Anda di halaman 1dari 13

KECENDERUNGAN PENCALONAN

DAN KOALISI PARTAI DALAM PILKADA


Oleh Syamsuddin Haris

Pengantar
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Republik, sejak Juni 2005 telah berlangsung
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di lebih dari 200 daerah (kabupaten,
kota, dan propinsi) di Indonesia1. Kecuali beberapa kasus fenomenal yang diwarnai
berbagai protes, unjuk rasa, dan bahkan kerusuhan seperti terjadi di Kaur Bengkulu, dan
Tuban, Jawa Timur, sebagian besar pilkada berlangsung cukup kondusif, terbuka dan
demokratis. Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri bahkan mengklaim bahwa
pada umumnya pilkada berlangsung secara demokratis, tertib, aman, dan lancar walaupun
di sana-sini masih terdapat ketidakpuasan berbagai pihak2.

Setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan


presiden pada 2004, pilkada merupakan suatu tahap pencapaian baru dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan secara langsung atas presiden
dan wakil presiden serta kepala-kepala daerah dan wakil-wakil kepala daerah maka kini,
sekurang-kurangnya secara prosedural, kedaulatan politik benar-benar berada di tangan
rakyat. Melalui pilkada secara langsung, rakyat menentukan sendiri para pemimpin
eksekutif daerah tanpa keterlibatan dan intervensi DPRD. Namun sejauh mana kepala-
kepala daerah hasil pilkada sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada
aspirasi dan kepentingan rakyat, barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitu
pula, kualitas demokrasi dan tata-pemerintahan daerah hasil pilkada, mungkin masih
memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.

Kendati demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pilkada, tetap


merupakan bahan kajian yang menarik. Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi
antarpartai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena
paling menarik di balik penyelenggaraan pilkada di lebih dari 200 daerah di Indonesia.
Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda dengan yang terjadi
di tingkat nasional, melainkan juga pada “pola” koalisi antarpartai yang cenderung
berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering
dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam mengajukan
pasangan kandidat dalam pilkada.

Dalam kaitan tersebut, tulisan ini akan mengevaluasi dan menganalisis


kecenderungan pencalonan dan koalisi antarpartai dalam pilkada, khususnya pilkada yang
berlangsung pada 2005. Secara sistematis, sesudah bagian pengantar, selanjutnya akan
dibahas format pencalonan dan koalisi, kemudian kecenderungan pencalonan, dan
kecenderungan koalisi antarpartai. Pada bagian akhir akan dianalisis problematik atau
dilema di balik kecenderungan pencalonan dan koalisi partai yang dilanjutkan dengan

1
Selama setahun pelaksanaannya (dari Juni 2005 hingga Juni 2006), pilkada telah berlangsung di 250
daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Data dikutip dari Makalah Dirjen
Otonomi Daerah Depdagri pada acara Evaluasi Satu Tahun Pilkada, tanggal 28 Juni 2006 di Jakarta.
2
Ibid.

1
beberapa usulan pemikiran berkaitan dengan perbaikan penyelenggaraan pilkada di masa
depan.

Format Pencalonan dan Koalisi Antarpartai


Format pilkada secara langsung didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah –pengganti UU No. 22 tahun 1999—yang tidak lain merupakan
produk pemerintahan Megawati Soekarnoputeri (2001-2004). Selain UU No. 32/2004,
pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti UU (Perpu) menyusul
keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review sejumlah
KPUD atas UU tersebut. Sebagai operasionalisasi dari UU No.32/2004 dan Perpu,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 yang kemudian
diubah menjadi PP No. 17 tahun 2005.

Berkaitan dengan pencalonan, berbagai regulasi tentang pilkada tersebut mengatur


bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang perolehan kursi dan atau suaranya
minimal 15 persen. Pada mulanya hanya partai atau gabungan partai yang memperoleh
suara/kursi minimal 15 persen di DPRD saja yang berhak mengajukan pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun kemudian dibuka juga bagi gabungan
partai yang berada di luar parlemen lokal tersebut. Mengenai mekanisme pencalonan,
ayat 1, 3, dan 5 Pasal 37 PP No. 6/2005 secara berturut-turut mengatur bahwa:
• Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan
calon;
• Partai politik atau gabungan partai politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib
membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang
memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon;
• Proses penyaringan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan secara
demokratis dan transparan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam partai politik
atau gabungan partai politik.

Meskipun berkembang aspirasi publik tentang urgensi munculnya calon


perseorangan atau “independen” melalui jalur pencalonan yang berbeda dengan jalur
partai, namun regulasi pilkada tidak mengakomodasinya. Satu-satunya pintu pencalonan
adalah melalui partai politik, yang secara formal terbuka, baik bagi anggota dan pengurus
partai politik maupun bagi kandidat perseorangan yang bukan anggota partai politik.
Yang menarik, draft awal naskah RUU revisi atas UU No. 22 tahun 1999, baik yang
dimiliki oleh pemerintah (Depdagri) maupun yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR
sebenarnya mengakomodasi jalur kandidat perseorangan di luar jalur partai politik3.
Sebelum diakomodasi dalam draft usulan pemerintah dan usulan DPR, usulan tentang

3
Draft awal naskah RUU revisi atas UU No. 22/1999 usulan pemerintah antara lain berbunyi: “ Selain
pengajuan pasangan bakal calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, dapat diajukan
pasangan bakal calon lain dengan persyaratan dukungan 1 % dari jumlah pemilih”. Sementara itu draft
awal naskah RUU versi DPR antara lain mengatur bahwa “Pasangan calon diajukan oleh partai politik,
gabungan partai politik, atau perseorangan”. Khusus untuk calon perseorangan, draft RUU revisi atas UU
No. 22/1999 versi DPR mengusulkan persyaratan dukungan pemilih sekurang-kurangnya sama dengan
jumlah bilangan pembagi pemilihan (BPP).

2
perlunya calon independen juga diajukan draft naskah RUU revisi atas UU No. 22/1999
versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)4. Namun pada akhirnya, jalur kandidat
perseorangan di luar “pintu” partai itu kandas dalam pembahasan RUU oleh Panitia
Khusus DPR.

Berkaitan dengan mekanisme pencalonan bagi para pejabat, berbagai regulasi


tentang pilkada tampaknya cenderung mengabaikan prinsip kesetaraan, sehingga ada
sebagian jabatan tertentu seperti anggota DPRD, DPR, dan DPD yang tidak wajib
mundur pada saat pencalonan, namun berlaku sebaliknya bagi pejabat PNS, TNI dan
Polri. Ironisnya, tidak ada persyaratan apa pun bagi calon yang berasal kepala dan wakil
kepala daerah yang sedang menjabat. Larangan pencalonan hanya berlaku bagi pelaksana
tugas atau “penjabat” kepala daerah yang mengisi kekosongan karena berakhirnya masa
jabatan kepala daerah beberapa waktu sebelum pilkada berlangsung (lihat Tabel 1).

Tabel 1
Persyaratan Pencalonan bagi Pejabat dalam Pilkada

No Jenis Jabatan Persyaratan Momentum Keterangan


01. Anggota DPRD Surat pemberitahuan Pendaftaran Baru mundur
kepada Pimpinan calon ke KPUD setelah terpilih
DPRD
02. Pimpinan DPRD Surat pernyataan tidak Pendaftaran Baru mundur
aktif sebagai pimpinan calon ke KPUD setelah terpilih
03. Anggota DPR Surat pemberitahuan Pendaftaran Baru mundur
kepada pimpinan DPR calon ke KPUD setelah terpilih
04. Anggota DPD Surat pemberitahun Pendaftaran Baru mundur
kepada pimpinan DPD calon ke KPUD setelah terpilih
05. Bupati/Wk. Bupati Wajib mengundurkan Pendaftaran Jika maju sbg
& Walikota/Wk. diri calon ke KPUD calon gubernur/
Walikota wk gubernur
06. Bupati/wakil dan Wajib mengundurkan Pendaftaran Jika maju sbg
Walikota/wakil diri calon ke KPUD bupati/walikota
di daerah lain
07. Kepala Daerah/ Tidak ada pengaturan
Wakil yang maju sama sekali
kembali untuk masa
jabatan kedua
08. Penjabat Kepala Tidak dapat dicalonkan Yang dimaksud
Daerah adalah
pelaksana tugas
09. Pejabat Struktural/ Wajib mengundurkan Pendaftaran
Fungsional PNS diri dari jabatannya calon ke KPUD
10. Anggota TNI/Polri Wajib mengundurkan Pendaftaran
4
Lihat Tim LIPI, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Naskah Akademik dan RUU Usulan LIPI, Jakarta:
P2P LIPI-PGRI, 2003. Dalam usulan LIPI, calon independen harus didukung minimal satu persen dari
jumlah penduduk untuk dapat diajukan sebagai bakal calon ke panitia pemilihan.

3
diri dari jabatannya calon ke KPUD
11. Anggota KPUD/ Wajib mengundurkan Sejak
Panwas diri pemberitahuan
berakhirnya
masa jabatan
kepala daerah
Sumber: Diolah dari UU No. 32/2004, PP No. 6/2005, dan PP No. 17/2005.

Sementara itu berkaitan dengan koalisi antarpartai, regulasi pilkada sebenarnya


tidak mengatur aturan mainnya secara jelas. Baik UU maupun PP tentang pilkada bahkan
tidak menggunakan istilah “koalisi” partai meskipun hakikat pencalonan oleh “gabungan
partai” adalah koalisi. Seperti dikemukakan sebelumnya, pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah diajukan oleh partai atau gabungan partai. Dalam kaitan ini,
Pasal 42 PP No. 6 tahun 2005 yang mengatur pencalonan oleh partai atau gabungan
partai, antara lain hanya menyebut dua persyaratan penting, yakni pertama, kewajiban
“menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau
para pimpinan partai politik yang bergabung di daerah pemilihan”, dan kedua,
“kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan
calon”. Namun demikian, apa syarat-syarat, prosedur dan mekanisme koalisi serta
bagaimana isi “kesepakatan tertulis” antarpartai, sama sekali tidak diatur dalam UU dan
PP, kecuali bahwa total perolehan kursi/suara minimal partai-partai yang bergabung itu
tidak kurang dari 15 persen.

Kecenderungan Pencalonan
Pencalonan adalah salah satu tahap paling penting dalam penyelenggaraan pilkada selain
tahap pendaftaran pemilih, kampanye pasangan calon, pemberian suara dan penghitungan
suara serta pengumuman hasil pilkada. Melalui tahap pencalonan, tidak hanya terjadi
interaksi antara partai-partai dan para kandidat yang berminat menjadi kepala dan wakil
kepala daerah, melainkan juga tarik-menarik dan tawar-tawar di antara partai-partai.
Dinamika politik pilkada terutama tampak pada tahap pencalonan karena terjadi
kerjasama, kesepakatan dan akhirnya koalisi antarpartai tentang pasangan kandidat yang
diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Tidak jarang
terjadi konflik internal di dalam satu partai apabila tidak ada kesepakatan antara pimpinan
partai di tingkat pusat dan propinsi, antara pengurus tingkat propinsi dan pengurus tingkat
kabupaten/kota, ataupun di antara sesama pengurus tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.

Seperti dikemukakan sebelumnya, mekanisme pencalonan pilkada yang diatur


dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6 dan No. 17 tahun 2005, hanya mengenal satu jalur,
yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik.
Meskipun demikian, pilkada secara langsung ternyata telah membuka peluang berbagai
elemen masyarakat untuk menjadi kandidat di luar para politisi yang berasal dari partai-
partai politik. Selain politisi partai, kepala daerah yang sedang menjabat (incumbent) dan
birokrat, pertarungan dalam pilkada juga diminati oleh para pengusaha, purnawirawan
TNI/Polri, dan kalangan profesional lain serta aktivis LSM. Berbagai kalangan yang
merasa memiliki kompetensi untuk menjadi kepala ataupun wakil kepala daerah mencoba
mendaftarkan diri melalui partai politik ataupun datang langsung ke KPUD untuk

4
menjadi calon, meskipun upaya yang disebut terakhir ini ditolak oleh komisi pemilihan
karena sesuai aturan-perundangan pengajuan calon harus dilakukan oleh partai atau
gabungan partai politik.

Seperti dikemukakan sebelumnya, regulasi pilkada mengatur bahwa proses


penyaringan bakal calon oleh partai atau gabungan partai politik dilakukan secara
“demokratis dan transparan”. Dalam penjelasan aturan tersebut ditegaskan bahwa selain
sesuai dengan mekanisme internal partai atau gabungan partai, yang dimaksud dengan
proses pencalonan yang “demokratis dan transparan” adalah terbukanya proses tersebut
dari “akses publik”. Namun demikian dalam realitasnya, hampir semua proses
pencalonan pilkada yang telah berlangsung selama ini mengabaikan urgensi akses publik.
Pada umumnya masyarakat di daerah pemilihan tidak mengetahui bagaimana
sesungguhnya proses seleksi calon oleh partai atau gabungan partai politik. Sejumlah
tokoh masyarakat di daerah penelitian bahkan sama sekali tidak tahu, mengapa suatu
partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai kepala daerah atau
wakil kepala daerah5. Sebagaimana kecenderungan yang terjadi dalam pemilu legislatif
20046, masyarakat pada umumnya merasa di fait acompli oleh partai atau gabungan
partai dalam proses pencalonan pasangan kandidat dalam pilkada.

Dampak lebih jauh dari kecenderungan pencalonan seperti ini adalah


berlangsungnya proses seleksi calon yang elitis. Hak politik masyarakat untuk turut
berpartisipasi dalam proses pencalonan diabaikan karena segenap prosesnya cenderung
berlangsung tertutup dan elitis. Hampir tidak ada akses bagi masyarakat untuk sekadar
mengetahui, mengapa partai atau gabungan partai tertentu cenderung mencalonkan tokoh
tertentu ketimbang yang lain. Meningkatnya kecenderungan Golput dalam pilkada –
dibandingkan pemilu legislatif dan pilres—bisa jadi juga berhubungan dengan
kecenderungan ini. Seperti dianalisis oleh Lingkaran Survei Indonesia, dari 172 pilkada
yang diselenggarakan di kabupaten, kota, dan propinsi, tingkat partisipasi di bawah 70
persen ditemukan di 37,7 persen daerah pemilihan7.

Selain itu, realitas di atas tampaknya berhubungan dengan sinyalemen publik


bahwa di luar persyaratan yang bersifat formal seperti diatur dalam UU dan PP, faktor
terpenting bagi partai-partai dan gabungan partai dalam menentukan pasangan kandidat
yang diusung dalam pilkada adalah kemampuan finansial para kandidat. Meskipun tidak
ada aturan tertulis tentang hal ini, namun pengakuan sebagian kandidat dalam
pertarungan pilkada mengindikasikan kebenaran sinyalemen tersebut8. Sudah pula
menjadi rahasia umum bahwa para kandidat harus menyetor sejumlah uang ke partai atau
gabungan partai yang bersedia menjadi “perahu” dalam pencalonan pilkada. Nilai uang
diperkirakan ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung hasil negosiasi dan
kesepakatan antara para kandidat dan partai atau gabungan partai, serta juga wilayah
5
Rangkuman hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat di Manado, Batam, Banten, Padang
Pariaman, dan Solo pada Juni-Juli 2006.
6
Tentang proses pencalonan dalam pemilu legislatif 2004, lihat Syamsuddin Haris, ed., Pemilu Langsung
di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
7
LSI, “Analisis Perilaku Pemilih Berdasarkan Data Agregat Pilkada”, 2005.
8
Rangkuman hasil wawancara dengan para mantan kandidat yang gagal dalam pilkada di Sulut, Batam,
Banten, Padang Pariaman, dan Solo, Juni-Juli 2006.

5
pilkada, apakah merupakan daerah potensial secara ekonomi atau daerah minus. Di
sejumlah daerah seperti Kalimantan Selatan, Jambi, dan Bengkulu misalnya, proses
pilkada cenderung diwarnai praktik persekongkolan politik dan bisnis di antara para elite
partai dan birokrasi di satu pihak dan elite pengusaha atau bisnis di pihak lain9. Dalam
kaitan ini, seorang kandidat yang gagal dalam pilkada di Kabupaten Bima, NTB, daerah
yang relatif minus secara ekonomi misalnya, mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 4
miliar untuk berbagai jenis pengeluaran, mulai dari “setoran” ke gabungan partai
pengusung, biaya kampanye, dan biaya operasional lainnya.

Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa inisiatif pencalonan tampaknya


sebagian besar datang dari para kandidat yang berminat, merasa mempunyai kapabilitas,
dan juga memiliki dana ataupun dukungan finansial yang cukup ketimbang sebagai suatu
inisiatif partai. Meskipun belum ada data yang akurat berkaitan dengan kecenderungan
tersebut, namun gejala bahwa partai atau gabungan partai lebih memposisikan diri
sebagai “perahu” –bagi para kandidat—daripada pengambil inisiatif, tampak dalam
berbagai kasus pilkada di sebagian besar daerah. Kekecualian hanya berlaku bagi partai
yang benar-benar memiliki kader yang telah “siap” bertarung. Kecenderungan yang
disebut terakhir pada umumnya terjadi pada partai-partai yang kadernya sedang
memegang pemerintahan di daerah, entah sebagai kepala daerah atau wakil kepala
daerah, atau kader partai di tingkat pusat yang hendak menjadi kepala daerah.
Pengecualian yang disebut pertama dapat disaksikan pada para incumbent yang
dicalonkan kembali oleh partainya, dan yang kedua bisa dilihat pada pengurus pimpinan
pusat dan/atau anggota DPR yang hendak menjadi gubernur, ataupun pengurus partai
tingkat propinsi dan/atau anggota DPRD propinsi yang hendak menjadi bupati/walikota.
Untuk contoh kasus yang pertama tampak pada Pilkada Sulawesi Utara ketika Golkar
mencalonkan kembali Gubernur Sondakh, sedangkan untuk kasus kedua terlihat pada
Pilkada Kalimantan Tengah tatkala PDI Perjuangan mencalonkan Anggota DPR
sekaligus pengurus DPP Teras Narang dalam pilkada di daerah ini.

Proses pencalonan lazimnya dimulai dari lobi-lobi antara para kandidat yang
berminat menjadi kepala daerah dengan partai yang dianggap potensial sebagai “perahu”,
baik karena perolehan suaranya dalam pemilu legislatif cukup signifikan, maupun karena
kandidat tersebut hanya mengenal dan memiliki hubungan dekat dengan partai tertentu
saja. Ditinjau dari sisi kandidat, ada beberapa kecenderungan proses pencalonan dalam
pilkada setelah tahap lobi berlangsung. Pertama, kandidat memiliki dana dan dukungan
finansial yang cukup namun belum cukup populer secara publik. Sang kandidat berusaha
dicalonkan oleh partai besar di daerah atau gabungan partai yang memperoleh minimal
15 persen suara/kursi. Partai besar di daerah atau gabungan partai akan memilihnya
menjadi calon jika tidak memiliki kader yang siap bertarung –termasuk siap dari aspek
pendanaan—namun demikian sang kandidat jenis ini belum tentu bisa memenangkan
pertarungan pilkada

Kedua, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup, tetapi
memiliki kemampuan dan cukup populer secara publik. Kandidat jenis ini tentu berusaha

9
Lihat misalnya Laporan Penelitian P2E LIPI, “Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa
da Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca-Pilkada”, 2006.

6
diusung juga oleh partai besar di daerah, namun cenderung ditolak oleh partai-partai
besar jika ada kandidat lain, meskipun belum populer, namun memiliki dana dan
dukungan finansial yang lebih besar. Sang kandidat memiliki peluang jika dapat memilih
pasangan wakil kepala daerah yang relatif tidak bermasalah kendati tidak memiliki basis
politik.

Ketiga, kandidat memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup besar, belum
populer, namun secara pribadi sang kandidat “merasa” telah populer secara publik.
Kandidat jenis ini juga cenderung ditunggu oleh partai-partai untuk diusung sebagai
calon dalam pilkada, kendati gabungan partai meragukan keberhasilannya. Kandidat jenis
ini cenderung diusung oleh gabungan partai kecil di daerah.

Keempat, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang memadai,
tetapi memiliki kharisma sebagai keturunan tokoh berpengaruh di daerah (raja, sultan,
ulama terkemuka, pahlawan daerah, dsbnya). Partai atau gabungan partai akan
memilihnya untuk diusulkan sebagai calon jika sang kandidat sekaligus merupakan
pimpinan atau pengurus teras partai di daerah.

Kelima, kandidat adalah kepala daerah atau wakil kepala daerah yang hendak
menjabat kembali sebagai kepala atau wakil kepala daerah untuk masa jabatan kedua.
Jika sang kandidat sekaligus adalah pengurus atau pimpinan partai, maka dia cenderung
akan dicalonkan oleh partainya karena telah memiliki dana “tabungan” sebagai kepala
atau wakil kepala daerah. Apabila kinerja sebelumnya dianggap baik, maka kandidat
jenis ini berpeluang didukung pula oleh partai-partai lain, namun jika kinerja dan
popularitasnya dinilai buruk secara publik, kemungkinan hanya partai sendiri yang mau
mengusungnya.

Kecenderungan Koalisi Partai


Sebagian besar partai-partai yang memenangkan pertarungan dalam Pilkada selama
setahun terakhir adalah partai-partai yang saling berkoalisi dalam mengusung para
kandidat. Namun demikian, hampir tidak ada pola koalisi dan kerjasama yang permanen
di antara partai-partai yang mengajukan pasangan calon dalam pilkada. Di satu pihak hal
ini tampak positif karena kerjasama tersebut seolah-olah didasarkan pada kesamaan isu
lokal yang hendak diusung, tetapi di sisi lain memperlihatkan bahwa partai-partai
sesungguhnya tidak memiliki ideologi dan platform politik yang jelas. Selain itu, pola
dan kerjasama antarpartai di tingkat nasional tidak sepenuhnya terjadi di tingkat lokal.

Partai-partai besar bisa saling berkoalisi dengan partai besar, partai sedang,
ataupun partai kecil. Begitu pula sebaliknya, partai kecil berkoalisi dengan sesama partai
kecil ataupun dengan partai besar dan partai sedang. Hampir tidak ada suatu pola yang
bersifat menetap antara daerah yang satu dengan lainnya, termasuk di antara suatu partai
yang sama di kabupaten/kota yang berbeda tetapi di dalam propinsi yang sama.

Dari 213 Pilkada 2005 yang dianalisis, hanya 83 pilkada (38 persen) yang
dimenangkan oleh pasangan kandidat yang diusung oleh satu partai secara sendiri.

7
Sebanyak 130 pilkada lainnya (62 persen) dimenangkan oleh pasangan calon yang
diusung oleh koalisi partai, baik koalisi dua partai, koalisi tiga partai, maupun koalisi
empat partai atau lebih. Rekor koalisi partai terbanyak ditemukan di Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur, ketika pasangan Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nuris didukung
oleh 18 partai-partai non-DPRD. Ironisnya Ratna diminta mundur dan bahkan “dipecat”
oleh para elite politik dan anggota DPRD yang tidak siap berdemokrasi.

Tabel 2
Pola Koalisi Pemenang Pilkada 2005

Pemenang Pilkada Jumlah Daerah Persen


Partai non-koalisi 83 38
Partai-partai berkoalisi 130 62
- Koalisi dua partai 47
- Koalisi tiga partai 26
- Koalisi empat partai/ 57
lebih
Total 213 100
Sumber: Diolah dari data agregat Depdagri, 2006.

Apabila 83 pasangan pemenang pilkada yang dicalonkan oleh satu partai tersebut
ditelaah lebih jauh, 40 pasang pemenang di antaranya diusung oleh Partai Golkar10,
sedangkan 21 pasang dicalonkan oleh PDI Perjuangan, dan sisanya oleh partai-partai lain.
Partai-partai yang berhasil memenangkan kandidatnya secara sendiri tanpa berkoalisi itu
adalah PKS (5 daerah), PPP (5 daerah), PAN dan Partai Demokrat masing-masing
menang di tiga daerah, PKB dan PKPI masing-masing menang di dua daerah, dan PBB,
PDS, serta PNI Marhaenisme memenangkankan satu daerah pada Pilkada 2005 yang lalu.

Tabel 3
Partai non-koalisi Pemenang Pilkada 2005

Partai Pengusung Jumlah Daerah Keterangan


Partai Golkar 40 daerah Sebagaian besar (85%) diraih di luar
Jawa dan 15% di Jawa
PDI Perjuangan 21 daerah Jawa-luar Jawa berimbang
PKS 5 daerah Satu di Jawa, empat di luar Jawa
PPP 4 daerah Dua di Jawa, dua di luar Jawa
PAN 3 daerah Dua di Jawa, satu di luar Jawa
Partai Demokrat 3 daerah Satu di Jawa, dua di luar Jawa
PKB 2 daerah Dua-duanya di Jawa (Timur)
PKPI 2 daerah Dua-duanya di luar Jawa
PBB 1 daerah Luar Jawa (OKS, Sumsel)
10
Walaupun unggul dibandingkan partai lain dalam pilkada, namun Golkar sebenarnya gagal memenuhi
targetnya merebut 60 persen pilkada karena partai Orde Baru pemenang Pemilu 2004 ini ternyata hanya
dapat memenangkan sekitar 35,55 persen dari keseluruhan pilkada yang telah berlangsung. Lihat juga
http://pilkada.partai-golkar.or.id/

8
PDS 1 daerah Luar Jawa (Poso, Sulteng)
PNI Marhaenisme 1 daerah Luar Jawa (Toba Samosir, Sumut)

Meskipun demikian, ternyata dari 40 pilkada yang dimenangkan oleh Golkar


secara sendiri tersebut, hanya 6 pilkada yang bisa direbut di Jawa, empat daerah di Jawa
Tengah (Blora, Boyolali, Purworejo, dan Klaten), dan dua daerah di Jawa Barat
(Indramayu dan Karawang). Sebagian besar kemenangan Golkar dalam Pilkada 2005
terjadi di daerah-daerah luar Jawa. Berbeda dengan kecenderungan Partai Golkar, lebih
dari 50 persen (11 dari 21 daerah) kemenangan PDI Perjuangan dalam Pilkada 2005
justru diperoleh di Jawa dan Bali.

Dari penyelenggaraan Pilkada 2005 yang telah berlangsung tersebut ada beberapa
kecenderungan hasil koalisi yang bisa diidentifikasi. Pertama, dari evaluasi yang
dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) misalnya, ternyata hanya sekitar 37,7 persen
pemenang pilkada yang diusung oleh partai atau koalisi partai pemenang pemilu legislatif
di daerah yang bersangkutan. Sedangkan sebagian besar (72,3 persen) pilkada
dimenangkan oleh partai atau koalisi partai bukan pemenang pemilu legislatif11. Hal ini
jelas menunjukkan bahwa faktor figur atau ketokohan kandidat sangat menentukan dalam
pertarungan pilkada ketimbang basis partai para calon dalam pilkada.

Kedua, ternyata tidak semua partai besar yang memiliki kursi paling banyak di
DPRD dapat memenangkan kompetisi pilkada. Daya tarik dan popularitas figur pasangan
kandidat menjadi faktor penting selain basis partai dan gabungan partai yang menjadi
wadah pencalonan. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa partai-partai besar
sebenarnya tidak cukup berakar dan tidak memiliki basis sosial yang jelas di daerah
sekalipun menang dalam pemilu legislatif.

Ketiga, menurut catatan Harian Kompas12, ternyata 40,4 persen pemenang pilkada
adalah para incumbent, sedangkan sisanya beragam dan berasal dari berbagai unsur, baik
gabungan politisi dan pengusaha, maupun aliansi antara birokrat dan pengusaha.
Meskipun demikian, dari keseluruhan kepala daerah/wakil kepala daerah yang maju
kembali tersebut ternyata sebagian besar (59,67 persen)13 menang dalam pertarungan
pilkada. Kemenangan hampir 60 persen incumbent ini diduga kuat berkaitan dengan
format pilkada versi UU No. 32/2004 yang memungkinkan para pejabat lama
mempengaruhi birokrasi bawahan mereka di daerah. Seperti diketahui, peraturan-
perundangan pilkada tidak mewajibkan para kepala daerah/wakil kepala daerah untuk
mundur dan atau berhenti sementara sebelum mereka maju kembali dalam pertarungan
pilkada.

Keempat, walaupun belum ada data akurat, tampaknya tidak semua pasangan
kandidat yang diduga memiliki dana kampanye yang besar dapat memenangkan
kompetisi pilkada. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita secara

11
LSI, “Analisis Perilaku Pemilih Berdasar Data Agregat Pilkada”, Oktober 2005.
12
Kompas, “Setahun Pilkada Golput Meningkat”, tanggal 20 Juni 2006.
13
Dihitung dan diolah berdasarkan data 161 pilkada dari NDI.

9
berangsur juga belajar dari pengalaman mereka dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Realitas ini tentu merupakan gejala positif karena memperlihatkan bahwa para pemilih
sebenarnya memiliki rasionalitas politik sendiri yang belum tentu sama dengan asumsi
para elite politik.

Koalisi partai-partai telah menjadi realitas dalam pilkada. Namun demikian, pola
koalisi “bebas” seperti dianut oleh UU No. 32/2004 cenderung tidak mendidik partai-
partai untuk lebih dewasa dalam berpolitik. Koalisi partai bukan hanya cenderung semu
dan berorientasi jangka pendek alias kekuasaan belaka, melainkan juga cenderung
berdampak pada absennya kompetisi atas dasar visi dan platform politik di antara para
pasangan kandidat dalam pertarungan pilkada. Proses pilkada lebih diwarnai pertarungan
kepentingan dan kompromi para elite politik lokal, baik elite negara (local state actors)
maupun elite masyarakat (societal actors)14. Akibatnya, momentum kampanye para
kandidat pun cenderung hanya bersifat “pesta” belaka ketimbang sebagai forum
presentasi program politik para kandidat jika terpilih sebagai kepala dan wakil kepala
daerah.

Koalisi Nasionalis-Islam
Fenomena lain yang menarik di balik koalisi partai dalam pilkada adalah menguatnya
kecenderungan untuk bekerjasama atau berkoalisi secara inklusif dan lintas-ideologis.
Kecenderungan ini hampir sama dengan fenomena pemilu presiden 2004 di mana tidak
satu pun pasangan kandidat yang dinominasikan secara ekslusif oleh koalisi partai-partai
nasionalis saja atau koalisi partai-partai Islam saja. Kandidat dari partai-partai nasional
seperti Megawati (PDI-P), Wiranto (militer/Golkar), dan Yudhoyono (militer/PD) justru
mencari pasangan calon wapres dari tokoh berbasis Islam, yakni masing-masing Hasyim
Muzadi (NU), Solahuddin Wahid (PKB), dan Jusuf Kalla –mengklaim dirinya sebagai
penganut NU. Sebaliknya kandidat yang berasal dari partai Islam atau partai berbasis
Islam seperti Hamzah Haz (PPP) dan Amien Rais (PAN) juga memilih calon wapres dari
figur berbasis nasionalis, yakni Agum Gumilar (militer) dan Siswono Yudohusodo
(mantan Ketua Umum GMNI).

Partai-partai dan para kandidat presiden tampaknya menyadari bahwa kerjasama


antara golongan nasionalis dan golongan Islam merupakan salah satu solusi penting bagi
integrasi dan perkembangan demokrasi Indonesia. Sangat menarik bahwa fenomena
serupa –yakni munculnya kesadaran akan kerjasama nasionalis-Islam—tampak dari hasil
pilkada yang telah diselenggarakan di lebih dari 200 daerah di Indonesia sejak Juni 2005.
Menurut data Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari 224 pemilu lokal
yang telah berlangsung di kabupaten, kota, dan propinsi, sekitar 37,05 persen
pemenangnya adalah pasangan kandidat yang dinominasikan oleh koalisi partai
nasionalis dan partai Islam, 32,59 persen dimenangkan oleh kandidat yang dicalonkan
oleh partai nasionalis, 22,27 persen dimenangkan oleh pasangan kandidat yang diusulkan
oleh koalisi antarpartai nasionalis, dan hanya 7,48 persen pasangan kandidat dari koalisi
antarpartai Islam yang dapat memenangkan pilkada15 (lihat tabel di bawah).

14
Lihat Laporan Penelitian P2E LIPI, “Bisnis dan Politik”, opcit.
15
Lihat Adung A. Rochman, “Satu Tahun Pilkada: Hasil Pemantauan JPPR”, makalah 2006.

10
Tabel 4
Koalisi Pemenang Pilkada di 224 Daerah

No. Pemenang Pilkada Jumlah wilayah Persen


1. Koalisi partai nasionalis-Islam 83 37,05
2. Partai nasionalis 73 32,59
3. Koalisi sesama partai nasionalis 51 22,27
4. Koalisi sesama partai Islam 17 7,48
Sumber: JPPR, 2006

Apabila disepakati bahwa salah satu elemen terpenting di dalam sistem demokrasi
adalah penghargaan terhadap pluralitas, maka –berdasarkan temuan JPPR tersebut—hasil
Pilkada 2005 sebenarnya cukup menjanjikan. Artinya, masyarakat sesungguhnya saling-
menghargai perbedaan di antara mereka dan bahkan memandang perbedaan bukan
sebagai ancaman, melainkan justru sebagai fondasi bagi perkembangan demokrasi. Di
samping itu, data tersebut jelas makin memperkuat argumen bahwa, pertama, preferensi
pilihan rakyat dalam pemilihan kepala pemerintahan tingkat nasional, regional, dan lokal
pada era reformasi dewasa ini tidak lagi bersifat “aliran” sebagaimana kecenderungan
terbatas yang terjadi dalam pemilu legislatif di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kedua, pola koalisi yang bersifat pluralis, yakni nasionalis-Islam, tampaknya
menjadi pilihan solusi bagi integrasi dan demokrasi Indonesia di masa depan. Dan ketiga,
realitas ini sekaligus menggambarkan makin sulitnya partai-partai Islam merebut
dukungan signifikan dalam pemilu dan pilkada meskipun secara sosiologis mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam.

Problematik Pencalonan dan Koalisi


Ditinjau dari aspek pencalonan dan koalisi partai, ada sejumlah problematik di balik
regulasi pilkada dewasa ini. Pertama, terbatasnya akses masyarakat untuk berpartisipasi
dalam proses pencalonan, sehingga para kandidat cenderung di fait-accompli oleh partai-
partai dan koalisi partai. Hak konstituen untuk turut mengajukan calon yang dianggap
layak oleh masyarakat tertutup sama sekali, padahal kompetisi pilkada bukan kompetisi
partai-partai seperti pemilu legislatif, melainkan kompetisi para kandidat secara
perseorangan. Partai atau koalisi partai semestinya hanyalah salah satu wadah bagi para
kandidat untuk turut bersaing dalam pilkada.

Kedua, kemampuan kandidat dalam menyiapkan dana yang cukup besar menjadi
faktor penting di balik pencalonan yang dilakukan oleh partai atau gabungan partai.
Akibatnya, partai-partai cenderung mengabaikan kapabilitas dan kualitas pasangan calon
yang diusung dalam kompetisi pilkada.

Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah bahwa format pilkada yang
telah berlangsung setahun terakhir cenderung menjadikan partai-partai sebagai “makelar”
atau “broker politik” yang lebih menunggu datangnya kandidat berdompet tebal,
ketimbang mempersiapkan calon yang benar-benar berkualitas bagi pembentukan
kepemimpinan daerah. Tidak mengherankan jika kader-kader partai besar di daerah yang
tidak memiliki dukungan dana yang cukup cenderung “mengalah” menjadi calon wakil

11
kepala daerah, karena calon kepala daerah disediakan bagi kandidat berkantong tebal –
kendati bukan kader dari partai atau partai-partai yang berkoalisi. Realitas semacam
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengusaha yang akhirnya turut berlomba
untuk menjadi kepala daerah.

Ketiga, format pencalonan dalam regulasi tentang pilkada mengabaikan aspek


kesetaraan kesempatan bagi para pejabat yang bertarung. Seperti diuraikan sebelumnya,
regulasi pilkada cenderung berpihak pada elite partai-partai, anggota parlemen (nasional
dan lokal), dan para kandidat incumbent, dan sebaliknya cenderung merugikan pejabat
yang berasal dari PNS, TNI dan Polri. Peluang yang diberikan oleh UU No. 32/2004 bagi
anggota DPRD, DPR, dan DPD menjadi kandidat dalam pilkada tanpa kewajiban mundur
bagi mereka, jelas berpotensi besar menumbuh-suburkan para politisi oportunistik yang
tidak pernah belajar bertanggung jawab terhadap para pemilihnya. Bagaimana pun, para
anggota DPRD, DPR, dan DPD terpilih telah memperoleh kepercayaan menjadi wakil
rakyat untuk masa jabatan lima tahun.

Keempat, format koalisi partai dalam pilkada yang berlaku dewasa ini cenderung
mengabaikan penguatan aspek akuntabilitas kepala-kepala daerah dan wakil kepala
daerah hasil pilkada. Benar bahwa pilkada secara langsung dapat menghasilkan
pemerintahan yang lebih stabil selama lima tahun karena tidak “diganggu” oleh DPRD.
Akan tetapi, format koalisi partai dalam pilkada versi UU No. 32/2005 tidak memberi
jalan keluar bagaimana jika kinerja kepala daerah mengecewakan dan DPRD tidak mau
bekerjasama dengan kepala daerah. Hal ini dikarenakan koalisi partai dalam pilkada tidak
disertai persyaratan kesepakatan yang bersifat transparan dan akuntabel di antara
kandidat dan partai atau gabungan partai.

Selain sejumlah problematik di atas, format pilkada juga bermasalah sehubungan


dengan format KPUD versi UU No. 32/2004 yang berpeluang besar menjadi sasaran
amarah massa karena cenderung didesain “tidak independen” seperti halnya KPU
Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2004. Di satu pihak KPUD kehilangan
induk karena tidak menjadi bagian integral dari KPU, tetapi di lain pihak, pemerintah
(pusat) dan Pemda cenderung melepas tanggung jawab atas kinerja KPUD. Akibatnya,
KPUD menjadi “korban” dan sasaran berbagai bentuk protes dan bahkan tindak
kekerasan massa pendukung para kandidat pengecut yang tidak siap kalah dalam
pertarungan pilkada16.

Penutup
Terlepas dari keberhasilannya secara prosedural dan gejala positif di balik koalisi partai
yang bersifat lintas aliran, harus diakui pula bahwa pilkada di masa depan perlu ditata
kembali sehingga menjanjikan demokrasi lokal yang lebih efektif dan produktif, dalam
pengertian pemerintahan daerah yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Apalagi kebutuhan bangsa kita akan sistem demokrasi jelas tidak sekadar bersifat
prosedural dan “elektoral” belaka. Pengalaman bangsa kita akan institusi-institusi
demokrasi produk Pemilu 1999 dan 2004 memperlihatkan buruknya kinerja partai-partai,
16
Lihat juga, Syamsuddin Haris, “Pemerintah Berbuat, KPUD Korban”, dalam Kompas, edisi Juni 2005.

12
legislatif, dan eksekutif meskipun keberhasilannya secara prosedural dipuji dunia
internasional.

Dalam konteks Indonesia, kebutuhan akan suatu demokrasi lokal yang lebih
substansial jelas berkaitan dengan pertanyaan, apakah pilkada langsung menjanjikan
munculnya kepala-kepala daerah yang lebih berkualitas, pemerintahan lokal yang lebih
efektif, serta juga praktik demokrasi yang lebih produktif dan berpihak kepada
kepentingan publik dibandingkan masa-masa sebelumnya? Sebab pilkada langsung
sebagai bagian dari perkembangan demokrasi di Tanah Air jelas berkurang maknanya
jika ternyata tidak menghasilkan pemerintahan dan demokrasi lokal yang lebih produktif
dan akuntabel.

Oleh karena itu, penataan kembali format pilkada semestinya didasarkan pada
cara pandang bahwa pilkada pada hakikatnya adalah bagian dari pemilu daerah dalam
rangka pembentukan pemerintahan daerah. Sebagai pemilu daerah, pilkada
diselenggarakan oleh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang secara struktural
menjadi bagian dari KPU17. Mengingat peserta kompetisi pilkada adalah para “pasangan
calon”, dan bukan partai politik seperti pemilu legislatif, semestinya terbuka peluang bagi
munculnya para kandidat perorangan di luar jalur partai politik –yang populer dengan
istilah “calon independen”.

Sementara itu dalam rangka pelembagaan akuntabilitas publik dan etika


berpolitik, kompetisi pilkada hendaknya memberlakukan para kandidat secara setara
tanpa diskriminasi apa pun. Oleh karena itu, kewajiban mundur bagi calon pada saat
mendaftarkan diri ke komisi pemilihan, semestinya berlaku sama bagi para anggota dan
pimpinan DPRD, serta anggota DPR dan DPD.

Untuk meningkatkan kualitas partisipasi publik dalam pencalonan, regulasi


pilkada semestinya mewajibkan partai politik melakukan seleksi terbuka atas para
kandidat melalui forum konvensi, konferensi daerah partai, dan sejenisnya. Di samping
itu, diperlukan pengaturan dan pelembagaan mekanisme akuntabilitas kepala daerah hasil
pilkada yang lebih baik agar pencapaian pilkada tidak sekadar demokrasi prosedural
belaka.

17
Pilkada sebagai pemilu yang diselenggarakan oleh KPU dan jajarannya (KPU propinsi, kabupaten, dan
kota) telah disepakati oleh Pansus DPR dalam RUU Penyelenggara Pemilihan Umum.

13

Anda mungkin juga menyukai