Anda di halaman 1dari 4

JAGAL ABILAWA Jagalabilawa (muka dan sekujur badannya hitam) adalah nama samaran Raden Bratasena, yakni nama

Wrekodara, pada waktu ia masih muda. Sebabnya Bratasena bersamar diri ialah oleh karena Pendawa sedang dirundung malang sebagai akibat daripada perbuatan Korawa.

Bratasena dan saudara-saudara Pendawa lainnya pergi berlindung di negara Wirata. Mereka menghamba pada raja Wirata. Bratasena dipekerjakan sebagai jagal dan mendapat sebutan Jagalabilawa. Pada waktu itu di Wirata, atas usaha putra raja Raden Rajamala, diadakan perang tanding. Jagalabilawa memasuki gelanggang perang tanding dan dapat mengalahkan Rajamala. Pendawa terbebas dari sengsara dan kelima saudara itu mengabdi di Wirata. Bentuk dan pakaian Jagalabilawa tak berbeda dengan Bratasena, hanya rambutnya terurai dan berbentuk gimbal. Sebelum bernama Raden Bratasena putra kedua Pendawa sedang mengiring ibunya, Dewi Kunti, dan di jalan bertemu dengan seekor gajah, bernama Gajah Sena, yang mempunyai kesaktian angin. Karena berselisih paham terjadilah perang antara putra Pendawa dan Gajah Sena. Gajah Sena kalah dan ia rnenyerahkan kesaktian anginnya. Gajah Sena mengaku saudara pada Bratasena, oleh karena mereka bertunggal bayu (angin). Oleh Gajah Sena nama Sena diserahan pula. Maka sejak itu terjadilah nama Bratasena. Pada suatu ketika kelima pendawa pengiring ibu mereka yang sedang darundung malang itu di dalam perjalanan. Oleh karena merasa lapar, maka Bratasena dan Pamade pergi mencari nasi. Kedua-duanya berhasil mendapat nasi. Bratasena karena dapat menolong orang yang akan dimakan raksasa dan Pamade karena dapat mempertemukan pengantin laki-1aki dan perempuan yang tak mau saling mendekati. Nasi buah tangan Bratasena yang mereka santap. Oleb karena mereka sangat laparnya, makan mereka sangat tergesagesa dan tercekiklah mereka semua. Mereka kemudian menemukan air minum di kolam yang sangat jernih, tetapi karena perbuatan Hyang Brama airnya berbisa dan matilah mereka semua. Kematian kelima Pendawa itu menjadikan Semar sangat murka. Ia naik ke Suralaya dan berkat kemarahan Semar, dapatlah kelima Pendawa itu dihidupkan kembali. Bratasena seperti juga Wrekodara hitam seluruh badannya dan wayang warna demikian dimainkan pada waktu menjelang pagi. Wayang-wayang lainnya yang bercat hitam ialah Prabu Kresna, Semar, Gareng, Petruk dan cara mengeluarkan mereka juga seperti halnya dengan Bratasena.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka 1982

CAKIL atau Gendirpenjalin, berwujud raksasa dengan gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh Cakil hanya dikenal dalam ceruita pedalangan Jawa dan selalu dimunculkan dalam perang kembang, perang antara satria melawan raksasa yang merupakan lambang nafsu angkara murka. Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah dan pandai bicara. Ia berwatak kejam, serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri. Cakil selalu ada dan hidup di setiap negara raksasa. Cakil merupakan raksasa hutan (selalu tinggal di hutan) dengan tugas merampok para satria atau merusak dan mengganggu ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan. Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia dan anak buahnya merupakan lambang nafsu angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.

RAKSASA CAKIL Raksasa Cakil digunakan dalam lakon apapun juga. Cakil bukan nama sesungguhnya dan hanya nama ejekan, oleh karena raksasanya bertaring di ujung mulut seperti pasak (Jawa: cakil). Adapun namanya di dalam lakon, dalanglah yang menentukannya. Ia mati perang dengan ksatria karena ditusuk dengan kerisnya sendiri yang direbut oleh ksatria itu dan digunakan untuk menusuknya. Raksasa Cakil suaranya kemeng (kecil) dan bicaranya menggagap. Kalau ia bersamasama dengan kawan-kawan raksasa melaksanakan perintah penting raja, dengan kata-kata ia banyak menampakkan keberaniannya dan pada waktu terjadi perang, dialah yang pertama-tama maju, tapi kalah dan kalau ia kemudian minta bantuan, maju perang lagilah ia untuk akhirnya bersama-sama dengan kawan-kawannya mati juga. Ada peribahasa orang main kartu, di mana orang, seperti halnya juga dengan Cakil, selalu juga akan kalah. Wayang kulit Cakil tak seberapa menarik, tetapi di dalam wayang wong (orang) Cakil merupakan sripanggung, apalagi baik tariannya, sebab tari Cakil adalah campuran antara tarian dan pencak silat dengan diiringi irama gamelan. Cakil bermata kriyipan (berkejap-kejap), berhidung bentuk haluan perahu mendongak, bergigi dan bertaring di hadapan mulut, hingga melewati bibir atas. Bersanggul bentuk keling dengan dikembangi. Bersunting kembang kluwih panjang, berkalung ulur-ulur. Berkeris dua, yang sebuah bentuk sarung ladrang, ialah sarung keris bentuk panjang dan runcing, diselipkan di pinggang belakang. Dan yang sebuah lagi gayaman, ialah sarung keris yang serupa buah gayam (di Jakarta disehut buah gatet). Pemakaian keris ini tidak seperti biasa, melainkan diselipkan secara dibalikkan yang disebut kewalan. Suatu cara memakai keris yang dilarang menurut undang-undang Kraton, karena menunjukkan suatu kesiapsiagaan untuk menghunus keris. Untuk pemakaian keris yang sehenarnya, lihatlah gambar Patih Seberang , Keris yang bentuk gayaman dimasukkan ke dalam sarung dan kain yang nampak tergantung di paha kiri dan biasa disebut dianggar, tersedia sebagai cadangan.Raksasa Cakil juga digunakan untuk sengkalan perhitungan angka tahun dan berbunyi: Tangan yaksa tataning janma (1552) karangan Susuhan Nyakrawati wafat di Krapyak. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982

Anda mungkin juga menyukai