Anda di halaman 1dari 8

SANG HYANG AJI SAKA

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja
bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja
memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat
yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik
hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua
orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata
pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata
Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di
kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama
tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan
budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat
setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan
penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka
karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk
disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang
sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah
mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.
Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang
Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian
hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke
istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan
Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur
dan sejahtera.

Ha na ca ra ka : Ada utusan

Da ta sa wa la : Saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga : Sama-sama mati
Aksara Jawa
HA : hurip : hidup
NA : legeno : telanjang
CA : cipta : pemikiran, ide ataupun kreatifitas
RA : rasa : perasaan, qolbu, suara hati atau hati nurani
KA : karya : bekerja atau pekerjaan atau di lahirkan.
Manusia " dihidupkan " dalam keadaan telanjang akan tetapi manusia memiliki cipta rasa
karsa, otak yang mengkreasi cipta', hati yang mempunyai fungsi kontrol ( dalam bentuk rasa )
serta raga / tubuh / badan yang bertindak sebagai pelaksana.
DA : dada
TA : tata : atur
SA : saka : tiang penyangga
WA : weruh : melihat
LA : lakuning : ( makna ) kehidupan, urip.
Dengarkanlah suara hati nurani yang ada di dalam dada, agar bisa berdiri tegak seperti halnya
tiang penyangga ( saka ) sehingga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
PADHAJAYANYA : sama kuat pada dasarnya / awalnya semua manusia mempunyai dua
potensi yang sama ( kuat ), yaitu potensi melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan
keburukan.
MA : sukma : ruh, nyawa
GA : raga : badan, jasmani
BA-THA : bathang, mayat
NGA : lunga, pergi
meskipun dengan kehebatan cipta, rasa, karsa, entah kita baik atau jahat akhirnya ruh / nyawa
pasti suatu saat akan kembali ke penciptanya; sehinga manusia harus bisa mempersiapkan
diri.
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada utusan yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang
dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan
kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data saatnya ( dipanggil
) tidak boleh sawala mengelak manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia
melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi
hidup ( makhluk ). Maksdunya padha sama atau sesuai, jumbuh, cocok tunggal batin
yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu menang,
unggul sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan sekedar menang atau menang
tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat,
meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Aji Saka & Ha Na Ca Ra Ka
Huruf (aksara) Jawa terdiri dari duapuluh yaitu ; ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-yanya-ma-ga-ba-tha-nga (dalam ucapan/sebutan: ho-no-ro-ko-do-to-so-wo-lo-po-dho-jo-yonyo-mo-go-bo-tho-ngo), yang didalamnya ternyata mengandung arti menceritakan sebuah
legenda, yaitu tentang seorang pahlawan dalam mitologi yang datang dari Makkah sedang
berkelana ke berbagai negara, yang kemudian diketahui bernama Ajisaka.
Ajisaka datang di Srilangka pantai India Selatan kemudian di Sokadana (mungkin yang
dimaksud adalah Sumatera) dan akhirnya tiba suatu tempat di Pulau Jawa yang waktu itu
masih dihuni oleh raksasa-raksasa. Pertamakali, Ajisaka menemukan sejenis gandum yang
dinamakan jawawut sebagai makanan pokok penduduk di tempat itu, yang kemudian ia
memberi nama pulau itu menjadi Nusa Jawa.
Tentang Aji Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah
Ajisakadalam versi yang berbeda. Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dan Hari Jumanto, S.S
dalam bukuAsal Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang
disusun berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat Pustaka Raja Purwa karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, juga diambil dari kisah-kisah Babad Tanah Jawi. Dr.
Purwadi,M.Hum dan Hari Jumanto, S.S menyebutkan, Ajisaka adalah orang yang pertama
menginjakkan kaki di tanah Jawa dengan nama Prabu Isaka atau Prabu Ajisaka.
Prabu Isaka atau Ajisaka adalah putra dari Prabu Iwasaka atau Bathara Anggajali adalah putra
dari Bathara Ramayadi atau Empu Ramadi adalah putra Sang Hyang Ramaprawa, anak Sang
Hyang Hening putra Sang Hyang Tunggal. Prabu Ajisaka diperintahkan untuk berangkat
melakukan tapa brata (meditasi) ke sebuah pulau yang sangat panjang. Kata panjang dalam
bahasa Jawa artinya dawa, yang oleh Sang Hyang Guru disebut jawa atau pulau jawa.
Di dalam perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh sampai Bali
masih bersatu. Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan bermukim di Gunung
Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara Probolinggo dan Besuki
(Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala. Aji Saka kemudian menemukan dua
Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka melihat tangan mereka masing-masing
menggenggam daun lontar yang berisi tulisan, di tangan raksasa yang satu bertuliskan
huruf purwa (kuno) dan satunya lagi huruf Thai. Setelah dua tulisan tersebut disatukannya,
Ajisaka menciptakan Abjad (Aksara) Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, sebagaimana
telah disebutkan di muka.
Tidak sekedar menciptakan aksara, akan tetapi Ajisaka juga memberikan arti dalam setiap
lajur aksara Jawa tersebut, yaitu: Ha-na-ca-ra-ka (ho-no-co-ro-ko) = ada dua utusan (dua
raksasa), Da-ta-sa-wa-la (do-to-so-wo-lo) = saling bertengkar/berkelahi, Pa-dha-ja-ya-nya
(po-dho-jo-yo-nyo) = sama-sama kuat dan sakti, Ma-ga-ba-tha-nga (mo-go-bo-tho-ngo) =
akhirnya mereka sampyuh (mati bersama).
Dalam versi yang berbeda, di dalam buku Nawang Sari (Fajar Pustaka
Baru:Yogyakarta:2002) DR. Damardjati Supadjar mengatakan mengatakan terjadi salah
kaprah pemahaman kandungan makna dari honocoroko seperti tersebut diatas. Damardjati

Supadjar mengutip ungkapan Ki Sarodjo bagi perasaan saya rangkaian huruf di dalam
carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan suatu ungkapan filosofis
yang berlaku universal dan sangat dalam artinya dan membawa kita tunduk dan taqwa kepada
Allah.
Menurut Ki Sarodjo, yang benar adalah: honocoroko, (hono= ada) (coroko= Cipto-RosoKarso) sehingga honocoroko = ada cipta-rasa dan karsa, dotosowolo,(doto = datan atau
tanpa) (sowolo= suwolo atau menentang) sehingga dotosowolo = tidak menentang atau tidak
keberatan atau pasrah kemudian podhojoyonyo (podho = sama sama), (joyonyo =
sukses/berjaya) sehingga podhojoyonyo = sama sama sukses) dan mogobothongo ( mogo =
meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi, (bothongo = bathiniyah = spiritualitas) sehingga
mogobhotongo = meletakkan potensi taqwa dan amal di dalam hati sanubari serta disimpan
pada tempat yang tinggi.
Artinya, derajat seseorang muslim/muslimat bukan terletak pada kekuasaannya,
kepandaiannya, kekayaannya, kegagahannya, kekuatannya, akan tetapi terketak pada
ketaqwaannya. Pada dekade berikutnya, oleh para ahli kejawen dan kebatinan Jawa, aksara
Jawa hanacaraka ini diberi energi magic yang diyakini mereka dapat dijadikan daya
penolak berbagai hal-hal yang buruk dan membahayakan manusia, bernama ajian
carakabalik, yaitu dengan cara dibalik (membaca dari huruf terakhir) nga-tha-ba-ga-ma,
nya-ya-ja-dha-pa, la-wa-sa-ta-da, ka-ra-ca-na-ha.

Tentang Jawa
Sebelum dihuni manusia, bumi Jawa telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk
halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu, turun ke
arcapada lalu kawin dengan Pratiwi, dewinya bumi.
Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia
belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan
dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian
melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan
sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan
pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara,
yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta
Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut
Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa.
Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal

dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau
Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap
Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat,
oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar
terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.
Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya.
Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak
terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimulamula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan
manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga
kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.
Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang
lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di
tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM, tetapi
mulai agak ramai sejak 3.000 SM.
Sesudah kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di
Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewowarman atau Dewo Eso, yang bergelar Sang
Hyang Prabu Wismudewo. Raja ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri Begawan
Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan Lembu Suro atau Kesowosidi di Padepokan
Garbo Pitu (penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang
sempurna), juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya bernama
Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsung dari batinya, maka
itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal
dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh
golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad
Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kawin dengan Pratiwi, dewi bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya
urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di
bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga.
Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum
(Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu
terpesona karenanya.

CERITA LUBDAKA
Demikianlah yang dilukiskan dalam mithologi Lubdaka, Lubdaka adalah seorang
pemburu binatang di hutan, pekerjaannya adalah memburu dan membunuh binatang yang
dagingnya dimakan atau dijual. Begitulah pekerjaannya saban hari, hingga pada suatu hari dia
kembali ke hutan untuk berburu. Namun sayang pada hari itu nasibnya lagi sial dan apes.
Karena tidak ada seekor binatang pun yang didapatkannya. Malang baginya karena ingin
mendapatkan binatang buruan, hinga dia lupa dengan waktu. Tak terasa hari telah menjelang
senja dan sebentar lagi malampun tiba.
Dia bermaksud untuk pulang, namun karena sudah keburu malam dan haripun gelap
gulita, akhirnya Lubdhaka memutuskan untuk menginap saja dihutan. Karena takut disergap
binatang buas, maka dia berusaha mencari tempat ketinggian diatas pohon.
Tak terasa kakinya melangkah pada sebuah pohon Bila. Yang mana dibawahnya
terdapat air telaga yang bening, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Dia naik keatas pohon
Bila kemudian bersandar. Untuk menghilangkan kantuknya dia memetik daun-daun Bila.
Karena jika ia tertidur diatas pohon tentu akan jatuh. Setangkai demi setangkai daun
Bila itu dipetiknya dan dijatuhkannya kebawah. Sehingga mengenai Linggayang ada
dibawahnya.
Mungkin Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa pada hari itu adalah malam
Siwartri di mana pada hari itu Siwa sedang beryoga. Sambil memetik daun Bila, dia mulai
menyesali segala perbuatannya di masa-masa yang lampau.
Di sana kemudian dia berjanji dalam hatinya untuk menghentikan pekerjaannya
sebagai seorang pemburu. Setelah begadang semalam suntuk pagi pun tiba, maka dia mulai
berkemas-kemas untuk pulang.
Sejak hari itu dia berhenti beruru dan beralih profesi sebagai petani. Namun setelah
itu dia mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian dikisahkan arwah
Lubdaka melayang-layang diangkasa, tidak tahu jalan harus kemana. Selanjutnya datanglah
pasukan Cikrabala membawanya pergi hendak dimasukkan kekawah Candragomuka yang
berada di Neraka.
Pada saat itulah Dewa Siwa datang dan mencegat pasukan Cikrabala. Terjadi dialog
yang sengit antara pasukan Cikrabala dengan Dewa Siwa. Pasukan Cikrabala bersikeras
hendak membawa arwah Lubdaka ke Neraka. Karena dimasa hidupnya dia sering melakukan
pembunuhan terhadap binatang hutan.
Namun Dewa Siwa menjelaskan bahwa Lubdaka sudah membuat penebusan dosa
pada malam Siwartri, yaitu begadang semalam suntuk disertai dengan penyesalan akan
dosa-dosanya di masa lampau. Sehingga dengan demikian dia berhak mendapatkan
pengampunan. Maka demikianlah, singkat cerita Lubdaka dibawa ke Siwa Loka.

Pemutaran Giri Mandara dan munculnya Tirta Amerta


Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa, detya dan asura (rakshasa) mengadakan
pertemuan di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu
air suci yang jika diminum dapat membuat hidup abadi. Itulah sebabnya para Dewa dan
Asyura berlomba-lomba untuk mendapatkan Tirta Amerta tersebut.
Sang Hyang Nryana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut,
aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab di dasar lautan itulah terdapat tirta amerta. Maka
dari itu, carilah di sana!"
Setelah
mendengar
perintah Sang
Hyang
Nryana,
berangkatlah
para Dewa dan asura menuju ke laut Ksera. Karena laut Ksera sedemikian luasnya dan sangat
dalam, maka untuk mendapatkan tirta amerta adalah dengan cara mengaduk lautan tersebut.
Kebetulan, tidak jauh dari laut tersebut, yaitu di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), terdapat
sebuah gunung bernamaGunung Mandara (Mandaragiri), tingginya sebelas ribu yojana.
Gunung tersebut dicabut olehSang Anantabhoga, beserta dengan segala isinya. Naga
Wasuki kemudian melilitkan tubuhnya ke lereng gunung tersebut, sebagai tali pengikat. Para
Dewa bertugas memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang
kepalanya. Dewa Indra bertugas menduduki puncaknya, agar gunung tersebut tidak
melambung atau terangkat lagi ke atas.
Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan ke laut Ksera,
sebagai
tongkat
pengaduk
lautan
tersebut.
Seekor
kura-kura
raksasa (Kurma) bernama Akupa yang
tidak
lain
adalah awatara (penjelmaan) kedua
dewa Wisnu dan saat itu sedang mengapung di lautan Kserasagara atau Kseranawa (lautan
susu), diminta membantu untuk menopang dasar gunung Mandara dengan tempurungnya,
agar tidak tenggelam.
Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan
menggunakan Naga Wasuki sebagai tali. Mereka berjuang sedemikian hebatnya, demi
mendapatkan tirta amerta, sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga
Wasuki menyemburkan bisa, membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra
memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan
rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya
membuat lautan Ksera mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.

Timbulnya racun
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat
membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka
lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan).

Setelah sekian lama mengaduk-aduk laut Kesra dengan gunung Mandara yang diputar-putar,
berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
Apsara, kaum bidadari kahyangan
Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
Uccaihsrawa, kuda para Dewa
Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan

Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi


Airawata, kendaraan Dewa Indra
Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Dewi Sri,
Ardhachandra
Kastubhamani
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa
sudah banyak mendapat bagian, sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian
sedikit pun, maka para asura dan detya ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka.
Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara
dikembalikan ke tempat asalnya, di Sangka Dwipa.

Perebutan Tirta Amerta


Para Dewa ternyata tidak rela bila tirta amerta menjadi milk para Asura dan Detya. Para
Dewa berusaha memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. Akhirnya Dewa Wisnu
mengubah wujudnya menjadi seorang wanita sangat cantik bernama Mohini. Wanita cantik
ini kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Mereka sangat senang dan terpesona
dengan kecantikan wanita jelmaan Dewa Wisnu.
Ketika sang wanita ini minta Tirta Amerta, para Asura dan Detya, tanpa pikir panjang
langsung menyerahkan kendi berisi tirta amerta. Mereka berpikir, bahwa jika sang wanita
yang cantik ini meminum tirta amerta ini, maka wanita ini tidak akan pernah mati dan
menjadi tua, sehingga mereka dapat tetap bersama-sama. Setelah mendapatkan air tersebut,
Mohini langsung pergi sambil berlari membawa tirta amerta dan mengubah wujudnya
kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya, menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran
antara para Dewa dan rakshasa-detya. Pertempuran terjadi sangat lama, karena kedua belah
pihak sama-sama sakti. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata Chakran-ya. Agar
pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata Chakranya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya.
Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit dengan tubuh yang penuh luka. Akhirnya, ada
yang menceburkan diri ke laut dan ada pula yang masuk ke dalam tanah.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka
meminum tirta amerta sehingga memiliki hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan
anakSang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah
wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui
oleh Dewa Adityadan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa
Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat
ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya.
Memang, badan sang rakshasa kemudian mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta
amerta
sudah
menyentuh
tenggorokannya.
Sang
rakshasa
marah
kepada
Dewa Aditya danChandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan

Anda mungkin juga menyukai