Anda di halaman 1dari 3

MATERI TAMBAHAN AKSARA JAWA

1. ASAL USUL AKSARA JAWA

Asal mula aksara jawa erat kaitannya dengan Legenda Ajisaka, seorang
pemuda sakti dari Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora
dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti. Satu saat Ajisaka ingin
pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya
mengembara. Sedangkan Sembada, disuruh tetap tinggal di pulau Majethi. Ajisaka
menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya
jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Lain kisah, di pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang sangat makmur sejahtera
yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan
Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama
Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.
Pada suatu hari ki juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas
membuat makanan untuk prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat
memasak. Salah satu jarinya terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam
masakannya tanpa dia ketahui. Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia
merasakan rasa yang enak pada masakan itu. Dia bertanya daging apakah itu. Ki
juru masak baru sadar bahwa dagingnya disantap Dewatacengkar dan menjawab
bahwa itu adalah daging manusia. Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya
memasakkan hidangan daging manusia setiap hari. Dia meminta sang patih
kerajaan supaya mengorbankan rakyatnya setiap hari untuk dimakan.
Oleh karena terus menerus makan daging manusia,
sifat Dewatacengkar berubah 180 derajat. Dia berubah menjadi raja yang kejam
lagi bengis. Daging yang disantapnya sekarang adalah daging rakyatnya. Rakyatnya
pun sekarang hidup dalam ketakutan. Tak satupun rakyat berani melawannya,
begitu juga sang patih kerajaan.
Saat itu juga Ajisaka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka
heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat, beliau
mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia.
Ajisaka menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada
Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan
kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih
ingin menyerahkan diri. Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan
asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu
harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah
Dewatacengkar mengukur tanah. Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat
kepala Dewatacengkar meluas tak terhingga. Kain itu berubah menjadi keras dan
tebal seperti lempengan besi dan terus meluas sehingga mendorong
Dewatacengkar. Dewatacengkar terus terdorong hingga jurang pantai laut selatan.
Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Ajisaka
kemudian dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan.
Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk
mengambil pusaka andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi.
Sesampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka.
Sembada teringat akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak
menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang
juga berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa
supaya pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh
pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada
awalnya mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan
temannya sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah.
Sampai pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena
sama-sama sakti.
Berita tewasnya Dora dan Sembada terdengar sampai Ajisaka. Dia sangat
menyesal atas kesalahannya yang membuat dua punggawanya meninggal dalam
pertarungan. Dia mengenang kisah kedua punggawanya lewat deret aksara. Berikut
tulisan dan arti dari cerita itu :
 
Ha Na Ca Ra Ka : ana carakan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La : padha padu/gelut (mereka berdua berantem / berkelahi)
Pa Dha Ja Ya Nya : padha jayane/kuate (sama-sama kuatnya)
Ma Ga Ba Tha Nga : dadi bathang (jadilah bangkai semuanya / mati dua-
duanya)

2. Sandhangan
Sandhangan, inggih punika tandha ingkang kaginakaken kanggéngéwahi
swantenipun aksara ingkang dipunsandhangi. Sandhangan wonten ing
paugerantata tulis aksara Jawa kapérang dados 3 warni, yaiku:
1) Sandhangan swara, kanggé ngéwahi swanten aksara miturut ungelipun vokal
[i], [u], [é,è], [e], lan [o]
2) Sandhangan Sesigeg, minangka gantosipun aksara sigeg ha, ra, lan nga
nalika angsal pasangan utawi pangkon;

3) Sandhangan Wyanjana, minangka gantosipun aksara ra, re saha ya nalika


madeg dados pasangan ing aksara punika gadhah sipat wyanjana utawi lebur
kaliyan tembung ingkang dipunpasangi;

Anda mungkin juga menyukai