Anda di halaman 1dari 21

Tugas Makalah Kewarganegaraan

Pelaksanaan Pilkada Berdasarkan Sila ke-4 Pancasila

Pemilihan Langsung pada Pemilukada di


Indonesia

disusun oleh:
1. Abdurrahman Adil Amrullah
2. Ahmad Ghozi

(2Q/01)
(2Q/02)

3. Andari Iskandar Nabila

(2Q/03)

4. Andrean Fuza Amrulloh

(2Q/04)

5. Astika Nur Indah Fitriani

(2Q/05)

6. Azharie Akbar

D-III Akuntansi

(2Q/06)

Tangerang, 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memilih pemimpin negara dan pemimpin wilayah mulai dari tingkat
tertinggi hingga tingkat terendah merupakan kegiatan yang selalu ada
pada sebuah negara republik, termasuk Republik Indonesia. Hal ini
disebabkan pada negara republik, tiap warga negara yang telah
memenuhi syarat berhak dipilih menjadi pemimpin. Tidak seperti negara
monarki yang pemerintahannya mengacu pada garis keturunan.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hingga akhir masa
reformasi, Indonesia menggunakan sistem pemilihan tidak langsung.
Rakyat hanya diberi kesempatan untuk memilih partai-partai yang akan
mewakili mereka di kursi DPR. Selanjutnya anggota DPR/MPR yang akan
memilih presiden. Presiden kemudian akan membentuk jajaran menteri
termasuk menteri dalam negeri. Menteri dalam negeri yang bertanggung
jawab dalam pengangkatan para gubernur dan pemimpin wilayah di
bawahnya. Sistem pemilihan ini dinilai kurang transparan dan rentan KKN.
Setelah masa reformasi berakhir, Indonesia menggunakan sistem
pemilihan langsung. Rakyat berkesempatan memilih pemimpin dari
jajaran tertinggi mulai presiden, gubernur hingga walikota, termasuk para
anggota DPR secara langsung. Sistem ini dinilai lebih transparan. Namun,
pada kenyataannya, sistem ini menyisakan banyak masalah. Mulai dari
anggaran yang membengkak, money politic yang semakin parah, dan
pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan. Selain itu, sistem ini
dinilai kurang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi pancasila, terutama sila
ke 4.
Dalam sila ke 4 disebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Kita
perlu
menggarisbawahi kata-kata permusyawaratan dan perwakilan.
Permusyawaratan bermakna mendahulukan musyawarah mufakat
daripada voting (pemungutan suara), dan perwakilan bermakna rakyat
menunjuk wakil-wakilnya dalam DPR yang akan menjalankan proses
pemlihan presiden. Sehingga sebenarnya sistem pemilihan tidak langsung
lebih sesuai dengan demokrasi Pancasila dan lebih efisien. Oknum
pelaksanaanyalah yang membuat sistem ini rentan KKN.

Sistem pemilihan langsung sudah ditetapkan dalam undang-undang,


kita harus melaksanakannya. Tapi, ada baiknya kita telaah kembali
bagaimana dampak positif dan negatif sistem pemilihan langsung
terutama di lingkup pemilihan kepala daerah. Sehingga, ke depan dapat
dilakukan perbaikan terhadap sistem ini sehingga tujuan pemilihan umum
untuk mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat terbaik dengan cara
terbaik dan biaya seefisien mungkin dapat terwujud.

B. Tujuan
1. Mengetahui sejarah pemilihan langsung pemilukada di Indonesia
2. Mengetahui kesesuaian pemilihan langsung terhadap implementasi sila
ke-4 pancasila
3. Mengetahui kualitas pemimpin hasil pemilihan langsung
4. Mengetahui dampak positif pemilihan langsung pada pemilukada
5. Mengetahui dampak negatif pemilihan langsung pada pemilukada

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pemilihan langsung pemilukada di Indonesia dari
masa ke masa?
2. Bagaimana kesesuaian pemilihan langsung terhadap implementasi sila
ke-4 pancasila?
3. Bagaimana kualitas pemimpin hasil pemilihan langsung?
4. Apa dampak positif pemilihan langsung?
5. Apa dampak negatif pemilihan langsung?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pemilukada di Indonesia


1. Pemilukada Tidak Langsung
a. Masa Hindia Belanda
Di masa kolonial, pemerintahan daerah tak seperti
sekarang. Hierarkinya dimulai dari paling atas, yakni gewest
(provinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin
residen, afdeling dipimpin asisten residen, kabupaten dipimpin
bupati, lalu ada district atau kawedanan yang dipimpin
wedana, dan onderdistrict atau kecamatan yang dipimpin
camat.
Tak ada pemilu untuk menentukan pemimpin di tiap-tiap
tingkatan karena semua ditentukan Pemerintah Kolonial, yaitu
gubernur jenderal. Itu pun, tiga jabatan tertinggi pertama diisi
orang-orang Belanda. Bangsa pribumi hanya boleh menjabat
jabatan
bupati
sampai
camat
ditambah
kewajiban
memberikan/membayar upeti kepada Pemerintah Kolonial.
Sistem itu berganti pada masa pendudukan Jepang meski
secara parsial saja. Pemerintah kolonial negeri matahari terbit
itu hanya mengubah istilah jabatan-jabatan, misalnya
karesidenan disebut syuu dan dipimpin syuutyoo, kawedanan
disebut gunson yang dipimpin guntyoo.
Tak ada pemilu juga dalam sistem ini. Semua jabatan
ditunjuk dan ditentukan pemerintah Jepang. Jabatan di tingkat
karesidenan diisi perwira-perwira militer Jepang, sedangkan
pada level kawedanan ke bawah dijabat orang pribumi.
b. Masa kemerdekaan
Segera setelah Indonesia merdeka, sistem kembali
berubah. Di era ini, kepala daerah berfungsi sebagai
pemimpin komite nasional daerah, sekaligus menjadi anggota
dan ditetapkan sebagai ketua badan perwakilan daerah,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.
Dalam sistem ini, kepala daerah yang diangkat adalah
kepala daerah pada masa sebelumnya. Alasannya karena

situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan kala itu


sedang tidak stabil.
Sistem ini disempurnakan pada tahun 1948. Istilah dalam
tingkatan pemerintah daerah diperjelas, yakni provinsi,
kabupaten atau kota besar, desa, dan nagari. Proses
pemilihannya pun sedikit lebih demokratis, karena, misalnya,
gubernur diangkat oleh Presiden setelah ada nama calon yang
diajukan DPRD tingkat provinsi. Di bawahnya, DPRD tingkat
kabupaten mengusulkan calon bupati, lalu diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri. Kepala desa diangkat Gubernur setelah
menerima nama calon yang diajukan DPR desa.
c. Masa Republik Indonesia Serikat
Sistem pemilihan kepala daerah kembali berubah
bersamaan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi
Republik Indonesia Serikat tahun 1950. Itu terjadi karena
konstitusi berubah dari Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
Undang-Undang Sementara tahun 1950.
Pada era ini, istilah dalam tingkatan pemerintah daerah
diubah: di tingkat provinsi disebut daerah tingkat I yang
dipimpin gubernur, di tingkat kota/kabupaten disebut daerah
tingkat II yang di bupati atau wali kota, dan tingkat kecamatan
disebut daerah tingkat III yang dipimpin camat.
Setelah konstitusi negara kembali pada Undang-Undang
1945, terbit undang-undang yang mengatur mekanisme dan
peraturan pengangkatan kepala daerah. Kepala daerah
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam
Negeri. DPRD hanya mengajukan nama, dan yang
menentukan adalah Presiden atau Menteri Dalam Negeri
sesuai tingkatan masing-masing.
Posisi pemerintah pusat atas pemerintah daerah semakin
kuat setelah terbit Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965,
menyusul Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam undangundang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atau Menteri Dalam Negeri melalui calon-calon yang
diajukan DPRD.
Pemerintah pusat makin mengendalikan daerah setelah
status kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai
negara. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh
DPRD. Pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan
penuh Presiden untuk gubernur, dan Menteri Dalam Negeri
untuk bupati atau wali kota.
d. Masa Orde Baru
Pemerintah pusat era Orde Baru mengukuhkan dominasi
atas pemerintah daerah. Rezim Soeharto mengontrol penuh

kepala daerah di seluruh tingkatan, sesuai Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Kepala daerah diangkat oleh Presiden, yang
mekanisme pemilihannya di DPRD juga dikontrol oleh
Presiden.
Maka, kepala daerah sesungguhnya bukan hasil pemilihan
DPRD, karena patut atau tidak seseorang menjadi kepala
daerah, bergantung sepenuhnya pada penilaian Presiden.
Aturan tersebut terkait kepentingan Pemerintah Pusat untuk
mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja
sama.
Misalnya, DPRD provinsi memiliki dua calon gubernur, yang
salah satunya didukung lebih banyak legislator. Jika
Pemerintah Pusat menghendaki calon yang memiliki lebih
sedikit dukungan DPRD, Presiden berhak mengangkatnya.
Begitu juga pemberhentiannya, dapat dilakukan tanpa
persetujuan DPRD.
2. Pemilukada Langsung
a. Masa reformasi
Tahun 1998 adalah tanda berakhirnya kekuasaan Orde Baru
yang sentralistik. Setelah itu, semangat berbangsa dan
bernegara berubah menjadi desentralistik atau pemerataan
kekuasaan di daerah-daerah, tidak berpusat di Jakarta. Terbit
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah pada 7 Mei 1999, yang segera mengubah
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat
daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang
berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk
mengawasi jalannya pemerintahan.
Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuh oleh DPRD, tak
lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan
sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh
Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau
diusulkan oleh DPRD.
Pemilihan kepala daerah secara langsung mengandung
kelemahan, karena dalam mekanisme rekrutmen calon
ditemukan banyak praktik politik uang. Calon kepala dareah
selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota
DPRD dalam pemilihan. Selain itu, mengumbar uang untuk
membiayai kelompok-kelompok tertentu sebagai cara
menciptakan opini publik.

Undang-Undang itu kemudian direvisi setelah banyak


dikritik karena dianggap menyuburkan politik uang dan tak
melibatkan partisipasi masyarakat luas. Lalu, terbit UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang
pemilihan umum kepala daerah secara langsung.
Meski begitu, pemilukada langsung tak serta-merta
diterapkan karena Undang-Undang itu terlebih dahulu diuji
materi (judicial review), lalu diterbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2005, yang
berimplikasi pada perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 tentang pedoman pelaksanaan pemilukada
langsung menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2005.
Setelah itu, pemilukada dilaksanakan secara langsung.
Para calon adalah pasangan calon yang diusulkan partai
politik atau gabungan partai politik yang memperoleh
dukungan minimal 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi
perolehan suara sah pada Pemilu Legislatif.
Undang-Undang itu direvisi yang kemudian diganti UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan terhadap
Undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Ada
perubahan
mencolok
dalam
perubahan
ini,
yaitu
diperbolehkan calon perseorangan tidak hanya calon yang
diusung partai politik menjadi calon kepala daerah dalam
pemilukada secara langsung.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan
dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007.
B. Kesesuaian Pemilihan Langsung Terhadap

Implementasi Sila Ke-4 Pancasila

Kerakyatan yang dipimpin oleh


dalam permusyawaratan perwakilan.

hikmat

kebijaksanaan

Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama terjadi
ketika kita fokus pada satu aspek, seperti permusyawaratan saja.
Perbuatan ini tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila ke4. Setiap manusia Indonesia harus menghayati dan menjungjung tinggi
setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang
bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad
baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang
diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan
dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Dalam melaksanakan permusyawaratan,
kepercayaan diberikan kepada wakil- wakil yang dipercayanya.
Nilai kerakyatan mengandung makna suatu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat
melalui lembaga-lembaga perwakilan. Nilai ini menganut paham
demokrasi.
Untuk pemahaman yang benar, kita kupas satu persatu aspek yang
ada. Setelah itu kita akan menemukan betapa dalamnya makna sila
berlambang kepala banteng ini.

1. Kerakyatan dan demokrasi

Ihwal kerakyatan pertama-tama adalah tentang segala sesuatu


yang mengenai rakyat. Dalam kehidupan politik nasional,
makna kerakyatan kemudian mengerucut pada demokrasi.
Berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, berarti
Indonesia menganut demokrasi. Yang menjadi dasar hak dan kewajiban
Warga Negara Indonesia (WNI) disini adalah kekuatan atau kekuasaan
rakyat dalam menentukan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa
Indonesia. Demokrasi bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Jadi kerakyatan adalah segala sesuatu yang
mengantarkan kita mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, dan
demokrasi adalah alat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Hikmat kebijaksanaan

Berarti
penggunaan
pikiran
yang
sehat
dengan
selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggungjawab,
serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Yang menjadi
dasar hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI) disini adalah
ikut andil dalam pelaksanaan pencapaian persatuan bangsa den gan
sikap yang baik dan positif.Jadi kerakyatan yang didukung/didorong
hikmat
kebijaksanaan,
yang
merupakan
buah
dari
permusyawaratan perwakilan, akan mengantarkan rakyat
Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.
3. Permusyawaratan perwakilan

Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide


berlangsung di forum badan perwakilan. Kita boleh mati-matian
berdebat, tapi hanya terbatas di forum ini. Setelah selesai proses di sini,
kita semua bersatu-suara sebab kepentingan bangsa di atas segalanya.
Namun kita juga belajar memahami permasalahan sesama. Dengan
kata lain: lebih berhikmat kebijaksanaan setiap usai suatu
permusyawaratan.
Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan menemukan
penjelasan adisarjana hukum kita, Supomo, bahwa permusyawaratan
dan perwakilan adalah dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945
sebelum Perubahan.
Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua
pihak. Itu sebabnya UUD 1945 sebelum Perubahan mengenal Fraksi
Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR. Kursi di MPR diperoleh
bukan lewat pemilu, tetapi sudah teralokasi sejak awal. Apapun hasil
pemilu, semua elemen di masyarakat harus tetap terwakili.
Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR
hanya mengakomodasi hasil pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua
elemen masyarakat. DPR sebagai mitra kerja Presiden, yang adalah
mandataris MPR.
Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit
mencapai hikmat kebijaksanaan. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR
yang adalah lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan
rakyat, mutlak dituntut untuk melulu tergerak oleh hikmat
kebijaksanaan.
Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah setelah Perubahan Ketiga
UUD 1945, MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat? Apakah MPR
sekarang, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD hasil pemilu, sepadan
dengan
MPR
sebelum
Perubahan?
Apakah
tidak
mungkin
permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR? Pasca Perubahan
rakyat kembali memegang penuh kedaulatan, kecuali yang sudah
dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945. Tidak, MPR sekarang tidak

sepadan dalam komposisi dengan MPR sebelumnya. Mungkin saja


permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR jika anggota DPR
mampu
meraih
kebijaksanaan
karena
penguasaan
ilmu
pengetahuannya
ataupun
karena
pengalaman
langsung
membimbingnya demikian.
Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep
sejati permusyawatan perwakilan ke luar forum lembaga tertinggi
negara. Namun karena Perubahan mengembalikan kedaulatan kepada
rakyat, maka lembaga-lembaga negara harus mampu menangkap dan
menampung aspirasi sekecil apapun di dalam masyarakat. Ulangi:
lembaga negara, bukan anggota MPR, bukan anggota DPR, bukan
anggota DPD, tapi lembaga negara. Jadi permusyawaratan tidak
identik denganperwakilan.
Pancasila tetap menjadi dasar negara meski UUD 1945 mengalami
perubahan. Tidak ada perubahan filosofis, tetapi yang terjadi adalah
perubahan yuridis. Pancasila tetap menjadi dasar dari UUD 1945. Yang
berubah adalah bagaimana UUD 1945 pasca Perubahan mencoba
membawa kita mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka.
Argumentasi tentang pilkada oleh DPRD Provinsi dapat kita terima
sebelum Perubahan. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR menjadi
forum permusyawaratan seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil
musyawarah (Garis-garis Besar Haluan Negara), MPR mengangkat
Presiden
sebagai
mandataris.
Semua
kepala
daerah
menjadi
perpanjangan tangan Presiden, sebab mereka adalah wakil Pemerintah
Pusat di daerah. Jika aspirasi rakyat tidak tertampung, maka kita masih
bisa berharap MPR menjadi forum solusi bersama.
Namun argumentasi itu menjadi tumpul ketika Perubahan UUD 1945
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. MPR tidak lagi
bermusyawarah menghasilkan GBHN. Presiden menjadi mandataris rakyat
yang terpilih secara terpisah dari kepala daerah. MPR, DPR, dan DPRD
tidak lagi berbeda secara hakikat. Semua sama-sama hasil pemilihan
dengan suara mayoritas, sehingga tidak semua elemen masyarakat
terwakili. Oleh sebab itu, tidak semua elemen rakyat terwakili dalam
memilih kepala daerah.
DPRD Provinsi terdiri dari para politisi yang terpilih dalam pemilu.
Politisi pada dasarnya adalah kader partai. Oleh karena itu mereka adalah
partisan. Karena partisan, adakah hikmat kebijaksanaan yang bisa kita
harapkan dari mereka? Jika hikmat kebijaksanaan saja masih mereka cari,
musyawarah seperti apakah yang bisa mereka hasilkan?

Berdasarkan uraian di atas, maka demokrasi menurut sila ke-4


bukanlah demokrasi perwakilan. Perwakilan yang tidak menyeluruh
tidak akan menjadi suatu permusyawaratan. Tanpa permusyawaratan,
tidak akan hadir hikmat kebijaksanaan. Tanpa hikmat kebijaksanaan, kita
hanya akan mendapatkan kepemimpinan yang pandir. Kerakyatan yang
dipimpin oleh kepandiran adalah kekacauan.

C. Kualitas Pemimpin Hasil Pemilihan Langsung


Tujuan dasar dari pemilihan langsung adalah untuk menerapkan
pemerintahan yang demokratis dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun diterapkannya pemilihan langsung tidak serta merta
berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Ada dua faktor yang sangat
menentukan, yaitu kualitas pemilih dan kualitas pemimpin yang lahir dari
proses pemilihan langsung. Dua faktor inilah yang menjadi kunci sukses
atau tidaknya penerepan pemilihan langsung.
Pertama, kualitas pemilih. Sudah ribuan tahun lalu filosof Yunani,
Plato, mengingatkan kita tentang bahaya demokrasi. Bahwa dalam
demokrasi, perilaku pemilih menentukan kualitas yang dipilih. Jika
masyarakat memilih calon pemimpin yang jujur, bersih, santun,
berpengalaman, cinta, dan peduli pada rakyatnya, maka pemimpin yang
lahir dari pemilihan langsung pasti pemimpin yang berkualitas. Pemimpin
yang demikian akan membawa berkah berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sebaliknya jika masyarakat memilih calon pemimpin yang tidak
jujur, tidak peduli pada rakyatnya, lebih berpihak pada golongan atau
kroninya ketimbang rakyat kecil, arogan, dan sombongm, maka pemimpin
yang lahir akan membahayakan kehidupan sesama. Pemimpin yang
seperti ini pasti akan membawa kesengsaraan bagi rakyatnya.
Kedua, kualitas pemimpin. Suksesnya pemilihan langsung tidak
hanya diukur dari proses pelaksanaannya. Lebih dari itu, bagaimana
pemimpin yang lahir benar-benar berkualitas, tunduk dan patuh pada
kesepakatan bersama (consensus), berkomitmen terhadap pemerintahan
yang baik dan bersih (good governance), dan mengutamakan
kesejahteraan masyarakat.
Jadi, kualitas pemimpin yang dihasilkan dari pemilihan langsung
tergantung pada masyarakat dan pemerintah yang menyeleksi calon
pemimpin yang akan dipilih. Dengan menjadi pemilih yang cerdas
pemilihan langsung dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Dan,

hanya dengan pemimpin yang berkualitas tujuan dari demokrasi yang


menjadi harapan masyarakat dapat terealisasi.

D.Dampak Positif Pemilihan Langsung


Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada
sistem atau mekanisme ini ada dampak positif dan negatif yang harus
diuraikan terkait dengan efisiensi dan efektivitas pemilihan umum kepala
daerah langsung yang telah berjalan selama ini.
Wasistiono berpendapat bahwa terdapat kelebihan Pemilihan Umum
Kepala Daerah secara langsung sebagai berikut :
1. Demokrasi langsung makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak
secara nyata;
2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari
rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan
kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD;
3. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi
sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh
perhatian yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan
mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah.
Sedangkan menurut Kertapradja dalam Djohermansyah Djohan dan
Made Suwandi terdapat dampak positif pada pemilihan Kepala Daerah
secara langsung adalah:
1. Kedekatan calon kepada masyarakat daerah dan penguasaan medan
gemografi, SDA dan SDM) dan berbagai permasalahan dalam.
2. Efektif dan efisien, sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak
difasilitasi oleh pihak ketiga, walaupun menggunakan kendaraan partai
politik;
3. Ketokohan figur calon sangat menentukan dibandingkan dengan
kekuatan mesin politik Parpol, artinya besar kecilnya Parpol yang
dijadikan kendaraan politik pencalonan tidak berkorelasi kuat terhadap
keberhasilan seorang calon, seperti kasus SBY, walaupun didukung oleh
partai kecil, namun figur dan image SBY yang berkembang dalam
masyarakat sangat menentukan;
Pemilukada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat
yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam pemilukada dalam arti
partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan

kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.


Proses pemilukada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang
terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang
memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata
masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut mendapat dukungan
dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah
lebih merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural - formal,
system pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) yang
diterapkan selama ini merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam
proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Setidaknya, sistem
Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan
sistem rekrutmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik ala orde
baru melalui UU no. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan
yang digagas melalui Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999.
Namun dengan direvisinya UU nomor 22 tahun 1999 dengan
undang-undang nomor 32 tahun 2004. Secara normatif Pilkada Langsung
menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan,
pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Bahkan masyarakat telah
menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan masyarakat di daerah. Oleh
karena itu perlu kita paparkan berbagai aspek positif dari pilkada
langsung yang terjadi selama ini, seperti yang berikut. Adapun dampak
positif yang diakibatkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 antara
lain :
1. Partisipasi langsung masyarakat
Sistem demokrasi langsung melalui Pemilihan kepala daerah secara
Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi
masyarakat dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan
politik di tingkat lokal. Hal ini agak lebih baik dibandingkan sistem
demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk
menentukan rekrutmen politik ditangan segelitir orang di dewan
perwakilan rakyat daerah yang bersifat Oligarkis.
2. Pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan adanya kompetisi
Dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan
munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang
bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi
dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering
terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan
sejumlah harapan pada upaya pembalikan syndrome dalam
demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang

3.

4.

5.

6.

tidak fair, seperti; praktek politik bagi-bagi kekuasaan dan politik uang
yang berlaku ditingkatan elite.
Adanya pendidikan politik bagi masyarakat
Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk
mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus
direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat
mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui
konsep demokrasi langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training
kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Berubahnya perhatian pemimpin kepada rakyat ;
Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure
pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui
Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi
pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan
demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan
peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada
warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah
dengan masyarakarat-warganya.
Melahirkan pemimpin yang legitimatif ;
Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi
politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD.
Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan
kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik. AA
GN Ari Dwipayana (2005).
Masyarakat mengenal pilihannya ;
Dengan adanya pilkada langsung, masyarakat akan lebih mengenal
secara dekat calon pemimpinnya, melalui kampanye politik kandidat
yang berkompetisi akan memberikan pemahaman akan visi-misi para
kandidat yang kompetisi. Sehingga melahirkan seorang pemimpin yang
sesuai dengan kehendak rakyat.

Selain dari sisi positif yang telah diutarakan diatas, kita dapat
menambahkan beberapa keunggulan lain dari pemilihan kepala daerah
secara langsung seperti yang dikemukakan, Mukiono berikut ini :
1. Penarikan kedaulatan yang dititipkan pada DPRD.
Sebelum terjadinya pemilihan langsung kepala daerah oleh
masyarakat, kedaulatan rakyat itu diwakili oleh dewan perwakilan
rakyat daerah (DPRD). Dewan perwakilan rakyat daerah sesuai undangundang nomor 22 tahun 1999 merupakan representsi dari rakyat untuk
memilih kepala daerah. Namun dengan adanya perubahan ini, maka
dewan perwakilan rakyat daerah ( DPRD) hanya menjalankan fungsi

2.

3.

4.

5.

6.

legislasi ( pembuat perda), anggaran (bubgedting), dan pengawasan


( control).
Sumber kekuasaan adalah rakyat
Dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat, maka dengan
sendirinya kepala daerah merupakan seorang pemimpin yang
merupakan integral dari masyarakat, lain halnya yang dipilih oleh DPRD
yang merupakan elite politik karena merupakan integral dari DPRD.
Intinya, kekuasaan yang dimiliki seorang kepala daerah bersumber dari
masyarakat sebagai pemilih dan penentu kepala daerah.
Rakyat menjadi subject demokrasi
Dalam hal ini, masyarakat yang selama ini hanya sebagai pemilih
akan memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerahnt.
Hak warga untuk memilih dan dipilih merupakan bagian terpenting dari
negara demokrasi. tentunya dalam mencalonkan diri memerlukan
mekanisme berupa kapasitas, kapabilitas, moralitas dan integritegritas
sebagaimana tuntutan kedudukan jabatan tersebut.
Hak politik perempuan
Selama ini fenomena politik yang terjadi di indonesia, khususnya
ditingkat lokal yang sangat kental dengan budaya patrimonial. Kandidat
kepala daerah dari kalangan perempuan sangat jarang ditemukan atau
mungkin nyaris tidak ada. Fenomena ini berkaitan dengan pemhaman
politik masyarakat lokalmasih jauh dari yang diharapkan.
Namun, dengan adanya pilkada langsung ini, sedikit tidaknya
membawa dampak perubahan pandangan politik dalam masyarakat di
daerah. Pasalnya, dengan dalih kesetaraan dalam bidang politik
kandidat perempuanpun kian diperhitungkan.
Banyaknya pilihan dalam pilkada
Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa, semua warga negara
memiliki hak dan kedudukan yang sama. Hal ini berkaitan dengan hak
warga untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin. Otonomi daerah
yang ditandai dengan penyelenggaraan pilkada langsung, akan
mengundang partisipasi masyarakat. Bahkan memunculkan partaipartai politik lokal yang turut meramaikan pilkada.
Pelajaran politik bagi masyarakat lokal
Hal yang terpenting dari misi desentralisasi politik dan otonomi
daerah, kaitannya dengan pilkada secara langsung adalah ;
memberikan pendidikan politik bagi masyarakat lokal. Masyarakat yang
selama ini cenderung apatis terhadap dinamika politik lokal bahkan
politik nasional, diharapkan mampu berkonstribusi dalam pematangan
demokrasi lokal.

Dari pemaparan diatas dapat kita katakan bahwa, penyelenggaraan


pemilihan kepala daerah secara langsung, terlepas dari berbagai
kekurangannya (secara prosedural) sangat berdampak positif terhadap
perkembangan demokrasi di indonesia, khususnya partisipasi masyarakat

dalam proses pemilihan kepala daerah. Yang lebih penting adalah


beralihnya perhatian dari para pimpinan elite lokal yang cenderung lebih
mementingkan wakil rakyat dibanding rakyatnya.

E. Dampak Negatif Pemilihan Langsung


Selain kita mendapatkan beberapa dampak positif daripada
pemilukada langsung kita juga mendapatkan dampak negatif dari
pemilukada langsung, yang pertama yaitu tingginya angka masyarakat
yang golput atau tidak menggunakan hak pilihnya secara benar. Tingginya
angka golput jelas bukan merupakan sebuah hal yang dianggap sepele
dan hilang begitu saja seiring berakhirnya pemilukada. Lebih mirisnya
angka golput itu sendiri lebih besar daripada perolehan suara pasangan
kepala daerah pemenang. Tingginya angka golput jelas menjadi perhatian
yang serius, karena dapat terindikasi bahwa masyarakat kurang
berpartisipasi aktif dalam pemilukada, yang notabenya suara masyarakat
merupakan ruh dari esensi pesta demokrasi tersebut.
Tingginya angka golput dapat disebabkan oleh banyak faktor,
misalnya rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pasangan
calon yang dihadirkan oleh partai politik atau bahkan calon perorangan
(independen) dalam pemilukada. Faktor lainya adalah ketidak percayaan
masyarakat terhadao output dari pemilukada yang tidak menghasilkan
pimpinan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, mereka
mengganggap hubungan antara pemimpin dan rakyat hanya ada pada
saat menjelang pemilukada, selanjutnya hanya kepentingan partai dan
golongan yang lebih kental. Sungguh miris memang dengan biaya mahal
berdemokrasi, tidak mampu menghasilkan suatu output yang sepadan,
sehinggan turut menurunya kepercayaan masyarakat kepada sistem
pemilihan umum atau calon pemimpin mereka sendiri.
Akhir-akhir ini kembali terdengar suara agar pemilihan kepala
daerah dilakukan kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
masing-masing. Dengan pertimbangan-pertimbangan kurang efektifnya
pemilihan langsung yang melibatkan rakyat hanya dijadikan sebagai
legitimasi kekuasaan semata, bukan substansi membentuk kekuasaan.
Ada nada kepesimistisan terhadap kesiapan rakyat dalam menjadi pelaku
demokrasi secara langsung. Lantas apabila pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh DPRD seperti masa orde baru, hal tersebut akan
menghilangkan sistem pemilu yang demokratis?
Dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 disana disebutkan bahwa
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan atau kota dipilih secara
demokratis. Konstitusi disini tidak langsung menunjuk pemilihan

langsung oleh rakyat dalam bunyi pasal tersebut, melainkan memilih kata
demokratis. Kata demokratis disini bisa berupa pemilihan langsung
oleh rakyat atau pemilihan oleh DPRD. Konstitusi memilih kata
demokratis dimaksudkan agar pembuat undang-undang lebih fleksibel
dalam memilih sistem apa yang digunakan dalam pemilihan kepala
daerah serta dengan tujuan memperhatikan ciri-ciri kekhasan daerahdaerah di Indonesia yang tidak sama. Walaupun di daerah satu kata
demokratis dalam ketentuan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tersebut
diimplikasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, maka didaerah lain
tidak ada keharusan seperti itu boleh saja dengan pemilihan oleh DPRD
sesuai dengan nilai-nilai dan kekhasan budaya daerah tersebut.
Hampir semua daerah di Indonesia menerapkan pemilihan langsung
oleh rakyat dalam menentukan kepala daerahnya, kecuali Daerah
Istimewa Yogyakarta yang memang diberikan keistimewaan oleh
konstitusi dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menetapkan
Sultan sebagai Gubenur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Namun
dampak negatif dari pemilihan kepala daerah langsung saat ini dirasa
lebih banyak ketimbang apabila dilakukan pemilihan oleh DPRD. Janedjri
M. Gaffar (Janedjri M. Gaffar,2012:132-133) menyatakan dampak negatif
dari adanya pemilihan kepala daerah lansung adalah pertama,
pemilukada selalu disertai dengan konflik masyarakat, mulai dari tahap
pencalonan dan bahkan berlanjut pasca pemilukada. Konflik memang
merupakan bagian dari demokrasi, namun konflik yang berkepanjangan
dan mengarah pada kekerasan dan terhentinya pemerintahan tentu
sangat merugikan dan mencederai demokrasi itu sendiri. Konflik antar
masyarakat memang sangat mudah terjadi dengan proses pemilukada
langsung karena rakyat dibenturkan langsung dengan kepentingankepentingan yang mereka pilih dan cenderung memiliki fanatisme
berlebihan.
Kedua, politik uang selalu tercium dalam setiap pelaksanaan
pemilukada dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang
yang sejatinya merupakan proses suap-menyuap telah bergeser menjadi
suatu kewajaran, baik bagi calon maupun bagi masyarakat. Akibat adanya
politik uang tersebut suara rakyat menjadi tergadai. Calon yang terpilih
belum tentu calon yang benar-benar ideal dan berkualitas. Sebaliknya,
para calon yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan sendiri dan
orang-orang terdekatnya karena merasa sudah membeli suara rakyat,
mereka merasa tidak da hubungan pertanggung jawabam lagi dengan
rakyat, karena jual-beli sudah selesai. Disisi lain pabila kepada daerah
dipilih oleh DPRD bukan lantas mengakibatkan politik uang hilang dalam
penyelenggaraan pemilukada, paling tidak efeknya dapat diminimalisasi

dengan lebih sedikitnya politik uang yang beredar dan mudah diawasi
karena hanya sebatas berputar di anggota DPRD saja.
Ketiga, walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung, teryata tidak berbanding lurus dengan peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan daerah. Tidak banyak daerah yang
mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan.
Beberapa daerah memang mengalami kemajuan yang fenomenal dibawah
pimipinan kepala daerahnya, namun lebioh banyak lagi yang jalan
ditempat. Bahkan, beberapa daerah yang memiliki potensi ekonomi cukup
besar teryata tak kungjung mengalami kemajuan. Hal ini diakibatkan
karena belum tentu calon yang berkualitaslah yang memenangi
pemilukada dengan faktor politik uang yang telah menjadi kewajaran dan
dianggap wajar oleh masyarakat.
Keempat, fakta menunjukan bahwa di era otonomi daerah semakin
banyak kasus korupsi yang terjadi. Kepala daerah yang dipilih secara
langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Bukanya melakukan dukungan terhadap pemberantasan korupsi, teryata
banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Hal tersebut
diakibatkan biaya politik dari pemilukada langsung yang sangat mahal
dari proses rekomendasi ke partai politik pengusung sampai pada
melakukan politik uang kepada masyarakat umum yang tentunya
jumlahnya tidak sedikit. Dengan ongkos politik yang mahal seperti itu,
kepala daerah dalam menjabat cenderung memikirkan pengembalian
modal bahkan mencari keuntungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan
pada saat pemilukada.
Pemilukada langsung memang cenderung hanya dijadikan legitimasi
pembentukan kekuasaan saja oleh para calon-calon kepala daerah.
Pemilikada cenderung dijadikan sebuah formalitas dalam sistem
demokrasi di negeri ini. Pemilu sebagai sebuah simbol dari suatu negara
demokrasi seharusnya dijadikan substansi dalam membentuk suatu
pemerintahan
yang
benar-benar
memperhatikan
kepentingankepentingan rakyat demi terciptanya suatu kesejahteraan bersama.
Pemilu merupakan suatu pintu gerbang demi masuk kedalam suatu
tatanan demokrasi yang benar-benar untuk kepentingan rakyat umum.
Kelima, pemilukada menelan biaya pemerintah yang sangat besar,
tidak sebanding dengan manfaatnya bagi rakyat. Selain dana pemerintah,
dana kandidat kepala daerah maupun dana partai akan bertaburan di
sana-sini saat syahwat kekuasaan dan politik memuncak. Dana untuk
pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya
pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata

biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per
Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara
untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun.
Dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas alangkah
lebih baiknya dipikirkan kembali sistem pemilihan apa yang tepat dan
efisen diterapkan dalam pemilukada sehingga dapat mewujudkan suatu
penyelenggaraan otonomi daerah yang mensejahterahkan rakyat serta
menimbulkan suatu demokrasi yang sehat. Memang secara legitimasi
pemilihan langsung lebih besar karena melibatkan rakyat secara
langsung, akan tetapi disatu sisi konstitusi tidak menutup pemilukada
dipilih oleh DPRD, pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mensyarakatkan
bahwa pemilukada dilakukan secara demokratis dengan arti dapat
dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat atau
dilakukan oleh DPRD dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Memang secara legitimasi pemilukada oleh DPRD lebih bernilai kecil
dibanding pemilukada langsung, akan tetapi dengan melihat dampakdampak negatif yang ditimbulkan oleh pemilukada langsung, apakah kita
tidak mencoba sistem pemilihan alternatif yang tidak dilarang oleh
konstitusi. Bukan berarti dengan pemilukada dilakukan oleh DPRD lantas
akan terwujud suatu demokrasi yang bersih dan sehat, paling tidak kita
mencoba meminimalisasi serta mempermudah pengawasan dari efekefek negatif yang ditimbulkan oleh pemilihan langsung.
Walaupun secara legitimasi pemilihan yang dilakukan DPRD lebih
rendah dibanding dengan apabila dilakukan pemilihan langsung oleh
rakyat, asal pelaksanaan dari simbol demokrasi tersebut dapat dilakukan
secara demokratis dan DPRD sebagai representasi rakyat mampu
menangkap kehendak umum rakyat dalam memilih pimpinanya maka
kepala daerah hasil dari pemilihan yang dilakukan DPRD akan
menghasilkan suatu pimpinan yang berkualitas dan mampun
meningkatkan kesjahteraan dari masyarakatnya. Meminjam kata dari
Rousseau bahwa sifat umum dari kehendak bukan dinilai dari jumlah
suaranya, melainkan kepentingan bersama yang mengikatnya maka
dengan semangat demokrasi dan menuju suatu kepentingan bersama,
walaupun rakyat tidak dilibatkan secara langsung dalam memilih kepala
daerahnya paling tidak DPRD bisa dilihat sebagai representasi dari
kepentingan-kepentingan rakyat dengan segi-segi positif yang melekat
kepadanya.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Pemilukada secara langsung menandakan adanya ciri demokrasi
yakni kedaulatan di tangan rakyat terasa secara nyata. Pemilukada secara
langsung juga terbilang efektif dan efisien, sebab komunikasi calon
dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga. Pemilukada secara
Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin
yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada
Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga
dibandingkan pada segelitir elite di DPRD.
Namun, tingginya angka golput dalam beberapa pemilukada
terakhir menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi rakyat Indonesia.
Mereka justru terkesan masa bodo, padahal partisipasi mereka sangatlah
penting. Politik uang selalu tercium dalam setiap pelaksanaan pemilukada
dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Calon yang terpilih belum
tentu calon yang benar-benar ideal dan berkualitas. Sebaliknya, para
calon yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan sendiri dan orangorang terdekatnya karena merasa sudah membeli suara rakyat, mereka
merasa tidak ada hubungan pertanggung jawaban lagi dengan rakyat,
karena jual-beli sudah selesai. Kemudian, Kepala daerah yang dipilih
secara langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Bukanya melakukan dukungan terhadap pemberantasan korupsi,
teryata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Hal tersebut
diakibatkan biaya politik dari pemilukada langsung yang sangat mahal
dari proses rekomendasi ke partai politik pengusung sampai pada
melakukan politik uang kepada masyarakat umum yang tentunya
jumlahnya tidak sedikit. Dengan ongkos politik yang mahal seperti itu,
kepala daerah dalam menjabat cenderung memikirkan pengembalian
modal bahkan mencari keuntungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan
pada saat pemilukada.

B. Saran

Dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas alangkah


lebih baiknya dipikirkan kembali sistem pemilihan apa yang tepat dan
efisen diterapkan dalam pemilukada sehingga dapat mewujudkan suatu
penyelenggaraan otonomi daerah yang mensejahterahkan rakyat serta
menimbulkan suatu demokrasi yang sehat. Memang secara legitimasi
pemilihan langsung lebih besar karena melibatkan rakyat secara
langsung, akan tetapi disatu sisi konstitusi tidak menutup pemilukada
dipilih oleh DPRD, pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mensyarakatkan
bahwa pemilukada dilakukan secara demokratis dengan arti dapat
dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat atau
dilakukan oleh DPRD dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Memang secara legitimasi pemilukada oleh DPRD lebih bernilai kecil
dibanding pemilukada langsung, akan tetapi dengan melihat dampakdampak negatif yang ditimbulkan oleh pemilukada langsung, apakah kita
tidak mencoba sistem pemilihan alternatif yang tidak dilarang oleh
konstitusi. Bukan berarti dengan pemilukada dilakukan oleh DPRD lantas
akan terwujud suatu demokrasi yang bersih dan sehat, paling tidak kita
mencoba meminimalisasi serta mempermudah pengawasan dari efekefek negatif yang ditimbulkan oleh pemilihan langsung.
Walaupun secara legitimasi pemilihan yang dilakukan DPRD lebih
rendah dibanding dengan apabila dilakukan pemilihan langsung oleh
rakyat, asal pelaksanaan dari simbol demokrasi tersebut dapat dilakukan
secara demokratis dan DPRD sebagai representasi rakyat mampu
menangkap kehendak umum rakyat dalam memilih pimpinanya maka
kepala daerah hasil dari pemilihan yang dilakukan DPRD akan
menghasilkan suatu pimpinan yang berkualitas dan mampun
meningkatkan kesjahteraan dari masyarakatnya. Meminjam kata dari
Rousseau bahwa sifat umum dari kehendak bukan dinilai dari jumlah
suaranya, melainkan kepentingan bersama yang mengikatnya maka
dengan semangat demokrasi dan menuju suatu kepentingan bersama,
walaupun rakyat tidak dilibatkan secara langsung dalam memilih kepala
daerahnya paling tidak DPRD bisa dilihat sebagai representasi dari
kepentingan-kepentingan rakyat dengan segi-segi positif yang melekat
kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai