disusun oleh:
1. Abdurrahman Adil Amrullah
2. Ahmad Ghozi
(2Q/01)
(2Q/02)
(2Q/03)
(2Q/04)
(2Q/05)
6. Azharie Akbar
D-III Akuntansi
(2Q/06)
Tangerang, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memilih pemimpin negara dan pemimpin wilayah mulai dari tingkat
tertinggi hingga tingkat terendah merupakan kegiatan yang selalu ada
pada sebuah negara republik, termasuk Republik Indonesia. Hal ini
disebabkan pada negara republik, tiap warga negara yang telah
memenuhi syarat berhak dipilih menjadi pemimpin. Tidak seperti negara
monarki yang pemerintahannya mengacu pada garis keturunan.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hingga akhir masa
reformasi, Indonesia menggunakan sistem pemilihan tidak langsung.
Rakyat hanya diberi kesempatan untuk memilih partai-partai yang akan
mewakili mereka di kursi DPR. Selanjutnya anggota DPR/MPR yang akan
memilih presiden. Presiden kemudian akan membentuk jajaran menteri
termasuk menteri dalam negeri. Menteri dalam negeri yang bertanggung
jawab dalam pengangkatan para gubernur dan pemimpin wilayah di
bawahnya. Sistem pemilihan ini dinilai kurang transparan dan rentan KKN.
Setelah masa reformasi berakhir, Indonesia menggunakan sistem
pemilihan langsung. Rakyat berkesempatan memilih pemimpin dari
jajaran tertinggi mulai presiden, gubernur hingga walikota, termasuk para
anggota DPR secara langsung. Sistem ini dinilai lebih transparan. Namun,
pada kenyataannya, sistem ini menyisakan banyak masalah. Mulai dari
anggaran yang membengkak, money politic yang semakin parah, dan
pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan. Selain itu, sistem ini
dinilai kurang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi pancasila, terutama sila
ke 4.
Dalam sila ke 4 disebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Kita
perlu
menggarisbawahi kata-kata permusyawaratan dan perwakilan.
Permusyawaratan bermakna mendahulukan musyawarah mufakat
daripada voting (pemungutan suara), dan perwakilan bermakna rakyat
menunjuk wakil-wakilnya dalam DPR yang akan menjalankan proses
pemlihan presiden. Sehingga sebenarnya sistem pemilihan tidak langsung
lebih sesuai dengan demokrasi Pancasila dan lebih efisien. Oknum
pelaksanaanyalah yang membuat sistem ini rentan KKN.
B. Tujuan
1. Mengetahui sejarah pemilihan langsung pemilukada di Indonesia
2. Mengetahui kesesuaian pemilihan langsung terhadap implementasi sila
ke-4 pancasila
3. Mengetahui kualitas pemimpin hasil pemilihan langsung
4. Mengetahui dampak positif pemilihan langsung pada pemilukada
5. Mengetahui dampak negatif pemilihan langsung pada pemilukada
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pemilihan langsung pemilukada di Indonesia dari
masa ke masa?
2. Bagaimana kesesuaian pemilihan langsung terhadap implementasi sila
ke-4 pancasila?
3. Bagaimana kualitas pemimpin hasil pemilihan langsung?
4. Apa dampak positif pemilihan langsung?
5. Apa dampak negatif pemilihan langsung?
BAB II
PEMBAHASAN
hikmat
kebijaksanaan
Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama terjadi
ketika kita fokus pada satu aspek, seperti permusyawaratan saja.
Perbuatan ini tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila ke4. Setiap manusia Indonesia harus menghayati dan menjungjung tinggi
setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang
bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad
baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang
diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan
dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Dalam melaksanakan permusyawaratan,
kepercayaan diberikan kepada wakil- wakil yang dipercayanya.
Nilai kerakyatan mengandung makna suatu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat
melalui lembaga-lembaga perwakilan. Nilai ini menganut paham
demokrasi.
Untuk pemahaman yang benar, kita kupas satu persatu aspek yang
ada. Setelah itu kita akan menemukan betapa dalamnya makna sila
berlambang kepala banteng ini.
Berarti
penggunaan
pikiran
yang
sehat
dengan
selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggungjawab,
serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Yang menjadi
dasar hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI) disini adalah
ikut andil dalam pelaksanaan pencapaian persatuan bangsa den gan
sikap yang baik dan positif.Jadi kerakyatan yang didukung/didorong
hikmat
kebijaksanaan,
yang
merupakan
buah
dari
permusyawaratan perwakilan, akan mengantarkan rakyat
Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.
3. Permusyawaratan perwakilan
3.
4.
5.
6.
tidak fair, seperti; praktek politik bagi-bagi kekuasaan dan politik uang
yang berlaku ditingkatan elite.
Adanya pendidikan politik bagi masyarakat
Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk
mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus
direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat
mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui
konsep demokrasi langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training
kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Berubahnya perhatian pemimpin kepada rakyat ;
Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure
pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui
Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi
pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan
demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan
peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada
warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah
dengan masyarakarat-warganya.
Melahirkan pemimpin yang legitimatif ;
Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi
politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD.
Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan
kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik. AA
GN Ari Dwipayana (2005).
Masyarakat mengenal pilihannya ;
Dengan adanya pilkada langsung, masyarakat akan lebih mengenal
secara dekat calon pemimpinnya, melalui kampanye politik kandidat
yang berkompetisi akan memberikan pemahaman akan visi-misi para
kandidat yang kompetisi. Sehingga melahirkan seorang pemimpin yang
sesuai dengan kehendak rakyat.
Selain dari sisi positif yang telah diutarakan diatas, kita dapat
menambahkan beberapa keunggulan lain dari pemilihan kepala daerah
secara langsung seperti yang dikemukakan, Mukiono berikut ini :
1. Penarikan kedaulatan yang dititipkan pada DPRD.
Sebelum terjadinya pemilihan langsung kepala daerah oleh
masyarakat, kedaulatan rakyat itu diwakili oleh dewan perwakilan
rakyat daerah (DPRD). Dewan perwakilan rakyat daerah sesuai undangundang nomor 22 tahun 1999 merupakan representsi dari rakyat untuk
memilih kepala daerah. Namun dengan adanya perubahan ini, maka
dewan perwakilan rakyat daerah ( DPRD) hanya menjalankan fungsi
2.
3.
4.
5.
6.
langsung oleh rakyat dalam bunyi pasal tersebut, melainkan memilih kata
demokratis. Kata demokratis disini bisa berupa pemilihan langsung
oleh rakyat atau pemilihan oleh DPRD. Konstitusi memilih kata
demokratis dimaksudkan agar pembuat undang-undang lebih fleksibel
dalam memilih sistem apa yang digunakan dalam pemilihan kepala
daerah serta dengan tujuan memperhatikan ciri-ciri kekhasan daerahdaerah di Indonesia yang tidak sama. Walaupun di daerah satu kata
demokratis dalam ketentuan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tersebut
diimplikasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, maka didaerah lain
tidak ada keharusan seperti itu boleh saja dengan pemilihan oleh DPRD
sesuai dengan nilai-nilai dan kekhasan budaya daerah tersebut.
Hampir semua daerah di Indonesia menerapkan pemilihan langsung
oleh rakyat dalam menentukan kepala daerahnya, kecuali Daerah
Istimewa Yogyakarta yang memang diberikan keistimewaan oleh
konstitusi dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menetapkan
Sultan sebagai Gubenur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Namun
dampak negatif dari pemilihan kepala daerah langsung saat ini dirasa
lebih banyak ketimbang apabila dilakukan pemilihan oleh DPRD. Janedjri
M. Gaffar (Janedjri M. Gaffar,2012:132-133) menyatakan dampak negatif
dari adanya pemilihan kepala daerah lansung adalah pertama,
pemilukada selalu disertai dengan konflik masyarakat, mulai dari tahap
pencalonan dan bahkan berlanjut pasca pemilukada. Konflik memang
merupakan bagian dari demokrasi, namun konflik yang berkepanjangan
dan mengarah pada kekerasan dan terhentinya pemerintahan tentu
sangat merugikan dan mencederai demokrasi itu sendiri. Konflik antar
masyarakat memang sangat mudah terjadi dengan proses pemilukada
langsung karena rakyat dibenturkan langsung dengan kepentingankepentingan yang mereka pilih dan cenderung memiliki fanatisme
berlebihan.
Kedua, politik uang selalu tercium dalam setiap pelaksanaan
pemilukada dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang
yang sejatinya merupakan proses suap-menyuap telah bergeser menjadi
suatu kewajaran, baik bagi calon maupun bagi masyarakat. Akibat adanya
politik uang tersebut suara rakyat menjadi tergadai. Calon yang terpilih
belum tentu calon yang benar-benar ideal dan berkualitas. Sebaliknya,
para calon yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan sendiri dan
orang-orang terdekatnya karena merasa sudah membeli suara rakyat,
mereka merasa tidak da hubungan pertanggung jawabam lagi dengan
rakyat, karena jual-beli sudah selesai. Disisi lain pabila kepada daerah
dipilih oleh DPRD bukan lantas mengakibatkan politik uang hilang dalam
penyelenggaraan pemilukada, paling tidak efeknya dapat diminimalisasi
dengan lebih sedikitnya politik uang yang beredar dan mudah diawasi
karena hanya sebatas berputar di anggota DPRD saja.
Ketiga, walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung, teryata tidak berbanding lurus dengan peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan daerah. Tidak banyak daerah yang
mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan.
Beberapa daerah memang mengalami kemajuan yang fenomenal dibawah
pimipinan kepala daerahnya, namun lebioh banyak lagi yang jalan
ditempat. Bahkan, beberapa daerah yang memiliki potensi ekonomi cukup
besar teryata tak kungjung mengalami kemajuan. Hal ini diakibatkan
karena belum tentu calon yang berkualitaslah yang memenangi
pemilukada dengan faktor politik uang yang telah menjadi kewajaran dan
dianggap wajar oleh masyarakat.
Keempat, fakta menunjukan bahwa di era otonomi daerah semakin
banyak kasus korupsi yang terjadi. Kepala daerah yang dipilih secara
langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Bukanya melakukan dukungan terhadap pemberantasan korupsi, teryata
banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Hal tersebut
diakibatkan biaya politik dari pemilukada langsung yang sangat mahal
dari proses rekomendasi ke partai politik pengusung sampai pada
melakukan politik uang kepada masyarakat umum yang tentunya
jumlahnya tidak sedikit. Dengan ongkos politik yang mahal seperti itu,
kepala daerah dalam menjabat cenderung memikirkan pengembalian
modal bahkan mencari keuntungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan
pada saat pemilukada.
Pemilukada langsung memang cenderung hanya dijadikan legitimasi
pembentukan kekuasaan saja oleh para calon-calon kepala daerah.
Pemilikada cenderung dijadikan sebuah formalitas dalam sistem
demokrasi di negeri ini. Pemilu sebagai sebuah simbol dari suatu negara
demokrasi seharusnya dijadikan substansi dalam membentuk suatu
pemerintahan
yang
benar-benar
memperhatikan
kepentingankepentingan rakyat demi terciptanya suatu kesejahteraan bersama.
Pemilu merupakan suatu pintu gerbang demi masuk kedalam suatu
tatanan demokrasi yang benar-benar untuk kepentingan rakyat umum.
Kelima, pemilukada menelan biaya pemerintah yang sangat besar,
tidak sebanding dengan manfaatnya bagi rakyat. Selain dana pemerintah,
dana kandidat kepala daerah maupun dana partai akan bertaburan di
sana-sini saat syahwat kekuasaan dan politik memuncak. Dana untuk
pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya
pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata
biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per
Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara
untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun.
Dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas alangkah
lebih baiknya dipikirkan kembali sistem pemilihan apa yang tepat dan
efisen diterapkan dalam pemilukada sehingga dapat mewujudkan suatu
penyelenggaraan otonomi daerah yang mensejahterahkan rakyat serta
menimbulkan suatu demokrasi yang sehat. Memang secara legitimasi
pemilihan langsung lebih besar karena melibatkan rakyat secara
langsung, akan tetapi disatu sisi konstitusi tidak menutup pemilukada
dipilih oleh DPRD, pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mensyarakatkan
bahwa pemilukada dilakukan secara demokratis dengan arti dapat
dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat atau
dilakukan oleh DPRD dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Memang secara legitimasi pemilukada oleh DPRD lebih bernilai kecil
dibanding pemilukada langsung, akan tetapi dengan melihat dampakdampak negatif yang ditimbulkan oleh pemilukada langsung, apakah kita
tidak mencoba sistem pemilihan alternatif yang tidak dilarang oleh
konstitusi. Bukan berarti dengan pemilukada dilakukan oleh DPRD lantas
akan terwujud suatu demokrasi yang bersih dan sehat, paling tidak kita
mencoba meminimalisasi serta mempermudah pengawasan dari efekefek negatif yang ditimbulkan oleh pemilihan langsung.
Walaupun secara legitimasi pemilihan yang dilakukan DPRD lebih
rendah dibanding dengan apabila dilakukan pemilihan langsung oleh
rakyat, asal pelaksanaan dari simbol demokrasi tersebut dapat dilakukan
secara demokratis dan DPRD sebagai representasi rakyat mampu
menangkap kehendak umum rakyat dalam memilih pimpinanya maka
kepala daerah hasil dari pemilihan yang dilakukan DPRD akan
menghasilkan suatu pimpinan yang berkualitas dan mampun
meningkatkan kesjahteraan dari masyarakatnya. Meminjam kata dari
Rousseau bahwa sifat umum dari kehendak bukan dinilai dari jumlah
suaranya, melainkan kepentingan bersama yang mengikatnya maka
dengan semangat demokrasi dan menuju suatu kepentingan bersama,
walaupun rakyat tidak dilibatkan secara langsung dalam memilih kepala
daerahnya paling tidak DPRD bisa dilihat sebagai representasi dari
kepentingan-kepentingan rakyat dengan segi-segi positif yang melekat
kepadanya.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pemilukada secara langsung menandakan adanya ciri demokrasi
yakni kedaulatan di tangan rakyat terasa secara nyata. Pemilukada secara
langsung juga terbilang efektif dan efisien, sebab komunikasi calon
dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga. Pemilukada secara
Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin
yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada
Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga
dibandingkan pada segelitir elite di DPRD.
Namun, tingginya angka golput dalam beberapa pemilukada
terakhir menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi rakyat Indonesia.
Mereka justru terkesan masa bodo, padahal partisipasi mereka sangatlah
penting. Politik uang selalu tercium dalam setiap pelaksanaan pemilukada
dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Calon yang terpilih belum
tentu calon yang benar-benar ideal dan berkualitas. Sebaliknya, para
calon yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan sendiri dan orangorang terdekatnya karena merasa sudah membeli suara rakyat, mereka
merasa tidak ada hubungan pertanggung jawaban lagi dengan rakyat,
karena jual-beli sudah selesai. Kemudian, Kepala daerah yang dipilih
secara langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Bukanya melakukan dukungan terhadap pemberantasan korupsi,
teryata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Hal tersebut
diakibatkan biaya politik dari pemilukada langsung yang sangat mahal
dari proses rekomendasi ke partai politik pengusung sampai pada
melakukan politik uang kepada masyarakat umum yang tentunya
jumlahnya tidak sedikit. Dengan ongkos politik yang mahal seperti itu,
kepala daerah dalam menjabat cenderung memikirkan pengembalian
modal bahkan mencari keuntungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan
pada saat pemilukada.
B. Saran