REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
MENTERI KEHUTANAN,
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
5. Blok pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman wisata alam, dan
taman hutan raya, yang dijadikan tempat pariwisata alam dan kunjungan
wisata.
a. Koperasi;
b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
c. Perusahaan Swasta;
d. Perorangan.
Pasal 3
(2) Penetapan zona pemanfaatan taman nasional, blok pemanfaatan taman hutan
raya dan blok pemanfaatan taman wisata alam dilakukan oleh Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN IZIN
Pasal 4
(4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan :
Pasal 5
BAB III
TATA CARA PEMBERIAN IZIN
Pasal 6
Pasal 7
Dalam hal Menteri memberikan persetujuan untuk proses lebih lanjut atas
permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut, Ketua Tim Pertimbangan
selambat-lambatnya dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima persetujuan
Menteri, memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun rencana kerja
pengusahaan pariwisata alam yang dilengkapi dengan rencana tapak (site plan)
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Pasal 8
Pasal 9
(1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3),
Menteri memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya hasil penilaian tersebut.
(2) Dalam hal Menteri menyetujuinya, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam, dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah persetujuan
diterima, menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Pungutan Usaha (SPPPU)
sebagai pengganti nilai intrinsik atas areal yang diusahakan.
Pasal 10
(1) Pungutan usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) harus dilunasi
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja setelah diterimanya Surat
Perintah Pembayaran Pungutan Usaha Pariwisata Alam (SPPPUPA).
(2) Ketentuan mengenai besarnya dan tata cara pemungutan pungutan usaha
pariwisata alam diatur tersendiri.
Pasal 11
(2) Konsep Keputusan Menteri tersebut dilengkapi dengan peta areal kerja yang
disiapkan oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan.
Pasal 12
BAB V
PERPANJANGAN IZIN PENGUSAHAAN
Pasal 13
Izin Pengusahaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun,
terhitung sejak tanggal izin pengusahaan ditanda tangani oleh Menteri dan dapat
diperpanjang.
Pasal 14
(4) Perpanjangan izin pengusahaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.
BAB VI
TATA CARA BERAKHIRNYA IZIN USAHA
Pasal 15
Pasal 16
(1) Jika jangka waktu yang diberikan berakhir maka Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan atau Kepala Taman Nasional setempat menanyakan
kepada pengusaha/pemegang izin apakah izin tersebut akan diperpanjang
atau tidak.
(2) Jika izin diperpanjang, maka tata cara perpanjangannya dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan tentang perpanjangan izin sebagaimana diatur dalam pasal
13.
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
(3) Jika alasan-alasan yang dikemukanan dalam tanggapan tersebut tidak dapat
diterima, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan atau Kepala
Taman Nasional mengusulkan pencabutan izin pengusahaan tersebut kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
(5) Menteri dapat meminta pertimbangan dari pejabat Eselon I yang lain atau
memerintahkan diadakannya peninjauan lapangan sebelum menetapkan
keputusan tentang pencabutan tersebut.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri berupa pencabutan atau pembatalan persetujuan prinsip yang telah
diberikan.
Pasal 23
(1) Pengusaha atau pemegang izin pengusahaan dikenakan sanksi karena tidak
memenuhi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam dan Pasal 12
dalam keputusan ini.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri berupa :
Pasal 24
Pasal 25
(1) Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam yang terkena sanksi dapat
mengajukan keberatan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya saknsi kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
BAB X
KETENTUAN PRINSIP
Pasal 27
Ditetapkan di :JAKARTA
Pada tanggal : 23 Agustus 1996
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,
Jakarta,
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Izin Pengusahaan Kapada Yth. :
Pariwisata Alam Bapak Menteri Kehutanan
Dengan hormat,
a. Propinsi :
b. Lokasi :
c. Luas Areal :
Hormat kami,
-cap perusahaan
Nama
Jabatan dalam perusahaan
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
MENTERI KEHUTANAN,
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
(3) Tata cara pembinaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam.
Pasal 4
(3) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ditetapkan di :JAKARTA
Pada tanggal : 23 Agustus 1996
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,
TENTANG
PENGALIHAN KEPEMILIKAN SARANA DAN PRASARANA KEPARIWISATAAN
KEPADA NEGARA
MENTERI KEHUTANAN,
MEMUTUSKAN:
4. Sarana dan prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak adalah sarana dan
prasarana kepariwisataan yang didirikan atau dibangun diatas atau melekat
pada kawasan pelestarian alam yang dibebani izin pengusahaan pariwisata
alam.
Pasal 2
Sarana dan Prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang berada dalam
kawasan pelestarian alam yang dibebani izin pengusahaan pariwisata alam
beralih kepemilikannya menjadi milik negara pada saat berakhirnya izin
pengusahaan pariwisata alam.
Pasal 3
Untuk mengetahui jumlah, jenis, dan nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan
prasarana kepariwisataan di dalam kawasan pelestarian alam yang dibebani izin
pengusahaan, diadakan inventarisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan atau Kepala Taman Nasional setempat.
Pasal 4
(2) Petugas yang ditunjuk wajib membuat laporan tertulis kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(2) Biaya pengamanan, pengurusan, dan pengelolaan atas milik negara tersebut
dibeban pada anggaran Departemen Kehutanan.
Pasal 10
Pasal 11