Pengantar
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Republik, sejak Juni 2005 telah berlangsung
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di lebih dari 200 daerah (kabupaten,
kota, dan propinsi) di Indonesia1. Kecuali beberapa kasus fenomenal yang diwarnai
berbagai protes, unjuk rasa, dan bahkan kerusuhan seperti terjadi di Kaur Bengkulu, dan
Tuban, Jawa Timur, sebagian besar pilkada berlangsung cukup kondusif, terbuka dan
demokratis. Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri bahkan mengklaim bahwa
pada umumnya pilkada berlangsung secara demokratis, tertib, aman, dan lancar walaupun
di sana-sini masih terdapat ketidakpuasan berbagai pihak2.
1
Selama setahun pelaksanaannya (dari Juni 2005 hingga Juni 2006), pilkada telah berlangsung di 250
daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Data dikutip dari Makalah Dirjen
Otonomi Daerah Depdagri pada acara Evaluasi Satu Tahun Pilkada, tanggal 28 Juni 2006 di Jakarta.
2
Ibid.
1
beberapa usulan pemikiran berkaitan dengan perbaikan penyelenggaraan pilkada di masa
depan.
3
Draft awal naskah RUU revisi atas UU No. 22/1999 usulan pemerintah antara lain berbunyi: “ Selain
pengajuan pasangan bakal calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, dapat diajukan
pasangan bakal calon lain dengan persyaratan dukungan 1 % dari jumlah pemilih”. Sementara itu draft
awal naskah RUU versi DPR antara lain mengatur bahwa “Pasangan calon diajukan oleh partai politik,
gabungan partai politik, atau perseorangan”. Khusus untuk calon perseorangan, draft RUU revisi atas UU
No. 22/1999 versi DPR mengusulkan persyaratan dukungan pemilih sekurang-kurangnya sama dengan
jumlah bilangan pembagi pemilihan (BPP).
2
perlunya calon independen juga diajukan draft naskah RUU revisi atas UU No. 22/1999
versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)4. Namun pada akhirnya, jalur kandidat
perseorangan di luar “pintu” partai itu kandas dalam pembahasan RUU oleh Panitia
Khusus DPR.
Tabel 1
Persyaratan Pencalonan bagi Pejabat dalam Pilkada
3
diri dari jabatannya calon ke KPUD
11. Anggota KPUD/ Wajib mengundurkan Sejak
Panwas diri pemberitahuan
berakhirnya
masa jabatan
kepala daerah
Sumber: Diolah dari UU No. 32/2004, PP No. 6/2005, dan PP No. 17/2005.
Kecenderungan Pencalonan
Pencalonan adalah salah satu tahap paling penting dalam penyelenggaraan pilkada selain
tahap pendaftaran pemilih, kampanye pasangan calon, pemberian suara dan penghitungan
suara serta pengumuman hasil pilkada. Melalui tahap pencalonan, tidak hanya terjadi
interaksi antara partai-partai dan para kandidat yang berminat menjadi kepala dan wakil
kepala daerah, melainkan juga tarik-menarik dan tawar-tawar di antara partai-partai.
Dinamika politik pilkada terutama tampak pada tahap pencalonan karena terjadi
kerjasama, kesepakatan dan akhirnya koalisi antarpartai tentang pasangan kandidat yang
diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Tidak jarang
terjadi konflik internal di dalam satu partai apabila tidak ada kesepakatan antara pimpinan
partai di tingkat pusat dan propinsi, antara pengurus tingkat propinsi dan pengurus tingkat
kabupaten/kota, ataupun di antara sesama pengurus tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.
4
menjadi calon, meskipun upaya yang disebut terakhir ini ditolak oleh komisi pemilihan
karena sesuai aturan-perundangan pengajuan calon harus dilakukan oleh partai atau
gabungan partai politik.
5
pilkada, apakah merupakan daerah potensial secara ekonomi atau daerah minus. Di
sejumlah daerah seperti Kalimantan Selatan, Jambi, dan Bengkulu misalnya, proses
pilkada cenderung diwarnai praktik persekongkolan politik dan bisnis di antara para elite
partai dan birokrasi di satu pihak dan elite pengusaha atau bisnis di pihak lain9. Dalam
kaitan ini, seorang kandidat yang gagal dalam pilkada di Kabupaten Bima, NTB, daerah
yang relatif minus secara ekonomi misalnya, mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 4
miliar untuk berbagai jenis pengeluaran, mulai dari “setoran” ke gabungan partai
pengusung, biaya kampanye, dan biaya operasional lainnya.
Proses pencalonan lazimnya dimulai dari lobi-lobi antara para kandidat yang
berminat menjadi kepala daerah dengan partai yang dianggap potensial sebagai “perahu”,
baik karena perolehan suaranya dalam pemilu legislatif cukup signifikan, maupun karena
kandidat tersebut hanya mengenal dan memiliki hubungan dekat dengan partai tertentu
saja. Ditinjau dari sisi kandidat, ada beberapa kecenderungan proses pencalonan dalam
pilkada setelah tahap lobi berlangsung. Pertama, kandidat memiliki dana dan dukungan
finansial yang cukup namun belum cukup populer secara publik. Sang kandidat berusaha
dicalonkan oleh partai besar di daerah atau gabungan partai yang memperoleh minimal
15 persen suara/kursi. Partai besar di daerah atau gabungan partai akan memilihnya
menjadi calon jika tidak memiliki kader yang siap bertarung –termasuk siap dari aspek
pendanaan—namun demikian sang kandidat jenis ini belum tentu bisa memenangkan
pertarungan pilkada
Kedua, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup, tetapi
memiliki kemampuan dan cukup populer secara publik. Kandidat jenis ini tentu berusaha
9
Lihat misalnya Laporan Penelitian P2E LIPI, “Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa
da Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca-Pilkada”, 2006.
6
diusung juga oleh partai besar di daerah, namun cenderung ditolak oleh partai-partai
besar jika ada kandidat lain, meskipun belum populer, namun memiliki dana dan
dukungan finansial yang lebih besar. Sang kandidat memiliki peluang jika dapat memilih
pasangan wakil kepala daerah yang relatif tidak bermasalah kendati tidak memiliki basis
politik.
Ketiga, kandidat memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup besar, belum
populer, namun secara pribadi sang kandidat “merasa” telah populer secara publik.
Kandidat jenis ini juga cenderung ditunggu oleh partai-partai untuk diusung sebagai
calon dalam pilkada, kendati gabungan partai meragukan keberhasilannya. Kandidat jenis
ini cenderung diusung oleh gabungan partai kecil di daerah.
Keempat, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang memadai,
tetapi memiliki kharisma sebagai keturunan tokoh berpengaruh di daerah (raja, sultan,
ulama terkemuka, pahlawan daerah, dsbnya). Partai atau gabungan partai akan
memilihnya untuk diusulkan sebagai calon jika sang kandidat sekaligus merupakan
pimpinan atau pengurus teras partai di daerah.
Kelima, kandidat adalah kepala daerah atau wakil kepala daerah yang hendak
menjabat kembali sebagai kepala atau wakil kepala daerah untuk masa jabatan kedua.
Jika sang kandidat sekaligus adalah pengurus atau pimpinan partai, maka dia cenderung
akan dicalonkan oleh partainya karena telah memiliki dana “tabungan” sebagai kepala
atau wakil kepala daerah. Apabila kinerja sebelumnya dianggap baik, maka kandidat
jenis ini berpeluang didukung pula oleh partai-partai lain, namun jika kinerja dan
popularitasnya dinilai buruk secara publik, kemungkinan hanya partai sendiri yang mau
mengusungnya.
Partai-partai besar bisa saling berkoalisi dengan partai besar, partai sedang,
ataupun partai kecil. Begitu pula sebaliknya, partai kecil berkoalisi dengan sesama partai
kecil ataupun dengan partai besar dan partai sedang. Hampir tidak ada suatu pola yang
bersifat menetap antara daerah yang satu dengan lainnya, termasuk di antara suatu partai
yang sama di kabupaten/kota yang berbeda tetapi di dalam propinsi yang sama.
Dari 213 Pilkada 2005 yang dianalisis, hanya 83 pilkada (38 persen) yang
dimenangkan oleh pasangan kandidat yang diusung oleh satu partai secara sendiri.
7
Sebanyak 130 pilkada lainnya (62 persen) dimenangkan oleh pasangan calon yang
diusung oleh koalisi partai, baik koalisi dua partai, koalisi tiga partai, maupun koalisi
empat partai atau lebih. Rekor koalisi partai terbanyak ditemukan di Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur, ketika pasangan Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nuris didukung
oleh 18 partai-partai non-DPRD. Ironisnya Ratna diminta mundur dan bahkan “dipecat”
oleh para elite politik dan anggota DPRD yang tidak siap berdemokrasi.
Tabel 2
Pola Koalisi Pemenang Pilkada 2005
Apabila 83 pasangan pemenang pilkada yang dicalonkan oleh satu partai tersebut
ditelaah lebih jauh, 40 pasang pemenang di antaranya diusung oleh Partai Golkar10,
sedangkan 21 pasang dicalonkan oleh PDI Perjuangan, dan sisanya oleh partai-partai lain.
Partai-partai yang berhasil memenangkan kandidatnya secara sendiri tanpa berkoalisi itu
adalah PKS (5 daerah), PPP (5 daerah), PAN dan Partai Demokrat masing-masing
menang di tiga daerah, PKB dan PKPI masing-masing menang di dua daerah, dan PBB,
PDS, serta PNI Marhaenisme memenangkankan satu daerah pada Pilkada 2005 yang lalu.
Tabel 3
Partai non-koalisi Pemenang Pilkada 2005
8
PDS 1 daerah Luar Jawa (Poso, Sulteng)
PNI Marhaenisme 1 daerah Luar Jawa (Toba Samosir, Sumut)
Dari penyelenggaraan Pilkada 2005 yang telah berlangsung tersebut ada beberapa
kecenderungan hasil koalisi yang bisa diidentifikasi. Pertama, dari evaluasi yang
dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) misalnya, ternyata hanya sekitar 37,7 persen
pemenang pilkada yang diusung oleh partai atau koalisi partai pemenang pemilu legislatif
di daerah yang bersangkutan. Sedangkan sebagian besar (72,3 persen) pilkada
dimenangkan oleh partai atau koalisi partai bukan pemenang pemilu legislatif11. Hal ini
jelas menunjukkan bahwa faktor figur atau ketokohan kandidat sangat menentukan dalam
pertarungan pilkada ketimbang basis partai para calon dalam pilkada.
Kedua, ternyata tidak semua partai besar yang memiliki kursi paling banyak di
DPRD dapat memenangkan kompetisi pilkada. Daya tarik dan popularitas figur pasangan
kandidat menjadi faktor penting selain basis partai dan gabungan partai yang menjadi
wadah pencalonan. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa partai-partai besar
sebenarnya tidak cukup berakar dan tidak memiliki basis sosial yang jelas di daerah
sekalipun menang dalam pemilu legislatif.
Ketiga, menurut catatan Harian Kompas12, ternyata 40,4 persen pemenang pilkada
adalah para incumbent, sedangkan sisanya beragam dan berasal dari berbagai unsur, baik
gabungan politisi dan pengusaha, maupun aliansi antara birokrat dan pengusaha.
Meskipun demikian, dari keseluruhan kepala daerah/wakil kepala daerah yang maju
kembali tersebut ternyata sebagian besar (59,67 persen)13 menang dalam pertarungan
pilkada. Kemenangan hampir 60 persen incumbent ini diduga kuat berkaitan dengan
format pilkada versi UU No. 32/2004 yang memungkinkan para pejabat lama
mempengaruhi birokrasi bawahan mereka di daerah. Seperti diketahui, peraturan-
perundangan pilkada tidak mewajibkan para kepala daerah/wakil kepala daerah untuk
mundur dan atau berhenti sementara sebelum mereka maju kembali dalam pertarungan
pilkada.
Keempat, walaupun belum ada data akurat, tampaknya tidak semua pasangan
kandidat yang diduga memiliki dana kampanye yang besar dapat memenangkan
kompetisi pilkada. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita secara
11
LSI, “Analisis Perilaku Pemilih Berdasar Data Agregat Pilkada”, Oktober 2005.
12
Kompas, “Setahun Pilkada Golput Meningkat”, tanggal 20 Juni 2006.
13
Dihitung dan diolah berdasarkan data 161 pilkada dari NDI.
9
berangsur juga belajar dari pengalaman mereka dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Realitas ini tentu merupakan gejala positif karena memperlihatkan bahwa para pemilih
sebenarnya memiliki rasionalitas politik sendiri yang belum tentu sama dengan asumsi
para elite politik.
Koalisi partai-partai telah menjadi realitas dalam pilkada. Namun demikian, pola
koalisi “bebas” seperti dianut oleh UU No. 32/2004 cenderung tidak mendidik partai-
partai untuk lebih dewasa dalam berpolitik. Koalisi partai bukan hanya cenderung semu
dan berorientasi jangka pendek alias kekuasaan belaka, melainkan juga cenderung
berdampak pada absennya kompetisi atas dasar visi dan platform politik di antara para
pasangan kandidat dalam pertarungan pilkada. Proses pilkada lebih diwarnai pertarungan
kepentingan dan kompromi para elite politik lokal, baik elite negara (local state actors)
maupun elite masyarakat (societal actors)14. Akibatnya, momentum kampanye para
kandidat pun cenderung hanya bersifat “pesta” belaka ketimbang sebagai forum
presentasi program politik para kandidat jika terpilih sebagai kepala dan wakil kepala
daerah.
Koalisi Nasionalis-Islam
Fenomena lain yang menarik di balik koalisi partai dalam pilkada adalah menguatnya
kecenderungan untuk bekerjasama atau berkoalisi secara inklusif dan lintas-ideologis.
Kecenderungan ini hampir sama dengan fenomena pemilu presiden 2004 di mana tidak
satu pun pasangan kandidat yang dinominasikan secara ekslusif oleh koalisi partai-partai
nasionalis saja atau koalisi partai-partai Islam saja. Kandidat dari partai-partai nasional
seperti Megawati (PDI-P), Wiranto (militer/Golkar), dan Yudhoyono (militer/PD) justru
mencari pasangan calon wapres dari tokoh berbasis Islam, yakni masing-masing Hasyim
Muzadi (NU), Solahuddin Wahid (PKB), dan Jusuf Kalla –mengklaim dirinya sebagai
penganut NU. Sebaliknya kandidat yang berasal dari partai Islam atau partai berbasis
Islam seperti Hamzah Haz (PPP) dan Amien Rais (PAN) juga memilih calon wapres dari
figur berbasis nasionalis, yakni Agum Gumilar (militer) dan Siswono Yudohusodo
(mantan Ketua Umum GMNI).
14
Lihat Laporan Penelitian P2E LIPI, “Bisnis dan Politik”, opcit.
15
Lihat Adung A. Rochman, “Satu Tahun Pilkada: Hasil Pemantauan JPPR”, makalah 2006.
10
Tabel 4
Koalisi Pemenang Pilkada di 224 Daerah
Apabila disepakati bahwa salah satu elemen terpenting di dalam sistem demokrasi
adalah penghargaan terhadap pluralitas, maka –berdasarkan temuan JPPR tersebut—hasil
Pilkada 2005 sebenarnya cukup menjanjikan. Artinya, masyarakat sesungguhnya saling-
menghargai perbedaan di antara mereka dan bahkan memandang perbedaan bukan
sebagai ancaman, melainkan justru sebagai fondasi bagi perkembangan demokrasi. Di
samping itu, data tersebut jelas makin memperkuat argumen bahwa, pertama, preferensi
pilihan rakyat dalam pemilihan kepala pemerintahan tingkat nasional, regional, dan lokal
pada era reformasi dewasa ini tidak lagi bersifat “aliran” sebagaimana kecenderungan
terbatas yang terjadi dalam pemilu legislatif di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kedua, pola koalisi yang bersifat pluralis, yakni nasionalis-Islam, tampaknya
menjadi pilihan solusi bagi integrasi dan demokrasi Indonesia di masa depan. Dan ketiga,
realitas ini sekaligus menggambarkan makin sulitnya partai-partai Islam merebut
dukungan signifikan dalam pemilu dan pilkada meskipun secara sosiologis mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam.
Kedua, kemampuan kandidat dalam menyiapkan dana yang cukup besar menjadi
faktor penting di balik pencalonan yang dilakukan oleh partai atau gabungan partai.
Akibatnya, partai-partai cenderung mengabaikan kapabilitas dan kualitas pasangan calon
yang diusung dalam kompetisi pilkada.
Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah bahwa format pilkada yang
telah berlangsung setahun terakhir cenderung menjadikan partai-partai sebagai “makelar”
atau “broker politik” yang lebih menunggu datangnya kandidat berdompet tebal,
ketimbang mempersiapkan calon yang benar-benar berkualitas bagi pembentukan
kepemimpinan daerah. Tidak mengherankan jika kader-kader partai besar di daerah yang
tidak memiliki dukungan dana yang cukup cenderung “mengalah” menjadi calon wakil
11
kepala daerah, karena calon kepala daerah disediakan bagi kandidat berkantong tebal –
kendati bukan kader dari partai atau partai-partai yang berkoalisi. Realitas semacam
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengusaha yang akhirnya turut berlomba
untuk menjadi kepala daerah.
Keempat, format koalisi partai dalam pilkada yang berlaku dewasa ini cenderung
mengabaikan penguatan aspek akuntabilitas kepala-kepala daerah dan wakil kepala
daerah hasil pilkada. Benar bahwa pilkada secara langsung dapat menghasilkan
pemerintahan yang lebih stabil selama lima tahun karena tidak “diganggu” oleh DPRD.
Akan tetapi, format koalisi partai dalam pilkada versi UU No. 32/2005 tidak memberi
jalan keluar bagaimana jika kinerja kepala daerah mengecewakan dan DPRD tidak mau
bekerjasama dengan kepala daerah. Hal ini dikarenakan koalisi partai dalam pilkada tidak
disertai persyaratan kesepakatan yang bersifat transparan dan akuntabel di antara
kandidat dan partai atau gabungan partai.
Penutup
Terlepas dari keberhasilannya secara prosedural dan gejala positif di balik koalisi partai
yang bersifat lintas aliran, harus diakui pula bahwa pilkada di masa depan perlu ditata
kembali sehingga menjanjikan demokrasi lokal yang lebih efektif dan produktif, dalam
pengertian pemerintahan daerah yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Apalagi kebutuhan bangsa kita akan sistem demokrasi jelas tidak sekadar bersifat
prosedural dan “elektoral” belaka. Pengalaman bangsa kita akan institusi-institusi
demokrasi produk Pemilu 1999 dan 2004 memperlihatkan buruknya kinerja partai-partai,
16
Lihat juga, Syamsuddin Haris, “Pemerintah Berbuat, KPUD Korban”, dalam Kompas, edisi Juni 2005.
12
legislatif, dan eksekutif meskipun keberhasilannya secara prosedural dipuji dunia
internasional.
Dalam konteks Indonesia, kebutuhan akan suatu demokrasi lokal yang lebih
substansial jelas berkaitan dengan pertanyaan, apakah pilkada langsung menjanjikan
munculnya kepala-kepala daerah yang lebih berkualitas, pemerintahan lokal yang lebih
efektif, serta juga praktik demokrasi yang lebih produktif dan berpihak kepada
kepentingan publik dibandingkan masa-masa sebelumnya? Sebab pilkada langsung
sebagai bagian dari perkembangan demokrasi di Tanah Air jelas berkurang maknanya
jika ternyata tidak menghasilkan pemerintahan dan demokrasi lokal yang lebih produktif
dan akuntabel.
Oleh karena itu, penataan kembali format pilkada semestinya didasarkan pada
cara pandang bahwa pilkada pada hakikatnya adalah bagian dari pemilu daerah dalam
rangka pembentukan pemerintahan daerah. Sebagai pemilu daerah, pilkada
diselenggarakan oleh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang secara struktural
menjadi bagian dari KPU17. Mengingat peserta kompetisi pilkada adalah para “pasangan
calon”, dan bukan partai politik seperti pemilu legislatif, semestinya terbuka peluang bagi
munculnya para kandidat perorangan di luar jalur partai politik –yang populer dengan
istilah “calon independen”.
17
Pilkada sebagai pemilu yang diselenggarakan oleh KPU dan jajarannya (KPU propinsi, kabupaten, dan
kota) telah disepakati oleh Pansus DPR dalam RUU Penyelenggara Pemilihan Umum.
13