Anda di halaman 1dari 21

MENTERI KEHUTANAN

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN


NOMOR : 446 / Kpts – II / 1996

TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM

MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun


1994 telah ditetapkan ketentuan tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman
Hutan, dan Taman Wisata Alam;

b. bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Pasal 5 ayat


(4), Pasal 6 ayat (3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan
pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994,
maka dipandang perlu menetapkan tata cara permohonan,
pemberian, dan pencabutan izin pengusahaan pariwisata alam,
di zona pemanfaatan taman nasional, lokasi pemanfaatan taman
wisata alam, dan taman hutan raya dengan keputusan Menteri
Kehutanan.

Mengingat : 1. undang-undang Nomor 5 Tahun 1967


2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990
5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994
8. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1993 jo
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1993
9. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993
10. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 441/ Kpts-II/1990
11. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 667/Kpts-II/1993
12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167/Kpts-II/1994

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA CARA


PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Di dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan


tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk
menikmati gejala keunikan dan keindahan alam, di taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam.

2. Pariwisata Alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata


alam, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam serta
usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

3. Pengusahaan Pariwisata Alam adalah suatu kegiatan untuk


menyelenggarakan usaha sarana pariwisata di zona pemanfaatan taman
nasional, taman hutan raya, atau taman wisata alam, berdasarkan rencana
pengelolaan.

4. Zona pemanfaatan taman nasional adalah sebagian dari kawasan taman


nasional yang dijadikan tempat pariwisata alam dan kunjungan wisata.

5. Blok pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman wisata alam, dan
taman hutan raya, yang dijadikan tempat pariwisata alam dan kunjungan
wisata.

6. Rencana Pengelolaan adalah suatu rencana bersifat umum dalam rangka


pengelolaan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
yang disusun oleh Menteri.

7. Rencana karya pengusahaan pariwisata alam adalah suatu rencana


kegiatan untuk mencapai tujuan pengusahaan pariwisata alam di kawasan
yang bersangkutan, yang dibuat oleh pengusaha pariwisata alam yang
didasarkan pada rencana pengelolaan.

8. Izin pengusahaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha


komersial di kawasan pelestarian alam sesuai dengan fungsi kawasan dan
untuk selanjutnya disebut “ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam ”.

9. Tim pertimbangan adalah tim yang secara fungsional ditugaskan untuk


mempelajari dan memberikan saran dan pertimbangan atas permohonan
izin pengusahaan pariwisata alam, kepada Menteri Kehutanan yang
keanggotaannya terdiri dari Sekretaris Jenderal sebagai Ketua dan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dan Direktur Jenderal
Inventarisasi dan Tata Guna Hutan sebagai anggota.

10. Menteri adalah Menteri Kehutanan.


Pasal 2

Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam dapat diajukan oleh :

a. Koperasi;
b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
c. Perusahaan Swasta;
d. Perorangan.

Pasal 3

(1) Kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengusahaan


pariwisata alam adalah sebagian dari zona pemanfaatan taman nasional, blok
pemanfaatan taman hutan raya, dan blok pemanfaatan taman wisata alam.

(2) Penetapan zona pemanfaatan taman nasional, blok pemanfaatan taman hutan
raya dan blok pemanfaatan taman wisata alam dilakukan oleh Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

BAB II
TATA CARA PERMOHONAN IZIN

Pasal 4

(1) Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam diajukan oleh pemohon


kepada Menteri dengan menggunakan formulir yang contohnya merupakan
lampiran dari Keputusan ini.

(2) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan


kepada :

a. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi;


b. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan;
c. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;
d. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi setempat;
e. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi setempat;
f. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi
Propinsi setempat.

(3) Tembusan surat permohonan kepada Menteri Pariwisata, Pos dan


Telekomunikasi, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi setempat disampaikan dengan surat
pengantar tersendiri.

(4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan :

a. Usulan Proyek (Project Proposal);


b. Peta areal yang dimohon dengan skala 1 : 25.000;
c. Data perusahaan (Company Profile) seperti Akte Pendirian Perusahaan,
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Deposito Bank.

(5) Permohonan tersebut harus segera dilengkapi dengan rekomendasi dari :

a. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi:


b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setempat;
c. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat.

Pasal 5

Sekretaris Jenderal sebagai Ketua Tim Pertimbangan mengkoordinasikan saran


dan pertimbangan dari Anggota Tim tetang permohonan izin tersebut dan
menyampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterimanya permohonan izin tersebut secara lengkap.

BAB III
TATA CARA PEMBERIAN IZIN

Pasal 6

Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dimaksud dalam pasal 5,


menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata
alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan.

Pasal 7

Dalam hal Menteri memberikan persetujuan untuk proses lebih lanjut atas
permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut, Ketua Tim Pertimbangan
selambat-lambatnya dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima persetujuan
Menteri, memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun rencana kerja
pengusahaan pariwisata alam yang dilengkapi dengan rencana tapak (site plan)
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Pasal 8

(1) Penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam serta


kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan atas biaya
pemohon, dan harus diselesaikan serta diserahkan kepada Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam selambat-lambatnya dalam waktu
90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dikeluarkannya surat pemberitahuan dari
Ketua Tim Pertimbangan.

(2) Dalam penilaian Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam tersebut


apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan lapangan oleh instansi
struktural yang terkait.
(3) Hasil penilaian Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam dan AMDAL
oleh Ketua Komisi Pusat AMDAL Departemen Kehutanan disampaikan oleh
Direktur Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Menteri, selambat-
lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya
Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam dari pemohon.

Pasal 9

(1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3),
Menteri memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya hasil penilaian tersebut.

(2) Dalam hal Menteri menyetujuinya, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam, dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah persetujuan
diterima, menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Pungutan Usaha (SPPPU)
sebagai pengganti nilai intrinsik atas areal yang diusahakan.

Pasal 10

(1) Pungutan usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) harus dilunasi
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja setelah diterimanya Surat
Perintah Pembayaran Pungutan Usaha Pariwisata Alam (SPPPUPA).

(2) Ketentuan mengenai besarnya dan tata cara pemungutan pungutan usaha
pariwisata alam diatur tersendiri.

Pasal 11

(1) Berdasarkan Surat Perintah Pembayaran Pungutan Usaha Pariwisata Alam,


Sekretaris Jenderal menyiapkan konsep Keputusan Menteri tentang pemberian
Izin Pengusahaan Pariwisata Alam dan menyampaikan kepada Menteri dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja, sejak lunasnya pungutan
usaha tersebut.

(2) Konsep Keputusan Menteri tersebut dilengkapi dengan peta areal kerja yang
disiapkan oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan.

(3) Menteri menerbitkan Keputusan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam tersebut


selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya
konsep keputusan dari Sekretaris Jenderal.
BAB IV
KEWAJIBAN PEMOHON DAN PENGUSAHA

Pasal 12

(1) Apabila permohonan pengusahaan disetujui dengan persetujuan prinsip,


maka pemohon dibebani kewajiban :

a. Menyusun dan menyampaikan Rencana Karya Pengusahaan dilengkapi


dengan rencana tapak kepada Menteri Kehutanan;
b. Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
c. Mengukur dan memasang tanda batas atas kawasan hutan yang akan
dibebani izin pengusuhaan atas namanya;
d. Membayar pungutan usaha.

(2) Apabila permohonan pengusahaan disetujui dengan keputusan izin


pengusahaan pariwisata alam, maka pengusaha/pemegang izin pengusahaan
dibebani kewajiban :

a. Melaksanakan kegiatan secara nyata di lapangan dalam waktu 12 (dua


belas) bulan sejak perizinan diberikan;
b. Membangun sarana dan prasarana kepariwisataan dan melakukan
pengelolaan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan;
c. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan jenis usaha;
d. Mengikutsertakan dan mempekerjakan masyarakat di tempat usahanya;
e. Merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan usaha;
f. Membayar iuran usaha;
g. Menjaga keamanan dan ketertiban pengunjung sesuai dengan jenis
usahanya dengan membuat tanda-tanda larangan atau petunjuk pada
tempat tertentu;
h. Membuat dan menyerahkan laporan berkala atas kegiatan usahanya
kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setempat;
i. Memberikan kemudahan kepada aparat kehutanan baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah pada saat melakukan pengawasan dan pembinaan
di lapangan.

BAB V
PERPANJANGAN IZIN PENGUSAHAAN

Pasal 13

Izin Pengusahaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun,
terhitung sejak tanggal izin pengusahaan ditanda tangani oleh Menteri dan dapat
diperpanjang.
Pasal 14

(1) Permohonan perpanjangan izin pengusahaan diajukan kepada Direktur


Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dan tembusannya
disampaikan kepada Menteri, Sekretaris Jenderal, Gubernur KDH Tingkat I,
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Kantor Wilayah Departemen
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.

(2) Permohonan perpanjangan izin pengusahaan sebagaimana yang dimaksud


dalam ayat (1), baru dapat dipertimbangkan setelah diadakan evaluasi atas
pelaksanaan pengusahaan pariwisata alam.

(3) Biaya untuk melaksanakan kegiatan evaluasi sebagaimana yang dimaksud


dalam ayat (2) dibebankan kepada pemohon.

(4) Perpanjangan izin pengusahaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.

BAB VI
TATA CARA BERAKHIRNYA IZIN USAHA

Pasal 15

Izin pengusahaan pariwisata alam berakhir karena :

a. Jangka yang diberikan telah berakhir;


b. Dicabut oleh Menteri sebagai sanksi yang dikenakan kepada pengusaha
pariwisata alam;
c. Diserahkan kembali oleh pengusaha pariwisata alam kepada Pemerintah,
sebelum jangka waktu yang diberikan berakhir.

Pasal 16

(1) Jika jangka waktu yang diberikan berakhir maka Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan atau Kepala Taman Nasional setempat menanyakan
kepada pengusaha/pemegang izin apakah izin tersebut akan diperpanjang
atau tidak.

(2) Jika izin diperpanjang, maka tata cara perpanjangannya dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan tentang perpanjangan izin sebagaimana diatur dalam pasal
13.

Pasal 17

Pengalihan kepemilikan atas sarana dan prasarana kepariwisataan baik karena


berakhirnya jangka waktu izin pengusahaan, baik karena diserahkan kembali oleh
pemegang izin maupun karena pencabutan, tata caranya akan diatur tersendiri.
BAB VII
TATA CARA PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN

Pasal 18

Pencabutan izin pengusahaan dilakukan berdasarkan laporan hasil pemantauan


dan evaluasi dan setelah diperingatkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan atau Kepala Taman Nasional setempat.

Pasal 19

(1) Peringatan-peringatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 diberikan


sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka masing-masing 30 (tiga
puluh) hari, dengan tembusan disampaikan kepada Menteri, Sekretaris
Jenderal, dan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

(2) Pemegang izin pengusahaan yang mendapat peringatan tersebut wajib


menanggapinya.

(3) Jika alasan-alasan yang dikemukanan dalam tanggapan tersebut tidak dapat
diterima, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan atau Kepala
Taman Nasional mengusulkan pencabutan izin pengusahaan tersebut kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

(4) Berdasarkan usul tersebut maka Menteri menetapkan keputusan tentang


pencabutan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut.

(5) Menteri dapat meminta pertimbangan dari pejabat Eselon I yang lain atau
memerintahkan diadakannya peninjauan lapangan sebelum menetapkan
keputusan tentang pencabutan tersebut.

Pasal 20

Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan atau Kepala Taman Nasional


sebagai akibat dari pencabutan izin tersebut, mengatur dan menyelesaikan lebih
lanjut tentang :

a. Pemenuhan kewajiban pemegang izin pengusahaan terhadap Pemerintah


yang belum tuntas;
b. Pemanfaatan sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemegang izin di
dalam kawasan plestarian alam hutan yang dibebani izin tersebut.
BAB VIII
PENGENAAN SANKSI

Pasal 21

Sanksi dapat dikenakan baik terhadap pemohon maupun terhadap pengusaha


atau pemegang izin pengusahaan pariwisata alam.

Pasal 22

(1) Pemohon dikenakan sanksi karena tidak memenuhi kewajiban yang


dibebankan padanya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, yaitu
kewajiban :

a. Menyusun rencana karya pengusahaan yang dilampiri Rencana Tapak dan


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Memberikan tanda batas pada kawasan hutan yang dibebani izin
pengusahaan;
c. Membayar Pungutan Usaha Pariwisata Alam (PUPA).

(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri berupa pencabutan atau pembatalan persetujuan prinsip yang telah
diberikan.

Pasal 23

(1) Pengusaha atau pemegang izin pengusahaan dikenakan sanksi karena tidak
memenuhi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam dan Pasal 12
dalam keputusan ini.

(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri berupa :

a. Penghentian pelayanan adminitrasi;


b. Penghentian kegiatan pengusahaan pariwisata alam untuk jangka waktu
tertentu;
c. Pencabutan izin pengusahaan pariwisata alam.

Pasal 24

Tembusan surat pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dan


pasal 23 disampaikan kepada :

a. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi;


b. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan;
c. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;
d. Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan;
e. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi setempat;
f. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi setempat;
g. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi
setempat.

Pasal 25

(1) Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam yang terkena sanksi dapat
mengajukan keberatan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya saknsi kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam.

(2) Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam melakukan


penilaian terhadap keberatan pengenaan sanksi yang diajukan oleh pemegang
izin pengusahaan pariwisata alam tersebut.
(3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam mengusulkan kepada
Menteri untuk mengubah atau memperkuat persetujuan atau keputusan sanksi
tersebut.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor


687/Kpts-II/1989 tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
688/Kpts-II/1989 tentang tata cara Permohonan Izin Pengusahaan Hutan Wisata,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut, dinyatakan tidak
berlaku lagi.

BAB X
KETENTUAN PRINSIP

Pasal 27

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di :JAKARTA
Pada tanggal : 23 Agustus 1996
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,

YB. WIDODO SUTOYO, SH., MM. DJAMALUDIN SURYOHADIKUSUMO


NIP. 080023934
Salinan Keputusan ini
Disampaikan kepada Yth. :

1. Sdr. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.


2. Sdr. Para Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan.
3. Sdr. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia.
4. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi di Seluruh
Indonesia.
5. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi di Seluruh Indonesia.
6. Sdr. Para Kepala Taman Nasional di Seluruh Indonesia.
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : 446/Kpts-II/1996
TANGGAL : 23 Agustus 1996

Contoh bentuk surat


Permohonan izin pengusahaan

Kop Surat / Kop Perusahaan

Jakarta,
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Izin Pengusahaan Kapada Yth. :
Pariwisata Alam Bapak Menteri Kehutanan

Dengan hormat,

Bersama ini kami mengajukan permohonan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam


yang terletak di :

a. Propinsi :
b. Lokasi :
c. Luas Areal :

Sebagai Kelengkapan permohonan, kami lampirkan :


1. Rekomendasi dari Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.
2. Rekomendasi dari Gubernur KDH Tk. I;
3. Usulan Proyek (penjelasan tentang maksud dan rencana kegiatan
pengusahaan taman buru).
4. Pertimbangan teknis dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Propinsi.
5. Peta Areal yang dimohon dengan skala ........:...........
6. Kelengkapan bonafiditas perusahaan (akte pendirian, NPWP, Referensi Bank,
dan sebagainya)

Sebagai bahan pertimbangan Bapak Menteri Kehutanan atas permohonan kami.

Atas perhatian serta pertimbangan Bapak diucapkan terima kasih.

Hormat kami,

-cap perusahaan
Nama
Jabatan dalam perusahaan

Tembusan kepada Yth. :

1. Bapak Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.


2. Bapak Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.
3. Bapak Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
4. Bapak Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan.
5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi .....................
6. Bapak Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi .......................
7. Bapak Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi Propinsi.........................
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN


Nomor : 447/Kpts-II/1996

TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM

MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 telah


ditetapkan ketentuan tentang Pengusahaan Pariwisata Alam;

b. bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Pasal 13 ayat


(4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka
dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam dengan Keputusan
Menteri Kehutanan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967;


2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990;
5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994;
8. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 jo
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1993;
9. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993;
10. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1993.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBINAAN


DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM.
KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi pemegang


izin pengusahaan pariwisata alam yang menyangkut pengaturan,
bimbingan, pengusulan dan teguran agar supaya dapat melaksanakan
usahanya sesuai tujuan yang ditetapkan.

2. Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap semua


kegiatan pengusahaan pariwisata alam dengan tujuan agar dapat berjalan
sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku.

3. Menteri adalah Menteri Kehutanan.

Pasal 2

Dalam rangka peningkatan kualitas pengusahaan pariwisata alam dan agar


pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan maka perlu diadakan
pembinaan dan pengawasan pengusahaan pariwisata alam oleh Pemerintah.

Pasal 3

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara


fungsional oleh Tim yang diketuai oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi dengan anggota Kepala Taman Nasional, Kepala Balai
Konservasi Sumber Daya Alam dan Kepala Sub Balai Konservasi Sumber
Daya Alam setempat.

(2) Tugas tim pembinaan adalah :


a. Melakukan bimbingan, penyuluhan dan teguran kepada pemegang izin
pengusahaan pariwisata alam.
b. Melaporkan hasil kegiatan tim kepada Menteri, melalui Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

(3) Tata cara pembinaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam.

Pasal 4

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan secara


fungsional oleh tim yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam dengan anggota Sekretaris Jenderal Departemen
Kehutanan dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
setempat.
(2) Tugas tim pengawasan adalah :
a. Mengadakan kegiatan pemeriksaan langsung di lapangan.
b. Mengadakan penelitian berdasarkan laporan dari tim pembinaan dan
pengusaha/pemegang izin pengusahaan pariwisata alam yang
bersangkutan.
c. Melaporkan hasil kegiatan pengawasan kepada Menteri.

(3) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Pasal 5

Tindak-lanjut dari hasil kegiatan pengawasan dapat berupa :


a. Melanjutkan dan meningkatkan kegiatan pembinaan atau memperbaiki tata
cara pembinaan.
b. Mengenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Menyerahkan masalahnya kepada pejabat penyidik yang berwenang.

Pasal 6

Pelaksanaan tindak-lanjut sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 merupakan


kewenangan Menteri.

Pasal 7

Dengan ditetapkannya keputusan ini maka peraturan perundang-undangan yang


bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di :JAKARTA
Pada tanggal : 23 Agustus 1996
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,

YB. WIDODO SUTOYO, SH., MM. DJAMALUDIN SURYOHADIKUSUMO


NIP. 080023934

Salinan Keputusan ini


Disampaikan kepada Yth. :

1. Sdr. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.


2. Sdr. Para Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan.
3. Sdr. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia.
4. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi di Seluruh
Indonesia.
5. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi di Seluruh Indonesia.
6. Sdr. Para Kepala Taman Nasional di Seluruh Indonesia.
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN


NOMOR : 448 / Kpts – II / 1996

TENTANG
PENGALIHAN KEPEMILIKAN SARANA DAN PRASARANA KEPARIWISATAAN
KEPADA NEGARA

MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun


1994 telah ditetapkan ketentuan tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman
Hutan, dan Taman Wisata Alam;

b. bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Pasal 15 ayat


(2), Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka
dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Pengalihan
Kepemilikan Sarana dan Prasarana Kepariwisataan Kepada
Negara dengan keputusan Menteri Kehutanan.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967


2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1972
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994
7. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 jo
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1993
8. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993
9. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 667/Kpts-II/1993
10. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167/Kpts-II/1994

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENGALIHAN


KEPEMILIKAN SARANA DAN PRASARANA KEPARIWISATAAN
KEPADA NEGARA.
Pasal 1

Di dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan untuk


menyelenggarakan sarana pariwisata di zona pemanfaatan taman nasional,
taman hutan raya, atau taman wisata alam, berdasarkan rencana pengelolaan.

2. Sarana kepariwisataan adalah bangunan yang diperuntukkan guna memenuhi


kebutuhan kegiatan pariwisata alam.

3. Prasarana kepariwisataan adalah segala sesuatu yang keberadaannya


diperuntukan sebagai penunjang kegiatan periwisata alam, sehingga
pelayanan dan kemudahan dapat dicapai.

4. Sarana dan prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak adalah sarana dan
prasarana kepariwisataan yang didirikan atau dibangun diatas atau melekat
pada kawasan pelestarian alam yang dibebani izin pengusahaan pariwisata
alam.

5. Menteri adalah Menteri Kehutanan.

Pasal 2

Sarana dan Prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang berada dalam
kawasan pelestarian alam yang dibebani izin pengusahaan pariwisata alam
beralih kepemilikannya menjadi milik negara pada saat berakhirnya izin
pengusahaan pariwisata alam.

Pasal 3

Untuk mengetahui jumlah, jenis, dan nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan
prasarana kepariwisataan di dalam kawasan pelestarian alam yang dibebani izin
pengusahaan, diadakan inventarisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan atau Kepala Taman Nasional setempat.

Pasal 4

(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3,


diadakanlah pengalihan kepemilikan atas sarana dan prasarana
kepariwisataan yang tidak bergerak dari pengusahaan dan pemilikan
pengusaha/pemegang izin pengusahaan kepada negara melalui Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan Setempat.

(2) Pengalihan kepemilikan tersebut dilakukan dengan menandatangani Berita


Acara Pengalihan Kepemilikan oleh Pengusaha/Pemegang Izin Pengusahaan
dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat.
Pasal 5
(1) Pengambilan sarana dan prasarana yang bergerak dari kawasan pelestarian
alam yang dibebani izin pengusahaan pariwisata alam harus dengan
sepengetahuan dan diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan.

(2) Petugas yang ditunjuk wajib membuat laporan tertulis kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan.

Pasal 6

Pelaksanaan pengalihan kepemilikan sarana dan prasarana yang tidak bergerak


termasuk penanda tanganan Berita Acara, diawasi oleh Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Pasal 7

Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan melaporkan tentang pengalihan


kepemilikan sarana dan prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak tersebut
kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak penanda tanganan Berita
Acara Pengalihan Kepemilikan.

Pasal 8

Menteri Kehutanan berdasarkan laporan Kepala Kantor Wilayah Departemen


Kehutanan melaporkan kepada Menteri Keuangan tentang pengalihan
kepemilikan sarana dan prasarana kepariwisataan tersebut selambat-lambatnya
dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima laporan dari Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan.

Pasal 9

(1) Pengamanan, pengurusan dan pengelolaan atas sarana dan prasarana


kepariwisataan yang telah dialihkan kepemilikannya menjadi milik negara
tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan.

(2) Biaya pengamanan, pengurusan, dan pengelolaan atas milik negara tersebut
dibeban pada anggaran Departemen Kehutanan.

Pasal 10

Pemanfaatan sarana dan prasarana kepariwisataan yang telah beralih


kepemilikannya menjadi milik negara akan diatur dalam Keputusan Menteri
Kehutanan tersendiri.

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di :JAKARTA
Pada tanggal : 23 Agustus 1996
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,

YB. WIDODO SUTOYO, SH., MM. DJAMALUDIN SURYOHADIKUSUMO


NIP. 080023934

Salinan Keputusan ini


Disampaikan kepada Yth. :

1. Sdr. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.


2. Sdr. Para Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan.
3. Sdr. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia.
4. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi di Seluruh
Indonesia.
5. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi di Seluruh Indonesia.
6. Sdr. Para Kepala Taman Nasional di Seluruh Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai