya dari berbagai suku bangsa.
Namanya Jalansutra. Anggotanya disebut “JSers”. Mereka menerbitkan situs resmi
dan anggota komunitas ini bertambah terus dari hari ke hari.
Akan tetapi, waspadalah, Jalansutra bukanlah Jalan Sutra (Silk Road)
sebagaimana yang dikenal dalam sejarah. Dan Makansutra bukanlah makan sutra
(silk eating). Adapun Kamasutra adalah pengetahuan dan keterampilan tentang
“kama” atau hal-hal yang menyangkut hubungan ragawi antara perempuan dan
laki-laki. Jadi, Jalansutra adalah pengetahuan tentang jalan-jalan. Dan karena
jalan-jalan biasanya juga melibatkan makan-makan, maka Jalansutra sekaligus
Makansutra.
Jalansutra berawal dari tulisan Bondan Winarno di Kompas Cyber Media dan
Suara Pembaruan Minggu. Lantas berkembang menjadi sebuah komunitas yang
mempunyai kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan boga dan budaya.
Dengan semboyan yang selalu tertanam di benak JSers, “Sekali jalan-jalan terus
makan-makan”.
Dalam kesempatan ini, pengunjung akan diajak menikmati makanan-makanan
yang direkomendasikan anggota komunitas Jalansutra. Makanan-makanan ini, tentu
saja, maknyuss dan top markotop rasanya.
Food is not merely a matter of the stomach, but it is also one of the cultural
benefits of all nations of the world. And because of that the characteristics of a
nation can be traced through their food. In Indonesia, there is a community that
especially enjoys and observes the art of the food and culture of various ethnic
groups. Its name is Jalansutra. The members are referred to as “JSers.” They
have launched an official website and the number of community members keeps
growing every day.
However, be careful, Jalansutra is not the Jalan Sutra (Silk Road) as it is
known in history. And Makansutra is not makan sutra (silk eating). There is also
the Kamasutra, information and skills regarding “kama” or things related to
the physical relationship between men and women. No, actually Jalansutra is
information about traveling or just taking a stroll. And because travel, near or far,
usually involves food, thus it becomes Jalansutra and at the same time Makansutra.
Jalansutra originated from the writings of Bondan Winarno in Kompas Cyber
Media and Suara Pembaruan Minggu. It then developed into a community that
is concerned about things related to food and culture. With the motto always
implanted in the minds of JSers, “Once traveling keep on eating.”
On this occasion, visitors will be invited to enjoy food recommended by members
of the Jalansutra community. These foods, of course, are maknyuss and top
markotop (very delicious!).

Paul Kadarisman
Afrizal Malna
Qsphsbn!Vubnb!
MAIN EVENTS
Ltrhj0!Nvtjd

Uxjo!Efnpo
DIDY SANTOSA & DODY WASKITA
(SEMARANG, INDONESIA)

Teater Salihara Teater Salihara


Pembukaan festival Festival opening
Kamis, 23 September 2010 (khusus undangan) Thursday, September 23, 2010 (invitation only)
20:00 WIB 08:00 PM
Jumat, 24 September 2010 Friday, September 24, 2010
20:30 WIB 08:30 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Twin Demon mendedahkan semangat musik


yang asali. Bahwa sejatinya musik adalah rangkaian nada, tidak lebih tidak
kurang. Adapun vokal atau syair kemudian datang sebagai upaya bahasa untuk
menyampaikan semacam cerita yang berpanduan rangkaian nada tadi. Yang terjadi
adalah sekian banyak penjelajahan bunyi dawai-dawai dua gitar elektrik hingga ke
taraf yang tertinggi dan tercepat, susul-menyusul dan saling meningkahi, dan di saat
yang sama hampir tak ada derau di sana. Tanpa imbuhan lirik, rentetan nada yang
keras-cepat-tinggi itu tetap sedap di telinga kita.
Memilih aliran progressive neo-classical metal, band gitar instrumental ini
memadukan antara kedalaman musik klasik dengan tenaga musik rock yang
dahsyat. Mengambil inspirasi dari apa yang telah ditempuh oleh Hess, Dream
Theater, Symphony X, Jason Becker, George Bellas, atau Yngwie Malmsteen, Didy
dan Dody membuktikan bahwa kreativitas dalam musik, metal terutama, sungguh
tidak terbatas. Dalam lagu Virtual Odysseyy misalnya, penjelajahan bunyi dawai gitar
terasa sangat menakjubkan, dengan virtuositas yang tinggi pula. Tak pelak, mereka
adalah peracik bunyi yang piawai sekaligus perawat harmoni yang telaten.
Dengan gaya permainan gitar semacam itu, para penggemar mereka di Semarang
menjuluki mereka sebagai “demit kembar” atau “setan kembar”. Karena itu
kemudian mereka membentuk band duo T Twin Demon pada pertengahan 2006.
Band ini adalah kelanjutan dari proyek duo mereka dalam menjelajahi berbagai
kemungkinan artistik musik metal, setelah sebelumnya membentuk band death
metal Morbiddust ketika duduk di bangku sebuah SMP di Semarang.
Pada Juli tahun ini T
Twin Demon mengeluarkan album baru berjudul The
Adventure yang berisi 11 lagu—setelah sebelumnya, pada 10 Oktober 2007 mereka
mengeluarkan album kecil yang berisikan lima lagu yang semuanya dikerjakan
sendiri, mulai dari rekaman hingga penjualan. Pada pentasnya di Festival Salihara
2010 TTwin Demon akan diperkuat oleh beberapa pemain tambahan: Suherman Widi
Asmoko (keyboard), Yopi Kristian (bass) dan Bangkit Mahandhika (drum).
Garna Raditya

Twin Demon presents a back-to-the-roots musical spirit; that in essence, music is a


string of notes, no more, no less. Then come vocals and verses as a linguistic attempt
to expose a certain story to go with the aforementioned string of notes. What happens
next is a series of sound exploration emerging from the strings of two electric guitars,
brought to the highest and quickest state, chasing after one another, stepping over one
another, and at the same time, there is almost no noise. Without lyrics, the procession
of loud-fast-high notes remain pleasing to the ears.
In choosing a progressive neo-classical metal genre, this instrumental guitar band
combines the depth of classical music with the great energy emanating from rock
music. Deriving inspiration from the likes of Hess, Dream Theater, Symphony X, Jason
Becker, George Bellas, or Yngwie Malmsteen, Didy and Dody prove that creativity in
music, especially in metal genre, is indeed unlimited. In Virtual Odyssey, for example,
the exploration of the sounds produced through a guitar’s strings is awe-inspiring,
displaying a high level of virtuosity also. Undeniably, they are skilled sound makers, in
addition to being careful with their harmonies.
Due to their guitar-playing style, their fans in Semarang dubbed them twin demons.
Thus, the duo band named Twin Demon was born in the middle of 2006. This band is a
continuation of their project as a duo in exploring artistic possibilities in metal scenes.
Previously, they had created a death metal band, Morbiddust, when they were in junior
high school in Semarang.
In July 2010, Twin Demon released a new album titled The Adventure, containing 11
pieces. Prior to this, in 10 October 2007, they released a small album of five song titles,
all of which were done by themselves, from recording to the sales of the albums. For their
performance at the 2010 Festival Salihara, Twin Demon will be supported by additional
names: Suherman Widi Asmoko (keyboard), Yopi Kristian (bass), Bangkit Mahandika
(drum).
Sd`sdq0!Uifbufs
Po.Pgg!)Svnbi!Cpmpoh*
TEATER KUBUR (JAKARTA, INDONESIA)
Rtsq`c`q`.Chqdbsnq9ChmcnmV-R-

Galeri Salihara Galeri Salihara


Sabtu-Minggu Saturday-Sunday
25-26 September 2010 September 25-26, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Sebuah rumah yang kehilangan daun pintu dan


jendela adalah sebuah ancaman. Sebab kapan saja orang asing
bisa masuk dan merusak semua tatanan di dalamnya dan akhirnya: merobohkannya.
Itulah yang terjadi dalam On-Off (Rumah Bolong). Yakni, satu per satu anggota sebuah
keluarga hancur oleh perubahan yang dibawa orang asing, yang bisa keluar-masuk
dengan sangat leluasa di rumah itu. Sementara Nenek sebagai simbol pertahanan
terakhir dari kehancuran tatanan itu hanya bisa menyenandungkan kidung-kidung
untuk cucunya yang baru tumbuh.
On-Off (Rumah Bolong) bisa dibaca sebagai sebuah alegori tentang kehancuran
dan harapan sebuah bangsa. Sebab, meski hampir semua orang telah kehilangan
jatidiri akibat serbuan budaya asing dan mengalami kehancuran setelah itu, ternyata
masih ada segelintir orang yang mencoba melawan, menanamkan harapan akan
keselamatan, meski itu baru akan terjadi entah kapan. Dan harapan itu mewujud lewat
kesenian.
Dengan bentuk pemanggungan yang eksperimental, Teater Kubur mencoba
mengeksplorasi kekuatan akting dan tubuh masing-masing pemainnya. Dalam
beberapa kesempatan memang tampak akting yang menyiksa tubuh, bahkan absennya
cerita, tapi dari sanalah muncul katarsis—sebuah nubuah kesenian.
Teater Kubur adalah kelompok teater yang matang lewat Festival Teater Jakarta.
Didirikan oleh Dindon W. S. pada 1983 teater ini pada mulanya beranggotakan anak-
anak muda putus sekolah dan terjerumus ke dalam dunia narkotika dan kriminalitas.
Mereka berproses di lokasi pekuburan di Gang Kober, Jatinegara, Jakarta Timur. Teater
Kubur pernah mementaskan sejumlah lakon, antara lain: Kapai-Kapai, Sirkus Anjing,
Tombol 13, Sandiwara Dol, Danga-Dongo I dan II, Trilogi Besi, dan Jas dalam Toilet.
A house that has lost its doors and windows poses a threat, because at any time a
stranger can come in and destroy all the order within and, finally, tear it apart. That
is what takes place in On-Off (Rumah Bolong). That is, one by one the family members
are shattered by changes brought by strangers, who can so easily come and go in
their house. Meanwhile the Grandmother as a symbol of the last holdout against the
destruction of that order can only sing and hum poetic songs for her grandchild who is
just growing up.
On-Off (Rumah Bolong) can be read as an allegory about the destruction and hopes of a
nation. The reason is that almost everyone loses touch with their identities as a result of
the onslaught of foreign culture and after that experiences their downfall. Yet it turns out
that a small group of people still exists who try to resist, planting the seeds of hope for
being saved, though no one knows when that will happen. And those hopes are realized
through the arts.
With an experimental form of performance, Teater Kubur tries to explore the strength
in the acting and bodies of each of its performers. In several instances acting that
tortures the body is seen, even with the absence of a story, but from that a catharsis
emerges—an artistic prophecy.
Teater Kubur is a theater group that matured by way of the Jakarta Theater Festival.
Established by Dindon W. S. in 1983, in the beginning this group was comprised of youth
who had dropped-out of school and had become immersed in the world of narcotics and
crime. Their creative process and rehearsals were held in the Gang Kober cemetery in
Jatinegara, East Jakarta. Teater Kubur has performed a number of plays, among others:
Kapai-Kapai, Sirkus Anjing, Tombol 13, Sandiwara Dol, Danga-Dongo I dan II, Trilogi Besi, and
Jas dalam Toilet.
Rangga Riantiarno
Sd`sdq0!Uifbufs

Ibnmfu!uif!Dmpxo!Qsjodf
Hamlet Si Pangeran Badut
CINEMATOGRAPH (MUMBAI, INDIA)
Rtsq`c`q`.Chqdbsnq9Q`i`sJ`onnq

Teater Salihara Teater Salihara


Senin-Selasa Monday-Tuesday
27-28 September 2010 September 27-28, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 100.000,- Tickets Rp 100.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 50.000,- Students Rp 50.000,-

Hamlet si Pangeran Badut dikembangkan


berdasarkan lakon Hamlet karya William
Shakespeare. Tokoh-tokoh seperti Hamlet, Horatio, Getrude, Raja Claudius,
Laeartes, Ophelia, Hantu dimainkan oleh badut. Mereka membuang sejumlah bagian
dalam naskah asli dan mencampur bagian-bagian yang tersisa. Meskipun begitu,
mereka tetap mempertahankan esensi naskah dan berupaya mengaitkannya dengan
konteks kehidupan kita hari ini—perkawinan antara budaya tinggi dan budaya pop.
Misalnya, mereka mengambil sejumlah frase bahasa Inggris dari naskah aslinya dan
dan mengucapkannya dalam aksen Itali dan Prancis, ricauan jargon, lagu dalam film
Lion King, moonwalk ala Michael Jackson, hingga dagelan gaya Charlie Chaplin.
Yang hadir kemudian bukan hanya situasi heteroglosia yang unik, tetapi juga humor
yang menohok. Tragedi digali dan dikembangkan sedemikian rupa sampai muncullah
komedi. Sehingga apa yang menguras airmata adalah juga yang memancing gelak tawa.
Lebih dari itu, lakon ini juga mendedahkan situasi pascakolonial tersendiri: para aktor
India yang sangat beragam bahasanya mencoba membaca Hamlet yang berasal dari
tradisi sastra Inggris. Mungkin terjadi salah baca dan salah terjemah, tapi pada titik-
titik itulah kreativitas dimungkinkan.
Dengan bentuk seperti ini Rajat Kapoor, aktor sekaligus sutradara Bollywood,
mencoba mengupayakan penafsiran mutakhir lakon dari tradisi Elizabethan ini. Ia
menggunakan para badut untuk menafsir Hamlet karena baginya itulah jalan masuk
langsung ke dalam teks dan kita bisa membawa kepekaan kita ke sana. Karya Kapoor
yang satu ini bukan hanya dipuji oleh banyak media dan kritikus di India, tetapi juga
memenangkan predikat Sutradara Terbaik, Lakon Terbaik, Aktor Terbaik, Aktor
Pembantu Terbaik, Desain Kostum Terbaik pada Mahindra Excellence in Theatre Awards
di New Delhi, India.
Hamlet the Clown Prince is based upon the play, Hamlet by William
Shakespeare. The characters such as Hamlet, Horatio, Getrude, King Claudius,
Laertes, Ophelia, and the Ghost are played by clowns. They have eliminated
parts of the original script and combined remaining sections. Nonetheless, they
still retain the essence of the script and try to connect it to the context of daily
life today—a marriage of high culture and pop culture. For example, they take
some of the English from the original text and pronounce it with Italian and
French accents, a mixed up babble of jargon, with songs from the film Lion King,
moonwalk ala Michael Jackson, to Charlie Chaplin-style comedy.
What is presented is not only a unique heteroglossia situation, but also cutting
humor. The tragedy is explored and developed in such a way that the comedy
emerges, so that what makes us cry also provokes laughter. More than that,
this play exposes the postcolonial situation itself: the Indian actors with their
varied languages try to read Hamlet which originates from an English literary
tradition. Perhaps misreading or mistranslations occur, but those moments
make creativity possible.
With this form, Rajat Kapoor, Bollywood actor and director, strives for an up-
to-date interpretation of this Elizabethan tragedy. He uses clowns to interpret
Hamlet because for him it is a means of direct entry into the text and we can
bring our sensitivity to it. Kapoor’s work, now not only being praised by a lot of
media and critics in India, has also won the predicates of Best Director, Best
Play, Best Actor, Best Supporting Actor, Best Costume Design in the Mahindra
Excellence in Theatre Awards in New Delhi, India.

Cinematograph
Ltrhj0!Nvtjd

Ejhjubm!Cveeib
JIN HI KIM & GERRY HEMINGWAY (USA)

Teater Salihara Teater Salihara


Rabu-Kamis Wednesday-Thursday
29-30 September 2010 September 29-30, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Digital Buddha adalah pementasaan multimedia


yang menampilkan resital solo komungo (sitar
Korea abad ke-4 Masehi) atau komungo elektrik Jin
Hi Kim, didukung oleh perkusi Gerry Hemingway
Eleni Toumpas

dan citra digital video Benton-C Bainbridge dan


Joel Chadman.
Kim menciptakan pentas interaktif antara komungo elektrik dan sistem komputer
MIDI. Menggunakan teknologi MAX/MSP suara komungo diproses melalui program
komputer yang dipicu oleh pedal kaki MIDI. Dengan begitu, penampilan solonya kali
ini merupakan jalinan erat antara pikiran-pikiran abadi dalam meditasi Buddis dengan
sistem radar abad angkasa luar—proyek musik yang telah ia tekuni sejak 25 tahun
terakhir.
Digital Buddha yang berdurasi 70 menit pertama kali tampil di Korea Festival pada
2007. Selanjutnya ia tampil di sejumlah peristiwa seni bergengsi, seperti World on
Stage Festival, Roulette di New York, Expo Zaragoza, dan Museo do mar de Galicia,
Festival Abrazos de Compostela di Spanyol.
Kim telah dianugerahi Guggenheim Fellowship 2010 untuk Komposisi Musik. Ia
terlibat dalam Music Alive Composer in Residence bersama New Haven Symphony
Orchestra sepanjang 2009-2011 dan pernah mengikuti program residensi Composer
to Composer bersama John Cage dan komponis internasional lainnya. Di Korea
Selatan ia dihargai karena perannya sebagai duta budaya dan inovasinya dalam
komungo elektrik. Bukunya Komungo Tango terbit di Korea Selatan.
Adapun Gerry Hemingway adalah salah satu perkusionis terpenting di Amerika
Serikat sejak dua dekade silam. Ia telah tampil bersama Anthony Davis, Leo Smith,
George Lewis, dan Anthony Braxton. Di akhir 1970-an, bersama trombonis Ray
Anderson dan bassis Mark Helias, ia membentuk trio Bass DrumBone. Ia juga anggota
Anthony Braxton Quartet selama 11 tahun (1983-1994).

30 F E STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
Digital Buddha is a multimedia performance, presenting Jin Hi Kim’s komungo/electric
komungo solo recital (a komungo is a Korean 4th-century fretted board zither), and
supported by percussionist Gerry Hemingway, as well as digital video work by Benton-C
Bainbridge and Joel Chadman.
Kim created an interactive stage between her electric komungo and MIDI computer
system. Utilizing MAX/MSP technology, the sounds emanating from the komungo is
processed by a computer program triggered through a MIDI foot pedal. Thus, this solo
performance presents a close-knitted relationship between the eternal tenets of Buddhist
meditations with space-age radar system—a music project that she has been working on
for the past 25 years.
A 70-minute presentation, Digital Buddha was first performed in Korea Festival in 2007.
Subsequently, she has appeared on some of the world’s foremost stages, such as World
on Stage Festival, Roulette in New York, Expo Zaragosa, and Museo do mar de Galicia,
Festival Abrazos de Compostela in Spain.
Kim received the Guggenheim Fellowship 2010 award for Music Composition. She is
currently involved in Music Alive Composer in Residence with New Haven Symphony
Orchestra for the 2009-2011 seasons. She has also participated in the Composer to
Composer residency program with famous international composers such as John Cage.
In South Korea, she is recognized for her contribution as a cultural ambassador, and her
innovative work with the electric komungo. Her book Komungo Tango is published in South
Korea.
Gerry Hemingway is one of America’s foremost percussionist for the past two decades.
He has appeared on stage with Anthony Davis, Leo Smith, George Lewis and Anthony
Braxton. In the late 70s, together with trombonist Ray Anderson and bassist Mark Helias,
he created the trio Bass Drum Bone. He was also part of the Anthony Braxton Quartet for
11 years (1983-1994).

Jin Hi Kim

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 3 1
S`qh 0!Ebodf

Tfmbnbu!Ebuboh!ebsj!Cbxbi
Welcome from the Bottom
FITRI SETYANINGSIH (YOGYAKARTA, INDONESIA)
Chqdjstq@qshrshj.@qshrshbChqdbsnq9@eqhy`kL`km`
Galeri Salihara Galeri Salihara
Jumat, 01 Oktober 2010, 20:30 WIB Friday, October 01, 20
Sabtu, 02 Oktober 2010, 20:00 WIB Saturday, October 02,
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Di bagian pertama pertunjukan ini—Lubang Cahaya


Bernafas, kita mendapatkan benang-benang beraneka
warna disusun teratur sehingga membentuk gradasi
warna dengan batu di ujung-ujungnya. Ujung benang yang
lainnya dikaitkan pada jari tangan para penari. Mereka membentuk komposisi gerak
yang unik dengan komposisi warna benang yang elok di mata. Di bagian kedua Penyusup
dalam Tubuh, tubuh-tubuh yang tenggelam di dalam mantel, di samping tubuh-tubuh
yang terbuat dari resin dan bercahaya. Lantas butiran-butiran kentang dilemparkan ke
panggung, terus-menerus. Di bagian akhir Dataran yang Terus ke Dasarr ada balok-balok
es yang diperlakukan sebagai kekasih atau sahabat sejati, sampai di akhir adegan balok-
balok es lainnya memenuhi panggung.
Selamat Datang dari Bawah merupakan pertemuan dari tiga hal: kisah Franz Schubert
(seorang komponis Austria, 1797) yang melatih jari-jari tangannya dengan batu;
pandangan filsafat Zen di sekitar pikiran yang terjebak dalam balok es; serta Bodyscape,
instalasi karya Titarubi. Gabungan ketiganya menjadi menarik karena benda-benda dari
dunia sehari-hari itu mendapatkan tafsir baru. Hampir semua fungsi tradisional benda
itu ditanggalkan, dan masuklah perlakuan baru ke dalamnya. Yaitu, aneka koreografi
gerak yang menjelajah lantai, yang mencoba melayani hukum gravitasi. Menurut
yang empunya koreografi, inilah instalasi proses terjadinya mutasi-mutasi gerak dan
negosiasi tubuh dengan lantai tempatnya berpijak, serta pemaknaan yang mungkin
dilakukan. Pertunjukan tari ini mau merawat hubungan mistik antara tubuh dengan
dataran.
Dengan tiga koreografi ini Fitri percaya bahwa tari tidak semata-mata peristiwa tubuh.
Lebih dari itu ia merupakan peristiwa media yang melibatkan banyak disiplin. Ini yang
akan membawa tari kepada perubahan-perubahan yang berlangsung di sekitarnya. Fitri
dilahirkan di Solo, 26 Agustus 1978. Lulusan STSI Surakarta (2003) ini telah mengikuti
sejumlah lokakarya tari di Solo, Yogyakarta, dan Jakarta, baik bersama koreografer
dalam negeri maupun mancanegara. Karya-karyanya mulai dipanggungkan sejak ia
masih kuliah. Yang terbaru adalah S(h)elff di Teater Salihara, Mei 2010.
In the first part of this performance The Breathing Hole of Light we witness multi-
colored threads neatly arranged, to create a gradation of colors, weighted with stones
at the ends. The other end of those threads is tied to the dancers’ fingertips. Together,
they create a unique composition of movements, intertwined with colorful threads
that please the eyes. In the second part The Infiltrator in a Body, bodies submerged in
mantles are next to bodies made out of shiny resin. Then, piece after piece of potatoes
are thrown on stage. In the final part A Surface that Goes Straight to the Bottom, blocks
of ice are treated as though they are lovers or true friends, until the end of the scene
where other blocks of ice fill the stage.
Welcome from the Bottom is a meeting of three things: the story of Franz Schubert
(the Austrian componist, 1797), who trained his fingers on stones; a Zen outlook in the
time when our minds are besieged by ice blocks; and Bodyscape, an installation created
by Titarubi. The connection of the three becomes interesting because everyday things
receive a new meaning. Almost all of the traditional functions of these things are left
behind, letting new treatments to take their place. That is, a number of choreography
of moves that explores the floor, as if pandering to the laws of gravity. According the
choreographer, here is an installation of the process that brings forth mutations in
movement and a negotiation of the body with the floor it is treading upon; as well as
deriving any meaning as possible. This dance performance wants to provide attention to
the mystical relationship between the body and surfaces.
Through these three choreographies, Fitri believes that dance is not merely a bodily
event. More than that, dance is a media event, involving many disciplines. This is what
will bring dance to changes that are happening around it. Fitri was born in Solo, 26
August 1978. She graduated from STSI Surakarta (2003), and has been involved in a
number of dance workshops in Solo, Yogyakarta, and Jakarta; both with domestic and
foreign choreographers. Her works have been presented on stage ever since she was
still in college. Her most recent work, S(h)elf, was staged at Teater Salihara, in May
2010.
Afrizal Malna
Ltrhj0!Nvtjd

Upqpmphz
(BRISBANE, AUSTRALIA)
Teater Salihara Teater Salihara
Lucid Dreaming Minggu, 03 Oktober 2010 Lucid Dreaming Sunday, October 03, 2010
Corridors of Power Senin, 04 Oktober 2010 Corridors of Power Monday, October 04, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Kwintet kontemporer ini terdiri dari Christa


Powell (violin), Bernard Hoey (viola), Kylie
Davidson (piano), Robert Davidson (bass), dan
John Babbage (saksofon). Dalam bekerja mereka mencoba
merambah wilayah-wilayah baru dalam musik. Mereka berkolaborasi dengan para
seniman dari berbagai bidang, mulai dari komedi, pop, jazz, world music, musik kamar,
film, hingga seni eksperimental. Musik mereka bergulat dengan berbagai tema dan
aneka lapisan ide, termasuk politik, filsafat, dan kehidupan mutakhir, dan semua itu
digarap tanpa meninggalkan rasa humor dan kemahiran para pemainnya.
Sejak terbentuk pada 1997, Topology telah meraih khalayak fanatik dan secara
teratur tampil memukau di Brisbane dan wilayah Australia lainnya. Pada 2003
mereka menyelesaikan lawatan internasional pertama mereka, dengan konser yang
sukses di Kanada. Setelah itu Topology juga bekerja sama dengan banyak komposer
internasional lainnya, termasuk Tim Brady (Kanada), Andrew Poppy, Michael Nyman,
Jeremy Peyton Jones (Inggris), William Duckworth, Terry Riley, Steve Reich, Philip
Glass, Carl Stone, Paul Dresher (Amerika Serikat), di samping komposer-komposer
dari Australia.
Baru-baru ini, saat menjalani artists-in-residence di Brisbane Powerhouse, Topology
tampil bersama Kate Miller-Heidke, The Kransky Sisters, duo perkusi Karak dan
TaikOz. Topology juga telah tampil di sejumlah festival, termasuk Olympics Arts
Festival, Sydney Spring Festival (saat mereka menyabet predikat Best Ensemble).
Topology telah menelurkan tujuh album, di antaranya Topology, Scat, dan Big
Decisions. Terakhir, pada 11 Juli lalu, berkolaborasi dengan Misinterprotato, kwintet ini
meluncurkan album berjudul Healthy.
Topology menampilkan dua program berbeda dalam Festival Salihara 2010. Hari
pertama, Lucid Dreaming, terdiri dari gabungan antara karya komponis internasional
dan karya Topology. Sementara Corridors of Powerr pada hari kedua menampilkan
rekaman pidato dan video yang ditingkahi musik yang menekankan kualitas irama
dalam pidato tersebut.
Eleni Toumpas

This contemporary quintet consists of Christa Powell (violin), Bernard Hoey (viola),
Kylie Davidson (piano), Robert Davidson (bass), and John Babbage (saxophone). In
their work they try to open up new areas in music. They collaborate with artists from
various fields, starting from comedy, pop, jazz, world music, chamber music, film, to
experimental art. Their music grapples with diverse themes and layers of ideas, including
politics, philosophy, and issues in modern life, and their pieces are all created without
losing a sense of humor and the musicians’ expertise.
Since it was formed in 1997, Topology has gained a devoted public following and
regularly appears in riveting performances in Brisbane and other parts of Australia. In
2003, they completed their first international tour, with a successful concert in Canada.
After that, Topology also worked with many other international composers, including Tim
Brady (Canada), Andrew Poppy, Michael Nyman, Jeremy Peyton Jones (England), William
Duckworth, Terry Riley, Steve Reich, Philip Glass, Carl Stone, Paul Dresher (United
States), besides composers from Australia.
Recently when they were artists-in-residence at Brisbane Powerhouse, Topology
appeared with Kate Miller-Heidke, The Kransky Sisters, the percussion duo Karak and
TaikOz. Topology has also performed in a number of festivals, including the Olympics Arts
Festival, and the Sydney Spring Festival (where they were named Best Ensemble).
Topology has produced seven albums, among them Topology, Scat, and Big Decisions.
Last July 11, in collaboration with Misinterprotato, this jazz quintet launched an album
titled Healthy.
In Festival Salihara 2010 Topology will present two different programs. Lucid Dreaming,
in day one, that mixes international composers works with Topology’s own music;
and Corridors of Power in the second day, that focuses on recorded speech and video
accompanied by music that emphasises the musical quality of the speech.
Ltrhj0!Nvtjd

Nbshbsfu!Mfoh!Ubo
(NEW YORK, USA)

Terlahir sebagai Margaret Tan Hee Leng di


Singapura, 12 Desember 1945, Margaret Leng Tan
dikenal sebagai maestro sekaligus profesional
pertama yang memainkan “piano bocah” (toy piano
atau kinderklavier), yakni piano setinggi 51 cm yang
dimainkan oleh anak-anak—meskipun ia juga ahli
piano dewasa.
Tan menampilkan musik yang menghadapkan sekaligus menantang keterbatasan
instrumen piano dan piano bocah dan berkolaborasi dengan sejumlah komponis yang
sependirian dengannya, seperti Michael Nyman, Julia Wolfe, Toby T Twining dan Ge Gan-
ru. Dalam setiap permainan pianonya Tan memadukan antara konsentrasi spiritual
Timur, dengan keterampilan Klasik Barat. Adalah George Crumb yang pertama kali
menahbiskan Tan sebagai seorang juru sihir perempuan, lantaran kedalaman dan daya
tarik bunyi permainan pianonya, sementara Somei Satoh menyebutnya cenayang, dan
harian The New York Times menjulukinya “Ratu Piano Bocah”.
Belajar piano sejak usia enam tahun, ia mendapat beasiswa untuk belajar di The
Juilliard School, pada usia 16 tahun. Sepuluh tahun kemudian ia menjadi perempuan
pertama yang mendapatkan gelar Doctor in Musical Art di Juilliard School. Pada 1981 ia
bertemu dengan komposer John Cage dan bekerjasama selama 11 tahun terakhir masa
hidup Cage, dan sejak itu ia dikenal sebagai murid sekaligus penafsir paling otoritatif
terhadap musik Cage. Kolaborasinya dengan Cage juga mendorongnya menekuni piano
bocah dan memulai debutnya untuk instrumen ini pada 1993 di Lincoln Center New York,
dengan memainkan komposisi Cage Suite for Toy Piano (1948).
Pada 1997 ia mengeluarkan album CD The Art of the Toy Piano, yang berisi sejumlah
komposisi piano bocah, termasuk Moonlight Sonata karya Beethoven dan Eleanor Rigby
karya The Beatles. Untuk instrumen yang tidak biasa ini ia punya kredo yang disadapnya
dari Marcel Duchamp, “alat yang buruk butuh keahlian yang lebih baik.”
Born Margaret Tan Hee Leng, in Singapore, 12 December 1945, Margaret Leng Tan is
known as the first maestro and professional to play the toy piano (the kinderklavier)—a
51-cm tall piano for children to play the piano on—although she is also an expert on the
adult piano.
Tan presents music that confronts and challenges the instrumental limitations
of the piano and the toy piano. She has collaborated with a number of composers of
similar outlook, like Michael Nyman, Julia Wolfe, Toby Twining and Ge Gan-ru. In each
piano performance, Tan blends East spiritual concentration with Western classical
proficiency. It was George Crumb who first proclaimed Tan as a sorceress, due to the
depth and sonic intensity of her performances; Somei Satoh called her a shaman. The
New York Times dubbed her “Queen of the Toy Piano”.
She started learning the piano at the age of six, and received a scholarship to further
her studies at The Juiliard School at the age of 16. Ten years after that she became the
first woman to attain the Doctorate in Musical Art at Juilliard School. In 1981, she met
with composer John Cage, working together for the last 11 years of Cage’s lifetime.
Since then she became known as apprentice and the most authoritative interpreter
of Cage’s music. Her collaboration with Cage also compelled her to diligently explore
toy pianos; and in 1993 she debuted her performance with this instrument at Lincoln
Center New York, performing Cage’s composition Suite for Toy Piano (1948).
In 1997, she released a CD album titled The Art of the Toy Piano, in which she
performed several compositions for the toy piano, including Beethoven’s Moonlight
Sonata and The Beatles’ Eleanor Rigby. In playing this unusual instrument, she adheres
to a credo borrowed from Marcel Duchamp, “poor tools require better skills.”

Michael Dames
S`qh0!Ebodf
Cbspoh!Ptjoh
SENI BARONG “TRESNO BUDOYO” (BANYUWANGI, INDONESIA)
Chqdjstq@qshrshj.@qshrshbChqdbsnq9DmcnRt`mc`

Galeri Salihara Galeri Salihara


Jakripah dan Paman Iris & Panji Sumirah Jakripah and Uncle Iris & Panji Sumirah
Rabu, 06 Oktober 2010 Wednesday, October 06, 2010
Landaya Singa Barong & Pangeran Mantri Landaya Singa Barong & Prince Mantri
Kamis, 07 Oktober 2010 Thursday, October 07, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Barong Osing berkembang di kalangan masyarakat


Osing, salah satu kelompok etnis yang dianggap paling
tua di Banyuwangi, Jawa Timur. Pada masa silam, pertunjukan
barong ini terbatas hanya untuk acara ritual, tapi kini biasa dipertunjukkan pada
acara yang lebih sekuler, seperti untuk tontonan perayaan pernikahan, khitanan, dan
peringatan hari besar pemerintahan. Barong Osing menyandang identitas yang khas:
antara rasa Jawa dan Bali, Islam dan Hindu, gunung dan laut, sakral dan profan.
Bentuknya mirip barong Bali: perwujudan binatang ajaib-angker, mata melotot,
bertaring, dagu bergerak, dan dimainkan oleh dua orang. Tapi, barong Osing bersayap
dan bermahkota besar. Perbedaan mencolok lainnya adalah bentuk pemanggungannya.
Dalam pentas semalam suntuk, barong Osing menampilkan ramuan antara tarian,
musik, cerita, puisi, lelucon, akrobat-mistis, dan banyak lagi. Semua pemainnya laki-
laki, mengikuti aturan tradisi, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan.
Di Festival Salihara 2010 barong Osing tampil dua malam berturut-turut, masing-
masing berdurasi dua jam. Pada malam pertama akan tampil dua tema, Jakripah dan
Paman Iris dan Panji Sumirah. Kedua tema ini berhubungan. Di malam kedua akan
tampil satu cerita dalam dua episode. Pertama, Landaya Singa Barong, kedua Pangeran
Mantri, seorang pangeran yang istrinya dicintai dan diculik Landaya Singa Barong. Kelak,
Landaya dikalahkan oleh Garuda Sawung Alit, yang tak lain adalah Sang Petapa, yang
pada awalnya mengubahnya dari macan ke manusia, dan akhirnya mengembalikannya
lagi ke wujud macan.
Barong Osing Tresno Budoyo diperkuat oleh Sapi’i selalu pemilik grup sekaligus
“penjaga” atau “pawang” pertunjukan. Ada juga Edi Sucipto (sutradara dan pemain),
Saki (musik), Rudi (pemeran perempuan), dan Sanusi (penyanyi dan penyair).
Koordinator Pertunjukan adalah Aekanu Haryono, dengan Direktur Artistik Endo Suanda.
Barong Osing is an art form developed amongst the Osing people, the ethnic
group considered to be the oldest in Banyuwangi, East Java. In the past, the barong
performance was limited to only ritual events, but today it is commonly performed
for more secular events, such as the entertainment in celebrations of weddings,
circumcisions, and government holidays. Barong Osing has a special sense of identity:
between Java and Bali, Islam and Hindu, mountain and sea, sacred and profane.
The shape is similar to a Balinese barong: the embodiment of a fanciful-magical
animal, with bulging eyes, fangs, a movable chin, and performed by two people. But,
barong Osing also has wings and a large crown. The other difference that stands out is
the form of the performance. In the all-night performance, the barong Osing presents
a mixture of dance, music, story, poetry, joking, mystical acrobatics, and much more.
Following the tradition, all the performers are men including those who play female
characters.
In the Festival Salihara 2010 barong Osing will perform two nights in a row, each
performance lasting for two hours. On the first night, two related themes will appear,
Jakripah and Uncle Iris and Panji Sumirah. On the second night a story in two episodes will
be performed. The first, Landaya Singa Barong, the second Prince Mantri, a prince whose
wife is loved and kidnapped by Landaya Singa Barong. Later, Landaya is defeated by
Garuda Sawung Alit, who is no other than The Hermit, who in the beginning transformed
Landaya from a tiger into a human, and in the end returns him to his original form as a
tiger.
Barong Osing Tresno Budoyo is supported by Sapi’i, the owner of the group who also
serves as a “guardian” or “guide” for the performance. Others involved include Edi
Sucipto (director and performer), Saki (music), Rudi (female character), and Sanusi
(singer and poet). The Performance Coordinator is Aekanu Haryono, with Endo Suanda
as Artistic Director.

Aekanu Hariyono
S`qh0!Ebodf

Hmpx
CHUNKY MOVE (MELBOURNE, AUSTRALIA)
Chqdjstq@qshrshj.@qshrshbChqdbsnq9FhcdnmNa`qy`mdj
Teater Salihara Teater Salihara
Jumat, 08 Oktober 2010, 20:30 WIB Friday, October 08, 2010, 08:30 PM
Sabtu, 09 Oktober 2010, 20:00 WIB Saturday, October 09, 2010, 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Glow adalah koreografi yang mencerahkan karya


Direktur Artistik Gideon Obarzanek dan pencipta
perangkat lunak interaktif Frieder Weiss. Mereka
bertemu di Monaco Dance Forum pada 2004 dan sejak
itu terlibat diskusi serius seputar penggunaan proyektor
data untuk mencahayai tubuh yang bergerak. Setahun
kemudian di Australia mereka menguji berbagai hubungan antara tubuh yang bergerak
dengan grafik bergerak yang menggunakan sistem kamera inframerah. Dalam
perkembangannya Gideon mencoba menciptakan sejenis “fiksi biotek” yang mengubah
tubuh ke dalam kondisi grotesk dan sensual imajiner yang lain lagi.
Di panggung tubuh dan cahaya saling merasuki. Cahaya adalah penampakan lain dari
tubuh, atau sebaliknya. Ia bisa bergetar ketika tubuh penari bergetar, mengerut ketika
si penari mengerutkan tubuhnya, tapi juga meluas begitu ia merentangkan tubuhnya.
Ia bukan hanya hiasan panggung semata-mata, tapi sosok yang melukis tubuh dan
panggung itu dengan kekuatan terangnya. Permainan kuas-kuas cahaya di atas panggung
akhirnya menimbulkan citraan-citraan yang ajaib pada mata dan pikiran penonton.
Didirikan pada 1995, Chunky Move berkarya bukan hanya untuk pertunjukan panggung,
tapi juga dengan media baru dan karya instalasi. Pada 2008 Chunky Move menerima gelar
Best Dance Work untuk Glow w dan Best Visual or Physical Theatre Production untuk Mortal
Engine pada the Live Performance Australia Helpmann Awards. Pada 2009 Mortal Engine
menerima Honorary Mention in the Prix Ars Electronica Awards dalam kategori Hybrid
Arts.
Gideon juga berkolaborasi dengan Lucy Guerin and Michael Kantor dan menerima
New York Bessie Award untuk koreografi Tense Dave. Ia juga menyutradarai film Dance
Like Your Old Man, bersama Edwina Throsby dan memenangkan predikat Best Short
Documentary pada Melbourne International Film Festival (2007), Flickerfest International
Short Film Festival dan Best Film pada Cinedans Festival di Amsterdam (2008).

40 F E STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
Rom Anthoni

Glow is the enlightening choreography of Artistic Director Gideon Obarzanek and


interactive software creator Frieder Weiss. They met at the Monaco Dance Forum
in 2004 and from then on became involved in serious discussions centered around
the use of projector data to light bodies in motion. A year later they tested various
relationships between bodies in motion with moving graphics using an infrared
camera system. In the developments Gideon tried to create a kind of “biotech
physics” that changed the body in other imaginary grotesque and sensual conditions.
On the stage the bodies and lights permeate each other. The light is a different
appearance than the body, and vice versa. It can tremble when the dancer’s body
trembles, shrink when the dancer shrinks his body, but also expand when he
stretches his body. It is not simply a stage decoration, but a figure which paints the
body and stage with the power of its light. Brushes of light play on the stage finally
creating magical images for the eyes and thoughts of the audience.
Established in 1995, Chunky Move creates pieces not only for stage performances,
but also with new media and installation pieces. In 2008 Chunky Move received the
title Best Dance Work for Glow and Best Visual or Physical Theatre Production for
Mortal Engine at the Live Performance Australia Helpmann Awards. In 2009 Mortal
Engine received Honorary Mention in the Prix Ars Electronica Awards in the category
of Hybrid Arts.
Gideon also collaborated with Lucy Guerin and Michael Kantor and received
the New York Bessie Award for the choreography Tense Dave. He also directed
the film Dance Like Your Old Man, together with Edwina Throsby which was named
Best Short Documentary at the Melbourne International Film Festival (2007),
Flickerfest International Short Film Festival and Best Film at the Cinedans Festival
in Amsterdam (2008).

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 4 1
Bdq`l`g 0!Mfduvsf

Lfcfcbtbo!
'!Nvtvi.Nvtviozb
Freedom and Its Enemies
DATO’ SERI ANWAR IBRAHIM (KUALA LUMPUR, MALAYSIA)

Tema ini bukan hanya berangkat dari pengalaman


pribadi Anwar Ibrahim sebagai politisi yang mengalami
ancaman terus-menerus, terutama dari lawan-lawan
politiknya, tetapi juga menyoal hakikat kebebasan secara
umum. Bahwa di alam demokrasi, kebebasan individu adalah prasyarat utama yang
mesti dipenuhi sebelum menuju kepada negara yang demokratis. Seseorang mesti dijamin
untuk menjalankan hak-haknya, misalnya kebebasan berpendapat dan beragama, tanpa
ada hambatan dari pemerintah dan individu lain—tapi di saat yang sama ia juga tidak boleh
mengancam kebebasan orang lain. Ancaman terhadap kebebasan individu adalah juga
ancaman terhadap demokrasi.
Tetapi, demokrasi yang notabene adalah masalah tersendiri dalam masyarakat Melayu
yang identik dengan Islam. Demokrasi dicap sebagai hasil kebudayaan Barat, anti-Islam,
sementara tamadun Melayu dan Islam mempunyai mekanisme sendiri dalam mengatur
hubungan masyarakat dan negara. Dalam konteks ini, Anwar akan menguraikan
kekuatan-kekuatan apa saja yang bisa diidentifikasikan sebagai musuh kebebasan dan
ancaman terhadap demokrasi. Apakah itu konservatisme beragama, rekayasa pengadilan,
pemberangusan pers, dan banyak lagi yang lainnya.
Anwar Ibrahim adalah pemimpin oposisi Malaysia. Ia lahir pada 10 Agustus 1947 di
Cherok Tok Kun, Penang, Malaysia. Karier politiknya yang tertinggi adalah sebagai Wakil
Perdana Menteri Malaysia (1993-1998), dan sempat disebut-sebut sebagai calon kuat
pengganti Mahathir Mohamad. T Tapi kemudian ia menjadi pengecam keras rezim Mahathir. Ia
kemudian kembali ke Parlemen sebagai pemimpin oposisi Malaysia setelah menang telak di
Permatang Pauh pada Pemilu 2008. Ia adalah Penasihat Partai Keadilan Rakyat yang diketuai
istrinya, Wan Azizah Wan Ismail.

42 F E STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
Pusat Data dan Analisa Tempo

This theme comes not only from the personal experiences of Anwar Ibrahim as a
politician who experienced continual threats, especially from his political rivals, but
also questions the essence of freedom in a general sense. That in a democratic world,
individual freedom is the main prerequisite that must be fulfilled before proceeding to a
democratic state. An individual must be guaranteed to be able to implement their rights,
for example the freedom to hold an opinion and have a religion, without any obstacles
from the government or other individuals—but at the same time he or she is not allowed
to threaten the freedom of other people. Threats to individual freedom are also threats
to democracy.
However, democracy is a problem in itself within Malay society which is identical with
Islam. Democracy is branded as a product of Western culture, anti-Islam, while Malay
culture and Islam have their own mechanisms for managing the relationships between
people and the state. In this context, Anwar Ibrahim will examine what kind of forces
can be identified as enemies of freedom and threats to democracy, whether religious
conservatism, manipulation of the courts, muzzling of the press, and many others.
Anwar Ibrahim is the opposition leader in Malaysia. He was born on August 10, 1947 in
Cherok Tok Kun, Penang, Malaysia. The highest position he achieved in his political career
was as Deputy Prime Minister of Malaysia (1993-1998), and at one time he was mentioned
as the strong candidate to replace Mahathir Mohamad. But he then became a tough
critic of the Mahathir regime. He then returned to Parliament as the leader of Malaysia’s
opposition after winning a landslide victory in Permatang Pauh in the 2008 Election. He
is Advisor for Partai Keadilan Rakyat led by his wife, Wan Azizah Wan Ismail.
The lecture will be in bahasa Indonesia.

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 4 3
Sd`sdq0!Uifbusf
Uvcvi!Lfujhb/!
Qbeb!Qfsbzbbo!zboh!Cfsbeb!ej!Boubsb
The Third Body. On Embracing the In-Between
TEATER GARASI (YOGYAKARTA, INDONESIA)
Rtsq`c`q`.Chqdbsnq9Xtch@gl`cS`itchm

Teater Salihara Teater Salihara


Selasa-Rabu, 12-13 Oktober 2010 Tuesday-Wednesday, October 12-13, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 50.000,- Tickets Rp 50.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000,- Students Rp 25.000,-

Pentas ini semacam esai teatrikal atau teater esai


tentang kesenian Tarling-Dangdut dan Indramayu.
Bahwa sebagai sebentuk kesenian yang berkembang di pesisir utara Jawa, Tarling-
Dangdut menyimpan banyak aspek yang menarik, terutama jika dikaitkan dengan sejarah
kebudayaan Indonesia sebagai sejarah kebudayaan “di antara”. Ia bergerak di antara
kebudayaan agraris dan industrial, antara desa dan kota, antara tradisional dan modern.
Ia tersusun dari pertemuan dan percampuran budaya-budaya yang berbeda. Tubuhnya
terbangun dari lapisan-lapisan.
Tarling-Dangdut juga problematis. Ia dianggap bukan seni tradisi tetapi juga belum seni
modern. Ada masyarakat yang menggemarinya sebagai bagian dari ritus sosial maupun
bentuk kesenian, tetapi ada pula yang menolak dan merendahkannya dengan alasan
tertentu. Tapi di tengah posisi problematis itu ia terus tumbuh menjadi penanda kota dan
wilayah Indramayu.
Sementara sebagai sebuah kota Indramayu tumbuh di antara pusat-pusat kebudayaan
yang saling menanamkan pengaruhnya: Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), Jawa Barat
(Bandung) dan Jakarta yang merupakan pusat Indonesia modern. Ia bisa dibaca sebagai
desa sekaligus kota yang tumbuh di “ruang ketiga”. Itulah entitas kebudayaan yang tidak
tumbuh dari satu definisi atau identitas saja, tetapi percampuran dari berbagai-bagai.
Karena itu ia hanya bisa dipahami dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.
Untuk pentas kali ini Teater Garasi melakukan riset dan berproses langsung di
Indramayu. Sebelumnya, Teater Garasi mementaskan j(ej)alan (2008) dan sejumlah proyek
monolog bagi aktor-aktrisnya.

44 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
This performance is a kind of theatrical essay on the art form of Tarling-Dangdut
and Indramayu. As an art form which has developed in the north coast region of Java,
Tarling-Dangdut has many interesting aspects to it, especially when related to the
history of Indonesian culture as a cultural history of the “in between.” It moves between
agrarian and industrial cultures, between rural and urban, between traditional and
modern. It is composed of the meeting and mixing of different cultures. Its body is
constructed from layers.
Tarling-Dangdut is also problematic. It is considered to be neither traditional art nor
an art which is modern. There are people who like it as part of social rituals or as an
art form, but there are those who reject and criticize it for various reasons. But in the
midst of its problematic position it continues to grow as an icon of the city and area of
Indramayu.
Meanwhile as a city Indramayu has grown among cultural centers which have also
influenced it: Central Java (Solo and Yogyakarta), West Java (Bandung) and Jakarta, the
center of modern Indonesia. It can be read as a village and at the same time as a city
growing in the “third space”. That is as a cultural entity which has not developed from
only one definition or identity, but a combination of diverse ones. Because of that, it can
only be understood through various approaches and perspectives.
For this performance Teater Garasi undertook a research and creative preparation by
working directly in Indramayu. Previously, Teater Garasi performed j(ej)alan (2008) and
a number of monologue projects for various actors/actresses.

Teater Garasi
Nodq`0!Pqfsb

Ubo!Nbmblb
TONY PRABOWO & GOENAWAN MOHAMAD
(JAKARTA, INDONESIA)

Teater Salihara Teater Salihara


Senin-Rabu, 18-20 Oktober 2010 Monday-Wednesday, October 18-20, 2010
20:00 WIB 08:00 PM
HTM Rp 500.000,- (Premiere) Tickets Rp 500.000,- (Premiere)
Rp 100.000,- Rp 100.000,-
Pelajar/Mahasiswa Rp 50.000,- Students Rp 50.000,-

Opera Tan Malaka merupakan kolaborasi kesekian


kali antara komponis Tony Prabowo dan libretis
Goenawan Mohamad. Opera ini mulai dipersiapkan sejak setahun lalu.
Sebagai sebuah perkawinan antara musik dan sastra ia menunjukkan kekhususannya. Ia
bisa disebut “opera-esai”, sebab yang dipentaskan bukanlah sebuah cerita, melainkan
sebuah wacana tentang salah satu tokoh terpenting revolusi Indonesia: Tan Malaka. Tidak
ada aktor yang memerankan satu tokoh. Tidak ada dialog antar-peran. Tapi ada dua
penyanyi aria dan dua pembaca teks yang terkadang bersilangan, terkadang paralel.
Dari segi ini, Tan Malaka boleh dikatakan “minimalis”—meskipun berlangsung dengan
panggung yang didesain dalam gaya Konstruktivis Rusia—sesuai dengan apa yang hendak
dikemukakan di pentas. Opera-esai ini sebuah penegasan atas satu segi yang penting
dalam riwayat Tan Malaka: ketidakhadirannya. Ketimbang tampil seperti Soekarno-
Hatta, misalnya, ia lebih banyak bergerak di bawah tanah, tidak hadir dalam persiapan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, tidak diketahui pula siapa yang membunuhnya, di
mana makamnya yang sebenarnya. Semuanya masih sebatas misteri.
Dari segi musik, opera ini juga berbeda dari opera karya Tony Prabowo sebelumnya,
seperti Kalii atau The King’s Witch. Bentuk komposisinya memang masih umum, di mana
terdapat tema dan pengembangannya. Penggarapan musiknya masih konvensional,
terutama karena masih mempermainkan melodi dan harmoni. Ia terbagi ke dalam
lima bentuk besar: Bagian yang mempunyai motif yang ritmis, berbentuk kanon dan
counterpoint yang bebas; bagian yang berbentuk harmoni; bagian aria dengan gaya
klangfarben, dengan irama yang lebih kompleks; bagian kwintet yang dibuat lebih
kompleks, masing-masing mempunyai bagian tersendiri, dengan gaya poliritmik dan
kontrapungtual yang lebih bebas.
Opera Tan Malaka juga disertai program pra-pentas yang terdiri dari diskusi tentang
“masa depan Tan Malaka” dengan pembicara Bonnie Triyana dan apresiasi dengan
narasumber Suka Hardjana dan Goenawan Mohamad.
Jnlonrdq0!Dpnqptfs;
SnmxOq`anvn
Khaqdshr0!Mjcsfuujtu!'
Rtsq`c`q`0!Ejsfdups;!
Fndm`v`mLng`l`c
Odmf`a`0!Dpoevdups;
InrdÝmnSnkdcn
Witjak Widhi Cahya PDAT Tempo

The opera Tan Malaka is the latest of numerous collaborations between composer
Tony Prabowo and librettist Goenawan Mohamad. Preparations for the opera began a
year ago. As a marriage between music and literature it demonstrates its own special
qualities. It can be called an “opera-essay,” as what is performed is not a story, but
rather a discourse about one of the most important revolutionary figures in Indonesia:
Tan Malaka. There is no actor who plays one figure. There is no dialogue between the
characters. But there are two aria singers and two text readers who sometimes cross
each other, and are sometimes parallel.
From this aspect, Tan Malaka can be called “minimalist”—although it takes place on
a stage designed in the Russian Constructivist style—suited to what the performance
wants to present. This opera-essay is a confirmation of one important aspect in the
history of Tan Malaka: his absence. Instead of appearing like Soekarno-Hatta, for
example, he spent more time moving underground, did not attend the preparations
for the Proclamation of Independence on August 17. It is unknown who killed him, and
where his real grave can be found. It is all still a mystery.
From the musical aspect, this opera is also different from the previous works of Tony
Prabowo, such as Kali and The King’s Witch. The form of the composition still follows
the prevailing form, in that there is a theme that is developed. The way the music has
been created is still conventional, especially as it still plays with melody and harmony.
It is divided into five major forms: a section with a rhythmic motif, in the form of a
canon and free counterpoint; a section in a harmonic form; a section with an aria in the
klangfarben style, with more complex rhythms; a quintet section made more complex,
as each one has their own part, in a polyrhythmic style and freer counterpoint.
The opera Tan Malaka will be accompanied by pre-performance programs consisting
of a discussion on “the future of Tan Malaka” with speaker Bonnie Triyana, and
appreciation of the opera with Suka Hardjana and Goenawan Mohamad.
Qsphsbn!
Lpnvojubt
COMMUNITY PROGRAM

Anastasia Widyaningsih
Ncbujl!Zvvvl
Ejtlvtj!'!Mplblbszb!Cbujl!
Batik Discussion & Workshop
BU INDRA TJ (JAKARTA, INDONESIA)

Selasa, Pembahasan tentang batik akan diawali dari aspek geografis suatu batik
28 September 2010 (pesisir dan pedalaman), yang dikaitkan dengan aspek politik, ekonomi,
Tuesday, sosial, dan budaya saat itu. Ciri khas tiap daerah akan dipaparkan secara
September 28, 2010 detil, meliputi ragam desain, warna, teknik membatik. Diskusi akan
15:00 WIB / 03:00 PM dilengkapi dengan pameran batik sebagai show case.
Diskusi “Sejarah Batik” Usai diskusi, akan berlangsung workshop membatik dengan canting dan
“A History of Batik” malam. Motif dan warna yang disediakan sesuai dengan materi diskusi, yaitu
Discussion batik pesisiran dan pedalaman.
16:30 WIB / 04:30 PM The presentation will begin with a short exposition on the geographical
Workshop membatik aspect of batik (pesisir—or batik from coastal areas—and pedalaman—or
dengan canting dan malam batik from further inland/interior areas).
Batik workshop, At the end of the discussion, a batik workshop will commence.
using canting and malam Participants will be able to work using the traditional tools of canting
and malam (melted wax). Motifs and colors will reflect the content of the
discussion, i.e. batik from both coastal and inland areas.

Selasa, Dalam diskusi ini kita akan melihat posisi batik Indonesia saat ini
05 Oktober 2010 dalam dunia fesyen internasional. Begitu pula peredaran batik saat ini,
Tuesday, October 05, 2010 antara kolektor dengan masyarakat awam, serta penjualan antar-kolektor,
15:00 WIB / 03:00 PM pengusaha kelas atas, pedagang ruko, hingga media transaksi yang saat
Diskusi ini sedang populer: Facebook. Selain itu, akan diulas juga sejauh mana
“Dunia Batik Saat Ini” makna dan fungsi kain batik bergeser, serta ancaman terhadap eksistensi
“Modern-day Batik” batik tradisi Indonesia seperti batik cetak (printing) dari Cina. Diskusi akan
Discussion dilengkapi dengan pameran batik sebagai show case.
16:30 WIB / 04:30 PM Usai diskusi, akan berlangsung workshop membatik dengan canting dan
Workshop membatik malam. Bagi para peserta, disediakan motif dan warna yang baru/modern.
dengan canting dan malam In this discussion, we will be looking at Indonesia’s batik from an
Batik workshop, using international fashion perspective. In addition, we will trace batik’s
canting and wax circulation, from collectors to laymen, from transactions between collectors,
high-end dealers, street stores, as well as the now popular transaction
avenue: Facebook. The discussion will also discuss the length of which
the meaning and function of batik has shifted, the threat facing traditional
Indonesian batik in the face of printed batik from China. This discussion will
also be complemented by a batik showcase exhibition.
At the end of the discussion, batik workshop will commence. Participants will
be able to work using the traditional tools of canting and malam. Modern/trendy
motifs and colors will be provided.

Selasa, Dalam sesi kali ini akan diulas hal-hal praktis seputar batik; dari cara
12 Oktober 2010 menyimpan dan merawat kain, memakai dan membuat wiru, hingga memilih
Tuesday, pola saat menjahit. Peserta akan diajak mempraktikkan hal-hal yang terkait
October 12, 2010, dengan topik diskusi. Untuk itu, peserta diharapkan membawa sendiri kain-kain
15.00 WIB / 03:00 PM yang ingin dicobanya saat praktik.
Diskusi dan Workshop In this particular session, we will be discussing the practical side of batik: how
“Hal-hal Praktis to store and care for batik, how to use and create wiru (plaits), how to choose
Seputar Batik” a pattern when sewing. Participants will be invited to practice along with the
“Practical Matters guidelines presented as discussion topic. Thus, participants are encouraged to
About Batik” bring their own cloths/batik to try during practice.
Discussion
and Workshop Biaya pengganti materi workshop batik dengan canting dan malam:
There will be a charge to cover the materials used in the workshops (using
canting & malam)
Saputangan katun (cotton handkerchief) 20 x 20 cm, Rp 70.000,-
Saputangan sutra (silk handkerchief) 20 x 20 cm, Rp 90.000,-
Selendang katun (cotton scarf) 25 x 100 cm, Rp 140.000,-
Selendang sutra (silk scarf) 25 x 100 cm, Rp 175.000,-
Kaos oblong (T-shirt) Rp 150.000,-

Info & pendaftaran / Info & registration:


Indra Tj +6281 1168 398
selambatnya H-1 tiap acara / D-1 at the latest

Mbatik Yuuuk
Nvtzbxbsbi!Cvlv
The Conference of Books
(all sessions will be in Indonesian)

Info dan pendaftaran: Info and registration:


dita.salihara@gmail.com dita.salihara@gmail.com
selambatnya H-1 tiap acara D-1 at the latest

Manjali dan Cakrabirawa adalah novel yang tentang Marja,


seorang gadis Jakarta, yang dititipkan berlibur oleh kekasihnya
pada sahabat mereka, Parang Jati. Mereka menjelajahi alam
pedesaan Jawa dan candi-candi. Perlahan tapi pasti, Marja jatuh
cinta pada sahabat pacarnya sendiri. Parang Jati membukakan
matanya akan rahasia yang terkubur di balik hutan: kisah cinta
sedih dan hantu-hantu dalam sejarah negeri ini. Di antaranya,
hantu Cakrabirawa. Manjali dan Cakrabirawa adalah yang pertama
Jumat, 24 September dari roman misteri, Seri Bilangan Fu, serial yang berhubungan
2010, 16.00 WIB dengan novel Bilangan Fu. Jika Bilangan Fu lebih filosofis, seri ini
Friday, September 24, lebih merupakan petualangan memecahkan teka-teki.
2010, 04:00 PM Manjali dan Cakrabirawa is a novel about Marja, a Jakarta girl,
MANJALI DAN whose holiday journey was entrusted to a mutual friend, Parang
CAKRABIRAWA Jati, by her boyfriend. They explored the Javanese countryside
karya / by: A
Ayu Utami and its temples. Slowly but surely, Marja fell in love with her own
Pembicara / Speakers: friend. Parang Jati opened her eyes to the secrets lurking behind
Robertus Robet & the forests: a sad love story and the ghosts of this country’s past.
Ikhaputri Amongst them, the ghost of Cakrabirawa. Manjali dan Cakrabirawa
Moderator / Moderator: the first of the Bilangan Fu series of mystery-romance novels,
Saidiman Ahmad connected to the same-titled novel, Bilangan Fu. If Bilangan Fu can
be seen as more philosophical, this novel is a story of a mystery-
solving adventure.

Sejak remaja, Sukarno diperkenalkan kepada Islam oleh


Tjokroaminoto di Surabaya. Sukarno memang ingin mengkaji
Islam dari sudut pandang akal bebas. Menurutnya, kerasionalan
berpikir tidak selalu menuju pada peniadaan Tuhan, tetapi justru
untuk merealisasikan sumber-sumber agama. Sukarno selalu
kritis terhadap sumber-sumber Islam, terutama pada hadis. Sikap
kritisnya ini juga berkembang pada pemahamannya terhadap
Al-Qur’an. Bagi Sukarno, ajaran Islam merupakan ajaran yang
rasional dan sederhana dan tidak ada ajaran yang lebih rasional
dibanding Islam. Pengetahuan Islam secara paripurna, haruslah

52 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
Jumat, 01 Oktober 2010, merupakan gabungan dari tiga unsur, yaitu Al-Qur’an, hadis dan
Friday, October 01, 2010, ilmu pengetahuan.
16:00 WIB / 04:00 PM From his youth, Sukarno was introduced to Islam by
SUKARNO DAN ISLAM Tjokroaminoto in Surabaya. Sukarno had always wanted to study
karya / by: Islam through the eyes of a free mind. For him, rational thought
Muhammad Ridwan Lubis did not always lead to the negation of God, instead it would help
Pembicara / Speakers: realize religious sources. Sukarno was always critical Islamic
Luthfi Assyaukanie sources, especially the hadith. His critical stance evolved in his
& Giat Wahyudi understanding of the Quran, and he did not blindly accept a
Moderator / Moderator: certain teaching just because it said so on the Quran or hadith.
Uswatul Chabibah For Sukarno, Islamic teaching is rational and simple. A perfect
and complete knowledge of Islam must be a combination of three
things: the Quran, hadith, and science.

Novel ini dianggap sebagai salah satu karya utama dalam


khazanah sastra postkolonial/postmodern. Midnight’s Children
yang diterjemahkan oleh Yuliani Liputo ini memotret perjalanan
sebuah bangsa dari perjalanan hidup anak manusia. Kegagalan
cita-cita bangsa India (bisa dibaca sebagai bangsa-bangsa di
Dunia Ketiga) oleh Rushdie digambarkan sebagai bagian dari
nasib buruk yang sudah ditakdirkan sejak kemerdekaan negara
itu diproklamasikan pada suatu tengah malam pada Agustus 1947.
Seperti dalam karya-karyanya yang lain, dalam novel ini Rushdie
Jumat, 08 Oktober 2010,
memasukkan unsur-unsur dari berbagai genre—sejarah, fantasi,
Friday, October 08, 2010,
mitologi, tradisi lisan, dan teks-teks klasik—yang dikemas dengan
16.00 WIB / 04:00 PM
cerdas dan terkadang jenaka oleh Rushdie dalam novel ini.
MIDNIGHT’S CHILDREN
This mesmerizing novel is even considered a one of the
karya / by: Salman Rushdie
foremost works of post-modern literature. Translated into
Pembicara / Speakers:
Indonesian by Yuliani Liputo, it depicts the journey of a nation
Ayu Utami & Intan Savitri
through the life of the children of men. The failure of India’s
Moderator / Moderator:
aspirations as a nation (which can be read to represent Third
Linda Christanty
World nations), is pictured by Rushdie as part of their unfortunate
destiny, already preordained following the nation’s proclamation
of independence one midnight in August 1947. As a literary work,
Midnight’s Children is a complex and brilliant text. Like most of
his works, Rushdie injects elements of various genres into this
novel—history, fantasy, mythology, oral tradition, and classical
texts—all of which are presented cleverly, and sometimes,
humorously.

Komunitas Salihara dengan Kepustakaan


Populer Gramedia, Komunitas Bambu, dan Serambi Ilmu Semesta
This is a joint program of Komunitas Salihara and Kepustakaan Populer Gramedia,
Komunitas Bambu, and Serambi Ilmu Semesta

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 5 3
RdqhBdq`l`g0!Mfduvsf!Tfsjft

Tfkbsbi!Bstjufluvs!Joepoftjb
A History of Indonesian Architecture
(all sessions will be in Indonesian)

JONGARSITEK! (JAKARTA, INDONESIA)

Dalam Festival Salihara 2010 jongArsitek! menggelar rangkaian ceramah bertema


“Sejarah Arsitektur Indonesia”. Ceramah sejarah arsitektur ini mencoba menceritakan
kembali perjalanan arsitektur modern di Indonesia, yang akan ditinjau dari beberapa aspek.
Perjalanannya selama ini, hubungannya dengan tata kota, dan kiprah sebuah kelompok arsitek
muda, yang kini mendefinisikan arsitektur Indonesia.
At the Festival Salihara 2010, jongArsitek! presents a series of lecture around the theme
of “A History of Indonesian Architecture”. These lectures in architecture history attempts to
retell the story of Indonesian modern architecture’s journey, examined from several angles:
its trajectory so far, its relationship with urban planning, and the work of a group of young
architects who have now defined Indonesian architecture.

Arsitektur tidak akan pernah lepas dari keterkaitanya dengan


Sabtu, 25 September
dengan perkembangan kota. Konteks yang diberikan kota, adalah
2010, 16:00 WIB
salah satu faktor pembentuk paling kuat yang dapat diterima oleh
Saturday, September 25,
seorang arsitek, ketika akan merancang. Dan kota pun kemudian
2010, 04:00 PM
Sejarah Arsitektur akan terbentuk oleh imaji kolektif yang dihasilkan oleh arsitektur.
Indonesia Ditinjau dari Di seri kuliah ini, kita akan sama-sama meninjau kembali, apakah
Sisi Urbanitas ada pengaruh yang telah diberikan oleh kota terhadap arsitektur?
History of Indonesian Atau malah mungkin sebaliknya? Kita akan sama-sama dengarkan,
Architecture from an adakah kebijakan kota, masalah kota, atau arus kuat yang menarik
Urban View pembangunan kota, juga ikut mempengaruhi arsitektur?
Pembicara / Speaker: Architecture can never be separated from its relationship with
Suryono Herlambang urban development. The context provided by a city is one of the most
strongest creative factor to influence an architect when designing.
And then, a city is created through the collective imagination of
architecture.
In this lecture, together, we will reexamine whether there really
is a sort of influence provided by a city to architecture? Or is it
the opposite? Together we will discern the questions of whether
there is any sort of city policy, what kind of urban problems, what
sort of currents may impact the development of a city, influencing
architecture.
Banyak sekali pemikiran yang berkembang sepanjang perjalanan
Sabtu, 02 Oktober arsitektur modern Indonesia. Mulai dari Thomas Karsten, Henri
2010, 16:00 WIB Maclaine-Pont, hingga Bianpoen, Han Awal, dan berlanjut hingga
Saturday, October 02, era Andra Matin, Adi Purnomo, dan SUB. Pemikiran-pemikiran ini
2010, 04:00 PM kemudian mewujud dan mendefinisikan arsitektur Indonesia dengan
Sejarah Arsitektur ciri dan kekhususannya masing-masing.
Modern Indonesia
Bagaimanakah arsitektur modern Indonesia bergerak selama
History of Modern
ini? Dengan banyaknya pemikiran-pemikiran yang telah lalu lalang
Indonesian
selama ini, bagaimanakah kemudian kita harus bergerak ke depan?
Architecture
Paparan yang akan diberikan, memang sebaiknya tidak memberikan
Pembicara / Speaker:
jawaban, tapi rasanya cukup layak untuk disimak sebagai pengingat
Setiadi Sopandi
akan apa-apa saja yang telah dilakukan di masa lalu.
A large number of thought and deliberation has flourished through
the history of Indonesian modern architecture. Starting from Thomas
Karsten, Henri Maclaine-Pont, to Bianpoen, Han Awal, marching on
to the era of Andra Matin, Adi Purnomo, and SUB. Their thoughts
then manifested and defined Indonesian architecture with their own
style and uniqueness.
How has Indonesian modern architecture moved all this while?
With the vast array of thoughts that have gone back and forth ever
since, how must we move forward? The exposition given, rightly
will not provide straight answers, but is still interesting enough to
observe as a reminder of what has happened in days gone by.

Sabtu, 09 Oktober 2010, Tidak ada yang akan menentang bahwa perubahan selalu dibawa
16:00 WIB oleh yang muda. Mereka yang bersemangat tinggi, dan memiliki
Saturday, October 9, 2010, banyak kegelisahan dan ketidakpuasan dalam melihat dunia dan
04:00 PM hal-hal yang ada di sekeliling mereka. Dalam perjalanannya,
Arsitek Muda arsitektur modern Indonesia, juga telah dibentuk oleh banyak sekali
Dalam Sejarah orang-orang muda.
Arsitektur Indonesia Apa sajakah pemikiran-pemikiran yang pernah diwacanakan oleh
Young Architects in the para arsitek muda baik di masa lalu? Adakah pemikiran-pemikiran
History of
itu pernah baru? Di seri kuliah ini, kita juga akan sama-sama melihat
Indonesian Architecture
siapa-siapa sajakah pemuda arsitek yang memiliki peran mengubah
Pembicara / Speaker:
arah arsitektur Indonesia dan apa sajakah pemikiran mereka.
Avianti Armand
No one will dispute the fact that the young will always be agents
of change. They possess a high spirit, carry within them a number
of anxiety and discontentment as they view the world and the things
around them. In its journey, Indonesian modern architecture, has
also been wrought by many young people.
Info & pendaftaran / Info & What kind of thoughts and discourses have they touched upon,
registration: both now and in the past? Are there new thoughts in the making?
jongarsitek@gmail.com In this lecture, we will discover who are those young architects
selambatnya H-1 tiap acara instrumental in shaping the course of Indonesian architecture, and
/ D-1 at the latest their thoughts.

Anastasia Widyaningsih
Mpncb!Gpup!
'!Mplblbszb!Gpup
Photo Contest & Workshop
FAB PRO (JAKARTA, INDONESIA)

LOMBA FOTO
Lomba foto berlangsung sepanjang dan tentang Festival Salihara 2010, yang
berlangsung pada 23 September-20 Oktober 2010. Peserta akan mendapatkan
tanda khusus agar dapat mengakses seluruh area di Komunitas Salihara,
termasuk tempat acara Festival Salihara.

Ketentuan:
% Terbuka untuk umum, tidak terbatas usia dan jenis kamera
% Peserta memiliki kamera dan dapat hadir di seluruh sesi workshop
% Pendaftaran melalui dita.salihara@gmail.com selambatnya 21 September 2010

Pengumuman pemenang: 25 Oktober 2010. Foto hasil para pemenang akan


ditayangkan dan dibahas di www.salihara.org serta www.fotografer.net. Selain itu,
pemenang akan mendapatkan sertifikat, serta voucher menonton pertunjukan-
pertunjukan di Komunitas Salihara.

JURI: OSCAR MOTULOH, FITRA PRANADJAJA, AGAH PERMADI,


R. BAGASKARA ARYA PRAMUKA

Program ini didukung oleh Galeri Foto Jurnalistik Antara

WORKSHOP FOTOGRAFI
Diadakan di Serambi Salihara
% 03 Oktober 2010, 16.00 WIB: Olahan Digital Seri 1
% 10 Oktober 2010, 16.00 WIB: Olahan Digital Seri 2
% 17 Oktober 2010, 16.00 WIB: Pembahasan Hasil Foto

56 F E STI VA L SA L I HA RA K ETIGA
PHOTO CONTEST
The photo contest is held throughout—and about—the Festival, during 23
September-20 October 2010. Entrants will receive a special badge to access
all Komunitas Salihara areas, including venues where the Festival is held.

Terms:
% Open to the public. There are no age- or camera restrictions
% Possesses own camera, and is able to participate in all workshop sessions
% Registration is to be made via dita.salihara@gmail.com
by 21 September 2010

Announcement of winners: October 25, 2010. Winning photos will be


published and discussed on www.salihara.org and www.fotografer.net.
Winners will also receive certificates and vouchers to attend performances at
Komunitas Salihara.

JURORS: OSCAR MOTULOH, FITRA PRANADJAJA, AGAH PERMADI,


R. BAGASKARA ARYA PRAMUKA

The program is supported by Galeri Foto Jurnalistik Antara

PHOTOGRAPHY WORKSHOPS
To be held at Serambi Salihara
% October 03, 2010, 04:00 PM: Digital Processing (1st part)
% October 10, 2010, 04:00 PM : Digital Processing (2nd part)
% October 17, 2010, 04:00 PM: Discussion of the photos taken

Fitra Pranadjaja

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 5 7
U CA PA N T E R I M A K A S I H

Jnltmhs`rR`khg`q`ldmftb`oj`msdqhl`j`rhgjdo`c`
 KO M U N I TA S S A L I H A R A W O U L D L I K E TO T H A N K

Amica, Arifin Panigoro, AV Reactor Featuring GSTW, Cosmo Girl,


Cosmopolitan, Djarum Bakti Budaya, Dolly, Esquire, FABpro, FAR
Magazine, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Grafiti Pers, Green Radio, Hard
Rock FM Jakarta, Harper’s Bazaar, Institut Musik Daya Indonesia, iRadio,
Jawa Pos, Jawa Pos National Network, Jawaharlal Nehru Indian Cultural
Center, Jilal Mardhani, jongArsitek!, Kate Ben-Tovim, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), Komunitas Bambu, Komunitas Jalansutra,
Komunitas Mbatik Yuuuk, Koran Tempo, Majalah Berita Mingguan
Tempo, Metro TV, Ms Tri FM, Natrindo Telepon Seluler, Newmont
Pacific Nusantara, NOW! Jakarta, Oscar Motuloh, Paperina Dwijaya,
Pembangunan Jaya Utama, Rolling Stone Indonesia, Serambi Ilmu
Semesta, Spice, Stupa, SWA, Tempo Bahasa Inggris, Tempo Interaktif,
Tempo TV, The Jakarta Post, Third Eye Studio, Toto Arto, Travelounge,
Traveltextonline, Trax FM, Trax Magazine, U Magazine, Urbanesia.com,
Yayasan Tifa
Ldmftb`oj`mRdk`l`s`s`rsdqrdkdmff`q`mx`
Edrshu`kR`khg`q`1/0/
60 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 6 1
62 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 6 3
64 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 6 5
F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 6 7
Jogpsnbtj!Bdbsb!'!Ujlfu!Qfsuvokvlbo
Informasi acara & reservasi tiket % Pelajar/Mahasiswa yang ingin
021-789-1202, 0817-077-1913 mendapatkan tiket harga khusus
0857-193-111-50, 0812-8184-5500, wajib membawa kartu pelajar/
021-9974-5934 mahasiswa.
melan@salihara.org, dita@salihara.org % Tiket yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan.
twitter: @salihara
% Pers yang ingin meliput wajib
facebook: salihara
memberi konfirmasi maksimal hari
H-1 pukul 17:00 WIB, karena jumlah
% Pemesanan dapat dilakukan tiket pers sangat terbatas.
melalui telepon, SMS, dan/atau
online di www.salihara.org
% Pembayaran dapat dilakukan
secara langsung di loket Salihara,
Xbluv!Pqfsbtjpobm
atau transfer/setor ke Waktu operasional untuk seluruh
BCA No. 450-30-17108 komunikasi dan Loket Salihara
a.n. Yay. Utan Kayu. Senin-Jumat, 09:00-17:00 WIB
% Pembayaran melalui transfer Sabtu, 16:00-19:00 WIB
dianggap sah setelah bukti transfer Minggu dan hari libur nasional tutup,
difaks ke 021-781-8849. Bukti kecuali ada acara
transfer asli wajib ditunjukkan saat Bila ada acara, waktu operasional
mengambil tiket. diperpanjang hingga pukul 21:00 WIB
% Pemesanan tiket yang tidak dilunasi
dalam 3 hari akan dianggap batal.
% Pemesanan tiket pertunjukan
ditutup pada hari H-2 pukul 17:00
WIB. Setelah itu, loket Salihara
hanya melayani pembelian secara
langsung.

Fitri Setyaningsih
Qfsbuvsbo!vouvl!qfopoupo!ej!Ufbufs!Tbmjibsb
% Pemotretan hanya bisa dilakukan
% Penonton yang datang terlambat oleh fotografer panitia acara dan/
tidak bisa langsung masuk ke dalam atau Komunitas Salihara. Cahaya dari
ruang teater. Waktu dibukanya layar kamera digital mengganggu
pintu teater berbeda-beda pada penonton sekitar. Bunyi-bunyian yang
tiap pertunjukan, tergantung sifat berasal dari kamera tidak hanya
pertunjukan dan permintaan pengisi mengganggu penonton sekitar,
acara. namun juga pengisi acara dan
% Penonton yang terlambat hingga perekaman audio yang dilakukan.
30 menit setelah pertunjukan Apabila membutuhkan gambar,
berlangsung tidak mendapat jaminan silakan datang ke meja informasi.
bahwa kursi masih tersedia. % Gladi Resik terbuka untuk
% Penonton dilarang keras makan, pemotretan oleh pewarta foto,
minum dan merokok di dalam ruang dengan konfirmasi sebelumnya.
teater.

Teater Kubur
Nfovkv!Tbmjibsb!efohbo!Lfoebsbbo!Vnvn

DE N GA N TRA N SJA KA RTA DE NGA N M E T R O M INI


/ BY T RAN SJAKARTA / BY B U S ( MET R O MIN I )

To reach Salihara by bus, take


Metromini number 75 to Pasar Minggu.
Stop at Balai Rakyat, walk north (turn
right) and proceed to Salihara Street
No.16

DE NGA N M IK R O L E T
/ B Y MIK R O L ET
( DA R I/ F R O M K A M PU NG M E L AY U )

From Kampung Melayu take Mikrolet


number M 16 (blue cars) with route
from Kampung Melayu to Pasar
To reach Salihara by Transjakarta,
Minggu. Stop right at Salihara Street
take the “Corridor 6” bus (from
No.16 (300 m after UNAS)
Halimun to Ragunan). Stop at Pejaten
shelter, go down to the left. Proceed
DE NGA N K E R E TA A PI
with Mikrolet number 36 (blue cars) to
/ B Y T R A IN
Salihara Street No.16
You can also stop at Jati Padang
shelter. Go down to the right and
proceed with ojek motorbike. OR go
down to the left, walk straight to the
intersection with traffic light, turn left
at Jalan Ragunan Raya and proceed
with Mikrolet number 61 (blue cars) to
Take any train that goes through
Balai Rakyat. Walk north (turn left) to
Pasar Minggu Station. Stop at
Salihara Street No.16
the station and proceed with ojek
motorbike or walk (+/- 500m) through
Jalan Raya Ragunan. Turn right at the
Balai Rakyat intersection and proceed
to Salihara Street No.16
JL. TB SIMAT
A UPANG

Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta 12520, Indonesia

PARKIR TERBATAS, KAMI MELAYANI PEMESANAN TAKSI DI TEMPAT.


LIMITED PARKING, TAXI BOOKING ON SITE

F E S T I VA L S A L I H A R A K E T I GA 7 1
72 F ESTI VA L SA L I HA RA K ETI GA
Festival Salihara Ketiga PROGRAM

Anda mungkin juga menyukai