Anda di halaman 1dari 17

MENGAPA SAYA MEMILIH NAHDLATUL ULAMA

Pada bulan april 1934, ketika saya baru dating dari luar negri, datanglah permintaan-permintaan dan
ajakan –ajakan dari beberapa perhimpunan dan partai islam agar saya menggabungkan diri pada
mereka. Antaranya dari nahdlatul ulama (NU). Daya eaya tidak segera memenuhi permintaan dan
ajakan-ajakan itu hampir empat tahun saya menimbang, baru menentukan sikap memasuki salah satu
dari perhimpunan-perhimpunan atau partai –partai tadi

Kemungkinan saya dua, masuk pada perhimpunan-perhimpunan atau partai partai yang telah ada, atau
mendirikan perhimpunan atau partai sendiri yang baru. Terus terang saya uraikan disini, bahwa
perhimpuan-perhimpunan atau partai-partai diwaktu itu saya pandang tidak memuaskan. Perhimpunan
A kurang radikal, Partai B kurang Pengaruh, partai C kurang banyak kaum terpelajarnya, partai D kurang
jujur pimpinanya. 1001 macam kekurangan kekurangan di pandangan saya. Demikian kata mukadimah
dari suatu ceramah Al-marhum K.H.A Wahid Hasyim yang diberikan dihadapan pemuda-pemuda yang
berasal dari indramayu yang terhimpun dalam organisasi “ gerakan pendidikan politik muslim indonesia
yang sengaja didirikan untuk menambah pengetahuan mereka dalam lapangan politik dan kepaertaian
yang juga di uraian beliau ini dimuat di dalam risalah stensil dari NU cabang Jakarta .

Maka sementara belum mendapat “jodoh “ demikian uraian beliau ini lebih lanjut perhimpunan atau
partai yang cocok dengan pikiran dan perasaan saya, lalu saya bangunkan suatu perhimpunan kecil .
saya disini tidak akan menceritakan kecil tempat menggembleng beberapa puluh pemuda islam itu,
karena bukan itulah maksudnya karangan ini. Sebenarnya perhimpunan itu namanya ikatan pelajar
islam. Telah merupakan hasil pertama dari percobaan saya untuk mentatbik (toepasswn) teory-teory di
dalam kenyataan-kenyataan .

Barulah pada tahun 1938 saya memilih perhimpunan Nahdlatul Ulama untuk tepat saya bergerak
mengembangkan sayap dan kecakapan.

Apakah pertimbangan saya guna mementukan pilihan itu? Itulah yang akan saya bentangkan di bawah
ini. Mula-mula saya insaf bahwa tidak ada satupun perhimpunan yang seratus persen memuaskan.
Ibaratnya seperti jodoh yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya,
saudara-saudaranya, kemenakannya dan lain-lain lagi, pasti tidak terdapat di dunia ini.

Oleh karena perhimpunan atau partai yang memuaskan seratus persen itu tidak pernah ada, maka harus
dipilih yang paling ringan kekurangan-kekurangannya. Mula-mula saya memakai ukuran keradikalan
(ketangkasan dan kecepatan) untuk memilih dari jurusan ini NU memang Nahdlatul Ulama tidak
memenuhi keinginan saya , nahdlatul Ulama perhimpunan orang-orang tua yang gerakannya lambat,
tidak terasa, tidak revoluisioner. Akan tetapi beberapa kenyataan tidak dapat di bantah, yaitu diwaktu
perhimpunan-perhimpunan pemuda-pemuda islam yang laiannya selama digerakan didalam waktu
sepuluh tahun baru mempunyai cabang di dua puluh tempat yang letaknnya berdekatan , maka
Nahdlatul Ulama sudah menjalar hampir meratai enampuluh persen dari seluruh daerah indonesia . jadi
apalah artinya radikal dan revolusioner , jika hasilnya hasilnya didalam jangka sepuluh tahun masih baru
mempunyai cabang sepuluh dan hanya berputar di daerah keresidenan saja? Begitulah pikir saya ketika
telah membangding-bandingitu. Satu hal yang saya pakai menjadi ukuran sudah saya tinggalkan, setelah
saya menentukan bahwa yang penting di dalam hal ini bukanlah “ kegagahan” di dalam berjuang, tetapi
hasil dari pada perjuangan itu sendiri.

Kemudian saya memandang ukurna lain, yaitu banyaknya terpelajar di dalam suatu perhimpunan atau
partai yang akan saya pilih.dari jurusan itu Nahdlatul Ulama memang miskin sekali. Untuk mencari
akademisi didalam NU adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam satu malam.
Akan tetapi setelah sya banding banding, saya mendapat kenyataan, bahwa banyaknya orang terpelajar
tinggi di dalam suatu perhimpunan atau partai bukanlah menjadi jaminanbahwa perhimpunan atau
partai itu akan maju, sebab maju atau mundurnya suatu perhimpunan atau partai bukanlah otak
semata-mata tetepi yang utama adalah mentalitet (atau kalau memakai bahasa agama; budi dalam arti
luas). Banyak perhimpunan-perhimpunan dan partai-partai “ yang penuh” dengan kaum tepelajar tinggi,
tetapi tetepi mentelitet-nyatidak mendekatkan macamnya, maka tenaga perhimpunan itu habis di
dalam pergolakan ke dalam saja. Sebaliknya partai yang organisasinya rapi seperti PKI misalnya
walaupun tidak mempunya anggota kaum terpelajar tinggi, tetapi kokoh dan lancar. Jadi kekurangan
bahkan kekosongan NU dari kaum terpelajar itu tidaklah menjadi ukurn bahwa kemungkinanya maju
akan berkurang.

Sebaliknnya ada dua hal lagi yang sering menjadi keberatan bagi pemuda-pemuda islam untuk
memasuki Nahdlatul Ulama. Pertama Nuterlampau “streng” terlampau “keras” di dalam tuntutannya
(esensinya) pada anggota, mengenai kewajiban-kewajiban agama. Tiap-tiap anggota NU harus “beres”
sembahyangnya, jumat-nya, puasanya dan lain lain kewajiban agama lagi. Nahdlatul Ulama di dalam hal
kehidupan prive anggota-anggotanya memiliki ukuran yang berat. Anggotanya yang menjalankan
kehidupan prive kurang “ sedap” di dalam pandangan para ulama mendapat “ peringatan-peringatan”
bahwa didalam anggaran dasar NU disebutkan kemungkinan pemecatan seorang anggota berdasar ats
perbuatan-perbuatannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran islam. Memang
tuntutan NU yang “berat” dan “keras” serta “streng” itu malah makin mendorongnya untuk masuk. Dan
bagi orang yang telah menjadi anggota, dirasakan sebagai batas ujian yang memelihara dinamika
mereka agar tetap terjaga baik. Suatu perhimpuanan atau partai yang mempunayi penyaringan dan
ujian, memang di dalam tingkat pertama dari hidupnya, tidak mungkin mempunyai anggota banyak,
karena di rasa berat oleh calon-calon anggota. Tetapi setelah berjaln beberapa lama, pasti akan terdapat
didalmanya suasanya yang harmonis dan persaudaraan yang sukar terdapat di dalam perhimpunan-
perhimpunan atau partai partai yang “murah” menerima anggota! Dengan sendirinya perhimpunan atau
partai tadi lalu kuat, maka dengan sendirinya lalu partai tadi menarik orang orang-orang luar. Karena
kehidupan perhimpunan- perhimpunan atau partai-partai sangat dipengaruhi hukum kuat, pasti menarik
dan yang lemah tidak dihiraukan orang.

Yang kedua, ialah faktor ulama didalam NU, seolah-olah memonopoli perhimpunan. Sedang
pandangan mereka selalu didasarkan pada keterangan dan perkataan-perkataan para ulama yuang
terdahulu di dalam kitab-kitab dan buku agama. Oleh karena demikian maka kemerdekaan bergeraknya
perhimpunan tentu akan terhalang oleh pandangan para ulama yang di anggapnya “kolot” itu tadi.
Begitulah anggapan orang luar.
Akan tetapi bagi orang yang suka menyelidiki sungguh-sungguh, akan terdapatlah kenyataan bahwa di
dalam Nahdlatul Ulama kedudukan para ulama itu tidak lebih dari anggota-anggota biasa; jadi tidaklah
memonopoli perhimpunan.

Mereka itu hanya sebagai penjaga-penjaga pelajaran-pelajaran islam, jangan sampai dilanggar oleh
anggota-anggotanya, karena jika naggota sudah melanggar ajaran-ajaran agamanya, maka siapa lagi
yang akan sudi memelihara dan menjaga pelajaran-pelajaran agama itu, sama sekali tidaklah “beku” dan
“jumud” tetapi senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan-
perkembangan keadaan, asal saja di dalam dasarnya tidak bertentengan dengan pokok-pokok islam.

Demikianlah setelah saya menyeidiki keadaan dan suasana pada tiap-tiap perhimpunann atau partai,
baik yang berdasr islam, maupun kebangsaan, sayapun lalu yakin, bahwa Nahdlatul Ulama malah yang
memberi kemungkinan banyak bagi kebangkitnya umat islam di Indonesia. Faktor-faktor di dalamnya
yang dulunya saya anggap sebagai” rintangan “ bagi kemajuan, malahj sebaliknya ternyata sebagai
fakto-faktor mempercepat kemajuan. Sejak tahun 1938, saya menjadi anggota NU setelah berpikir
hampir empat Tahun lamanya, lepas dari pengaruh perasaan, sentiment dan keturunan

(Gema multi media Tahun I November 1953).

Dikutip dari:

Mengapa memilih NU? (konsepsi tentang agam, pendidikan dan politik)

H.wahid Hasyim

Penerbit: PT Inti Sarana Aksara Jakarta,1985 (cetakan pertama)

##@#@#@#

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (1)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Riwayat Singkat

Lahir : 1 Juni 1914

Wafat : 19 April 1953

Pendidikan : Pesantren Tebuireng, Jombang ; Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo ; Pesantren Lirboyo
Kediri ; Makkah Mukkaramah.
Perjuangan/Pengabdian : Ketua Dep Ma’arif PBNU ; Ketua MIAI ; Ketua Masyumi ; perintis
berdirinya Hizbullah ; pendiri sekolah Tinggi Islam Jakarta ; Kepala Jawatan Agama Pusat(Shumubucho) ;
anggota termuda BPUPKI ; penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman ; Ketua Umum PBNU ; Menteri
Agama.

Pada 22 Desember 1951, sebuah majalah ibu kota memuat artikel yang secara keras mengkritik
para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma’mun Bingung. Di bawah judul tulisan "Umat Islam Indonesia
Menunggu Ajalnya, tetapi Pemimpin-pemimpinnya Tidak Tahu", Ma’mun Bingung menguraikan dua
peristiwa yang dinilai mengandung isyarat penting.

Peristiwa pertama adalah adanya konferensi yang dihadiri para profesor Kristen se-Asia yang
berlangsung di Priangan. Dan kedua, peristiwa peletakan batu pertama pembangunan kampus
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dilakukan oleh presiden (rektor) universitas negeri itu,
Prof. Dr. Sardjito. Dalam pertemuan profesor se-Asia, secara terbuka disampaikan rencana menjadikan
Indonesia sebagai negara Kristen. Sedangkan dalam kegiatan peletakan batu pertama kampus UGM, ada
seorang tokoh yang mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus UGM terletak di antara
Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka demikian usulnya, kelak dia harus bisa menjelmakan
(reinkarnasi) kedua candi itu.

Dalam tulisan itu Ma’mun Bingung tidak memprotes ide menjadikan Indonesia sebagai Negara
Kristen atau kampus UGM sebagai jelmaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. "Di dalam negara
demokrasi seperti Indonesia, tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikehendaki, boleh
mengemukakan pendapat dan pikiran dengan sebebas- bebasnya asal di dalam bebas-batas undang-
undang," demikian tulisnya.

"Hanya kepada umat Islam yang menurut hukum demokrasi mempunyai hak hidup dan
mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan kritik ini. Terutama kepada para pemimpin Islam. Kami
menyesal karena adanya peristiwa demikian itu tidak ada seorang pun dari pemimpin tergerak hatinya
untuk menunjukkan kepada umat Islam di Indonesia agar jangan tetap dalam tidur nyenyaknya dan
mabuk politik yang membahayakan," kata Ma’mun Bingung melalui tulisannya.

Siapa Ma’mun Bingung, penulis artikel pedas itu? Dia tak lain adalah KH. Abdul Wahid Hasyim.
Nama Ma’mun Bingung merupakan salah satu saja dari sekian banyak nama samaran yang dipakainya
ketika menulis artikel.

Cuplikan pendek artikel itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal mendasar yang
memperlihatkan sosok penulisnya.

Pertama, betapa KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap
perbedaan paham dan bersikap proporsional dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi;

Kedua, besarnya kepedulian terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam; dan

Ketiga, adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut umat Islam sendiri.
Melalui tulisannya, kita menangkap getaran keprihatinan yang sangat dari KH. Abdul Wahid Hasyim,
setiap dia menyaksikan kondisi umat Islam ketika itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim. Banyak
pemimpin Islam waktu itu yang secara verbal sering menggembar-gemborkan perjuangan Islam melalui
berbagai jalur, terutama jalur politik, justru membiarkan umat Islam hidup dalam kualitas serba
memprihatinkan. Menurutnya, banyak orang membawa bendera Islam untuk kepentingan yang
sebenarnya bertolak belakang dengan semangat Islam.

Melihat profil dan sikap KH. Abdul Wahid Hasyim seperti itu, segera orang menjadi mafhum jika
menyaksikan hal yang sama juga terjadi pada salah seorang puteranya, yakni KH. Abdurrahman Wahid
(mantan Ketua Umum PBNU). Rupanya dalam beberapa hal KH. Abdurrahman Wahid mewarisi karakter
yang dimiliki sang ayah.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (2)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Kelahiran dan Masa Kecilnya

Abdul Wahid adalah putera kelima pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti K.
Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat Legi, 5 Rabiul Awal 1333 H.
bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.

Sewaktu mengandung putera kelimanya ini, kondisi kesehatan Ny. Nafiqah agak memburuk.
Badannya lemah dan sering sakit-sakitan. Karena itu, suatu hari Ny. Nafiqah bernazar, "Jika nanti bayi
yang aku kandung lahir dengan selamat, dia akan aku bawa ke guru ayahnya (KH. Cholil) di Madura."

Semula oleh sang ayah akan diberi nama Muhammad Asy’ari, tetapi urung karena kurang sesuai.
Sebagai lelaki pertama, nama Abdul Wahid diambil dari nama seorang datuknya, dirasakan paling cocok.
Namun demikian, ibunya memanggil Abdul Wahid dengan Mudin. Sedangkan beberapa kemenakannya
memanggil dengan Pak It.

Kesepuluh putera KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid,
Hafidz, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah
KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat orang putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Chodijah dan Ya’kub.

Nazar mesti dipenuhi. Ketika berusia tiga bulan, bayi Abdul Wahid oleh ibunya dibawa ke
Bangkalan Madura untuk dipertemukan dengan KH. Cholil, Ny. Nafiqah ditemani Mbah Abu.

Suatu pengalaman spiritual untuk pertama kali dialami bayi Abdul Wahid. Setibanya di kediaman
Mbah Cholil, sebutan populer KH. Cholil, hari sudah merangkak malam. Cuaca ketika itu buruk, hujan
turun disertai sambaran petir. Anehnya dalam suasana seperti itu, Ny. Nafiqah beserta bayinya tidak
diperkenankan masuk rumah. Oleh tuan rumah malahan dia diminta tetap berada di halaman. Sudah
tentu mereka harus berhujan-hujanan.

Kasihan melihat bayinya menggigil tertepa air hujan, Ny. Nafiqah mencoba menempatkannya di
emperan rumah biar tidak kehujanan. Sambil menaruh bayi Abdul Wahid di bawah emperan, Ny.
Nafiqah tak henti- hentinya berucap, "La Ilaha Illa Anta, Ya Hayyu Ya Qayyum (tiada Tuhan melainkan
Engkau, hai Tuhan yang menjaga dan menghidupkan)." Tahu hal ini, Mbah Cholil marah dan memintanya
agar bayi itu dibawa ke tengah halaman. Ny. Nafiqah menuruti saja perintah itu.

Akhirnya, Mbah Cholil minta kepada Ny. Nafiqah agar segera meninggalkan tempat itu. Tidak
ada pilihan lain, Ny. Nafiqah pun pulang ke Jombang dengan seribu tanda tanya yang tidak terjawabkan
ketika itu; kenapa Mbah Cholil berbuat seperti itu. Rupanya kejadian di luar kebiasaan itu menjadi salah
satu pertanda bahwa Abdul Wahid kelak akan menjadi orang yang tergolong luar biasa. Ternyata hal itu
terbukti di kemudian hari.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (3)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Mondok Cukup dengan Hitungan Hari

KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang kyai terkenal yang sangat disiplin dalam memimpin.
Kepemimpinannya sangat efektif dan unggul sehingga sebagian besar orang yang dipimpinnya menjadi
"orang" di kemudian hari. Hampir semua kyai kenamaan pengasuh pesantren pada dekade ‘40-an
sampai ‘70-an pernah berguru pada KH. Hasyim Asy’ari. Dia juga berjiwa demokratis. Kedisiplinan dalam
memimpin dan sikap demokratisnya tampak menonjol dalam kehidupan keluarga, terutama dalam
mendidik putera-puterinya. Sebagai ulama besar beliau mengharapkan putera-puterinya bisa mengikuti
jejak dan berkembang menjadi generasi yang berpengetahuan luas, khususnya dalam ilmu agama.
Untuk itulah suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian rupa sehingga mendukung proses
pembelajaran seluruh anggota keluarganya. Sejak dini putera-puterinya diperkenalkan dengan
pengetahuan agama Islam dan dibebaskan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal
baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan bagi putera-puterinya sebab secara ekonomi dia
tergolong mampu untuk ukuran saat itu. Dalam suasana seperti itulah Abdul Wahid tumbuh dan
berkembang.

Abdul Wahid berotak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak dia sudah pandai membaca al-
Qur’an, dan malah sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren
Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari madrasah dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar
adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah
Pemerintah Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selain belajar di madrasah, dia
banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair
berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik. Pada usia 13 tahun
dia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana dia hanya
bertahan sebulan. Dari Siwalan dia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi dia di
pesantren ini mondok dalam waktu yang singkat, beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok
dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan oleh Abdul Wahid adalah
keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, demikian mungkin dia berpikir, bisa
dipelajari di mana saja dan dengan cara bagaimana saja. Tapi soal memperoleh berkat soal kiai? Inilah
yang agaknya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajar di pesantren lain, tetapi memilih
tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa
menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya
tidak padam, terutama belajar secara autodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum
milik Pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun dia sudah mengenal huruf Latin dan menguasai
bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh
dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Pada tahun 1932 ketika menginjak usia 18 tahun, dia dikirimkan ke Mekkah, disamping untuk
menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya
ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muchammad Ilyas (kelak menjadi Menteri Agama).
Muchammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi
remaja yang cerdas. Muchammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, mengajari Abdul Wahid dalam
bahasa ini. Di tanah suci dia belajar selama dua tahun.

Jarang ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritis.
Pada umumnya orang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi -mengikuti jejak kakek, ayah atau
keluarga lain- karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan
warga NU. Sudah lazim orang ber-NU karena keturunan: ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula
anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Abdul Wahid
Hasyim. Proses ke-NU-an Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu cukup lama, setelah melakukan
perenungan mendalam. Dia menggunakan kesadaran kritis untuk menentuk pilihan organisasi mana
yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934. Sepulang dari mukim di Mekkah, banyak permintaan dari kawan-
kawannya agar Wahid Hasyim aktif di perhimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga
datang dari Nahdlatul Ulama. Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau
organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha
memperkuat basis organisasinya, dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh- tokoh
berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para
pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tak satu pun tawaran
itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang menjadi pergulatan pemikiran Abdul Wahid sehingga dia tidak secara cepat
menentukan pilihan untuk bergabung di dalam salah satu perkumpulan? Waktu itu memang ada dua
alternatif di benak Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama dia menerima tawaran dan masuk ke dalam
salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau
partai sendiri. Di mata Wahid Hasyim, perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak
memuaskan. Itulah yang menyebkan dia agak ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja
kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Wahid Hasyim, Partai A kurang
radikal, Partai B kurang berpengaruh, Partai C kurang memiliki kaum terpelajar dan Partai D
pimpinannya dinilai tidak jujur.

"Di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai," tegas Wahid
Hasyim ketika berceramah depan pemuda yang tergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik
Muslimin Indonesia.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (4)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Geraknya Lambat

Selama empat tahun Wahid Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran yang diterima.
Sesudah itu barulah pilihan dijatuhkan kepada organisasi Nahdlatul Ulama. Tepatnya tahun 1938 dia
menyatakan menerima tawaran untuk aktif di NU. "NU saya pilih untuk mengembangkan sayap dan
kecakapan," ujarnya. Dalam buku Mengapa Memilih NU? Wahid Hasyim menjelaskan alasan dia memilih
NU sebagai tempat "berlabuh".

Mula-mula dia menyadari bahwa tidak ada satu pun perhimpunan yang seratus persen
memuaskan. "Ibarat jodoh, yang sungguh-sungguh memuaskan kecantikannya, kecerdasannya,
rumahnya, saudaranya, kemenakannya dan lain-lainnya lagi, pasti tidak terdapat di dunia ini," ujarnya
membuat tamsil. Karena itu menurut Abdul Wahid Hasyim, harus dipilih perkumpulan yang paling ringan
tingkat kekurangannya. Untuk ini dia menggunakan tolok ukur tersendiri, yaitu pertama ukuran
keradikalan. Dari segi ini, Wahid Hasyim mengakui bahwa NU kurang memenuhi keinginannya.

"Nahdlatul Ulama merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa
dan tidak revolusioner," tuturnya. Tetapi ada kenyataan lain yang membuat NU di mata Wahid Hasyim
memiliki nilai lebih dibandingkan dengan perhimpunan lain, bahkan dari perhimpunan kaum muda
sekalipun. Beberapa perhimpunan pemuda Islam yang ada, selama lebih satu dasawarsa
mengembangkan sayapnya, baru memiliki cabang di 20 tempat dan itu pun tempatnya berdekatan.
Sedangkan perkembangan NU di mata Wahid Hasyim demikian lain. Mesti ada sesuatu yang berbeda
dengan NU. Hanya dalam tempo satu dasawarsa, NU telah berkembang mencapai 60% di berbagai
daerah dan hampir merata di seluruh Indonesia.

Lalu Wahid Hasyim mempertanyakan sendiri tolok ukur yang pernah dipergunakan sebagai
kriteria untuk menentukan pilihan. Apa artinya radikal dan revolusioner jika hasilnya hanya sebatas itu.
Masak selama sepuluh tahun hanya memiliki puluhan cabang yang berada di satu-dua keresidenan saja.
Radikalisme dan revolusioner memang menimbulkan kesan gagah. "Tapi yang penting dalam hal ini
bukanlah kegagahan di dalam berjuang, melainkan hasil yang dicapai dalam perjuangan itu sendiri," kata
Wahid Hasyim.

Ada lagi ukuran lain yang dijadikan Wahid Hasyim untuk menentukan pilihannya, yaitu
banyaknya kaum terpelajar yang tergabung di dalamnya. Jika ukuran ini yang dipakai, jelas NU tidak
masuk hitungan. Untuk mencari akademisi di dalam NU, Abdul Wahid Hasyim mentamsilkan orang
dengan mencari penjual es pada pukul satu malam. Tetapi Wahid Hasyim menanggalkan sendiri
penggunaan ukuran "banyaknya kaum terpelajar ini". Menurut Wahid Hasyim, banyaknya kaum
terpelajar bukan menjadi jaminan suatu perhimpunan akan maju.

"Bukan hanya otak yang menyebabkan majunya perhimpunan atau partai, melainkan juga
mentalitas," ujarnya seraya menunjukkan sejumlah contoh. Banyak perhimpunan yang waktu itu
dipenuhi kaum terpelajar, tetapi karena mentalitasnya tidak memadai, maka perhimpunan itu tidak
maju-maju. Waktu dan tenaganya habis untuk mengatasi pergolakan yang terjadi di dalam. Dia
menunjuk PKI salah satu contoh partai yang solid, padahal tidak memiliki banyak kaum terpelajar.

Wahid Hasyim juga berbeda pandangan dengan kebanyakan pemuda Islam lain kala itu dalam
melihat NU. Selama ini kalangan pemuda Islam enggan memasuki organisasi NU karena dua alasan:

Pertama, NU dinilai terlalu kuat menuntut anggotanya dalam urusan menjalankan kewajiban
agama. Misalnya setiap anggota NU harus "beres" dalam melaksanakan shalat, shalat Jum’at, puasa atau
ibadah lain. NU menerapkan ukuran yang berat kepada anggotanya dalam soal tersebut. Seandainya ada
kehidupan prive (pribadi) anggota NU yang kurang sedap di mata kyai NU, yang bersangkutan akan
mendapat peringatan keras. Hal ini menyebabkan orang luar sering memandang NU sebagai organisasi
yang menakutkan; dan

Kedua, adalah berkenan dengan kedudukan ulama di dalam NU yang dinilai memonopoli
perhimpunan. Sedangkan para ulama sendiri selalu menyandarkan pemikiran, perkataan dan
perbuatannya kepada para ulama terdahulu melalui kitab-kitab karyanya. Menurut anggapan sebagian
pemuda Islam waktu itu, kemerdekaan berpikir dan bergerak di dalam perhimpunan NU sudah tentu
akan sangat terhambat oleh pandangan para ulama yang dipandang kolot seperti itu.
Menghadapi pandangan seperti itu, Wahid Hasyim semakin berketetapan hati untuk masuk NU.
Menurut Wahid Hasyim, jika orang mau bersungguh- sungguh menyelidiki NU akan ditemui kenyataan
bahwa kedudukan ulama di dalam NU tidak lebih dari anggota biasa. Ulama tidak memonopoli
perhimpunan. Kedudukan ulama di dalam tubuh NU digambarkan oleh Wahid Hasyim sebagai penjaga
ajaran Islam dari kemungkinan dilanggar oleh anggotanya. Jika ajaran agama Islam dilanggar oleh
penganutnya sendiri, siapa yang akan bersedia memelihara dan menjaganya, kalau bukan ulama?

Wahid Hasyim juga tidak melihat bahwa kehadiran ulama NU sebagai "penjaga" ajaran Islam
menyebabkan ajaran Islam menjadi statis atau jumud. Para ulama dinilai bisa mengakselerasi dan
menyesuaikan pemikiran keagamaan secara tepat terhadap perkembangan keadaan, sejauh hal itu tidak
bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Selama empat tahun Wahid Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap eksistensi
berbagai perhimpunan atau partai yang ada, baik yang berdasarkan Islam maupun kebangsaan. Setelah
itu dia pun memilih NU, dengan keyakinan yang kuat bahwa NU bisa lebih memberi banyak
kemungkinan bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia.

"Faktor-faktor di dalam yang dahulu saya anggap sebagai rintangan bagi kemajuan malah
sebaliknya, justru menjadi faktor yang mempercepat kemajuan," katanya beragumentasi.

Keterlibatan Wahid Hasyim di NU dirasakan menambah kekuatan tersendiri bagi perkumpulan


ini. Dia memulai keterlibatannya dari bawah sekali, yaitu menjadi penulis NU Ranting Cukir, sebuah
struktur organisasi di NU paling bawah. Tidak lama sesudah itu dia sudah dipercaya menjadi ketua NU
Cabang Jombang. Kariernya di organisasi melaju cepat, selang dua tahun yaitu tahun 1940, HBNO
mengesahkan Departeman Ma’arif (pendidikan) sebagai departemen yang pengurusnya berdiri sendiri
dan memiliki anggaran rumah tangga sendiri. KH. Abdul Wahid ditunjuk sebagai penanggung jawab
proses pembentukan Ma’arif yang berdiri sendiri itu. Sekaligus KH. Abdul Wahid Hasyim dipercaya untuk
menjadi ketuanya. Inilah awal keterlibatan Abdul Wahid Hasyim dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama
di tingkat pusat (PBNU).

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (5)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Pribadi Tawadhu’

Meskipun dikenal sebagai pemimpin nasional yang berpikiran maju, KH. Abdul Wahid Hasyim
tetap memiliki sikap tawadhu (kepada para ulama, lebih-lebih kepada ayahandanya Hadhratusysyaikh
Hasyim Asy’ari. Hal itu, antara lain bisa dilihat ketika melakukan percakapan sehari-hari dengan sang
ayah. Kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, Hadhratusysyaikh Hasyim Asy’ari biasa melakukan percakapan
dengan bahasa Arab yang fasih. Tetapi KH. Abdul Wahid Hasyim selalu menjawab dengan bahasa Jawa
halus (kromo inggil). KH. Abdul Wahid Hasyim kurang lancar bercakap-cakap dengan bahasa Arab? Jelas
bukan. Penggunaan bahasa Jawa halus saat bercakap-cakap dengan ayahnya dilakukan KH. Abdul Wahid
Hasyim untuk memperlihatkan sikap tawadhu (rendah hati) kepada orangtuanya. Apalagi jika
percakapan itu disaksikan oleh orang ketiga atau orang keempat. KH. Abdul Wahid Hasyim ingin
menghindari jangan sampai ada orang yang tersinggung atau tidak paham dengan yang dibicarakan.

Hidupnya sederhana, ilmunya mendalam dan cara berpikirnya moderat. Karena itu menjadi
mudah baginya untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa pun. Tidak menjadi soal baginya kalau suatu
waktu harus mengenakan kain pantalon, atau jas berdasi tanpa mengenakan kopiah hitam, sementara di
kesempatan yang lain dia mesti mengenakan kain sarung atau baju takwa. Ketika berada di Jombang,
untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari KH. Wahid Hasyim memiliki kendaraan pribadi mobil merk
Chevrolet Cabriolet berwarna putih. Sedangkan di Jakarta dia biasa menyetir sendiri mobil Fiatnya.

Abdul Wahid Hasyim bertubuh agak pendek, sedikit gemuk dengan kulit sawo matang dan
berhidung mancung. Lehernya sedikit pendek dan dadanya bidang, dengan tahi lalat di dada, bahu kiri
sebelah atas dan salah satu ujung jarinya.

Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis Solichah puteri KH. M. Bisri Syansuri,
yang waktu itu berusia 15 tahun. Pasangan ini dikaruniai enam putera, yaitu Abdurrahman Ad-Dakhil
(mantan Ketua Umum PBNU), Aisyah (salah seorang wakil ketua PP Muslimat NU), Salahudin Al-Ayyubi
(insinyur lulusan ITB), Umar (dokter lulusan UI), Chadijah dan Hasyim.

Salah satu kebiasaan yang melekat pada diri KH. Abdul Wahid Hasyim adalah kegemaran
berkirim surat kepada kawan-kawannya. Berkirim surat menjadi salah satu media silaturahim yang
dipilih di kala yang bersangkutan tidak banyak kesempatan untuk bersilaturahim secara langsung. Surat-
surat itu umumnya berisi pandangan politik, arah perjuangan dan cita-citanya. Segalanya ditulis dengan
bahasa yang menarik, lancar dan tak lupa dibumbui humor segar.

Mendudukkan para santri dalam posisi sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan
kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Dia tidak ingin melihat santri
berkedudukkan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu sepulangnya dari menimba ilmu
pengetahuan, dia berkiprah langsung membina pondok pesantren asuhan ayahandanya.

Pertama-tama dia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji cobanya dinilai berhasil. Karena itu, pada
tahun 1935 model pendidikan yang diujicobakan itu diterapkan secara besar- besaran dengan
mendirikan madrasah modern bernama Madrasah Nazamiyah. Di madrasah ini diajarkan materi
pelajaran yang sebelumnya tidak pernah ada di pesantren. Dia membuka fan-fan pengetahuan umum
yang kala itu merupakan barang asing di dunia pesantren. Karena itu dia dikenal sebagai perintis
pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.
"Biarlah saya tidur di mushalla ini saja," kata KH. Abdul Wahid Hasyim ketika melihat bahwa di
atas kamar mandi ada mushalla. Waktu itu kebetulan dia berkunjung ke rumah sahabatnya, KH.
Saifuddin Zuhri di Sokaraja, Banyumas.

"Kami telah menyiapkan kamar buat Gus Wahid," kata tuan rumah Saifuddin Zuhri.

"Tak apa. Mushalla berbentuk panggung seperti ini mempunyai sirkulasi udara yang baik.
Biasanya tidak banyak nyamuk. Kalau toh ada nyamuknya ya biar saja. Anggap saja kita bersedekah
sedikit dengan darah kita kepada nyamuk-nyamuk itu," jawabnya.

Dia memang terkenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Kepada siapa saja dia biasa
melemparkan joke-joke segar, untuk mencairkan suasana sehingga komunikasi bisa berjalan lancar dan
akrab. Kepada sopirnya hal yang sama juga berlaku.

"Wah ini ikan gurame, Rasyad!" serunya kepada sopirnya yang bernama Rasyad. "Ente tahu,
orang yang suka makan gurame otaknya akan bertambah cerdas. Percaya apa tidak?" ujar KH. Abdul
Wahid Hasyim.

"Saya percaya. Tentu saja menjadi cerdas karena orang selalu berpikir, bagaimana mendapatkan
uang agar bisa makan ikan gurame setiap hari…," jawab Rasyad setengah berseloroh. Serentak
meledaklah tawa mereka. Mereka setuju karena ikan gurame dikenal lezat.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (6)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Wa mal hayatud dunya illa mata’ul ghurur

Sewaktu terjadi perombakan kabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum lagi dalam daftar
nama anggota kabinet baru, beberapa orang tampak kecewa. Padahal yang bersangkutan cuek saja.
Ketika mereka bertemu dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, kekecewaan itu langsung ditumpahkan
kepadanya.

"Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet," kata H. Azhari.

"Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan
bangku panjang. Tinggal pilih saja," jawab KH. Abdul Wahid Hasyim sekenanya sehingga mengundang
tawa yang hadir.
"Tapi kami tetap menyesal karena pemimpin kita tidak dipakai oleh pemerintah…," ujar H.
Ichwan. [tentang H. Ichwan, baca pula "Santri yang Enggan Menjadi Kyai", red.].

"Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya pakai sendiri…," sekali lagi KH. Abdul Wahid
Hasyim menjawab dengan santai dan penuh humor. Suara tawa kembali meledak.

"Kenapa ya, menjadi menteri kok cuma sebentar?" tanya H. Azhari masih penasaran.

"Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan selalu mengingatkan
kita, "Wa mal hayatud-dunya illa mata’ul ghurur"[1]. Memangnya orang menjadi menteri untuk
selamanya?" jawab KH. Abdul Wahid Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit serius, menggunakan i’tibar
yang pas.

Pada tahun 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan
federasi partai dan ormas Islam. Setelah masuknya NU ke dalam federasi ini, dilakukan reorganisasi dan
saat itulah KH. Abdul Wahid Hasyim, wakil NU terpilih menjadi ketua MIAI.

Selaku pimpinan Masyumi, Wahid Hasyim merintis pembentukan Hizbullah sebagai sayap
"militer" yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Rencana pembentukan
Hizbullah semula hampir urung. Banyak pihak yang mencurigai kehadirannya dalam membantu Perang
Asia Timur Raya. Tapi KH. Abdul Wahid Hasyim, atas nama pimpinan Masyumi waktu itu, terus gigih
memperjuangkan pembentukan Hizbullah hingga akhirnya berhasil.

Ketika Jepang masuk, KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin
Indonesia. Selain mengadakan gerakan politik di kalangan umat Islam, melalui Majelis ini Wahid Hasyim
juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 dia mendirikan Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.

Perhatiannya kepada dunia pendidikan sangat besar. Sewaktu menjadi Menteri Agama pada
tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang kini menjadi IAIN itu.

Dalam sebuah kesempatan pidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas, KH. Abdul Wahid
menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy’ari dari tahanan Jepang. Menurut Abdul Wahid, banyak
orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan menyengsarakan Hadhratusysyaikh.
Karena Allah menghendaki lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya
Hadhratusysyaikh dari tahanan, beliau diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat
Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa
kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam.

Mendapat tawaran itu KH. Hasyim Asy’ari menerima dengan catatan, mengingat usia yang
sudah uzur dan dia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin kalau harus bolak-balik Jakarta-
Jombang. Karena kondisi ini, dia mengusulkan agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada
Abdul Wahid Hasyim, puteranya.
Taktik ini sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari jangan sampai Nippon
tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika
tawaran ini diterima, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, disamping kenyataannya usianya sudah
uzur. Jika ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.

Keputusan KH. Hasyim Asy’ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat brilian dan
memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan Jepang terpenuhi sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu, rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy’ari juga
sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses
inilah mulai terlihat kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.

Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin
memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa pengertian bijaksana bukanlah
menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu yang benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan
yang buruk. Bijaksana adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang
sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya.

Dalam kesempatan itu dia menjelaskan panjang lebar kisah penahanan Hadhratusysyaikh dan
politik kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Allah dalam waktu tidak lama lagi banyak kyai yang
akan menduduki Kepala Jawatan Agama di daerah-daerah. "Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak
menjurus menjadi Jowo tan Agomo, Jawa tanpa agama," ujar KH. Wahid Hasyim berseloroh.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (7)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Tokoh Termuda

Karier Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih
muda, beberapa jabatan penting dia sandang, baik di kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan
ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau
dikenal BPUKI, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bitoro, dari 62 orang
yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda,
dia juga diangkat menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia juga merupakan tokoh
termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam yang
melahirkan proklamasi dan konstitusi negara.
Di dalam kabinet pertama, dibentuk Presiden Sukarno pada September 1945, Abdul Wahid
Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP
dibentuk, Abdul Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat
menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.

Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia
diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga
kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir dan Kabinet Sukiman.

Pada 1 Mei 1952, dalam muktamarnya di Palembang NU memutuskan keluar dari Masyumi dan
menjadi partai politik sendiri. Sesudah keluarnya NU dari Masyumi, KH. Wahid Hasyim menulis sepucuk
surat kepada PB Masyumi yang menyatakan alasan betapa pentingnya Masyumi mengubah struktur
organisasi menjadi sebuah badan federasi. Dengan struktur demikian, semua organisasi yang
berdasarkan Islam dapat menjadi anggotanya dan dapat dipersatukan kembali potensi umat Islam dalam
melakukan perjuangan. Seruan itu ternyata tidak ditanggapi pihak Masyumi. Kemudian Wahid Hasyim
menyampaikan gagasan pembentukan badan federasi itu kepada Partai Sarikat Islam Indonesia dan
Partai Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah) dan ternyata disambut positif.

Dalam rapat badan persiapan, disetujui federasi itu dinamakan Liga Muslimin Indonesia.
Peresmiannya dilakukan di serambi Gedung Parlemen Pejambon (kini Gedung Deplu) pada 30 Agustus
1952, bertepatan dengan Hari Wukuf di Arafah pada musim haji tahun itu. Menurut anggaran dasarnya,
federasi ini dibentuk untuk mewujudkan masyatakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah dan
Sunnah Rasulullah. Untuk mewujudkan tujuan itu, federasi ini berusaha mengatur rencana bersama
mengenai langkah- langkah besar bagi kepentingan umat Islam di Indonesia dalam segala lapangan
kehidupan.

Selama menjadi Menteri Agama, KH. Abdul Wahid Hasyim melihat tanda- tanda munculnya
sikap manja di kalangan umat Islam, suatu sikap yang sangat tidak disuka olehnya. Umat Islam sering
terlalu mengandalkan support dari para pejabat yang beragama Islam, terutama Menteri Agama. Sikap
ini lambat laun dinilai Wahid Hasyim melahirkan menurunnya semangat berusaha dan kurangnya rasa
percaya diri. Merasa punya menteri yang bisa diminta bantuan apa pun terutama bantuan materi, dalam
banyak hal umat Islam menjadi manja. Memang ini dirasakan cukup dilematis. Jika kebutuhan umat
Islam tidak dipenuhi, akan menimbulkan perasaan tidak senang dari kalangan Islam. Apalagi secara
objektif kondisinya memang perlu dibantu. Tetapi bila setiap kebutuhan terus-menerus dipenuhi,
dikhawatirkan menimbulkan sikap manja dan melemahnya semangat kemandirian.

Pada suatu waktu, KH. Abdul Wahid Hasyim mengeluhkan kondisi itu kepada KH. Saifuddin
Zuhri. "Apa saya tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada umat ini?" ujar Wahid Hasyim
dengan nada bertanya. Kenapa?

"Sejak dahulu umat Islam tidak pernah mendapat bantuan material atau moral dari Pemerintah
Hindia Belanda. Umat memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang demikian besar. Dengan kemampuan
sendiri, dengan semangat gotong-royong, mereka mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan
bangunan untuk kepentingan agama lainnya. Tapi kini setelah merasakan bantuan Departemen Agama,
mereka menjadi manja," katanya.

"Kan sudah selayaknya Departemen Agama membantu umat Islam, umat yang serba
terbelakang," kata KH. Saifuddin Zuhri menimpali.

"Membantu memang harus, tetapi kalau menyebabkan manja?" tuturnya setengah uring-
uringan.

Tak mau kalah, Saifuddin Zuhri balik bertanya, "Lha, yang selama ini membantu siapa? Kan
sampeyan sendiri Menteri Agama pertama yang melakukan kebijaksanaan memberikan bantuan….."

"Thayyib, benar, memang saya akui. Sebab itu tadi saya menanyakan kepada ente, apa saya
tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada umat Islam. Pertanyaan saya itu seperti zelf-
correctie, kritik diri," ujarnya.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda (8-Tamat)

oleh: DHB Wicaksono

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie


Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Musibah di Cimindi

Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH.
Abdul Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil
Chevrolet miliknya, Abdul Wahid Hasyim ditemani seorang sopir dari harian Pemandangan, Argo
Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslimin dan putera sulungnya, Abdurrahman Ad-Dakhil. Abdul
Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah di sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada
waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul
13.00 ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak
bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan
dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag
karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian
belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Abdul Wahid Hasyim dan
Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid
Hasyim terluka bagian kening dan mata, serta pipi dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan
Abdurrahman tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih berjalan
seperti semula.
Lokasi terjadinya kecelakaan ini memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan
datang sangat terlambat. Baru pada pukul 16.00 datang mobil ambulans untuk mengangkut korban ke
Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan
diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah SWT.
dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap
Sang Khalik.

Musibah ini tentu mengejutkan masyarakat. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan setelah
disemayamkan sejenak, lalu diterbangkan ke Surabaya. Selanjutnya dibawa ke Jombang untuk
dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Banyak yang menyesalkan kyai berusia muda dan merupakan
tokoh nasional itu begitu cepat dipanggil menghadap Sang Khalik. Tetapi, itulah kehendak Tuhan.

Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karier seseorang baru dimulai pada usia 40, KH.
Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu. Orang menilai kematian itu teramat
cepat datangnya, secepat Wahid Hasyim meraih prestasi. Karena itu, melihat kepemimpinan dan
prestasi yang diraih Wahid Hasyim dalam usia mudanya, sering muncul pengandaian dari masyarakat,
"…seandainya KH. Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil…"

http://addriadi.blog.friendster.com/2008/01/kh-abdul-wahid-hasyim-my-best-inspiration/

TAMAT

*Dari "KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma’shum, Penerbit:
Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN

Anda mungkin juga menyukai