Anda di halaman 1dari 19

AKSARA NGLEGENA

AKSARA MURDA
GLADHEN
Ukara ing ngisor iki owahana nganggo aksara jawa
1. Bapak siram
2. ibu dhahar
3. kemah pramuka
4. mangan sate
5. dhahar sukun
GLADHEN NYERAT AKSARA
JAWA
1. Sumi
2. Cumi
2. bakmi
3. opor
4. kupat
5. mete
6. seger
7. gori
8. wedi
9. wedhi
GLADHEN SOAL
1. suci
2. kali
3. cuci
4. kiwi
5. kawi
6. kuli
7. wuku
8. nuli
GLADHEN
1. Pete
2. Sate
3. Sekolah
4. Lemper
5. Lemper
6. Gendheng
7. Gendheng
8. lemper
9. lepet
10. kupat
11. lonthong
GLADHEN
Ing ngarsa sung tuladha

Ing madya mangun karsa

Tut wuri handayani


SEJARAH AKSARA JAWA
Dahulu kala, di sebuah kerajaan Medhangkamulan, bertahtalah seorang raja bernama
Dewata Cengkar. Atau terkenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar. Seorang raja
yang sangat rakus, bengis, tamak, dan suka memakan daging manusia. Karena
kegemarannya memakan daging manusia, maka secara bergilir rakyatnya pun
dipaksa menyetor upeti berwujud manusia.
Mendengar kebengisan Prabu Dewata Cengkar, seorang pengembara bernama Aji
Saka bermaksud menghentikan kebiasaan sang raja. Aji Saka mempunyai 2 orang
abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya ke
kerajaan Medhangkamulan,­ Aji Saka mengajak Dora, sedangkan Sembada tetap
ditempat karena harus menjaga sebuah pusaka sakti milik Aji Saka. Aji Saka
berpesan kepada Sembada, agar jangan sampai pusaka itu diberikan kepada siapapun
kecuali aku (Aji Saka).
Setelah beberapa waktu, sampailah Aji Saka di kerajaan Medhangkamulan yang
sepi. Rakyat di kerajaan itu takut keluar rumah, karena takut menjadi santapan lezat
sang raja yang bengis. Aji Saka segera menuju istana dan menjumpai sang patih. Dia
berkata kalau dirinya sanggup dan siap dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar.
Tibalah pada hari dimana Aji Saka akan dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar.
Sebelum dimakan, sang prabu selalu mengabulkan 1 permintaan dari calon korban.
Dan Aji Saka dengan tenang meminta tanah seluas syurban kepalanya. Mendengar
permintaan Aji Saka, Prabu Dewata Cengkar hanya tertawa terbahak-bahak,­ dan
langsung menyetujuinya. Maka dibukalah kain syurban penutup kepala Aji Saka.
Aji Saka memegang salah satu ujung syurban, sedangkan yang lain dipegang oleh
Prabu Dewata Cengkar. Aneh, ternyata syurban itu seperti mengembang sehingga
Dewata Cengkar harus berjalan mundur, mundur, dan mundur hingga sampai di tepi
pantai selatan. Begitu Dewata Cengkar sampai di tepi pantai selatan, Aji Saka
dengan cepat mengibaskan syurbannya sehingga membungkus badan Dewata
Cengkar, dan menendangnya hingga terjebur di laut selatan. Tiba-tiba saja tubuh
Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. “Karena engkau suka memakan
daging manusia, maka engkau pantas menjadi buaya, dan tempat yang tepat untuk
seekor buaya adalah di laut” demikian kata Aji Saka.
Sejak saat itu, Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh Aji Saka. Seorng raja yang
arif dan bijaksana. Tiba-tiba Aji Saka teringat akan pusaka saktinya, dan menyuruh
Dora untuk mengambilnya. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka itu,
karena teringat pesan Aji Saka. Maka terjadilah pertarungan yang hebar diantara
Dora dan Sembada. Karena memiliki ilmu dan kesaktian yang seimbang, maka
meninggallah Dora dan Sembada secara bersamaan.
Aji Saka yang teringat akan pesannya kepada Sembada, segera menyusul. Namun
terlambat, karena sesampai di sana, kedua abdinya yang sangat setia itu sudah
meninggal dunia. Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya­
dalam sebuah Aksara / huruf yang bunyi dan tulisannya :
MAKNA FILOSOFI AKSARA
JAWA

Makna Aksara Jawa :


Ha Na Ca Ra Ka (ono utusan = ada utusan)
Da Ta Sa Wa La (padha kekerengan = saling berkelahi)
Pa Da Ja Ya Nya (padha digdayane = sama-sama saktinya)
Ma Ga Ba Tha Nga (padha nyunggi bathange = saling berpangku saat meninggal).
Ha-Na-Ca-Ra-Ka artinya adalah ”utusan” yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Hal ini menunjukkan adanya
pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada
manusia.
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan "data" atau
saatnya dipanggil tidak boleh "sawala" atau mengelak. Dalam hidup ini manusia
harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya menunjukkan menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang
diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya, setiap batin manusia pasti sesuai
dengan apa yang diperbuatnya.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang
oleh Tuhan . Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat,
meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Anda mungkin juga menyukai